• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA REPRESENTASI IDENTITAS IMIGRAN TURKI DALAM FILM ALMANYA: WILKOMMEN IN DEUTSCHLAND. Makalah Non Seminar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA REPRESENTASI IDENTITAS IMIGRAN TURKI DALAM FILM ALMANYA: WILKOMMEN IN DEUTSCHLAND. Makalah Non Seminar"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

REPRESENTASI IDENTITAS IMIGRAN TURKI DALAM FILM “ ALMANYA: WILKOMMEN IN DEUTSCHLAND”

Makalah Non Seminar

FATHIA CHAIRUNNISA 0906560071

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI JERMAN

DEPOK FEBRUARI 2014

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Karya Ilmiah diajukan oleh:

Nama :Fathia Chairunnisa NPM

Program Studi Jenis Karya

Nama Mata Kuliah Judul Karya Ilmiah

:0906560071 :Jerman

:Makalah Non Seminar : Kebudayaan Jerman

:Representasi Identitas Imigran Turki dalam Film "Almany a: Willkommen in Deutschland"

Ini telah disetujui oleh dosen pengajar mata kuliah untuk diunggah di lib.uLac.id/unggah dan dipublikasikan sebagai karya ilmiah sivitas akademika Universitas Indonesia

Dosen Mata Kuliah

Ditetapkan di Tanggal

: Maria Regina Widhiasti M. Hum ( : ~ )

: Depok

(3)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENINGAN AKADEMIS

Sebagaisivitas akademik Universitas Indonesia,saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis karya : Fathia Chairunnisa : 0906560071 : Jennan

: Ilmu Pengetahuan Budaya : Makalah Non Seminar

demi pengembangan ilmu pengetahuan menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

RepresentasiIdentitas Imigran Turki dalam Film "Almanya:Willkommen in Deutschland"

(Cultural Identity Representation of Turkish Immigrants in the Film "Almanya:Willkommen in Deutschland ")

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Univeritas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola, dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis/penciptadan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya. Dibuat di :Depok

Pada tanggal :28 Februari 2014 Yang menyatakan

(4)

REPRESENTASI IDENTITAS IMIGRAN TURKI DALAM FILM

“ALMANYA: WILLKOMMEN IN DEUTSCHLAND”

Fathia Chairunnisa, Maria Regina Widhiasti Program Studi Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,

Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

Email: fchairunnisa@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini membahas mengenai representasi imigran Turki dalam film “Almanya: Willkommen in Deutschland”. Analisis ini menggunakan metode studi pustaka yang dilakukan secara deskriptif dan argumentatif. Dalam analisis ditunjukkan simbol yang digunakan dalam film untuk menunjukkan identitas budaya tokoh dari berbeda generasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa imigran Turki memiliki beragam identitas budaya karena pengaruh lingkungan tempat mereka berada.

Cultural Identity Representation of Turkish Immigrants in the Film “Almanya: Willkommen in Deutschland“

ABSTRACT

This article discusses about representation of Turkish immigrants’ cultural identity in the film “Almanya: Willkommen in Deutschland”. The research used qualitative descriptive method based on literature study. The symbols that are used in the film show various cultural identities which are represented by different immigrant generations. The result of the research proves that cultural identity is a process of becoming than a fixed substance. It is not determined by the place we live.

Keywords: Cultural identity; Immigrant; Film; Turkey

Pendahuluan

Perang Dunia II yang berakhir pada tahun 1945 membawa kekalahan dan kerugian besar bagi negara Jerman. Setelah berakhirnya perang dunia, keadaan ekonomi Jerman pun sangat terpuruk ditambah lagi dengan kondisi bahwa sebagian besar sumber daya manusia telah gugur di medan perang. Namun, Jerman berusaha bangkit dari keterpurukannya. Setelah ditandatanganinya perjanjian Marshall Plan pada tahun 1948, Jerman mulai bangkit dari keterpurukannya. Marshall Plan sendiri adalah program ekonomi skala besar yang dibuat oleh Amerika Serikat untuk

(5)

membangun kembali ekonomi Eropa pasca Perang Dunia II.1 Karena bantuan dana dari Amerika

ini Jerman mencapai masa yang disebut Wirtschaftswunder, yaitu kemajuan pesat dalam bidang ekonomi. Sekitar tahun 1950, perindustrian Jerman baik logam, tambang, mesin, dan industri lainnya, dikembangkan secara maksimal menurut standar teknik mutakhir.

Seiring dengan berkembangnya keadaan ekonomi tersebut, Jerman menghadapi sebuah masalah lain, yaitu kurangnya sumber daya manusia terutama tenaga kerja di sektor informal. Oleh karena itulah, Jerman menandatangani perjanjian bilateral untuk mendatangkan tenaga kerja menjadi Gastarbeiter (pekerja tamu, guestworker) yang pada awalnya dilakukan dengan negara Italia (1955). Selanjutnya perjanjian serupa ditandatangani antara Jerman dengan negara lain seperti

Spanyol (1960), Yunani (1960), Yugoslavia (1968), termasuk Turki pada tahun 1961.2 Selain

untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di sektor informal, kebijakan ini dilakukan juga demi menekan biaya penggunaan buruh imigran.

Pemerintah Jerman memberlakukan sistem rotasi, sehingga para pekerja diharapkan untuk kembali ke negara asalnya setelah periode waktu tertentu untuk menghindari menetapnya pekerja

di Jerman.3 Namun pada kenyataannya, banyak pekerja yang datang dan tidak kembali ke negara

asalnya. Saat ini, imigran Turki di Jerman berjumlah sekitar 2,5 juta jiwa.4 Banyak di antara

warga imigran Turki yang tidak kembali ke Turki setelah menjadi pekerja tamu karena kondisi penghidupan di Jerman yang mereka anggap lebih layak, ditambah lagi asuransi dan jaminan kesehatan yang terdapat di Jerman.

Setelah lebih dari 50 tahun sejak migrasi pertama orang Turki sebagai Gastarbeiter di Jerman, kini jenis pekerjaan para imigran Turki tidak hanya menjadi tenaga kerja informal, tetapi menyebar ke berbagai sektor. Salah satunya di bidang perfilman seperti aktor dan sutradara. Sebagai seorang keturunan sutradara keturunan Turki yang bekerja di Jerman, banyak di antara mereka yang membuat film bertemakan imigran, di antaranya Fatih Akın yang sudah diakui

1

“Economic Miracle”, http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/en/history/, diakses pada 3 Februari 2014.

2 “Germany: Immigration in Transition”, http://www.migrationpolicy.org/article/germany-immigration-transition,

diakses pada 26 Februari 2014.

3 Ibid. 4

“Migrasi dan Integrasi”, http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id/masyarakat/, diakses pada 3 Februari 2014.

(6)

secara internasional. Tidak sedikit filmnya yang bertemakan imigran, yang mendapat penghargaan di ajang internasional, seperti “Kebab Connection“, “Auf der anderen Seite“. Sebagai media komunikasi massa, sebuah film dapat menunjukkan lebih banyak dari sekadar hiburan semata. Film dapat memperlihatkan kebudayaan dan perilaku dari sekelompok masyarakat tertentu, bahkan dapat membuat perubahan pola pikir kelompok tertentu. James Monaco (2000: 39) mengatakan bahwa film memiliki sistem kode tersendiri. Meskipun tidak secara langsung diucapkan, tetapi film memiliki sistem tanda tersendiri yang bisa menghubungkan berbagai bentuk cara berkomunikasi. Film juga biasanya memiliki peruntukan penyajian, mulai film untuk anak-anak, dewasa, laki-laki atau perempuan.

Salah satu film bertema imigran di Jerman adalah sebuah film yang disutradai Yasemin Şamdereli, “Almanya: Willkommen in Deutschland” (selanjutnya akan disebut AwiD). Şamdereli merupakan seorang wanita keturunan Turki generasi kedua yang lahir dan tinggal di Jerman sejak tahun 1973. Dalam membuat film ini, ia bekerjasama dengan adiknya, Nesrin Şamdereli, yang bertanggung jawab untuk cerita. Film ini berdurasi 101 menit dan dibintangi oleh aktor Turki, Vedat Erincin, yang telah tinggal di Jerman sejak tahun 1986.

Film ini menceritakan perjalanan kehidupan keluarga Turki di Jerman dan perjalanan mereka untuk kembali mengunjungi Turki. Pemeran utama dalam film ini adalah Hüseyin, seorang pria muda Turki yang datang ke Jerman untuk menjadi Gastarbeiter. Di tengah masa kerjanya menjadi pekerja tamu, ia kembali ke Turki dan membawa istri serta tiga anaknya untuk tinggal di Jerman, yang kemudian melahirkan kembali seorang anak di Jerman. Mereka pun tinggal di Berlin dan memiliki sebuah keluarga besar yang terdiri dari anak, menantu, dan cucu. Cerita ini difokuskan ketika Hüseyin mengajak seluruh keluarga untuk berjalan-jalan ke Turki, karena ia telah membeli sebuah rumah di negara tersebut. Berdasarkan tema yang diangkat dan penggambaran dalam film mengenai imigran Turki di Jerman, penelitian ini akan membahas representasi identitas budaya imigran Turki di Jerman.

(7)

Tinjauan Teoretis

Analisis terhadap identitas budaya keluarga imigran Turki dalam film AWiD didasarkan pada teori Stuart Hall (1990: 222) mengenai identitas budaya. Identitas budaya adalah suatu kesatuan kolektif/bersama yang dimiliki oleh orang berlatar belakang dan leluhur yang sama. Hall berpendapat bahwa identitas budaya dapat dilihat dengan dua cara pandang (Hall, 1990: 223). Cara pandang pertama, identitas budaya seseorang yang didasarkan pada latar belakang sejarah yang sudah merupakan sesuatu yang umum, misalnya garis keturunan. Identitas dalam sudut pandang ini bersifat kolektif karena dimiliki juga dalam diri orang banyak yang mempunyai kesamaan sejarah dan leluhur. Identitas ini bersifat tetap, sebagai wujud yang sudah ada (identity of being) dan tidak dapat berubah.

Sedangkan dalam sudut pandang kedua, Hall (1990: 225) berpendapat bahwa identitas budaya adalah suatu proses yang senantiasa berubah, bukan sesuatu yang tetap dan sudah ada. Identitas akan senantiasa dipengaruhi oleh waktu, tempat, dan lingkungan sekitar individu itu sendiri. Identitas budaya tidak ditentukan oleh sesuatu yang sudah ada seperti keturunan atau sejarah, melainkan sebagai sebuah proses “menjadi“ (identity of becoming). Identitas ini dipengaruhi oleh semua aspek lain yang memengaruhi kehidupan seseorang, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa seseorang yang memiliki latar belakang sama dengan orang lain akan memiliki identitas budaya yang sama. Dengan kata lain, identitas bisa dikatakan cair.

Metode Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka yang berasal dari buku, jurnal, dan film mengenai identitas, imigran, dan yang erat kaitannya dengan multikulturalisme. Landasan teori dan tata cara penelitian didapatkan pula melalui pustaka. Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan analisis data kualitatif yang bisa berkembang sesuai dengan jalannya penelitian dengan human instrument atau penulis sendiri sebagai instrumen peneliti. Penyajian analisis data dilakukan dalam bentuk formal, yaitu dalam bentuk jurnal.

(8)

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Penelitian mengenai identitas budaya imigran Turki dalam film AWiD, dilakukan dengan menganalisis berbagai elemen dalam film. Analisis tersebut dibagi menjadi analisis judul, alur cerita, dan tokoh.

1. Analisis Judul

Judul film ini, “Almanya: Willkommen in Deutschland” terdiri atas dua bahasa, yaitu bahasa Jerman dan Turki. Almanya adalah bahasa Turki yang memiliki arti “negara Jerman,“ sedangkan Willkommen in Deutschland merupakan kalimat dalam bahasa Jerman, artinya “selamat datang di Jerman“. Dengan demikian, jika kalimat ini dituliskan kembali dalam bahasa Indonesia, maka akan menjadi “Jerman: Selamat Datang di Jerman”. Penggabungan dua bahasa tersebut menunjukkan bahwa film ini menampilkan bagian dari budaya Jerman dan Turki menjadi satu kesatuan.

Penggunaan tanda baca titik dua dalam judul tersebut dapat diartikan bahwa Almanya merupakan hal utama dalam judul, yang lebih lanjut dijelaskan dengan kalimat Willkommen in Deutschland. Kalimat Willkommen in Deutschland merupakan kalimat yang biasanya digunakan sebagai sambutan. Hal ini dapat diartikan bahwa film “Almanya: Willkommen in Deutschland” hendak menunjukkan atau mempertontonkan apa saja yang ada di negara Jerman. Namun, negara Jerman yang ditampilkan dalam film ini merupakan Jerman dalam versi Turki, karena Jerman disebut sebagai Almanya. Pemilihan judul tersebut sesuai dengan isi film yang menceritakan mengenai persepsi sebuah keluarga imigran Turki mengenai Jerman.

2. Analisis Alur cerita

Film “Almanya: Willkommen in Deutschland” diawali dengan perjalanan seorang pria Turki bernama Hüseyin yang menjadi Gastarbeiter (pekerja tamu) di Jerman. Pada awalnya, ia pindah tanpa keluarganya untuk mencari sumber penghidupan yang lebih baik. Ketika kembali ke Turki, ia menganggap anaknya sangat tidak disiplin dan memutuskan membawa seluruh keluarganya ke Jerman agar mereka belajar mengenai kedisplinan yang menurutnya dimiliki oleh orang Jerman. Cerita dilanjutkan dengan gambaran keluarga Hüseyin setelah tinggal di Jerman, mulai generasi pertama, kedua, dan ketiga. Hüseyin mengajak keluarga besarnya untuk berlibur ke Turki, karena

(9)

ia membeli sebuah rumah di sana. Namun sebagian besar dari mereka tampak tidak suka dan mengeluarkan alasan-alasan supaya tidak perlu pergi ke Turki. Keengganan mereka untuk mengunjungi Turki, tanah lahir mereka sendiri, memperlihatkan adanya perasaan berjarak yang dimiliki para imigran Turki dengan negara Turki. Hal ini disebabkan oleh rasa asing mereka terhadap negara Turki, karena mereka sudah dibesarkan di Jerman dan tidak lagi memiliki keterikatan dengan Turki.

Persoalan mengenai identitas pertama kali muncul dalam film “Almanya: Willkommen in Deutschland” ketika Cenk, cucu terkecil Hüseyin yang berumur 6 tahun, mendengar perdebatan keluarganya dan bertanya:

“Was bin ich den nun: Deutscher oder Türke?“ (Jadi, sebenarnya aku orang Jerman atau Turki?) Hal ini ditanyakan oleh Cenk yang merasa tertekan dengan kondisinya di sekolah, karena ia selalu dianggap bukan orang Jerman. Ia harus memutuskan apakah ia akan mengikuti ayahnya sebagai orang Turki atau ibunya seorang berkebangsaan Jerman. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab hanya dengan memilih, karena ia merupakan orang Jerman sekaligus orang Turki. Berdasarkan garis keturunan, Cenk dapat dianggap baik sebagai orang Turki maupun Jerman. Ia lahir dan besar di Jerman, sehingga budaya yang dominan memengaruhinya adalah budaya Jerman. Namun, karena dibesarkan dalam sebuah keluarga keturunan Turki, Cenk juga masih mendapat pengaruh budaya Turki. Selain itu, secara legal ia adalah seorang warga negara Jerman, karena lahir dari seorang perempuan berkewarganegaraan Jerman.

Di bagian akhir film diceritakan bahwa Hüseyin meninggal dalam perjalanannya dari Jerman ke Turki. Ia meninggal ketika Canan sedang menceritakan cerita awal mula perpindahan kakek nenek mereka ke Jerman. Tepat setelah pertanyaan Cenk, “Lalu mengapa kakek berbicara bahasa Jerman dengan sangat buruk?” Hüseyin terpejam dan tidak bangun lagi. Pertanyaan Cenk memperlihatkan bahwa setelah sekian lama tinggal di Jerman, Huseyin masih belum juga menguasai bahasa Jerman dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa di satu sisi film AWiD tetap menempatkan Huseyin sebagai orang Turki. Interpretasi ini diperkuat juga dengan tempat kematian Huseyin, yaitu di Turki. Meskipun demikian, di sisi lain film ini juga menceritakan bahwa Hüseyin tidak bisa dikubur di pemakaman Turki, karena sebagai pemegang paspor Jerman, secara legal ia adalah orang Jerman. Pendapat Hall mengenai identitas budaya yang

(10)

bukan merupakan hal yang tetap dan mutlak digambarkan dengan sangat jelas melalui peristiwa kematian Huseyin tersebut. Dari interpretasi terhadap peristiwa tersebut, terlihat bahwa identitas Huseyin adalah sebagai orang Turki sekaligus orang Jerman dalam waktu bersamaan, dan bahwa identitas budaya tergantung dari sudut pandang dan penempatan (positioning) seorang subjek. Dalam kasus Huseyin, ia adalah orang Turki berdasarkan garis keturunannya, tetapi seorang Jerman berdasarkan kewarganegaraannya.

3. Analisis Tokoh

Selain dari judul dan alur cerita, tokoh dalam film ini pun turut memainkan peranan penting dalam menggambarkan identitas dan representasi imigran Turki di Jerman. Analisis tokoh dalam film AWiD dilakukan dengan membagi tokoh per generasi.

A. Imigran Generasi 1

Imigran generasi pertama dalam film ini direpresentasikan oleh Hüseyin dan istrinya, Fatma. Hüseyin digambarkan masih mencintai Turki sebagai tanah asalnya, sedangkan Fatma merasakan hal yang berbeda dengan Hüseyin. Ia sangat bersemangat untuk menjadi warga negara Jerman dan lebih senang untuk disebut sebagai warga negara Jerman dibandingkan sebagai warga negara Turki.

Ketika Hüseyin mengatakan dirinya memiliki kabar gembira untuk keluarga besarnya, Fatma

langsung mengira bahwa kabar itu adalah kepemilikan paspor kewarganegaraan Jerman yang baru dimiliki mereka dapatkan. Kebahagiaan Fatma atas kepemilikan paspor Jermannya ditunjukkan dengan ekspresi Fatma yang tersenyum lebar. Hüseyin dan Fatma, yang pada dasarnya memiliki latar belakang yang sama, ternyata berbeda pandangan mengenai kewarganegaraan. Hal ini disebabkan oleh cara adaptasi mereka terhadap lingkungan sekitar yang berbeda.

Lingkungan dan pergaulan di Jerman tidak membuat Hüseyin menginginkan status kewarganegaraannya. Ia menganggap paspor kewarganegaraan tersebut hanyalah kertas dan tidak bisa mencerminkan kewarganegaraan yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Namun, Fatma tidak sependapat. Ketika tinggal di Jerman, lingkungan kerja yang dijalani hampir setiap hari berbeda antara Hüseyin dan Fatma.

(11)

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 menunjukkan bahwa sehari-hari Hüseyin bekerja sebagai pekerja kasar bersama dengan para imigran lain. Sedangkan dalam gambar 2, Fatma harus mengurus keperluan sehari-hari seperti belanja dan mengantar anak-anak mereka ke sekolah Jerman, yang berarti mengharuskannya memperbanyak interaksi dengan orang Jerman. Perbedaan lingkungan sehari-hari ini mengakibatkan perbedaan pandangan kewarganegaraan antara Hüseyin dan Fatma.

Jika dilihat secara sekilas, Hüseyin bisa saja digolongkan sebagai seorang esensialis, yakni seseorang yang memegang teguh kepercayaan dasarnya dan hanya akan melakukan apa yang

dianggapnya adalah kebudayaan/ kepemilikannya.5 Ia selalu mengulang kata bahwa ia adalah

orang Turki dan selalu mengatakan kepada keluarga besarnya atas nama keluarga Turki. Ia juga masih menggunakan bahasa Turki untuk berkomunikasi dengan keluarganya meskipun melibatkan menantunya yang merupakan orang Jerman.

Selain digambarkan selalu berbahasa Turki, setelah puluhan tahun tinggal di Jerman Huseyin masih tetap selalu mengonsumsi makanan khas Turki yang biasa dikonsumsi sehari-hari seperti zeytin (buah zaitun), ekmek (roti tawar yang

dikonsumsi sebagai makanan pokok), peynir (keju khas Turki yang tidak dipasterisasi), dan çay (teh khas Turki yang disajikan dalam sebuah cangkir kecil, biasa dikonsumsi baik pagi, siang, maupun malam), seperti yang terlihat pada gambar di samping. Namun, di

5

“Diskusi tentang Esensialisme Kebudayaan”, http://www.timur-angin.com/2011/03/diskusi-tentang-esensialisme-kebudayaan.html, diakses pada 7 Februari 2014.

(12)

sisi lain, ia tidak seluruhnya menutup dirinya dari kebudayaan Jerman. Ia menunjukkan toleransinya ketika mengetahui bahwa Canan, cucu wanitanya, hamil di luar nikah, terlebih lagi oleh seseorang yang bukan Turki. Ia tidak naik pitam, bahkan sebaliknya, ia malah menenangkan dan menghibur Canan. Ia juga tetap mau menggunakan bahasa Turki untuk berkomunikasi dengan Cenk, cucunya yang merupakan campuran Jerman dan Turki.

B. Imigran Generasi Kedua

Dalam film ini, terdapat empat tokoh imigran yang digolongkan menjadi generasi kedua. Keempat tokoh tersebut adalah anak-anak dari Hüseyin dan Fatma; Veli, Muhamed, Leyla, dan Ali. Dari keempat tokoh imigran generasi kedua ini terdapat persamaan yang membedakan mereka dengan generasi pertama. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, generasi kedua ditampilkan lebih modern daripada generasi pertama. Pakaian yang dikenakan generasi kedua lebih terkesan kasual dan tidak terkesan lusuh seperti yang diperlihatkan pada pakaian generasi pertama. Fatma dan Hüseyin menggunakan pakaian dengan warna yang cukup pudar dan kuno. Hal tersebut merpresentasikan perbaikan keadaan ekonomi yang dialami keluarga ini.

Perbedaan juga sangat terlihat pada Leyla dan Fatma. Sebagai seorang wanita Turki, Leyla tetap memakai celana jeans dan kaos kasual, tidak seperti Fatma yang selalu menggunakan rok dan kerudung di kepalanya semenjak ia muda hingga ia telah memiliki cucu. Dari penggambaran ini, terlihat bahwa Leyla merepresentasikan perempuan imigran generasi kedua yang sudah lebih modern dengan mengikuti trend, sedangkan Fatma merepresentasikan perempuan generasi pertama yang masih lebih tradisional.

Ali, anak keempat Hüseyin dan Fatma, memiliki istri orang Jerman, Gabi. Ketika kumpul keluarga besar, Ali mengeluh kepada ibunya bahwa makanan tersebut terlalu pedas, tetapi Gabi yang duduk di sampingnya menikmati makanan yang sama tanpa mengeluh apapun. Adegan ini menunjukkan bahwa pada saat ini, kegiatan sehari-hari yang terkait erat dengan budaya, seperti makan, tidak lagi terbatasi hanya dalam lingkup budaya sendiri saja. Dengan semakin memudarnya batasan antarnegara dan antarbudaya, berbagai makanan dapat dengan mudah dijumpai di tempat-tempat yang berada jauh dari tempat asal makanan tersebut, dan bahkan disukai oleh orang-orang asing.

(13)

Jika melihat ke masa kecil imigran generasi kedua ketika mereka baru pindah ke Jerman, mereka digambarkan lebih mudah beradaptasi dengan suasana baru. Mereka lebih cepat pandai dalam berkomunikasi bahasa Jerman dibandingkan dengan orang tua mereka. Hal ini dapat disebabkan oleh penyesuaian diri seseorang yang masih muda dan belum berlatar belakang kuat lebih mudah dibandingkan penyesuaian diri orang dewasa yang telah memiliki banyak pengalaman dan latar belakang yang bisa menjadi sebuah dinding pembatas antara dirinya dan perubahan.

C. Imigran Generasi Ketiga

Dalam film AWiD imigrasi generasi ketiga direpresentasikan oleh Cenk dan Canan. Sebagian dari film ini membahas mengenai kejadian di masa kini dan setengah lagi membahas kejadian di masa lampau. Hampir seluruh bagian cerita mengenai masa lalu dinarasikan oleh Canan, anak dari Leyla. Penceritaan dengan gaya seperti ini memberi kesan lebih nyata, karena seolah diceritakan langsung oleh tokoh dalam film kepada penonton. Pemilihan Canan sebagai tokoh yang menyampaikan narasi memperlihatkan bahwa film ini berupaya menyampaikan pandangan dari imgran Turki generasi ketiga. Melalui film ini, sutradara ingin mencoba memberikan sudut pandang bahwa identitas itu tidak bersifat mutlak. Identitas tidak ditentukan hanya berdasarkan ciri fisik ataupun kewarganegaraan seseorang. Suara Canan dibuat seperti ia sedang bercerita kepada Cenk mengenai sejarah mereka sebagai imigran, sama seperti film ini, yang sedikit banyak membuat penonton mengerti mengenai permasalahan yang mereka angkat dalam film ini, yaitu identitas dan kehidupan multikultural. Film ini juga mendukung cerita dan kejadian dalam film dengan selingan cuplikan dokumenter mengenai Gastarbeiter dan kehidupan Jerman dan awal mula proses migrasi di waktu lampau.

Kesimpulan

Film “Almanya: Willkommen in Deutschland“ yang berkisah mengenai keluarga imigran Turki di Jerman yang bepergian ke Turki memperlihatkan persoalan identitas budaya yang dihadapi oleh para imigran. Di satu sisi, para imigran masih mendapatkan pengaruh budaya negara asal mereka, sementara di sisi lain juga berinteraksi dengan intensitas yang tinggi dalam budaya negara tujuan. Dalam film ini, persoalan identitas ditunjukkan antara lain melalui pertanyaan-pertanyaan dalam

(14)

dialog antartokohnya. Pertanyaan seperti “apakah saya orang Jerman atau Turki?“ yang diajukan oleh Cenk – representasi imigran Turki generasi ketiga di Jerman – tidak dapat dijawab hanya dengan memilih. Dengan kata lain, Cenk adalah representasi generasi ketiga imigran Turki di Jerman, yang merupakan orang Jerman sekaligus Turki dengan batasan yang sudah sangat samar. Alur film “Almanya: Willkommen in Deutschland” menggambarkan kisah Huseyin, seorang lelaki Turki yang pergi ke Jerman dan menetap selama puluhan tahun. Hidup Huseyin berakhir di Turki, tetapi ia tetap harus kembali ke Jerman karena sudah tidak lagi diakui secara legal sebagai warga negara Turki. Hal ini menggambarkan posisi identitas imigran yang selalu berada dalam situasi tarik-menarik, tidak berada di satu tempat yang tetap. Selain itu, film ini juga memperlihatkan ada banyak sudut pandang mengenai representasi imigran Turki yang tinggal di Jerman. Film ini menunjukkan banyak hal yang membuktikan bahwa identitas bukanlah suatu hal yang mutlak dan tidak dapat diubah, melainkan cair dan fleksibel tergantung kepada individu masing-masing. Adegan menunjukkan simbol-simbol sederhana seperti pakaian, ekspresi, tempat menjadi sebuah gambaran yang berbeda dari tiap-tiap imigran. Film ini membuktikan teori Stuart Hall, bahwa identitas bukan semata-mata sebuah wujud yang sudah ada (identity of being) melainkan juga sebuah proses menjadi (identity of becoming).

Daftar Referensi Buku:

Hall, Stuart. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage.

---. (1990). Cultural Identity and Diaspora. Dalam Jonathan Rutherford (Ed.), Identity, Community, Culture, Difference. London: Lawrence & Wishart.

Monaco, James. (2000). How to Read A Film: The world of Movie, Media and Multimedia, Language, History, and Theory. New York: Oxford University Press

Artikel online:

“Economic Miracle”, http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/en/history/, diakses pada 3

(15)

“Germany: Immigration in Transition”, http://www.migrationpolicy.org/article/germany-immigration-transition, diakses pada 26 Februari 2014.

“Migrasi dan Integrasi”, http://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id/masyarakat/, diakses pada

3 Februari 2014.

“Diskusi tentang Esensialisme Kebudayaan”,

Gambar

Gambar 1  Gambar 2

Referensi

Dokumen terkait