• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA GEOLOGI REGIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA GEOLOGI REGIONAL"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA GEOLOGI REGIONAL

2.1 FISIOGRAFI DAN GEOMORFOLOGI REGIONAL

Pulau Sulawesi mempunyai luas sekitar 172.000 km2, dan bila digabung dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya kira-kira 188.000 km2. Bentuknya menyerupai huruf k dengan empat cabang atau lengan yang sempit, dipisahkan oleh teluk-teluk yang dalam, dan menyatu di bagian tengah pulau.

Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi daerah Sulawesi menjadi tujuh bagian, yaitu Lengan Utara, Lengan Timur, Kepulauan Banggai, Lengan Tenggara, Kepulauan Buton dan Pulau Tukang Besi, Lengan Selatan, dan Sulawesi Tengah. Secara fisiografis tersebut Kabupaten Bonehau berada di Sulawesi bagian tengah. Sulawesi Tengah merupakan pusat percabangan lengan-lengan Sulawesi. Di sebelah timurlaut Sulawesi tengah dibatasi oleh garis baratlaut-tenggara dari Dongala melalui Parigi dan Lemoro sampai Teluk Tomori. Di sebelah tenggara dibatasi oleh garis baratdaya-timurlaut dari Majene melalui Palopo ke Dongi di Teluk Tomori.

Pada peta geomorfologi lembar Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993) daerah penelitian terletak di daerah pegunungan. Daerah pegunungan ini mendominasi peta lembar mamuju, hanya sebagian kecil yang berupa perbukitan bergelombang dan dataran rendah (Gambar 2.1).

Daerah Pegunungan

Morfologi ini menempati hampir dua pertiga luas daerah yang dipetakan, yaitu bagian tengah, utara, timurlaut, dan selatan. Daerah ini umumnya berlereng terjal dan curam, puncak bukitnya berkisar dari 800 sampai 3.000 mdpl. Pola aliran berkembang tidak mengikuti aliran tertentu, tetapi menyesuaikan keadaan

(2)

kemudaan daerah ini. Ciri lain berupa lembah yang sempit dan curam. Di sekitar Barupu dan Panggala, terdapat suatu morfologi berpola aliran memencar. Lereng bukit umumnya terjal dan membentuk ngarai.

Gambar 2.1 Peta geomorfologi lembar Mamuju (Ratman & Atmawinata, 1993)

Daerah perbukitan bergelombang

Morfologi ini terdapat di bagian baratdaya Lembar, yaitu antara Teluk Lebani dan Teluk Mamuju. Tinggi perbukitan berkisar antara 500 sampai 600 m di atas permukaan laut. Daerah ini berpola saliran meranting.

Daerah Dataran Rendah

Dataran rendah menempati bagian barat lembar peta, yaitu sepanjang pantai mulai dari Kaluku sampai Babana (daerah S. Budongbudong). Morfologi ini terbentuk di daerah muara sunggai besar, yaitu S. Budongbudong, S. Lumu, S. Karama, dan S. Kaluku. Umumnya berpola aliran meranting (dendritik) dan beberapa sungai bermeander.

(3)

2.2 TEKTONIK REGIONAL

Pulau Sulawesi terletak pada batas tenggara Paparan Sunda, inti benua yang stabil dari Lempeng Eurasia tenggara (Hutchison, 1989 dalam Coffield dkk., 1993). Pulau ini terbentuk di sepanjang zona tumbukan Neogen antara Lempeng Eurasia dan fragmen mikro-kontinen yang berasal Lempeng Australia-India (Hamilton, 1970 dalam Coffield dkk., 1993). Empat lengan Sulawesi membentuk propinsi megatektonik yang berbeda. Lengan utara terdiri dari batuan busur vulkanik yang berhubungan dengan subduksi Lempeng Laut Maluku ke arah barat pada Paleogen Akhir sampai Neogen (Jezek dkk., 1981 dalam Coffield dkk., 1993). Lengan timur dan tenggara terdiri dari batuan metamorf dan ofiolit yang terobduksi selama Miosen (Smith dan Silver, 1991; Parkinson, 1991 dalam Coffield dkk., 1993). Lengan selatan didominasi oleh batuan vulkanik dan plutonik Miosen dan yang lebih muda membentuk jalur magmatik (Katili, 1978 dalam Coffield dkk., 1993)

Tatanan geologi dan perkembangan tektonik dari jaman Kapur sampai Neogen untuk wilayah Sulawesi bagian Barat, mempunyai kesamaan dengan Kalimantan Tenggara dan Jawa Tengah. Pada Kapur Akhir - Awal Tersier (Paleosen), Sulawesi Selatan dan Tengah, masih merupakan bagian dari daratan Kalimantan, sebagai bagian dari kepingan kerak-benua yang berasal dari benua raksasa Gondwana di selatan yang bergerak ke utara bersama India dan Mergui, yang kemudian bertumbukan dengan Jalur Subduksi Luh-Ulo - Meratus. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Sulawesi Bagian Barat dan Timur merupakan busur kembar (volkanik dan non-volkanik) yang merupakan bagian dari satu sistim interaksi konvergen dengan arah subduksi ke Barat. Dalam hal seperti ini, maka Sulawesi bagian Barat merupakan busur magmatiknya seperti yang digambarkan oleh Katili (1984).

Pola tektonik regional saat ini didominasi oleh sesar geser dan sesar anjak (Gambar 2.2). Sesar Palu-Koro merupakan sesar geser mengiri, terbentang sejauh 750 km (Tjia, 1973). Arah pergerakan dari sesar ini berhubungan dengan Sistem

(4)

Sesar Sorong di Irian Jaya melalui Sesar Balantak, Sesar Matano-Buru Selatan. Di selatan Sesar Palu-Koro bergabung dengan Sesar Lawanopo, Sesar Kolaka, dan Sesar Kabanea (Simandjuntak, 1993a dalam Priadi, 2000). Sesar Anjak Batui terjadi akibat tumbukan antara Platform Banggai-Sula dengan Jalur Ofiolit Sulawesi bagian Timur saat Neogen (Simandjuntak, 1993a dalam Priadi, 2000). Sesar ini membatasi jalur ofiolit pada hanging wall dari mikro-kontinen di foot wall. Sesar Anjak Poso merupakan kontak struktur antara Busur Metamorf Sulawesi tengah dan Busur Magmatik Sulawesi Barat (Bemmelen, 1949). Sesar ini mengangkat metamorf tekanan tinggi dari kedalaman zona Benioff ke atas busur magmatik pada saat Neogen.

2.2.1 Kerangka Tektonik Sulawesi

Berdasarkan tektonostratigrafinya, Calvert membagi Sulawesi menjadi 5 provinsi tektonik (Gambar 2.2), yaitu Busur Magmatik Sulawesi Utara, Busur Plutono-Vulkanik Sulawesi Barat, Jalur Metamorf Sulawesi Tengah, Ofiolit Sulawesi Timur, dan fragmen-fragmen mikrokontinen.

Gambar 2.2 Tektono-stratigrafi Sulawesi (dimodifikasi Calvert & Hall 2003).

Kolaka Fault Poso

(5)

Busur Plutono-Vulkanik Sulawesi Barat dan Busur Magmatik Sulawesi Utara Daerah ini dicirikan oleh batuan Tersier Pluto-volkanik berasosiasi dengan sedimen berumur Tersier dan Kuarter (Sukamto, 1975 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981). Sulawesi Utara mempunyai ciri-ciri busur volkanik dengan batuan dasar “kerak-samudra”, sedangkan Sulawesi Barat justru memperlihatkan kesamaan dengan unsur-unsur “kerak-benua”, yang terdiri dari batuan sedimen berumur Kapur-Tersier yang terlipat kuat dan diterobos oleh batuan beku granodiorit dan diorit. (Sukamto, 1978 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Batuan plutonik terdiri dari batuan granitik – dioritik dari Miosen Akhir – Pleistosen, batuan volkanik umumnya adalah kalk-alkalin dan sedikit batuan alkali dengan kisaran umur dari Paleosen – Pleistosen, meskipun gunung api masih aktif di bagian utara provinsi. Sedimen laut dan volkanoklastik terendapkan secara berkala selama Paleosen – Holosen. Pada bagian selatan batuan Tersier diendapkan di atas sikuen tebal dari “flysch” Kapur Akhir. Sedimen ini memiliki ketebalan lebih dari 2000 m dan terletak di atas kompleks mélange (Sukamto, 1981). Endapan flysch terendapkan secara menerus dari Kapur Akhir hingga Eosen pada bagian utara dan kemungkinan hadir sikuen sedimen yang diendapkan pada cekungan depan busur.

Jalur Metamorf Sulawesi Tengah dan Ofiolit Sulawesi Timur

Daerah ini disusun oleh ofiolit yang berasosiasi dengan sedimen pelagic Mesozoikum dan mélange pada bagian timur, dan batuan metamorf pada bagian barat. Ofiolit secara luas terdiri dari dunit, harzburgit, lerzolit, werhlit, serpentinit dan sedikit gabro, diabas, basaltt, dan diorit (Soeria-Atmaja dkk., 1972 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981). Sikuen ini berkembang dengan baik di utara; bagian tengah dan selatan ofiolit secara umum tidak lengkap atau kacau (Simandjuntak, 1981 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981). Sedimen pelagic terdiri dari karbonat, rijang radiolaria dan lempung merah yang terendapkan pada Jura hingga Kapur Akhir. Batuan mélange tersingkap di bagian tengah tersusun

(6)

oleh blok ofiolit, sedimen pelagic dan metamorf, dalam matrik dari lempung merah red scaly clay (Simandjuntak, 1980 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981). Batuan metamorf di bagian barat tersusun oleh bermacam jenis sekis, dengan beraneka jenis dalam amfibol-epidot, glaukofan-lawsonit atau fasies greenschist (de Roever, 1974 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Fragmen-Fragmen Mikrokontinen

Fragmen-fragmen benua, meliputi Banggai-Sula dan Buton, dipercaya berasal dari bagian utara lempeng Benua Australia (Pigram dkk, 1985 dalam Priadi, 2000). Fragmen tersebut kemungkinan terpisah dari lempeng benua Australia saat Jura dan bergeser ke arah baratlaut.

Fragmen benua ini dicirikan oleh komplek batuan dasar batuan metamorf Karbon dan batuan plutonik Perm - Trias, yang terletak di bawah kontinen Mesozoik yang berasal dari suksesi sedimen yang mengandung ammonites, belemnites, dan pelecypods (Sukamto, 1974 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981). Sikuen batuan klastik kasar yang kemungkinan berumur Trias Akhir dan ditindih secara selaras oleh klastik halus dari Jura dan batuan karbonatan Kapur. Detritus granit dari provinsi ini tersebar hingga ke Jalur Ofiolit Sulawesi Timur 2.2.2 Perkembangan Tektonik Sulawesi

Perkembangan tektonik Sulawesi bagian barat dan timur sangat berkaitan dengan perkembangan tektonik Banggai-Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1981). Perkembangan tektonik Sulawesi bagian barat juga berhubungan erat dengan pemekaran selat Makkassar. Menurut Hall (2002 dalam Fraser dkk., 2003), terdapat dua peristiwa penting pada Tersier di daerah ini. Pertama, rifting dan pemekaran dasar laut pada Paleogen yang menciptakan ruang untuk pengendapan material klastik yang berasal dari deroofing Kalimantan, dan yang kedua adalah peristiwa kompresional yang dimulai sejak Miosen, menyebabkan perkembangan Jalur Lipatan Sulawesi Barat (JLSB) selama Pliosen Awal (Gambar 2.3).

(7)

Kompresi ini masih aktif hingga sekarang, menyebabkan pemendekan yang progresif pada Cekungan Makassar Utara.

Kapur Akhir

Selama Kapur Akhir sikuen tebal sedimen bertipe flysch diendapkan di daerah yang luas di sepanjang Daerah Sulawesi Bagian Barat. Sedimen ini ditindih oleh kompleks melange di bagian selatan dan kompleks batuan dasar metamorf di bagian tengah dan utara. Sedimen umumnya berasosiasi dengan lava dan piroklastik yang mengindikasikan bahwa batuan ini berasal dari busur kepulauan vulkanik dan diendapkan di daerah cekungan depan busur (Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Pada saat yang sama, daerah sulawesi bagian timur berkembang sebagai cekungan laut dalam, tempat sedimen pelagic diendapkan sejak zaman Jura di atas batuan dasar ofiolit. Sangat mungkin jika cekungan laut dalam Kapur ini dipisahkan oleh sebuah palung dari Daerah Sulawesi Bagian Barat. Palung tersebut kemungkinan akibat subduksi ke arah barat, tempat Melange Wasuponda berakumulasi (Simandjuntak, 1980 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981). Subduksi ini menyebabkan terjadinya magmatisme di sepanjang Daerah Sulawesi Bagian Barat. Batuan metamorf yang ada di Sulawesi bagian Barat diyakini terjadi selama subduksi Kapur ini.

Daerah Banggai-Sula merupakan bagian dari paparan benua sejak Mesozoikum Awal, dimana diendapkan klastik berumur Trias Akhir Akhir hingga Kapur. Batuan dasar benua terdiri dari batuan metamorf zaman karbon dan plutonik Permo-Trias (Sukamto & Simandjuntak, 1981).

(8)

G amb a r 2 .3 P a le o-r e kons tr uks i A si a T e ngg a ra (s e te la h H al l 2002 da la m F ra se r dkk ., 2 003) .

(9)

Paleogen

Perkembangan sedimen bertipe flysch di Sulawesi bagian barat berhenti di bagian selatannya, sementara di bagian utara masih berlanjut hingga Eosen (Formasi Tinombo, Sukamto, 1975a, 1975c dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981). Gunungapi aktif setempat selama Paleosen di bagian selatan dan selama Eosen di bagian tengah dan utara. Pengendapan batuan karbonat (Formasi Tonasa) terjadi di daerah yang luas di selatan selama Eosen hingga Miosen yang mengindikasikan bahwa bagian daerah tersebut adalah paparan yang stabil.

Sejak Paleosen, sulawesi bagian timur mengalami shoaling dan diendapkan batuan karbonat air-dangkal (Formasi Lerea, Simandjuntak, 1981). Pengendapan batuan karbonat di daerah ini berlanjut hingga Miosen Awal (Formasi Takaluku).

Di bagian barat Banggai-Sula, sikuen tebal karbonat bersisipan klastik diendapkan di daerah yang luas. Karbonat ini diendapkan sampai Miosen Tengah (Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Zona subduksi berkemiringan ke barat yang dimulai sejak zaman Kapur menghasilkan vulkanik Tersier Awal di Daerah Sulawesi Bagian Barat, dan proses shoaling laut di daerah Sulawesi Bagian Timur, begitu pula di Daerah Banggai-Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1981).

(10)

Figure 2.4 – Elemen tektonik Selat Makassar (Fraser dkk., 2003).

Di daerah Selat Makkassar terjadi peregangan kerak. Daerah Selat Makassar bagian utara adalah bagian awal dari failed rift atau aulacogen, yang terbentuk sebagai bagian selatan dari pusat pemekaran Laut Sulawesi (Gambar 2.4) (Schwan 1985 dalam Fraser dkk., 2003). Kombinasi guyot, kelurusan gravitasi, fasies seismik, bersama dengan distribusi aliran panas yang dihasilkan oleh Kacewicz dkk. (2002 dalam Fraser dkk., 2003), mendukung usulan pola transform/ekstensional untuk peregangan kerak Eosen Tengah di laut dalam Cekungan Makassar Utara (Gambar 2.5). Titik paling utara Selat Makassar yang mengalami transform adalah Cekungan Muara dan Berau. Sumbu pemekaran lantai samudera kemudian menyebar ke arah selatan. Mendekati Paternosfer Platform sumbunya menyimpang ke arah timur dan kembali ke arah baratdaya menuju Selat Makassar selatan.

(11)

Figure 2.5 – Pola spreading: 42-38Ma (Fraser dkk., 2003).

Peristiwa ekstensional awal tersebut, diikuti oleh urutan-urutan peristiwa transgresi selama Eosen Tengah dan Akhir. Peristiwa transgresif ini mewakili kombinasi peristiwa eustatik dan tektonik (Pieters dkk., 1999 dalam Fraser dkk., 2003).

Perluasan yang menerus dan diikuti pembebanan pada Eosen Akhir (menghasilkan peningkatan akomodasi ruang yang signifikan), kelimpahan material benua berbutir halus diendapkan di daerah yang luas pada Cekungan Makassar Utara, berlanjut hingga Oligosen dan Miosen Awal. Suksesi batulempung tebal yang dihasilkan membentuk media yang mobile untuk thin-skinned basal detachment di bawah bagian selatan dari Jalur Lipatan Sulawesi Barat, yang mulai ada selama Pliosen Awal (Fraser dkk., 2003).

(12)

Neogen

Distribusi produk vulkanik yang luas menunjukkan terjadinya vulkanisme yang kuat selama Miosen Tengah di Daerah Sulawesi Bagian Barat (Sukamto & Simandjuntak, 1981). Batuan vulkanik yang awalnya diendapkan lingkungan dasar laut dan kemudian setempat menjadi terestrial pada Pliosen. Vulkanisme berhenti pada Kuarter Awal di selatan tetapi menerus sampai sekarang di bagian utara. Menurut Yuwono (1987 dalam Priadi dkk., 1994) peristiwa magmatisme di Sulawesi Barat selama 13 – 11 Ma berasal dari post-subductional melting dari lempeng selama peristiwa subduksi sebelumnya

Magmatisme yang kuat di Daerah Sulawesi Bagian Barat selama Miosen Tengah berkaitan dengan dengan proses tekanan batuan dalam Daerah sulawesi Bagian Timur akibat gerakan benua-mikro Banggai-Sula ke arah barat (Sukamto & Simandjuntak, 1981). Peristiwa tektonik ini mengangkat dan menganjak hampir keseluruhan material di dalam Daerah Sulawesi Timur, batuan ofiolit teranjak dan terimbrikasi dengan batuan yang berasosiasi termasuk melange. Pada bagian lain, ofioit di bagian timur menyusup ke arah timur ke dalam sedimen Mesozoikum dan Paleogen dari Daerah Banggai-Sula.

Selama pengangkatan seluruh daerah Sulawesi yang terjadi sejak Miosen Tengah, sesar turun (block-faulting) terbentuk di berbagai tempat membentuk cekungan-cekungan berbentuk graben. Saat Pliosen, seluruh area didominasi oleh block faulting dan sesar utama seperti Sesar Palu-Koro (Tjia, 1973) tetap aktif. Pergerakan epirogenic setelahnya membentuk morfologi Pulau Sulawesi yang sekarang. Peristiwa tektonik ini menghasilkan cekungan laut dangkal dan sempit di beberapa tempat dan beberapa cekungan darat terisolasi. Batuan klastik kasar terendapkan di cekungan-cekungan ini dan membentuk Molasse Sulawesi.

Peristiwa tektonik Miosen Tengah juga membengkokkan daerah Sulawesi bagian Barat seperti bentuk lengkungan yang sekarang dan menyingkapkan batuan metamorf di bagian leher pulau.

(13)

Figure 2.6 – Jalur Lipatan Sulawesi Barat (Fraser dkk., 2003).

Jalur Lipatan Sulawesi Barat (JLSB, Gambar 2.6) terletak tepat di sebelah barat Sesar Palu-Koro, sebuah transform kerak besar dekstral dan setelah itu sinistral, yang pada awalnya terjadi akibat pemekaran Laut Sulawesi saat Eosen. Kompresi yang menerus menghasilkan struktur-struktur berarah barat dari JLSB, sementara material mikro-kontinen yang awalnya berasal dari Lempeng Australia (“material Australoid”) bergerak ke arah barat selama Miosen bertumbukan dengan JLSB. Pada Pliosen awal, bagian timur dari batas peri-rift dari Cekungan Makassar Utara membentuk komponen dasar laut dari JLSB. Benua mikro Australia ini yang pertama adalah Buton, kemudian diikuti Tukang Besi. Arah vektor tumbukan ini pada awalnya adalah utara-barat laut (dengan perhitungan sekarang), tumbukan selanjutnya lebih berarah baratlaut. Variasi ini cukup signifikan, mengingat arah stress yang datang (dari timur dan selatan) mempengaruhi arah displacement kompresi yang sudah ada di JLSB.

(14)

2.3 STRATIGRAFI REGIONAL

Berdasarkan Wahyono (2000 dalam Mangga dkk., 2004), geologi daerah Bonehau dan sekitarnya didominasi oleh batuan beku dan metamorf, termasuk batuan sedimen yang sedikit termetamorfkan (Gambar 2.7). Litologi mengindikasikan adanya tektonik aktif di area ini.

Gambar 2.7. Peta Geologi regional (Wahyono, 2000 dalam Mangga dkk, 2004)

Batuan tertua di daerah penelitian adalah Formasi Latimojong, yang berumur Kapur. Formasi ini terdiri dari batusabak, kuarsit, filit, batupasir malih, batulanau malih dan pualam, setempat batulempung malih (Ratman & Atmawinata, 1993). Formasi Latimojong ini terbentuk di lingkungan laut dalam dan diendapkan tidak selaras di atas batuan dasar kompleks metamorf. Kompleks Metamorf ini terdiri dari sekis mika, gneiss mika, filit, dan batusabak.

Menurut Djuri & Sudjatmiko (1975, dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981), di Sulawesi bagian barat Formasi Latimojong merupakan sikuen flysch yang berumur Kapur sampai Eosen . Pada Sulawesi barat bagian tengah, formasi

(15)

diendapkan selama Kapur Akhir, berupa perselingan arenit berketebalan beberapa sentimeter hingga puluhan sentimeter dengan batuserpih. Ciri-ciri turbidit terlihat pada batuan ini. Lava andesit dan konglomerat hadir sebagai sisipan atau lensa. Beberapa batuan pada formasi ini telah terubah menjadi batusabak, filit, dan kuarsit. Formasi ini memiliki ketebalan lebih dari 1000 m dan diintrusi oleh dyke dan stock batuan basaltik hingga granitik (Sukamto & Simandjuntak, 1981). Fosil dari zaman Kapur terdapat dalam bongkah yang diperkirakan berasal dari formasi ini (Brouwer, 1934 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Di atas Formasi Latimojong diendapkan Formasi Toraja (Tet) secara tidak selaras. Menurut Ratman & Atmawinata (1993), formasi ini berumur Eosen Tengah sampai Akhir. Komposisinya berupa perselingan batupasir kuarsa, serpih, dan batulanau, bersisipan konglomerat kuarsa, batulempung karbonan, batugamping, napal, batupasir hijau, batupasir gampingan dan batubara, setempat dengan lapisan tipis resin dalam batulempung. Formasi Toraja mempunyai Anggota Rantepao (Tetr) yang terdiri dari batugamping numulit yang berumur Eosen Tengah – Akhir. Menurut Djuri & Sudjatmiko (1975 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981) Formasi Toraja merupakan endapan laut dangkal, terdiri dari perselingan batulempung merah dan quartzose arenite dengan sisipan batugamping numulitik dan konglomerat. Pengendapannya menerus hingga Oligosen. Coffield dkk (1993) berpendapat bahwa Formasi Toraja merupakan endapan fluvial dan lacustrine dangkal.

Calvert dan Hall (2003) menaikkan status formasi Toraja menjadi Grup Toraja, yang berumur Eosen Tengah hingga Oligosen Akhir. Grup ini terdiri dari formasi Budungbudung dan Kalumpang. Formasi kalumpang merupakan batuan sedimen laut marginal/ terrestrial yang terdiri dari sikuen shale, lapisan batubara dan batupasir quartzose, diendapkan selama Eosen Tengah - Akhir. Formasi Budungbudung diendapkan di lingkungan laut, berumur Eosen tengah hingga Oligosen Akhir. Komposisinya berupa perselingan mudstone, batupasir quartzose, batugamping dan sedikit konglomerat. Di sungai Karama Formasi Budungbudung

(16)

memiliki posisi yang sejajar secara lateral sekaligus berada di atas Formasi Kalumpang.

Formasi Toraja tertindih tak selaras oleh Formasi Sekala dan Batuan Gunungapi Talaya. Aktivitas vulkanik ini kemudian diikuti oleh kehadiran Formasi Sekala (Tmps) pada Miosen Tengah - Pliosen, yang dibentuk oleh batupasir hijau, grewake, napal, batulempung dan tuf, sisipan lava bersusunan andesit-basalt. Formasi sekala berhubungan menjemari dengan Batuan Gunungapi Talaya (Batuan Vulkanik Talaya, Tmtv) yang terdiri dari breksi gunungapi, tuf dan lava bersusunan andesit-basal, dengan sisipan batupasir dan napal, setempat batubara. Batuan gunungapi Talaya mempunyai Anggota Tuf Beropa (Tmb) yang terdiri dari perselingan tuf dan batupasir tufaan, dengan sisipan breksi vulkanik dan batupasir wake (Ratman & Atmawinata, 1993).

Batuan Gunungapi Talaya menjari dengan Batuan Gunungapi Adang (Tma) yang terutama bersusunan leusit-basalt, dan berhubungan menjemari dengan Formasi Mamuju (Tmm) yang berumur Miosen Akhir. Formasi Mamuju terdiri atas napal, batupasir gampingan, napal tufaan, dan batugamping pasiran bersisipan tuf. Formasi ini mempunyai Anggota Tapalang (Tmmt) yang terdiri dari batu gamping koral, batugamping bioklastik, dan napal yang banyak mengandung moluska. Formasi Lariang terdiri dari batupasir gampingan dan mikaan, batulempung, bersisipan kalkarenit, konglomerat dan tuf, umurnya Miosen Akhir – Pliosen Awal.

Endapan termuda adalah aluvium (Qal) yang terdiri dari endapan endapan sungai, pantai, dan antar gunung.

(17)

Gambar

Gambar 2.1 Peta geomorfologi lembar Mamuju (Ratman & Atmawinata, 1993)
Gambar 2.2 Tektono-stratigrafi Sulawesi (dimodifikasi Calvert & Hall 2003).
Gambar 2.3 – Paleo-rekonstruksi Asia Tenggara (setelah Hall 2002 dalam Fraser dkk., 2003)
Figure 2.4 – Elemen tektonik Selat Makassar (Fraser dkk., 2003).
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dakwah Islam merupakan sebuah aktifitas komunikasi, sehingga keberhasilan dakwah tergantung pada beberapa komponen yang memperngaruhinya, yakni da’i sebagai orang

30. Okulis : mata = Veteriner : … a. Tulang b. Hewan c. THT d. Perut e. Kelamin TES KARAKTERISTIK PRIBADI 31. Setiap hari kerja saya selalu datang paling pagi dibanding teman-teman lainnya. Yang saya lakukan

membantu mempertahankan ketersediaan air tanah.Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis dan mengevaluasi Kebutuhan luasan RTH terhadap suhu udara mikro di

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa fit / gap analysis adalah suatu metodologi yang digunakan untuk menganalisis perbedaan antara kebutuhan perusahaan dalam

Dewasa ini, dunia bisnis semakin meluas, ditambah dengan adanya perkembangan teknologi yang begitu cepat. Hal ini begitu mempengaruhi proses bisnis dari proses yang

Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kendung kemih untuk kemudian ditemukan di dalam tinja atau urine..

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui nilai konstanta waktu penyimpanan (k) dan nilai faktor berat relatif/penimbang (x), sehingga kita dapat menghitung koefisien

Lipida merupakan senyawa organik yang terdapat pada tumbuhan, hewan atau manusia yang tidak dapat larut dalam air, namun dapat terlarut dalam pelarut organik non-polar