• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep unifikasi hukum telah diterapkan cukup lama di NKRI. 2 Berbagai peraturan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsep unifikasi hukum telah diterapkan cukup lama di NKRI. 2 Berbagai peraturan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Membedah Kondisi Hukum Di Era Otonomi Daerah

Dengan Menggunakan Cara Pandang Antropologi Hukum

Djaka Soehendera1

Pendahuluan

K

onsep “unifikasi hukum” telah diterapkan cukup lama di NKRI.2 Berbagai peraturan

perundangan kemudian dibuat sesuai dengan konsepsi di atas. Sekedar contoh adalah: UU Perkawinan (UU No. 1/74), seperti diketahui UU ini ditujukan untuk menggantikan enam sistem hukum lain yang tadinya berlaku untuk pelbagai golongan masyarakat di tanah air. Tujuan unifikasi peraturan perundangan tersebut adalah agar terjadi pelaksanaan hukum yang terkoordinasi, lebih tertib dan kinerjanya diharapkan meningkat. Lalu, pertanyaannya apakah kenyataannya demikian? Perdebatan untuk jawaban itu pun setidaknya bisa terpilah dua, yang satu berkenaan dengan susunan yuridis normatifnya, satunya lagi mengenai efektivitas peraturannya di lapangan. Namun, rata-rata di antara kita akan menyatakan bahwa kondisi dan kinerja hasil unifikasi hukum belum juga mengalami perbaikan signifikan.

Pada saat yang sama, bahkan telah berlangsung jauh lebih lama terdapat pelbagai sistem hukum dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan3 lain (the other cultures) selain

state law (hukum negara).4 Masyarakatnya mempertahankan sistem-sistem hukum

tersebut secara dinamis sesuai dengan laju kebudayaannya. Sebagian pihak menganggap

the other laws bagian dari masa lalu, namun sebagian lagi menyatakan bahwa mereka tetap

eksis hingga kini. Dan, sebagian lainnya menyatakan ada, namun semakin terkikis. Keberadaannya acapkali dirasakan pada berbagai peristiwa (hukum).

1 Paper untuk Seminar dan Pelatihan Pluralisme Hukum yang diselenggarakan HuMA. Depok & Bogor: 28 s.d 30 Agustus 2003. Tulisan ini (dalam bentuk ringkasnya) mulanya disiapkan untuk kegiatan Bimbingan Teknis Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Kebudayaan Masa Kini pada Ditjarahnitra, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, tanggal 7 Juni 2001 di YTKI. Beberapa uraian dan analisis, termasuk judul, serta contoh-contoh telah ditambahkan dan dilengkapi. Penulis kini bekerja di Fakultas Hukum Universitas Pancasila di Jakarta & mengajar pada Program Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

2 Menurut Hartono (1993), Garis-Garis Besar Haluan Negara telah menggariskan unifikasi hukum, dan bahwa di seluruh Kepulauan Nusantara – mungkin maksudnya Indonesia (pen.) – hanya berlaku satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasional (p. 9).

3 Kebudayaan: keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan (Suparlan, 1980).

4 The other laws itu, rata-rata berada di daerah perdesaan (rural area) dan pelosok (remote area). Itulah mengapa masyarakat kebanyakan di perkotaan (urban area) mengalami pengikisan posisinya karena landasan the other laws mereka melemah. Melemahnya bisa karena tergeser ke ruang yang berbeda (dari desa atau pelosok ke kota), bisa pula karena di kota belum terbangun sistem hukum masyarakat yang memadai, dan dapat pula karena pusat kekuasaan state berada di kota, sehingga kontrol state atas pelaksanaan state law relatif lebih intensif di perkotaan.

(2)

Karena konsep ‘unifikasi hukum’ tetap didahulukan, maka keberadaan the other

laws (hukum-hukum masyarakat lokal) menjadi terkendala. Kendalanya adalah: a) dari

sisi masyarakat pemilik hukum lokal, mereka semakin tidak leluasa dalam mengimplementasikan hukumnya, b) dari sisi state5, hukum-hukum lain ditanggapi

sebagai ganjalan yang dapat menghambat proses pembangunan (semesta)6.

Benturan antara state law versus the other laws kemudian terjadi, dan dinamikanya terkadang tinggi, dan rendah. Konsep inilah yang dalam kajian antropologi hukum dikenal sebagai – konsep – terjadinya benturan antara legal centralism (pemusatan hukum) dengan legal pluralism (kemajemukan hukum). Yang satu dihadirkan, terutama, oleh hukum negara, dan yang lainnya oleh hukum masyarakat-masyarakat setempat.

Tulisan ini akan memaparkan beberapa kelemahan state law serta potensi the other

laws yang selama ini diterapkan oleh berbagai masyarakat. Sejalan dengan itu, akan

dipaparkan beberapa pendekatan antropologi hukum yang pada dasarnya mengkaji hukum sebagai sebuah kenyataan yang diterapkan oleh masyarakat (law in action), termasuk prospeknya dalam “memotret” gejala hukum di era reformasi.

Mitos-Mitos tentang State law

P

ada mulanya (terutama pada awal Orde Baru hingga tahun 1980an), posisi state law memang terlihat dan terkesan lebih kuat (karena ditegakkan dengan pengaruh kekuasaan dan pengaruh politik7), namun mulai tahun 90’an dan seterusnya posisi the other laws,

setidaknya untuk bidang-bidang tertentu, semakin menguat dan menggejala. Mengapa hal itu terjadi? Alasannya:

a) Karena adanya tekanan pihak luar (WB, ADB, UN, dan IMF, misalnya), secara langsung maupun tidak, agar pembangunan Indonesia lebih mengedepankan upaya pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan partisipasi mereka (padahal, upaya penegakan hukum – negara – melalui prinsip rule of law memang belum juga membaik);

5 State (negara) adalah entitas politik yang memegang hak kedaulatan atas suatu daerah tertentu dan melaksanakan kekuasaannya dengan menggunakan lembaga-lembaga politik yang hierarkis dan di bawah pimpinan pusat (centralized), untuk mengadakan pengawasan, menarik pajak, serta melaksanakan undang-undang dan kewajiban warganegara (Keesing, 1992: 294).

6 Disadari maupun tidak, konsep “legal ethnocentrism” merambat di kalangan pengguna state law, yakni the tendency to view the law of other cultures through the concepts and assumptions of Western (Spradley & McCurdy, 1975). Hal itu terjadi antara lain karena: a) upaya mengedepankan

penyatuan hukum nasional, b) pengaruh ajaran-ajaran yuridis normatif yang sekian lama menjalar di berbagai kalangan, dan c) derasnya arus pembangunan yang pengertian maupun cakupannya melekat pada kebijakan penciptaan sistem hukum nasional di atas.

7 Dari segi politik, terutama ketika masa Orde Baru dikenal kebijakan: a) masa mengambang, b) politik aliran, dan c) patron-client relationship. Padahal Keesing (1992: 83) menyatakan, bahwa kegiatan hukum itu berkaitan dengan politik. Menurutnya, kelas yang memegang kekuasaan dalam masyarakat memiliki sarana untuk membuat hukum, yang memberi legitimasi kepada hak dan kepentingan mereka yang sudah mapan, dan untuk melindungi dan melestarikannya.

(3)

b) Karena “titik sabar” masyarakat-masyarakat di pelbagai tempat sudah mencapai kulminasinya, itu karena keberadaan mereka – terutama melalui keberadaan sistem hukum dan sistem budayanya8 – terancam akan terus terkikis atau malah punah.

c) Sementara, dari sisi pemerintah, kekuasaan mereka (alias dukungan dari pelbagai pihak) mulai menyusut. Pelbagai lapisan sosio-politik semakin rasional dalam memandang perilaku dan sikap pemerintah (state). Gerak “reformasi” pun memberi dukungan terhadap perubahan tersebut.

d) Mulanya lebih sebagai “lips service” saja, yakni mencatumkan model pembangunan yang bottom up (lihat misalnya GBHN 1993 dan 1998), namun lama-kelamaan tuntutan berbagai pihak – termasuk dari sebagian komponen dalam institusi state sendiri (lebih karena ketidak-berdayaan aparat) – untuk merealisasikannya menjadi semakin kuat. e) Karena komunikasi & kinerja jaringan-jaringan kerja lembaga kemasyarakatan di

“akar rumput” (grass root) (oleh LSM atau Ornop) semakin menguat, dan tugas utama mereka adalah untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan partisipasi serta posisi tawarnya terhadap state dan pelaku ekonomi-politik yang kuat.

f) Sejalan dengan itu, informasi dan pelbagai data kini lebih cepat diterima dan diserap oleh berbagai lapisan masyarakat. Hal semacam ini, antara lain, berdampak pada terjadinya percepatan peningkatan kesadaran masyarakat akan keberadaan diri dan aturan yang melandasi atau menekannya.

Disadari maupun tidak, wacana mengenai sistem hukum nasional untuk beberapa dekade, baik mencakup analisis, diskusi, konsep bahkan teori tentang hukum (yang luas itu) kadangkala menjadi kurang proporsional. Artinya, pembahasannya lebih banyak pada tataran normatif, padahal kenyataannya masih berbeda jauh. Sementara itu, bila terjadi perdebatan menyangkut hukum, hampir dapat dipastikan melulu berpusat pada

state law saja. Padahal masih ada the other laws yang juga eksis. Maka, ada baiknya berikut

ini akan dipaparkan mengenai mitos (hal-hal yang ditanggapi secara kurang tepat) yang berkait dengan state law selama ini. Tujuannya, agar kita dapat lebih melihat dan menanggapi state law itu seperti apa adanya.

Pertama, State law disusun secara terintegrasi dan hubungan antar produk hukumnya teratur, sehingga mudah diterapkan. Namun pada kenyataannya: dari segi peraturan perundangan, state law seringkali inkonsisten, terkadang saling bertentangan, cakupannya tidak begitu jelas, dan fokusnya terkadang samar serta wewenangnya saling tumpang-tindih. Hal ini sejalan dengan sinyalmennya Hartono (1993) yang antara lain menyatakan bahwa sangat diabaikannya pembangunan hukum nasional dalam era Pembangunan Jangka Panjang Pertama. Bahkan, menurut penulis, juga di era-era pembangunan berikutnya. Itulah, menurut penulis yang sama, hingga belakangan ini belum ada suatu Rencana Pembangunan Hukum yang komprehensif dan terinci.

Kedua, law enforcementnya State law tidak pandang bulu. Namun kenyataannya bisa sebaliknya. Hukum sering bisa ditegakkan, terutama, bila tidak bertentangan dengan keinginan tertentu. Hukum sulit ditegakkan bila yang terlibat pelanggaran di dalamnya

8 Sistem budaya terdiri dari kepercayaan yang dianut, pengetahuan yang dimiliki, bahasa yang digunakan, nilai-nilai yang merupakan konsepsi mengenai apa yang dianggap baik, dan aturan-aturan yang merumuskan hak-hak dan kewajiban masing-masing orang, pelaku dalam keadaan-keadaan sosial tertentu (Bachtiar, 1985: 3 – 10).

(4)

adalah pihak-pihak pemilik power dan pemodal kuat. Di tingkat masyarakat pun law

enfocement pelbagai produk hukum tersebut dipertanyakan. Sementara, kekuatan

penegakannya kalaupun cukup kuat, sesungguhnya amat tergantung pada situasi dan kondisi saat-saat tertentu; dan tergantung pula, terutama pada struktur sosio-politik yang lebih makro.

Ketiga, State law menghadirkan keadilan. Padahal, pada kenyataannya tidak selalu demikian. Bahkan, oleh sebagian masyarakat dianggap semakin memunculkan ketidak-adilan. Kasus bagaimana seorang tertuduh melemparkan sepatunya kepada hakim (sepuluh tahunan yang lalu) adalah salah satu indikasinya. Lalu, kasus yang sedang ramai dibicarakan yakni seorang saksi dari kejahatan para penegak hukum yang disuap justru diajukan sebagai tertuduh adalah contoh lainnya. Beberapa pihak berpendapat, bahwa walaupun negara kita adalah “negara hukum” (rechtsstaats), namun de facto-nya bisa tidak demikian. Aparatur pelaksana maupun sistem hukum negara tentunya bisa bersikap tidak adil, soalnya kedudukan dan peran mereka memang bisa menjadi tidak netral. Kekuatan sosio-politik dan agama seringkali juga mewarnai “tarik-menarik” tersebut.

Keempat, State law lebih bisa mengikuti perkembangan waktu (up to date). Namun, kenyataannya malah sebaliknya, banyak perdebatan muncul berkaitan dengan produk-produk hukum yang dianggap cepat menjadi out of date. Sekedar contoh adalah: diskursus mengenai rencana penggantian UU No. 22/99 yang baru Januari 2001 lalu diterapkan. Contoh lainnya adalah proses pergantian UU No. 18/97 dengan UU No. 34/2000 yang baru. Bahkan contoh mengenai perubahan SK Menteri Tenaga Kerja (dan Transmigrasi) di alinea berikut yang begitu cepat adalah contoh cepatnya out of date suatu peraturan penting. Belum lagi bila kita membicarakan peraturan perundangan di bidang perbankan dan perekonomian, misalnya mengenai money laundering. Di sisi lain, landasan untuk menentukan “kuno” tidaknya sebuah peraturan perundangan itu kadangkala juga kurang jelas.

Kelima, State law dianggap berperan netral dan tidak memihak. Namun kenyataannya, tidak selalu demikian. Contoh pergantian SK Menteri Tenaga Kerja No. 150/2000 yang dianggap pengusaha terlalu “memberi angin” pada buruh dengan Kepmenakertrans No. 78 Tahun 2001, (dan karena mendapat tekanan buruh) lalu diganti lagi dengan Kepmenakertrans No. 111 tahun 2001 (dan kemudian dibekukan karena menimbulkan protes yang berkembang dari kalangan pengusaha) adalah contoh kasusnya. Ketidak konsistenan peraturan maupun penegakannya malah terlihat kembali, yakni dengan diberlakukannya kembali SK Menteri Tenaga Kerja No. 150/2000 (Kompas, 16 Juni 2001) karena tekanan buruh yang menguat. Bila yang diatur dari kelompok yang benar-benar lemah, maka hasilnya akan semakin mengikis keberadaan mereka. Beberapa contoh lain tentunya dapat diwacanakan pada kesempatan lain.

Keenam, keputusan state law dapat dieksekusi sesuai dengan apa yang diaturnya.

Kenyataannya, pada berbagai keputusan tidaklah demikian. Pada beberapa kasus, pelaksanaan keputusan pengadilan justru menimbulkan permasalahan. Contoh yang cukup dikenal di kalangan pengamat kajian hukum adat adalah kasus: harta “Juma Pasar” di Karo (Keputusan MA tahun 1961 tentang pembagian warisan tanah adat9) yang hingga

kini tidak dapat dieksekusi. Keputusan hukum, selain dilandasi oleh aturan-aturan formal, yang lebih penting lagi haruslah melahirkan rasa keadilan, kontekstual dengan

(5)

ruang dan waktu dimana keputusan itu ditetapkan. Hal-hal di atas, justru lebih sering tercecer sehingga keputusan hukum (negara) sulit diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat di berbagai daerah. Terkadang eksekusi state law justru menimbulkan protes yang berkepanjangan di masyarakat. Mereka menganggap isi keputusannya tidak adil dan merugikannya.

Ketujuh, State law lebih berpower dibanding the other laws, pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Power itu, di masa yang baru lalu, diperoleh melalui berbagai kebijakan terpusat dan bertumpu pada kekuatan eksekutif yang didukung oleh lembaga yang relatif solid koordinasi dan instruksinya. Ketika dukungan power itu melemah, terutama empat tahun belakangan, maka kekuatan state law pun melemah. Power, terutama di masa yang baru lalu, lebih digunakan untuk melakukan penyeragaman, sehingga harus begitu kuat ditegakkan. Ketika itupun power yang ada sebenarnya relatif rapuh. Rapuh karena dilakukan secara terpusat, bersifat memobilisasi, dan mempertahankan pola kerja patron-client relationship. Rapuh karena dipertahankan secara represif dan (biayanya) menjadi mahal, dan dukungan masyarakatnya terus menyusut. Deretan panjang mitos pun masih dapat diwacanakan, namun yang penting adalah: bahwa cara pandang terhadap state law yang menghegemoni the other laws sepatutnya kini dikritisi. Alasannya, karena pada kenyataannya sisi rapuh state law pun banyak. Untuk menggenapkan uraian, berikut ini akan dipaparkan beberapa perbedaan (ciri, maupun landasan dan sejarahnya) antara state law dengan the other laws tersebut. Walaupun masih harus dikaji secara seksama, pendapat berikut ini mungkin ada perlunya, paling tidak untuk mengingatkan kita bahwa secara de facto, the other laws (sistem hukum-hukum lain) itu masih hidup dan dinamis, entah itu disebut sebagai folk law, customary law, local law,

adat law maupun istilah lainnya. Berikut ini akan dikutipkan pendapatnya Woodman

(1995) mengenai beberapa perbedaan antara keduanya:

a) State law sebagai doktrin (ajaran) hukum yang berbeda dengan folk law sebagai fakta sosial yang tumbuh dari bawah dan terdapat di mana-mana;

b) Norma-norma state law disahkan oleh teks resmi (oleh negara) berbeda dengan norma-norma folk law yang disahkan melalui ketaatan akan seperangkat kebiasaan; c) Norma-norma state law disatukan melalui asal mula logikal dari suatu norma dasar

yang berbeda dengan norma-norma folk law yang disatukan oleh ketaatan di dalam suatu masyarakat;

d) State law sebagai proses dari pengadilan negara berbeda dengan folk law sebagai proses penyelesaian sengketa di luar lingkup negara. Lalu,

e) Dari proses sejarahnya pun kedua sistem hukum tersebut dapat dipisahkan, yakni yang state law lazimnya berasal dari pengambilan (sebagian atau seluruhnya) dari sistem hukum kolonial dan selanjutnya mungkin dikembangkan.10 Sedangkan folk law

berasal dan tumbuh dari masyarakat setempat.

Lima karakteristik yang berbeda di atas inilah yang menjadikan banyak kajian yang membahas kedua sistem hukum tersebut dalam posisi yang berhadap-hadapan, bak “air dan minyak”.

10 Menurut Simbolon (1995), throughout the world the modern legal system was introduced mostly through

(6)

Kondisi Faktual the Other laws

K

ondisi faktual ini patut dijabarkan, berkenaan dengan anggapan banyak pihak bahwa

the other laws11 pengertiannya lebih erat bila dikaitkan dengan masa lalu yang jauh.

Sekedar contoh, adalah apa yang pernah dituliskan Hartono (1993: 4), dinyatakannya: “…barangkali ada baiknya untuk melihat jauh ke belakang ke masa-masa di mana berbagai macam pluralisme hukum hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sampai abad ke-14 penduduk Kepulauan Nusantara ini hidup dalam suasana sistem Hukum Adat-nya masing-masing…” Kutipan ini menyiratkan bahwa: a) kemajemukan hukum lebih terjadi di masa lalu, kini – dengan kata lain – sudah sulit terjadi, b) maksud dari kemajemukan hukum tersebut (ketika itu), adalah adanya aneka jenis hukum dan masyarakat pendukungnya yang berkedudukan setara, dan tidak ada posisi sub ordinasi maupun “atasan”. Dan akibatnya, c) berbicara pluralisme hukum kini, seolah-olah terlandasi oleh adanya sikap dan tuntutan untuk menghapuskan konsep (kedaulatan) state dan state law. Padahal, tujuannya tidak demikian.

Seperti sedikit disinggung di atas, belakangan “power” the other laws semakin terasakan. Pelbagai pemerintah daerah mulai memikirkan dengan lebih serius untuk

me-reinventing institutions dan me-me-reinventing law dalam konteks pembangunan daerahnya.

Bayangannya kelak, upaya “me-roh-kan kembali” sistem hukum masyarakat daerah itu akan bersifat kontekstual, cakupannya khusus dan khas serta akan mempertimbangkan hadirnya pelbagai kemajemukan di tingkat masyarakat.

Contoh kasus di mana Pemda Propinsi Sumbar memberlakukan kembali pranata

nagari di seluruh wilayah Sumbar melalui Perda No. 9/2000 adalah gejala menarik dan

penting. Namun hal itu bukanlah tanpa masalah. Problemanya adalah: a) masyarakat di pelbagai tempat termasuk di remote area menjadi semakin majemuk (plural), b) begitu lama institusi lokal tersebut “kehilangan darah” karena pelbagai kebijakan Pusat (terutama melalui UU No. 5/79) yang menyeragamkan pelbagai nuansa, perbedaan dan sifat-sifat khas pelbagai sistem hukum masyarakat, sementara itu c) dari dalam pun kultur masyarakat (yang sistem kekerabatannya matrilineal) menjadi semakin dinamis dan berubah. Pengalaman yang akan diperoleh kelak, diprediksikan akan lebih kontekstual, khas dan lingkup berlakunya lebih terbatas antar nagari-nagari yang ada. Lalu, d) praktek-praktek institusi nagari tersebut – boleh dikatakan – telah cukup lama “ditinggalkan”, sehingga perlu waktu untuk menerapkannya kembali secara signifikan. Dan e) belum lagi ada masalah internal mengenai wilayah berlakunya, yakni karakteristik “darek” – “pasisie” dan “rantau” pada masyarakat Minangkabau yang menentukan kemajemukan suku-suku yang tinggal dan menetap di sebuah nagari. Lalu f) bagaimana dengan problema daerah

urban (yang semakin majemuk) dibanding dengan daerah rural dalam soal penerapan

institusi nagari tersebut? Selanjutnya, g) bagaimana dengan efektivitas institusi nagari pada masyarakat-masyarakat yang mata pencahariannya off-farm? Misalnya sebagai pedagang atau pekerja.

Fakta lainnya adalah diresmikannya kembali pemerintahan tradisional. Sekedar contoh, Kerajaan Bima (di NTB) yang hampir setengah abad tidak memiliki sultan, mengkukuhkan seorang keturunan raja terdahulu menjadi Jena Teke atau “raja muda” (ini

11 Pengertian “the other laws” mohon tidak ditanggapi sebagai hal yang tunggal, namun sifatnya majemuk dan tergantung pada konteks sosio-budayanya.

(7)

merupakan reinventing institution). Pengukuhan dilakukan oleh Ketua Majelis Adat Ny. H. Siti Maryam R. Salahudin (74 tahun), dan Feri Zulkarnain Ibu Putra Haji Abdul Kahir (33 tahun) akan diberi gelar “Sultan Abdul Kahir II Ruma Ma Wa’a Busi Ro Mawo” (Moehammad, 15 Juni 2001). Mulanya upaya ini mungkin lebih berfungsi sebagai “simbol perekat” masyarakat dengan institusi “tradisionalnya”, namun pada gilirannya bisa saja akan di-reinventing pula aturan-aturan setempat berkenaan dengan pengaturan hubungan antara “raja muda” dengan masyarakatnya.12 Bahkan, usaha politis tersebut juga

berimplikasi pada penguatan hubungan antara lembaga lokal yang diperbarui dengan institusi politik dan pemerintahan modern.

Implikasi logis dari diaktifkannya kembali pelbagai peraturan (serta institusi) setempat (reinventing law and institutions) adalah munculnya lembaga-lembaga lokal yang diaturnya. Lembaga-lembaga itu, setidaknya di masa lalu, berfungsi untuk memberdayakan masyarakat, dan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pemda maupun masyarakat, terkadang melakukan “invented tradition” (penemuan kembali tradisi)13

terhadap lembaga-lembaga lama yang pernah ada. Yang penting untuk dikemukakan adalah, bahwa segala perangkat aturan dan institusi lebih bertumpu pada sistem budaya masyarakat masing-masing. Lebih riil lagi, bertumpu kepada “tarik-ulur” berbagai kepentingan yang muncul dalam satuan-satuan masyarakat.

Namun sayangnya, posisi the other laws tersebut secara umum hingga kini masih berada dalam kondisi seperti yang disebutkan Griffith sebagai weak legal pluralism (kemajemukan hukum yang lemah), sehingga belum muncul keadaan strong legal pluralism (Griffith, 1986). Mengapa demikian? Alasannya karena: a) dominasi state law masih kukuh, lalu b) bila terjadi benturan antara berbagai sistem hukum dengan state law, maka state

law-lah yang dikedepankan, serta c) ada hirarkhi hukum yang diberlakukan dengan state law sebagai puncaknya.

Namun demikian, tidaklah selalu antara state law and the other laws bersitegang. Terkadang bisa saja saling melengkapi. Konsepnya Paul Bohannan mengenai “double

institutionalized” (pelembagaan berganda) adalah contohnya. Maksudnya, beberapa aturan

hukum nasional itu ada yang berasal dari aturan tradisional (telah dilembagakan secara adat), lalu dilembagakan ulang secara nasional.14 Akibatnya, aturan nasional itu relatif

sejalan dengan aturan-aturan lokal yang diserapnya. Pelembagaan berganda seperti ini

12 Yang menariknya dalam kesehariannya, calon raja muda tersebut adalah Wakil Ketua DPRD Bima dari Fraksi Partai Golkar. Hubungan antar institusi politik masa kini dengan institusi tradisional memang memunculkan semacam perpaduan power alternatif pada lingkup tertentu. 13 Invented tradition (tradisi yang ditemukan kembali) dimaksudkan sebagai seperangkat praktek, lazimnya ditata oleh aturan-aturan yang diterima secara terbuka atau terpendam dan dari suatu kondisi simbolik maupun ritual, yang diupayakan untuk menelusuri penanaman beberapa nilai dan norma perilaku melalui pengulangan, termasuk pula kesinambungannya dengan masa lalu (Hobsbawm, 1987).

14 Seorang pemerhati masalah hukum agraria nasional, yakni Soesangoebeng (1998) pernah

menyatakan dengan menerapkan konsep pelembagaan berganda (double institutionalization), UUPA (utamanya pada pasal 1 s/d 6, pasal 8 s/d 10, dan pasal 13 s/d 15) adalah bukti keberhasilan peraturan pertanahan itu sehingga dianggap bersifat populis. Melalui pasal-pasal tersebut, menurut penulis, semangat dan jiwa hukum adat dirumuskan menjadi norma baru bagi pembentukan hukum agraria nasional (p. 10).

(8)

terkadang bisa saja efektif, namun bisa juga sebaliknya. Sayangnya, upaya yang satu ini belum banyak dilakukan. Lagipula efektivitasnya pun kurang ditelusuri.

Kondisi the other laws (begitu pula state law) selain tergantung pada kondisi struktur sosio-politik makro, juga dalam penegakannya berkait dengan hal-hal seperti: produk hukumnya sendiri, masyarakat pendukung dan pelaksananya, sarana penunjang penegakkannya serta institusi yang bertanggung jawab untuk menegakkannya. Selain itu,

ia amat tergantung kepada kemauan politik Pusat dalam menegakkan hukum di tanah air.

Namun kondisi-kondisi tertentu yang merupakan keadaan “blessing in disguised” seperti sulitnya penelusuran PAD (pendapatan asli daerah), lalu tersendatnya DAU (dana alokasi umum) serta sumber-sumber keuangan lainnya membuat banyak pemda kabupaten harus mempercepat upaya pemberdayaan dan kemandirian masyarakat, serta harus pula mengembangkan partisipasi mereka di dalam segala bidang kehidupan, termasuk hukum. Hal semacam ini di satu sisi bisa menguntungkan karena akan dapat memunculkan aturan-aturan lokal dalam wacana maupun praktek sehari-harinya kelak.

Untuk memberi semacam rel pada diskusi di atas, maka ada baiknya secara ringkas dipaparkan kajian subdisiplin Antropologi Hukum yang sejak lama menempatkan dan menghargai the other laws secara proporsional dan kontekstual.

Kajian Antropologi Hukum

D

i dalam perkembangan antropologi, masalah hukum sebenarnya juga sudah pernah ditelaah, walaupun di dalam suatu kerangka kebudayaan yang serba luas. Sarjana-sarjana antropologi seperti Barton, Radcliffe-Brown, Malinowski dan lainnya, pernah memusatkan perhatian pada hukum sebagai suatu gejala sosial-budaya. Sesudah embrio dari antropologi hukum timbul, maka pandangan para sarjana seperti Schapera, Gluckman, Hoebel15, Bohannan, Pospisil, Nader dan lainnya mempunyai peranan besar di

dalam perkembangan A.H. (Soekanto, 1984: 159-160).

Menurut Ihromi (1986) relevansi menelaah hukum dari segi antropologi, antara lain adalah:

a) berkenaan dengan masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang (tentunya termasuk Indonesia) yang secara budaya bersifat pluralistis dalam cita-citanya mewujudkan unifikasi hukum atau modernisasi hukum. Lalu

15 Bagi mereka yang mempelajari hukum adat Indonesia, menurut van Baal (1988: 68) buku Hoebel (The Law of Primitive Man: Study in Comparative Legal Dynamics. Cambridge: Harvard University Press, 1954) merupakan bacaan yang menarik, karena buku itu memberi perhatian luas pada karya Van Vollenhoven dan Ter Haar, yang dikritiknya karena terlalu memberi tekanan pada arti

peraturan hukum yang dirumuskan dan kurang pada praktek hukum yang terbentuk oleh yurisprudensi. Menurut pendapat saya (kata van Baal), kritik itu tepat. Pendapat penduduk mengenai hukum tidak di semua tempat dikongkretkan dalam keputusan yang dikuatkan oleh tradisi dan yang berbentuk ketentuan hukum. Praktek hukum Hindia-Belanda secara tak tepat telah dengan kuat mendorong kea rah dirumuskannya ketentuan-ketentuan seperti itu.

(9)

b) berkenaan dengan kemungkinan munculnya masalah bila warga masyarakat dari lingkungan sukubangsa tertentu masih mempunyai norma-norma tradisional yang kuat dan menuntut ketaatan mengenai hal-hal tertentu, sedangkan dalam norma hukum yang sudah tertulis dan berlaku secara nasional, hal-hal yang harus ditaati itu justru dirumuskan sebagai hal yang terlarang (p. 3).

Secara faktual, masalah-masalah yang dirumuskan ke dalam dua point utama itu sudah terjadi, baik berkenaan dengan munculnya konflik horisontal di pelbagai wilayah, pertikaian antara state (maupun pemda) dengan masyarakat, maupun antar kelompok masyarakat sendiri.

Hukum, menurut Benda-Beckmann (1979) adalah suatu cara khusus untuk membatasi otonomi anggota-anggota masyarakat. Kebanyakan penulis menyetujui bahwa hukum adalah suatu bentuk pengawasan sosial, itulah mengapa secara esensial sifatnya normatif, dan hal itu merujuk pada apa yang disebut (sebagai) konsepsi-konsepsi yang obyektif (pp. 113-114).

Implikasi pendekatan semacam ini adalah: bahwa hukum memberi input kepada pranata pengendalian sosial (apapun variant-nya) dan kemudian kepada rujukan berpikir masyarakat, dan sebaliknya. Hukum, di sisi lain, dapat pula menyebabkan perubahan perangkat berpikir, dan rujukan kemasyarakatan lainnya.16 Namun, bila kesemua hal itu

berubah (dan pada kenyataannya memang selalu demikian), maka hukum pun berubah mengikuti perubahan masyarakat dan lingkungannya.

Pendekatan antropologi (hukum) sengaja menggeser pusat perhatian dari aturan-aturan kepada individu atau manusia sebagai aktor yang dalam mengambil keputusan mengenai perilakunya dihadapkan kepada tuntutan-tuntutan dari tatanan hukum yang dihadapinya (Ihromi, 2000: 3). Sejalan dengan itu, Spiertz dan Wiber (1979: 3) menegaskan, bahwa: “But to study the real position of people in relation to law requires a

different methodological approach from that used in traditional legal studies. The focus have to swift away from law as a codified or customary set of rules and turn instead to the individual who stands at the intersection point of many different legal domains (dikutip dari Ihromi, 2000). Kajian

yang diusulkan tersebut lazimnya disebut sebagai kajian terhadap gejala hukum empiris (law in action).

Dengan demikian, hukum dalam lingkup kajian Antropologi Hukum (selanjutnya ditulis A.H.) ditanggapi sebagai gejala empirik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hukum dalam konteks ini tidak ditanggapi seperti halnya para yuris mengkaji hukum (secara dogmatik).

Secara umum metode AH adalah sebagai berikut:

1. deskriptif – yakni pemerian gejala hukum empirik dalam masyarakat yang diteliti; 2. ideology (menelusuri aturan normatifnya17);

16 Dalam sosiologi hukum dikenal tujuan hukum sebagai “law as a tool of social engineering”.

17 Bohannan (1965: 39) menyatakan bahwa prinsip normatif akan lebih banyak diketemukan secara eksplisit dalam masyarakat dengan sistem sentralisasi hukum, di mana lebih banyak penyelesaian (sengketa) dilakukan berdasarkan keputusan hakim dibanding berdasarkan kompromi antara orang-orang yang berperkara.

(10)

3. telaah kasus (case study method) 18, ditambah dengan

4. metode komparasi (perbandingan).19 Metode yang satu ini mendorong, antara lain

diberlakukannya konsepsi cultural relativism (relativisme budaya);

Selain metode di atas, dapat ditambahkan pendekatan historis yang mempelajari perilaku manusia dan budaya hukumnya dengan sudut proses sejarah (Hadikusuma, 1992: 9).20 Berikut ini akan dijabarkan, dianalisis, dan diulas beberapa pendekatan yang

digunakan dalam sejarah perkembangan sub disiplin antropologi hukum dalam mengkaji hubungan hukum dengan masyarakat dan kulturnya.

Mulanya kajian A.H. dimulai dengan mengkaji hal-hal besar, misalnya evolusi hukum (secara umum), sebut saja sekedar contoh kajiannya J.J. Bachofen tentang evolusi hukum (dalam bukunya das muterrecht). Dalam buku itu, Bachofen menjabarkan tahap-tahapan evolusi hukum pada pelbagai masyarakat. Landasan kajiannya seringkali disebut sebagai “armchair theory” (kajian yang bukan berasal dari data primer atau field research). Kritik yang kemudian muncul adalah: sifat kajian mereka-mereka ini tergolong ke dalam “conjectural history” (“sejarah rekaan”). Mengapa demikian? Karena biasanya kita akan sulit menemukan kasus-kasus masyarakat seperti yang digambarkan oleh mereka (biasanya secara evolutif dan berkembang linier). Namun demikian, hasil karya mereka, atau setidaknya konsep-konsepnya justru mendorong – langsung maupun tidak – pihak lain menjadi tertarik dan mengkajinya secara lebih mendalam dan kritis.

Selanjutnya, ada ahli yang mengupayakan pendefinisian hukum secara lebih spesifik, misalnya Radcliffe-Brown, Max Gluckman, E. Adamson Hoebel, dan lainnya. Max Gluckman mendefisinikan hukum sebagai: aturan abstrak yang ditegakkan oleh lembaga formal. Hal ini sejalan dengan Radcliffe-Brown yang menerapkan fenomena hukum Barat pada masyarakat non-Barat. Definisinya tentang hukum (yang dikutipnya dari Roscoe Pond) adalah: “suatu pengendalian sosial yang dilakukan dengan perantaraan penerapan secara sistematis dari kekuatan fisik suatu masyarakat yang terorganisir secara politis” (cf. Soekanto et al., 1984: 5). Definisi semacam ini, menurut beberapa ahli, membuat beberapa masyarakat tradisional – yang tidak memiliki kekuataan fisik yang terorganisir secara politis – menjadi tidak memiliki hukum. Padahal, mereka itu hidup dengan damai dan tertib ketika itu.21 Sementara, definisi yang mengidentikan hukum sama dengan adat

(misalnya oleh Malinowski22) telah membuat batasan, cakupan maupun gejala hukum

menjadi tidak lagi jelas. Padahal, aturan-aturan hukum berbeda dengan aturan-aturan

18 Mulanya metode ini dikemukakan antara lain oleh Hoebel (1970; 1954).

19 Antropologi mempelajari gejala-gejala masyarakat secara lintas budaya, artinya konteks di mana gejala itu terdapat tidak hanya dibatasi pada suatu kebudayaan tertentu (Ihromi, 1986).

20 Bandingkan dengan pendekatan khas antropologi: holistic, comparative and micro (lihat misalnya Koentjaraningrat, 1982). Selain itu, kajiannya juga bisa dipaparkan secara sinkronik dan diakronik (mempertimbangkan sejarah perkembangan).

21 Lihat Keesing, 1992: 77.

22 Menurut van Baal (1988: 59), “Tetapi berbeda dengan apa yang ia lakukan dalam The Family

among the Australian Aborigines, dalam Crime and Custom ia menghindar untuk memberi keterangan

yang jelas tentang pengertian undang-undang (hukum – red.). Yang menjadi hakikat hukum baginya adalah: All the rules conceived and acted upon as binding obligations (p. 15). Binding

obligations itulah yang menjadi esensi dari apa yang dapat dinamakan undang-undang. Binding obligations itu dijadikan dasar pada ketentuan fundamental bagi setiap masyarakat, yaitu

(11)

lainnya, oleh karena aturan-aturan tersebut dirasakan dan dianggap sebagai kewajiban-kewajiban seseorang dan hak-hak dari fihak lain (Soekanto, 1984: 1).

Definisi lain adalah dari E. Adamson Hoebel (1954), yaitu: A social norm is legal if its

neglect or infraction is regulary met, in threat or in fact, by the application of physical force, by an individual or group, possessing the socially recognized privilege of so acting.23 Definisi ini

mengandung hal-hal: a) tindakan yang melanggar aturan, b) akan ditindak secara teratur melalui sanksi c) oleh pihak yang berwenang. Definisi ini mirip dengan definisinya Radcliffe-Brown.

Pendefinisikan tersebut rata-rata dilandasi oleh (sebutlah secara ringkas) sebagai pendekatan “struktural fungsional”24 dalam menelaah hukum. Menurut Radcliffe-Brown,

masyarakat itu taat hukum karena adanya sanksi25 yang ditegakkan oleh lembaga resmi

yang berwenang untuk itu. Lalu, ketika ada pertanyaan bagaimana dengan ketaatan yang terjadi pada masyarakat tradisional yang tidak memiliki “lembaga-lembaga penegakan hukum khusus”? Menurutnya, pada mereka ada potensi “kecenderungan misterius untuk taat”. Namun, Malinowski menyatakan, hukum ditaati karena prinsip “give and take” (principal of reciprocity) yang berlaku dalam masyarakat (case studynya mengenai masyarakat Trobriand yang masih homogen ketika itu).26 Kritik yang diarahkan ke

pendekatan yang termasuk ke dalam “struktural fungsional” antara lain adalah: (1) Pendekatan lazim menggambarkan kebudayaan dan pranata sosial sebagai sesuatu yang “bulat”, konstan dan memiliki pola yang jelas. Kenyataannya, kebudayaan dan pranata sosial selain sering mengalami konflik juga selalu berubah, (2) pendekatan ini juga tidak mempertimbangkan adanya pluralisme budaya (Soehendera, 1989) (3) kurang mempertimbangkan struktur sosial-budaya makro. Pada titik ini mulailah perhatian kajian beralih bukan saja terhadap hukum hukum pada institusi modern, seperti negara, namun juga hukum masyarakat lainnya.

23 Menurut van Baal (1988: 61), “Dalam definisi di atas istilah penguasa akan sia-sia dicari. Ada maksud Hoebel untuk merumuskan demikian. Ia ingin menjelaskan bahwa tindakan sah juga dimungkinkan, di mana keseluruhan pelaksanaan peradilan dilakukan atas keputusan sendiri seperti pada orang Eskimo, di mana tidak terdapat suatu bentuk peradilan apa pun…”

24 Pendekatan struktural fungsional mengidentikkan masyarakat sebagai sebuah sistem seperti halnya fisiologi kita yang antar sub dan sub-sub sistemnya saling kait mengkait. Bila salah satu subnya ada yang terganggu, maka sub-sub lainnya pun akan terimbas. Bila terjadi penyimpangan perilaku, maka secepatnya harus dihentikan karena dapat mengganggu sistem secara keseluruhan (cf. Soehendera, 1989). Akibatnya, setiap sistem sosial yang ingin mempertahankan

keberlangsungannya, selalu berusaha agar penyimpangan yang timbul dapat diatasi agar jangan merusak keseimbangan yang telah terbina.

25 Sanksi adalah: perangkat aturan yang mengatur bagaimana lembaga-lembaga hukum

mencampuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu sistem sosial sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang dapat

diperhitungkan (Bohannan, 1984: 61).

26 Sayangnya, Malinowski mendefinisikan hukum sebagai: pola-pola dari seluruh karakteristik kelakuan suatu masyarakat. Artinya, ia mengidentikkan hukum dengan adat istiadat yang lebih luas cakupannya. Namun, di saat lainnya, bagi Malinowski hukum mencakup aturan yang mengekang kecenderungan manusia, nafsunya atau dorongan naluriah. Selain itu hukum juga mencakup aturan-aturan yang melindungi hak warga terhadap keganasan, kelobaan atau kedengkian fihak-fihak lain (R. Redfield dikutip oleh Soekanto, 1984: 23-24).

(12)

Salah satu batasan hukum yang cukup sering dikutip adalah yang disebut oleh Leopold Pospisil (1971; 1967) sebagai “attributes of law”. Dia tidak secara langsung mendefinisikan hukum, namun memaparkan ciri-cirinya, yaitu: a) atribut otoritas, b) atribut penerapan secara universal, c) atribut obligatio dan d) atribut sanction. Konsep atribut hukum ini muncul dari hasil telusuran komparatif Pospisil atas pelbagai sistem hukum masyarakat-masyarakat yang dikajinya.27 Definisi, batasan atau atribut hukum

yang disusun oleh para ahli tersebut berasal dari kajian komparasinya antara berbagai sistem dan proses hukum dari pelbagai masyarakat dan kebudayaan. Dengan kata lain, benih-benih perhatian akan kemajemukan kemudian bersemai.

Pendekatan berikutnya yang kemudian populer, dan beberapa bagiannya hingga kini masih diterapkan oleh banyak pengkaji antropologi hukum adalah: pendekatan terhadap penyelesaian sengketa (trouble cases). Pendekatan itu, umumnya, menelusuri sebab-sebab sengketa, pihak-pihak yang terlibat dan bagaimana penyelesainnya (termasuk siapa yang menyelesaikan, dan bagaimana sanksi yang diterapkannya). Sengketa itu hal yang melekat pada hubungan sosial, sehingga: a) bila hubungannya erat, maka penyelesaiannya cenderung damai (“win-win solution”); b) bila hubungannya renggang, maka penyelesaiannya cenderung adjudication (semacam win - loose solution). Dalam konteks ini, juga ditelaah mengenai lembaga hukum (Nader & Todd, 1978; Bohannan, 1984) yakni: lembaga yang digunakan oleh warga untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara para warga dan merupakan alat untuk tindakan balasan (counteract) setiap penyalahgunaan yang menyolok dan berat dari aturan yang ada pada lembaga lain dalam masyarakat. Tujuan menelusuri proses sengketa adalah untuk menemukan “inti sari” hukum.28 Berbagai kajian penyelesaian sengketa dari pelbagai masyarakat dan

kebudayaan kemudian diungkapkan dan ditelusuri. Karena penggunaan metode komparasi untuk berbagai penyelesaian sengketa semakin sering dan mendalam, akibatnya unsur-unsur kemajemukan pun semakin terpupuk.

Mengenai konflik (conflict)29, Nader & Todd (eds.) (1978: 14-15) dan Nader &

Metzger (1963), menganalisis tiga tahapan dari pertikaian (dispute): a) keluhan atau tahapan pra-konflik, dimana orang merasa diperlakukan tidak adil, b) tahapan konflik (conflict), dimana pihak yang dirugikan bertikai dengan pihak lain, dan c) tahap sengketa (dispute), dimana konflik meningkat ke arah konfrontasi publik karena melibatkan pihak ketiga.

Mode-mode penanganan sengketa sangat bervariasi tetapi dapat diklasifikasikan ke dalam suatu prosuder yang bersifat umum (Gulliver 1963; Jane Colliner 1973). Beberapa berupa penanganan dyadic (dua arah), seperti negosiasi yang mencakup dua pihak saja, yang mengembangkan aturan-aturannya sendiri dan mencapai kesepakatan

27 Hal ini sejalan dengan pendapatnya Soekanto et al. (1994) yang menyatakan bahwa: dewasa ini pusat perhatian telah beralih dari masalah-masalah filosofis dan teoritis ke masalah-masalah empiris, yakni atribut-atribut universal dari hukum dan adanya pelbagai taraf hukum dalam suatu masyarakat (p. 8). Masalah-masalah filosofis – terutama yang banyak dilakukan oleh ahli hukum adat – tentunya tidak lagi mencukupi karena lebih bertumpu pada lingkup normatif semata. 28 Meminjam istilahnya Hoebel diistilahkan sebagai postulat-postulat hukum (cara hidup yang wajar di dunia) yang sering tidak dirumuskan secara jelas (cf. Bohannan, 1984).

29 Dahrendorf (1959: 209) menyatakan bahwa konflik dapat timbul karena: a) perbedaan nilai-nilai, b) karena keterbatasan posisi, dan c) keterbatasan sumberdaya.

(13)

melalui kompromi. Namun banyak bentuk dari penyelesai sengketa adalah triadic dan melibatkan pihak-pihak ketiga. Peran dan kekuasaan dari pihak ketiga itu tergantung pada struktur dari proses resolusinya. Mediasi, merupakan proses yang bersifat mendamaikan (conciliatory), pihak ketiga membantu dua pihak yang bersengketa mencapai suatu penyelesaian tetapi tidak memiliki otoritas untuk memaksa salah satu pihak. Dalam arbitrasi, pihak-pihak yang bersengketa sepakat pada tingkat yang lebih tinggi, untuk menerima keputusan pihak ketiga sebagai hal yang mengikat. Dalam ajudikasi, negara memberi kuasa (kepada) hakim untuk membuat keputusan yang mengikat tanpa harus mempertimbangkan persetujuan para pihak yang bersengketa (Barfield, 1997).

Varian dari pendekatan proses penyelesaian sengketa antara lain adalah pendekatan yang disebut oleh van Velsen (1967) sebagai “situational analysis” atau yang terlebih dulu diperkenalkan oleh Max Gluckman (1961) sebagai extended-case method (studi kasus yang diperluas). Tujuan pendekatan ini, menurut van Velsen adalah: untuk memberi ilustrasi mengenai keteraturan tertentu dalam proses sosial, dan bukan untuk menyoroti sifat-sifat khusus perorangan. Kajian Situational analysis adalah mengenai: catatan-catatan tentang situasi-situasi yang aktual dan perilaku tertentu. Analisis situasional ini, menurut penulisnya, bertekanan pada proses, studinya mengarah pada masyarakat yang tidak stabil dan tidak homogen. Asumsi pentingnya: bahwa norma-norma dari masyarakat tidaklah merupakan totalitas yang konsisten dan koheren. Sebaliknya, norma-norma tersebut sering terumus secara kabur dan saling tidak sesuai. Maka, kajian mengenai norma-norma yang saling berbeda dikaitkan dengan konflik menjadi sorotan utamanya. Kembali lagi terlihat bahwa benih-benih dan pandangan tentang kemajemukan semakin menegas di sini.

Penelitian – mengenai penyelesaian sengketa – selanjutnya menganjurkan untuk berfokus pada wilayah urban dalam masyarakat industri modern yang jarang terikat bersama oleh jaringan akrab hubungan sosial dan yang rupanya bisa (lebih) memadai dalam membantu perkembangan bentuk penyelesaian sengketa konsiliatori yang dipertimbangkan oleh Gluckman (Merry & Milner, 1993 dari Barfield, 1997).30

Kritik terhadap pendekatan proses penyelesaian sengketa ini adalah: a) upaya kompromis pada masyarakat yang berhubungan sosial erat (win-win solution) tidaklah selalu terjadi. Kompromi terjadi, biasanya karena ada kondisi keterbatasan sumber-sumber daya, b) usaha untuk mencari keadilan dan pembalasan sulit dibuktikan, orang-orang lebih menggunakan prosedur lebih didasari oleh pilihan-pilihan yang rasional; c) pendekatan ini mengabaikan perubahan sejarah dan hubungan kekuasaan, serta menolak pengaruh struktural yang lebih luas (Barfield, 1997). Sementara itu, konflik (conflict) yang terjadi, pada kenyataannya tidak selalu menimbulkan hubungan-hubungan sosial yang disfungsional, terkadang konflik justru berfaedah untuk memelihara suatu hubungan sosial (Coser, 1964: 47; Coser, 1957: 227). Dan tidak semua konflik kemudian menjurus ke perkara hukum (karena adanya ancaman disintegrasi sosial atau motif lainnya).

Selain pendekatan di atas, terdapat pula pendekatan trouble-less cases (Holleman, 1986). Pendekatan ini, ringkasnya menyatakan bahwa dalam proses hukum sehari-hari yang lebih banyak terjadi bukanlah kasus sengketa, namun justru proses hukum non-sengketa (misalnya saja: proses perkawinan, jual-beli dan lainnya). Proses seperti ini, walaupun

30 “Pola” penyelesaian sengketa di wilayah urban lazimnya berupa ajudikasi (win or loose solution), namun belakangan kecenderungan untuk mencapai proses perdamaian semakin terjadi.

(14)

tidak harus melalui proses sengketa, tetap saja merupakan proses hukum penting karena di dalamnya tercermin aturan-aturan (normatif) maupun prakteknya sehari-hari. Gambaran semacam ini ikut “membulatkan” gambaran sistem hukum pada masyarakat yang ditelaah. Interaksi (hukum) non sengketa juga bisa terjadi pada pihak-pihak yang berbeda sistem hukumnya. Dan seringkali mereka juga tidak bersengketa.

Pendekatan selanjutnya adalah yang populer dengan sebutan ‘Kemajemukan Hukum” (legal pluralism) (lihat misalnya Masinambow [ed], 2000; Irianto, 2003). Konsep ini menyatakan bahwa selain state law, terhadap sistem-sistem hukum lain yang juga aktif berfungsi dalam pelbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Benturan antara implementasi state law dengan sistem-sistem hukum lain itulah yang menjadi konsentrasi pendekatan yang satu ini. Pendekatan ini mulai populer di tahun 1980an, dan hingga kini masih diminati oleh banyak pengkaji antropologi hukum. Pengertian kemajemukan hukum, ringkasnya adalah:

a) Dalam dunia pragmatis setidaknya ada dua sistem aturan yang terwujud;

b) bagaimana hukum berperan dan menyesuaikan diri dalam kondisi kemajemukan budaya.

Pendekatan yang satu ini, lazimnya dikaitkan dengan pemahaman mengenai “plural society” (masyarakat majemuk) yang dijabarkan sebagai: masyarakat yang terdiri dari populasi multi etnik yang di dalamnya terjadi suatu kegiatan ekonomi yang tersebarkan dan aturan politik yang tersentralisasi oleh salah satu kelompok tertentu (Barfield, 1997). Pada masa Orba, gambaran plural society memang lebih nampak. Pola

patron-client relationship31 dikembangkan sedemikian rupa untuk lebih mencapai tujuan

tertentu. Pola ini digunakan untuk melingkupi hubungan antara berbagai pihak yang majemuk, sehingga kadangkala memunculkan benturan.

Kajian Kemajemukan Hukum dapat dikaitkan dengan pendapatnya Lawrence Friedman (1975) yang menyatakan bahwa hukum itu terdiri dari tiga komponen, yakni:

a) legal substance: norma-norma, aturan-aturan yang digunakan secara institusional, dan pola perilaku para pelaku dalam sistem hukum.

b) Legal structure: lembaga-lembaga hukum

c) Legal culture: kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan berpikir yang dapat mempengaruhi kekuatan-kekuatan sosial.

Ketiga komponen itu dapat dikaji kemajemukannya semuanya. Namun, bisa saja salah satu komponennya saja. Masing-masing komponen itu, bila dikaji, kelak akan memunculkan dampak maupun konteks yang berbeda-beda. Yang jelas, para ahli antropologi hukum menekankan bahwa hukum buatan negara hanyalah salah satu dari sistem pengaturan yang relevan untuk menjadi pedoman berperilaku warga masyarakatnya (Ihromi, 2000: 4).32 Dengan demikian, the other laws juga punya hak untuk

31 Hubungan patron-client adalah: hubungan sosial antara dua atau lebih orang yang berkembang ke arah hubungan yang tidak seimbang, dimana pihak yang satu dengan jelas memiliki kedudukan yang lebih tinggi (superior) dari pihak lainnya. Superioritas itu disebabkan karena adanya

kemampuan yang lebih besar dari pihak pertama untuk memberikan bantuan barang maupun jasa pada pihak kedua, yang menyebabkan pihak kedua menjadi tergantung pada pihak pertama (Wolf, 1968: 1-3).

32 Lama berselang, yakni di tahun 1976, Harsja W. Bachtiar ketika berseminar di BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) pernah menyatakan bahwa ada berbagai kultur dalam kehidupan

(15)

ditelaah, dikemukakan dan diberi kesempatan untuk berkiprah di tengah kemajemukan masyarakat dan budaya yang ada. Sistem hukum-hukum lain jika ditelaah, juga memiliki ke tiga komponen di atas yang bisa saja berbeda atau memiliki kemiripan tertentu dengan

state law.

Pendekatan kemajemukan hukum ini juga tidak lepas dari beberapa pendekatan AH lain, terutama pendekatan penyelesaian sengketa (trouble cases)33 dan trouble-less cases.

Bukankah penggunaan aneka sistem hukum oleh berbagai masyarakat ketika berinteraksi tidak hanya terjadi pada kasus-kasus sengketa? Hubungan non sengketa antara berbagai sistem hukum juga penting untuk dikaji. Faedahnya, antara lain, kita dapat menemukan bentuk dan mekanisme kerjasama antara sistem-sistem tersebut di saat normal.

Namun kritik pun muncul terhadap pendekatan kemajemukan hukum, dan setidaknya bisa dipilah menjadi tiga hal (Tamanaha, 2000): a) pendekatan ini kurang memberi perhatian pada definisi/batasan hukum, sehingga ketika mereka menyebut “hukum” pemerhatinya bisa binggung, hukum yang seperti apa? Implikasinya, pengertian hukum bisa sangat luas dan tidak jelas lingkupnya.34 Dan b) pendekatan ini

kurang memperhatikan konteks makro yang mempengaruhi berlakunya hukum. Misalnya: konteks ekonomi, politik dan sistem kemasyarakatan makro. Serta c) pendekatan ini nampak terpengaruh oleh pendekatan struktural-fungsional dalam menelaah hukum, akibatnya: dinamika dan proses perubahan hukum yang terjadi menjadi tercecer untuk ditelusuri. Maka, pendekatan ini menjadi cukup sulit untuk memberi masukan bernas atas kondisi dinamis yang terjadi. Maka, dalam perkembangan AH, Nixon (1998) menyatakan bahwa fokus kajian A.H telah bergeser pada cara pandang dimana hukum dilihat sebagai suatu proses konflik dan sekaligus sebagai suatu kekuatan (power). Pengkajinya juga menelaah hasil kreasi, distribusi dan transmisinya. Dengan demikian, mereka akan menelaah bagaimana kekuasaan hukum berproses dan memberi dampak dalam masing-masing masyarakat. Selanjutnya, juga bagaimana feed back dan pengaruh masyarakat-masyarakat terhadap kekuasaan hukum tersebut. Jadi, tugas berat menanti para pengkaji (proses?) kemajemukan hukum.

Sumbangan Kajian AH di Era Otonomi Daerah

S

eperti dimaklumi, semenjak era “reformasi” bergulir, maka dorongan untuk mempercepat gerak desentralisasi (otonomi daerah) menjadi semakin kuat. Berbagai peraturan perundangan disusun dan diberlakukan, termasuk beberapa aturan

sehari-hari masyarakat Indonesia yang digunakan sebagai rujukan, yakni: a) kultur Indonesia (yang terus menjadi), b) kultur Barat, c) kultur agama-agama besar, dan d) kultur daerahnya masing-masing. Rujukan itu bisa digunakan secara bergantian, terkadang bisa juga saling

bekerjasama, atau bertabrakan. Hal seperti ini sejalan dengan pendapatnya T.O. Ihromi mengenai pelbagai rujukan sistem hukum bagi masyarakat dalam bertindak.

33 Pendekatan trouble cases menyajikan komparasi antara berbagai sistem penyelesaian sengketa pada pelbagai masyarakat dan kebudayaannya. Dalam aneka sistem tersebut juga terpapar berbagai tahapan penyelesaian dan pihak-pihak yang dilibatkannya. Dan hal-hal seperti ini menjadi hal penting untuk memberi input yang signifikan bagi kajian kemajemukan hukum. 34 Salah satu contohnya adalah definisinya Griffiths, hukum didefinisikan sebagai: the self-regulation

(16)

pelaksanaannya.35 Namun yang patut diperhatikan: tugas utama pemerintah daerah

adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta untuk menggalang partisipasinya serta memberdayakan mereka. Desentralisasi bukan sekedar semacam pembagian dan pemindahan kekuasaan ke pemerintah-pemerintah daerah (kota dan kabupaten) dari Pusat, namun lebih jauh lagi adalah dalam rangka meningkatkan otonomi dan partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuannya. Secara garis besar, kini kesempatan dan potensi kemajemukan (pluralism) memang cukup mengedepan. Dalam konteks inilah ilmu-ilmu sosial empirik, seperti halnya Antropologi Hukum memiliki peran penting. Maka, dalam rangka era otonomi daerah sekarang, kajian AH menjadi penting karena:

• Memberi sumbangan wawasan (tools and methods) bagi pemda (kabupaten/kota) akan adanya sistem-sistem hukum lain yang juga bekerja dalam masyarakat. Sistem itu bukanlah sekedar sejarah lama, namun faktual hadir, dan terkadang begitu dirasakan oleh pelbagai pihak (sebagai law in action).

• Memberi masukan mengenai kemungkinan terjadinya benturan antara state law dengan hukum-hukum lain dalam masyarakat. Benturan itu, di masa otonomi daerah sekarang, bisa cepat bergeser antara the other laws dengan perangkat hukum yang dikembangkan oleh pemda (karena sedikit banyak berperan sebagai “wakil” state di daerah atau malah karena memiliki perangkat otoritasnya sendiri), bahkan juga di antara elemen-elemen di dalam the other laws itu sendiri.

• Menelusuri dan memaparkan langkah-langkah penyelesaian sengketa (hukum) alternatif yang terjadi pada masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Kritik terhadap pendekatan “adjudication” adalah dihasilkannya keputusan “win or loose solution”. Keputusan seperti itu seringkali menimbulkan ketidakpuasan alias penyelesaian masalah yang belum tuntas. Terkadang malahan terkesan bahwa masalah yang ada hanya ditunda saja, namun tidak dirampungkan. Skema penyelesaian yang menghasilkan keputusan win-win solution (seperti halnya pada masyarakat tradisional) nampaknya sedang dialternatifkan oleh pelbagai pihak.36

• Mendiskursuskan dinamika gejala hukum empirik (baik yang berlandaskan pada hukum negara maupun hukum lain) di pelbagai masyarakat. Dalam sosiologi hukum hal itu disebut sebagai kajian “efektivitas hukum”37, termasuk efektivitas hukum

negara;

• Menelaah kembali peran dan wewenang state law dalam masyarakat di pelbagai wilayah (‘perubahan hukum’). Perubahan hukum kelak diprediksikan akan terjadi lebih cepat, dan dinamis.38 Akibatnya, bila tidak diantisipasi, diramalkan bisa

35 Kekuatiran Pusat dan berbagai pihak adalah munculnya produk-produk hukum pemda yang justru bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, termasuk Tap MPR No. III/2000 dan doktrin ilmu hukum yang ada. Baru-baru ini menurut Mendagri jumlahnya mencapai 700an.

36 Keputusan yang bersifat win-win solution tersebut, terutama bertujuan untuk mengembalikan kondisi masyarakat – dimana peristiwa hukum itu terjadi – menjadi “pulih” kembali.

37 Kajian mengenai efektivitas hukum lazimnya menelusuri: a) peraturan perundangannya, b) penegak hukumnya, c) masyarakat dan kebudayaannya, dan d) sarana & prasarana

pendukungnya.

38 Kesan bahwa A.H. hanya menstudi masyarakat-masyarakat tradisional (rural people) tidaklah tepat, Moore (1983) misalnya melakukan kajiannya di daerah perkotaan (urban area).

(17)

memunculkan gejolak dalam masyarakat dan pemerintah (termasuk pemerintah daerah).

• Menelusuri partisipasi masyarakat (termasuk bentuk dan magnitude-nya) di daerah-daerah – terutama di bidang hukum – dalam rangka memberdayakan mereka secara terintegrasi dan kontekstual. Pemberdayaan ini, pada gilirannya, akan turut meringankan tugas dan wewenang pemda setempat.

• Menelaah lembaga-lembaga hukum39 alternatif yang mungkin digagas dalam kerangka

otonomi daerah dan pemberdayaan masyarakat. Lembaga ini, antara lain memuat prinsip-prinsip hukum yang lebih kontekstual;40

• Konsep-konsep penting Antropologi seperti: cultural relativism (relativisme kultural),

emic approach (pendekatan dengan menggunakan “kaca mata” masyarakat sendiri), comparative approach (pendekatan perbandingan), diachronic approach (pendekatan

sejarah), ethnography (penulisan dan metode etnografi), dan holistic approach (pendekatan menyeluruh) adalah modal penting bagi AH untuk menelaah dinamika hukum dalam masyarakat-masyarakat dan kebudayaannya.

• Lalu pemberian warning oleh antropolog karena adanya paham negatif seperti

ethnocentrism (anggapan bahwa sukubangsa & kebudayaannya sendirilah yang terbaik,

sempurna), stereo type (anggapan negatif mengenai sukubangsa dan kebudayaan lain) dan legal ethnocentrism patut pula diperhatikan, terutama bila menyangkut kajian legal

pluralism.

Penutup

U

raian di atas menyajikan diskursus mengenai keberadaan sistem hukum lain (the other

laws), selain state law di negara kita. Uraian ini juga sekaligus memaparkan pelbagai

kekurangan state law sekaligus potensi sistem hukum dalam masyarakat karena sejalan dengan sistem budayanya (cultural system)41. Setidaknya yang ingin disajikan adalah

pemahaman bahwa kelompok-kelompok sosial di negara kita ini bervariasi, dan bila metodologi unifikasi hendak dipaksakan, maka upaya itu berarti akan menghadapi berbagai kendala.

Selain itu juga dipaparkan, berbagai metode dan pendekatan yang tercakup di dalam kajian antropologi hukum serta beberapa contoh kajiannya. Tulisan ringkas ini juga menyajikan semacam agenda yang patut didiskursuskan sehubungan dengan era otonomi daerah sekarang. Tentu saja agenda yang dipaparkan bukan dimaksudkan sekaligus sebagai solusi pemecahan, namun paling tidak berupaya mendorong pembacanya agar bisa turut serta menelusuri alternatif pemecahannya kelak.

39 Cakupan lembaga hukum luas, namun beberapa pihak mengenalnya hanya sebagai pelaksana hukum (Keesing, 1992: 77).

40 Prinsip-prinsip hukum lebih sering bersifat implisit, fleksibel, dan terus-menerus berubah (Keesing, 1992: 83).

41 Moore (1983) memperkenalkan konsepnya “semi autonomous social field” (bidang sosial

[masyarakat] yang sifatnya semi otonomi), maksudnya: bila diberlakukan suatu hukum nasional pada suatu masyarakat, maka mereka akan mengkreasikan (atau menjalankannya) sedemikian rupa agar tidak merugikan mereka.

(18)

Pada tataran praktik, gejala dimana telah terjadi benturan antara kebijakan (hukum) Pusat dengan Daerah-Daerah memang semakin menonjol dan rumit. Walau di dalam UU No. 22/99 telah diatur pasal-pasal untuk menjaga keselarasan pengaturan (di bidang hukum), dan sekalipun doktrin hukum modern juga sudah memuat urut-urutan sumber hukum (termasuk implikasinya), termasuk pula adanya tata aturan perundangan yang diatur menurut Tap MPR yang baru (III/2000), namun kemungkinan benturan tetap saja muncul. Bahkan, diprediksikan benturan akan menjadi semakin meluas sekaligus

scattered.

Benturan bisa terjadi: antara Pusat dengan (pemerintah) Daerah, dan antara Daerah dengan Daerah, antara Daerah dengan masyarakat (melalui the other laws), termasuk pula antara Pusat dengan masyarakat serta antara pihak pemda (dan atau masyarakat) dengan pihak internasional. Berbagai kepentingan ekonomi, politik, kesuku-bangsaan, agama, dan lainnya akan semakin membuat benturan menjadi semakin “canggih” dan jlimet. Dengan demikian, kajian yang dilandasi dengan penelusuran dan penganalisisan gejala-gejala hukum empirik memang perlu dikedepankan segera. Bila tidak, maka banyak pihak, termasuk pemda (di era Otonomi Daerah kini) akan sulit untuk memahami berbagai dinamika hukum yang terjadi di wilayahnya. Karena kekurang tahuan tersebut, kadangkala akan memunculkan politik “kambing hitam”. Sikap semacam ini bukanlah merupakan potensi dan kondisi positip bagi pemerintah daerah dan masyarakatnya, namun sebaliknya.

Benturan sebenarnya juga terus terjadi pada tingkat paradigma dan metodologi yang menyangkut cara pandang hubungan hukum dengan masyarakat (cf. Wignjosoebroto, 2002). Bahkan benturan juga terjadi dalam lingkup pengkaji A.H sendiri (cf. Tamanana, 2000). Misalnya menyangkut teori dan konsep kemajemukan hukum serta kegunaannya. Pada kesempatan lain hal-hal yang disebut belakangan ini akan dibahas.

(19)

Bahan Bacaan

Bachtiar, Harsja W. 1976. “Hukum dan Kenyataan-Kenyataan Masyarakat di Indonesia” dalam Berita Antropologi, Tahun VIII, Agustus, pp. 3 -54.

Bachtiar, Harsja W. 1985. “Konsensus dan Konflik dalam Sistem Budaya Di Indonesia,” dalam Harsja W. Bachtiar (ed.), Budaya dan Manusia Indonesia. Malang: YP2LPM, pp. 1 -18.

Benda-Beckmann, Franz von. 1979. Property in Social Continuity, Continuity and Change in

the Maintenance of Property Relationship through Time in Minangkabau, West Sumatra.

The Hague: Martinus Nijhoff.

Bohannan, Paul, 1965. “The Differing Realms of Law”, dalam American Anthropologist, Special edition. Volume 67, No. 6, Part 2, pp. 33-42.

Bohannan, Paul, 1984. “Hukum dan Pranata Hukum” dalam T.O. Ihromi (ed.), Antropologi

dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Chiseri-Strater, Elizabeth & Bonnie Stone Sunstein, 1997. Field Working, Reading and

Writing. New Jersey: A Blair Press Book.

Coser, Lewis A. 1957. “The Functions of Social Conflict” dalam Selo Soemardjan & Soelaeman Soemardi (eds.), Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: PLFEUI, pp. 225 – 232.

Coser, Lewis A. 1964. The Functions of Social Conflicts. London: The Free Press of Glencoe. Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford, California:

Stanford University Press.

Furnivall, J.S. Netherlands India, A Study of Plural Economy. Cambridge: University Press, 1944.

Griffiths, John, 1986. “What is Legal Pluralism?” dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 24, 1. pp. 1 -56.

Hadikusuma, Hilman. 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni. Hadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar Antropologi Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti.

Hartono, Sunaryati, 1993. “Kebijakan Pembangunan Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional” dalam Analisis CSIS, 1993-1, pp. 4 – 17.

Hoebel, E. Adamson, 1954. The Law of Primitive Man: Study in Comparative Legal Dynamics. Cambridge: Harvard University Press.

Holleman J.F, 1983, “Trouble-Cases and Trouble-less Cases in The Study of Customary Law and Legal Reform” dalam Law and Society Review 7 (4): 585 – 609.

Hobsbawm, Eric, 1987. “Introduction: Inventing Tradition” dalam Eric Hobsbawm & Terence Ranger (eds.), The Inventing Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.

Ihromi, T.O. 1986. Bianglala Hukum. Bandung: Tarsito.

Ihromi, T.O. 2000. Kajian Terhadap Hukum dengan Pendekatan Antropologi. Catatan-Catatan

untuk Peningkatan Pemahaman Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat. Depok: Fakultas

(20)

Inkeles, Alex. 1981. What Is Sociology? An Introduction to The Discipline and Profession. New Delhi: Prentice-Hall of India.

Irianto, Sulistyowati. Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum. Studi mengenai Strategi

Perempuan Batak Toba untuk mendapatkan Akses kepada Harta Waris melalui Proses Penyelesaian Sengketa. Kata Pengantar: T.O. Ihromi. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2003.

Keesing, Roger M. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi Kedua. 2. Diterjemahkan oleh Samuel Gunawan. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992.

Koentjaraningrat (ed.), 1982. Masalah-Masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi

Terapan. Jakarta: LP3ES.

Kompas, 2001. “Kepmenaker No. 150/2000 Diberlakukan Kembali”, Jakarta: 16 Juni. Malinowski, B. 1929. Crime and Custom is Savage Society. New Jersey: Littlefield.

Masinambow, E.K.M. (ed.) 2000. Hukum dan Kemajemukan Budaya, Sumbangan Karangan

untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O. Ihromi. Jakarta: Obor

Indonesia 2000.

Moehammad, 2001. “Kabar Nusa: Raja Muda Bima Akan Dikukuhkan” dalam Koran Tempo, 14 Juni.

Moore, Sally F. 1983. “Law and Social Change: the Semi-autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study” dalam law as Process, an Anthropological Approach. London: Routledge & Kegan Paul, pp. 54 – 81.

Nader, Laura & D. Metzger, 1963. “Conflict Resolution in Two Mexican Communities” dalam American Anthropologist, Volume 65, No. 3, Part I, June.

Nader, Laura & Harry Todd (eds.), 1978. The Disputing Process: Law in Ten Societies. New York: Columbia University Press.

Nixon, 1998. “Legal Anthropology” taken from www.ameranthassn.org;

Pospisil, L, 1967. “The Attributes of Law” dalam Law and Warfare, Studies in The

Anthropology of Conflict, Paul Bohannan (ed.). New York: The Natural History Press.

Pospisil, L, 1971. Anthropology of Law. A Comparative Theory. London: Harper & Row.

Sills, David L. (ed). International Encyclopedia of the Social Sciences, 1972: vol. 13, New York: The Macmillan Company & the Free Press. p. 410;

Simbolon, Indira Juditka, 1995. “Women in a Tug-of-War Between Customary Law and State Law: Opportunities and Constraints for Obtaining Access Rights to Land of The Toba-Batak Women, Indonesia,” Papers of the Commission’s 10 th International Congress, Commission on Folk Law and Legal Pluralism. Ghana, August 21 – 24, 1995. pp. 107 – 132.

Soehendera, Djaka, 1989. “Tinjauan Buku Bronislaw Malinowski” dalam Antropologi No. 47, Tahun XIII, Juli-Agustus-September 1989. pp. 123 – 127.

Soekanto, Soerjono. 1984. Antropologi Hukum, Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Jakarta: Rajawali Pers.

Soekanto, Soerjono et al. 1984. Antropologi Hukum, Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Jakarta: Rajawali Pers.

(21)

Soesangobeng, Herman. 1998. “Filosofi Adat dalam UUPA” paper untuk Sarasehan Nasional Peningkatkan Akses Rakyat terhadap Sumberdaya Tanah yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN bekerjasama dengan ASPPAT, 12 Oktober.

Spradley, James P. & David McCurdy, 1975. Anthropology: the Cultural Perspective. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Suparlan, Parsudi. “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya, Perspektif Antropologi Budaya.” Jakarta: makalah dalam Seminar Manusia dalam Keserasian Lingkungan, oleh Pusat Studi Lingkungan Universitas Indonesia, 7 Februari 1980. pp. 20 –33. Tamanaha, Brian, 2000. “A Non-Essentialist Version of Legal Pluralism” dalam Journal of

Law and Society, Volume 27. Number 2, June.

Van Baal, J. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Kata Pengantar: Prof.Dr. Selo Soemardjan. Jakarta: PT. Gramedia, 1988.

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: HuMA, 2002.

Wolf, E.R. 1968. “Kinship, Friendship and Patron-Client Relations in Complex Societies” in Michael Banton (ed.), The Social Anthropology of Complex Society. London: Tavistock, pp. 1 – 23.

Woodman, Gordon R. 1995. “The Common Law as Folk Law of The Lawyers” in Papers of The Commission’s 10 International Congress, Commission On Folk Law and Legal Pluralism, Ghana, August 21 – 24, pp. 331 – 356.

Referensi

Dokumen terkait

She smiled sarcastically and plans something to avenge Stefan’s betrayal. When the day of blessing comes, Maleficent also attend to the castle which makes

Penambahan sumber protein berupa asam amino atau tepung daun singkong sebelum proses fermentasi BIS, mampu menghasilkan produk fermentasi dengan kandungan protein

Berikut adalah tampilan gambar dari proses bisnis. usulan pada

Konse rinsi dan nilai Pancasila harus diim lementasikan dalam kehidu an.. Dalam en am aian enda at ada ketentuan an bersumber dari

Jumlah Model pengembangan dan pembelajaran yang Dikembangkan di Kawasan Asia Tenggara untuk bidang Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) Capaian indikator kinerja ini sudah

Jika itu mencerminkan anda, maka anda perlu kembali melatih pikiran anda untuk fokus pada semua hal baik yang terjadi di sekitar anda, bukan yang buruk.. Buat daftar semua hal yang

Berdasarkan perhitungan perpindahan arus lalu lintas ke Semarang Outer Ring Road (SORR) dimana pada tahun 2020 jalan itu beroperasi didapatkan besarnya arus lalu lintas

[r]