• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikel ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk. telah saya nyatakan dengan benar. : Putri Noor Fauziah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Artikel ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk. telah saya nyatakan dengan benar. : Putri Noor Fauziah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Artikel ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama

: Putri Noor Fauziah

NPM

: 0806464116

Tanda Tangan :

(2)

FORMULIR PERSETUJUAN PUBLIKASI NASKAH RINGKAS

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Irwan M. Hidayana NIP/NUP : 196205161990031011 Pembimbing dari mahasiswa S1/S2/S3*: Nama : Putri Noor Fauziah

NPM : 0806464116

Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik Program Studi : Antropologi

Judul Naskah Ringkas : Wacana Sunat Perempuan pada Kalangan Tenaga Kesehatan di Dua Rumah Sakit di Jakarta

Menyatakan bahwa naskah ringkas ini telah diperiksa, diperbaiki, dipertimbangkan dan dinyatakan dapat diunggah di UI-ana

(lib.ui.ac.id/unggah) dan (pilih salah satu dengan memberi) tanda silang : X Dapat diakses dan dipublikasikan di UI-ana (lib.ui.ac.id).

☐ Akan diproses diterbitkan pada Jurnal Prodi/Jurusan/Fakultas di UI. ☐ Akan diterbitkan pada prosiding seminar nasional pada Seminar ………

yang diprediksi akan dipublikasikan pada …………(bulan/tahun terbit) ☐ Akan diterbitkan pada Jurnal Nasional yaitu

……… (nama jurnal),

yang diprediksi akan dipublikasikan pada …………(bulan/tahun terbit) ☐ Akan ditulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan pada prosiding Konferensi

Internasional pada ………

yang diprediksi akan dipublikasikan pada …………(bulan/tahun terbit)

☐ Naskah ringkas ini baik, dan akan diubah/digabung dengan hasil penelitian lain dan ditulis dalam bahasa Inggris untuk dipersiapkan ke jurnal

internasional, yaitu: ………..

dan akan akan dipublikasikan pada ………(bulan/tahun)

☐ Ditunda publikasi onlinenya karena akan/sedang dalam proses paten/HKI

Depok, 20 Pebruari 2013

( Irwan M. Hidayana ) Pembimbing Skripsi

(3)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Putri Noor Fauziah

NPM : 0806464116

Program Studi : Strata satu Departemen : Antropologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Wacana Sunat Perempuan pada Kalangan Tenaga Kesehatan di Dua Rumah Sakit di Jakarta

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 20 Februari 2013

Yang Menyatakan

(4)

Wacana Sunat Perempuan pada Kalangan Tenaga Kesehatan

di Dua Rumah Sakit di Jakarta

Penulis : Putri Noor Fauziah NPM : 0806464116

Fakultas/Jurusan: FISIP/Antropologi Pembimbing : Irwan M. Hidayana

Abstrak

Praktik sunat perempuan saat ini sudah memasuki ranah rumah sakit dan dilakukan oleh para tenaga kesehatan, disebut dengan medikalisasi sunat perempuan. Banyak perempuan yang sudah tumbuh dewasa tidak sadar bahwa dirinya pernah mengalami praktik tersebut ketika masih dirawat di rumah sakit sehabis proses kelahirannya. Awalnya Menteri Kesehatan melarang masuknya sunat perempuan di ranah rumah sakit dengan dikeluarkannya Surat Edaran (SE) 2006, saat itu banyak pihak yang tidak setuju dan banyak pula pihak yang setuju. Dibalik pro dan kontra mengenai sunat perempuan, pada tahun 2010 Menteri Kesehatan kembali mengeluarkan kebijakan mengenai praktik sunat perempuan dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1636/Menkes/Per/XI/2010 yang melegalkan medikalisasi sunat perempuan. Menarik untuk melihat medikalisasi sunat perempuan di dua rumah sakit yang berbeda, yaitu Rumah Sakit Bersalin ASIH dan Rumah Sakit Umum Siaga Raya. Dengan latar belakang kedua rumah sakit yang berbeda, peneliti melihat adanya perbedaan pengetahuan, sikap, tindakan, dan kebijakan dari para tenaga kesehatan yang dapat menjadi sebuah wacana sunat perempuan.

Kata kunci: Medikalisasi, Peraturan Menteri Kesehatan, pengetahuan, rumah sakit, sikap, sunat perempuan, tenaga kesehatan, tindakan, wacana.

Abstract

The practice of female circumcision nowadays has reached into the hospital environment, and has practically adopted by many of medical workers. A big number of women who have been grow up and unconsciously realize that they already experienced the practice of circumcision when they were still at the hospital right after their birth. At first, The Ministry of Health prohibited the presence of female circumcision in the hospital environment with the regulation of Surat Edaran (SE) 2006. At that time, many parties were contradict with the regulation, but some of them also pro with that regulation. Behind those pros and contras about the regulation, in 2010 The Ministry of Health released the regulation about the practice of female circumcision with Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) No 1636/Menkes/Per/XI/2010, which legalize the medical

(5)

practice of female circumcision. It is interesting to observe the medical practice of female circumcision at two different hospitals, which are ASIH The Maternity Hospital and Siaga Raya Hospital. With different backgrounds of those hospitals, the observer found some different knowledge, attitudes, actions, and regulations from the medical workers which can be a discourse of female circumcision. Keywords: Medical practice, medical regulation, knowledge, attitude, female

circumcision, health provider, discourse.

Pendahuluan

Di dalam kehidupan bermasyarakat, ada banyak fenomena sosial yang sering kali tidak disadari sebagai sebuah masalah karena sudah menjadi kebiasaan yang tidak perlu dipertanyakan. Salah satunya adalah praktik sunat pada bayi perempuan. Sunat merupakan praktik yang sudah lama dikenal dalam masyarakat dan diakui oleh agama-agama di dunia, khususnya di Indonesia. Praktik sunat tidak hanya dilakukan untuk laki-laki, tetapi juga perempuan. Berbagai kebudayaan menjadikan sunat sebagai peristiwa sakral yang diwujudkan dalam upacara-upacara. Namun, upacara ini biasanya hanya berlaku pada sunat laki-laki, jarang dilakukan pada sunat perempuan. Ada banyak hal yang menjadi sebuah ritual pada sunat laki-laki yang tidak dilakukan pada sunat perempuan. Ada pula manfaat-manfaat yang berlaku bagi sunat laki-laki yang tidak didapatkan pada sunat perempuan. Itulah yang kemudian menimbulkan pro-kontra di masyarakat terkait praktik sunat perempuan.

Kebanyakan praktik sunat pada perempuan dilakukan ketika mereka masih bayi. Para orangtua lah yang kemudian memutuskan apakah si anak akan melakukan sunat atau tidak. Dahulu, praktik sunat pada bayi perempuan hanya dilakukan di daerah-daerah yang budaya lokalnya masih kuat dan yang menyunat biasanya adalah dukun beranak atau dukun sunat. Kemudian, praktik sunat bayi perempuan masuk ke dalam pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Banyak rumah sakit di Jakarta yang menyediakan jasa persalinan dan praktik sunat pada bayi perempuan, bahkan ada yang mengemasnya sebagai sebuah paket persalinan.

Bagi masyarakat Indonesia praktik sunat perempuan dilakukan dengan berbagai alasan, utamanya karena tradisi, agama atau budaya. Sunat perempuan menjadi hal yang lazim dan tidak lagi dipertanyakan bagi mereka yang

(6)

meyakininya, cukup banyak masyarakat umum yang tidak tahu bahwa perempuan juga bisa disunat. Bukan hanya mereka yang memang tidak meyakini praktik sunat perempuan, bahkan para perempuan yang waktu bayinya disunat pun banyak yang tidak tahu, tidak ingat, dan tidak menyadarinya.

Saat ini, praktik sunat perempuan yang bertahan di masyarakat ternyata masih mengalami perdebatan. Ada banyak pro dan kontra dari berbagai lembaga di dunia. WHO dan LSM-LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan menyatakan bahwa sunat bagi perempuan sangat merugikan, baik dari segi kesehatan maupun psikologis. Dapat dikatakan sunat perempuan sebagai tindakan diskriminatif yang bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1984 dalam pasal 1 konvensi tersebut.

Selain itu, hukum agama yang dijadikan pedoman atas penerapan praktik sunat perempuan sendiri ternyata tidak terlalu kuat. Ada banyak pendapat dari ulama yang menyatakan bahwa hukum sunat perempuan tidak wajib dan tidak ada dalil di dalam Al-Quran yang juga mewajibkan praktik ini. Bagi masyarakat yang beragama Islam, praktik sunat sering dikaitkan dengan perintah Nabi Ibrahim yang mana para umatnya diperintahkan untuk mengikutinya. Sebagaimana dikemukakan oleh ulama madzhab Syafi’i, pendapat bahwa sunat adalah wajib kebanyakan berkaitan dengan sunat lelaki. Yang bisa dikaitkan dengan sunat perempuan adalah alasan bahwa sunat merupakan kewajiban, ibadah, dan syiar agama Islam (Muhammad 2001:43).

Dari sisi medis pun, belum ada tenaga kesehatan yang menyatakan manfaat sunat bagi perempuan. Hal tersebut berbeda dengan sunat pada laki-laki yang dianggap bermanfaat dan dinilai positif karena bisa membersihkan dan menghindarkan dari penyakit kelamin, serta menambah kenikmatan dan memperlama berlangsungnya hubungan seksual pada laki-laki. Pada sunat perempuan justru nantinya akan mengurangi kenikmatan seksual dan bisa menimbulkan trauma psikologis yang berat. Kebanyakan yang terlihat adalah sisi negatif dari praktik sunat perempuan, bukan positif seperti halnya laki-laki.

(7)

Berbagai alasan yang menolak penerapan praktik sunat perempuan ternyata tidak membuat pihak Rumah Sakit, sebagai sebuah institusi kesehatan, untuk menghilangkan dan melarang praktik sunat terhadap perempuan. Mereka justru membuka jasa praktik sunat terhadap perempuan, bahkan ada yang sampai menjadikan itu sebagai paket dari layanan persalinan. Praktik sunat terhadap perempuan ternyata sudah mengalami medikalisasi dengan adanya keterlibatan tenaga kesehatan (bidan, perawat, dan dokter) dalam melaksanakan sunat perempuan.

Medikalisasi adalah upaya untuk mengategorikan aspek kehidupan yang sebenarnya lebih bersifat sosial ke dalam ranah medis seperti kelahiran, kehamilan, kematian dll. Ini juga berarti meluasnya pengaruh dari tenaga kesehatan dalam kehidupan masyarakat. Awalnya medikalisasi dilakukan untuk mengurangi risiko kesehatan akibat pemotongan genital yang dilakukan oleh dukun bayi atau tukang sunat.

Pada tahun 2006 muncul kebijakan dari pemerintah mengenai sunat perempuan dengan sebuah Surat Edaran bernomor HK.00.07.1.3.1047a yang menyatakan bahwa sunat perempuan tidak bermanfaat bagi kesehatan, namun justru merugikan dan menyakitkan sehingga tenaga kesehatan tidak boleh membantu melakukan praktik tersebut. Surat Edaran ini sontak mengubah sikap para tenaga kesehatan. Sejak tahun itu mereka sudah menghentikan praktik tersebut dan menghilangkan keberadaannya di ranah institusi tempat mereka bekerja. Namun, pada tahun 2010 Pemerintah melalui Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes No 1636/Menkes/Per/XI/2010 mengenai sunat perempuan yang yang ternyata justru melegalkan medikalisasi sunat perempuan. Permenkes ini nyatanya mengubah sikap para tenaga kesehatan untuk membuka jasa atau layanan praktik sunat perempuan ini.

Bertolak dari permasalahan di atas, peneliti merumuskan sejumlah pertanyaan sebagai berikut:

 Bagaimana gambaran praktik sunat perempuan yang pernah (dan masih) dilakukan oleh para tenaga kesehatan serta alasan mereka untuk melakukannya?

(8)

 Bagaimana pengetahuan yang dimiliki para tenaga kesehatan mengenai sunat perempuan?

 Bagaimana pandangan tenaga kesehatan terhadap kebijakan pemerintah melalui Permenkes No 1636/Menkes/Per/XI/2010 akan sunat perempuan?  Bagaimana sikap para tenaga kesehatan saat ini, jika ada klien/pasien yang

masih meminta bayi perempuannya untuk disunat?

Praktik Medikalisasi Sunat Perempuan di dua Rumah Sakit di Jakarta

Dari hasil penelitian yang dilakukan di dua Rumah Sakit di Jakarta, yaitu Rumah Sakit Bersalin ASIH dan Rumah Sakit Umum Siaga Raya, peneliti mendapatkan perbedaan yang mencolok dalam praktik sunat perempuan di kedua rumah sakit tersebut. Di Rumah Sakit Bersalin ASIH, praktik sunat perempuan dilakukan oleh para bidan dan perawat. Bidan dan perawat memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Ada pemahaman yang sama, dari satu bidan/perawat ke bidan/perawat lainnya mengenai teknik sunat perempuan. Tenaga kesehatan yang lebih senior memberikan pengetahuannya ke tenaga kesehatan yang lebih junior. Praktik sunat perempuan dilakukan dengan menusuk bagian luar atas klitoris menggunakan jarum steril sekali pakai sampai keluar darah. Dari tahapan-tahapan yang dilakukan ketika sunat perempuan, pembacaan doa berupa bismillah dan dua kalimat syahadat serta penyebutan nama bayi perempuan atau orangtua dari bayi perempuan di anggap penting oleh para bidan dan perawat. Biaya tindakan sunat perempuan sebesar Rp100.000,00 ditentukan oleh pihak Rumah Sakit dan masuk ke dalam kas administrasi Rumah Sakit. Pihak orangtua/wali harus menandatangani persetujuan atau informed consent terlebih dahulu yang menyatakan bahwa praktik sunat perempuan dilakukan atas permintaan mereka. Praktik sunat perempuan di Rumah Sakit ini sudah ada sejak lama (lebih dari 20 tahun) dan tidak pernah dihilangkan sampai saat ini.

Di Rumah Sakit Umum Siaga Raya, praktik sunat perempuan dilakukan oleh para bidan, sedangkan para perawat hanya bertugas untuk membantu bidan. Setiap bidan memiliki pemahamannya sendiri mengenai teknik sunat perempuan. Begitu juga dengan perawat, yang memiliki pemahaman dari praktik sunat

(9)

perempuan yang pernah dilihat atau dibantunya. Praktik sunat perempuan dilakukan dengan menggunting sedikit bagian luar atas klitoris menggunakan ujung gunting bulu mata sampai keluar darah. Tidak ada pembacaan doa di dalam praktik sunat perempuan, dan bidan hanya menyebutkan bismillah sebelum melakukan pengguntingan. Itu pun bukan sebuah keharusan. Biaya tindakan sunat perempuan sebesar Rp50.000,00 ditentukan oleh para bidan yang bersedia menyunat. Uang itu masuk ke dalam kas bidan. Tidak ada surat atau lembaran resmi dari Rumah Sakit mengenai praktik sunat perempuan. Praktik sunat perempuan di Rumah Sakit ini sudah ada sejak lama dan pada tahun 2006 diberhentikan atau dihilangkan dengan alasan adanya Surat Edaran larangan medikalisasi sunat perempuan. Para bidan pun sudah tidak mau melakukannya saat ini, meskipun ada permintaan dari orangtua atau wali bayi perempuan.

Perbedaan-perbedaan ini terbentuk dari kebijakan-kebijakan yang berbeda pula di masing-masing Rumah Sakit. Para bidan, perawat, ataupun dokter anak sebagai tenaga kesehatan yang bekerja di sana tentunya akan berusaha mengikuti kebijakan yang ada. Di Rumah Sakit Bersalin ASIH, sunat perempuan menjadi sebuah tindakan/praktik yang diketahui dan difasilitasi, baik oleh Rumah Sakit maupun para tenaga kesehatan. Sedangkan di Rumah Sakit Umum Siaga Raya, sunat perempuan menjadi sebuah tindakan/praktik yang menjadi tanggung jawab para bidan. Pihak Rumah Sakit, bahkan dokter anak sekali pun tidak mengetahui bagaimana praktik sunat perempuan berlangsung di sana.

Masuknya Praktik Sunat Perempuan ke Ranah Rumah Sakit

Kepercayaan bahwa seorang bayi perempuan harus disunat ternyata tidak hanya berkembang di masyarakat desa. Orang-orang yang berlatar belakang agama dan etnis yang tinggal di kota juga mempercayainya. Masyarakat Jakarta yang dianggap sudah meninggalkan nilai-nilai budaya tradisionalnya dan cenderung memiliki gaya hidup yang lebih modern nyatanya masih banyak yang meminta bayi perempuannya untuk disunat. Mereka yang melahirkan anak-anaknya di rumah sakit akhirnya meminta kepada tenaga kesehatan yang merawatnya untuk melakukan praktik sunat perempuan kepada bayi

(10)

perempuannya. Awalnya tindakan ini menjadi dilema di kalangan tenaga kesehatan.

Para tenaga kesehatan mengatakan bahwa tidak ada pelajaran, baik di tingkat sekolah menengah atas maupun akademi di bidang kesehatan, mengenai sunat perempuan. Pengetahuan mengenai praktik dan teknik diperoleh ketika mereka memasuki ranah lapangan pekerjaan, seperti di rumah sakit. Keahlian sunat perempuan yang dimiliki para tenaga kesehatan dipelajarinya dengan melihat praktik sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang lebih senior. Apa saja alat yang digunakan, bagian mana yang harus disunat, dan bagaimana cara melakukan sunat diperoleh dari pengalamannya ketika turun ke lapangan.

Berbagai tekanan yang ditujukan kepada tenaga kesehatan mengenai praktik sunat perempuan akhirnya memunculkan negosiasi tersendiri di kalangan mereka. Merujuk pada praktik sunat laki-laki, para tenaga kesehatan mencari titik, teknik, dan alat yang tidak membahayakan bayi perempuan tetapi masih bisa disebut dengan praktik sunat perempuan. Mereka sebenarnya khawatir jika praktik tersebut justru dilakukan oleh individu yang tidak ahli dan dengan alat-alat yang tidak terjamin kesterilannya. Dengan alasan keamanan untuk bayi perempuan, praktik sunat perempuan akhirnya dapat masuk ke dalam ranah pelayanan kesehatan modern. Inilah yang disebut medikalisasi sunat perempuan.

Pengetahuan Tenaga Kesehatan Mengenai Praktik Sunat Perempuan

Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat selalu berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu, begitu juga dengan pengetahuan yang dimiliki oleh para tenaga kesehatan mengenai praktik sunat perempuan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Borofsky yang membedakan pengetahuan menjadi dua konsep, yaitu knowledge dan knowing. Knowledge merupakan pemahaman yang pasti dan terdeskripsikan, sedangkan knowing sebagai pemahaman yang sifatnya lebih cair dan fleksibel.

Dalam hal ini, knowledge merupakan rangkaian kesatuan knowing dan pemahaman yang cenderung ditunjukkan oleh seorang sebagai “fakta-fakta” yang

(11)

spesifik dari para informan (Borofsky 1994a: 335). Knowledge ini cenderung terkonseptualisasi secara umum tidak berubah-ubah dari hari ke hari, informan ke informan, konteks ke konteks. Sunat perempuan disini sebagai sebuah knowledge yang dinilai pasti. Sunat diartikan dengan memotong. Pemahaman ini juga berlaku di dalam ilmu kesehatan yang menggunakan konsep sunat, meskipun biasanya dipraktikkan pada laki-laki. Setiap tenaga kesehatan memiliki pemahaman yang sama bahwa dengan sunat berarti ada yang perlu dipotong.

Namun dalam praktiknya, sunat pada perempuan dianggap sebagai tindakan yang melanggar hak asasi seorang perempuan. Banyak dampak negatif yang akan dialami seorang perempuan jika sunat dilakukan dengan cara memotong alat kelaminnya. Dari situ muncullah perbedaan-perbedaan pemahaman yang dimiliki tenaga kesehatan terhadap praktik sunat perempuan dan tidak terlepas dari pengaruh lingkungan serta pengalamannya. Masing-masing tenaga kesehatan memiliki cara yang berbeda-beda dalam melakukan sunat perempuan. Alat-alat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan tujuan dari praktik sunat tersebut. Pemahaman-pemahaman yang berbeda dalam praktik sunat perempuan ini disebut dengan knowing. Knowing merupakan persetujuan yang cenderung berbeda dengan konteks yang berbeda pula. Tidak hanya berbeda karena ia berubah dalam konteks yang berbeda namun juga karena ada beberapa bagian yang dapat dideskripsikan secara tepat dan beberapa tidak. Knowing dapat dilihat sebagai rangkaian kesatuan yang cenderung bersifat cair dan sulit untuk ditentukan dengan parameter yang tepat dengan deskripsi normal (Borofsky 1994a: 335). Meskipun para tenaga kesehatan sepakat dengan konsep praktik sunat perempuan, namun dalam hal tindakan, praktik ini dapat berubah sesuai dengan konteksnya.

Para tenaga kesehatan yang awalnya memiliki pemahamannya masing-masing mengenai praktik sunat perempuan akan beradaptasi dengan aturan-aturan di dalam Rumah Sakit tempat mereka bekerja. Pengetahuan-pengetahuan para tenaga kesehatan ini juga tidak bisa dilepaskan dari latar belakang mereka masing-masing, baik budaya, agama, maupun pendidikan.

Hasilnya setiap para tenaga kesehatan akan memiliki knowing yang beragam mengenai praktik sunat perempuan itu sendiri. Pengetahuan dalam

(12)

bentuk knowing belum diaplikasikan dalam tindakan mereka masing-masing. Itu kembali pada lingkungan dan persetujuan para tenaga kesehatan tersebut. Tidak ada benar atau salah di sini, semua bersifat cair sesuai dengan konteks yang mereka pilih.

Setuju atau Tidak Setuju dengan Praktik Sunat Perempuan?

Kebanyakan dari bidan dan perawat yang menjadi informan penelitian ini menyatakan tidak setuju dengan praktik sunat perempuan, walaupun mereka pernah melakukannya. Menurut mereka, praktik sunat perempuan tidak memiliki manfaat sama sekali bagi bayi perempuan. Lain halnya dengan laki-laki yang memang memiliki daerah yang dapat memicu infeksi di bagian penisnya jika tidak disunat, vagina perempuan justru tidak memiliki daerah yang harus atau bisa disunat.

Para tenaga kesehatan sendiri pun tidak memiliki alasan mengapa daerah dari alat kelamin perempuan (klitoris) yang disunat. Alasannya hanya karena itu sudah menjadi ajaran dari tenaga kesehatan yang lebih senior. Alasan lainnya dikaitkan dengan kepercayaan agama Islam, karena salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi hawa nafsu seksual. Klitoris dianggap sebagai salah satu daerah sensitif perempuan yang dapat menjadikan hawa nafsu seksual perempuan meningkat. Dengan melakukan sunat pada klitoris, hawa nafsu seksual perempuan pun dianggap akan menurun.

Perlukah Seorang Bayi Perempuan untuk Disunat?

Keberlangsungan praktik sunat perempuan di Rumah Sakit yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan ini memang bertujuan untuk mencegah praktik sunat perempuan yang dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak ahli. Dengan pendidikan di bidang kesehatan dan alat-alat yang dijamin kesterilannya, mereka yakin praktik sunat perempuan tidak akan berbahaya.

Di luar pengaruh agama dan adat dari para tenaga kesehatan atau orangtua/wali bayi perempuan, sebenarnya praktik sunat perempuan tidak perlu berlangsung. Tidak ada alasan khusus mengapa daerah dari alat kelamin

(13)

perempuan itu yang disunat. Tidak ada ajaran bagaimana teknik yang sebenarnya harus dilakukan untuk praktik sunat perempuan. Tidak ada pula daerah dan bagian dari alat kelamin perempuan yang memang harus disunat. Para tenaga kesehatan sendiri sepakat, dari segi kesehatan seorang bayi perempuan memang tidak perlu untuk disunat.

Kebijakan Rumah Sakit terhadap Pelaksanaan Praktik Sunat Perempuan

Berpengaruhnya kebijakan-kebijakan Rumah Sakit terhadap pengetahuan para tenaga kesehatan akan praktik sunat perempuan tidak terlepas dari adanya kekuasaan. Kekuasaan menjadi sebuah kekuatan yang berguna untuk mempengaruhi, bisa bekerja melalui bahasa dan melakukan berbagai proses pendisiplinan pemikiran. Dalam hal ini Rumah Sakit memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan para tenaga kesehatan dalam menciptakan aturan-aturan mengenai praktik sunat perempuan. Tenaga kesehatan yang bekerja di dalam Rumah Sakit harus mengikuti aturan-aturan yang sudah ditentukan.

Michael Foucault (Budianta, 2002:210), salah satu pemikir post-struktural merumuskan teori tentang kekuasaan, menyebut semua aturan diskursif yang merupakan bagian dari sistem pengetahuan yang sedemikian mendasar sehingga tidak lagi dipertanyakan orang itu sebagai “wacana”. Segala bentuk aturan dan kebijakan yang berlaku di Rumah Sakit tidak mudah untuk diubah sesuai dengan keinginan individu, termasuk para tenaga kesehatan yang bekerja didalamnya. Mereka yang terikat dengan institusi tersebut harus mau tidak mau mengikuti aturan yang ada, jika tidak akan ada imbalan dalam bentuk sanksi. Ketika tenaga kesehatan masuk dan bekerja di Rumah Sakit, mereka sudah harus beradaptasi dengan segala bentuk aturan dilingkungan tersebut. Ini juga yang terjadi dalam praktik sunat perempuan. Meskipun pelaku praktik sunat perempuan adalah para tenaga kesehatan, keputusan untuk melakukannya pun tidak bisa terlepas dari aturan dari pihak Rumah Sakit.

Menurut Foucault (1972), kekuasaan mewujudkan diri melalui wacana dengan berbagai cara. Wacana, sebagai modus untuk menyampaikan dan mengaktualisasikan pengetahuan, secara langsung atau tidak langsung

(14)

memproduksi kekuasaan berikut resistensinya. Wacana kadang kala dapat sebagai bidang dari semua penyataan, kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan. Sampai pada akhirnya muncullah wacana mengenai praktik sunat perempuan seperti yang diuraikan di dalam bab ini.

Pengaruh Kebijakan Negara terhadap Praktik Sunat Perempuan

Kebijakan yang ditetapkan oleh Rumah Sakit-Rumah Sakit ini ternyata tidak terlepas dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahan yang terkait dengan bidang kesehatan. Pada tahun 2006, muncul Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan terkait larangan dilakukannya praktik sunat perempuan. Surat Edaran ini kemudian disebar ke Rumah Sakit-Rumah Sakit, khusunya Rumah Sakit di Jakarta. Para bidan, perawat, dan dokter anak akhirnya mengetahui tentang larangan tersebut dan mengikutinya. Pihak Rumah Sakit pun mau tidak mau harus mengikuti Surat Edaran tersebut dengan pertimbangan-pertimbangannya masing-masing.

Setelah Surat Edaran ini menyebar di kalangan tenaga kesehatan dan institusi kesehatan, mulai dari tahun 2006 praktik sunat perempuan sudah hilang keberadaannya di ranah Rumah Sakit. Hal ini ternyata tidak berjalan lama di beberapa Rumah Sakit, dengan berbagai alasan dan pertimbangan lainnya, masih ada Rumah sakit yang tetap mau melakukan praktik sunat perempuan. Salah satunya adalah Rumah Sakit Bersalin ASIH yang pada akhirnya masih tetap memperbolehkan praktik sunat perempuan, sampai sekarang.

Munculnya Permenkes Tahun 2010 Mengenai Sunat Perempuan

Kemudian pada tahun 2010, muncullah keputusan baru mengenai praktik sunat perempuan yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan. Praktik sunat perempuan diperbolehkan kembali dilakukan dengan syarat dan aturan tertentu. Semuanya dilampirkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes) No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Permenkes yang terdiri dari empat bab dan sembilan pasal ini mengatur semua pelaksanaan sunat perempuan yang boleh dilaksanakan. Ada pula poin menimbang dan mengingat

(15)

yang menjadi pertimbangan-pertimbangan dikeluarkannya Permenkes sunat perempuan ini.

Pendapat Tenaga Kesehatan terhadap Permenkes 2010 tentang Sunat Perempuan

Jika merujuk pada isi Permenkes 2010 yang memperbolehkan adanya praktik sunat perempuan, para tenaga kesehatan menanggapi hal ini dengan positif. Dengan adanya Permenkes 2010, mereka menjadi tahu tindakan seperti apa yang harus dilakukan, bagian mana yang harus diberikan tindakan, dan alat-alat apa saja yang harus digunakan dalam tindakan. Sebagai tenaga kesehatan yang memang terjun langsung dalam praktik sunat perempuan, bidan dan perawat mengaku menjadi lebih merasa aman dan memiliki kekuatan hukum dengan adanya Permenkes ini. Mereka tidak perlu cemas atau menutup-nutupi praktik tersebut. Ini juga merupakan bentuk dari penghormatan kepada kepercayaan tertentu, seperti Agama Islam dan adat-adat yang masih menjalaninya. Para orangtua dari bayi perempuan pun akan mendapatkan fasilitas yang terjamin dari praktik sunat terhadap anaknya, tidak perlu khawatir dilakukan oleh orang-orang yang tidak ahli.

Sikap Tenaga Kesehatan terhadap Praktik Sunat Perempuan Saat Ini

Saat ini setelah Permenkes 2010 berjalan, pihak Rumah Sakit bisa bebas memilih untuk tetap melarang praktik sunat perempuan atau memperbolehkannya. Para tenaga kesehatan yang memiliki persepsinya masing-masing mengenai sunat perempuan akan tetap terikat dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Rumah Sakit. Rumah Sakit Bersalin ASIH memilih untuk masih melakukannya sampai saat ini, jika memang ada permintaan dari orangtua bayi perempuan. Berbeda dengan itu, Rumah Sakit Umum Siaga Raya memilih untuk tetap melarang adanya praktik sunat perempuan. Meskipun ada paksaan, mereka lebih memilih untuk menolaknya dan meminta orangtua tersebut mencari Rumah Sakit lain yang menerima untuk melakukan sunat perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk mereka melakukan sunat perempuan jika ada kebijakan baru yang membolehkannya.

(16)

Kesimpulan

Menarik untuk dilihat bahwa tidak semua perempuan tahu mengenai sunat perempuan.. Banyak para remaja perempuan yang tumbuh berkembang saat ini tidak sadar dan ingat kalau mereka dahulu disunat. Praktik sunat perempuan menjadi tindakan yang lazim, lalu dilakukan secara “diam-diam”, tidak perlu diperlihatkan kepada khalayak ramai. Bagi para tenaga kesehatan pun sunat perempuan menjadi topik yang jarang dibicarakan karena memang tidak ada pelajaran terlebih dahulu ketika diperkuliahan/sekolahan. Mereka hanya mengerjakan jika ada permintaan yang datang dari pihak orangtua.

Tindakan yang dilakukan dalam medikalisasi sunat perempuan bisa dikatakan sebagai simbolis dari praktik sunat perempuan. Bagi para tenaga kesehatan, hal yang terpenting adalah keyakinan dari para orangtua yang meminta disunat, bahwa bayi perempuannya sudah disunat. Hal itu ditunjukkan dengan bekas darah dari penusukan/penggoresan di daerah atas klitoris. Klitoris sendiri dipercayai sebagai titik dari sunat perempuan, tetapi berbahaya dan merugikan jika memang yang disunat benar-benar klitorisnya.

Praktik sunat perempuan akhirnya menimbulkan sebuah ambiguitas di kalangan tenaga kesehatan sendiri. Di satu sisi tidak ada pendidikan dan tata cara yang diberikan ketika para tenaga kesehatan belajar mengenai ilmu kesehatan, serta tidak semua tenaga kesehatan pun meyakini dan menyetujui praktik sunat perempuan. Akhirnya praktik sunat perempuan menjadi sebuah tindakan yang pragmatis, sesuai dengan situasi dan kondisi. Para tenaga kesehatan yang setuju dengan praktik sunat perempuan, tetapi bekerja di rumah sakit yang tidak membolehkannya akan tetap tidak melakukan sunat perempuan meskipun ada permintaan dari orangtua. Para tenaga kesehatan yang tidak setuju dengan praktik sunat perempuan, tetapi bekerja di rumah sakit yang menyediakan jasa praktik sunat perempuan harus mau melakukannya jika ada permintaan dari para orangtua. Sunat perempuan akan dipraktikkan sesuai dengan situasi dan kondisi.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Bogdan, R. dan Taylor, S.

1984 Introduction to Qualitative Research Methods: The Search For Meaning. New York: John Wiley & Sons

Borofsky, R.

1994 On the Knowledge and Knowing of Cultural Activities dalam R. Borofsky (peny.) “Assessing Cultural Anthropology”. New York: Hawaii Pasific University Press, hlm : 335-346.

Budiharsana, dkk

2004 Research Report: Female Circumcision in Indonesia: Extent, Implication and Possible Intervention to Uphold Women’s Health Right. Jakarta: Popilation Council.

Darmayanti

2011 Gambaran Praktik Sunat Pada Anak Perempuan di Kota Bukit Tinggi Propinsi Sumatera Barat Tahun 2011. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Dewi, Y.S.

2005 Suara Perempuan dalam Masyarakat Patriarki, Studi Kasus: Buku “Pelacur vs His First Lady?” Karya R. Valentina. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Duarsa, B. S.

2010 Khitan Perempuan: dari Sudut Pandang Sosial. Budaya, Kesehatan & Agama. Jakarta: Universitas Yarsi Press.

Fauzi, A. dan Mercy, L.

2001 Jender & Kesehatan: Kumpulan Artikel 1998-2001. Jakarta: Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif Jender.

Feillard, E. dan Marcoes, L.

1998 Female Circumcision in Indonesia: To “Islamize” ini Ceremony or Secrecy. Paris: Archipel 56, hlm : 337-367

Fillingham, L.A.

2001 Foucault untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius. Foucault, M.

1972 Power/Knowledge. New York: Pantheon Books. Gibson, dkk.

1987 Organization Behavior, Structure and Process, Fifth Edition, Business Publication. Texas: Irc Plano.

Handayani, S.

2004 Analisis Praktik Khitan Perempuan Oleh Tenaga Kesehatan Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat, Tahun 2004. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

(18)

Hati, P.P.

2010 Kesehatan Reproduksi dalam Kehidupan Perempuan yang Menikah Usia Dini: Studi Desa Kotabatu, Ciomas, Bogor. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Ida, R.

2005 Sunat: Belenggu Adat Perempuan Madura. Yogyakatya: Kerja sama Ford Foundation dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada.

Ihromi, T.O.

1984 Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Jamil, A.

2001 Sunat Perempuan dalam Islam: Sebuah Analisis Jender dalam Refleks: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Vol 3, No.2, hlm: 53. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Jawad, H.A.

2002 Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru

Kurniawati, R.

2011 Praktik Sunat Perempuan di Wilayah Kerja Puskesmas Muara Tebo Kecamatan Tebo Tengah Kabupaten Tebo Provinsi Jambi tahun 2011. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Lock, M.

2001 The Tempering of Medical Anthropology: Troubling Natural Categores dalam Medical Anthropology Quarterly, New Series, Vol. 15, No. 4, hlm. 478-492.

Manuaba, I.B.G.

1999 Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: Arcan. Melani, dkk.

2002 Analisis Wacana: dari Linguistik Sampai dekonstruksi. Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Mohammad, K.

1999 Kontradiksi Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Sinar Harapan Muhammad, KH. H.

2001 Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta

Munir, L. Z.

2006 Sunat dan Pelanggaran Hak dalam KOMPAS edisi 16 Oktober 2006, hlm. 8

Musyarofah, R.

2003 Khitan Perempuan: Antara Tradisi dan Ajaran Agama. Yogyakarta: Kerja sama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation. Notoatmodjo

1993 Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Andi Offset.

(19)

Nuravianti

2010 Analisis Perilaku Sunat Perempuan Pada Anak Usia 1 Tahun di Puskesmas Pancoran Mas Kota Depok Tahun 2010. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Obermeyer, C. M.

2005 The consequences of female circumcision for health and sexuality: An update on the evidence dalam Culture, Health & Sexuality, Vol. 7, No. 5, hlm. 443-461. USA: Harvard University

Othman, dkk.

1999 The Practice of Female Circumcision among Muslims in Kelantan, Malaysia dalam Reproductive Health Matters, Vol. 7, No. 13, hlm.137-144.

Parrinder, G.

2005 Teologi Seksual. Yogyakatya: LkiS Purwanti, F.

2010 The ‘O’ Project. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Putranti, B. D.

2005 Sunat Perempuan: Cermin Bangunan Sosial Seksualitas Masyarakat Yogyakarta dan Madura dalam Buletin Kependudukan dan Kebijakan vol. 16 no. 01, hlm 81. Yogyakarta.

Rifa’i, A.

2001 Wacana Sirkumsisi pada Perempuan dalam Populasi: Buletin Kependudukan dan Kebijakan Vol. 12 No. 1. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Rusmana, O.

2004 Kajian Terhadap Praktek Sunat pada Anak Perempuan di Wilayah Puskesmas Sindangkerta Kecamatan Pagelaran Kabupaten Cianjur, Jawa Barat Tahun 2003. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Sumarni, dkk.

2005 Sunat Perempuan di Bawah Bayang-Bayang Tradisi. Yogyakarta: PSKK UGM dan Ford Foundation.

Susanty

2005 Konsep “Aman” dalam Layanan Aborsi: Studi Tentang Pasien dan Pemberi Layanan Aborsi Tradisional dan Alternatif di Jakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

WHO

1996 Female Genital Mutilation Information Kit. Geneva: Women’s

Health Family and Reproductive Health-World Health

(20)

2008 Eliminating female genital mutilation: an interagency statement UNAIDS, UNDP, UNECA, UNESCO, UNFPA, UNHCHR, UNHCR, UNICEF, UNIFEM, WHO.

Winkelman, M.

2009 Culture and Health: Applying Medical Anthropology. USA: Jossey-Bass

Internet

Sunat Perempuan kok Dilegalkan. Diakses dari:

http://www.detikhealth.com/read/2011/08/16/155524/1704973/763/khitan-perempuan-kok-dilegalkan pada tanggal 18 September 2011.

Inilah Bahaya di Balik Sunat Perempuan. Diakses dari:

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/28/0756239/Inilah.Bahaya.di.Balik.Kh itan.Perempuan pada tanggal 18 September 2011.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat

Perempuan harus Dicabut! Diakses dari:

http://www.institutperempuan.or.id/?p=175 pada tanggal 12 November 2011. Sunat Perempuan, Merugikan dan Membahayakan Kesehatan. Diakses dari: http://lkis.or.id/v2/berita-155-sunat-perempuan-merugikan-dan-membahayakan-kesehatan.html pada tanggal 23 Maret 2012.

Female Circumcision. Diakses dari:

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pemikiran yang dilakukan secara mendalam dan sungguh-sungguh tersebut, kemudian melahirkan berbagai gerakan pembaharuan yang merupakan operasionalisasi dan pelaksanaan dari

beberapa pelanggaran/baik yang dilakukan oleh pasangan kontestan PILKADA/ team. sukses masing-masing/dan massa pendukungnya// Salah satu dari

ANALISIS STRUKTUR DAN KEMUNGKINAN KEMUNCULAN JENJANG KOGNITIF PADA DESAIN KEGIATAN LABORATORIUM (DKL) MATERI UJI MAKANAN.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Aplikasi Sistem Informasi Geografis Pariwisata Kota Semarang ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan menambah informasi mengenai kelayakan lokasi wisata agar

Selain sebagai alat komunikasi, kartupos juga dapat menjadi peluang usaha yang memiliki kemungkinan besar dalam menjadi usaha online. Hal ini didukung dengan faktor

In the article we will present and describe the knowledge technologies used for our approach such as Web Ontology Language (OWL), used for formulating the

minuman ditetapkan dengan menganalisa pencampuran penjualan untuk suatu jangka waktu yang telah ditetapkan atau periode tertentu dalam pengkalkulasian.. Dalam tahap dari lembaran

Banyak penelitian yang telah melakukan klasifikasi kendaraan mobil dengan model Neural Network dan Algoritma C4.5 namun belum ada yang membandingkan metode Neural