HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN
RIWAYAT OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME
(OSAS) PADA PASIEN PASCA STROKE ISKEMIK DI RSUP
DR KARIADI
LAPORAN HASIL PENELITIAN
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa Program Strata-1 Kedokteran Umum
SURYA DEWI SETYANINGRUM 22010113140153
PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO 2016
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama Mahasiswa : Surya Dewi Setyaningrum
NIM : 22010113140153
Program Studi : Program Pendidikan Sarjana Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Judul KTI : Hubungan antara Fungsi Kognitif dengan Riwayat OSAS pada Pasien Pasca Stroke Iskemik di RSUP Dr. Kariadi
Dengan ini menyatakan bahwa:
1) KTI ini ditulis sendiri tulisan asli saya sendiri tanpa bantuan orang lain selain pembimbing dan narasumber yang diketahui oleh pembimbing.
2) KTI ini sebagian atau seluruhnya belum pernah dipublikasi dalam bentuk artikel ataupun tugas ilmiah lain di Universitas Diponegoro maupun di perguruan tinggi lain.
3) Dalam KTI ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis orang lain kecuali secara tertulis dicantumkan sebagai rujukan dalam naskah dan tercantum pada daftar kepustakaan.
Semarang, 29 Juli 2016 Yang membuat pernyataan,
iv
Surya Dewi Setyaningrum
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan akhir karya tulis ilmiah yang berjudul “Hubungan antara Fungsi Kognitif dengan Riwayat Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada Pasien Pasca Stroke Iskemik di RSUP Dr. Kariadi”. Penulisan karya tulis ilmiah ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, yaitu:
1. Rektor Universitas Diponegoro yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan meningkatkan ilmu pengetahuan serta keahlian.
2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang telah memberikan sarana dan prasarana sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan baik dan lancar.
3. dr. Kanti Yunika,Sp.THT-KL selaku dosen pembimbing 1 yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
4. dr.Yovita Andhitara,Sp.S,M.si.Med,FINS selaku dosen pembimbing 2 yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
5. dr. Yanuar Iman Santosa,Sp.THT-KL selaku dosen ketua penguji yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis. 6. Prof.dr. Amin Husni, PAK(K),Sp.S(K), M.S selaku dosen penguji yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis. 7. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher
v
8. Orang tua, Y. Suwarno dan Widyawati, yang senantiasa memberikan dukungan moral maupun material kepada penulis.
9. Rizki Yassir A yang telah membantu penulis sehingga tersusunlah laporan penelitian ini.
10. Teman-teman angkatan 2013 Kedokteran Umum Universitas Diponegoro dan pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas segala bantuan sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan pada laporan ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat menambah kesempurnaan laporan ini. Akhirnya, semoga laporan karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan almamater pada khususnya.
Semarang, 29 Juli 2016
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
DAFTAR SINGKATAN ... xii
ABSTRAK ... xiii BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 3 1.4 Manfaat Penelitian ... 3 1.5 Orisinalitas Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Obstructive Sleep Apnea ... 8
2.1.1 Definisi ... 8
2.1.2 Faktor Resiko... 9
2.1.3 Gejala dan Tanda ... 11
2.1.4 Diagnosis ... 13
2.1.5 Patofisiologi... 15
2.2 Fungsi kognitif ... 17
2.2.1 Definisi ... 17
2.2.2 Aspek-aspek fungsi kognitif ... 17
vii
2.3 Hubungan OSAS dengan Fungsi Kognitif ... 22
2.4 Hubungan Stroke Iskemik dengan Fungsi Kognitif ... 24
2.4.1 Gangguan fungsi kognitif pada stroke fase akut ... 26
2.4.2 Gangguan fungsi kogniif pada stroke fase subakut ... 27
2.4.3 Gangguan fungsi kognitif pasca stroke ... 27
2.5 Kerangka Teori ... 29
2.6 Kerangka Konsep ... 29
2.7 Hipotesis ... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
3.1 Ruang Lingkup Penelitian... 31
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 31
3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 31
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian ... 31
3.4.1 Populasi ... 31 3.4.2 Sampel ... 32 3.4.3 Cara sampling ... 33 3.4.4 Besar sampel ... 33 3.5 Variabel Penelitian ... 34 3.5.1 Variabel Bebas ... 34 3.5.2 Variabel Terikat ... 34 3.5.3 Variabel Perancu ... 34 3.6 Definisi Operasional ... 34
3.7 Cara Pengumpulan Data ... 35
3.7.1 Alat dan Bahan ... 35
3.7.2 Jenis Data ... 35
3.7.3 Cara Kerja ... 36
3.8 Alur Penelitian... 37
3.9 Analisis Data ... 37
3.10 Etika Penilaian ... 39
BAB IV Hasil Penelitian ... 40
viii
4.2 Karakteristik Data Fungsi Kognitif ... 42
4.3 Proporsi Data OSAS terhadap Fungsi Kognitif ... 44
4.4 Analisis Data ... 45
BAB V Pembahasan ... 48
BAB VI Simpulan dan Saran ... 52 DAFTAR PUSTAKA
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Keaslian penelitian ... 4
Tabel 2. Definisi operasional ... 34
Tabel 3. Tabel OSAS dengan fungsi kognitif ... 38
Tabel 4. Proporsi data OSAS ... 41
Tabel 5. Karakteristik umum subyek penelitian berdasarkan OSAS ... 41
Tabel 6. Proporsi data fungsi kognitif... 42
Tabel 7. Karakteristik umum subyek penelitian berdasarkan fungsi kognitif.... 43
Tabel 8. Proporsi data OSAS terhadap fungsi kognitif ... 44
Tabel 9. Hasil uji Fisher Exact ... 45
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Patogenesis gangguan fungsi kognitif pada OSAS ... 23
Gambar 2. Patogenesis gangguan fungsi kognitif pada stroke ... 25
Gambar 3. Kerangka teori ... 29
Gambr 4. Kerangka konsep ... 29
Gambar 5. Alur penelitian ... 37
Gambar 6. Alur hasil penelitian ... 40
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Identiras Responden
Lampiran 2. Kuesioner Hamilton Rating Scale for Depression (HDRS) Lampiran 3. Kuesioner Epworth Sleepinees Scale (ESS)
Lampiran 4. Kuesioner Montreal Cognitive Assesment versi Indonesia (MoCa-Ina)
Lampiran 5. Informed Consent dan Surat Persetujuan Lampiran 6. Ethical Clearance
Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian Lampiran 8. Analisis data
xii
DAFTAR SINGKATAN
AHI : Apnea-Hypoapnea Index
BMI : Body Mass Index
CMB : Cerebral Micro Bleed
CSA : Central Sleep Apnea Syndrome EDS : Excessive Daytime Sleepiness ESS : Epworth Sleepiness Scale
HDRS : Hamilton Rating Scale for Depression
ICSD-3 : International Classification of Sleep Disorders MMSE : Mini Mental State Examination
MoCa-Ina : Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia OSAS : Obstructive Sleep Apnea Syndrome
PR : Prevalence Ratio
ROS : Reactive Oxygen Spesies SDB : Sleep Disordered Breathing WHO : World Health Organization
xiii
HUBUNGAN ANTARA FUNGSI KOGNITIF DENGAN RIWAYAT OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS) PADA PASIEN
PASCA STROKE ISKEMIK DI RSUP DR KARIADI
ABSTRAK
Latar belakang : Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) merupakan
penyakit yang berhubungan dengan gangguan dan penurunan aliran udara selama tidur. Sebanyak 2-5% populasi penduduk dunia menderita OSAS. OSAS dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Belum banyak penelitian mengenai fungsi kognitif pada pasien pasca stroke iskemik yang juga mengalami OSAS.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara fungsi kognitif dengan riwayat OSAS
pada pasien pasca stroke iskemik.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain Cross-sectional Study. Sampel terdiri dari 40 pasien pasca stroke iskemik yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan penilaian OSAS menggunakan kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan penilaian fungsi kognitif menggunakan Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina). Uji statistik menggunakan uji Fisher Exact.
Hasil : Dari 40 subyek penelitian didapatkan sebanyak 20 orang (50%)
mengalami OSAS dan 20 orang (50%) tidak mengalami OSAS. Dari 20 subjek yang memiliki OSAS, 19 subyek (95%) memiliki gangguan kognitif dan 1 orang (5%) tidak mengalami gangguan kognitif. Dari 20 subyek yang tidak OSAS, 13 subyek (65%) memiliki gangguan kognitif dan 7 orang (35%) tidak mengalami gangguan kognitif. Pada uji Fisher Exact didapatkan perbedaan yang signifikan antara OSAS dan fungsi kognitif (p=0,022).
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara fungsi kognitif dengan
riwayat Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada pasien pasca stroke iskemik.
Kata kunci : Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS), fungsi kognitif, stroke
xiv
CORRELATION BETWEEN COGNITIVE FUNCTION AND HISTORY OF OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS) IN POST ISCHEMIC
STROKE PATIENT AT RSUP DR KARIADI
ABSTRACT
Background : Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) is a sleep-related
breathing disorder that involve decrease airflow during sleep. 2-5 % of world populations suffer from OSAS. OSAS is associated with cognitive impairment. Study about relationship between OSAS and cognitive function in post ischemic stroke patients is rare.
Aim : The primary objective of this study was to investigate the relationship between history of OSAS and cognitive function in post ischemic stroke patients. Methods : This is observational study with cross-sectional design. The samples consisted of 40 post ischemic stroke patients that meet the inclusion and exclusion criteria. The Epworth Sleepiness Scale (ESS) questionaire was used to assess the OSAS and Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) was used to assess the cognitive function. Statistical analysis with Fisher exact test was used to analyze the relationship between OSAS and cognitive function.
Result : From 40 samples, 20 subject (50%) have OSAS and 20 subject (50%) without OSAS. From 20 subject with OSAS, 19 subject (95%) have cognitive impairment and 1 subject (5%) have normal cognitive function. From 20 subject without OSAS, 13 subject (65%) have cognitive impairment and 7 subject (35%) have normal cognitive function. Fisher Exact test showed that there was a significant relationship between OSAS and cognitive function (p=0,022)
Conclusion : There was a significant relationship between history of OSAS and cognitive function in post ischemic stroke patients.
Keyword : Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS), cognitive function, ischemic stroke
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi kognitif adalah kemampuan seseorang dalam belajar, menerima, dan mengelola informasi dari lingkungan sekitarnya. Fungsi kognitif terdiri atas beberapa komponen yaitu atensi, bahasa, memori, visuospasial dan fungsi eksekutif. Kerusakan otak merupakan faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif. Kerusakan otak dapat disebabkan oleh penyakit cerebrovaskular. Salah satu penyakit cerebrovaskular yang dapat menyebabkan kerusakan otak adalah stroke iskemik.1
Stroke iskemik merupakan tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak sebagai akibat dari berkurang atau berhentinya suplai darah ke bagian otak sehingga mengganggu kebutuhan oksigen dan nutrisi ke otak. Terhambatnya penyediaan oksigen dan nutrisi ke otak menimbulkan masalah kesehatan yang serius karena dapat menimbulkan kecatatan fisik, mental bahkan kematian.2,3
Sepertiga dari pasien stroke memiliki ketidakmampuan jangka panjang, hal ini disebabkan karena adanya kerusakan sel-sel otak. Kerusakan sel otak ini dapat menyebabkan kecatatan fungsi sensorik, motorik, maupun kognitif. Gangguan fungsi kognitif dapat mengakibatkan gangguan psikososial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Manisfestasi klinis
gangguan fungsi kognitif pada pasien stroke bervariasi mulai dari defisit neurologis fokal sampai dengan gangguan fungsi kognitif menyeluruh. Berdasarkan penelitian, stroke dapat meningkatkan risiko terjadinya penurunan fungsi kognitif sebanyak tiga kali lipat. 50-75% penderita stroke mengalami gangguan fungsi kognitif dan prevalensi menjadi demensia 3 bulan pasca stroke berkisar antara 23,5-61%. Maka dari itu, evaluasi fungsi kognitif sangat penting karena dapat memudahkan dalam penentuan tingkat kemampuan fungsional yang berhubungan dengan penanganan dan prognosis. Selain itu, identifikasi faktor resiko dan diagnosis secara dini gangguan fungsi kognitif pasien stroke juga penting dilakukan untuk mencegah progresivitas gangguan fungsi kognitif.4,5
Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan penyakit yang berhubungan
dengan gangguan dan penurunan aliran udara selama tidur. Di Amerika
sekitar 12 juta orang usia 30–60 tahun menderita OSA dan setiap tahun 38.000 meninggal karena penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan gangguan pernapasan saat tidur. Sebanyak 2-5% populasi penduduk dunia menderita OSA. Sebanyak 4% pria dan 2% wanita usia dewasa muda di Amerika Utara menderita gejala OSA.6,7,8
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara OSA dengan penurunan fungsi neurokognitif. Penurunan fungsi neurokognitif ini meliputi gangguan pada learning, memory dan attention. Mekanisme terjadinya penurunan fungsi kognitif pada pasien dengan OSA adalah melalui proses hipoksia. Hipoksia akan meningkatkan pembentukan Reactive Oxygen
Species (ROS) yang berpotensi merusak sel di otak. Mekanisme lain yaitu excessive daytime sleepiness atau rasa kantuk yang berlebihan yang dialami
pasien OSA. Excessive daytime sleepiness ini menyebabkan perlambatan pemrosesan informasi di otak.9,10,11
Berdasarkan fakta-fakta di atas, terlihat hubungan yang erat antara penurunan fungsi kognitif pasien OSAS dan stroke. Peneliti tertarik untuk melihat hubungan fungsi kognitif dengan gejala OSAS pada pasien stroke.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah mengenai apakah hubungan antara fungsi kognitif dengan gejala
Obstructive Sleep Apnea syndrome (OSAS) pada pasien pasca stroke
iskemik?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara fungsi kognitif dengan gejala Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada pasien pasca stroke iskemik.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1.4.1 Bagi petugas kesehatan
Memberikan informasi kepada petugas kesehatan sehingga dapat mewaspadai adanya gangguan fungsi kognitif dengan gejala OSAS pada pasien pasca stroke iskemik.
1.4.2 Bagi masyarakat
Sebagai masukan untuk menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai gangguan fungsi kognitif dengan gejala OSAS pada pasien pasca stroke iskemik.
1.4.3 Bagi peneliti
Sebagai wadah untuk mengembangkan kemampuan peneliti dalam menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI).
1.5 Keaslian Penelitian
No Peneliti Judul Metode Hasil Perbedaan
1 Tamara S,.dkk Relationships between obstructive sleep apnea, anthropometric measures, and neurocognitive functioning in adolescents with severe obesity.12 Penelitian deskriptif analitik dengan desain cross-sectional. Subyek penelitian ini mengguna-kan 37 pasien obseitas yang dilakukan pengukuran BMI dan polisomno-grafi serta penilaian fungsi Pada pasien obesitas yang memiliki OSA menunjukkan hasil pemeriksaan fungsi kognitif yang lebih buruk. Penelitian oleh Tamara S,.dkk mengguna-kan subyek pasien obe-sitas yang memiliki OSA sedangkan pada penelitian ini mengguna-kan subyek pasien pasca stroke iskemik dengan
kognitif untuk menilai memori, fungsi eksekutif dan psikomotor. riwayat OSA. 2 Twigg G.L., dkk Obstructive sleep apnoea syndrome is associated with deficits in verbal but not visual memory.13 Penelitian case-control dengan cara melakukan pemeriksaan mengguna-kan Epworth score scale, OSLER test dan PSG pada pasien suspek OSA. Dilakukan pemeriksaan fungsi memori dan atensi dibandingkan dengan pasien yang sehat (AHI<5) OSA berhubungan dengan gangguan fungsi memori verbal. OSA tidak berhubungan dengan fungsi memori visual. Penelitian Twigg G.L., dkk mengguna-kan desain penelitian case control dan subjek penelitian pasien OSA. Sedangkan pada penelitian ini mengguna-kan desain penelitian cross-sectional dan
subjek penelitian pada pasien pasca stroke iskemik dengan riwayat OSA. 3 BBawden F.C., dkk Impact of obstructive sleep apnea on cognitive performance.14 Penelitian dengan desain case-control. Membanding kan 17 pasien OSA yang terdiagnosis mengguna-kan polisomno-grafi dengan 20 pasien sehat sebagai control. Dilakukan tes Mini-Mental State Examination (MMSE), Brief Pasien OSA memiliki hasil tes MMSE BCSB, DS dan FAS lebih buruk dibandingkan dengan kelompok control. Pasien OSA juga memiliki BMI, ukuran lingkar leher dan skor ESS yang lebih tinggi. Pada penelitian Bawden F.C., dkk desain penelitian mengguna-kan case control dan subjek penelitian pasien OSA. Diagnosis OSA mengguna-kan PSG. Penilaian fungsi kognitif mengguna-kan MMSE, BCSB, DS,
Cognitive Screening Battery (BCSB), Digit-Symbol (DS) dan Phonemic Verbal Fluency (FAS). Pengukuran anthropo-metri dan skor Epworth Sleepiness Scale (ESS) juga dilakukan. dan FAS. Sedangkan pada penelitian ini mengguna-kan desain penelitian cross-sectional dan subjek penelitian pasien pasca stroke iskemik dengan riwayat OSA. Pemeriksaan fungsi kognitif mengguna-kan MoCa-Ina.
Perbedaan penilitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada diagnosis OSA dan metode pemeriksaan fungsi kognitif. Penelitian ini menggunakan
Epworth Sleepiness Scale (ESS) untuk mendiagnosis OSA. Fungsi kognitif pada
penelitian ini diukur menggunakan Montreal Cognitive Assessment yang telah
8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA 2.1.1 Definisi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan terjadinya obstruksi
jalan nafas atas secara periodik selama tidur yang menyebabkan nafas berhenti secara intermiten, baik komplit (apnea) atau parsial (hipopnea).
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) merupakan salah satu bagian
dari gangguan pernafasan yang terjadi saat tidur atau sleep-disordered
breathing (SDB). International Classification of Sleep Disorders (ICSD-3)
membagi SDB menjadi 4 kategori utama yaitu Obstructive Sleep Apnea
disorders termasuk di dalamnya OSAS, Central Sleep Apnea Syndrome
(CSA), sleep-related hypoventilation disorders dan sleep–related
hypoxemia disorders. Perbedaan antara OSAS dan CSA terletak pada
patofisiologi yang mendasarinya. Pada OSAS, terjadi sumbatan yang disebabkan oleh kelainan anatomi maupun kelainan pada otot-otot yang mengatur terbukanya jalan nafas. Sedangkan pada CSA, letak kelainannya adalah pada neuron pusat yang mengatur pernafasan. OSAS dapat diklasifikasikan menjadi ringan jika Apnea–Hypopnea Index (AHI) ≥ 5 dan <15, moderate jika AHI ≥ 15 dan ≤30 dan severe jika AHI > 30.15,16,17,18,19
2.1.2 Faktor resiko
2.1.2.1 Obesitas
Sekitar 80 % pasien OSAS memiliki obesitas. Obesitas merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya OSAS. Terdapat hubungan yang erat antara indeks masa tubuh dengan kejadian OSAS. Peningkatan berat badan sebesar 10% akan meningkatkan AHI sebesar 32% dan meningkatkan kejadian OSAS sebesar 6 kali lipat. Sedangkan penurunan berat badan sebesar 10% dapat menyebabkan penuruan AHI 26%. Obesitas menyebakan penyempitan saluran nafas bagian atas karena terjadi akumulasi jaringan lemak yang berlebihan pada faring. Meskipun terdapat hubungan yang erat antara obesitas dan OSAS, penting untuk diketahui bahwa tidak semua subyek yang memiliki obesitas mengalami OSAS.20,21,22
2.1.2.2 Usia
Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi OSAS yang tinggi pada usia tua. Penelitian yang dilakukan Sleep Heart Health Study menunjukkan bahwa 25% laki-laki dan 11% wanita memiliki AHI yang tinggi pada kelompok umur 40-98 tahun. Puncak usia pasien yang terdiagnosis OSAS pertama kali secara umum adalah pada usia 50 tahun. Namun demikian hubungan antara usia dengan OSAS masih kontroversial karena banyaknya faktor perancu dan penyakit-penyakit lain yang ikut mendasari terjadinya OSAS.23,24
2.1.2.3 Jenis Kelamin
Beberapa penelitian epidemiologi melaporkan OSAS lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Selain itu, terdapat beberapa hipotesis yang menjelaskan hubungan jenis kelamin dengan timbulnya OSAS antara lain karena efek hormonal yang dapat mempengaruhi muskulatur saluran nafas bagian atas, perbedaan distribusi lemak dan perbedaan struktur dan fungsi faring.21
2.1.2.4 Ukuran lingkar leher
Ukuran lingkar leher merupakan prediktor yang kuat dan merupakan salah satu karakteristik pemeriksaan fisik pada pasien dengan OSAS. Lingkar leher merupakan ukuran leher yang melewati batas atas membran krikotiroid yang diukur pada posisi berdiri. Penelitian melaporkan bahwa rata-rata ukuran lingkar leher pada pasien OSAS adalah 43,7 cm sedangkan pada pasien non OSAS adalah 39,6 cm. Penelitian lain melaporkan bahwa ukuran lingkar leher (>42,5 cm) berhubungan dengan peningkatan AHI.25,26
2.1.2.5 Kelainan struktur saluran nafas bagian atas
Beberapa penelitian menunjukan bahwa terdapat kelainan struktur anatomi pada kraniofasial sehingga berdampak pada menyempitnya saluran nafas bagian atas. Secara umum, terdapat kelainan pada mandibula, maksila, dan tulang hyoid. Mandibular yang kecil (micrognatia) dan retrognatia merupakan faktor resiko timbulnya OSAS. Micrognatia dan retrognatia akan menyebabkan palatum mole, lidah dan jaringan lunak sekitar faring
terdorong ke posterior sehingga saluran nafas akan menyempit. Selain itu, posisi maksila yang terlalu posterior juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya OSAS. Hal ini terjadi karena palatum durum dan jaringan lunak di sekitar faring terdorong ke posterior sehingga ukuran lumen saluran nafas mengecil. Kelainan pada tulang hyoid dapat menyebabkan terjadinya OSAS. Hyoid yang terlalu inferior akan menyebabkan lidah tertarik ke posterior karena hyoid menjadi salah satu insersio dari otot-otot pembentuk lidah. Kelainan pada tonsil yang merupakan salah satu jaringan limfoid di saluran nafas atas dapat menybabkan OSAS. Hipertrofi tonsil dapat menyebabkan OSAS terutama pada anak.27,28
2.1.3 Sign & Symptom
2.1.3.1 Mendengkur
Secara klinis, kebanyakan pasien OSAS memiliki gejala mendengkur saat tidur. Mendengkur merupakan kunci diagnosis utama OSAS yang didapatkan dari anamnesis. Gejala mendengkur ini diikuti dengan episode tidak bernafas (apnea) dan paling sering muncul saat posisi tidur terlentang. Mekanisme terjadinya mendengkur adalah karena resistensi di saluran nafas atas disertai dengan peningkatan usaha nafas menyebabkan getaran pada daerah faring.29
2.1.3.2 Mengantuk berlebihan pada siang hari
Gejala paling sering kedua setelah mendengkur adalah rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari atau Excessive Daytime Sleepiness (EDS).
EDS disebabkan oleh kualitas tidur pada malam hari yang menurun karena terjadi tidur yang terputus-putus (fragmentasi tidur), berhubungan dengan respons saraf pusat yang berulang karena adanya gangguan pernafasan saat tidur. Gejala yang lebih parah dapat menyebabkan pasien tertidur saat melakukan aktivitas seperti menonton televisi, makan, atau saat berkendara. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif karena pasien sering sulit membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan. Hampir 30% pria dan 40% wanita dewasa dengan nilai AHI >5x/jam mengeluh tidak segar saat bangun. Dilaporkan 25% pria dan 30% wanita dewasa mengeluh mengalami rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari. Epworth Sleepiness Scale (ESS) adalah kuisioner yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa mengantuk.30,31
2.1.3.3 Gejala malam lainnya
Gejala lainnya yang dialami pasien OSAS pada malam hari adalah gerakan motorik yang abnormal, mimpi buruk, perasaan sesak nafas pada malam hari dan nokturia.32
2.1.3.4 Gejala siang lainnya
Gejala lain yang dialami pasien OSAS pada siang hari dapat berupa nyeri kepala, merasa tidak segar saat bangun, perubahan perilaku, penurunan konsentrasi, depresi, cemas, impotensi dan penurunan libido. Semua gejala ini dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien.30
2.1.4 Diagnosis
2.1.4.1 Anamnesis
Diagnosis OSAS ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola tidur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus. Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat mengarahkan kepada indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSAS. Kuisioner Epworth Sleepiness
Scale dapat digunakan untuk menanyakan keluhan yang berhubungan
dengan gejala OSAS. ESS digunakan untuk menilai bagaimana kebiasan tidur dan rasa mengantuk pasien dalam kegiatan sehari-hari. Pemeriksa juga harus menanyakan kepada pasien tentang pengalaman terbangun dari tidur karena tersedak, mendengkur (dapat ditanyakan pada teman tidur) dan bangun dari tidur dengan badan terasa tidak segar, serta gejala-gejala siang dan malam lainnya. Penting juga untuk menanyakan usia, riwayat penyakit yang berhubungan dengan OSAS seperti stroke, hipertensi, penyakit jantung.33
2.1.4.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum seringkali normal pada pasien dengan OSAS, selain adanya obesitas, pembesaran lingkar leher, dan hipertensi. Lakukan evaluasi saluran nafas bagian atas pada semua pasien, tetapi terutama pada orang dewasa nonobese dengan gejala yang sejalan dengan OSAS. Temuan pemeriksaan fisik yang mungkin adalah sebagai berikut:
Lingkar leher yang besar - Lebih dari 43 cm (17 inch) pada pria dan 37 cm (15 inch) pada wanita. Lingkar leher 40 cm atau lebih memiliki sensitivitas 61% dan spesifisitas 93% untuk OSAS, terlepas dari jenis kelaminnya.
Skor Mallampati abnormal (meningkat).
Penyempitan dinding saluran nafas lateral, yang merupakan prediktor independen dari adanya OSAS pada pria tetapi tidak pada wanita.
Tonsil yang membesar.
Retrognatia atau mikrognathia.
Langit-langit keras (palatum durum) melengkung tinggi.
Hipertensi arteri sistemik, muncul pada sekitar 50% dari pasien dengan OSAS.34
2.1.4.3 Pemeriksaan penunjang
Baku emas untuk diagnosis OSAS adalah melalui pemeriksaan tidur semalam dengan alat polysomnography (PSG). Parameter-parameter yang direkam pada PSG adalah electroencephalography (EEG),
electrooculography (pergerakan bola mata), electrocardiography (EKG), electromyography (pergerakan rahang bawah dan kaki), posisi tidur,
aktivititas pernafasan dan saturasi oksigen. Karakteristik OSAS pada saat dilakukan PSG adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari jalan nafas atas (kadang-kadang pada kasus yang berat terjadi beberapa ratus kali) yang disertai dengan ≥ 50% penurunan
amplitudo pernafasan, peningkatan usaha pernafasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan terjadi desaturasi oksigen.35
Seseorang dikatakan menderita OSAS jika terdapat :
1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena sebab lain.
2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa kali ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang hari dan gangguan konsentrasi. 3. Hasil PSG menunjukkan ≥ 5 jumlah total apnea ditambah terjadi
hypopnea per-jam selama tidur (AHI ≥ 5).
4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.36
2.1.5 Patofisiologi
Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSAS, yaitu: 2.1.5.1 Obstruksi saluran nafas atas
Obstruksi saluran nafas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring sehingga menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun pernafasan masih berlangsung pada saat tidur. Hal ini menyebabkan apnea, asfiksia sampai periode arousal.
2.1.5.2 Kelainan fungsi neuromuscular faring
Ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (m. pterigoid medial, m. tensor veli palatini, m. genioglosus, m. geniohiod, dan
m. sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif intratorakal akibat kontraksi diafragma. Kelainan fungsi control neuromuskular pada otot dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran nafas. Defek kontrol ventilasi di otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring, saat pasien mengalami periode apnea-hipopnea.31
2.1.5.3 Kelainan kraniofasial
Kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring yang dapat menyebabkan penyempitan pada saluran nafas atas. Kelainan daerah ini dapat menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan predisposisi kolapsnya saluran nafas atas. Kolaps nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSAS dan 75% di antaranya memiliki lebih dari satu penyempitan saluran nafas atas.37
Periode apnea adalah terjadinya henti nafas selama 10 detik atau lebih. Periode hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak kurang lebih 30% selama 10 detik yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen darah sebesar 4%. Apnea terjadi karena kolapsnya saluran nafas atas secara total, sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian, namun jika terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan apnea.38
Pasien dengan OSAS memiliki penyempitan jalur nafas bagian atas. Dengan adanya penyempitan jalan nafas tersebut, terjadi percepatan aliran udara (efek Venturi). Tekanan negatif ditimbulkan tepi arus aliran
udara. Semakin cepat aliran udara, semakin besar tekanan negatif (Prinsip Bernauli). Pada saat terbangun, tekanan negatif pada pasien OSAS diambil alih oleh peningkatan aktivitas otot genioglosus dan tensor palatina yang menjaga jalan udara tetap ada. Selama tidur, kompensasi muskular hilang dan aktivitas otot kembali ke level yang sama pada individu tanpa OSAS. Kehilangan tonus otot paling nyata selama fase rapid eye movement. Kombinasi penyempitan anatomi dan kehilangan kontrol neuromuskular menyebabkan kolapsnya jalan udara dan hambatan aliran udara.39
2.2 FUNGSI KOGNITIF 2.2.1 Definisi
Fungsi kognitif adalah aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi.40
2.2.2 Aspek-aspek fungsi kognitif
Fungsi kognitif terdiri dari: 1. Atensi
Atensi adalah kemampuan untuk memperhatikan satu stimulus dan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus pada
stimulus yang spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode lama. Gangguan atensi dan konsentrasi dapat mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.
2. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa, maka akan terjadi kesulitan dalam memori verbal dan fungsi eksekutif. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter, yaitu :
a. Kelancaran
Kelancaran ditandai dengan kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Metode yang dapat digunakan untuk menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan.
b. Pemahaman
Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, yang dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan perintah tersebut secara tepat.
c. Pengulangan
Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan oleh seseorang.
d. Penamaan
Ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya. Gangguan bahasa merupakan gejala patognomik disfungsi otak dari lesi otak fokal maupun difus.
3. Memori
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan, penyimpanan serta proses mengingat informasi. Fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan berdasarkan pada lamanya rentang waktu antara stimulus dengan recall, yaitu:
a. Memori segera (immediate memory), terjadi hanya beberapa detik rentang waktu antara stimulus dengan recall. Sehingga hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention).
b. Memori baru (recent memory), rentang waktu antara stimulus dengan recall lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun. c. Memori lama (remote memory), rentang waktu antara stimulus
dengan recall bertahun-tahun bahkan seusia hidup.
Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien. Efek dari gangguan fungsi memori disebut dengan istilah
amnesia. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah brain insult
disebut dengan amnesia anterograd. Sedangkan amnesia retrograd merujuk pada amnesia yang terjadi sebelum brain insult.
4. Visuospasial
Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar seperti lingkaran dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi terutama lobus parietal pada hemisfer kanan. Skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dapat dilakukan dengan menggambar jam dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.
5. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif dari otak didefenisikan sebagai suatu proses kompleks seseorang dalam memecahkan masalah. Proses ini meliputi kesadaran akan adanya suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan atau mencari jalan keluar dari suatu permasalahan.41
2.2.3 Montreal Cognitive Assesment versi Indonesia (Moca-INA)
Tes skrining kognitif bertujuan untuk membuktikan adanya gangguan kognitif. Keberhasilan tes skrining fungsi kognitif tergantung dari spesifisitas dan sensitivitas serta nilai prediksi positif yang tinggi pada populasi. Selain itu, tes juga sebaiknya dilakukan dalam waktu yang singkat dan mudah untuk dilakukan. Pemeriksaan skrining kognitif yang sering dilakukan di Indonesia antara lain MoCa INA (Montreal Cognitive
Assesment Indonesia Neurological Association), dan MMSE (Mini mental State Examination). Tes skrining fungsi koginitif Montreal Cognitive
Assesment telah divalidasi di Indonesia. Montreal Cognitive Assessment
versi Indonesia (MoCa-Ina) menilai banyak aspek fungsi kognitif sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan fungsi kognitif dan demensia ringan. Penilaian dalam aspek fungsi memori dalam hal ini delayed recall, yaitu dengan cara pemeriksa membacakan 5 kata lalu subjek menyebutkan 5 kata tersebut sebanyak dua kali lalu menyebutkan kembali kata-kata tersebut setelah 5 menit (5 poin). Fungsi Atensi yaitu dengan menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan (3 poin), dan digit forward and backward (2 poin). Penilaian fungsi bahasa yaitu dengan meminta subjek menyebutkan 3 nama binatang yaitu singa, unta dan badak (3 poin), mengulang 2 kalimat (2 poin), serta kelancaran dalam berbahasa (1 poin). Fungsi Visuospasial dinilai dengan menggambarkan jam (3 poin) dan menggambarkan kubus 3 dimensi (1 poin). Fungsi eksekutif dinilai dengan trail-making B (1 poin), Phonemic Fluency Test (1 poin) dan two item
verbal abtraction (2 poin). Sedangkan fungsi orientasi dinilai dengan
menyebutkan tanggal, bulan tahun, hari, tempat, dan kota (masing-masing 1 poin). 42,43
MMSE (Mini mental State Examination) baik digunakan dalam menilai fungsi memori dan atensi, akan tetapi kurang sensitif dalam menilai fungsi bahasa. Selain itu, hanya terdapat sedikit penilaian terhadap fungsi visuospasial bahkan tidak ada penilaian pada fungsi eksekutif. Sensitivitas dan spesifisitas MMSE dalam skrining gangguan kognitif ringan (Mild
MoCa-Ina. Maka dari itu dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner MoCA-Ina karena lebih sensitif dan lebih lengkap dalam menilai fungsi kognitif seseorang.44
2.3 HUBUNGAN OSAS DAN FUNGSI KOGNITIF
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara OSAS dengan penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif ini meliputi gangguan pada learning, memory dan attention. Penelitian juga menunjukkan bahwa OSAS yang berat dapat meningkatkan risiko terjadinya demensia pada usia lanjut. Pasien OSAS mengalami penurunan fungsi kognitif yang meliputi fungsi attention, memory, psychomotor speed dan
visuospatial abilities, constructional abilities, executive functions dan language abilities.9
Mekanisme terjadinya penurunan fungsi kognitif pada pasien dengan OSAS adalah melalui proses hipoksia. Hipoksia akan meningkatkan pembentukan reactive oxygen species (ROS) yang berpotensi merusak sel di otak. Mekanisme lain yaitu excessive daytime sleepiness atau rasa kantuk yang berlebihan yang dialami pasien dengan OSAS menyebabkan perlambatan pemrosesan informasi di otak. Penelitian yang dilakukan oleh Gale (2004) menunjukkan bahwa pada pasien OSAS terjadi penurunan volume hipokampus. Hipokampus terletak pada lobus temporal bagian medial yang berperan penting dalam proses memori, sehingga gangguan pada struktur ini akan mengakibatkan gangguan memori seperti amnesia antegrade dan amnesia retrograde. Penelitian dengan menggunakan tikus
model OSAS menunjukkan peningkatan level glutamate yang akan memicu excitotoxic sehingga mengakibatkan apoptosis pada neuron hipokampus pada region cornu ammonis. 10,11,45,46
Gambar 1. Patogenesis gangguan fungsi kognitif pada OSAS47 Outcome Gangguan kognitif ringan Gangguan pada: - Fungsi eksekutif - Fungsi motor - konsentrasi
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi - Hipertensi - Diabetes mellitus - Sindrom metaolik OSAS Faktor Resiko yang tidak dapat dimodifikasi - Usia - Jenis Kelamin - Sindrom Down - ApoE4 Ketidakseimbang an Hormonal Hipoksia Inflamasi Disfungsi endotel Faktor resiko yang dapat juga
meningkatkan insidensi OSA - Obesitas - Stroke - CHF - Obat psikoaktif - Etanol - merokok EDS
2.4 HUBUNGAN STROKE ISKEMIK DENGAN FUNGSI KOGNITIF
Terdapat hubungan antara fungsi kognitif dengan stroke iskemik. Prevalensi gangguan fungsi kognitif sekitar 30% pada pasien stroke iskemik. Gangguan fungsi kognitif pada pasien stroke berhubungan dengan usia dan tingkat pendidikan. Pada usia lebih dari 65 tahun terdapat peningkatan prevalensi gangguan fungsi kognitif. Selain itu, tingkat pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan hasil fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Gangguan fungsi kogntif pada pasien stroke diperberat dengan adanya riwayat hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, merokok, dan atrial fibrilasi. Volume hipokampus pada pasien dengan riwayat diabetes melitus dan hiperlipidemia lebih kecil karena mengalami atrofi. Gangguan fungsi kognitif juga lebih berat pada pasien stroke berulang. Prevalensi gangguan fungsi kognitif pada stroke serangan pertama kali sekitar 10% sedangkan pada stroke berulang 30%.48,49,50,51,52
Mekanisme terjadinya gangguan fungsi kognitif pada pasien stroke adalah karena adanya lesi neuroanatomi akibat stroke. Pada stroke iskemik terjadi penurunan aliran darah menuju sel otak. Hal ini menyebabkan jumlah glukosa dan oksigen menuju sel otak akan menurun. Penurunan glukosa dan oksigen menuju sel otak mengakibatkan iskemik dan bahkan timbul kematian sel otak (infark). Volume infark berkaitan dengan gangguan fungsi kognitif. Semakin besar volume infark akan memperburuk fungsi kognitif. Lokasi infark juga menentukan derajat penurunan fungsi kognitif. Infark
pada daerah yang spesifik seperti hipokampus dan substansia alba (white
matter) memiliki derajat gangguan fungsi kognitif yang lebih buruk. Infark
pada hipokampus kiri menyebabkan gangguan fungsi memori jangka panjang verbal sedangkan infark pada hipokampus kanan menyebabkan gangguan fungsi memori jangka panjang non-verbal. Lesi pada substansia alba menyebabkan gangguan fungsi kognitif terutama pada fungsi psikomotor, fungsi eksekutif dan fungsi kognitif global.53,54,55,56
Mekanisme lain terjadinya gangguan fungsi kognitif pada stroke adalah melalui mekanisme cerebral micro bleed (CMB). Cerebral micro
bleed adalah perdarahan yang kecil dengan ukuran kurang dari 5 mm yang
bisa dideteksi dengan MRI. CMB terdapat pada 35% pasien stroke iskemik dan 65% pasien stroke hemoragik. CMB menurunkan fungsi kognitif terutama pada fungsi atensi dan kalkulasi, serta orientasi.57,58
Gambar 2. Patogenesis gangguan fungsi kognitif pada stroke59
VCI
Gangguan Kognitif Post Stroke
AD Stroke
Lesi pada pembuluh darah kecil cerebral Lesi Neuroanatomi
Gangguan fungsi kognitif juga dapat disebabkan melalui mekanisme stres oksidatif yang terjadi pada otak. Stress oksidatif menghasilkan
Reactive Oxygen Species (ROS) seperti peroxynitrite yang merupakan reaksi
antara nitric oxide (NO) dan superoxide radical. Peroxynitrite menyebabkan proses oksidasi sistein, nitrasi tirosin, dan menyebabkan kerusakan pada membran lipid dan DNA. 60,61,62,63
Mekanisme lain terjadinya gangguan fungsi kognitif pada pasien stroke adalah karena gangguan neurotransmisi kolinergik. Neurotransmisi kolinergik merupakan proses yang penting dalam fungsi kognitif terutama pada atensi, emosi dan memori. Pada stroke iskemik dapat menyhebabkan terjadinya hipoperfusi pada nukleus basal meynert yang merupakan neuron penghasil kolinergik. Hipoperfusi pada struktur tersebut menyebabkan terputusnya koneksi dengan struktur korteks sehingga terjadi gangguan fungsi kognitif.64,65
2.4.1 Gangguan Fungsi Kognitif pada Stroke Fase Akut
Berdasarkan penelitian, pada minggu-minggu pertama setelah stroke terjadi perburukan fungsi kognitif terutama gangguan fungsi eksekutif dan persepsi. Masih sedikit penelitian yang memberikan data mengenai prevalensi dan sifat dasar defisit kognitif akut setelah stroke baik infratentorial maupun subkortikal.66
Gangguan fungsi kognitif fase akut berhubungan dengan letak lesi, selain itu juga berhubungan dengan hipoperfusi dan dektivasi fungsional
dari area yang lebih jauh di otak. Pada stroke iskemik akut, terdapat beberapa jaringan otak yang menerima perfusi tidak adekuat dapat mengalami perbaikan aliran dengan pemberian alteplase intravena sehingga terjadi pula perbaikan pada fungsi kognitif. Selain diatur di bagian korteks, fungsi kognitif juga diatur di bagian subkorteks sehingga infark pada subkorteks dapat mempengaruhi fungsi kognitif. Penyakit serebrovaskular subklinis seperti white matter disease atau infark subklinis dapat mempengaruhi disfungsi kognitif global. Adanya gangguan sensorik, visual dan motorik secara sekunder dapat mempengaruhi fungsi kognitif.67,68
2.4.2 Gangguan Fungsi Kognitif pada Stroke Fase Subakut
Pada periode subakut (sampai 3 bulan setelah stroke) terjadi perbaikan gangguan fungsi kognitif. Proporsi gangguan fungsi kognitif berkisar antara 50-90% pada fase subakut, hal ini tergantung pada populasi dan metode penelitian yang digunakan. Terjadinya perkembangan fungsi kognitif ditentukan oleh adanya perbaikan sirkulasi serebral karena rekanalisasi spontan, neuroplastisitas dan adanya penyulit yang menyertai. Daerah penumbra kebanyakan mengalami reperfusi dalam waktu 3 bulan pasca stroke. Ukuran infark dan defisit kognitif cenderung stabil setelah 3 bulan.68
2.4.3 Gangguan Fungsi Kognitif Pasca Stroke
Penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu 6 bulan 83% pasien dengan defisit memori verbal, 78% pasien dengan gangguan konstruksi
visuospasial dan defisit memori spasial mngalami perbaikan dibandingkan dengan domain kognitif lain. Penelitian lain menunjukkan masih terdapat 54% pasien dengan gangguan atensi setelah 1 tahun, sedangkan gangguan fungsi eksekutif, bahasa, memori jangka panjang memiliki frekuensi yang lebih sedikit. Pasien stroke yang memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia memiliki fungsi kognitif yang lebih buruk.68,69,70
Gangguan fungsi kognitif pasca stroke dapat merupakan kelanjutan dari gangguan fungsi kognitif saat fase stroke akut. Tidak terkendalinya faktor risiko stroke yang menyebabkan aterosklerosis, kekakuan arteri dan disfungsi endotel serta penyakit penyerta seperti penyakit sistemik, gangguan organ, penyakit alzheimer, parkinson dan depresi juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif pada pasca stroke.71
2.5 KERANGKA TEORI
Gambar 3. Kerangka teori
2.6 KERANGKA KONSEP
Gambar 4. Kerangka konsep Obesitas Usia tua Gender Ukuran lingkar leher Kelainan craniofasial Sumbatan saluran nafas atas OSAS Hipoksia Disfungsi endotel Kelainan struktur otak Fungsi kognitif Stroke Iskemik OSAS dan
Stroke Iskemik Fungsi Kognitif
Depresi Usia Jenis kelamin Pendidikan Indeks massa tubuh Hipertensi Diabetes mellitus Dislipidemia Usia Jenis kelamin
Indeks Massa Tubuh Pendidikan
2.7 HIPOTESIS
Terdapat hubungan antara fungsi kognitif dengan riwayat Obstructive
31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi bidang ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher (THT-KL) dan Ilmu Penyakit Saraf.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. Penelitian dilakukan selama 3 bulan, mulai dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2016.
3.3 Jenis dan Rancangan Peneltian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cross-sectional untuk mengetahui hubungan fungsi kognitif dengan gejala Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada pasien pasca stroke iskemik.
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
3.4.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien pasca stroke iskemik. Populasi terjangkau adalah pasien pasca stroke iskemik yang rawat jalan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang bulan Maret sampai dengan Mei 2016.
3.4.2 Sampel
Sampel penelitian dalam penelitian ini adalah pasien pasca stroke iskemik yang rawat jalan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang bulan Maret sampai dengan Mei 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. 1. Kriteria inklusi :
Pasien pasca stroke iskemik > 3 bulan yang menjalani rawat jalan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang
Bersedia menjadi responden dalam penelitian dengan menandatangani lembar surat persetujuan
Pasien pasca stroke iskemik serangan pertama kali Pasien dengan usia ≥18 tahun dan <80 tahun Pendidikan minimal SD atau sederajat Kesadaran compos mentis
2. Kriteria eksklusi :
Memiliki riwayat trauma kepala, infeksi otak, tumor otak, epilepsi dan lain-lain sehingga terjadi gangguan fungsi kognitif
Pasien dengan depresi yang diskrining dengan Hamilton Rating
Scale for Depression (HDRS)
3. Cara sampling
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara Purposive
Sampling yaitu suatu teknik pemilihan sampel berdasarkan dengan maksud
dan tujuan tertentu . 4. Besar sampel
Perhitungan besar sampel yang dibutuhkan menggunakan rumus
= ² ² =1,96 0,3 0,7 0,15 = 36 Keterangan : Za = Tingkat kepercayaan 95% =1,96 P = Perkiraan proporsi populasi Q = 1-P
d = Tingkat kesalahan yang diperbolehkan (0,15), tingkat absolut penelitian 85%.
Berdasarkan rumus tersebut di atas diperoleh n=36 pasien, dengan koreksi besar sampel: n’=n/(1-f), dimana f adalah 10% maka didapatkan n’=40. Jadi pada penelitian ini, peneliti menggunakan ukuran sampel pasien pasca stroke iskemik sebanyak 40 pasien.
3.5 Variabel Penelitian
3.5.1 Variable bebas
Variable bebas dalam penelitian ini adalah pasien stroke yang mengalami
Obstructive Sleep Apnea.
3.5.2 Variable terikat
Variable terikat dalam penelitian ini adalah fungsi kognitif. 3.5.3 Variable perancu
Variable perancu dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, obesitas, pendidikan.
3.6 Definisi Operasional
No. Variabel Unit Skala
1. Obstructive Sleep Apnea
(OSA). Obstructive Sleep
Apnea (OSA) diskrining
menggunakan Epworth Sleepiness Scale (ESS).
OSA (skor ESS: 10-24) Tidak OSA (skor ESS
<10)
Nominal
2. Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif yang dinilai saat pengambilan data menggunakan Moca-Ina
Normal (skor Moca-Ina ≥26)
Terganggu (skor Moca-Ina <26)
Nominal
3. Usia
Usia pasien saat penelitian berdasarkan tanggal lahir (seperti yang tercantum
18-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun
pada KTP) 60-69 tahun 70-79 tahun 4. Jenis kelamin
Jenis kelamin berdasarkan pengamatan dan KTP
Laki-laki Perempuan
Nominal
5. Indeks Masa Tubuh (IMT) Dihitung dengan rumus berat badan (Kg) dibagi kuadrat tinggi badan (cm)
Normal (IMT <25) Obesitas (IMT ≥25) Nominal 6. Pendidikan SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi Ordinal
3.7 Cara Pengumpulan Data
3.7.1 Alat dan Bahan
Lembar Epworth sleepiness scale untuk mendiagnosis Obstructive
Sleep Apnea
Lembar MoCA-Ina untuk menilai fungsi kognitif Lembar Hamilton Rating Scale for Depression (HDRS) Alat tulis
3.7.2 Jenis data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil pemeriksaan menggunakan Epworth sleepiness scale untuk
mendiagnosis Obstructive Sleep Apnea dan MoCA-Ina untuk menilai fungsi kognitif
3.7.3 Cara kerja 1. Sampel
Sampel diperoleh dari seluruh pasien stroke iskemik yang rawat jalan di poliklinik saraf Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang bulan Maret sampai dengan Mei yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
2. Kuesioner
Kuisioner dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengetahui riwayat penyakit sebelumnya dan untuk mengetahui apakah pasien menderita OSA atau tidak. Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan Epworth Sleepiness Scale. Kuesioner untuk menilai depresi menggunakan Hamilton Rating Scale for Depression (HDRS). Sedangkan untuk menilai fungsi kognitif menggunakan
Montreal Cognitive Assessment (Moca-Ina). Adapun bentuk
kuesioner yang diberikan kepada responden terlampir di bagian lampiran laporan skripsi ini.
3. Pelaksanaan
Penelitian dilakukan dengan cara memberikan kuesioner kepada semua individu yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi sebagai subjek penelitian.
3.8 Alur Penelitian
Gambar 5. Alur Penelitian
3.9 Analisis Data
Data akan diuji normalitas datanya menggunakan uji Saphiro-wilk. Data berdistribusi normal jika p>0,05 dari hasil uji Saphiro-wilk. Analisis bivariat
Pasien pasca stroke iskemik di Poliklinik saraf RSUP dr Kariadi
Memenuhi kriteria inklusi
Melakukan scroring ESS
OSA Tidak OSA
Melakukan scoring Moca-Ina
Fungsi kognitif Fungsi kognitif
Analisis
Menilai depresi dengan HDRS
Tidak depresi Depresi Tidak
diikutkan dalam penelitian Ada kriteria eksklusi
untuk data nominal menggunakan uji Chi Square, jika terdapat expected
count dibawah 5 maka menggunakan uji Fisher-Exact. Sedangkan, untuk data
ordinal menggunakan uji Mann-Whiteney. Derajat kemaknaan (α) yang ditetapkan adalah α = 0,05 atau dengan tabel interval kepercayaan 95%. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat hubungan antara OSA pada pasien stroke dengan fungsi kognitif menggunakan Prevalence Ratio (PR).
a. Table OSA dengan fungsi kognitif Fungsi kognitif menurun (skor ≤25) Fungsi kognitif normal (skor 26-30) Total Pasien stroke dengan OSA a B a+b Pasien stroke tanpa OSA c D c+d
Total a+c b+d a+b+c+d
Keterangan :
a : pasien stroke dengan OSA yang memiliki fungsi kognitif menurun b : pasien stroke dengan OSA yang memiliki fungsi kognitif normal c : pasien stroke tanpa OSA yang memiliki fungsi kognitif menurun d: pasien stroke tanpa OSA yang memiliki fungsi kognitif normal
b. Uji chi square
Uji chi square untuk mengetahui hubungan antara OSA dan fungsi kognitif dilakukan menggunakan SPSS dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05 atau interval kepercayaan 95%.
c. Prevalence Ratio (PR)
Prevalence Ratio (PR) digunakan untuk mengetahui tingkat kekuatan
hubungan antara OSA dengan fungsi kognitif. Prevalence Ratio dihitung menggunakan rumus :
= +
+
Untuk membaca hubungan asosiasi ditentukan nilai Prevalence Ratio (PR), sebagai berikut :
Bila nilai PR > 1 berarti OSAS merupakan faktor risiko timbulnya penurunan fungsi kognitif
Bila nilai PR < 1 berarti OSAS merupakan faktor protektif timbulnya penurunan fungsi kognitif
Bila nilai PR = 1 berarti OSAS tidak berhubungan dengan timbulnya penurunan fungsi kognitif.
3.10 Etika Penelitian
Ethical clearance penelitian ini diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KPEK) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro atau
40 BAB IV
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang pada bulan Maret 2016 sampai dengan bulan Mei 2016, diperoleh 40 subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Gambar 6. Alur hasil penelitian
59 Pasien pasca stroke iskemik di Poliklinik saraf RSUP dr Kariadi
43 Memenuhi kriteria inklusi
Menilai depresi dengan HDRS
40 Tidak depresi 3 Depresi Tidak
diikutkan dalam penelitian
16 subyek terdapat kriteria eksklusi - Onset stroke <3 bulan : 5
subyek
- stroke hemoragik : 3 subyek - riwayat trauma kepala : 2
subyek
- afasia : 2 subyek - menolak : 4 subyek
Melakukan scroring ESS
20 OSA 20 Tidak OSA
skoring Moca-Ina 19 gangguan kognitif skoring Moca-Ina 13 gangguan kognitif 7 kognitif normal 1 kognitif normal
4.1 Karakteristik data OSAS Tabel 4. Proporsi data OSAS
Kelompok Jumlah
N %
OSAS 20 50
Tidak OSAS 20 50
Total 40 100
Jumlah seluruh sampel yang mengalami Obstructive Sleep Apnea
Syndrome (OSAS) sebanyak 20 orang (50%) dan yang tidak mengalami OSAS
adalah sebanyak 20 orang (50%).
Tabel 5. Karakteristik umum subyek penelitian berdasarkan OSAS
Karakteristik Tidak OSAS OSAS P
n % n % Jenis Kelamin 0,490+ Laki-laki 15 75 13 65 Perempuan 5 25 7 35 Usia 0,678□ 18-29 0 0 0 0 30-39 1 5 0 0 40-49 2 10 1 5 50-59 7 35 9 45 60-69 10 50 9 45 70-79 0 0 1 5 BMI 0,500§ Normal 17 85 16 80 Obesitas 3 15 4 20 Pendidikan 0,231□ SD 3 15 9 45 SLTP 2 10 0 0 SLTA 9 45 6 30 Tamat sarjana 6 30 5 25 Keterangan : + Chi-Square test □ Mann-Whitney test § Fisher-Exact test
Berdasarkan uji statistik didapatkan hasil nilap p pada semua variabel >0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa usia, jenis kelamin, obesitas dan pendidikan dapat dikendalikan sehingga tidak mempengaruhi hasil penelitian.
Dari 20 subjek yang mengalami OSAS didapatkan data 13 orang subjek (65%) berjenis kelamin laki-laki dan 7 orang subjek (35%) berjenis kelamin perempuan.
Dari 20 subjek yang mengalami OSAS didapatkan data 1 orang subjek (5%) berusia antara 40-49 tahun, 9 subyek (45%) berusia 50-59 tahun, 9 subyek (45%) berusia 60-69 tahun dan 1 subyek (5%) berusia 70-79 tahun.
Dari 20 subyek yang mengalami OSAS didapatkan data 16 subyek (80%) memiliki BMI normal dan 4 subyek (20%) memiliki BMI obesitas.
Dari 20 subyek yang mengalami OSAS didapatkan data 9 subyek (45%) memeiliki pendidikan terakhir SD, 6 subyek (30%) memiliki pendidikan terakhir SLTA dan 5 subyek (25%) memiliki pendidikan terakhir tamat sarjana.
4.2 Karakteristik data fungsi kognitif Tabel 6. Proporsi data fungsi kognitif
Fungsi kognitif Jumlah
N %
Kognitif Normal 8 20
Gangguan Kognitif 32 80
Total 40 100
Jumlah seluruh sampel yang mengalami gangguan kognitif sebanyak 32 orang (80%) dan yang tidak mengalami gangguan kognitif adalah sebanyak 8 orang (20%).
Tabel 7. Karakteristik umum subyek penelitian berdasarkan fungsi kognitif
karakteristik Kognitif Normal Gangguan Kognitif
n % n % Jenis Kelamin Laki-laki 5 62,5 23 71,88 Perempuan 3 37,5 9 28,13 Usia 18-29 0 0 0 0 30-39 0 0 1 3,13 40-49 3 37,5 0 0 50-59 3 37,5 13 40,63 60-69 2 25 17 53,13 70-79 0 0 1 3,13 BMI Normal 8 100 25 78,13 Obese 0 0 7 21,88 Pendidikan SD 1 12,5 11 34,38 SLTP 0 0 2 6,25 SLTA 5 62,5 10 31,25 Tamat sarjana 2 25 9 28,13
Dari 32 subyek yang mengalami gangguan kognitif didapatkan data 23 orang subyek (71,88%) berjenis kelamin laki-laki dan 9 orang subyek (28,13%) berjenis kelamin perempuan.
Dari 32 subyek yang mengalami gangguan kognitif didapatkan data 1 orang subyek (3,13%) berusia antara 30-39, 13 subyek (40,63%) berusia 50-59 tahun, 17 subyek (53,13%) berusia 60-69 tahun dan 1 subyek (3,13%) berusia 70-79 tahun.
Dari 32 subyek yang mengalami gangguan kognitif didapatkan data 25 subyek (78,13%) memiliki BMI normal dan 7 subyek (21,88%) memiliki BMI obesitas.
Dari 32 subyek yang mengalami gangguan kognitif didapatkan data 11 subyek (34,38%) memiliki pendidikan terakhir SD, 2 subyek (6,25%) memiliki pendidikan terakhir SLTP, 10 subyek (31,25%) memiliki pendidikan terakhir SLTA dan 9 subyek (28,13%) memeiliki pendidikan terakhir tamat sarjana.
4.3 Proporsi data OSAS terhadap fungsi kognitif
Tabel 8. Proporsi data OSAS terhadap fungsi kognitif
Gangguan Kognitif Kognitif Normal
n % N %
OSAS 19 95 1 5
Tidak OSAS 13 65 7 35
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa dalam penelitian ini jumlah subyek OSAS yang mengalami gangguan kognitif adalah sebanyak 19 orang dan yang tidak mengalami gangguan kognitif sebanyak 1 orang. Sedangkan jumlah subyek yang tidak OSAS yang mengalami gangguan kognitif adalah sebanyak 13 orang dan yang tidak mengalami gangguan kognitif sebanyak 7 orang. Dari data di atas dapat diketahui bahwa kejadian gangguan kognitif lebih banyak pada kelompok pasien yang mengalami OSAS. (Gambar 7)
Gambar 7. Grafik proporsi OSAS terhadap fungsi kognitif 4.4 Analisis Data
4.4.1 Uji Fisher -Exact
Berdasarkan hasil uji normalitas data menggunakan uji Saphiro-wilk didapatkan nilai p=0,000, hal ini menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal sehingga uji statistik menggunakan uji nonparametrik. Berdasarkan perhitungan expected count menggunakan SPSS didapatkan bahwa terdapat 2 cell dengan nilai kurang dari 5 sehingga uji bivariat untuk menganalisis data menggunakan uji Fisher-Exact. Uji Fisher-Exact digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara OSAS dengan gangguan fungsi kognitif dengan taraf signifikansi α = 0,05 dan interval kepercayaan 95%.
Tabel 9. Hasil uji Fisher-Exact
Fungsi Kognitif p value
(uji Fisher-Exact) Gangguan Kognitif Kognitif Normal OSAS OSAS 19 1 0.022 Tidak OSAS 13 7 0 5 10 15 20
OSA Tidak OSA
19 13 1 7 Gangguan Kognitif Kognitif Normal
Penderita OSAS dengan gangguan kognitif sebanyak 19 sampel, sedangkan penderita OSAS tanpa gangguan kognitif sebanyak 1 sampel. Di samping itu, penderita tidak OSAS dengan gangguan kognitif sebanyak 13 sampel, sedangkan penderita tidak OSAS tanpa gangguan kognitif sebanyak 7 sampel.
Berdasarkan uji Fisher Exact menggunakan SPSS, diperoleh hasil p value 0,022. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara OSAS dengan fungsi kognitif karena p value <0,05.
4.4.2 Prevalence Ratio (PR)
Prevalence Ratio (PR) digunakan untuk mengetahui tingkat kekuatan
hubungan antara OSAS dengan fungsi kognitif. PR dihitung menggunakan rumus
= +
+
Tabel 10. Tabel 2x2 OSAS dan gangguan kognitif
Fungsi Kognitif Jumlah
Gangguan Kognitif Kognitif Normal OSAS OSAS 19 1 20 Tidak OSAS 13 7 20 Jumlah 32 8 40
Dengan menggunakan tabel 2x2 di atas, dapat dihitung PR
= 19 19 + 1 13 13 + 7 =0,95 0,65= 1,5
Berdasarkan perhitungan PR diperoleh hasil 1,5. Hal ini berarti bahwa OSAS merupakan faktor risiko timbulnya penurunan fungsi kognitif karena PR>1. Dengan kata lain bahwa OSAS meningkatkan risiko gangguan fungsi kognitif sebesar 1,5 kali lebih besar daripada tidak OSAS.
48 BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang pada bulan Maret 2016 sampai dengan bulan Mei 2016, diperoleh 40 subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 40 subyek penelitian yang ikut dalam penelitian ini didapatkan sebanyak 20 orang (50%) mengalami Obstructive Sleep Apnea
Syndrome (OSAS) dan sebanyak 20 orang yang tidak mengalami OSAS (50%).
OSAS ditemukan lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, dari 20 subyek yang mengalami OSAS didapatkan data 13 orang subyek (65%) berjenis kelamin laki-laki dan 7 orang subyek (35%) berjenis kelamin perempuan. Menurut Young, laki-laki 2-3 kali lebih sering menderita OSAS dibandingkan wanita. Wanita cenderung mengalami OSAS setelah usia menopause. Prevalensi menunjukan bahwa OSAS pada wanita meningkat setelah menopause. Hal lain yang menyebabkan OSAS lebih jarang pada wanita dibanding pada laki-laki adalah karena gejala mendengkur paling banyak dialami oleh laki-laki dibanding pada wanita.72
Dari 20 subyek yang mengalami OSAS didapatkan data 1 orang subyek (5%) berusia antara 40-49 tahun, 9 subyek (45%) berusia 50-59 tahun, 9 subyek (45%) berusia 60-69 tahun dan 1 subyek (5%) berusia 70-79 tahun. Hal ini sesuai dengan prevalensi OSAS menurut WHO yang menyebutkan bahwa OSAS
meningkat 2-3 kali pada orang yang berusia >65 tahun dibandingkan dengan yang berusia 30-64 tahun.73
Dari 20 subyek yang mengalami OSAS didapatkan data 16 subyek (80%) memiliki BMI normal dan 4 subyek (20%) memiliki BMI obesitas. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aaronson bahwa 65% subyek dari 80 sampel dengan OSAS memiliki BMI>25. Obesitas merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya OSAS. Terdapat hubungan yang erat antara indeks masa tubuh dengan kejadian OSAS. Peningkatan berat badan sebesar 10% akan meningkatkan kejadian OSAS sebesar 6 kali lipat.74
Dari 20 subyek yang memiliki OSAS 19 subyek (95%) memiliki gangguan kognitif dan yang tidak mengalami gangguan kognitif sebanyak 1 orang (5%). Sedangkan dari 20 subyek yang tidak memiliki OSAS 13 subyek (65%) memiliki gangguan kognitif dan yang tidak mengalami gangguan kognitif sebanyak 7 orang (35%).
Berdasarkan uji Fisher-Exact didapatkan hasil p=0,022. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara OSAS dengan fungsi kognitif karena p value <0,05. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Aaronson et al tahun 2015. Berdasarkan penelitian Aaronson, terdapat perbedaan yang bermakna antara fungsi kognitif pasien stroke yang mengalami OSAS dan yang tidak mengalami OSAS (p=0,001). Pasien stroke yang mengalami OSAS memiliki fungsi kognitif lebih buruk dibanding yang tidak mengalami OSAS.74