• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEPARASI PROTEIN DENGAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEPARASI PROTEIN DENGAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SEPARASI PROTEIN DENGAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI

Harry Hans Japranata

Teknik Kimia, ITB, Jalan Ganesha No. 10, Bandung, Indonesia harry.hans.japranata@students.itb.ac.id

Abstrak

Salah satu jenis membran yang memanfaatkan gradien beda tekan dalam aplikasinya adalah membran ultrafiltrasi. Membran ultrafiltrasi mengalami perkembangan pesat dewasa ini, hal ini menjadikan membran ini sebagai salah satu opsi terbaik untuk pemurnian dan pemisahan zat, tak terkecuali dengan protein. Protein saat ini sudah menjadi komoditas komersil yang memiliki nilai yang sangat tinggi salah satunya adalah protein yang di aplikasikan dalam dunia medis seperti insulin. Tulisan ini akan mengulas mengenai, aplikasi membran ultrafiltasi untuk separasi atau fraksinasi protein khususnya protein yang digunakan dalam dunia medis (Therapeutic Protein). Proses-proses hidrodinamika hingga interaksi protein dengan akan di analisa untuk menentukan kondisi dan konfigurasi operasi seprasi protein. Tahanan membran menjadi pokok bahasan penting dalam tulisan ini yaitu menyangkut fouling dan polarisasi konsentrasi. Peristiwa fouling dan polarisasi konsentrasi menyebabkan penurunan selektivitas dan fluks permeat membran. Pemilihan membran dan modul serta kondisi operasional dalam praktek UF (fluks permeat, kecepatan aliran cross-flow, konsentrasi, pH, dan salinitas) masih berdasarkan pengalaman hasil eksperimen dan metode trial and error maka dari itu masalah dan tantangan untuk membran UF dalam proses separasi protein kedepannya adalah mengenai pemodelan yang inovatif untuk mengkuantifikasi interaksi pada unit terkecil baik secara hidrodinamika (skala mikro) hingga interaksi atomik (skala nano).

Kata kunci : Membran Ultrafiltrasi, Separasi Protein, Analisis multi-skala, Therapeutic Protein 1. Pendahuluan

Perkembangan teknologi industri saat ini berkembang sangat pesat tidak terkecuali dengan pengembangan unit operasi untuk proses pemisahan yang kuat, murah dan memiliki efektivitas tinggi khususnya untuk diterapkan pada industri bioteknologi. Membran ultrafiltrasi merupakan salah satu opsi primadona yang banyak digunakan industri sebagai unit bio-separasi karena sifatnya yang sangat selektif, murah dan mudah diaplikasikan dalam industri [1]. Hal ini didukung pula dengan berbagai riset dan penelitian bahwa membran ultrafiltrasi dapat mengoperasikan fraksinasi protein dengan resolusi sangat tinggi [2-8].

Tantangan dalam separasi protein sangatlah banyak karena sifatnya yang sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan. Konfigurasi dan design proses separasi harus dilakukan pada kondisi yang mild (suhu yang relatif rendah, tekanan rendah, tidak ada perubahan fasa atau penambahan bahan kimia tertentu) untuk mencegah denaturasi, deaktivasi ataupun degradasi protein. Untuk protein terapeutik khususnya, diperlukan proses yang detail dan terorganisir karena produk yang ingin dihasilkan harus sesuai dengan fungsinya untuk keperluan media yang diinginkan. Bebas dari kontaminasi patogen adalah suatu keharusan dalam proses pemisahan protein terapeutik dengan UF.

Namun perlu diketahui bahwa penggunaan membran ultrafiltrasi masih memiliki beberapa kekurangan diantaranya sulit mengontrol keluaran produk sehingga untuk pengaplikasiannya sebagai suatu unit proses perlu dilakukannya penelitian dan eksperimen.

Fraksinasi protein dengan membran ultrafiltrasi merupakan sistem yang rumit. Hidrodinamika, beda tekan,

tahanan membran, porositas, morfologi, muatan permukaan dan hidrofilitas membran mempengaruhi peristiwa transmisi dan rejeksi membran untuk tiap molekul protein sebagai permeat.

2. Membran Ultrafiltrasi

Membran merupakan teknologi yang berkembang pesat selama 30 tahun dalam pengembangannya. Membran ultrafiltrasi merupakan salah satu tipe membran berbasis gradien beda tekan sebagai gaya dorong dalam prinsip kerjanya. Membran ini dapat dibuat dengan bahan polimer, keramik, hingga bahan metal. Membran berbahan metal jarang digunakan karena fleksibilitasnya yang rendah; membran keramik untuk pemurnian umumnya memiliki permukaan yang hidrofilik mulai sering digunakan dalam dunia medis dan pharmaceutical karena sifatnya yang kuat dan tahanannya terhadap sterilisasi menggunakan temperatur tinggi dan bahan kimia; namun diantara semua jenis membran ultrafiltrasi, polimer merupakan bahan yang paling umum digunakan karena fleksibilitas yang tinggi, mudah dibentuk, dan murah. Polisulfon dan polietersulfcon merupakan polimer yang umum digunakan sebagai bahan dasar membran komersil untuk bioseparasi.

Secara umum membran dikenal dalam 4 jenis modul yaitu

a. Flat sheet

merupakan modul membran yang disusun sedemikian rupa hingga setiap lembarannya membentuk lapisan penyaring, modul ini umumnya bekerja pada beda tekan yang stabil serta sulit dikendalikan. Membran tipe flat sheet dewasa ini mulai ditinggalkan.

(2)

2 merupakan modul membran berbentuk tubular dengan diameter 3-15 mm, kelebihan modul ini adalah cocok digunakan untuk umpan yang mengandung zat pengotor ataupun partikel-partikel padatan dalam umpannya namun hanya bersifat sekali pakai karena tidak dapat dilakukan back-flushed.

c. Hollow fiber

merupakan jenis modul membran yang paling umum digunakan dewasa ini karena kelebihannya yang fleksible dan murah. Modul membran ini bekerja dalam satu kesatuan paket yang terdiri dari banyak hollow fiber berdiameter 0.2 – 2 mm, hollow fiber

bersifat padat namun hidrodinamika dalam tiap modulnya sulit dikarakterisasi.

d. Spiral wound

merupakan modul membran yang paling banyak diproduksi saat ini, modul ini memberikan luas permukaan yang sangat besar dalam satu unit volume yang kecil. Umumnya modul ini digunakan dalam sistem desalinasi air laut dan reverse osmosis.

Namun diantara banyak modul membran ultrafiltrasi yang tersedia saat ini, hollow fiber dan flat sheet merupakan jenis yang secara luas digunakan oleh industri-industri bioteknologi.

Tabel 1. Kondisi operasi berbagai jenis membran untuk perlakuan biologis dan koagulasi (diadaptasi dari: ref. [9])

3. Therapeutic Protein

Dalam beberapa tahun terakhir, riset pengembangan dan produksi protein terapeutik gencar dilakukan. Therapeutic protein atau protein terapeutik merupakan jenis protein yang dikembangkan dan dimodifikasi untuk keperluan medis. Hormon insulin merupakan salah satu jenis protein terapeutik pertama yang diciptakan [10]. Total produksi protein terapeutik dunia mencapai 27 milliar USD pada tahun 2001 dengan insulin, interferon, dan eritropoetin merupakan produk protein terapeutik yang paling banyak diproduksi namun protein-protein lain seperti antibodi monoklonal untuk terapi dan vaksin berbagai penyakit semakin banyak diproduksi hingga puluhan ton.

Protein terapeutik dapat diektraksi dari berbagai sumber yaitu:

a. Tanaman, hewan, dan manusia b. Protein rekombinan

c. Hewan ataupun tanaman transgenik.

Hasil-hasil ektraksi dari berbagai sumber tersebut masih berupa campuran tak murni dari berbagai komponen protein dan zat pengotor lainnya sehingga perlu adanya pemisahan dan pemurnian untuk mendapatkan protein yang diinginkan. Pemurnian campuran tersebut dimaksudkan untuk meminimalisasi kontaminasi oleh patogen-patogen ataupun protein lain yang menimbulkan efek samping dan merugikan bagi penggunanya. Oleh sebab itu dalam proses produksi protein terapeutik, pemisahan dan pemurnian protein mengambil porsi

terbesar dalam biaya produksi. Biaya produksi yang sangat besar disebabkan oleh sifatnya yang tidak stabil dan kemudahan strukturnya untuk rusak atau mengalami denaturasi akibat pemanasan ataupun penambahan pelarut tertentu. Sifat inilah yang kemudian membuat teknik separasi konvensional seperti distilasi, ektraksi, absorpsi, dan lainnya sulit diterapkan untuk memisahkan campuran protein tersebut.

Teknik pemisahan secara kromatografi dan pemisahan dengan membran merupakan teknik pemisahan untuk menghindari sifat protein yang mudah terdenaturasi sehingga dapat dipisahkan dan dimurnikan [6]. Pemisahan secara kromatografi bekerja dengan prinsip kepolar komponen dengan media geraknya dengan menggunakan adsorben dengan material berpori (filtrasi gel), ataupun muatan pada permukaannya. Namun perlu diingat bahwa kromatografi sulit diukur, mahal untuk dioperasikan, dilaksanakan hanya dalam skala partaian, dan membutuhkan pemahaman secara mendalam tentang sistem larutan yang hendak dipisahkan [11]. Hal ini mengakibatkan pemisahan dengan separasi membran merupakan opsi terbaik untuk separasi protein.

4. Fraksinasi Protein dengan Ultrafiltasi

Ukuran pori untuk membran ultrafiltrasi berkisar antara 5 – 100 nm dan mampu menahan molekul dalam rentang berat molekul 10kD – 1MD. Membran ultrafiltrasi tersebut dapat digunakan untuk filtrasi makromolekul seperti protein dan molekul polimer.

Tipe Membran Fluks Permeat Operating Preassure (kPa) Cross flow (m/s)

Tubular 1 – 1.5 200-300 2-3

Rotating Flat Disc 1 - 1.2 3-10 -

Hollow Fiber 0.25-0.7 5-30 -

(3)

3 Secara umum proses ultrafiltrasi dinilai berdasarkan 2 parameter yaitu flux membran (J) dan rejeksi membran (R) yang mengikuti persamaan berikut:

𝐽 =𝑄𝑝 𝐴 𝑅 = 1 − (𝐶𝑝

𝐶𝑓)

Parameter tersebutlah yang kemudian akan menjadi acuan kinerja dan efisiensi dari membran ultrafiltrasi.

Aplikasi paling umum ultrafiltrasi untuk proses-proses down-stream adalah pemekatan, desalinasi, dan klarifikasi protein, namun pada mulanya penggunakaan teknologi membran ultrafiltrasi untuk fraksinasi protein kurang berhasil, hal ini diakibatkan beberapa faktor, salah satunya adalah keterbatasan selektivitas sistem membran pada kondisi operasi tertentu. Berikut dijabarkan pada tabel 2 mengenai pemilihan jenis membran untuk separasi berbagai jenis protein kompleks dengan prinsip ultrafiltrasi.

Tabel 2. Separasi berbagai protein dengan membran

Nakatsuka & Michaels [16] menjabarkan beberapa faktor yang mengakibatkan buruknya pemisahan hasil ultrafiltrasi protein yaitu:

a. Distribusi luas ukuran pori pada membran ultrafiltrasi

b. Polarisasi konsentrasi pada permukaan membran sehingga terjadi fouling

c. Adsorpsi protein dalam struktur pori membran sehingga mengakibatkan fouling

d. Terakumulasinya formasi-formasi protein pada permukaan membran

e. Interaksi antar protein dalam sejumlah besar pelarut dan/ atau membran

Kelima faktor tersebut berkontribusi dalam pembentukan fouling pada struktur membran dimana merupakan masalah umum yang paling sering ditemui dalam aplikasi filtrasi menggunakan membran baik mikrofiltrasi, ultrafiltrasi dan nanofiltrasi.

Dengan demikian, masalah fraksinasi protein dengan membran ultrafiltrasi sangat bergantung pada tindakan untuk meminimalisasi terjadinya fouling pada membran ultrafiltrasi untuk terus mempertahankan sifat selektivitas tinggi pada membran tersebut. Wan [17] dalam studinya menunjukan bahwa untuk memperoleh separasi protein yang memiliki berat molekul yang hampir sama dalam campurannya secara efektif dengan menyesuaikan kondisi

campuran seperti pH dan salinitasnya serta memanipulasi sistem hidrodinamiknya.

Studi serupa terhadap pengaruh pH terhadap proses ultrafiltrasi dikaji oleh Nakatsuka et al. [16], protein myoglobin (berat molekul: 17000) dan BSA akan diseparasi dengan membran ultrafiltrasi dengan non-sorptive regenerated cellulose membranes (30 kDa MWCO). Hasil uji tersebut menyimpulkan bahwa selektivitas sangat bergantung pada pH campuran dibandingkan kekuatan ioniknya. Ghosh & Cui [9] juga meneliti hal yang sama yaitu efek pH pada proses UF pada filtrasi lysosim dari putih telur, hasilnya dideskripsikan pada tabel 3.

Tabel 3. Efek pH pada purifikasi lysosim dari putih telur [9]

Namun cara tersebut baru menunjukan prospek positif terhadap fraksinasi protein dan sampai saat ini belum ada model komprehensif untuk memprediksi fraksinasi

Jenis Protein Membran Ref.

BSA/IgG 200 kDa polysulfon; 100-300 kDa polietersulfon; 100 kDa membran

selulosik 100 kDa [8,12]

HSA/IgG polietersulfon; 100 kDa PVDF [13]

BSA/Lisosim 150 kDa Membran inorganik; 30 kDa polisulfon; [14]

BSA/Mioglobin 30 kDa Polysulfon, membran selulosik [15]

Lisosim dari putih telur 25 dan 50 kDa polisulfon; 30 kDa polysulfone hollow membrane [7] Hemoglobon dan

mioglobin 30 dan 150 kDa membran inorganik [15]

pH Faktor purifikasi Kemurnian lysosim (%)

4.6 8.8 30.1

7 18.6 69

9 18.1 66.7

(4)

4 protein dengan UF dikarenakan kompleksitasnya dalam berbagai skala [22].

5. Design Proses

Proses manufaktur protein dapat disimak pada gambar 2, proses tersebut mencakup pada up-stream dan down-stream. Up-stream mencakup preparasi mikroba hingga pembentukan produk berupa protein dengan proses biologis seperti fermentasi dan modifikasi genetik, sedangkan down-stream mencakup pemisahan sel-sel yang tidak dibutuhkan, pemurnian dan pemekatan protein dengan UF membrane.

Gambar 2. Proses Biomanufaktur Protein (diadaptasi dari: [3])

Secara umum proses biomanufaktur diinisiasi dengan proses pengembangbiakan mikroba yang direkayasa secara genetik sehingga menghasilkan protein jenis tertentu dalam hal ini therapeutic proteins kemudian dibiarkan mengalami proses-proses biologis mencakup fermentasi dengan bantuan pasokan oksigen. Proses kemudian dilanjutkan pada tahapan down-stream dimulai dengan menghentikan proses reaksi (terminasi reaksi) dan penambahan beberapa reagen yang bersifat memecah struktur sel-sel (lisis) sehingga membentuk campuran sel mati dengan produk protein. Produk kemudian dipekatkan, dipisahkan dan dimurnikan dengan UF untuk

memperoleh konsentrat produk berupa protein yang diinginkan.

Perancangan proses ultrafiltrasi sangatlah penting karena sifatnya yang sensitif terhadap kondisi operasi tertentu. Pemilihan jenis modul merupakan hal penting dalam merancang proses separasi. Namun hingga saat ini pemilihan modul membran masih berdasarkan ketersediaan dan pengalaman aplikasi filtrasi terdahulu karena belum terdapat aturan umum yang mengatur pemilihan jenis dan operasi modul membran tersebut. Parameter-parameter penting untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi proses pemisahan dengan menggunakan UF membran ataupun membran jenis lainnya seperti ukuran pori, diameter, luas permukaan, distribusi aliran masih bergantung dari trial and error.

6. Hidrodinamika dan Koefisien Transfer Massa Efektivitas dan kinerja suatu modul membran bergantung pada mudah atau tidaknya permukaan membran tersebut mengalami polarisasi konsentrasi. Polarisasi konsentrasi merupakan peristiwa ketika zat terlarut dalam umpan terakumulasi dan membentuk suatu lapisan tipis disekitar permukaan membran sehingga dapat mempengaruhi selektivitas dan laju penyebaran umpan menuju membran. Opong & Zydney [18] menganalisa penyebaran zat terlarut tunggal dan kebergantungannya dengan koefisien perpindahan massa yang juga berlaku pada peristiwa fraksinasi protein.

Untuk meningkatkan fluks permeat dengan adanya peristiwa polarisasi konsentrasi maka dapat digunakan teknik gas sparging dengan menggunakan gas-gas inert (seperti nitrogen, dll) untuk membentuk aliran 2 fasa gas-cair dalam modul membran [4,19,20]. Teknik ini sangat lazim digunakan dalam industri pengolaran air dan limbah untuk meminimalisasi terjadinya polarisasi konsentrasi.

Taha & Cui [21] telah mengembangkan metode Volume of Fluids (VOF) untuk mensimulasikan aliran 2 fasa gas-cair dan mengusulkan pendekatan de-coupled untuk mensimulasikan UF. Simulasi aliran fluida ini menggunakan bantuan komputasi dinamika fluida (CFD) untuk mengevaluasi besar tegangan geser (shear stress) lokal dan sesaat pada tiap permukaan membran kemudian menggunakan data ini untuk mengevaluasi koefisien perpindahan massa untuk mengidentifikasi nilai fluks permeat/ total rejeksi.

Dengan menggunakan pendekatan tersebut dapat diperoleh estimasi fluks permeat sebesar 15 – 20 % dengan asumsi bahwa tegangan geser sesaat diabaikan dalam perhitungannya. Namun hanya dengan cara inilah memungkinkan untuk mengevaluasi koefisien perpindahan massa.

Pemilihan jenis membran dan ukurannya sangat mempengaruhi perhitungan nilai koefisien transfer massa. Konsentrat Produk

UF

Pemecahan sel dan Pelepasan Produk Terminasi Reaksi

DOWN-STREAM PROCESS Peristiwa Biologis UP-STREAM PROCESS

(5)

5 Gambar 3 menunjukan hasil simulasi dengan bantuan komputasi (CFD) untuk nilai tegangan geser pada permukaan pada aliran slug antara modul membran tubular dan hollow fiber. Hollow fiber menunjukan nilai koefisien transfer massa yang lebih kecil. Modul tubular menghasilkan fluks permeat yang lebih besar dibandingkan dengan hollow fiber.

Sistem hidrodinamika mempengaruhi proses transfer massa dan merubah karakteristik penyebaran tiap-tiap proteinnya, Ghosh & Cui [6] mengevaluasi koefisien transfer massa pada modul membran flat sheet dengan dan tanpa gas sparging untuk menjelaskan keberhasilan fraksinasi bovine serum albumin (BSA, MW 65 kD) dan lisosim (MW 13 kD). Teknik yang sama pun juga digunakan untuk mengevaluasi nilai koefisien perpindahan massa pada membran UF tubular untuk pemisahan human serum albumin (HSA) dan human immunoglobulin (IgG) [12].

Hubungan antara hidrodinamika dan perpindahan massa dapat dikuantifikasi dengan analisis batas lapisan (Boundary layer Analysis), dengan menganalisis hubungan keduannya pada level 10-100 mikron. Namun demikian, analisis ini hanya berlaku untuk permeat yang terdiri dari zat terlarut tunggal sehingga kurang cocok untuk menjelaskan peristiwa fraksinasi protein yang permeatnnya sangat heterogen. Demikian pula dengan model analisis Maxwell-Stefan [22]. Masalah yang perlu dipecahkan untuk memperoleh relasi hidrodinamika dengan koefisien perpindahan massa adalah mengenai metode kuantifikasi antara tegangan geser dengan koefisien perpindahan massa, metode kuantifikasi kotranspor untuk sistem solute tak tunggal, dan menciptakan serti mengoptimalkan transmisi selektif oleh molekul protein dengan mengoptimalkan rejim sistem hidrodinamik dan perpindahan massa.

7. Interaksi Protein – Membran

Perpindahan molekul-molekul protein dari salah satu sisi membran ke sisi lainnya bergantung dari interaksinya dengan pori membran dalam skala nano. Molekul protein yang memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan ukuran pori membran maka molekul protein akan tertahan disisi permeat namun bila ukuran molekul protein lebih kecil dibandingkan dengan ukuran pori belum tentu akan melewati pori dan menuju sisi lain dari membran, perlu adanya gaya pendorong (driving force) berupa tekanan sejumlah tertentu dari aliran permeat sehingga mampu melewatkan molekul protein akibat adanya beda tekan (Pressure drop).

Tahanan atau gangguan terbesar dalam aliran UF adalah tolakan elektrostatik, peristiwa ini terjadi apabila pori pada permukaan membran memiliki muatan elektrostatik yang sama dengan molekul protein sehingga

antara pori dan molekul protein saling tolak menolak serta sulit melewatkan permeat, akibatnya penurunan fluks permeat pun terjadi. Namun, bila muatan eltrostatiknya tidak sama maka permukaan membran akan membentuk lapisan tunggal dari molekul-molekul protein bermuatan sehingga sebagian protein tertinggal pada membran menyebabkan fouling.

Fluks aliran operasional pada UF sangat penting dalam peristiwa transmisi protein. Jika permeat terdiri dari lebih dari satu jenis protein, perubahan fluks operasional akan menghasilkan hasil yang berbeda pada protein yang memiliki muatan yang berbeda contohnya adalah teknik selektivitas balik (Reverse Selectivity) dimana molekul yang besar ditransmisikan sedangkan molekul berukuran kecil ditahan.

Teknik ini sudah digunakan dalam separasi HSA dan IgG. Pada pH netral antara 7-8 membran PVDF dan HSA sama-sama bermuatan negatif dan IgG tidak bermuatan. Pada kondisi ini, membran PVDF 100 kD, IgG dengan berat molekul 167 kD ditransmisikan sekitar 25% sedangkan untuk HAS dengan berat molekul 67 kD terejeksi total sehingga memungkinkan pemisahan IgG dan HAS pada plasma darah ataupun fermentation broth [4, 6].

Vasan et al. [23] berhasil mengkuantifikasi efek interaksi elektrostatis pada distribusi konsentrasi menggunakan model Maxwell-Stefan-Gouy-Debye. Model ini menunjukan efek muatan protein pada permukaan membran. Walaupun masih terbatas pada permeat protein tunggal, tapi model ini sudah mempertimbangkan efek elektrostatik dan permeasi.

Gambar 3. Ilustrasi Separasi dengan membran bermuatan (diadaptasi dari [7])

Namun sangat sulit untuk mengukur operasional fluks secara tepat dan mengevaluasi fluks pori sebagai fluks permeat yang terukur . Meskipun porositas permukaan membran dapat diukur namun ukuran dan keseragaman pori sulit dikendalikan dan tidak seragam. Penambahan garam-garam tertentu akan mengakibatkan bertambahnya ion-ion dalam permeat. Jumlah ion dalam permeat juga mempengaruhi sifat-sifat elektrostatis pada sistem. Konsentrasi garam tertentu akan cenderung mengurangi kelarutan protein dan mulai terjadinya agregasi protein.

(6)

6 8. Interaksi Protein – Ion dan Molekul Lain

Dalam level sub-nanometer dikaji mengenai interiraksi protein dengan protein lain ataupun ion bahkan molekul-molekul lainnya.

Interaksi protein-protein dapat berupa agregasi dan formasi protein, hingga saat ini studi interaksi ini difokuskan pada kinetika reaksi formasi seperti antibody-antigen namun belum dikaji mendalam tentang fraksinasi protein karena sifatnnya yang cenderung tidak berpengaruh pada pemisahan.

Interaksi protein – ion hingga saat ini dikaji mengenai ikatan ion satu dengan lain atau dengan protein sehingga menghasilkan konformasi/ bentuk lain sehingga dapat merubah bahkan mengurangi ukuran dan muatan efektifn molekul protein. Interaksi lain antara protein adalah dengan molekul lain, umumnya diinteraksikan dengan molekul air (hidrasi protein). Peristiwa hidrasi protein berefek langsung pada ukuran efektif molekul protein dan difusivitas efektif serta elektromobilitas.

9. Optimasi Membran UF

Efektivitas dan kinerja membran dapat dioptimalkan dalam proses separasi protein. Faktor-faktor penghambat seperti fouling dan polarisasi konsentrasi sebaiknya diminimalisasikan selama proses separasi berlangsung. Salah satu metode mengoptimasi kinerja membran adalah melakukan cleaning atau pembersihan membran agar terbebas dari fouling dan polarisasi konsentrasi.

Pencucian membran harus memperhatikan beberapa faktor [24] yaitu:

1. Material dan sifat kimiawi membran

Jenis material sangat menentukan pemilihan cleaning agents, pasalnya pemilihan cleaner yang salah dapat menyebabkan rusaknya struktur membran bahkan terjadinya deformasi pada membran sehingga menurunkan kualitas bahkan memperburuk selektivitas membran.

2. Aliran fluida

Aliran fluida untuk cleaner juga mempengaruhi efisiensi cleaning pada membran. Aliran cleaner harus dalam rejim turbulen agar dapat mencapai seluruh bagian membran dan mengalirkan foulant serta diaplikasikan dalam tekanan yang serendah mungkin dan kecepatan alir yang tinggi sehingga mengurangi kemungkinan rusaknya membran dan meningkatkan efisiensi cleaner.

3. Waktu pencucian

Waktu pencucian secara kimiawi umumnya 30 menit hingga 1 jam. Pencucian dengan durasi yang melebihi ambang batas waktu optimum dapat menyebabkan fouling.

4. Temperatur

Temperatur berhubungan langsung dengan material membran. Temperatur pencucian yang melibihi ambang batas dapat merusak struktur membran, namun temperatur yang terlalu kecil juga dapat menyebabkan tidak optimalnya proses pencucian.

5. pH

pH laurtan cleaner berhubungan langsung dengan jenis foulant atau pengotor membran. Basa kaustik umumnya digunakan untuk jenis foulant organik dan asam untuk foulant inorganik.

Rule of thumb yang digunakan untuk menentukan kapan harus dilaksanakan cleaning yaitu ketika [25]:

 Fluks permeat turun sekitar 10-15%  Tekanan bervariasi dari 10-15%

 Konduktivitas permeat bervariasi dari 10-15%  Pressure drop antara umpan dan konsentrat

bervariasi dari 10-15%

Pemilihan reagen cleaner terhadap kondisi jenis foulant, temperatur pembersihan, waktu pembersihan, dan prinsip/ metode pembersihan. Rumusan tersebut dirumuskan pada tabel 4.

9. Kesimpulan

Fraksinasi protein dapat dilakukan dengan teknologi UF namun sistemnya sangat rumit, melibatkan proses yang kompleks pada skala yang berbeda-beda baik dari skala mikron hingga sub-nano (interaksi molekul dan ion). Proses ini masih belum dideskripsikan secara baik dan belum terdapat model yang sesuai hingga saat ini.

Konfigurasi sistem seperti modul membran, pengaturan sistem hidrodinamika, konsentrasi protein, hingga kondisi operasi seperti pH, salinitas, dll sangat mempengaruhi fluks permeat dan transmisi serta rejeksi protein.

Proses skala sub-nano meliputi interaksi protein dengan protein lainnya, ion, dan molekul lain (air) semuanya mempengaruhi ukuran efektif, muatan efektif dan difusivitas efektif sehingga mempengaruhi performansi separasi/ pemisahan protein.

Pemilihan membran dan modul serta kondisi operasional dalam praktek UF (fluks permeat, kecepatan aliran cross-flow, konsentrasi, pH, dan salinitas) masih berdasarkan pengalaman hasil eksperimen dan metode trial and error. Untuk kedepannya kebutuhan akan panduan pemilihan membran dengan kondisi oprasional dan pemodelan yang inovatif untuk mengkuantifikasi interaksi hingga bagian terkecil.

(7)

7

Tabel 4. Jenis reagen, prinsip, dan kondisi operasi cleaning pada membran (Diadaptasi dari [26-28])

Daftar Notasi

J Fluks permeat [m/s] Qp Debit permeat [m3/s] A Luas Permukaan [m2]

R Rejeksi []

Cp Konsentrasi permeat [mol/L] Cf Konsentrasi feed [mol/L]

Daftar Pustaka References

[1] Christy, C. & Vermant, S. (2002). The state-of-the-art of filtration in recovery processes for biopharmaceutical production. Desalination, 147, 1-4.

[2] Cui, Z. F. & Wright, K. I. T. (1994). Gas-liquid two-phase crossflow ultrafiltration of dextrans and BSA solution. J. Membr. Sci., 90, 183-189.

[3] Cui, Z. F. (2005). Protein separation using ultrafiltration – An example of multi-scale complex

[4] Ghosh, R. Protein Bioseparation Using Ultrafiltration: Theory, Application and New Developments. Imperial College Press. London. 2003.

[5] Ghosh, R. & Cui, Z. F. (1998). Fractionation of BSA and lysozyme using ultrafiltration: effect of pH and membrane surface pretreatment. J. Membr. Sci., 139, 17-28.

[6] Ghosh, R. & Cui, Z. F. (2000a). Purification of lysozyme using ultrafiltration. Biotechnol. Bioeng., 68, 191-202. [7] Ghosh, R. Silva, S.S., & Cui, Z.F. (2000). Lysozyme separation by hollow fibre ultrafiltration. Biochemical Eng.

J., 6, 19.

[8] Higuchi, A., Mishima, S., & Nakagawa, T. (1991). Separation of proteins by surface modified polysulfone membranes. J. Membr. Sci., 68, 263.

[9] Yu, Li, You. Application of Membrane Separation Technology to night soil and sludge treatments, Available: http://www.apecvc.or.jp/e/modules/tinyd00/?id=34&kh_open_cid_00=6, diakses pada 29 Maret 2016

[10] Leader, Benjamin, Baca, Quentin J., & Golan, David E.. (2008). Protein Therapeutics: a summary ana phamacological classification. Nature Reviews Drug Discovery 7, 21-39.

[11] Van Reis, R., Gadam, S., Frautschy, L. N., Orlando, S., Goodrich, E. M., Saksena, S., Kuriyel, R., Simpson, C. M., Pearl, S. & Zydney, A. L. (1997). High performance tangential flow filtration. Biotechnol. Bioeng., 56, 71-78.

[12] Saksena, S. & Zydney, A. L. (1994). Effect of solution pH and ionic strength on the separation of albumin from immunoglobulins (IgG) by selective filtration. Biotechnol. Bioeng., 43, 960-968.

Foulant Reagen Waktu dan Temperatur Prinsip Cleaning

Minyak, Lemak, Protein, Polisakarida, Bakteri 0.5 N NaOH + 200 ppm Cl2 30-60 menit

25-55 oC Hidrolisis dan oksidasi DNA, Garam

Mineral

0.1 – 0.5 M asam asetat/ asam nitrat/

asam sitrat 30-60 menit 25-55 oC Pelarutan Minyak, Lemak, Biopolimer, Protein 0.1% SDS; 0.1% Triton X-100

30 menit hingga satu malam

25-55 oC Emulsifikasi dan Dispersi Fragmen Sel,

Minyak, Lemak, Protein

Enzim, Detergen 30 menit hingga satu malam

30-40 oC Catalytic Breakdown

DNA 0.5% DNAase 30 menit hinga satu malam

30-40 oC Hidrolisis Enzim

Minyak, Lemak 20-50% Etanol 30-60 menit

(8)

8

[13] Li, Q. Y., et al. (1998). Enhancement of ultrafiltration by gas sparging with flat sheet membrane modules. Separation and Purification Tech., 14, 79.

[14] Iritani, E., Mukai, Y., & Murase, T. (1995). Upward dead-end ultrafiltration of binary protein mixtures. Separation Sci. And Tech., 30, 369. [16] Opong, W. S. & Zydney, A. L. (1991). Diffusive and convective protein transport through asymmetric membranes. AIChE J., 37, 1497-1510.

[15] Sannier, F et al.. (1996). Separation of hemoglobin and myoglobin from yellow fin tuna red muscle by ultrafiltration: Effect of pH and ionic strength. Biotecnology and Bioengineering, 52, 501.

[16] Opong, W. S. & Zydney, A. L. (1991). Diffusive and convective protein transport through asymmetric membranes. AIChE J., 37, 1497-1510.

[17] Wan, Y. H., Ghosh, R. & Cui, Z. F. (2005b). Protein fractionation using ultrafiltration: developments and challenges. Dev. Chem. Eng. Mineral Proc., 13, 1-16.

[18] Opong, W. S. & Zydney, A. L. (1991). Diffusive and convective protein transport through asymmetric membranes. AIChE J., 37, 1497-1510.

[19] Bellara, S. R., Cui, Z. F. & Pepper, D. S. (1996). Gas sparging to enhance permeate flux in ultrafiltration using hollow fibre membranes. J. Membr. Sci., 121, 175-184.

[20] Li, Q. Y., Cui, Z. F. & Pepper, D. S. (1997). Fractionation of HSA and IgG by gas sparged ultrafiltration. J. Membr. Sci., 136, 181-190.

[21] Taha, T. & Cui, Z. F. (2002). CFD modelling of gas sparged ultrafiltration in tubular membranes. J. Membr. Sci., 210, 13-27.

[22] Bellara, S. R. & Cui, Z. F. (1998). A maxwell-stefan approach to modelling the crossflow ultrafiltration of protein solutions in tubular membranes. Chem. Eng. Sci., 53(12), 2153-2166.

[23] Vasan, S. S., Field, R. W. & Cui, Z. F. (2006). A Maxwell-Stafan-Gouy-Debye model of the concentration profile of a charged solute in a polarisation layer. Desalination, in press.

[24] Cheryan, M. (1998) Ultrafiltration and Microfiltration Handbook, Technomic Publishing Company Inc., Pennsylvania.

[25] Wenten, I.G.; Aryanti, P.T.P.; “Ultrafiltasi dan Aplikasinya.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014. [26] Wenten, I.G.; Aryanti, P.T.P.; Hakim, A.N.; Khoiruddin; “Teknik Regenerasi Membran.” Teknik Kimia Institut

Teknologi Bandung, 2012.

[27] Wenten, I.G.; Hakim, A.N.; Khoiruddin; Aryanti, P.T.P.; “Polarisasi Konsentrasi dan Fouling pada Membran.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2013.

[28] Wenten, I.G.; Hakim, A.N.; Khoiruddin; Aryanti, P.T.P.; “Troubleshooting dalam Operasi Membran.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2013.

Gambar

Gambar  2.  Proses  Biomanufaktur  Protein  (diadaptasi  dari: [3])
Gambar 3. Ilustrasi Separasi dengan membran bermuatan  (diadaptasi dari [7])

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tahun I penelitian difokuskan untuk optimasi kondisi proses pembuatan membran UF, meliputi lama penguapan pelarut, temperatur pengendapan, dan ketebalan membran untuk

Pola perubahan nilai rejeksi kadar protein terlarut dan aktivitas enzim protease pada permeat yang disebabkan oleh perubahan TMP dan suhu pada membran UF

Karena antara membran 5 gram dan 8 gram nilai fluks tidak terpaut jauh dengan kualitas permeat berbeda (lebih bagus membran dengan massa silika 5 gram) maka

Hasil penelitian (Gambar 2.) menunjukkan fluks membran PAN pada konsentrasi 15% wt paling besar dibandingkan membran PAN dengan konsentrasi 20%wt dan 25%wt.Fluks tersebut

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa baik menggunakan membran MF (grafik sebelah atas) maupun UF (grafik sebelah bawah), semakin besar tekanan operasi menyebabkan semakin

Tekanan pada sisi permeat pada proses pervaporasi untuk pemurnian bioetanol juga sangat berpengaruh terhadap kinerja membran pervaporasi yang ditunjukkan oleh fluks

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari unjuk kerja membran ultrafiltrasi terhadap fluks dan rejeksi pada penyisihan phospolipid yang terkandung dalam CPO..

Pada sistem cross flow, aliran umpan mengalir melalui suatu membran, dengan hanya sebagian saja yang melewati pori membrane untuk memproduksi permeat, sedangkan aliran pelarut atau