• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI LITERATUR MENGENAI KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI LITERATUR MENGENAI KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI LITERATUR MENGENAI KEAMANAN DALAM

PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

Togap Marpaung

Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Jalan Gajah Mada No.8, Jakarta, 10120

Abstrak

STUDI LITERATUR MENGENAI KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT

RADIOAKTIF. IAEA sudah sejak dulu merekomendasikan mengenai proteksi fisik untuk fasilitas dan bahan

nuklir diantaranya, INFCIRC/225/Rev. 4 (Corrected), tahun 1999. Sistem proteksi fisik wajib untuk bahan dan fasilitas nuklir, juga ketika bahan nuklir sedang diangkut. Untuk sumber radioaktif, proteksi fisik tidak wajib, hanya dengan penerapan prinsip proteksi radiasi terhadap manusia dan keselamatan radiasi terhadap sumber. Sehubungan banyaknya kecelakaan radiasi dan adanya potensi ancaman keamanan, memicu IAEA menjadi lebih fokus menerbitkan sejumlah rekomendasi baik dari aspek keselamatan maupun keamanan. Publikasi IAEA, BSS No. 115 tahun 1996 yang paling mendasar dan relevan mengenai standar keselamatan untuk semua jenis pemanfaatan tenaga nuklir, juga telah sedikit menyinggung keamanan. Selanjutnya, IAEA merekomendasikan banyak hal terkait keamanan sumber radioaktif, meliputi: Tecdoc, Code of Conduct, Guidance dan Safety Guide. Tahun 2008 IAEA merekomendasikan secara khusus keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif, NSS No. 09. Saat ini, peraturan mengenai keamanan bahan nuklir maupun keamanan sumber radioaktif sudah lengkap. Ruang lingkup adalah pembahasan mengenai rekomendasi IAEA terkait proteksi fisik bahan nuklir da keamanan sumber radioaktif serta peraturan terkait aspek keamanan. Tujuan adalah tersedianya hasil kajian yang dapat digunakan menjadi bahan konsepsi amendemen PP No. 26 Tahun 2002 dengan melakukan kajian terhadap rekomendasi IAEA, NSS No. 09 dan dibandingkan dengan peraturan yang ada.

Kata kunci: keamanan, pengakutan, zat radioaktif, bahan nuklir, sumber radioaktif

Abstract

LITERATURE STUDY ON SECURITY IN TRANSPORT OF RADIOACTIVE MATERIAL. Since

long time ago, IAEA had recommended on physical protection for facility and nuclear material, such as, INFCIRC/225/Rev. 4 (Corrected), in 1999. Physical protection syatem is a mandatory for facility and nuclear material, it is also while nuclear material is being transported. For radioactive source, physical protection is not a mandatory, just by implementation of radiation protection principle against human and safety of the source. In accordance with a number of accidents become more and there is a potential of threat wich tend to security, trigger IAEA becomes more focus to publish a number of recommendations either safety aspect or security aspect. There is an IAEA publication, BSS No. 115 in 1996 which is most substantial and relevant on the safety standards for all kinds of utilization of nuclear energy, which already also explained a little bit about security. Moreover, IAEA has recommended many things which related with security of radioactive source, covers: Tecdoc, Code of Conduct, Guidance, Safety Guide. Finally, in 2008 IAEA recommended especially security in transport of radioactive material, NSS No. 09. For this time being, regulations on security either for nuclear material or radioactive source already completed, which regulate technical substance during in use, storage and transport, which is formulated based on IAEA recommendations. Scope is study on IAEA recommendations which is related with physical protection of nuclear material and security of radioactive source as wel as regulations related with security. The purpose is there is a result of assessment will be considered to be a document of conseption to amendment of Government Act No. 26 Year 2002, by doing an assessment on IAEA recommendation, NSS No. 09 and to be compared with the existing regulation.

(2)

PENDAHULUAN

Pada awalnya, IAEA sejak puluhan tahun yang lalu hanya merekomendasikan mengenai proteksi fisik untuk bahan dan fasilitas nuklir melalui sejumlah publikasinya, antara lain The Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities, INFCIRC/225/Rev. 4 (Corrected), tahun 1999. Proteksi fisik wajib diterapkan untuk bahan dan fasilitas nuklir, demikian halnya ketika bahan nuklir sedang diangkut. Pengertian proteksi fisik adalah upaya atau tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian atau sabotase terhadap bahan nuklir dan fasilitasnya, dengan demikian proteksi fisik dapat diartikan sama dengan tindakan keamanan. Untuk pemanfaatan sumber radioaktif dalam bidang medik, industri dan penelitian, proteksi fisik tidak diperlukan, cukup dengan penerapan proteksi radiasi terhadap manusia dan keselamatan radiasi terhadap sumber supaya tidak terjadi kecelakaan radiasi.

Publikasi IAEA yang paling mendasar dan sangat relevan hingga saat ini mengenai aspek keselamatan radiasi adalah International BSS for Protection against Ionizing Radiation and for the Safety of Radiation Sources”, Safety Series No. 115 tahun 1996. Sesungguhnya BSS No.115 juga telah memuat aspek keamanan meskipun substansinya tidak sama dengan proteksi fisik untuk bahan dan fasilitas nuklir. Pada tahun 1999, IAEA menerbitkan sejumlah publikasi yang rinci sebagai “pelaksanaan” dari BSS tersebut berupa dokumen teknis (technical documents-tecdoc) atau pedoman (safety guides) yang ditujukan untuk berbagai aspek, misalnya infrastruktur pengawasan, antara lain Tecdoc-1067, Organisation and implementation of a national regulatory infrastructure governing protection against ionising radiation and the safety of radiation sources, dan Tecdoc-1113, Safety assessment plans for authorization and inspection sources.

Pada tahun 2000, IAEA melalui Tecdoc-1191 merekomendasikan aspek keselamatan radiasi yang substansinya mengenai pengkategorisasian sumber radioaktif yang dipicu akibat semakin maraknya kecelakaan radiasi di sejumlah negara. Kecelakaan ini tidak hanya mengakibatkan kecederaan fatal dan kematian tetapi juga dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Sebagai contoh adalah kasus kecelakaan radiasi yang terkait dengan peralatan radioterapi jenis telegamma Cs-137 di Goiania, Brazil pada tahun 1985 dan Co-60 di Bangkok, Thailan tahun 2000. Demikian halnya dengan ancaman keamanan yang semakin meningkat, sebagai contoh serangan teroris yang sedemikian tragis pada salah satu kebanggaan

Amerika, World Trade Center, yang dikenal dengan peristiwa “September Kelabu”, 11 September 2001. Para pakar keamanan berpendapat bahwa tidak ada yang mustahil bagi orang jahat (intruder), oleh karena itu pengawasan yang lebih ketat terhadap zat radioaktif sangat diperlukan di seluruh dunia. IAEA sebagai institusi yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merekomendasikan agar aspek keamanan sumber radioaktif menjadi perhatian negara anggota.

Tiga tahun kemudian setelah publikasi Tecdoc-1191 atau dua tahun setelah kejadian September 2001 di Amerika, IAEA mulai semakin gencar mempublikasikan tidak terbatas hanya keamanan bahan nuklir tetapi merambah juga terhadap keamanan sumber radioaktif, yang direkomendasikan melalui Tecdoc-1344 dan Tecdoc-1355 tahun 2003. Substansi Tecdoc-1344 mengenai pengkategorisasian sumber radioaktif sebagai revisi dari 1191, sedangkan Tecdoc-1355 mengenai pengelompokan keamanan sumber radioaktif sebagai pengembangan dari Tecdoc-1344. Pada tahun 2004 IAEA menerbitkan Code of Conduct on the Safety and Security of Radioactive Source merekomendasikan agar negara anggota mengambil upaya yang diperlukan untuk menjamin (a) sumber radiasi dan zat radioaktif dikelola secara selamat dan diproteksi secara aman; dan (b) penerapan promosi budaya keselamatan dan budaya keamanan. Satu tahun kemudian (2005), IAEA menerbitkan lagi satu pedoman mengenai impor dan ekspor, yaitu: Guidance on Import and Export. Selanjutnya, pada tahun 2006, Tecdoc-1344 diubah menjadi Safety Guide G-R-S- 1.9.

IAEA selama ini telah menerbitkan publikasi secara rutin mengenai keselamatan dalam pengangkutan, seperti Regulations for the Safe Transport of Radioactive Material, Safety Standards Series No. TS-R-1, 2005. Namun pada tahun 2008, IAEA menerbitkan publikasi khusus mengenai keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif, NSS No. 09, Security in Transport of Radioactive Material. Pengangkutan zat radioaktif harus dilakukan sesuai dengan tingkat keamanan yang ditentukan berdasarkan nilai A1 dan A2, maupun

nilai D.

Muatan teknis peraturan yang ada saat ini mengenai keamanan bahan dan fasilitas nuklir maupun keamanan sumber radioaktif disusun berdasarkan rekomendasi IAEA. Peraturan pemerintah (PP) dan peraturan kepala (Perka) BAPETEN mengatur secara teknis dan rinci sejumlah persyaratan keamanan bahan nuklir mapun sumber radioaktif selama penggunaan, penyimpanan dan pengangkutan. Namun demikian, sesuai rekomendasi IAEA bahwa keamanan dalam

(3)

pengangkutan zat radioaktif seharusnya dipisahkan dari keamanan dalam penggunaan dan penyimpanan.

PUBLIKASI IAEA MENGENAI PROTEKSI FISIK DAN KEAMANAN

1. Publikasi IAEA Mengenai Keamanan Bahan Nuklir

Umum

Dalam menentukan tingkat proteksi fisik yang dapat diterapkan untuk bahan nuklir dalam penggunaan, penyimpanan dan pengangkutan harus mempertimbangkan keboleh-jadian bahwa pemindahan tanpa kewenangan plutonium, uranium diperkaya atau uranium-223 dapat mengarah kepada kejadian ledakan nuklir oleh sekelompok orang yang memiliki kemampuan secara teknis. Untuk itu, IAEA menerbitkan sejumlah pedoman melalui publikasinya mengenai proteksi fisik bahan buklir dan salah satu publikasi yang dianggap paling relevan, adalah INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) “ The Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities” diterbitkan pada tahun 1999. Dalam publikasi IAEA ini, ada 2 (dua) hal pokok penting yang terkait dengan proteksi fisik yang menjadi perhatian, meliputi: (1) kategorisasi bahan nuklir dan (2) persyaratan proteksi fisik.

Kategorisasi Bahan Nuklir

Faktor utama untuk menentukan tindakan proteksi fisik adalah kandungan bahan nuklir itu sendiri yang terdiri dari 3 (tiga) kategori, meliputi: Kategori I, II dan III sesuai jenis bahan nuklir dan dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada tabel yang terdapat di halaman 11 dalam publikasi INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) 1999 [4]. Pengkategorisasian bahan nuklir berdasarkan beberapa faktor, sebagai berikut:

a. risiko potensial bahan nuklir; b. komposisi isotop;

c. bentuk fisika dan kimiawi; d. tingkat dilusi atau konsentrasi; e. tingkat radiasi; dan

f. jumlah bahan nuklir.

Persyaratan Proteksi Fisik Persyaratan proteksi fisik, meliputi:

a. terhadap orang yang tidak memeliki kewenangan untuk memindahkan bahan nuklir dalam penggunaan dan penyimpanan, untuk bahan nuklir Kategori I, II dan III;

b. terhadap sabotase fasilitas dan bahan nuklir selama penggunaan dan penyimpanan, untuk fasilitas reaktor nuklir daya, dan fasilitas reaktor nuklir dan bahan nuklir lain; dan c. terhadap bahan nuklir selama pengangkutan,

untuk bahan nuklir Kategori I, bahan nuklir Kategori I terkait dengan moda pengangkutan, bahan nuklir Kategori II, dan bahan nuklir Kategori III.

Moda pengangkutan, meliputi: (1) darat, melalui jalan raya maupun kereta api; (2) laut; dan (3) udara.

2. Publikasi IAEA Mengenai Keamanan Sumber Radioaktif

Umum

Publikasi IAEA mengenai keamanan sumber radioaktif ini bersifat umum yang ditujukan untuk penggunaan, penyimpanan dan pengangkutan, berupa Tecdoc, Guide, dan Code of Conduct. Publikasi Tecdoc dan Guide memuat filosofi pengkategorisasian dan pengelompokan tetapi ada juga Guide yang khusus mengenai ketentuan impor dan ekspor sesuai dengan kategorisasi sumber radioaktif. Sedangkan Code of Conduct ditujukan khusus untuk badan pengawas negara anggota dalam rangka meningkatkan infrastruktur pengawasan dalam aspek keamanan.

Tecdoc-1191 Tahun 2000

Pemahaman tentang kategorisasi sumber radioaktif diawali dari konsep lama yang ada dalam Tecdoc-1191 tahun 2000, yang pengkategorisasian sumber radioaktif secara umum dibuat berdasarkan potensi bahaya sumber radioaktif yang dapat menyebabkan efek deterministik. Ada 3 (tiga) jenis kategori, yaitu kaegori 1, 2, dan 3, sebagaimana diuraikan pada tabel 1 yang terdapat di halaman 13 dalam publikasi Tecdoc-1191 tahun 2000 [6].

Faktor yang mempengaruhi sumber radioaktif dijadikan kategorisasi berdasarkan karekteristiknya sebagai berikut:

a. sifat radiologik sumber radioaktif, meliputi: (a) jenis radiasi; (b) waktu paro; dan (c) energi radiasi yang dipancarkan;

b. aktivitas sumber radioaktif; dan

c. bentuk fisika (padat, cair dan gas), dan sifat kimiawi (mudah larut, toksisitas, dan lain-lain) dari zat radioaktif.

Faktor yang mempengaruhi peralatan atau fasilitas radiasi dijadikan kategorisasi sebagai berikut:

a. bentuk peralatan atau fasilitas, misalnya jenis portabel, mobile atau terpasang tetap dan lokasi pengoperasian peralatan radiasi,

(4)

misalnya di lapangan, ruang tertutup atau instalasi terpasang tetap. Sumber radioaktif yang terpasang tetap lebih aman dibandingkan dengan peralatan portabel atau mobile; dan b. peralatan radiasi yang dirancang dan

ditempatkan di ruangan yang memiliki perisai radiasi dan perlengkapan khusus untuk menjamin keselamatan radiasi.

Faktor yang tidak termasuk dari kriteria sistem kategorisasi, sebagai berikut:

a. sosial-ekonomi akibat kecelakaan radiasi atau tindak kejahatan, karena metodolodi untuk mengukur dan membandingkan efek tersebut belum dikembangkan sepenuhnya secara internasional.

b. efek stokastik radiasi (misal, radiasi kanker yang meningkat), karena efek deterministik akibat suatu kecelakaan atau tindak kejahatan, yang efeknya segera terlihat sedangkan efek stokastik tidak terlihat dalam waktu yang singkat;dan

c. paparan yang direncanakan terhadap manusia untuk tujuan medik, meskipun adanya laporan kecelakaan radiasi terhadap pasien yang terkait dengan penggunaan peralatan radioterapi dan sumber radioaktif yang digunakan untuk tujuan medis.

Tecdoc-1344 Tahun 2003

IAEA menerbitkan lagi Tecdoc-1344 tahun 2003 sebagai penyempurnaan sistem pengkategorisasian sumber radioaktif, dari 3 (tiga) menjadi 5 (lima) jenis kategori, yaitu: Kategori 1, 2, 3, 4, dan 5. Sumber radioaktif kategori 1 (satu) memiliki tingkat risiko paling tinggi, sedangkan kategori 5 (lima) memiliki tingkat risiko paling rendah, sesuai dengan jenis pemanfaatan, sumber radioaktif, rentang aktivitas, dan kategori, sebagaimana diuraikan pada Appendix II yang terdapat di halaman 15 dalam publikasi Tecdoc-1344 tahun 2003 [7].

Kategorisasi Sumber Radioaktif sesuai dengan Penggunaan

Kategorisasi sumber radioaktif dapat diketahui berdasarkan jenis penggunaan sumber radioaktif yang kategorisasinya berdasarkan rasio A/D atau ditentukan berdasarkan konsep ”sumber berbahaya” yang dikuantifikasikan dengan nilai D, sebagaimana diuraikan pada tabel 1 yang terdapat di halaman 8 dalam publikasi Tecdoc-1344 tahun 2003 [7] . Nilai D merupakan:

a. aktivitas spesifik sumber radioaktif yang dapat menyebabkan efek deterministik yang fatal untuk skenario asumsi konservatif, meliputi

paparan eksternal dari sumber yang terlepas dari wadahnya tetapi masih tetap terbungkus dalam kapsul yang sedang dibawa dengan tangan selama 1 (satu) jam atau dalam kantong selama sepuluh jam atau sedang berada dalam ruangan selama beberapa hari hingga beberapa minggu (nilai D1); dan

b. paparan internal akibat penyebaran sumber radioaktif, sebagai contoh akibat kebakaran, ledakan, atau kerusakan yang disengaja (nilai D2).

Untuk tujuan kategorisasi, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. nilai yang terendah dari nilai D1 dan D2 digunakan sebagai nilai D; dan

b. nilai D digunakan untuk menormalisasi yang memberikan acuan perbandingan risiko sehingga besar rasio A/D dapat digunakan untuk peringkatan awal relatif risiko sumber radioaktif yang kemudian dikategorisasi setelah mempertimbangkan faktor lain, misalnya:

1. sifat fisika dan kimia sumber radioaktif, 2. jenis perisai dan pengungkung yang

digunakan,

3. keadaan pengggunaan, dan 4. sejarah kasus kecelakaan.

Kategorisasi Berdasarkan pada Rasio Aktivitas dengan Nilai D

Selain kategorisasi sumber radioaktif ditentukan melalui jenis penggunaan sumber radioaktif, kategorisasi juga dapat ditentukan berdasarkan konsep ”sumber berbahaya” yang dikuantifikasikan dengan nilai D. Nilai D merupakan aktivitas spesifik sumber radioaktif yang dapat menyebabkan efek deterministik yang fatal untuk skenario asumsi konservatif, meliputi paparan eksternal dari sumber yang terlepas dari wadahnya tetapi masih tetap terbungkus dalam kapsul yang sedang dijinjing selama satu jam, dalam kantong selama sepuluh jam atau sedang berada dalam ruangan selama beberapa hari hingga beberapa minggu (nilai D) dengan mengetahui besarnya perbandingan aktivitas dengan nilai Dangerous Value, yaitu: (A/D).

Nilai ”D” merupakan tingkat aktivitas spesifik, yang menunjukkan jika aktivitas sumber radioaktif di atas nilai D maka sumber radioaktif dianggap sebagai ”sumber yang berbahaya”, karena sumber radioaktif tersebut berpotensi besar menimbulkan efek deterministik yang parah apabila tidak diawasi dan digunakan sesuai persyaratan keselamatan radiasi dan keamanan sumber radioaktif. Karena sistem kategorisasi sumber radioaktif berdasarkan pada potensi sumber radioaktif yang menimbulkan efek deterministik, maka nilai D dianggap sebagai

(5)

faktor normalisasi untuk menentukan peringkat relatif sumber radioaktif dan penggunaannya secara numerik. Adapun yang dimaksud dengan nilai ”A” adalah nilai aktivitas aktual dari sumber radioaktif.

Pendekatan yang digunakan untuk menentukan nilai-D adalah dosis radiasi yang diterima seseorang dengan batasan referensi dosis, sebagai pada Tabel 1.

Tabel 1. Referensi Dosis untuk Menentukan Nilai-D

Jaringan Kriteria Dosis Sumsum

tulang

1 Gy dalam 2 hari

paru-paru 6 Gy dalam 2 hari dari radiasi linier energy transfer (LET) rendah

25 Gy dalam 1 tahun dari radiasi LET tinggi

Tiroid 5 Gy dalam 2 hari Kulit 25 Gy pada kedalaman 2 cm untuk

hampir semua bagian tubuh (sebagai contoh, satu sumber di

dalam kantong) atau pada kedalaman 1 cm pada tangan

selama waktu 10 jam.

Kumpulan Sumber Radioaktif

Pemanfaatan yang melibatkan kumpulan sumber radioaktif dalam penyimpanan tunggal atau lokasi penggunaan sumber radioaktif sangat berdekatan, seperti dalam fasilitas penyimpanan, proses manufaktur, atau kendaraan pengangkutan, aktivitas total dapat diperlakukan sebagai satu sumber untuk tujuan menetapkan kategori. Oleh karena itu, aktivitas penjumlahan seluruh radionuklida ini dapat dibagi dengan nilai D yang sesuai, dan rasio A/D yang dihitung dibandingkan dengan rasio A/D pada Appendix II yang terdapat di halaman 15 dalam publikasi Tecdoc-1344 tahun 2003 [7], pada kolom tabel sebelah kanan. Apabila sejumlah sumber radioaktif dikumpulkan, maka jumlah rasio A/D dapat digunakan untuk menentukan kategori sesuai dengan rumus: Kumpulan A/D =

n

n i in

D

A

, (1) dengan :

Ai,n : aktivitas tiap sumber radioaktif i dari jumlah

sumber radioaktif n.

Dn : nilai D untuk jumlah sumber radioaktif n.

Pada setiap kasus, juga harus diketahui bahwa faktor lain mungkin perlu dipertimbangkan di dalam menentukan suatu kategori. Lebih jauh lagi, pada saat mempertimbangkan akumulasi sumber radioaktif kategorisasi sumber dapat berubah, misalnya pada saat pabrikasi peralatan gauging berbeda dengan pada saat penggunaan peralatan gauging.

Tecdoc-1355 Tahun 2003

Dalam Tecdoc- 1355, IAEA merekomendasikan 4 (empat) kelompok keamanan sumber radioaktif, meliputi: Kelompok Keamanan A, B, C dan D berdasarkan pengkategorisasian sumber radioaktif sesuai dengan Tecdoc-1344, sebagaimana diuraikan pada tabel 2 yang terdapat di halaman 8 dalam publikasi Tecdoc-1355 tahun 2003 [8]. Berdasarkan pada analisis potensi bahaya sumber radioaktif, kajian risiko dapat dilakukan. Tingkat risiko ini akan menentukan tindakan pengamanan sumber radioaktif yang diperlukan. Tindakan pengamanan ini dapat dijelaskan berdasarkan kemampuan untuk menghalangi, mendeteksi dan memperlambat akses atau pengambil-alihan oleh orang yang tidak berwenang, sebagaimana diuraikan pada tabel 3 yang terdapat di halaman 14 dalam publikasi Tecdoc-1355 tahun 2003 [8].

Code of Conduct Tahun 2004

IAEA melalui publikasinya dalam Code of Conduct on the Safety and Security of Radioactive Source, Januari 2004 merekomendasikan agar setiap negara hendaknya, dalam melindungi pekerja, masyarakat dan lingkungan, mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin:

a. sumber radioaktif yang berada dalam teritorial, atau di bawah wilayah hukum atau pengawasannya, dikelola dengan selamat dan diproteksi dengan aman dari mulai pembuatan sumber radioaktif hingga pengelolaan limbah radioaktif; dan

b. promosi budaya keselamatan dan budaya keamanan.

Setiap negara hendaknya juga memiliki sistem legislasi dan regulasi nasional yang efektif untuk mengawasi seluruh pengelolaan dan proteksi sumber radioaktif. Sistem yang dimaksud hendaknya:

a. memberikan tanggung jawab utama untuk manajemen keselamatan dan keamanan sumber radioaktif terhadap orang yang diberi kewenangan;

b. meminimalkan kemungkinan hilangnya kendali sumber radioaktif;

c. menyiapkan strategi nasional untuk memperoleh kembali kendali terhadap sumber

(6)

radioaktif tidak diketahui pemiliknya (orphan source);

d. menyelenggarakan komunikasi yang konsisten antara badan pengawas dan pengguna;

e. menyiapkan tindakan yang tepat untuk mengurangi kemungkinan tindakan kejahatan termasuk sabotase, sejalan dengan ancaman yang ditetapkan oleh negara;

f. memitigasi atau meminimalkan akibat kecelakaan radiasi atau tindakan kejahatan yang terkait dengan sumber radioaktif; dan g. menyediakan perbaikan yang berkelanjutan. h. IAEA juga mendorong negara anggota agar

membuat suatu kebijakan untuk melaksanakan sistem pengawasan nasional yang efektif dengan tidak hanya menjamin aspek keselamatan tetapi juga aspek keamanan. Pada pertengahan. tahun 2004, Indonesia sebagai salah satu anggota IAEA telah menandatangani nota kesepahaman yang akan menerapkan Code of Conduct.

Guidance on Import and Export Tahun 2005 IAEA menerbitkan satu pedoman khusus untuk impor dan ekspor sumber radioaktif, yaitu Guidance on The Import and export of Radioactive Sources tahun 2005. Dalam dokumen IAEA ini hanya merekomendasikan mengenai pedoman keamanan untuk impor dan ekspor sumber radioaktif kategori 1 dan 2. Remomendasi ini sudah diatur dalam PP No. 33 Tahun 2007 maupun Peraturan Kepala BAPETEN No. 07 Tahun 2007.

Safety Guide G-R-S- 1.9 Tahun 2006

Setelah Tecdoc-1344, IAEA menerbitkan lagi publikasi mengenai pengkategorisasian sumber radioaktif dengan Safety Guide G-R-S-1.9 pada tahun 2006. Isi dua dokumen persis sama, perubahan yang terjadi hanya berupa status dokumen, yaitu dari Tecdoc menjadi Safety Guide dan dalam dua dokumen tersebut diuraikan bahwa nilai-D menggambarkan tingkat bahaya dari suatu sumber radioaktif.

PUBLIKASI IAEA MENGENAI KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT

RADIOAKTIF

IAEA telah mengadopsi dan mengintegrasikan pendekatan dengan proteksi terhadap terorisme nuklir, sebagai respon dari resolusi General Conference IAEA pada bulan September 2002. Pendekatan ini berhubungan dengan proteksi fisik bahan dan instalasi nuklir, pembukuan nuklir,

deteksi dari, dan respon terhadap, lalu-lintas nuklir dan zat radioaktif lain, keamanan sumber radioaktif, keamanan dalam pengangkutan bahan nuklir dan zat radioaktif lain, tanggap darurat dan kesiapsiagaan darurat. Dalam aspek keselamatan radiasi, secara historis, fokus dari publikasi IAEA mengenai pengangkutan zat radioaktif telah sejak dulu eksis, dengan publikasi terbaru adalah “the Safe Transport of Radioactive Material, TS-R-1, tahun 2005.

IAEA pada akhirnya sampai juga pada suatu kesimpulan bahwa ketentuan mengenai keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif dibuat tersendiri sama seperti ketentuan mengenai keselamatan dalam pengangkutan zat radioaktif. Dari sembilan publikasi IAEA sebelumnya, ketentuan baik keamanan bahan nuklir maupun sumber radioaktif disatukan dalam penggunaan, penyimpanan dan pengangkutan. IAEA pada tahun 2008 menerbitkan 1 (satu) publikasi khusus, yaitu: NSS No. 9, Security in the Transport of Radioactive Material, merekomendasikan beberapa hal penting, antara lain: penentuan tindakan keamanan dan penentuan tingkat keamanan.

1. Penentuan Tindakan Keamanan

Penentuan tindakan keamanan dalam regulasi yang akan disusun dapat dilakukan dengan memilih salah satu dari tiga jenis model, sebagai berikut:

a. Pendekatan Berbasis Preskriptif (Prescriptive-Based Approach);

b. Pendekatan Berbasis Kinerja (Performance-Based Approach); atau

c. Pendekatan Berbasis Kombinasi (Combination-Based Approach).

2. Pendekatan Berbasis Preskriptif

Tindakan keamanan yang diterapkan harus sesuai dengan persyaratan adiministratif dan persyaratan teknik. Penyediaan checklists sangat bermanfaat kepada personil yang mengembangkan rencana/program keamanan atau memverifikasi kesiapsiagaan operasional. Tindakan keamanan yang disusun lengkap dan rinci.

3. Pendekatan Berbasis Kinerja

Tindakan keamanan yang diterapkan harus dievaluasi terhadap ancaman yang umum atau ancaman dasar desain (design basic threat-DBT). Ancaman umum maupun ancaman dasar desain ini dapat menjadi sangat luas tergantung dari situasi dan keadaan suatu negara. Hal yang menjadi penting bagi suatu negara agar meninjau ulang dan mengevaluasi implikasi dari setiap perubahan dari berbagai ancaman untuk menspesifikasi

(7)

tindakan/upaya keamanan. Pendekatan berbasis kinerja memberikan fleksiblitas yang lebih besar kepada badan pengawas dan operator (pengirim, penerima dan pengangkut) karena tindakan keamanan yang disusun bersifat umum. Data analisis dan sumber daya yang lebih profesional dipersyaratkan daripada pendekatan berbasis preskriptif.

4. Pendekatan Berbasis Kombinasi

Tindakan keamanan yang diterapkan merupakan kombinasi antara pendekatan berbasis kinerja dengan pendekatan berbasis preskriptif. Pendekatan berbasis kombinasi ini dapat digunakan untuk:

a. mempertimbangkan ancaman, DBT dan/atau daya tarik zat radioaktif;

b. meningkatkan tindakan keamanan yang konsisten dengan ancaman dan daya tarik zat radioaktif, dengan:

1. menggunakan tindakan tambahan yang sudah dibuat daftarnya sesuai ketentuan dalam suatu cara yang logis; dan

2. menerapkan tindakan keamanan mengikuti suatu pendekatan yang bertahap.

5. Penetapan Tingkat Keamanan

Dalam rangka menspesifikasi tingkat keamanan pengangkutan dilakukan dengan sistim Q untuk menentukan nilai A1 dan A2 untuk aspek

keselamatan radiasi dan dengan kategorisasi berdasarkan pada sumber berbahaya untuk menentukan nilai D untuk aspek keamanan sumber radioaktif.

Berdasarkan penentuan nilai A1 dan A2,

maupun nilai D maka tingkat keamanan untuk zat radioaktif dalam pengangkutan terdiri dari, 3 (tiga) tingkat, meliputi:

a. Praktik Manajemen Prudent (Prudent Management Practice);

b. Tingkat Keamanan Dasar (Basic Security Level); dan

c. Tingkat Keamanan Ditinggikan (Enhanced Security Level).

5.1. Praktik Manajemen Pruden

Diberlakukan untuk zat radioaktif yang memiliki bahaya radiologik yang cukup kecil, yang tidak memerlukan tindakan keamanan. Zat radioaktif tersebut mencakup jumlah yang sangat kecil (misalnya, bungkusan dikecualikan dengan suatu tingkat aktivitas tidak melampaui tingkat yang diizinkan untuk radionuklida apabila tidak dalam bentuk khusus), zat konsentrasi aktivitas rendah dan benda terkontaminasi tingkat rendah yang dapat

diangkut (aktivitas jenis rendah/AJR-I dan bahan terkontaminasi permukaan/BTP-I).

5.2. Tingkat Keamanan Dasar

Diberlakukan untuk semua bungkusan zat radioaktif yang mensyaratkan paling kurang tindakan keamanan dasar yang merupakan ketentuan keamanan umum. Tingkat keamanan dasar dipersyaratkan untuk bungkusan yang nilainya di bawah batas ambang radioaktivitas, sebaimana diuraikan bagian 3.2.3.

5.3. Tingkat Keamanan Ditinggikan

Diberlakukan untuk bungkusan zat radioaktif sesuai dengan atau melebihi ambang batas radioaktivitas. Tindakan keamanan ini harus diterapkan melebihi atau di atas tindakan yang dilakukan untuk tingkat keamanan dasar. Nilai batas ambang per bungkusan untuk Tingkat Keamanan Ditinggikan, sebagai berikut:

a. 10 D (mencakup sumber Kategori 1 dan Kategori 2) per bungkusan, untuk radionukilda sebagaimana diuraikan pada pada tabel 3 yang terdapat di halaman 36 dalam publikasi Nuclear Security Series No. 9 tahun 2008 [14], yang berarti:

i. nilai ini dapat mengakibatkan efek deterministik yang parah; dan

ii. nilai ini sama dengan batas ambang yang digunakan untuk impor dan ekspor sumber radioaktif.

b. 3000 A2 per bungkusan, untuk radionuklida

lain, yang berarti:

i. nilai ini menunjukkan hubungan akibat penyebaran radioaktivitas yang sudah diperhitungkan; dan

ii. nilai A2 digunakan secara luas dan

digunakan dalam keselamatan pengangkutan.

PERATURAN MENGENAI KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT

RADIOAKTIF

Pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir yang ada saat ini dibagi dalam 2 (dua) bagian, meliputi: (1) instalasi dan bahan nuklir (IBN); dan (2) fasilitas radiasi dan zat radioaktif (FRZR). Pemanfaatan bahan nuklir merupakan bagian IBN sedangkan pemanfaatan sumber radioaktif merupakan bagian FRZR. Oleh karena zat radioaktif mempunyai arti sebagai bahan nuklir dan sumber radioaktif maka pengawasan yang dilakukan melalui pembuatan peraturan juga menjadi tersendiri, yaitu: pengaturan yang terkait dengan bahan nuklir maupun dengan

(8)

keamanan sumber radioaktif.

IAEA melalui publikasinya Tecdoc-1067 merekomendasikan bahwa jenis regulasi yang akan disusun dapat dilakukan dengan memilih salah satu dari tiga pilihan model; sebagai berikut:

a. Pendekatan Berbasis Preskriptif; b. Pendekatan Berbasis Kinerja; atau c. Pendekatan Berbasis Kombinasi.

Substansi teknis peraturan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif disusun dengan metode adopsi (adoption) dan adaptasi (adaptation) berdasarkan rekomendasi IAEA dan muatan secara legal harus harmonis dengan sistem hukum nasional. Dengan demikian prinsip suatu peraturan menjadi “mampu laksana” bagi pihak operator (pengirim, penerima dan pengangkut).

Ada 2 (jenis) peraturan yang telah disusun, yaitu: PP yang bersifat umum dan Perka BAPETEN yang bersifat rinci. Muatan persyaratan atau ketentuan yang diatur dalam PP mengenai sistem keamanan belum secara rinci, namun dalam Perka mengenai sistem keamanan sudah diatur secara rinci. Sistem keamanan adalah integrasi antara personil yang berkualifikasi, peralatan keamanan yang handal dan prosedur yang tepat untuk melindungi aset dari orang yang berniat jahat.

PP. NO. 33 TAHUN 2007

Dalam Bab V, PP. No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif diatur beberapa hal, sebagai berikut:

a. kategorisasi sumber radioaktif terdiri dari kategori 1, 2, 3, 4 dan 5;

b. impor, ekpor untuk kategori 1 dan 2;

c. penggunaan, pengangkutan dan penyimpanan sumber radioaktif; kelompok keamaman A, B, C, dan D; dan

d. tanggung jawab Pemegang Izin.

PP No.33 ini juga mengatur keamanan sumber radioaktif dalam hal tidak diketahui pemiliknya.

1. Perka No. 07 Tahun 2007

Dalam Perka No. 07 ini merupakan amanat PP No. 33, mengatur ketentuan mengenai kategorisasi sumber radioaktif berdasarkan kategori 1, 2, 3, 4, dan 5 yang selanjutnya menjadi berdasarkan kelompok keamanan sumber radioaktif A, B, C, dan D. Kelompok keamanan D tidak memerlukan persyaratan keamanan. Persyaratan keamanan sumber radioaktif dalam penggunaan, penyimpananan dan pengangkutan diatur secara bersamaan, meliputi:

a. persyaratan administratif;

b. persyaratan manajemen; c. persyaratan teknis; dan d. laporan.

Persyaratan administratif dan persyaratan manajemen sama untuk keamanan dalam penggunaan, penyimpanan dan pengangkutan sumber radioaktif, namun persyaratan teknis untuk ketiga jenis kegiatan tersebut berbeda. Persyaratan administratif terkait dengan proses perizinan dari aspek keamanan. Persyaratan manajemen, meliputi: (1) bentuk organisasi; (2) kualifikasi personil; dan (3) tanggung jawab. Untuk kualifikasi personil adalah petugas keamanan sumber radioaktif (PKSR), sebagai PKSR dapat berasal dari kepala satuan pengamanan atau petugas proteksi radiasi (PPR). PPR dapat merangkap PKSR. Persyaratan teknis, meliputi: (1) fasilitas; (2) peralatan; (3) kendali kunci; dan (4) prosedur.

Peralatan keamanan sumber radioaktif selama pengangkutan untuk kelompok keamanan A, kelompok keamanan B, kelompok keamanan C paling sedikit meliputi:

a. telepon selular; b. balok untuk fiksasi; c. rantai dan gembok; dan d. senter besar.

Pengangkutan sumber radioaktif kelompok keamanan A, B, dan C harus dilakukan oleh Pemegang Izin dengan memenuhi persyaratan yang meliputi:

a. selama pengangkutan darat, sungai, danau, dan penyeberangan didampingi oleh PKSR; b. setiap kendaraan pengangkut melalui darat

harus dilengkapi dengan peralatan keamanan paling sedikit meliputi:

1. kunci bagasi untuk menyimpan sumber radioaktif; dan

2. kunci kemudi;

c. bungkusan sumber radioaktif harus diikat dan dikunci dengan kuat agar bungkusan tidak terlepas dari kendaraan;

d. melapor pada BAPETEN dan Kepolisian terdekat secepat mungkin jika terjadi keadaan darurat atau peristiwa yang menimbulkan akibat yang signifikan terhadap keamanan sumber radioaltif;

e. menyampaikan rute perjalanan dan rute perjalanan alternatif jika terjadi kedaruratan kepada BAPETEN; dan

f. menyerahkan dan mendapatkan persetujuan atas rencana keamanan dan tanggap darurat selama pengangkutan sumber radioaktif. Dalam hal pengangkutan sumber radioaktif kelompok keamanan A melalui darat, sungai, dan danau, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, Pemegang Izin harus menyediakan kawalan polisi. Pemegang Izin harus

(9)

menjaga kendaraan tetap tertutup, aman, dan diparkir di area yang aman atau di garasi yang terkunci, selama transit sumber radioaktif kelompok keamanan A, B, dan C.

2. Perka No. 01 Tahun 2009

Perka No. 01 ini merupakan amanat Pasal 12 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir dan Pasal 22 ayat (2) PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif, Dalam Perka No. 01, persyaratan keamanan dalam penggunaan, penyimpanan dan pengangkutan bahan nuklir diatur secara bersamaan, untuk pengangkutan diatur dalam Bab VI, mengenai Sistem Proteksi Fisik terhadap Pengangkutan Bahan Nuklir.

Berdasarkan rekomendasi IAEA dalam publikasinya INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected)

bahwa bahan nuklir terdiri dari 3 (tiga) kategori, namun dalam Perka No.01 bahan nuklir terdiri dari 4 (empat) golongan sebagaimana diuraikan pada Lampiran III Perka BAPETEN No.01/2009 [3]. Sistem proteksi fisik terhadap pengangkutan bahan nuklir diatur sebagai berikut:

Ketentuan Umum Sistem Proteksi Fisik terhadap Pengangkutan Bahan Nuklir

Pengusaha Instalasi Nuklir (PIN) harus menetapkan dan melaksanakan sistem proteksi fisik terhadap pengangkutan bahan nuklir sesuai dengan golongan bahan nuklir yang diangkut. Jika dalam pengangkutan bahan nuklir harus menginap, maka bahan nuklir harus diproteksi sesuai dengan ketentuan proteksi fisik untuk golongan bahan nuklir.

Sebelum melaksanakan pengangkutan, PIN harus melakukan koordinasi dengan Satuan perespon dengan ketentuan sebagai berikut:

a. perencanaan proteksi fisik pengangkutan adalah tanggung jawab Pengirim atau sesuai dengan perjanjian;

b. sebelum melaksanakan pengangkutan, Pengirim harus menyerahkan rencana proteksi fisik pengangkutan bahan nuklir, termasuk kontrak perjanjian pengangkutan kepada Kepala BAPETEN; dan

c. kontrak perjanjian pengangkutan harus menyebutkan secara jelas tempat dan waktu pengalihan tanggung jawab proteksi fisik dan kepemilikan bahan nuklir dari satu pihak kepada pihak lainnya.

Selama pelaksanaan pengangkutan bahan nuklir, PIN harus menggunakan tanda khusus pada kendaraan; dan membatasi saluran komunikasi. Penerima harus memeriksa keutuhan bungkusan bahan nuklir di tempat serah terima dan segera

memberitahu hasil pemeriksaan kepada Pengirim dan BAPETEN.

Sistem proteksi fisik terhadap pengangkutan bahan nuklir golongan I, II, dan III meliputi:

a. pemberitahuan pendahuluan kepada Penerima; b. pemilihan moda pengangkutan dan rute; c. ketentuan tentang kunci dan segel; d. pemeriksaan kendaraan pengangkut; e. tindakan setelah pengiriman; f. komunikasi;

g. Penjaga; dan

h. tindakan dalam hal keadaan darurat.

Ketentuan Sistem Proteksi Fisik terhadap Pengangkutan Bahan Nuklir Golongan I

Pengirim membuat pemberitahuan pendahuluan kepada Penerima mengenai pengiriman yang direncanakan dengan menyebutkan:

a. moda pengangkutan;

b. perkiraan waktu kedatangan; dan

c. tempat serah terima barang apabila serah terima dilakukan di suatu tempat sebelum tujuan akhir.

Penerima harus memberitahu kepada Pengirim mengenai kesiapan menerima bahan nuklir pada waktu yang ditentukan. Pemilihan moda

pengangkutan dilakukan dengan

mempertimbangkan waktu tempuh dan rute yang akan dilalui. Pemilihan rute dilakukan dengan:

a. mempertimbangkan faktor keamanan, khususnya daerah rawan bencana dan/atau rawan kerusuhan; dan

b. memperhitungkan kemampuan Satuan perespon.

Pengirim harus meminta persetujuan Kepala BAPETEN dalam hal:

a. rute yang telah disepakati oleh Pengirim dan Penerima, termasuk rute alternatif;

b. tempat pemberhentian;

c. pengaturan pemindahan di tempat tujuan; d. identitas Pengangkut;

e. prosedur kontinjensi; dan

f. prosedur pelaporan baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan darurat.

Moda pengangkutan meliputi: (1) darat; (2) laut; dan (3) udara. Sedangkan moda pengangkutan darat meliputi: (1) moda pengangkutan melalui jalan raya; dan (2) moda pengangkutan dengan kereta api. Adapun ketentuan rinci tiap moda pengangkutan sebagai berikut:

1. Ketentuan proteksi fisik untuk moda pengangkutan melalui jalan raya:

a. Pengirim wajib memastikan kelayakan kendaraan, Pengemudi, dan Personil lain yang terkait dengan pengangkutan;

(10)

b. kendaraan pengangkut harus disertai Penjaga yang dipersenjatai dan didesain khusus untuk tahan terhadap serangan dan dilengkapi dengan kunci pengaman dan sistem imobilisasi yang dapat dioperasikan dengan mudah dan cepat oleh Pengemudi. Sistem imobilisasi meliputi antara lain:

i. sistem yang membuat kendaraan tidak dapat digunakan oleh orang yang tidak berwenang dan/atau alat yang dapat menghentikan penyediaan bahan bakar;

ii. mengunci persneling dan roda; dan melumpuhkan pedal gas atau mematikan rem angin.

c. kendaraan pengangkut harus didampingi paling sedikit oleh:

i. satu kendaraan yang berisi Penjaga; ii. satu kendaraan pengangkut

cadangan;

iii. satu kendaraan yang berisi peralatan bongkar muat;

iv. satu kendaraan yang berisi PPR beserta Perlengkapan protektif radiasi; dan

v. satu kendaraan yang berisi Satuan perespon.

2. Ketentuan mengenai proteksi fisik untuk moda pengangkutan dengan kereta api sebagai berikut:

a. pengiriman harus dilakukan dengan kereta barang dalam gerbong tersendiri;

b. pengiriman harus dikawal oleh Penjaga yang dipersenjatai, Satuan perespon dan PPR yang berada di gerbong khusus yang terdekat dengan gerbong yang memuat bahan nuklir; dan

c. Penjaga yang berada dalam kereta api harus mampu berkomunikasi dengan Masinis dalam rangka mengantisipasi waktu tempuh dan penghentian kereta api tidak terjadwal.

3. Ketentuan mengenai proteksi fisik untuk moda pengangkutan melalui air sebagai berikut: a. pengiriman harus dilakukan dengan kapal

barang yang diperuntukkan khusus mengangkut bungkusan bahan nuklir; b. tiap pengangkutan harus dikawal oleh

Penjaga yang dipersenjatai dan PPR; c. bungkusan bahan nuklir harus

ditempatkan di ruangan yang aman atau kontener yang dikunci atau disegel; dan

d. kapal pengangkut harus didampingi paling sedikit oleh satu kapal pengawal dari Satuan perespon.

4. Untuk moda pengangkutan melalui udara, bungkusan bahan nuklir harus menjadi satu-satunya jenis barang yang diangkut oleh pesawat kargo.

5. Ketentuan mengenai kunci dan segel sebagai berikut:

a. bungkusan bahan nuklir harus diangkut dengan kendaraan tertutup dan dalam kontener yang terkunci;

b. sebelum pengiriman dilakukan, Pengirim harus melakukan pemeriksaan fisik kunci dan segel pada kontener dan ruangan khusus barang atau kompartemen untuk memastikan kunci dan segel dalam keadaan baik; dan

c. bungkusan bahan nuklir dalam kontener yang terkunci dan tersegel dengan berat lebih dari 2.000 (dua ribu) kilogram dapat diangkut dalam kendaraan terbuka. Pengirim harus memeriksa kendaraan pengangkut secara teliti sebelum barang dimuat dan dikirim untuk memastikan tidak ada sabotase atau pemasangan alat sabotase.

6. Ketentuan mengenai tindakan setelah pengiriman sebagai berikut:

a. tindakan setelah pengiriman wajib dilakukan oleh Pengirim dan Penerima; b. Pengirim wajib memastikan bahwa

bungkusan bahan nuklir sudah diterima oleh Penerima;

c. Penerima wajib memastikan keutuhan bungkusan, kunci, dan segel segera setelah bungkusan tiba; dan

d. Penerima memberitahukan pengirim mengenai kedatangan bungkusan bahan nuklir, atau dalam hal bungkusan bahan nuklir tidak datang sesuai dengan jadwal.

7. Ketentuan mengenai komunikasi sebagai berikut:

a. komunikasi harus dilakukan antara Pengangkut, Penjaga dan Pusat kendali pengangkutan;

b. PIN wajib menyediakan peralatan komunikasi dua arah; dan

c. Penjaga wajib melaporkan melalui komunikasi dua arah kepada Pusat kendali pengangkutan mengenai kedatangan bungkusan bahan nuklir di tempat tujuan, di setiap tempat persinggahan dan di

(11)

tempat penyerahan bungkusan bahan nuklir.

8. Ketentuan mengenai Pusat kendali sebagai berikut:

a. Pengirim wajib memiliki pusat kendali pengangkutan untuk moda pengangkutan melalui jalan raya, dengan kereta api atau melalui air dengan tujuan untuk memantau posisi dan status keamanan terkini pengiriman bahan nuklir;

b. Pusat kendali pengangkutan wajib melakukan komunikasi dua arah secara terus menerus dengan Pengirim dan Satuan perespon;

c. Pusat kendali pengangkutan harus kokoh sehingga dapat berfungsi terus meskipun terjadi ancaman dasar desain;

d. pada saat pengiriman berlangsung, Pusat kendali pengangkutan harus dilengkapi Peralatan dan Petugas yang berkualitas dan terpercaya untuk memantau pengangkutan dari Pengirim, Penerima, perusahaan pengangkutan yang terkait atau suatu instansi pemerintah yang independen;

e. Pusat kendali pengangkutan harus dipasang sistem pelacak data transmisi secara otomatis untuk bungkusan bahan nuklir yang dibawa, sehingga dapat merekam dan menyelidiki segera pemberhentian yang tidak terencana atau perubahan rute; dan

f. Pusat kendali pengangkutan harus memutakhirkan perkembangan keadaan bahan nuklir selama pengangkutan.

9. Ketentuan mengenai Penjaga sebagai berikut: a. Penjaga wajib dipersenjatai dan dilatih

mengawal pengangkutan untuk melindungi bahan nuklir terhadap upaya sabotase dan/atau pemindahan secara tidak sah;

b. Penjaga wajib melakukan pengamatan secara terus menerus terhadap bungkusan bahan nuklir atau kargo bungkusan bahan nuklir yang terkunci, termasuk ketika pengangkutan bahan nuklir berhenti; dan c. Penjaga harus memberi tahu pusat kendali

pengangkutan mengenai serah terima bungkusan.

10. Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagai berikut:

a. PIN harus memastikan kesiagaan satuan perespon untuk melakukan tindakan dalam hal keadaan darurat;

b. sistem pelacak data s dapat dimasukkan data pesan yang diberikan secara singkat oleh Pengemudi atau Penjaga yang dapat dikirim dalam keadaan darurat;

c. Penjaga harus mampu berkomunikasi secara verbal dengan radio, telefon seluler atau sistem satelit dengan Pusat kendali pengangkutan agar dapat memberikan informasi rinci pada saat keadaan darurat; d. apabila terdapat ancaman, maka

Pengangkut harus:

i. memperbanyak komunikasi dengan Pusat kendali pengangkutan, Penjaga dan Satuan perespon untuk menghindari kegagalan komunikasi; ii. komunikasi ke Penjaga apabila

terjadi penangkapan musuh; dan iii. segera memberikan sinyal alarm

apabila terdapat serangan atau perampokan.

Ketentuan Sistem Proteksi Fisik terhadap Pengangkutan Bahan Nuklir Golongan II

1. Ketentuan mengenai proteksi fisik untuk moda pengangkutan melalui jalan raya sebagai berikut:

a. Pengirim wajib memastikan kelayakan kendaraan, pengemudi, dan Personil lain yang terkait dengan pengangkutan. b. kendaraan pengangkut harus disertai

penjaga dan dilengkapi dengan kunci pengaman dan sistem imobilisasi yang dapat dioperasikan dengan mudah dan cepat oleh Pengemudi. Adapun sistem imobilisasi meliputi antara lain:

i. sistem yang membuat kendaraan tidak dapat digunakan oleh orang yang tidak berwenang dan/atau alat yang dapat menghentikan penyediaan bahan bakar;

ii. mengunci persneling dan roda; dan iii. melumpuhkan pedal gas atau

mematikan rem angin.

c. kendaraan pengangkut harus didampingi paling sedikit oleh:

i. satu kendaraan yang berisi Penjaga; ii. satu kendaraan pengangkut

cadangan;

iii. satu kendaraan yang berisi peralatan bongkar muat;

iv. satu kendaraan yang berisi PPR beserta Perlengkapan protektif radiasi; dan

v. satu kendaraan yang berisi Satuan perespon.

(12)

2. Ketentuan mengenai proteksi fisik untuk moda pengangkutan dengan kereta api sebagai berikut:

a. pengiriman harus dilakukan dengan kereta barang dalam gerbong tersendiri;

b. pengiriman harus dikawal oleh Penjaga, Satuan perespon dan PPR yang berada di gerbong khusus yang terdekat dengan gerbong yang memuat bahan nuklir; dan c. Penjaga yang berada dalam kereta api

harus mampu berkomunikasi dengan Masinis dalam rangka mengantisipasi waktu tempuh dan penghentian kereta api tidak terjadwal.

3. Ketentuan mengenai Penjaga sebagi berikut: a. Penjaga wajib dilatih mengawal

pengangkutan untuk melindungi bahan nuklir terhadap upaya sabotase dan/atau pemindahan secara tidak sah.

b. Penjaga wajib melakukan pengamatan secara terus menerus terhadap bungkusan bahan nuklir atau kargo bungkusan bahan nuklir yang terkunci, termasuk ketika pengangkutan bahan nuklir berhenti. c. Penjaga harus memberi tahu pusat kendali

pengangkutan mengenai serah terima bungkusan.

4. Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagai berikut:

a. PIN harus memastikan kesiagaan Satuan perespon untuk melakukan tindakan dalam hal keadaan darurat.

b. Penjaga harus mampu berkomunikasi secara verbal dengan radio, telefon seluler atau sistem satelit dengan Pusat kendali pengangkutan agar dapat memberikan informasi rinci pada saat keadaan darurat . c. apabila terdapat ancaman, maka

Pengangkut harus:

i. memperbanyak komunikasi dengan Pusat kendali pengangkutan, Penjaga dan Satuan perespon untuk menghindari kegagalan komunikasi; ii. komunikasi ke Penjaga apabila

terjadi penangkapan musuh; dan iii. segera memberikan sinyal alarm

apabila terdapat serangan atau perampokan.

Ketentuan Sistem Proteksi terhadap Pengangkutan Bahan Nuklir Golongan III 1. Ketentuan mengenai proteksi fisik untuk moda

pengangkutan melalui jalan raya sebagai berikut:

a. Pengirim wajib memastikan kelayakan kendaraan, Pengemudi, dan Personil lain yang terkait dengan pengangkutan; b. kendaraan pengangkut harus disertai

penjaga dan dilengkapi dengan kunci pengaman dan sistem imobilisasi yang dapat dioperasikan dengan mudah dan cepat oleh Pengemudi. Sistem imobilisasi meliputi antara lain:

i. sistem yang membuat kendaraan tidak dapat digunakan oleh orang yang tidak berwenang dan/atau alat yang dapat menghentikan penyediaan bahan bakar;

ii. mengunci persneling dan roda; dan iii. melumpuhkan pedal gas atau

mematikan rem angin.

c. dalam hal pengiriman bahan bakar nuklir, kendaraan pengangkut harus didampingi paling sedikit oleh:

i. satu kendaraan yang berisi Penjaga; ii. satu kendaraan yang berisi peralatan

bongkar muat; dan

iii. satu kendaraan yang berisi PPR beserta Perlengkapan protektif radiasi.

2. Ketentuan mengenai proteksi fisik untuk moda pengangkutan dengan kereta api sebagai berikut:

a. pengiriman dapat dilakukan dengan kereta penumpang, tetapi tetap dalam gerbong tersendiri;

b. pengiriman harus dikawal oleh penjaga, Satuan perespon dan PPR yang berada di gerbong khusus yang terdekat dengan gerbong yang memuat bahan nuklir; dan c. Penjaga yang berada dalam kereta api

harus mampu berkomunikasi dengan Masinis dalam rangka mengantisipasi waktu tempuh dan penghentian kereta api tidak terjadwal.

Dalam hal bahan bakar nuklir, pengiriman harus dilakukan dengan kereta barang dalam gerbong tersendiri.

Ketentuan Sistem Proteksi terhadap Pengangkutan Bahan Nuklir Golongan IV Dalam Perka No. 01 Tahun 2009 tidak diatur mengenai ketentuan Sistem Proteksi terhadap Pengangkutan Bahan Nuklir Golongan IV, karena memang Golongan IV merupakan hasil adaptasi tim penyusun Perka No. 01 Tahun 2009 untuk mengklasifikasikan bahan nuklir dengan jumlah massa yang lebih kecil daripada batasan bahan nuklir Golongan III yang disarankan oleh publikasi

(13)

INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) 1999 [4].

KESIMPULAN

1. Dalam konteks keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif maka zat radioaktif dapat diartikan sebagai bahan nuklir dan sumber radioaktif. 2. Poteksi fisik bahan nuklir identik dengan

keamanan sumber radioaktif maka proteksi fisik dapat dianggap sama dengan keamanan.

3. Proteksi fisik dalam pengangkutan bahan nuklir yang diatur dalam Perka No. 01 Tahun 2009 menyatu dengan proteksi fisik dalam penggunaan dan penyimpanan sesuai rekomendasi IAEA, INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) tahun 1999.

4. Keamanan dalam pengangkutan sumber radioaktif yang diatur dalam Perka No. 07 Tahun 2007 menyatu dengan keamanan sumber radioaktif dalam penggunaan dan penyimpanan sesuai dengan rekomendasi IAEA dalam Tecdoc-1344 dan Tecdoc-1355 tahun 2003. 5. Rekomendasi IAEA dalam NSS No.9 mengenai

pemisahan keamanan selama pengangkutan dari selama penggunaan maupun penyinpanan zat radioaktif dapat dimengerti karena aset (fasilitas/instalasi termasuk zat radioaktifnya) selama pengangkutan berbeda dengan selama penggunaan mapun peyimpanan.

6. Tindakan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif yang direkommendasikan IAEA terkesan sederhana, hanya meliputi 3 (tiga) tindakan: pruden (prudent), dasar (basic) dan ditinggikan (enhanced).

7. Sistem Q digunakan menentukan nilai A1 dan A2

untuk aspek keselamatan radiasi dan Kategorisasi sumber berbahaya digunakan menentukan nilai D untuk aspek keamanan sumber radioaktif. Oleh karena itu, untuk dapat memahami filosofi keamanan dalam pengangkutan harus juga memahami filosofi keselamatan dalam pengangkutan zat radioaktif. 8. Perka No. 07 Tahun 2007, personil yang bertanggung jawab mengenai keamanan adalah PKSR yang dapat merangkap sebagai PPR, sedangkan berdasarkan Perka No. 01 Tahu 2009 tentang Sistem Proteksi Fisik menetapkan Penjaga yang tidak dapat merangkap sebagai PPR.

SARAN

Agar dilakukan kajian yang komprehensif terhadap rekomendasi IAEA dalam NSS No.9 Tahun 2008, mengenai beberapa hal, antara lain:

1. sistem Q untuk menentukan nilai A1 dan A2 dan

kategorisasi sumber berbahaya untuk menentukan nilai D;

2. korelasi parameter massa bahan nuklir (bahan fisil: U-233, U-235, Pu-239, dan Pu-241) dengan Nilai 10 D;

3. perbandingan antara nilai 10 D dengan aktivitas maupun perbandingan antara nilai 3.000 A2

dengan aktivitas zat radioaktif untuk setiap jenis pemanfaatan sebagaimana diuraiakan pada lampiran dalam Perka No. 07 atau Tecdoc-1344; 4. sinkronisasi antara keselamatan dalam pengangkutan dengan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif;

5. personil berkualifikasi dan teknologi keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif sehingga fungsi sistem keamanan yang efektif mencakup suatu kombinasi yang seimbang untuk: penghalangan; pendeteksian; penundaaan; dan peresponan sebagaimana telah diatur dalam Perka No. 07 Tahun 2007 dan Perka No.01 Tahun 2009.

DAFTAR PUSTAKA

1. BAPETEN, “Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2007 tentang Keselamatan Radias I Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, Jakarta”, BAPETEN, Jakarta (2007).

2. BAPETEN, 2007, Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 7 Tahun 2007 tentang Keamanan Sumber Radioaktif, ”, BAPETEN, Jakarta (2007).

3. BAPETEN, “ Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 1 Tahun 2009 tentang Ketentuan Sistem Proteksi Fisik Instalasi dan Bahan Nuklir”, BAPETEN, Jakarta (2009).

4. IAEA, “ The Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities, INFCIRC/225/Rev. 4 (Corrected)”, IAEA, Vienna (1999).

5. IAEA, “Advisory Material for the IAEA Regulation for the Safe Transport of Radioactive Material”, (IAEA Standards Series No. TS-G-1.1), IAEA, Vienna (2002).

6. IAEA, “Categorization of Radioactive Sources (Corrected Version 2001)”, (IAEA-Tecdoc-1191, IAEA), Vienna (2001).

7. IAEA, “Categorization of Radioactive Sources (Revised of IAEA-Tecdoc-1191)”, (IAEA-Tecdoc-1344), IAEA, Vienna (2003).

8. IAEA, “Security of Radioactive Sources”, (IAEA-Tecdoc-1355), IAEA, Vienna (2003). 9. IAEA, “ Code of Conduct on the Safety and

Security of Radioactive Source”, IAEA, Vienna (2004).

(14)

10. IAEA, “ Guidance on the Import and Export of Radoactive Sources”, IAEA, Vienna (2005). 11. IAEA, “Categorization of Radioactive Sources”,

(Safety Guide No. RS-G-1.9), IAEA, Vienna (2006).

12. IAEA, “Regulations for the Safe Transport of Radioactive Material”, (IAEA Safety Standars Series No. TS-R-1), IAEA, Vienna (2005). 13. IAEA, “Dangerous Quantities of Radioactive

Material (D-Value)”, IAEA, Vienna (2006). 14. IAEA, “Security in the Transport of Radioactive

Material”, (IAEA Nuclear Security Series No. 9), IAEA, Vienna (2008).

Referensi

Dokumen terkait

Guru meminta siswa untuk berfikir (Think) mengenai pemecahan masalah melalui pertanyaan yang diberikan oleh guru tentang benda- benda yang dapat menghasilkan bunyi..

Mengacu pada Mahmud Aryanto (2010), IP Camera atau ada juga yang menyebutnya Netcam (Network Camera) merupakan perangkat peng- capture dan recording objek terkini

Selanjutnya, atas dasar pemikiran bahwa seluruh aktivitas akademik dan non-akademik yang dilakukan di lingkungan kerja IPB oleh sivitas akademika, tenaga kependidikan, dan

Penyebab lainnya yakni meningkatnya keasaman ph lambung yang di akibatkan oleh terhentinya pemberian air susu dari induk, yang mengakibatkan tidak tercernanya protein

PERATURAN BUPATI TENTANG DAFTAR KEWENANGAN DESA BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALADESA DI KABUPATENMUSI BANYUASIN...

Perbandingan antara penelitian ini dan Algorithm Insulin ADA tahun 2018 ialah pada penelitian ini pasien Diabetes melitus tipe-2 diberikan basal insulin pertama

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan cash flow optimal sistem pembayaran bulanan tanpa uang muka dari owner menggunakan perbandingan kondisi penjadwalan

Data tersebut mungkin berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, foto, video tape, dokumen resmi (Moleong, 2010, h. Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Desa