• Tidak ada hasil yang ditemukan

Badan Yudikatif. Modul 9

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Badan Yudikatif. Modul 9"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Modul 9

Badan Yudikatif

Prof. Miriam Budiardjo

Panji Anugrah, S.IP.

ehubungan dengan pembagian kekuasaan menurut fungsi, kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili pelanggaran terhadap Undang-Undang. Dalam pelaksanaannya kekuasaan yudikatif ini dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi serta badan-badan pengadilan. Di Indonesia kekuasaan yudikatif ini dikenal sebagai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi yudikatif adalah kekuasaan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Inilah yang kita kenal dengan kebebasan kehakiman.

Salah satu masalah yang berhubungan erat dengan fungsi yudikatif adalah masalah hak menguji (judicial review). Judicial review adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar. Apabila tidak sesuai, dalam arti bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang tersebut dapat dinyatakan batal. Di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, Jerman Barat, Jepang dan India, wewenang ini diserahkan kepada Mahkamah Agung yang memiliki hak judicial review. Di Indonesia sejak tahun 2003, wewenang ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh beberapa negara, penyerahan hak ini dinilai tidak demokratis, dengan alasan bahwa keputusan dari wakil-wakil rakyat dapat dengan mudah diputuskan oleh keputusan beberapa orang hakim Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.

Suatu masalah dasar yang melekat pada kekuasaan kehakiman adalah masalah kekuasaan kehakiman yang bebas, dalam arti tidak dapat dicampuri oleh kekuasaan lain. Karena hanya dengan terjaminnya kebebasan kekuasaan kehakiman dapat diharapkan terjaminnya hak-hak asasi manusia dan terselenggaranya negara hukum. Di Indonesia kebebasan kekuasaan

S

(2)

kehakiman diatur dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen. Dalam amandemen ketiga pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dengan demikian, jaminan konstitusional ini dapat memberikan gambaran bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya.

Dengan mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat mengerti tentang fungsi badan yudikatif, judicial review dan badan yudikatif di Indonesia.

Secara khusus setelah mempelajari modul ini Anda diharapkan dapat menjelaskan

1. latar belakang sejarah badan yudikatif;

2. fungsi badan yudikatif dalam rangka pembagian kekuasaan secara fungsional;

3. konsep/asas judicial review dan pelaksanaannya di beberapa negara; 4. peranan badan yudikatif di Indonesia dalam sistem politik di masanya,

(3)

KEGIATAN BELAJAR 1

Latar Belakang Sejarah

esuai dengan doktrin pembagian kekuasaan, badan yudikatif harus dipegang pejabat yang tidak merangkap dengan jabatan dalam badan-badan kekuasaan lainnya. Pelaksanaan konsep ini dimungkinkan pada masa peranan negara masih sangat terbatas yaitu masa Penjaga Malam (Nachtwẩkter Staat) di mana peranan negara hanya dibatasi mengurus hak keamanan warganya. Negara hanya campur tangan bila hak warga negara yang satu terampas atau diganggu oleh warga negara lain. Negara mempunyai peranan yang sangat terbatas dalam urusan kesejahteraan warganya. Hak ini didasarkan pada konsep “negara yang terbaik adalah negara yang paling sedikit campur tangan dalam urusan warganya (The least government is the best government)”. Jadi semangat yang dijiwai oleh individualisme membatasi peranan pemerintah menjadi sekecil mungkin.

Pemikiran pokok yang menjadi landasan, baik dalam perlindungan konstitusional maupun dalam hukum administrasi, maka perlindungan yang utama terhadap individu tergantung pada badan kehakiman yang tegas, bebas dan terpandang. Pasal 10 Deklarasi Sedunia Hak-hak Asasi Manusia memandang bahwa kebebasan dan tidak memihaknya badan-badan pengadilan (independent and impartial tribunals) di dalam setiap negara merupakan hal yang esensial. Badan yudikatif yang independen adalah syarat mutlak dalam suatu masyarakat yang bernaung di bawah Rule of Law. Kebebasan badan yudikatif meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislatif ataupun masyarakat umum, di dalam menjalankan tugas yudikatifnya. Namun, tidaklah berarti bahwa hakim itu boleh bertindak secara serampangan saja. Kewajibannya adalah untuk menafsirkan hukum serta prinsip-prinsip dan asumsi yang berhubungan dengan hal itu berdasarkan perasaan keadilan serta hati nuraninya.

Akan tetapi dalam perkembangan negara abad ke-20 peranan negara menjadi demikian kompleksnya-bukan hanya mengurus keamanan, tetapi juga masalah ekonomi, sosial budaya dan lain-lain-sehingga konsep negara sebagai Penjaga Malam tersebut di atas ditinggalkan. Dan berkembanglah konsep negara kesejahteraan (welfare state), di mana negara bertanggung

(4)

jawab atas kesejahteraan warganya. Fungsi negara bergeser sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan negara kesejahteraan tersebut. Di sini negara bertindak aktif dalam menggali segala potensi yang ada dalam negara tersebut untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya. Jadi tidak terbatas hanya pada urusan keamanan seperti dalam konsep negara Penjaga Malam.

Perkembangan ini sejalan dengan perubahan konsep pemisahan kekuasaan menjadi konsep pembagian kekuasaan. Dalam konsep ini yang dipisahkan hanya fungsi pokoknya menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi negara.

Bagaimanakah caranya untuk menjamin pelaksanaan asas kebebasan kekuasaan kehakiman itu? Pertama-tama kita saksikan bahwa di dalam beberapa negara jabatan hakim, terutama Hakim Agung, adalah permanen, seumur hidup (sampai mengundurkan diri secara sukarela) atau setidak-tidaknya sampai saatnya di pensiun (pensiun mana biasanya diberikan pada umur lebih tinggi daripada pegawai lain), selama ia berkelakuan baik dan tidak tersangkut dalam tindakan kejahatan. Selain dari itu di kebanyakan negara, para hakim tidak menduduki jabatan atas dasar hasil pemilihan seperti halnya pada jabatan legislatif dan jabatan eksekutif (misalnya Presiden di Indonesia dan Presiden Amerika Serikat). Hakim biasanya diangkat oleh badan eksekutif didasarkan persetujuan Senat seperti di Amerika Serikat. Ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi politik suatu masa, sehingga dengan demikian diharapkan tugas yudikatif dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Di samping itu, sehubungan dengan pergeseran konsep kekuasaan negara dari pemisahan kekuasaan menjadi konsep pembagian kekuasaan, maka terjadi pula pergeseran nilai kekuasaan yudikatif. Dengan kata lain, kebebasan mutlak badan yudikatif sangat sulit dilaksanakan. Dalam hal ini tidak berarti badan yudikatif tidak bebas dalam menjalankan fungsinya. Namun, dalam hal atau urusan tertentu, eksekutif misalnya dapat juga berkecimpung dalam bidang yudikatif, misalnya dalam sengketa perumahan, dalam konflik-konflik pajak. Begitu pula dalam melaksanakan Undang-Undang, pemerintah juga membuat Undang-Undang untuk penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.

(5)

A. PENGERTIAN BADAN YUDIKATIF

Kekuasaan yudikatif dilaksanakan oleh badan-badan yudikatif, seperti badan-badan pengadilan dan Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi. Sesuai dengan doktrin pembagian kekuasaan, badan yudikatif harus dipegang oleh pejabat yang tidak merangkap dengan jabatan dalam badan-badan kekuasaan lainnya. Hal ini dianggap perlu untuk menjamin hak-hak asasi manusia.

Kekuasaan yudikatif menjalankan fungsi untuk mengawasi dan mengadili pelang-garan Undang-Undang. Dalam pelaksanaannya kekuasaan yudikatif ini dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan pengadilan. Di Indonesia kekuasaan yudikatif ini dikenal sebagai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi yudikatif adalah kekuasaan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Inilah yang kita kenal dengan kebebasan kehakiman.

Salah satu masalah yang berhubungan erat dengan fungsi yudikatif adalah masalah hak menguji (judicial review). Judicial review adalah wewenang untuk menilai apakah Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar. Apabila tidak sesuai, dalam arti bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang tersebut dapat dinyatakan batal. Di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, Jerman Barat, Jepang dan India, wewenang ini diserahkan ke Mahkamah Agung. Di Indonesia, wewenang ini diserahkan pada Mahkamah Konstitusi sebagaimana diamanatkan pasal 24C Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Namun, wewenang ini oleh beberapa negara dianggap tidak demokratis, dengan alasan bahwa keputusan dari wakil-wakil rakyat dapat dengan mudah dibatalkan oleh keputusan beberapa orang hakim Mahkamah Agung.

B. SISTEM COMMON LAW DAN SISTEM CIVIL LAW

Sehubungan dengan pembicaraan mengenai kekuasaan yudikatif, maka dalam hal ini kita perlu membicarakan dua sistem hukum yang berbeda yaitu: Sistem Common Law dan Sistem Civil Law (Hukum Perdata Umum).

Sistem Common Law terdapat di negara-negara Anglo Saxon yang didasarkan prinsip bahwa di samping Undang-Undang yang dibuat oleh

(6)

parlemen (yang dinamakan statute law) masih terdapat peraturan-peraturan lain yang merupakan Common Law. Common Law ini bukan merupakan aturan-aturan yang telah dikodifisasi (dimasukkan dalam suatu Kitab Undang-Undang seperti Code Civil), tetapi merupakan kumpulan keputusan yang dalam zaman yang lalu telah dirumuskan oleh hakim. Jadi, sesungguhnya hakim juga turut menciptakan hukum dengan keputusannya, disebut pula case law atau judge-made law (hukum buatan hakim). Sistem ini merupakan karakteristik yang kita jumpai dalam negara dengan sistem Common Law, seperti misalnya Inggris; yang berbeda dari negara-negara dengan sistem kodifikasi Hukum Perdata Umum, seperti misalnya Perancis.

Menurut C.F. Strong, prinsip judge-made law didasarkan atas precedent yaitu keputusan-keputusan para hakim yang terdahulu mengikat hakim-hakim berikutnya dalam perkara yang serupa. Hakim dengan keputusannya itu pada hakikatnya telah menciptakan hukum, biar pun hal ini berbeda sama sekali dengan hukum yang dibuat oleh badan legislatif. Seperti dikatakan oleh ahli hukum Inggris, A.V. Dicey bahwa “kekuasaan hakim pada hakikatnya bersifat legislatif” (essentially legislative authority of judges); atau menurut pendapat seorang hakim Amerika yang ulung O.W. Holmes bahwa “hakim-hakim bertindak sebagai pembuat peraturan hukum dan memang seharusnya demikian” (judges do and must legislate).

Asas case law adalah karakteristik penting yang kita jumpai dalam negara-negara dengan sistem Common Law, karena dalam negara-negara tersebut tidak ada kodifikasi hukum dalam Kitab Undang-Undang. Dengan perkataan lain, dalam negara-negara dengan sistem Common Law tersebut tidak ada suatu sistem hukum yang telah dibukukan (dikodifisasi), di mana hakim sebagai suara Undang-Undang (la voix de la loi) hanya tinggal menerangkan saja hukum apakah yang berlaku dalam menghadapi suatu perkara tertentu yang diajukan kepadanya.

Tetapi di kebanyakan negara Eropa Barat kontinental di mana kodifikasi hukum telah lama tersusun rapi (sistem Hukum Perdata), maka penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim itu pada umumnya adalah tidak mungkin. Di Perancis misalnya, di mana kodifikasi hukum telah diadakan semenjak zaman Napoleon, para hakim dengan tegas dilarang menciptakan case law. Hakim harus mengadili perkara hanya berdasarkan peraturan hukum yang termuat dalam kodifikasi saja. Dalam ilmu hukum, prinsip ini dikenal dengan aliran Positivisme perundang-undangan atau Legalisme, yang berpendapat

(7)

bahwa “Undang-Undang menjadi sumber hukum satu-satunya”. Tetapi apabila peraturan hukum dalam kodifikasi itu ternyata tidak mengatur perkara yang diajukan ke pengadilan, maka barulah hakim boleh memberikan putusannya sendiri; akan tetapi putusan ini sama sekali tidaklah mengikat hakim-hakim yang kemudian dalam menghadapi perkara yang serupa (jadi tidak ada precedent). Dan apabila ada suatu perkara yang diajukan ternyata tidak diatur dalam peraturan tertulis, maka hakim tidak perlu mengikuti precedent yang terdahulu dalam memberikan keputusannya.

Sebagaimana dijelaskan di atas, sistem Hukum Perdata kumpulan Undang-Undang dan peraturan-peraturan (kodifikasi) menjadi pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan persoalan-persoalan. Sering kali untuk menguatkan keputusannya, maka dia akan menyebut juga keputusan hakim yang telah memberi keputusan dalam perkara yang serupa. Keputusan-keputusan ini dinamakan jurisprudensi. Tetapi dasar Keputusan-keputusannya tetap pasal tertentu dari Kitab Undang-Undang. Baik dalam sistem Common Law maupun dalam sistem Hukum Perdata, hakim secara teoretis berhak memberi keputusan baru, terlepas dari jurisprudensi atau Undang-Undang yang biasanya mengikatnya, dengan evaluasi lain atau re-evaluasi jurisprudensi dahulu atau interpretasi atau re-interpretasi baru Kitab Undang-Undang lama. Tetapi dalam praktik hakim terikat pada keputusan-keputusan pengadilan yang lebih tinggi, teristimewa Mahkamah Agung.

Dalam negara federal kedudukan badan yudikatif, terutama pengadilan federal, mendapat kedudukan yang lebih istimewa daripada dalam negara kesatuan, oleh karena biasanya mendapat tugas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan konstitusional yang telah timbul antara negara federal dengan negara bagian, atau negara-negara bagian satu sama lain. Sedangkan dalam negara kesatuan persoalan semacam itu tidak ada.

Di negara-negara eks komunis Uni Soviet dan Eropa Timur peranan dan wewenang badan yudikatif didasarkan suatu konsep yang dinamakan Soviet Legality atau “socialist legality”. Berkaitan dengan tujuan yang diarahkan pada komunisme, aktivitas kenegaraan termasuk penyelenggaraan hukum dan wewenang badan yudikatif merupakan prasarana untuk melancarkan perkembangan ke arah komunisme tersebut. Tingkat perjuangan ini berbeda-beda menurut tempat, dan ada negara komunis seperti Hongaria, yang lebih menekankan penyelenggaraan kekerasan terhadap musuh-musuh komunisme, seperti terlihat dalam pasal 41 Undang-Undang Dasarnya: “Badan Pengadilan

(8)

Republik Rakyat Hongaria menghukum musuh-musuh rakyat pekerja, melindungi dan menjaga negara, ketertiban sosial dan ekonomi dan lembaga-lembaga demokrasi rakyat serta hak-hak kaum pekerja dan mendidik rakyat pekerja untuk menaati tata-tertib kehidupan masyarakat sosialis”.

Di Soviet, barangkali karena sudah lebih maju perkembangannya segi konsolidasi sistem sosial dan ekonomi sosialis lebih ditekankan. Kata Andrei Y. Vyshinsky dalam The Law of the Soviet State: ”Sistem pengadilan dan kejaksaan merupakan alat yang kuat dari diktatur proletar, dengan mana tercapainya tugas-tugas sejarah dapat terjamin, tata hukum sosialis diperkuat dan pelanggar-pelanggar Undang-Undang Soviet diberantas”.

Hak asasi pun dilihat dalam rangka yang sama dan fungsi badan yudikatif tidak dimaksud untuk melindungi kebebasan individu dari tindakan sewenang-wenang pemerintah (anggapan yang demikian ini dianggap sebagai faham borjuis). Menurut tafsiran H. Friedmann dalam bukunya Legal Theory, hak-hak asasi di Soviet hanya dilindungi “sejauh tidak diselenggarakan secara bertentangan dengan tujuan sosial dan ekonomi”.

1) Jelaskan fungsi dan kekuasaan badan yudikatif sesuai dengan doktrin pembagian kekuasaan!

2) Uraikanlah pula hubungan antara perlindungan konstitusional dan badan kehakiman yang bebas!

3) Jelaskan sistem hukum Common Law! Petunjuk Jawaban Latihan

1) Fungsi badan yudikatif adalah mengawasi dan mengadili setiap pelanggaran Undang-Undang. Kekuasaan yudikatif dilaksanakan oleh badan-badan yudikatif, seperti badan-badan pengadilan dan Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi. Sesuai dengan doktrin

L A T I H A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!

(9)

pembagian kekuasaan badan yudikatif harus dipegang pejabat yang tidak merangkap dengan jabatan dalam badan-badan kekuasaan lainnya. Hal ini dianggap perlu untuk menjamin hak-hak asasi manusia. Kekuasaan yudikatif menjalankan fungsi untuk mengawasi dan mengadili pelanggaran Undang-Undang. Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman harus menjalankan fungsinya secara bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Prinsip inilah yang kita kenal dengan kebebasan kehakiman.

2) Perlindungan konstitusional yang utama adalah terhadap individu dan tergantung pada badan kehakiman yang tegas, bebas dan terpandang. 3) Sistem Common Law terdapat di negara-negara Anglo Saxon dan

memulai pertumbuhannya di Inggris pada Abad Pertengahan. Sistem ini berdasarkan prinsip bahwa di samping Undang-Undang yang dibuat oleh parlemen (yang dinamakan statute law) masih terdapat peraturan-peraturan lain yang merupakan Common Law. Common Law ini bukan merupakan aturan-aturan yang telah dikodifisasi (dimasukkan dalam suatu Kitab Undang-Undang seperti Code Civil), tetapi merupakan kumpulan keputusan yang dalam zaman yang lalu telah dirumuskan oleh hakim. Jadi, sesungguhnya hakim juga turut menciptakan hukum dengan keputusannya itu. Inilah yang dinamakan case law ataupun judge-made law (hukum buatan hakim).

Dalam pelaksanaannya di berbagai negara, kekuasaan badan yudikatif dilaksanakan oleh badan-badan pengadilan dan Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi. Demi terjaminnya hak asasi manusia dan sesuai dengan asas pembagian kekuasaan, badan-badan pengadilan tersebut haruslah dapat dijamin kebebasannya.

Dalam perkembangannya, kekuasaan badan yudikatif mengalami pergeseran peranan. Dalam masa negara Penjaga Malam, peranan negara kecil dan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang terpisah. Sedangkan dalam negara Kesejahteraan, di mana negara dihadapkan pada peran yang lebih besar, kekuasaan yudikatif tidak lagi terpisah.

(10)

Namun demikian kebebasan badan yudikatif tetap dipertahankan, meskipun tidak dalam arti kebebasan yang mutlak.

Kekuasaan badan yudikatif dilaksanakan oleh badan-badan pengadilan dan Mahkamah Agung. Sesuai doktrin pembagian kekuasaan, fungsi badan ini adalah untuk mengawasi dan mengadili pelanggaran Undang-Undang. Dalam pelaksanaannya itulah, badan yudikatif harus memiliki kebebasan dan kemerdekaan dari pengaruh kekuasaan lainnya. Sementara itu, negara-negara di dunia pada dasarnya menerapkan dua sistem hukum yaitu Common Law dan Civil Law. Common Law merupakan sistem hukum di mana aturan-aturan hukum tidak dikodifikasi dan hakim menjadi pembuat peraturan hukum dan berlaku prinsip judge made law. Sementara dalam sistem Civil Law, aturan hukum telah dikodifisasi dan tertulis, sehingga tidak berlaku asas precedent. Di negara-negara eks komunis badan yudikatif memiliki fungsi yang disesuaikan dengan tahapan sosialisme yang sedang ditempuh negara, tetapi tetap dalam kerangka kepentingan sistem politik komunis.

1) Kekuasaan yudikatif dalam pelaksanaannya di berbagai negara dilaksanakan oleh badan ….

A. eksekutif B. legislatif

C. eksekutif bersama legislatif D. yudikatif.

2) Dalam doktrin pembagian kekuasaan, badan yudikatif …. A. bebas

B. boleh dicampuri eksekutif C. bekerja sama dengan legislatif D. tergantung pada badan eksekutif.

3) Salah satu dasar terlindunginya hak asasi manusia adalah …. A. kebebasan badan eksekutif

B. kebebasan badan yudikatif C. kebebasan badan legislatif

D. kerja sama antara eksekutif dan yudikatif

T E S F O R M A T I F 1

(11)

4) Negara Penjaga Malam memiliki konsep negara yang terbaik adalah negara yang ….

A. sangat besar kekuasaannya atas warga negara

B. sama sekali tidak campur tangan pada urusan warga negara C. paling sedikit campur tangan dalam urusan warganya D. mengacuhkan warganya.

5) Pada masa negara Penjaga Malam …. A. peranan negara tidak terbatas

B. negara hanya mengurus keamanan dan ketertiban C. negara hanya mengurus ekonomi saja

D. negara hanya mengurus urusan politik saja 6) Sistem hukum yang melarang case law adalah ….

A. Common Law

B. Civil Law

C. Perdata D. Pidana

7) Negara yang menerapkan sistem Civil Law adalah …. A. Eropa Kontinental

B. Inggris C. Australia D. Amerika Serikat

8) Negara eks komunis yang menekankan peranan badan yudikatif untuk menghukum musuh-musuh komunisme adalah ….

A. Polandia B. Uni Soviet C. Hongaria D. Yugoslavia

9) Dalam negara komunis hak-hak asasi manusia diletakkan …. A. sebagai perlindungan dari kesewenangan pemerintah B. di bawah kepentingan komunisme

C. di bawah pengawasan badan yudikatif D. sebagai manifestasi kebebasan.

10) Salah satu fungsi badan yudikatif di negara federal adalah …. A. mengadili pelanggaran oleh eksekutif

(12)

C. menghukum pejabat negara bagian

D. menyelesaikan persoalan konstitusional antara negara federal dan bagian

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal ×

(13)

Kegiata n Be laj ar 2

Hak Menguji (Judicial Review)

uatu hal yang berkaitan dengan kekuasaan yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi, adalah masalah hak menguji (judicial review) atau dalam bahasa Belanda dinamakan materieel toetsingsrecht. Hak ini adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar, sebab bisa saja suatu parlemen menerima baik suatu Undang-Undang sesuai dengan prosedur yang berlaku, akan tetapi isi Undang-Undang itu bertentangan dengan salah satu pasal dari Undang-Undang Dasar.

Terdapat beberapa negara (termasuk Amerika Serikat, Jepang, India dan belakangan Indonesia) yang menganggap bahwa Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang itu. Hal ini berarti bahwa Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yudikatif berkuasa untuk menyatakan sesuatu produk hasil kerja dari badan legislatif sebagai tidak sesuai dengan konstitusi (unconstitutional) dan dengan demikian mendorong badan legislatif untuk membatalkannya dan menariknya dari peredaran.

Namun demikian, sebagian negara-negara lainnya menolak wewenang Mahkamah Agung/ Mahkamah Konstitusi ini dan menganggapnya tidak demokratis, karena sejumlah kecil hakim dapat membatalkan hasil kerja dari sejumlah besar wakil rakyat. Kebanyakan negara-negara tersebut mengenal hak menguji di tingkat yang lebih rendah, yaitu untuk menilai apakah peraturan-peraturan di bawah Undang sesuai dengan Undang-Undang. Tetapi masalah ini seluruhnya bersifat teknis, dan tidak mendapat tempat dalam ilmu politik. Akan tetapi menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar ada banyak segi politisnya, karena dengan demikian suatu keputusan dari hakim agung yang menyangkut masalah konstitusional mempunyai pengaruh besar atas proses politik.

Jika kita menelusuri bagaimana proses hak menguji ini di Amerika Serikat, maka ternyata bahwa wewenang ini sebenarnya tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, akan tetapi pada tahun 1803 telah ditafsirkan oleh Ketua Mahkamah Agung John Marshall,

(14)

dan selanjutnya diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu hal yang wajar. Jadi wewenang Mahkamah Agung yang menyangkut judicial review di Amerika Serikat merupakan suatu konvensi. Hal ini pun tidak mengherankan, karena di negara-negara Anglo-Saxon konvensi memegang peranan sangat penting dalam kehidupan kenegaraan. Di Amerika Serikat seolah-olah wewenang untuk mengadakan judicial review itu pada tahun 1803 telah direbut oleh Mahkamah Agung di bawah ketuanya John Marshall. Mengapa seolah-olah merebut, karena wewenang tersebut berdasarkan tradisi dan tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar, sekalipun Undang-Undang Dasar tidak eksplisit melarangnya. Jadi, karena telah berlangsung dan dianggap wajar oleh masyarakat, maka wewenang judicial review sampai sekarang tidak dipermasalahkan dan berjalan lancar.

Peranan politik Mahkamah Agung ini sangat nyata di Amerika Serikat, maka dari itu setiap menunjukkan hakim agung baru atau setiap keputusan Mahkamah Agung yang menyangkut soal-soal konstitusional mendapat perhatian besar dari masyarakat. Sebagai contoh keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat yang mempengaruhi keadaan politik adalah keputusan Mahkamah Agung mengenai Public School Desegregation Act (Brown v Board of Education 1954) bahwa “segregation” (pemisahan antara golongan kulit putih dan golongan negro) merupakan diskriminasi dan tidak dibenarkan. Undang-Undang ini dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perjuangan orang kulit hitam untuk merebut hak-hak sipil di Amerika. Contoh lain di India, pada tahun 1969 Undang-Undang yang diprakarsai oleh pemerintah Indira Gandhi untuk menasionalisasi beberapa bank swasta oleh Mahkamah Agung dinyatakan “unconstitutional”.

Beberapa contoh di atas menunjukkan betapa besar wewenang Mahkamah Agung dalam menilai apakah suatu Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Dasar yang berlaku. Di Amerika Serikat wewenang judicial review ini demikian penting sehingga Mahkamah Agung dianggap sebagai “pengaman Undang-Undang Dasar” (Guardian of the Constitution).

Bagaimanakah hak uji materiil (judicial review) ini dikenal di Indonesia. Sebelum diberlakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, kita tidak mengenal asas tersebut. Demikian juga, jika kita memperhatikan UUDS 1950 dan Undang-Undang Dasar RIS 1949, kedua Undang-Undang Dasar ini pun tidak memuat ketentuan mengenai hal tersebut. Namun demikian,

(15)

bersamaan dengan hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan dari tahun 1999 hingga 2002, hak uji materiil ini kemudian dimiliki sebuah lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24C perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Dengan amandemen konstitusi yang memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi ini, secara ketatanegaraan kita telah memiliki lembaga yang memiliki kewenangan melakukan hak uji materiil seperti halnya Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang memberi kewenangan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi, kita hanya mengenal hak Mahkamah Agung untuk menguji dan menyatakan tidak sah semua peraturan perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-Undang. Hal ini dikarenakan konstitusi kita (Undang-Undang Dasar sebelum diamandemen) serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1956 tidak memberikan wewenang uji materiil pada lembaga yudikatif.

Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa wewenang atau hak menguji mengenai Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar di Indonesia telah diakui keberadaannya secara konstitusional. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, maka lembaga ini dapat menjalankan peran “Pengaman Undang-Undang Dasar” (Guardian of the Constitution).

BADAN YUDIKATIF DAN JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

Meskipun keempat Undang-Undang Dasar yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia tidak secara eksplisit menyatakan memakai doktrin trias politika, namun karena keempat Undang-Undang Dasar tersebut didasari jiwa

(16)

demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut konsep pembagian kekuasaan. Dianutnya prinsip pembagian kekuasaan negara tersebut jelas terlihat Bab tentang kekuasaan negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen misalnya, Bab III menjelaskan tentang kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif). Bab VII tentang kekuasaan dewan perwakilan rakyat (kekuasaan legislatif) dan Bab XI tentang kekuasaan kehakiman. Dalam pelaksanaan pembagian tersebut kekuasaan legislatif, dijalankan bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan.

Sebelum dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dasar bertolak kekuasaan yudikatif di Indonesia dapat kita temukan dalam pasal 24 dan pasal 25. Kedua pasal tersebut menentukan asas kekuasaan kehakiman yang bebas di Indonesia. Dalam penjelasan pasal 24 dan 25 mengenai kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa: ”Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Di sini jelas bahwa kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan kekuasaan tadi mendapat jaminan melalui Undang-Undang. Dengan kata lain hakim diharapkan dapat melaksanakan tugasnya tanpa dicampuri oleh kekuasaan lain. Dalam hal ini yang jelas diatur adalah kedudukan hakim itu sendiri.

Dalam perkembangan selanjutnya badan yudikatif di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sistem politik. Pada masa Demokrasi Terpimpin misalnya telah terjadi beberapa penyimpangan terhadap asas kekuasaan kehakiman yang bebas seperti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu penyimpangan adalah dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 19 Undang-Undang tersebut dinyatakan: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal pengadilan”. Selanjutnya dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa “Trias Politika tidak mempunyai tempat sama sekali dalam Hukum Nasional Indonesia” karena kita berada dalam revolusi, dan dikatakan selanjutnya bahwa “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuatan membuat

(17)

Undang-Undang”. Kalau kita perhatikan, jelaslah bahwa isi dan jiwa Undang-Undang tersebut di atas bertentangan sekali dengan isi dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 dan pasal 25.

Dalam masa Orde Baru, MPRS sebagai lembaga tertinggi negara pada sidangnya yang ke-4, telah mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XIX tahun 1966 Tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Ketetapan tersebut maka Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sesuai dengan asas kekuasaan kehakiman yang bebas dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka pasal 3 menentukan bahwa “segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang Dasar”. Jadi koreksi di atas dilakukan dalam rangka mendudukkan kekuasaan-kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang bebas dari campur tangan pihak luar.

Penyimpangan lain yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin yang bertentangan dengan asas kebebasan badan yudikatif adalah dengan memberi status menteri kepada Ketua Mahkamah Agung. Dengan pemberian status menteri tersebut maka Ketua Mahkamah Agung yang sebenarnya sederajat dengan eksekutif yaitu pemegang kekuasaan yudikatif, menjadi bagian dan berada di bawah badan eksekutif. Kemudian dalam perkembangannya selanjutnya hal ini juga dikoreksi, di mana jabatan Ketua Mahkamah Agung tidak lagi berada di bawah eksekutif, melainkan tetap sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Hal ini tetap berlangsung sampai saat ini.

Pembahasan kita selanjutnya adalah tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dengan kata lain sampai di manakah kebebasan badan yudikatif di Indonesia dijamin. Dalam hal ini kita kembali melihat pada beberapa dasar yang menjadi tumpuan kedudukan badan yudikatif tersebut.

Pertama bisa kita lihat dari kedudukan Indonesia sebagai negara hukum (Rechtstaats). Landasan ini jelas mengatur perlindungan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia dalam arti bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintah. Demikian pula terhadap jaminan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara. Karena pada badan yudikatiflah terdapat fungsi mengadili setiap pelanggaran di negara hukum Indonesia, maka kekuasaan kehakiman yang bebas merupakan

(18)

benteng dan penjaga negara hukum di Indonesia. Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) dengan jelas mengatur bahwa ”kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh pemerintah”. Jelas bahwa jaminan kebebasan badan yudikatif maksudnya untuk keleluasaan bergerak dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Jadi dapat kita ambil kesimpulan bahwa batas kekuasaan kehakiman yang bebas sangat penting dalam terlaksananya negara hukum di Indonesia.

Kedua juga kita temui dalam ketentuan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan sistem konstitusi (demokrasi konstitusional). Asas ini mengharuskan bahwa semua kehidupan bernegara di Republik Indonesia harus berdasarkan ketentuan konstitusi atau per Undang-Undangan. Maka konsekuensinya ialah bahwa kekuasaan negara diatur melalui pembagian kekuasaan negara. Dasar pembagian kekuasaan ini ialah agar tidak terjadi kekuasaan mutlak (absolutisme), atau kekuasaan yang tak terbatas. Dalam hal ini kekuasaan yudikatif merupakan salah satu bagian dari kekuasaan negara yang secara konstitusional berfungsi mengadili setiap pelanggaran Undang-Undang. Maka dengan dasar konstitusional ini memberi dasar untuk kekuasaan kehakiman yang bebas di Indonesia.

Perubahan penting berkaitan dengan kekuasaan badan yudikatif di Indonesia terjadi di masa reformasi. Proses reformasi berlangsung seiring dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan reformasi ketatanegaraan kita. Salah satu aspek yang dipandang penting dalam reformasi itu adalah dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan konstitusi tersebut juga membahas hal yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dua pasal yang menjelaskan tentang kekuasaan kehakiman dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, diperinci, dipertegas, serta diperkuat dengan hadirnya lembaga-lembaga kehakiman baru dalam sistem ketatanegaraan kita. Penegasan ini misalnya termuat dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga, yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Selanjutnya Pasal 24 ayat 2 menegaskan bahwa: “…kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

(19)

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Penguatan lembaga yudikatif ditegaskan dengan kehadiran dua lembaga baru kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi serta Komisi Yudisial. Komisi Yudisial memiliki wewenang dalam pengusulan hakim agung dan penegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24 B perubahan ketiga). Komisi Yudisial ini diangkat dan diberhentikan Presiden dengan persetujuan DPR.

Lembaga kehakiman baru yang memiliki wewenang yang sangat penting dalam hak uji materiil dan mekanisme checks and balances adalah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24 C perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, wewenang lembaga ini di antaranya:

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review).

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

3. Memutus pembubaran partai politik.

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

5. Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Dalam pasal yang sama juga dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.

Karena masalah teknis dan keterbatasan dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi ini, maka Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 perubahan keempat menegaskan bahwa lembaga ini selambat-lambatnya dibentuk pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA.

Akhirnya pada 13 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi resmi dibentuk. Di awal berdirinya, Mahkamah Konstitusi menerima 15 berkas permohonan uji materiil (judicial review) yang dilimpahkan oleh MA. Hingga 1 tahun keberadaannya, Mahkamah Konstitusi telah berhasil menangani 15 perkara

(20)

pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (judicial review), merubah 3 Undang-Undang, dan menuntaskan lebih dari 400 perkara mengenai pemilihan umum. Hingga saat ini, lembaga ini memang baru menggunakan 2 kewenangan yang dimilikinya yakni wewenang pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (judicial review) serta memutus perselisihan hasil pemilihan umum 2004.

Terdapat beberapa perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan wewenangnya melakukan uji materiil Undang-Undang terhadap Undang-Undang-Undang-Undang Dasar 1945. Di antara keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah pembatalan pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Termaktub di dalam pasal tersebut, syarat calon anggota DPD adalah, "Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya." Para pemohon uji materi yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Jakarta menyatakan bahwa pasal 60 huruf G bertentangan dengan pasal 28 huruf C ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 : "Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya." Kemudian pasal 28 huruf D ayat (3) : "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.". Pembenaran lainnya, pasal 28 huruf I ayat (2) : "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif."

Setelah melalui proses persidangan dan pengujian, akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, dalam amar putusan itu juga disebutkan adanya dissenting opinion (perbedaan pendapat) yang terjadi dalam musyawarah hakim. Dissenting opinion datang dari Hakim Achmad Rustandi. Hakim Rustandi mengatakan pasal 60 huruf g itu kelihatan seolah-olah tidak sejalan dengan semangat

(21)

UUD karena pencarian maknanya dilakukan secara kajian, bukan secara sistematis dikaitkan dengan pasal-pasal lainnya. Menurut dia, pasal itu lebih merupakan pembatasan yang setara dengan pasal 60 yaitu pembatasan umur, pendidikan, dan kondite politik. Menurutnya, dalam menjalankan hak dan kewajiban setiap warga negara tunduk pada pembatasan yang diterapkan UU untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kewajiban itu.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga telah mengeluarkan putusan final bagi pembatalan UU No 16 Tahun 2003 tentang Penerapan Perpu No 2/2002 tentang Perpu No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom Bali 12 Oktober 2002.

Perkara lain yang berkaitan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materiil ini adalah putusannya dalam uji materiil Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam perkara ini terkait hal yang bersifat politis di mana akan menentukan pencalonan K.H. Abdurahman Wahid sebagai calon Presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk melakukan uji materiil (judicial review) Undang-Undang No 23/2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Majelis Hakim Konstitusi memutuskan, menolak permohonan uji materiil pasal 6 huruf (d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. Alasan utama penolakan uji materiil tersebut, karena pasal 6 huruf d UU No 23 Tahun 2003 merupakan perintah konstitusi yakni UUD 1945. Ketentuan pasal tersebut sebagai derivasi (turunan) dari ketentuan yang diperintahkan dalam UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi, "Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden." Rumusan dalam pasal 6 huruf d UU No 23 Tahun 2003 tentang Calon Presiden dan Wapres mampu secara jasmani dan rohani merupakan pengulangan dari UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi, hal tersebut tidak bisa dikategorikan bertentangan dengan UUD 1945. Tentang alasan pemohon bahwa pasal tersebut mengandung makna diskriminasi bagi individu anggota masyarakat untuk menggunakan hak politik dalam pencalonan presiden sehingga bertentangan dengan ketentuan hak asasi manusia, hakim konstitusi menyatakan tidak sependapat.

Dari contoh beberapa perkara yang telah ditangani oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dapat diambil kesimpulan mengenai semakin

(22)

meningkatnya kewenangan lembaga yudikatif di masa reformasi. Hal ini memang sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 setelah proses amandemen, untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam memberikan penegakan hukum dan keadilan. Selain itu, tentu saja terkait dengan harapan dijalankannya mekanisme checks and balances di antara lembaga-lembaga negara untuk menghindari terjadi pemusatan kekuasaan pada satu lembaga negara.

1) Jelaskan tentang hak menguji (judicial review), sehingga jelas kedudukan hak tersebut dalam rangka pembagian kekuasaan negara! 2) Jelaskan pelaksanaan kekuasaan badan yudikatif di masa Reformasi! 3) Jelaskanlah pelaksanaan judicial review di Indonesia selama ini! Petunjuk Jawaban Latihan

1) Hak menguji adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-Undang sesuai atau tidak dengan Undang-Undang-Undang-Undang Dasar. Apabila tidak sesuai maka badan yang mempunyai hak menguji tersebut berhak menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut batal.

2) Perubahan penting berkaitan dengan kekuasaan badan yudikatif di Indonesia terjadi di masa reformasi. Proses reformasi berlangsung seiring dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan reformasi ketatanegaraan kita. Salah satu aspek yang dipandang penting dalam reformasi itu adalah dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan konstitusi tersebut juga membahas hal yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dua pasal yang menjelaskan tentang kekuasaan kehakiman dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, diperinci, dipertegas, serta diperkuat

L A T I H A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!

(23)

dengan hadirnya lembaga-lembaga kehakiman baru dalam sistem ketatanegaraan kita. Penegasan ini misalnya termuat dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga, yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sementara itu, penguatan lembaga yudikatif ditegaskan dengan kehadiran dua lembaga baru kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi serta Komisi Yudisial. Komisi Yudisial memiliki wewenang dalam pengusulan hakim agung dan penegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24 B perubahan ketiga). Komisi Yudisial ini diangkat dan diberhentikan Presiden dengan persetujuan DPR. Sementara itu Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan salah satunya melakukan judicial review.

3) Sebelum dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sistem ketatanegaraan kita tidak mengenal asas judicial review. Wewenang Mahkamah Agung hanya melakukan penilaian atas suatu peraturan per Undang-Undangan di bawah Undang-Undang bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang. Sementara pengujian Undang-Undang atas Undang-Undang Dasar tidak dimiliki kewenangannya oleh MA. Semenjak amandemen Undang-Undang Dasar 1945, hadirlah lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan melakukan judicial review. Hingga 1 tahun keberadaannya, Mahkamah Konstitusi telah berhasil menangani 15 perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang Dasar 1945 (judicial review), mengubah 3 Undang-Undang, dan menuntaskan lebih dari 400 perkara mengenai pemilihan umum.

Suatu masalah yang sangat penting berkaitan dengan kekuasaan yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Agung adalah masalah hak menguji (judicial review). Hak menguji ini adalah wewenang untuk menilai apakah Undang-Undang sesuai atau tidak Undang-Undang Dasar. Di

(24)

beberapa negara hak menguji diserahkan kepada Mahkamah Agung (Amerika Serikat, Jepang, dan India), tetapi beberapa negara menolak menyerahkan hak tersebut kepada Mahkamah Agung. Alasannya adalah dinilai kurang demokratis, karena sejumlah hakim dapat membatalkan sejumlah besar wakil rakyat. Di Indonesia, hak menguji baru dikenal setelah dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Hak ini diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi yang sejak didirikan telah menjalankan hak ini terhadap beberapa Undang-Undang.

Meskipun Indonesia tidak secara eksplisit menyatakan menganut doktrin trias politika, namun karena Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku didasari oleh jiwa demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut konsep pembagian kekuasaan negara. Hal ini bisa dilihat dalam

Undang-Undang Dasar 1945 tentang pembagian kekuasaan negara. Salah satu yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah mengenai kekuasaan badan yudikatif sebagai dijelaskan dalam pasal 24 dan 25 tentang kekuasaan kehakiman.

Dalam perkembangannya badan yudikatif di Indonesia mengalami pasang surut. Di masa Demokrasi Terpimpin misalnya terjadi beberapa penyimpangan atas Undang-Undang Dasar 1945 berupa diberikannya kewenangan campur tangan Presiden atas lembaga peradilan demi kepentingan revolusi. Penyimpangan lain adalah diangkatnya Ketua MA sebagai menteri dalam eksekutif. Di masa Orde Baru semua penyimpangan ini berusaha diluruskan kendati belum memberikan kekuasaan yang besar bagi badan yudikatif. Peranan yang besar dan merdeka bagi kekuasaan badan yudikatif terjadi di masa Reformasi dengan dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan memberikan wewenang judicial review kepadanya untuk menjadi pengaman Undang-Undang Dasar. Demikian juga lembaga-lembaga yudikatif lainnya hadir seperti Komisi Yudisial yang berfungsi untuk menjaga kehormatan, martabat, dan keluruhan perilaku para hakim.

(25)

1) Salah satu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan yudikatif adalah ….

A. masalah penetapan Undang-Undang

B. masalah prosedur penentuan Undang-Undang C. masalah hak menguji Undang-Undang

D. masalah hak mengajukan rancangan Undang-Undang 2) Hak menguji (judicial review) adalah hak untuk ….

A. menetapkan Undang-Undang

B. mengajukan rancangan Undang-Undang C. mengamandir/mengubah Undang-Undang

D. menilai apakah suatu Undang-Undang bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar

3) Di Amerika Serikat, Jepang, dan India wewenang hak menguji diserahkan kepada ….

A. Presiden

B. Parlemen/ Kongres C. Mahkamah Agung D. Presiden bersama Kongres

4) Beberapa negara menolak menyerahkan hak menguji kepada Mahkamah Agung didasarkan alasan ….

A. tidak sesuai prosedur

B. bertentangan dengan hak-hak asasi manusia C. tidak demokratis

D. bukan wewenang Mahkamah Agung

5) Judicial review di Amerika Serikat berdasarkan wewenang …. A. yang diatur oleh Undang-Undang

B. berdasarkan konvensi C. ditetapkan oleh Presiden D. ditetapkan oleh Kongres

T E S F O R M A T I F 2

(26)

6) Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya dijiwai oleh demokrasi konstitusional, maka kita menganut ….

A. konsep pemisahan kekuasaan B. konsep pembagian kekuasaan

C. konsep pemisahan dan pembagian kekuasaan D. konsep kekuasaan mutlak

7) Kekuasaan badan yudikatif di Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat ditemukan pada ….

A. pasal 16 B. pasal 29 C. pasal 16 dan 17 D. pasal 24 dan 25

8) Pada dasarnya kekuasaan yudikatif di Indonesia bertolak dari …. A. kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka

B. kekuasaan mutlak hakim

C. kerja sama yudikatif dengan eksekutif D. kekuasaan kehakiman yang terbatas

9) Pasal 19 dari Undang-Undang No. 19 tahun 1964 dianggap menyimpang dari kebebasan badan yudikatif karena ….

A. campur tangan parlemen terhadap peradilan B. ditetapkannya tidak sesuai hukum yang berlaku C. campur tangan presiden dalam urusan peradilan D. bertentangan dengan hak-hak warga negara

10) Pada masa Demokrasi Terpimpin, Ketua Mahkamah Agung diberikan status menteri, hal ini menyebabkan ….

A. kedudukan Ketua MA di atas Presiden B. kedudukan Ketua MA di bawah Presiden C. kedudukan Ketua MA sederajat dengan Presiden D. kedudukan Ketua MA menjadi tidak jelas

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

(27)

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal ×

(28)

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 1) D 2) A 3) B 4) C 5) B 6) C 7) A 8) C 9) B 10) C Tes Formatif 2 1) C 2) D 3) C 4) C 5) B 6) B 7) D 8) A 9) C 10) B

(29)

Daftar Pustaka

Budiardjo, Miriam. (1997). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Friedmann, W. (1960). Legal Theory. London: Stevens & Sons Limited. Strong C. F. (1963). Modern Political Constitutions: An Introduction to the

Comparative Study of Their History and Existing Form. London: Sidgwick & Jackson.

Vyshinsky, Andrei Y. (1961). The Law of the Soviet State. Translated from the Russian by Hugh W. Babb. New York: The Macmillan Company.

Referensi

Dokumen terkait

Pada kegiatan pemeliharaan safety valve terdapat risiko bahaya dengan kategori substantial yaitu dengan nilai existing level tertinggi 150 yaitu Risiko uap bertekanan

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan: rangkaian pelaksanaan acara, jenis makanan yang disajikan, alat yang digunakan untuk menghidang dan menyajikan makanan dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh motivasi kerja, kompensasi, pengembangan karir terhadap kinerja pegawai pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah

belum bisa mengisi kesepian dalam hati manusia. 1) Pesan Dakwah Lirik Keempat Lagu Lubang di Hati.. 94 Ketika kita sama-sama bertanya kepada akal, kita sering

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional disebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata

TUJUAN Menjadi pedoman dalam menilai resiko infeksi yang dapat terjadi akibat debu pembangunan baru atau perbaikan gedung di rumah sakit.. KEBIJAKAN SK Direktur Utama

Pada saat rokok dengan filter DE dibakar maka dapat dilihat jumlah partikel yang dihasilkan pada batang rokok ini berdasarkan waktu yang di tempu selama pembakaran

Gagasan dan proses perancangan Plaza Bacaan di Manado menggandeng tema “Atmospheres: Parameter Desain Peter Zumthor dalam Arsitektur” sebagai pendekatan dalam merancang,