BAB I
A. LATAR BELAKANG
Korupsi dalam konteks yang komprehensif merupakan white collar crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sering kali memerlukan “pendekatan sistem (system approach)” terhadap pemberantasannya karena cenderung sulit memperoleh procedural pembuktiannya. Korupsi tidak sekedar pemidanaan saja, tetapi bagaimana kebijakan Hukum Pidana menghadapi
invisible crime tsb. 1
Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak di segala bidang dan sector kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis.2 Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hal-hak social masyarakat yang mulai endemis dan sistemis. Korupsi juga dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada masa pemerintahan/kepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat (high profile
crime) dan sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri.3
Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merugikan keuangan dan/ atau perekonomian Negara saja, tetapi juga sudah sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Terdapat cukup alasan yang rasional untuk
1
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta,2009, halaman 191.
2
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Paragraf ke-2.
3
Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas, Jakarta, 2009, halaman 289.
mengkategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa juga (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrument-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument-instrument).4
Indonesia pada saat ini mulai aktif dalam penggunaan teknologi elektronik yang berbasis kepada lingkungan serba digital.5 Perkembangan teknologi tersebut, menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik dan prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.6
Penentuan mengenai cara bagaimana pengenaan pembuktian pidana dapat dilaksanakan terhadap orang yang disangka melakukan perbuatan pidana diatur di dalam hukum pidana formal atau KUHAP. Van Bemmelen menyatakan bahwa “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana”.7
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di siding pengadilan. Melalui pembuktian tersebut ditentukan nasib terdakwa. Hasil dari pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan terhadap
4
H. Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. Halaman 76.
5
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005, halaman 31.
6 Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006,
halaman, 3.
7
Andi Hamzah,dkk, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, halaman 2.
terdakwa, maka terdakwa dapat dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian, serta meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian (bewijs kracht) dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.
Pembuktian menurut KUHAP, menganut system pembuktan menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yaitu sistem pembuktian yang merupakan keseimbangan antara sistem keyakinan hakim (conviction in time) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan di dalam undang-undang). Kedua sistem ini saling bertolak belakang secara ekstrim dimana media sistem ini dikenal dengan sistem pembuktian secara negatif dengan memadukan antara keyakinan hakim dengan undang-undang secara positif.8
Sistem pembuktian yang dianut dalam sistem pembuktian di Indonesia adalah sistem pembuktian negatif yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan hukuman dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan satu keyakinan hakim, sistem ini sejalan dengan yang dianut dalam pasal 183 KUHAP yang juga merupakan batas minimum pembuktian yang dijadikan patokan penerapan standard terbukti secara sah dan meyakinkan (beyond a reasonable doubt). Dalam pembuktian di
8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, halaman 278
persidangan tercapainya batas minimum pembuktian namun mengandung cacat materiil yang disebabkan antara lain oleh keterangan palsu, tidak relevan, ketarangan bohong, keterangan tidak jelas sumbernya, lemahnya alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain, tidak bersentuhan dan bertalian, masing-masing alat bukti berdiri sendiri dan dokumen palsu. Dengan demikian maka pembuktian sebagai dasar perkara pidana dapat didasarkan pada petunjuk-petunjuk, hal itu dikarenakan setiap kejahatan khususnya tindak pidana korupsi dilakukan dengan terencana, terorganisir dan melibatkan banyak jaringan yang kemudian akan menghilangkan jejak perbuatannya. Maka dengan demikian Penyadapan dijadikan alat bukti petunjuk dengan tujuan agar kejahatan yang disembunyikan itu dapat terungkap.
Tujuan pokok sistem peradilan pidana berdasarkan sah dan meyakinkan untuk mencari dan mewujudkan kebenaran sejati (Ultimate Truth, Absolute Truth). Hasil penyadapan bisa mewujudkan kebenaran sejati selama pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan bersesuaian dengan alat-alat bukti yang lain maka keterbuktian kesalahan terdakwa dianggap beralasan. Banyak hal yang akan menimbulkan keraguraguan akan membuat terdakwa bisa dibebaskan atau sebaliknya akan dijatuhi hukuman karena dianggap tidak bersalah oleh karena itu penyadapan dijadikan sebagai alat bukti petunjuk untuk memberikan keyakinan kepada hakim dalam mengambil keputusan. Maka dalam pembuktian tindak pidana korupsi, menurut pasal 26A Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang- Undang 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dalam kasus korupsi, pembuktian didasarkan atas alat bukti yang ditentukan dalam pasal 184 ayat KUHAP, namun khusus tindak pidana korupsi ditambah lagi hasil penyadapan sebagai petunjuk yang diperoleh dari :
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu ; tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik ( electronic data interchange ), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili; dan
b. Dokumen, yaitu rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, banda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.9
Merujuk pada ketentuan mengenai bukti petunjuk di atas, jelas bahwa bagi seorang hakim diwajibkan untuk menggali alat bukti lain sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Diperlukan kecermatan dan ketelitian seorang hakim di dalam memberikan penilaiannya, terutama terhadap ada atau tidak adanya persesuaian
9
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Pasal 26A huruf (a) dan (b).
antara suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kesempurnaan pembuktian melalui bukti elektronik (electronic evidence) sehingga hakim memiliki keyakinan atas terjadinya suatu tindak pidana dan seseorang adalah pelakunya, hakim memerlukan bantuan seorang ahli (keterangan ahli), kecuali pembicara dalam rekaman tersebut mengakuinya bahwa suara yang diperdengarkan di muka siding pengadilan adalah suara dirinya sendiri.
Rekaman elektronik sebagai alat bukti yang tersendiri di tegaskan dalam Pasal 26A Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang meyebutkan bahwa alat bukti pemeriksaan di dalam tindak pidana korupsi, termasuk alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, dan juga alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu, dan rekaman elektronik. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Penyadapan Sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi”, di dalam penulisan skripsi ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang diuraikan pada latar belakang di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah sebgai berikut :
1. Bagaimana ketentuan alat bukti dalam tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana kedudukan alat bukti penyadapan sebagai pembuktian dalam tindak pidana korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang akan menjadi objek pembahasan dalam penelitian ini, maka tujuan yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji dan mengetahui lebih dalam lagi terhadap ketentuan alat bukti dalam tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengkaji dan mengetahui lebih dalam lagi terhadap kedudukan alat bukti penyadapan sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan alat bukti di dalam tindak pidana korupsi sehingga kemungkinan terjadinya kecurangan atau kebohongan dalam pembuktian dappat diminimalisasi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi mengenai Penyadapan Sebagai Instrumen Hukum dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Pustaka) berdasarkan
pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan, sedangkan penulisan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi ada ditemukan penulis tetapis hanya secara khusus membahas masalah pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi yang ditulis oleh Saudara Zulpadli. Penulisan tersebut mempunyai bahasan permasalahan yang berbeda dengan penulisan skripsi yang dilakukan oleh penulis.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari keterangan-keterangan baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya.
F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana Korupsi
Istilah Korupsi berasal dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan, atau perbuatan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Ada pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah ”korupsi” yang berasal dari kata ”corrupteia” yang dalam bahasa Latin berarti ”bribery” atau ”seduction”, maka yang diartikan ”corruptio” dalam bahasa Latin ialah ”corrupter” atau ”seducer”. ”Bribery” dapat diartikan sebagai memberikan kepada
seseorang agar seseorang tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara ”seduction” berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng.10
Hendry Campbell Black (1991) mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain.11
Secara umum tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU PTPK). Selain itu, hukum acara dalam menangani tindak pidana korupsi tunduk pada kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan penyimpangannya yang diatur secara khusus dalam UU PTPK.12
Dalam ketentuan UU PTPK tidak memuat pengertian tentang korupsi. Akan tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud. Pasal 2 UU PTPK, menyatakan sebagai berikut :
10
: http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/#ixzz32Qu090CV.
11
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 137.
12
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktek, Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta, 2008, Halaman 1.
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara...”
Selanjutnya dalam Pasal 3 UU PTPK, menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”
Definisi yuridis di atas merupakan batasan formal yang ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu di suatu negara. Oleh karena itu, batas-batas korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara.13
2. Alat Bukti Penyadapan
Asal kata “penyadapan” berasal dari kata “sadap” atau “menyadap” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) artinya adalah mengambil air atau mengambil getah dari pohon dengan cara memangkas mayang atau dengan cara memangkas akar atau menorah kulit.14
Perkembangan selanjutnya, pengertian menyadap tidak hanya sebatas pengertian mengambil air atau mengambil getah dari pohon sebagaimana dikemukakan di atas. Terminology “penyadapan” dengan asal kata “sadap” atau “menyadap” sama dengan kata lainnya yang memiliki awalan “me-“ atau “pe-an”
13
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/#ixzz32Qu090CV.
14
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008, halaman 1337.
misalnya “memangka” atau “pemangkasan” merupakan cara kerja atau menunjukkan sebuah proses. Dengan demikian, berlaku pula bagi terminoligi “penyadapan” atau “menyadap”, “penyadapan” atau “menyadap” harus diartikan sebagai sebuah proses, sebuah cara, atau menunjukkan perbuatan, atau tindakan melakukan sadapan.15
Terkait penyadapan atau tindakan menyadap, menurut KBBI, penyadapan dapat diartikan sebagai proses dengan sengaja mendengarkan dan/atau merekam informasi orang lain secara diam-diam dan penyadapan itu sendiri suatu proses, suatu cara atau perbuatan penyadapan.16
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi (selanjutnya disebut UU Telekomunikasi) dalam Pasal 42 ayat (2) merumuskan tentang alat bukti penyadapan yang dapat dilakukan untuk pembuktian dalam proses peradilan. Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi menyatakan :
Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
15 Kristian dan Yopi Gunawan, Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum Positif di
Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, halaman 179.
16
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008, halaman 1337.
Pasal 26A Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menjelaskan bahwa penyadapan atau rekaman elektronik juga merupakan alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi dapat diperoleh dari:
a. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu saran, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf; tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan mengkaji asas-asas hukum dan peraturan perundang-undangan. Penelitian hukum normative disebut juga penelitian hukum doctrinal. Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.17
2. Data
Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari asyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan pustakan (data sekunder).18 Metode penelitian hukum normative hanya mengenal data sekunder saja.19 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.20
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: 1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945;
2. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi; 5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
17 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, halaman 118.
18
Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, halaman 12.
19
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, halaman 12.
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman;
8. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
9. Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, diantaranya;
1. Buku-buku yang terkait dengan hukum; 2. Artikel di jurnal hukum;
3. Skripsi ,Tesis dan Disertasi Hukum;
4. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademisi yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekuder, diantaranya;
1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia;
2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini;
3. Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana korupsi khususnya tentang alat bukti penyadapan.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang
meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.21 Studi kepustakaan yang dimaksudkan dalam skripsi ini diterapkan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan alat bukti penyadapan dalam tindak pidana korupsi, termasuk juga bahan-bahan lainnya yang ada kaitannya dan dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.22 Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.23 Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan metode pendekatan kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas pada angka persentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam 4 (empat) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan ini secara terperinci adalah sebagai berikut:
21 Ibid, halaman 38 22
Lexy J. Moeleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, halaman 103
BAB I : Pendahuluan yang berisikan memaparkan latar belakang penulisan
skripsi, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, yang mengemukakan berbagai defenisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberikan batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Menguraikan tentang pengertian alat bukti penyadapan dalam tindak
pidana korupsi. Bab ini secara khusus menguraikan istilah tindak pidana korupsi dan perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia berikut dengan sejarah pengaturannya dalam perundang-undangan di Indonesia. Bab ini juga memuat uraian unsure-unsur tindak pidana pidana korupsi yang terkait dengan kerugian uang Negara, alat bukti dalam tindak pidana korupsi dan penyadapan dalam tindak pidana korupsi.
BAB III : Menguraikan tentang kekuatan hukum alat bukti penyadapan dalam
tindak pidana korupsi dan penerapannya dalam peradilan. Bab ini secara khusus menguraikan tentang kedudukan alat bukti penyadapan dalam pembuktian di persidangan dan peran keterangn saksi ahli tentang alat bukti penyadapan didalam persidangan.