• Tidak ada hasil yang ditemukan

u. (1979) dan ascites (Arifin, 1989) tidak didapatkan pada penelitian ini.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "u. (1979) dan ascites (Arifin, 1989) tidak didapatkan pada penelitian ini."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN

1. Keadaan Umum Hewan

Pemeriksaan klinis pada semua domba yang diinfeksi oleh cacing

q.

Contor- menunjukkan kondisi tubuh kurus, lemah, bulu surarn dan kering (Gambar 16 dan 17). Keadaan

ini

lebih banyak didapatkan pada domba kelompok A dan B dan

dimulai pada rninggu keempat, sedangkan pada kelompok domba C dan D dimulai pada minggu keenam. Nafsu makan dari sebagian besar domba yang diinfeksi cacing

H.

contortus menunjukkan " up and down " artinya kadangkala baik nanti tidak bergairah. Pada inspeksi menunjukkan keadaan mata berair dan agak masuk ke dalam (celong); khususnya pada domba dengan kondisi tubuh jelek. Selaput lendir mulut dan konjungtifa dari kelompok yang diinokulasi larva pada umumnya menunjukkan kepucatan dengan berbagai derajat (Gambar 18 dan 19). Kepucatan pada kelompok A dan B lebih menonjol dari pada kelompok C dan D. Keadaan sangat anemis didapat pada domba no. 1, 2 dan 4 dari kelompok A. Adanya oedema dalarn bentuk anasarca dan " bottle jaw" seperti yang dikemukakan Blood

u.

(1979) dan ascites (Arifin, 1989) tidak didapatkan pada penelitian ini. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh jumlah cacing yang berinfeksi berbeda dimana pada penelitian ini jurnlahnya lebih sedikit.

Pemeriksaan turgor kulit pada semua domba yang diinfeksi cacing

a.

contortus berkisar antara sedang sampai jelek; hanya seekor yang memperlihatkan turgor kulit jelek sekali yaitu domba no. 4 dari kelompok A yang lainnya turgornya sedang. Suhu badan pada domba yang turgornya jelek berkisar antara 37,8 sarnpai 38,6"C sedangkan suhu badan pada kelompok kontrol berkisar antara 38,6 sampai 39,8"C. Nilai baku suhu badan pada domba yang sehat adalah 38,9 sampai 40°C (Kelly, 1974). Pengamatan adanya gejala diare (tinja lembek) pada semua domba yang diinfeksi w i n g didapatkan pada domba no. 1 dan no. 3 dari kelompok A dan no. 2 dari kelompokB menjelang rninggu kesembilan. Tinja berwarna

(2)
(3)
(4)

merah kehitamm. Keadaan tinja lembek tidak diketemukan sepanjang waktu tetapi tinja tersebut tidak berbentuk. Gejala ini menimbullcan bulu sekitar anus menjadi kotor.

Pengamatan respirasi pada domba yang menderita sangat anemis bertenden- si cepat, naik dan berkisar antara 28 sarnpai 42 per menit. Respirasi pada domba kelompok kontrol (E clan F) berkisar antara 20 sarnpai 28 per menit. Keadaan laju respirasi normal pada hewan sehat berkisar an- 20 sampai 30 per menit.

Pemeriksaan denyut nadi pada domba-domba yang menderita kepucatan menunjukkan kenaikan dan berkisar antara 84 sampai 120 per menit. Padahal denyut nadi normal pada hewan sehat adalah sekitar -70 sampai 90. Ini artinya ada tachycardia. Kenaikan respirasi clan denyut nadi pada kelompok domba yang diin- feksi cacing

11.

contortus ada kaitan dengan rendahnya nilai hemoglobin, entrosit dan hematokrit. Keadaan rendah nilai tersebut berarti kemampuan angkut oksigen di dalam peredaran darah untuk keperluan jaringan tubuh menjadi kurang. Kapasi-

tas hemoglobin yang berada di dalam eritrosit untuk mengikat oksigen (oxygen- binding-capacity) menjadi rendah. Akibatnya suplai oksigen ke jaringan tubuh menjadi berkurang sehingga manifestasi yang timbul adalah gejala cyanotis. Keadaan anemia dapat memacu jantung untuk berdenyut cepat dan keras yang menuntut kebutuhan energi meningkat. Karena kurangnya suplai oksigen, kebutu- han energi1ATP yang meningkat ini terpaksa harus dipenuhi, salah satunya adalah proses metabolisme anaerob. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi metabolit- metabolit yang umumnya bersifat asam (asam laktat, asam asetat) sehingga pH darah menurun dan hewan akan menderita acidosis. Sebagai akibatnya respirasi akan dipacu untuk meningkatkan pengikatan oksigen udara di dalarn proses respira- si. Keadaan acidosis tersebut ikut memacu kerja jantung. Gannong (1977) menya- takan bahwa keadaan hipoksia dapat meningkatkan sekresi prostaglandin yang pada gilirannya dapat berakibat meningkatnya laju respirasi.

Hubungan antara suhu badan dengan denyut nadi bersamaan dengan kea-

(5)

denyut nadi yang naik merupakan manifestasi dari kerja jantung yang meningkat

dan menyebabkan peredaran darah tubuh lebih cepat. Keadaan ini berdampak pada metabolisme tubuh yang merupakan sebab dari kenailcan suhu badan.

Mengacu pada hasil penelitian menunjukkan adanya suhu badan yang menurun pada hewan yang menderita anemia. Infeksi cacing pada penelitian ini dimulai dengan meningkatnya jumlah lekosit darah pada tiga minggu pertama sesudah inokulasi larva. Keadaan ini disebut sebagai proses peradangan akut pada awal infeksi larva kemudian dengan berkembangnya menjadi cacing dewasa proses peradangan berlanjut karena infeksi cacing yang kronis sehingga suhu badan menurun karena gangguan metabolisme pencemaan. Bersamaan dengan itu hewan dalam keadan menderita anemia, lemah dengan keadaan kondisi tubuh dan turgor kulit yang jelek. Keadaan diare (tinja lembek) terdapat pada domba dengan pro- duksi telur cacing yang tinggi; kemungkinannya adalah adanya gangguan pencer- naan dari infeksi cacing yang tinggi. Pemeriksaan makro pasca mati dilakukan sewaktu akan mengambil abomasum untuk penghitungan cacing

E.

contortus. Keadaan pasca mati dari tiap kelompok domba yang diinfeksi cacing bervariasi tergantung dari derajat infeksi cacing. Karkas mengalami kepucatan, kering (dehidratasi) dan tidak ada lemak subkutis (Gambar 20).

Lemak depo diomentum dan mesenterium tidak didapat. Ini menunjukkan bahwa kondisi tubuh hewan itu jelek. Organ hati dan limpa mengecil dan rapuh. Keadaan sumsum tulang berwarna kuning gelatinous; artinya tidak terjadi hemo- poesis (Gambar 21). Ini menunjukkan bahwa sumsum tulang mengalami kelelahan eritropoesis akibat perdarahan atau kehilangan darah yang kronis oleh hisapan cacing

E.

contortus. Pada pembukaan abomasum memperlihatkan isinya berwarna coklat kehitaman dan terlihat adanya cacing yang sedang melekat pada selaput lendir (Gambar 22).

Keadaan makro pasca mati ini me~pakan manifestasi dari aktivitas cacing selama berinfeksi serta gangguan pato-fisiologi yang terjadi.

(6)
(7)
(8)
(9)

2. Komponen Eritrosit, Hb dan Hematokrit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat infeksi cacing

q.

contortus, waktu selama penelitian serta interaksi antara keduanya berpengaruh sangat nyata (P

<

0,Ol) terhadap nilai hemoglobin, jumlah eritrosit dan nilai hematokrit (Lampiran 15). Ketiga parameter tersebut mengalami penurunan selama penelitian kecuali kelompok kontrol. Nilai baku normal dari ketiga parameter pada hewan domba sehat adalah 11,50 gram per desiliter untuk hemoglobin; 12,OO juta per milimeter kubik untuk eritrosit dan 30,OO persen untuk hematokrit (Schalm

d.,

1975)

Dari hasil penelitian ini didapatkan nilai rataan dari ketiga parameter terse- but berada dibawah nilai baku normal dari masing

-

masing parameter selama penelitian. Ini berarti bahwa pada infeksi acing

B.

contortus hewan domba men- galami anemia. Keadaan ini menunjang pengamatan klinis dimana selaput lendir mulut dan konjungtifa dari domba-domba yang diinfeksi mengalami kepucatan (anemia).

Pada mulanya anemia terjadi karena perdarahan akibat kerusakan selaput lendir lambung sewaktu migrasi larva infektif menuju abomasum. Kerusakan selaput lendir ini telah dibuktikan dari hasil studi Nicholls a

&.

,

1985 dengan menggunakan elektron mikroskop. Kerusakan dan perdarahan pada jaringan selaput lendir terjadi pada hari kedua sampai kesepuluh sesudah inokulasi larva. Fourie (1931) sejak awal sudah menyatakan bahwa perdarahan yang menyebabkan banyak kehilangan darah disebabkan oleh keja antikoagulan yang dikeluarkan dari

kelenjar yang terdapat di bagian kranial acing dan bukan disebabkan oleh sekresi hemolisin. Sebagai respon terhadap perdarahan akibat aktivitas larva tadi, tubuh diinduksi untuk meningkatkan aktivitas jaringan eritropoetik untuk mengatasi kekurangan darah. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa jumlah eritrosit, nilai hemoglobin dan hematokrit mengalami sedikit kenaikan pada minggu pertama. Kemudian menjelang rninggu kedua dan selanjutnya ketiga parameter ini mengala-

(10)

eter tersebut pada minggu kedua masih disebabkan oleh aktivitas larva pada selaput lendir abomasum. Larva infektif stadium ketiga setelah sampai di abomasum mengalami ekdisis menjadi larva stadium keempat yang mempunyai "buccal cap- sul". Melalui buccal capsul ini larva stadium keempat menghisap darah selaput lendir abomasum, sedangkan tetesan bekuan darah menyelaputinya. Larva stadium keempat merupakan cacing muda penghisap darah induk semang yang rakus. Setelah terpendam selama tiga hari didalam selaput lendir abomasum larva stadium keempat melakukan ekdisis terakhir menjadi larva stadium kelima yang kemudian kembali menghisap darah selaput lendir abomasum dan akhirnya menjadi cacing dewasa.

Hunter dan Mackenzie (1982) menyatakan bahwa larva stadium keempat terbentuk empat hari setelah infeksi, sedangkan larva stadium kelima terbentuk pada hari ketujuh sesudah infeksi. Cacing menjadi dewasa dalam abomasum sete- lah 18 hari. Perkembangan larva infektif menjadi cacing dewasa menimbulkan sejurnlah darah induk semang banyak yang hilang karena perdarahan clan hisapan- nya. Dengan menggunakan tehnik radio isotop Clark gt

d.,

(1962) mendapatkan setiap cacing dewasa akan menghisap darah induk semang sebanyak 0,05 mililiter per hari. Penurunan jumlah eritrosit, nilai hemoglobin dan hematokrit semakin berlanjutdan mencapai nilai terendah pada minggu keenam (Gambar 4, 5 dan 6)

sehingga anemia semakin persisten pada hewan domba. Derajat anemia antara kelompok A, B, C dan D berbeda selama penelitian. Pada inokulasi larva dosis tinggi yang diberikan sekaligus (A dan B) proses pendewasaan larva menjadi cacing dewasa akan berlangsung secara serentak sehingga infesksi cacing akan menjadi banyak selarna tidak terjadi kompetisi sesama larva sedangkan pada inoku- lasi larva dosis kecil yang diberikan setiap hari (C dan D) infeksi cacing akan terjadi secara kumulatif hasil dari pendewasaan larva infektif yang diinokulasi. Hunter dan Mackenzie (1982) dan Nicholls

a

&.

(1985) menyatakan bahwa pemberian dosis inokulasi yang tinggi menyebabkan kerusakan abomasum dan perdarahan dengan cepat terjadi pada hari kedua sampai kesepuluh disebabkan

(11)

karena aktivitas larva. Disamping itu pa& minggu ketiga cacing yang berinfestasi dari keempat kelompok percobaan (A, B, C dan D) mulai bertelur (Lampiran 12) sehingga kebutuhan makanan (darah) juga meningkat. Hisapan darah oleh cacing semakin meningkat, banyak dan berlangsung laten (Hunter dan Mackenzie,

1982).

Hal ini menimbulkan jumlah eritrosit, nilai hemoglobin dan hematokrit menurun drastis. Keadaan ini terjadi akibat adanya kelelahan eritropoesis karena tubuh kekurangan bahan baku pembentuk sel darah (Fe). Penurunan drastis jumlah eritrosit, nilai hemolgobin dan hematokrit sampai minggu keenam diikuti juga dengan produksi jumlah telur cacing diddam tinja

0

meningkat (Lampiran 12) dan kadar besi serum rendah (Lampiran 1 I), ini menunjukkan bahwa cacing dewasa sedang beraktivitas tinggi yaitu berproduksi telur sehingga menghisap darah

induk semang lebih banyak lagi. Inokulasi larva dosis kecil yang diberikan setiap hari akan menimbulkan efek yang bervariasi pada setiap hewan domba dan ini juga tergantung pada sifat genetik dari domba itu sendiri (Pradhan dan Johnstone, 1967). Christie

&.

(1978) menguatkan pernyataan ini dengan menginokulasi larva dosis tinggi. Pada penelitian ini digunakan domba ekor tipis yang sangat peka terhadap infeksi cacing

fif.

contortus sehingga resistensi genetik kurang berperan. Pemberian bubuk FeSO, pada kelompok percobaan B dan D selama penelitian menghasilkan pengaruh nyata (P

<

0,05) sehingga w a d i perbailcan jumlah eritrosit sedangkan untuk nilai' hemoglobin memberikan kontribusi 1 persen pada nilai hemoglobin dan 3,14 persen untuk nilai hematokrit apabila dibandingkan dengan nilai kelompok percobaan A dan C yang tidak diberi bubuk FeSO,. Pemberian bubuk FeSO, meningkatkan nilai ketiga parameter tersebut sehingga anemia &pat berkurang derajatnya karena zat besi sebagai bahan baku sel darah digunakan untuk en tropoesis

.

Selain itu Scott

A.

(1971) menyatakan bahwa pemberian zat besi dapat memberikan resistensi tubuh lebih awal terhadap infeksi cacing. Zat besi mempunyai peranan penting didalam pertahanan tubuh. Kekurangan zat besi

(12)

dapat menekan mekanisme pertahanan tubuh. Hal ini telah dibuktikan melalui hewan percobaan tikus yang menderita anemia besi yang diinokulasi larva N~DDOS-

.

tron~ylus brasiliensis (Bolin

d.,

1977). Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian FeSO, memberikan pengaruh sangat nyata pada nilai eritrosit (P

<

0,05) dan memberikan kontribusi pada nilai hemoglobin dan nilai hematokrit (Lampiran 15). Rataan jumlah eritrosit, nilai hemoglobin dan hematokrit pada kelompok B dan D berada diatas rataan kelompok A dan C tetapi masih dibawah nilai kelompok kontrol dan nilai baku normal (Lampiran 1, 2 dan 3).

Pada analisa profil dari masing-masing parameter menunjukkan bahwa eritrosit berpola tidak sejajar dan tidak berhimpit. Ketidak sejajaran ini disebabkan oleh respon kontrol (Gambar 5). Profil kelompok A dan B berpola tidak berhimpit dan sejajar sedangkan profil kelompok C dan D serta E dan F berpola berhimpit dan sejajar. Analisa profil untuk hemoglobin berpola tidak sejajar dan tidak berhimpit (Gambar 4). Ketidak sejajaran ini disebabkan oleh kelompok A dan B yang tidak sejajar dan tidak berhimpit sedangkan lainnya berpola sejajar dan berhimpit. Analisa profil hematokrit berpola tidak sejajar dan tidak berhimpit (Garnbar 6). Ketidak sejajaran ini disebabkan kelompok kontrol. Untuk kelompok

A dan B berpola tidak sejajar dan tidak berhimpit sedangkan C dan D dan kontrol berpola sejajar dan berhimpit. Usaha tubuh untuk menaikkan ketiga parameter dimulai sesudah minggu keenam. Hal ini disebabkan karena tubuh sudah dapat mengantisipasi adanya infeksi cacing dan pemberian bubuk FeSO, selarna peneli- tian dapat digunakan sebagai suplai zat besi untuk eritropoesis. Disamping itu pemberian FeS 0, dapat meningkatkan resistensi tubuh sehingga j umlah cacing yang berinfeksi jumlahnya berkurang (Tabel 9). Hal ini diperlihatkan dengan produksi telur mulai menurun. Berkurangnya jumlah cacing yang berinfeksi dapat juga disebabkan karena faktor umur dimana hewan diakhir percobaan menjadi dewasa. Pada jumlah cacing yang berinfeksi demikian banyak di dalam abomasum dapat terjadi saling berkompetisi sesama cacing untuk hidup. Dengan berkurangnya jumlah cacing yang berinfeksi produksi telur cacing menurun. Penurunan jumlah

(13)

infeksi cacing dapat disebabkan oleh kompetisi sesamanya akibat jumlah cacing yang terlampau banyak didalam abomasum pada kelompok percobaan dosis tinggi (A dan B). Sedangkan pada kelompok percobaan dosis rendah yang diberikan setiap hari (C dan D) penurunan jumlah infestasi cacing terjadi karena proses "self- cure" (Stewart, 1950). Proses ini ditandai dengan penurunan sementara produksi telur cacing pada minggu keenam dan ditandai dengan kenaikan dari jumlah eritros- it, nilai hemoglobin dan hematokrit (Lampiran 1, 2 dan 3)

3. Jumlah Lekosit

Perubahan jumlah lekosit pada semua percobaan sesudah inokulasi larva H. contortus sangat bervariasi (Lampiran 4).

-

Analisa profil menunjukkan bahwa jumlah lekosit dari keenam kelompok percobaan berpola sejajar, tidak berhimpit dan berfluktuasi (Gambar 7). Pola berhimpit diperlihatkan untuk kelompok yang diinokulasi larva. Pola tidak ber- himpit disebabkan oleh kelompok kontrol. Keadaan ini disebabkan oleh faktor derajat infeksi cacing dan resistensi dari individu domba. Kenailcan jurnlah lekosit bermula pada tiga rninggu pertarna sesudah inokulasi larva. Ini merupakan reaksi sistim pertahanan tubuh atas terjadinya peradangan oleh migrasi larva dan aktivitas cacing dewasa. Peradangan yang berlangsung kronis selama ada infeksi cacing menimbulkan penurunan jumlah lekosit sampai minggu keenam. Gordon (1967) mengatakan bahwa pada peradangan yang kronis, hewan akan mengalami stres sehingga semua sistim pertahanan tubuh menurun. Dimulai dari minggu keenam jumlah lekosit menaik; ini disebabkan karena adanya usaha dari tubuh untuk mengatasi stres tadi dan juga aktivitas cacing didalam abomasum menurun. Hal ini dapat dilihat dari produksi telur menurun pada minggu keenam. Narnpaknya resis- tensi tubuh juga dimulai pada minggu keenam. Pada phase ini dapat dilihat bahwa jumlah eritrosit, nilai hemoglobin dan hematokrit naik sedangkan produksi telur menurun dan jumlah lekosit berangsur

-

angsur menaik. Pengaruh infeksi cacing H. contortus terhadap jumlah lekosit dan waktu selama penelitian tidak berpenga-

(14)

ruh nyata. Pada pemeriksaan histologi di daerah fundus abomasum pada domba yang diinokulasi larva cacing

E.

contortus diketemukan banyak lekosit (Christie

d.,

1978). Peradangan yang terjadi pada semua percobaan tidak sama. Derajat infeksi cacing tidak memberikan perbedaan nyata pada jumlah lekosit.

Pemberian bubuk FeSO, pada percobaan B dan D tidak memberikan penga-

ruh pada jumlah lekosit. Lekosit merupakan unit mobil sistim pertahanan tubuh yang dibentuk pada jaringan limfe dan sumsum tulang dengan daya kerja phagosi- tosis.

4. Diferensiasi Lekosit 4.1

.

Persentase limfosit

Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh infeksi cacing

H.

contor- tus berpengaruh sangat nyata (P

<

0,Ol) terhadap persentase limfosit (Lampiran

-

15). Limfosit mengalami penurunan selama penelitian pada semua kelompok percobaan yang diinokulasi larva (A, B, C dan D) kecuali kontrol (Lampiran 8). Responnya sangat bervariasi karena resistensi domba dari setiap percobaan tidak sama. Analisa profil menunjukkan respon limfosit berpola tidak sejajar, tidak berhimpit dan berfluktuasi (Gambar 8). Ketidak sejajaran ini disebabkan oleh karena respon kontrol. Pola kelompok A dan B, C dan D dan kontrol masing- masing berpola sejajar dan berhimpit. Pada infeksi cacing yang kronis akan menimbulkan peradangk kronis pada selaput lendir abomasum sehingga menim- bulkan turunnya sistim pertahanan tubuh. Persentase limfosit akhirnya menurun selama penelitian. Limfosit merupakan bagian dari sistim pertahanan tubuh dengan salah satu fungsinya adalah menyerang dan menghancurkan agen penyakit.

Pemberian bubuk FeSO, pada percobaan B dan D tidak memberikan penga- ruh nyata terhadap persentase limfosit.

(15)

4.2. Persentase netrofil

Respon netrofd terhadap infeksi cacing

a.

contortus berlawanan respon limfosit dari hasil penelitian ini. Persentase netrofil mengalami kenaikan selama penelitian pada kelompok domba yang diinokulasi larva (A, B,

C

dan D). Pada uji sidik ragam infeksi acing memberikan pengaruh sangat nyata (P

<

0,Ol) terha- dap persentase netrofil. Analisa profil menunjukkan bahwa keenam kelompok percobaan berpola tidak sejajar, tidak berhimpit dan berfluktuasi (Gambar 9). Ketidak sejajaran ini disebabkan oleh respon kontrol yang berpola sejajar dan berhimpit. Kelompok A dan B serta C dan D berpola tidak sejajar dan tidak berhimpit. Netrofil merupakan sistim pertahanan tubuh pertarna terhadap adanya peradangan dan fungsi utamanya adalah phagositosis. Sel ini akan diproduksi dalam jurnlah banyak bila ada induksi pada sumsum tulang. Pada phase pertama netrofil dikeluarkan dari cadangan lekosit dan selanjutnya akan diproduksi dalam jumlah banyak dan kemudian akan terus dibentuk selama ada induksi berupa proses pera- dangan. Jumlah netrofil yang naik pada penelitian ini disebabkan oleh infeksi cacing yang kronis. Respon netrofil dari kelompok yang diinokulasi larva tidak sarna karena derajat infeksi acing yang berbeda. Respon netrofd pada kelompok

A menunjukkan penurunan pada minggu pertama kemudian naik cepat bersama kelompok lainnya. Hal ini terjadi karena pada waktu migrasi larva terjadi mobilisa- si netrofil di tempat peradangan sehingga jumlah netrofil dalam sirkulasi darah menurun. Keadaan ini juga ditunjang oleh resistensi dari tiap

-

tiap domba perco- baan. Karena induksi sumsum tulang memproduksi netrofil sehingga jumlahnya dalarn sirkulasi darah meningkat. Pemberian bubuk FeSO, tidak memberi pengaruh nyata terhadap persentase netrofil pada penelitian ini.

(16)

4.3. Persentase eosinofil

Respon eosinofil terhadap infeksi cacing

H.

contortus selama penelitian tidak berpengaruh nyata selama infeksi cacing tetapi memberi kontribusi pada jumlah eosinofil. Eosinofil mengalami kenaikan pada keempat kelompok yang diinokulasi larva (A, B, C

dan

D) kecuali kelompok kontrol (E dan F). Persentase kenaikan yang tinggi terjadi pada kelompok A dan B. Ini disebabkan karena dosis larva yang diinokulasi sangat tinggi. Seperti diketahui bahwa peningkatan persen- tase eosinofil terjadi segera setelah diinokulasi yaitu sampai hari ketujuh. Dan selanjutnya kenaikan menjadi lebih tajam lagi. Fungsi pokok eosinofil adalah melindungi tubuh terhadap infeksi umum yaitu dengan mendetoksikasi protein sebelum menimbulkan kerusakan pada jaringan tubuh. Eosinofil juga dapat menga- dakan migrasi kedalam bekuan darah. Migrasi eosinofil dirangsang oleh faktor hemotaktik yang dikeluarkan oleh antigen-antibodi komplek. Puncak tertinggi persentase eosinofil terjadi pada minggu ketiga dan keempat. Peningkatan ini dimulai dari saat perkemba- ngan larva infektif menjadi larva stadium keempat, stadium kelima dan cacing dewasa. Eosinofil dapat mngeluarkan enzim dan pros- taglandin (Waklin, 1978) yang dapat merubah suasana lingkungan abomasum yang tidak disenangi oleh cacing. Pemberian bubuk FeSO, pada kelompok B dan D tidak memberi pengaruh yang nyata tetapi memberi pengaruh terhadap jumlah cacing yang berinfeksi sehingga memberi pengaruh juga terhadap jurnlah eosinofil.

Analisa profil d& keenam kelompok percobaan menunjukkan pola sejajar dan berhimpit (Gambar 10). Pada kelompok A berpola tidak sejajar dengan kelompok kontrol. Respon eosinofil terhadap kelompok yang diinokulasi dosis tinggi (A) jumlahnya berada lebih tinggi dari kelompok laimya.

(17)

4.4. Persentase monosit

Monosit merupakan pertahanan tubuh pertama terhadap suatu peradangan .=perti komponen diferensiasi lekosit lainnya. Monosit mengalami rnigrasi karena komplemen yang terdapat di tempat peradangan. Pada infeksi cacing

H.

contortus persentase monosit mengalami penurunan (Lampiran 9). Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa infeksi cacing berpengaruh nyata (P

<

0,05) terhadap persentase monosit (Lampiran 15). Profd dari respon monosit dari keenam kelom- pok percobaan menunj ukkan pola sejajar, tidak berhimpit dan sangat berfluktuasi (Gambar 11). Pola sejajar dan berhimpit ini terjadi antara kelompok A dan B, C dan D

dan

kontrol. Pada kelompok yang diinokulasi dosis tinggi (A

dan

B) berpola .

sejajar dan tidak berhimpit dengan kelompok kontrol demikian juga antara kelom- pok yang diinokulasi dosis rendah (C dan D) dengan kontrol. Penurunan tajam persentase monosit terjadi pada kelompok yang diinokulasi dosis tinggi (A

dan

B) sedangkan penurunan persentase monosit pada kelompok yang diinokulasi dosis rendah berlangsung lambat. Keadaan ini disebabkan karena jumlah cacing yang berinfeksi berbeda.

Pemberian bubuk FeS 0, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persen- tase monosit selama penelitian tetapi memberi kontribusi berkurangnya jumlah cacing yang berinfeksi (Tabel 4) sehingga memberi pengaruh terhadap respon monosit.

4.5. Persentase basofd

Pemeriksaan darah pada domba

-

domba yang diinokulasi larva maupun kontrol diketemukan jarang sekali adanya basofil. Ini disebabkan mungkin pada infeksi cacing tidak menimbulkan pengaruh terhadap basofil. Hasil penelitian ini juga mempertegas apa yang dihasilkan dari penelitian sebelumnya (Arifin, 1982).

(18)

5 . Jumlah retikulosit

Retikulosit tidak didapatkan pada domba sehat (Schalm et al. 1975). Retiku- losit adalah eritrosit muda yang dikeluarkan sumsum tulang ke peredaran darah sebagai respon tubuh terhadap kehilangan darah yang banyak. Sejumlah retikulosit yang dimonitor pada setiap domba selama pengamatan menunjukkan bahwa tingkat eritropoesis yang terjadi tidak sama pada setiap domba sesudah diinokulasi larva

H.

contortus. Pada inokulasi larva menimbulkan infeksi sejumlah cacing dewasa yang berbeda di dalam abomasum domba. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa infeksi acing

H.

contortus berpengaruh sangat nyata (P

<

0,Ol) terhadap jumlah retikulosit baik untuk kelompok yang diinokulasi 5000 larva maupun yang diinokulasi 100 larva (Lampiran 15). Sejumlah cacing ini menghisap darah secara akut dan kronis sehingga tubuh kehilangan darah yang berat. Untuk mengimbangi ini tubuh melakukan eritropoesis secara besar

-

besaran sehingga sejumlah eritrosit muda (retikulosit) yang diproduksi di dalam sumsum tulang segera dikeluarkan dan masuk kedalam peredaran darah. Pada kelompok percobaan A dan B jumlah retiku- losit meningkat tajam dimulai pada minggu kedua dan pada kelompok C dan D

dimulai pada minggu ketiga (Gambar 12). Jumlah retikulosit pada kelompok A dan B berada lebih banyak daripada kelompok C dan D. Perbedaan ini disebabkan karena derajat anemia dari tiap-tiap kelompok percobaan. Pada kelompok A dan

B jumlah acing yang berinfestasi lebih tinggi dari kelompok C dan D m b e l 9). Jumlah retikulosit berada didalam p e r e d m darah lebih singkat. ini berarti bahwa tubuh dapat menanggula- ngi kehilangan darah ini secara cepat dan dengan segera melakukan eritropoeisis, karena simpanan zat besi tubuh cukup sehingga kehilan- gan eritrosit dapat segera dipenuhi. Jumlah retikulosit pada semua kelompok percobaan menurun kembali pada minggu keenam. Schnappau et al. (1967) menya- takan bahwa hilangnya retikulosit dari peredaran darah menunjukkan bahwa eritro- p s i s mulai berkurang. Sheriff dan Habel (1976) mendapatkan jurnlah retikulosit sekitar 1,7 persen pada hemonchosis berat sedangkan pada hemonchosis yang moderat tidak diketemukan retikulosit. Kenaikan jumlah retikulosit juga didapatkan

(19)

pada domba-domba yang menderita hemonchosis dilapangan karena kehilangan darah terjadi secara lcronis (Anosa, 1977). Berdasarkan pengamatan dari percobaan ini didapatkan jumlah retikulosit meningkat sampai minggu keenam sesudah itu menurun kembali ke nilai kontrol. Ini berarti bahwa tubuh dapat mengantisipasi terhadap kekurangan darah dengan memobilisasi eritropoesis. Keadaan yang berbe- da dari jumlah retikulosit yang diamati dipengaruhi oleh berbagai faktor rnisalnya umur domba yang digunakan, tingkat kekebalan dari tiap domba dan derajat perda- rahan yang terjadi. Umur domba sekitar 6-7 bulan yang digunakan pada percobaan .ini barangkali sudah cukup kebal terhadap infeksi cacing

H.

contortus karena sudah mendapatkan pengalaman infeksi sebelumnya. Faktor lainnya adalah terja- dinya kerusakan dan kematian larva karena dosis inokulasi yang cukup besar (5000

larva) sehingga memberikan jumlah infeksi yang berbeda pada setiap domba. Keadaan ini menyebabkan derajat kehilangan darah yang berbeda sehingga eritro- p s i s yang terjadi juga berbeda derajatnya. Sebagai kesimpulan adalah retikulosi- tosis pada domba berbeda tergantung dari seberapa banyak darah yang hilang dari tubuh domba akibat infeksi cacing dewasa.

Kontribusi pemberian FeSO, ini memberikan pengaruh nyata (P

<

0,05) pada kelompok B sedangkan untuk kelompok D hanya memberikan kontribusi

1,39 persen.

Analisa profil retikulosit dari keenam kelompok percobaan berpola tidak sejajar dan tidak berhimpit. (Gambar 12). Ketidak sejajaran ini disebabkan karena pola kelompok kontrol yang sejajar dan berhimpit. Antarakelompok A dan B berpola tidak sejajar dan tidak berhimpit sedangkan antara kelompok C dan D berpola sejajar dan tidak berhimpit. Pola retikulosit ini menunjukkan reaksi tubuh terhadap perdarahan yang ditimbulkan oleh infeksi cacing dengan antisipasinya terdapatnya retikulosit di dalam peredaran darah.

(20)

6. Kadar besi serum

Pada infeksi cacing H. contortus hail dari inokulasi larva (A, B, C, D dan E) memberikan pengaruh sangat nyata (P

<

0,Ol) pada penurunan kadar besi serum selama percobaan (Lampiran 15). Penurunan kadar besi serum dimulai menjelang minggu ketiga sesudah diinokulasi sesudah itu terjadi penurunan tajarn. Kadar besi serum pada semua kelompok percobaan berada dibawah nilai kontrol kemudian berusaha naik menjelang minggu kesembilan. Penurunan kadar besi serum merupakan manifestasi dari keadaan anemia yang kronis akibat infeksi cacing dewasa. Keadaan ini diikuti oleh penurunan nilai hemoglobin, jumlah eri- trosit dan nilai hematokrit. Walaupun usaha tubuh untuk mengantisipasi keadaan anemia karena infeksi cacing dengan melakukan eritropoesis nampaknya kadar besi serum tetap berada dibawah nilai normal. Keadaan ini dikemukakan oleh Dargie dan Allonby (1975) yang menyebutnya masuk dalam phase ketiga pada keadaan anemia yang disebabkan oleh

H.

contortus. Simultan dengan kenaikan jumlah eritrosit, nilai hemolgobin dan hematokrit seharusnya kadar besi serum juga menaik sesudah minggu keenam. Pada penelitian ini kadar besi serum tetap menu- run karena perdarahan tetap berlanjut setelah larva menjadi cacing muda. Hunter dan Mackenzie (1982) mendapatkan larva infektif dan cacing muda sebagai penghi- sap darah induk semang yang rakus. Derajat anemia kemudian ditentukan oleh jumlah infeksi cacing didalam abomasum.

Analisa profil menunjukkan bahwa kadar besi serum berpola tidak sejajar dan berhimpit (Gambar 13). Ketidak sejajaran ini disebabkan karena kelompok kontrol. Pola antara kelompok A dan B; pola antara C dan D berhimpit. Pola antara kelompok kontrol

(E

dan F) juga berhimpit, tetapi tidak sejajar dengan pola yang diinokulasi larva. Kadar besi serum mencapai nilai terendah 126,66 untuk percobaan A, 119,43 untuk percobaan B, 127,OO untuk percobaan C dan 133,OO mikrogram per 100 mililter untuk percobaan D. Perbedaan ini menunjukkan jumlah infeksi cacing yang berbeda. Ada usaha tubuh untuk meningkatkan kadar besi serum menjelang minggu kesembilan. Keadaan ini juga diperlihatkan pada nilai

(21)

hemoglobin, jurnlah eritrosit dan nilai hematokrit dimulai pada minggu keenarn. Barger

&.

(1985) menyatakan bahwa menjelang rninggu keenam infeksi cacing dewasa mencapai puncaknya sehingga kehilangan darah induk semang berlanjut dan anemia berlangsung kronis (Dargie dan Allonby, 1975). Self-cure terjadi pada dosis inokulasi yang diberikan terus menerus sehingga sebagian dari jumlah cacing dewasa dikeluarkan. Dari hasil percobaan ini, self-cure diperlihatkan dari produksi telur cacing yang menurun pada minggu keenam (Gambar 13). Penurunan kadar besi serum selama penelitian menunjang hasil percobaan Albers dan LeJambre (1983). Penurunan kadar besi serum terjadi juga pada hewan kamb- ing yang menderita haemonchosis (Mahinta dan Roychoudhory, 1978). Penelitian ini juga menunjang hasil penelitian Dargie dan Allonby dimana kadar besi serum masih berada dibawah nilai baku normal sesudah tiga minggu pertarna sejak diino- kulasi. Semua bersepakat bahwa pada infeksi cacing

H.

contortus yang kronis menimbulkan penurunan kadar besi serum. Whitlock (1950) mengidentifikasi anemia pada haemonchosis sebagai "anemia defisiensi zat besi". Setelah mengalami penurunan selama 6 minggu kemudian kadar besi serum menaik ke nilai kontrol mulai dari minggu ketujuh dan seterusnya. Kenaikan ini diikuti juga oleh nilai hemoglobin, j umlah eritrosit dan nilai hematokrit. Ini menunj ukkan bahwa eritro- poesis bangkit kembali. Kebangkitan eritropoesis ini terjadi setelah ada mobilisasi cadangan besi tubuh berupa ferritin atau hemosiderin didalam hati, limpa dan sumsum tulang. Hasil &ngamatan Charleston (1964) mendapatkan jaringan eritroid membesar dan menyebar didalam sumsum tulang. Bahkan Adam (1981) menda- patkan sel eritroid meningkat empat kali dari biasanya.

Kadar besi serum pada kelompok percobaan yang diberi bubuk FeSO, (B dan D) berada sedikit diatas kelompok yang tidak diberi FeSO, walaupun secara statistik pemberian bubuk FeSO, tidak berpengaruh nyata (Lampiran 15) tetapi memberikan kontribusi kenaikan 2,33 persen pada kelompok B dan 0,66 persen terhadap kelompok D. Rendahnya kadar besi serum menunjukkan bahwa hewan menderita anemia kurang besi.

(22)

7. Jumlah telur cacing

Pemeriksaan jumlah telur cacing setiap minggu pada semua kelompok percobaan menghasilkan bahwa telur cacing baru dapat dimonitor pada minggu ketiga sesudah inokulasi larva kecuali kelompok kontrol. Ini disebabkan karena larva infektif

H.

contortus akan menjadi cacing dewasa didalam abomasum dalam kurun waktu 18 hari setelah diinokulasi.

Berdasarkan analisa profil menunjukkan bahwa produksi telur cacing pada keenam kelompok percobaan berpola tidak sejajar, tidak berhimpit dan berfluktua- si (Garnbar 14). Ketidak sejajaran pola ini disebabkan oleh pola kelompok kontrol yang tidak berproduksi telur karena tidak diinokulasi larva. Respon produksi telur cacing pada kelompok percobaan dengan dosis inokulasi tinggi yang sarna (A

dan B) menujukkan berpola sejajar dan berhimpit serta berfluktuasi dernikian juga antara kelompok percobaan C dan D. Ini disebabkan pada derajat inokulasi yang sama serta pemberian bubuk FeSO, berpengaruh sangat nyata (P

<

0,Ol). Pro- duksi telur pada kelompok percobaan A dan B berada lebih tinggi dari pada kelom- pok percobaan C dan D. Produksi telur mencapai titik maksimal pada minggu keenam pada semua kelompok percobaan yang diinokulasi larva (A, B, C dan D). Ini berarti bahwa cacing dewasa pada keempat kelompok percobaan tersebut berada pada produksi telur yang tinggi pada minggu keenam. Jumlah infeksi cacing pada keempat kelompok percobaan tersebut sudah mulai mantap khususnya pada inoku- lasi yang diberikan setiap hari. Barger

a

&.

(1985) menyatakan bahwa jumlah cacing dewasa akan mencapai maksimal minggu keenam sampai kesembilan pada inokulasi larva yang diberikan berulang.

Rataan jurnlah cacing pada kelompok percobaan A dan B berada lebih besar dari kelompok percobaan C dan D (7hbel 9). Penurunan sementara produksi telur pada minggu ketujuh menunjukkan te rjadinya self-cure. Kejadian ini merupakan bagian dari ketahanan tubuh terhadap infeksi yang datang berulang-ulang. Terjadi- nya self-cure pada penelitian ini menegaskan pernyataan Stoll (1929) yaitu pada inokulasi larva yang diberikan terus menerus akan terjadi penurunan sementara

(23)

produksi telur dan pengeluaran sebahagian cacing dewasa. Penurunan produksi telur acing ini mempunyai korelasi dengan kenaikan nilai hematokrit seperti yang dihasilkan dari percobaan terdahulu (Christie gt

d.,

1978; Altaif a

d.,

1980). Pada

penelitian ini penurunan produksi telur pada minggu keenam diikuti dengan kenai- kan nilai hemoglobin, jumlah eritrosit dan nilai hematokrit. Gordon (1967) menya- takan bahwa self-cure merupakan bagian dari proses kekebalan tubuh terhadap induksi larva yang diberikan terus menerus clan ditandai penurunan produksi telur acing. Ini berarti bahwa kekebalan tubuh mulai berkembang pada minggu keenam. Pemberian bubuk FeSO, berpengaruh sangat nyata . (P

<

0,O 1) terhadap produksi telur cacing (Lampiran 4). pehgaruh ini &bat dari jumlah cacing yang berinfeksi pada kelompok yang diberi bubuk FeSO, jumlahnya lebih sedikit @be1 4). Telur acing yang dimonitor tiap minggu jumlahnya sangat bervariasi dari tiap kelompok percobaan kecuali kontrol. Ini disebabkan karena pada inokulasi dosis tinggi jumlah infestasi cacing yang menjadi dewasa serentak sedangkan pada infeksi yang diberikan setiap hari jumlah cacing yang berinfeksi hasil dari kumulatif. Perbedaan produksi telur cacing ini dapat juga disebabkan karena perkembangan kekebalan tubuh dari tiap domba bervariasi; ada kelompok yang "responder" terha- dap pembentukan kekebalan pada inokulasi dosis tinggi maupun dosis rendah (Dineen

A.

1978). Selain itu pada infeksi berat terjadi self-cure (Allonby dan Urquhart, 1973).

8. Berat badan

Gambar 15 menunjukkan kenaikan berat badan pada kelompok percobaan yang diinokulasi larva dosis tinggi (A dan B) lambat daripada kelompok percobaan yng diinokulasi dosis rendah (C dan D) dan dimulai menjelang minggu ketiga. Kelambatan ini disebabkan oleh kerusakan dan peradangan mukosa abomasum akibat aktivitas sejumlah larva yang tinggi. Peradangan dan kerusakan abomasum menimbulkan absorpsi makanan terganggu. Selain tersebut diatas, perdarahan dapat mengganggu pencernaan (Nicholls

A.

1985). Perbedaan kelambatan kenaikan

(24)

berat badan juga disebabkan karena jumlah infeksi cacing yang berbeda ('Ihbel 4). Derajat infeksi ini menganggu metabolisme pencernaan induk semang seperti absorpsi kalsium, phosfor dan protein (Blood

d.

1989). Cairan abomasum berubah dari asam menjadi basa dan kadar pepsinogin plasma naik (Coop, 1971). Perubahan histo-patologi pada abomasum terjadi 25 hari sesudah infeksi (Charles- ton, 1965; Hunter dan Mckenzie, 1982). Kelambatan berat badan berlangung sampai minggu keenam pada kelompok inokulasi dosis tinggi (A clan B) sesudah itu berat badan naik kembali (Gambar 14). Ini berarti bahwa infeksi cacing di dalam abomasum sudah stabil dan tubuh hewan sudah mengadaptasi terhadap infeksi cacing tersebut karena terjadinya resistensi tubuh. Beban tubuh terhadap infeksi cacing menjadi berkurang. Metabolisme pencernaan kembali lancar sehingga tubuh mulai mendapatkan kenaikan berat badan.

Analisa proN berat badan dari keenam kelompok percobaan menunjukkan pola tidak sejajar dan berhimpit (Gambar 15). Ketidak sejajaran ini disebabkan karena kelompok A. Profil berat badan untuk kelompok A dan B sejajar dan berhimpit, demikian juga untuk profil kelompok C dan D, dan kelompok kontrol E dan F. infeksi cacing

a.

contortus baru memberikan pengaruh nyata (P

<

0,05) pada minggu ketujuh, kedelapan dan kesembilan. Ini berarti bahwa gang- guan metabolisme pencernaan tubuh domba mencapai maksimal menyebabkan absorbsi makanan oleh induk semang terganggu sehingga kenaikan berat badan menjadi lambat. ~ e r a j a t gangguan metabolisme pencernaan ini tergantung dari jumlah infeksi cacing di dalam abomasum dari masing-masing kelompok percobaan

@be1 10).

Pemberian bubuk FeSO, walaupun tidak berpengaruh nyata terhadap berat badan tetapi memberi kontribusi kenaikan berat badan. Kenaikan berat badan pada kelompok percobaan diinokulasi larva, berada dibawah kelompok kontrol. Pada infeksi cacing yang tinggi menyebabkan induk semang kekurangan zat hara. Kekurangan zat hara berlangsung lama karena infeksi cacing berjalan kronis se- hingga pertambahan berat badan menjadi lambat.

(25)

9. Jumlah cacing dewasa

Rataan hasil jurnlah cacing dewasa pada kelompok perbobaan yang diinoku- l p i larva tercantum pada Xibe1 10. Perbedaan jumlah cacing ini disebabkan karena derajat inokulasi larva yang berbeda. Pada kelompok yang diinokulasi 5000 larva sekali pemberian jumlah cacing dewasa berada lebih banyak dari pada kelompok yang diinokulasi 100 larva setiap hari. Perbedaan jumlah cacing ini disebabkan karena pada inokulasi dosis tinggi yang diberikan sekaligus akan menghasilkm jumlah infeksi cacing dewasa dalam waktu yang bersamaan. Walaupun disini kompetisi untuk hidup sesama larva sewaktu diinokulasi atau kompetisi sesama cacing dewasa untuk hidup dalam jumlah infestasi yang besar dalam tubuh domba terjadi. Jumlah cacing pada kelompok yang diinokulasi dosis rendah setiap hari tercapai secara kumulatif. Di dalam perjala- nannya untuk mencapai sejumlah cacing yang berinfestasi di dalam tubuh domba sering diganggu oleh adanya self- cure, resistensi tubuh induk semang clan sifat genetik dari hewan itu sendiri. Pada kelompok kontrol (E dan F) tidak diketemukan adanya infeksi cacing. Ini menun- jukkan bahwa selama penelitian tidak terjadi infeksi larva.

Pemberian bubuk FeSO, memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah cacing (P

<

0,05). Rataan jumlah cacing dewasa pada kelompok A adalah 970

+

86 berarti 19,40 persen dari jumlah larva yang diinokulasi sedangkan pada kelom- pok B jumlah cacing dewasa adalah 826

+

139 berarti 16,56 persen dari jumlah larva yang diinokulasi. Rataan jumlah cacing dewasa pada kelompok C adalah 629

+

149 berarti 12,58 persen dari jumlah larva yang diinokulasi sedangkan pada

-

kelompok D jumlah cacing dewasa 522

+

47 berarti 10,44 persen dari jumlah larva yang diinokulasi. Perbedaan ini disebabkan karena dosis pemberian larva, FeSO,, resistensi dan sifat genetik dari tiap

-

tiap domba itu sendiri. Resistensi akan terjadi lebih banyak pada multiinfeksi daripada sekali infeksi (Luffau et al. 1981). Sehingga jumlah cacing akan dihasilkan sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah larva yang diinokulasi.

(26)

Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan larva setelah diinokulasi kedalam lambung domba adalah :

Faktor pertama, respon kekebalan pada infestasi cacing dapat terbentuk dengan mobilisasi pertahanan seluler dan humoral. Smith (1977a) menyatakan bahwa domba menjadi kebal setelah hiperinfeksi cacing

H.

contortus. Pada kesempatan lain Smith (197%) juga mendapatkan immunoglobulin (Ig)

G

di dalam serum dan mukosa abomasum sebagai reaksi kekebalan terhadap antigen larva yang disuntik kedalam tubuh domba. Reaksi kekebalan juga dihasilkan Smith dan Christie (1978) dengan me1,hkan vaksinasi dengan larva yang diradiasi. Disini terjadi peningkatan kosentrasi Ig A, Ig G didalam serum dan mukosa abomasum. Konsentrasi I g A terdapat lebih banyak didalam mukosa dari pada dalam serum. Kedua antibodi ini adalah sangat spesifik terhadap antigen larva stadium ketiga dan keempat. Hasil pengamatan Salman dan Duncan (1984) juga didapat peningkatan jumlah sel mast, lekodit, eosinophil dan Ig A didalam mukosa lokal abomasum. Kesimpulannya adalah Ig A diproduksi lokal didalam mukosa dan Ig G yang ada di mukosa beras- al dari sirkulasi darah. Kedua antibodi ini sangat penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi H. contortus.

Faktor kedua, terjadinya self-cure pada infeksi berat (5000 larva) seperti dihasil-

kan

terdahulu (Dargie dan Allonby, 1975; Adam, 1983). Self-cure disini adalah suatu reaksi sensitivitas didalam mukosa abomasum yang digerakan oleh zat an- tigenik yang dihasilkan sewaktu larva berekdisis (Stewart, 1953; Soulsby dan Stewart 1960). Self-cure ini dhrakteristik dengan penurunan sementara

TKX

dan keluarnya sejumlah cacing dewasa dari tubuh domba. Pada kejadian self-cure dijumpai kadar histamin darah meningkat, sedangkan eosinofil berakumulasi diseki- tar Ig E yang dirangsang oleh reaksi anafilaksis (Soulsby, 1971). Diduga acing ini juga dapat menyebabkan keluarnya faktor kemotaktik seperti histamin, sehingga merangsang eosinofil bergerak menuju tempat infeksi. Wakelin (1978) melaporkan bahwa eosinofd bergerak mengeluarkan enzim dan prostaglandin. Prostaglandin ini bekerja secara lokal dengan merusak cacing dan membuat lingkungan yang tidak

(27)

disenangi sehingga terjadi pengeluaran cacing dari tubuh domba. Waller a

a.

(1979) serta Eysker (1979) menemukan benda kristal berbentuk tongkat dalam sel usus larva yang pertumbuhannya terhambat. Adanya benda laistal ini menunjukkan bahwa larva infektif gaga1 untuk berkembang menjadi acing dewasa.

Faktor keti~a, kegagalan larva infektif itu sendiri karena terlalu cepatnya sampai diabomasum. Pada infeksi dilapangan larva masuk kedalam pencernaan bersama makanan rumput, kemudian melalui beberapa proses sarnpai diabomasum. Dalarn percobaan ini larva dimasukkan kedalam kerongkongan domba melalui selang plas- tik selanjutnya didorong dengan air. Disini mungkin ada faktor fisik yang menye- babkan kerusakan dan kematian larva sewaktu diinokulasi. Menurut Rogers (1966), larva stadium ketiga melepaskan kutikulanya didalam rumen sedangkan Dakkak et al. (1981) melaporkan bahwa pelepasan selubung kutikula terjadi dalam reticulo-

--

rumen satu jam setelah infeksi. Selanjutnya larva infektif mengadakan ekdisis dalam waktu 48 jam setelah sampai dalam abomasum. Whitlock (1966) menyatakan bahwa hanya larva yang melepaskan selubung kutikulanya pada reticulo-rumen yang dapat berkembang menjadi cacing dewasa. Keterangan terakhir dari Smith (1988) menyatakan bahwa populasi acing dalam abomasum domba tergatung dari seberapa banyak larva infektif yang mati setelah ditelan. Kematian larva ini dise babkan tiga proses yaitu: 1) kerusakan selubung kutikula larva infektif sewaktu ditelan, 2) kerusakan larva karena zat immun yang dikeluarkan induk semang (immune exclusion) dan 3) kematian larva infektif sewaktu migrasi pada permu- kaan mukosa abomasum. Kematian larva infektif sewaktu mengeluarkan selubung kutikula dapat mencapai 33 persen (Dakkak gt

A.

1981). "Immune exclusion" ini dapat menghancurkan larva infektif (Miller

a

d.,

1983). Kematian larva infektif yang banyak terjadi sewaktu phase histo-tropik di jaringan limpho-glandula mukosa abomasum (Grenfell

g

A., 1987). Dari ketiga proses kematian ini menyebabkan jumlah cacing didalam abomasum menjadi sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah larva yang diinokulasi.

(28)

Faktor keempat, kompetisi sesama larva baik secara fisik maupun kimia yang menyebabkan pertumbuhan terganggu. Dakkak

a

&.

didalam penelitiannya banyak menjumpai larva yang bergelung satu sama lain didalam abomasum. Timbulnya perdarahan karena invasi larva akan merubah pH pada permukaan mukosa abomasum sehingga menimbulkan lingkungan yang kurang sesuai untuk kehidupan cacing. Coadwell clan Ward (1975) dalam penelitiannya mendapatkan 40

-

60 persen cacing dewasa setelah inokulasi larva H. contortus. Arifin (1982) mendapatkan sekitar 16,33 persen sedangkan pada percobaan ini hanya didapat 2,16 persen. Perbedaan ini disebabkan dosis larva yang diinokulasi, frekwensi inokulasi dan umur domba yang digunakan untuk percobaan. Coadwell dan Ward (1975) menggunakan domba yang bebas cacing sejak dilahirkan, sedangkan dalarn percobaan ini domba yang digunakan pernah mengalami infeksi cacing yang kemudian dihilangkan dengan antelmintika sebelum digunakan untuk percobaan.

Gambar

Gambar  15 menunjukkan kenaikan berat badan pada kelompok percobaan  yang diinokulasi larva dosis tinggi  (A  dan  B) lambat daripada kelompok percobaan  yng  diinokulasi dosis rendah  (C dan D)  dan  dimulai menjelang  minggu  ketiga

Referensi

Dokumen terkait

Pada pagelaran angklung badud ini selain menampilkan kemampuan para permainan musik terdapat pula atraksi peran yang diperankan oleh penari yang menggunakan dengan kostum

Uji heteroskedastisitas adalah keadaan dimana terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain pada model regresi. Model regresi

Perhatian Berwirausaha Iluni Prodi D3 Jurusan KK FT UNP Setelah dilakukan perhitungan, maka diperoleh kategori skor tentang minat berwirausaha dengan sub indikator

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaman genetik hibrida hasil persilangan 3 strain ikan nila Oreochromis niloticus Bleeker (BEST, Nirwana, Red NIFI) dengan metode

Tahun ini dengan dukungan tren penguatan harga timah dunia yang diperkirakan naik 13% dari tahun 2016 lalu dan peningkatan volume penjualan, pendapatan timah 2017 diperkirakan

Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa kegiatan pemantauan keimigrasian dan operasi lapangan yang berkaitan dengan penindakan keimigrasian yang terencana dengan baik dan sesuai

Dari studi bahasa pada zaman Yunani ini kita mengenal nama beberapa kaum atau tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahasa ini, seperti

Pemohon peminjaman fasilitas melakukan pengembalian fasilitas kepada staff inventarisasi sesuai dengan jangka waktu peminjaman yang Staff inventarisasi memberikan