• Tidak ada hasil yang ditemukan

SK Mayor Grave Disease

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SK Mayor Grave Disease"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Grave’s disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830, adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidism (produksi berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. insidensinya dapat terjadi pada semua umur dan lebih sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Patogenesis Grave’s disease sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.

Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang belum diketahui secara pasti tentang meningkatnya risiko menderita Graves disease. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, Grave’s disease dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.

Tanda dan gejala Grave’s disease yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun prevalensinya jarang. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab serta berat badan menurun.

Pada penyakit Grave’s terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Grave’s, yaitu : Obat anti tiroid (Thionamide), Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.

(2)

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 Data Pasien

No. Rekam Medis : 0001133xxx

Nama : Nn. Sxxx

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Dusun Cikaum Girang, Subang

Usia : 16 tahun

Status : Belum Menikah

Tanggal masuk : 25 Oktober 2011, pukul 22.12 2.2 Keluhan Utama:

Berdebar debar 2.3 Anamnesa:

Sejak 2 minggu SMRS, pasien merasakan jantung yang berdebar-debar yang telah ada sebelumnya, semakin berdebar-debar dan cepat. Keluhan disertai sesak nafas yang diasakan saat aktivitas ringan seperti makan, berjalan ke kamar mandi. Terdapat keluhan sering terbangun karena sesak, pasien merasa lebih nyaman tidur dengan 3-4 bantal. Terdapat keluhan bengkak pada kedua tungkai dan perut. Keadaan berdebar-debar tidak disertai nyeri dada, kejang maupun pingsan. Riwayat jantung berdebar dirasakan sejak 2 tahun SMRS, pasien sebelumnya telah diketahui memiliki penyakit tiroid sejak 10 tahun SMRS.

Pasien berobat ke Sp PD di Subang, diberikan obat PTU dan propanolol. Namun pasien kurang teratur meminum obatnya. Untuk keluhan berdabar saat ini, pasien berobat ke RSU subang dan telah dirawat selama ± 5 hari. Diberikan beberapa macam obat dan pasien merasakan keluhan berdebar berkurang, namun pasien dianjurkan untuk melanjutkan berobat di RSHS untuk dilakukan pemeriksaan radiologi nuklir dan kemungkinan untuk dilakukan operasi.

(3)

Riwayat penyakit tiroid telah dketahui 10 tahun SMRS, pasien berobat ke SpPd di subang. Terdapat keluhan jantung berdebar sejak 2 tahun SMRS, ada keluhan cepat lelah saat beraktivitas, terdapat keluhan apabila udara dingn, tidak ada keluhan berkeringat banyak, nafsu makan dirasakan biasa, terdapat kecenderungan berat badan yang terus menurun.

2.4 Riwayat penyakit dahulu Tiroid (+)

Hipertensi (+) Diabetes Melitus (-)

2.5 Riwayat penyakit pada keluarga/kerabat Riwayat keluarga dengan sakit tiroid (-) 2.6 Pemeriksaan fisik:

Kesadaran : Compos Mentis Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 90 x/mnt irregularly irregular HR 110x/mnt

Pernapasan : 20 x/mnt

Suhu : 37oc

Keadaan gizi : Kurang

Kepala : Konjungtiva tak anemis, sklera non ikterik, PCH (-), SPO (-) Lid leg (+), Lid retraction (+).

Leher : Teraba massa pada colli anterior (tiroid), ikut pergerakan

menelan Ukuran 5x10 cm, batas tidak tegas, bruit (+), JUP 5+ cm H2O, HJR (+).

Thorax : Bentuk dan gerak simetris. BPH ICS V kanan, peranjakan 2cm

Cor : Ictus cordis tampak, teraba di intercostal space VI LAAS,

kuat angkat Thrill (+). Batas atas ICS III kiri, kanan LSD, kiri ICS IV LAAS, Bunyi jantung S1 S2 variabel S3 (-) Pulmo : VF, sonor,VR, VBS kiri=kanan

(4)

Abdomen : Cembung, lembut

Hepar teraba 2cm bac, 3cm bpx, tumpul, kenyal, rata. L++ R traube isi, ps/pp

-/-Ekstremitas : Moise hard (+), Akral hangat, CRT < 2, Edema -/-. 2.7 Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Laboratorium:

No Pemeriksaa

n

Hasil Nilai Rujukan satuan

1. HEMATOLOG I Retiulosit Absolut Darah rutin Hemoglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit Trombosit INDEX ERITROSIT MCV MCH MCHC 34.7 10.1 31 3.41 5.600 366.00 0 91,5 29,6 32,4 22.5 ~ 147.5 P : 12.0 ~ 16.0 P: 35 ~ 47 P: 3.6 ~ 5.8 4.400 ~ 11.300 150.000 ~ 450.000 80 ~ 100 fl 26 ~ 34 pg 32 ~ 36 % Ribu/uL g/dl % Juta/uL /mm3 /mm3 fL pg % 2. Imuno serologi Fentin 39.06 Laki-Laki : 30-400 Perempuan : 13-150 Anak-anak : 20-200 Ng/mL 3. KIMIA KLINIK AST ( SGOT) ALT ( SGPT) Asam Urat Natrium (Na) Kalium (K) 21 9 4.0 142 4.1 P < 29 < 29 P : 2,4 ~ 5,7 135 – 145 3,6 – 5,5 U/L 37 C U/L 37 C Mg/dl mEq/dl mEq/dl

(5)

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan EKG

FOTO THORAK AP Klinis :

 Cor membesar ke lateral kiri dengan apex tertanam pada diafragma, pinggang jantung menonjol.

 Sinuses dan diafragma normal

 Pulmo

 Hilus kanan normal, kiri tertutup bayangan jantung  Corakan bronkhovaskular normal

 Tidak tampak bercak lunak

Tidak tampak bayangan opak densitas soft tissue di para trakheal

 Kranialisasi (-)  Kesan

 Tidak tampak struma intra thorakal  Kardiomegali tanpa bendungan paru  Tidak tampak tb paru aktif

EKG

 Irama atrial, QRS rate 150x/menit, QRS axis normal (00 – 900), P wave

dan PR interval tak bisa dinilai, QRS duration 0,08”, Q patologis (-), R/S di V1 <1, S V1/2 + R V5/6 >35, ST segman iso elektrik, T inversi (-)

(6)

Indexs wayne : 33 CHADS2 score : 1 Pemeriksaan Intra Oral

Bibir : TAK

Gingiva : Gingivitis

Palatum : terlihat bercak-bercak merah (petechiae) Frenulum : Tidak ada kelainan

Lidah : Glositis

Dasar mulut : Tidak ada kelainan

(7)

Gingivitis pada ginggiva

(8)

Glossitis pada lidah

2.8 Diagnosa

 D/kerja : - Grave’s disease

- A Tyroid heart disease + AFRVR + DC ki fc.II - Anemia ec inflamasi

 D/ intra oral : - Keilosis

- Gingivitis marginalis kronis generalisata

- Petekie dan hipopigmentasi palatum - Glositis

2.9 Terapi • Bed rest

• O2 3L/menit nasal kanul

• Diet RG 1200 kkal/hari • IVFD D5 jaga

• Digoxin 0,50 mg IV lihat respon rate dalam 4 jam, jika respon kurang boleh diulang dengan dosis max 1.5 mg. Jika sudah NVR, lanjutkan dengan digoxin 1x 0.15 mg po • Propanolol 3x10 mg po • PTU 3x200mg • Aspilet 1x81 mg po stop • Monitor TNRS • Echo cardiography

(9)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

GRAVE’S DISEASE 3.1Definisi

Grave’s disease (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit otoimun yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita Grave’s disease memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftalmopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati. 3.2 Etiologi

Grave’s disease merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan auto antibodi tiroid didalam

(10)

darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.

3.3 Patogenesis

Pada Graves disease, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk men- sintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada Grave’s disease.

Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita

Graves disease.

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.

(11)

Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Graves

Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras Kaukasia, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17 pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid otoimun seperti Graves disease. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon alfa).

Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut Graves disease. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid otoimun.

Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid otoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode akut Graves disease, namun sampai saat ini belum ada

(12)

hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut.

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia. Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans .

Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hipereaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.

Patogenesis dan patofisiologi Grave’s disease

Hyperthyroidisme pada Grave’s diseas, disebabkan oleh adanya reaksi auitoimun secara abnormal terhadap reseptor TSH. Munculnya autoimun itu, tidak diketahui mekanismenya. Reaksi autoimun itu, disebabkan oleh autoantibodi :  Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI) – TSI merupakan IgG yang akan

berikatan dengan reseptor TSH kemudian menstimulasi aktivitas adenylate cyclase sehingga terjadi peningkatan sekresi hormon thyroid.

 Thyroid Growth-Stimulating Immunoglobulin (TGI) – Ketika TGI berikatan dengan reseptor TSH maka akan ada induksi terhadap proliferasi epitel folikel thyroid dan menyebabkan hiperplasi.

 TSH-Binding Inhibitor Immunoglobulin (TB-II) – TBII merupakan inhibitor terhadap TSH. Ketika TBII berikatan dengan reseptor TSG maka akan terjadi stimulasi terhadap aktivitas hormon thyroid.

Etiologi Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang sering muncul pada Grave’s disease, adalah sebagai berikut :

(13)

 Hiperfungsi dari kelenjar Thyroid. Keadaan ini dikenal dengan kondisi thyrotoxicosis, berupa peningkatan Basal Metabolism Rate (BMR) dan aktivitas sistem saraf simpatis. Thyrotoxicosis itu akan memunculkan manifestasi anxietas, tremor, takikardia, palpitasi, hiperrefleksi, tidak tahan panas, bertambah nafsu makan, hipermotilitas usus, diare, malabsorbsi, dan berkurangnya berat badan.

Infiltrative opthalmopathy dengan dengan akibat exopthalmus.Infiltrative dermopathy dengan akibat pretibial myxerema.

Langkah penegakan diagnosa pada Grave’s disease

Penegakan diagnosa Grave’s disease diawali dengan anamnesis tentang riwayat penyakit baik dirinya sendiri maupun keluarga (apakah dari keluarga ada yang menderita, karena grave’s disese bersifat herediter), gejala-gejala/manifestasi klinisnya serta test laboratorium. Takikardi, pada pasien tanpa kelainan jantung adalah salah satu contoh manifestasi klinis yang dapat digunakan dalam penegakkan diagnosa hipertiroidisme.

Exopthalmus juga merupakan gejala yang khas pada grave’s disease. Meskipun begitu, pemeriksaan laboratorium tetap perlu dilakukan untuk lebih menguatkan diagnosa. Pada pemeriksaan Lab ditujukan untuk mengetahui jumlah hormone thyroid(pada grave’s disease akan ditemukan penurunan angka TSHs serta kenaikan angka FT4 dan FT3). Scan atau radioactive image untuk mengetahui struktur kelenjar thyroid apakah mengalami kelainan atau tidak. Untuk lebih menguatkan diagnosa perlu dilakukan test darah untuk mengetahui adanya TSAb (Thyroid Stimulating Antibodies). Pada penderita Grave’s disease ditemukan TSAb.

3.4 Gambaran Klinis A. Gejala dan Tanda

Pada Grave’s disease terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal

(14)

berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot.

Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.

Gambaran klinik klasik dari Grave’s disease antara lain adalah tri tunggal hipertiroidisme, goiter difus, dan eksoftalmus. Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):

Kelas Uraian

0 Tidak ada gejala dan tanda

1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag) 2 Perubahan jaringan lunak orbita

3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer) 4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular

5 Perubahan pada kornea (keratitis) 6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)

Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat.

Kelas 2, ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).

Kelas 3, ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer.

(15)

pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping.

Kelas 5, ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).

Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.

Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.

Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama graves disease dapat berupa amenore atau infertilitas.

Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.

Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita graves disease aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan.

Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut :

(16)
(17)
(18)
(19)

B. Pemeriksaan laboratorium

Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah ini :

(20)

Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada Graves disease maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik

(21)

pada Graves disease.Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau padaeksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas.

Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada Graves disease dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.

Pada Graves disease , adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).

C. Pemeriksaan penunjang lain

Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis Grave’s disease jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin.

D. Diagnosis Banding

Grave’s disease dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati akibat Graves disease, namun harus dibedakan dengan kelainan neurologik primer. Pada sindrom yang dikenal dengan “familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia” dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan

(22)

T3. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan Grave’s disease.

Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi. Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat.

Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala kelainan jantung, dapat berupa :

- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin - High-output heart failure

Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal dengan “apathetic hyperthyroidism”.

E. Komplikasi

Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain : - Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain

- Terapi yodium radioaktif

- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat.

- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.

(23)

hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :

- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.

- Takhikardi hebat , atrial fibrilasi sampai payah jantung.

- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma. - Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.

Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid. Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.

Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan angka kematian perinatal. 3.5 Pengelolaan Grave’s Disease

Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom Graves, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat Graves disease, yaitu : penggunaan Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.

Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.

(24)

3.5.1 Obat – obatan a. Obat Antitiroid :

Golongan Tionamid Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.

Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.

Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau

(25)

2 kali sehari. Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari Graves disease.

Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari.

Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.

Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan

(26)

obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi.

Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya. Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat Graves disease adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.

Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.

2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid dosis rendah.

3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.

Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata. b. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3

(27)

melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.

Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.

c. Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan Graves disease. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.

Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan.

(28)

Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT. Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.

3.5.2 Pengobatan dengan kombinasi OAT-tiroksin

Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan Graves disease dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole.

Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :

Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan, selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100 μg perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi methimazole dengan dosis dan cara yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid yang bersifat antigenic, yang pada gilirannya akan merangsang pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan kata lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin eksogen eksogen (yang menekan produksi TSH), maka reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi antigen. Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu sering, terutama bila digunakan OAT dosis tinggi.

3.5.3 Pembedahan

(29)

struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat.

Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada Graves disease. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.

3.5.4 Terapi Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman , tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.

(30)

menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.

Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan / atau OAT.

Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari. Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme. Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.

Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah :

- memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131

- hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang terjadi) .

- gastritis radiasi (jarang terjadi)

- eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan

(31)

kemungkinan gangguan fungsi jantung.

Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6 bulan pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme.

3.5.5 Pengobatan oftalmopati Graves

Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam menangani oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.

Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata. Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya. 3.5.6 Pengobatan krisis tiroid

Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.

(32)

3.5.7 Penyakit Graves Dengan Kehamilan

Wanita pasien Grave’s disease sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan hipertiroidisme-nya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi.

PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.

Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang dengan mekanisme yang belum diketahui- terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antiroid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman. 3.5.8 KOMPLIKASI

Komplikasi penyakit Graves yang akut ialah terjadinya krisis tirotoksikosis yaitu kambuh dan melonjaknya kadar tiroid yang membahayakan jiwa dengan gejala demam, mengigau, kejang, koma, muntah, diare, dan kuning pada seluruh badan. Kematian biasanya terjadi karena gagal jantung, gangguan irama jantung atau demam tinggi yang tidak bisa diturunkan dengan obat. Komplikasi ini biasanya diawali dengan adanya penyakit berat yang mendadak terjadi (stroke, infeksi, atau trauma), operasi, pengobatan dengan radioiodine. Penyakit Graves juga dapat menyebabkan komplikasi mata karena kelopak mata yang tertarik sehingga menyebabkan mata kering dan akhirnya kerusakan pada kornea dan bola mata. Selain itu penyakit Graves juga dapat menyebabkan

(33)

komplikasi gagal jantung kongestif yaitu jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh, dan tulang menjadi rapuh.

3.5.9 Manifestasi Oral dan Penanganannya

Berikut merupakan manifestasi oral yang ditemui pada penderita Grave’s disease (hipertiroidism):

• Peningkatan karies

Glossitis dan Burning Mouth Syndrome • Percepatan erupsi gigi pada anak • Osteoporosis maksila atau mandibula • Pembesaran tiroid ekstraglandular • Penyakit periodontal

• Perkembangan jaringan ikat seperti Sjogren’s syndrome atau lupus eritematous sistemik

Pada Grave’s disease, pada pemeriksaan ekstra oral, tiroid bisa saja membesar atau terdeteksi pada pemeriksaan palpasi. Kelenjar yang membesar biasanya secara visual terlihat ketika pasien dalam posisi supine di dental chair. Tetapi pada kondisi pembesaran tiroid yang lebih parah, tonjolan di leher terlihat ketika pasien dalam posisi duduk atau berdiri.

Pembesaran jaringan (kelenjar) tiroid

Sindrom burning mouth, suatu kondisi yang menyebabkan rasa saki terbakar pada rongga mulut dan Sjogren’s syndrome, suatu kondisiyang menyebabkan kekeringan rongga mulut yang pada umumnya terjadi pada penyakit tiroid.

(34)

Glossitis disertai Burning Mouth Syndrome

Dokter gigi harus memiliki pengetahuan yang luas tentang manifestasi klinis dan oral dari thyrotoxicosis. Hipertiroid memberikan gambaran sebagai anorexia, fibrilasi atrium dan gangguan kongesti jantung pada pasien usia tua. Pada aapsien usia muda, manifestasi klinis hipertiroid seperti, grave’s disease, saat usia paruh baya laki-laki dan perempuan biasanya ditandai dengan gondok. Pasien dengan riwayat Grave’s disease, harus dievaluasi dengan hati-hati terkait dengan penyakit jaringan ikat seperti Sjogren’s syndrome dan lupus erythematous sistemik.

Pasien hipertiroid juga rentan terhadap penyakit kardiovaskular. Sebelum melakukan perawatan gigi terhadapa pasien ini, dokter gigi perlu mendiskusikan mengenai riwayat penyakit jantungnya dengan memperhatikan psikis pasien. Perawatan gigi harus ditunda selama lebih dari 6 bulan – 1 tahun jika pasien menunjukkan gejala penyakit tak terkontrol, seperti takikardi, denyut tak beraturan, berkeringat, hipertensi, tremor, atau menolak untuk mengikuti instruksi dari operator.

Pasien dengan krisis badai tiroid mengalami penurunan tingkat sirkulasi neutrofil. Pembedahan gigi tidak direkomendasikan pada bagian ini karena dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi setelah perawatan. Jumlah darah lengkap dengan differential leukocyte count (DLC) diindikasikan jika terdapat obat-obatan yang menyebabkan leucopenia. Beberapa obat seperti aspirin, kontrasepsi oral, estrogen dan obat-obatan anti inflamasi non steroid (NSAIDs) mungkin dapat mengurangi ikatan T4 ke TBG dalam plasma, sehingga akan

(35)

meningkatkan sirkulasi T4 yang menyebabkan thyrotoxicosis. Dokter gigi harus membatasi penggunaan epinefrin atau pressor amine lainnya dalam anestetik lokal karena myocardium pasien ini sensitive terhadap adrenalin dan mempercepat denyut jantung, palpitasi, dan nyeri dada. Selama perawatan gigi,

Pasien hipertiroid harus melakukan pemeriksaan oral meliputi inspeksi dan palpasi kelenjar saliva.

Dokter gigi harus berhati-hati terhadapa tanda dan gejala badai tiroid, sebagai .pasien yang mengalami hipertiroid mengalami tingkat kecemasan yang berlebihan, atau pembedahan gigi dapat menjadi trigger krisis thyrotoxic. Penggunaan epinefrin harus dicegah dan pembedahan gigi harus ditunda bagi pasien yang menunjukkan tanda dan gejala toxicosis.perawatan gigi harus ditunda jika tanda dan gejala thyrotoxic berlanjut dan harus segera dilakukan penanganan darurat.

(36)

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA PENYAKIT PENYERTA

4.1 Anemia Inflamasi 4.1.2 Definisi

Anemia adalah suatu kondisi terjadinya sel darah merah atau jumlah hemoglobin berada di bawah batas normal. Anemia karena inflamasi kronis merupakan anemia hipoproliferatif yang memiliki ciri zat besi serum yang rendah dan cadangan besi yang adekuat hingga meningkat. Penanda inflamasi yang terlibat pada anemia inflamasi kronis termasuk TNF-alpha, inter-leukin-i (IL-i), interferon gamma (IFN-gamma), dan interleukin-6(IL6).

Ditemukannya hepcidin telah menjelaskan patofisiologi anemia inflamasi kronis. Hormon hepcidin adalah sebuah peptida atau protein kecil yang dihasilkan di dalam hati dan mengatur kadar zat besi dalam tubuh. Hepcidin mencegah tubuh menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan yang berasal dari makanan atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel-sel. Hepcidin akan menghambat ferroportin secara langsung, protein yang mentranspor zat besi ke luar sel tempat zat besi disimpan. Inflamasi, terutama dengan peningkatan IL-6 akan meningkatkan ekspresi hepcidin.

4.1.2 Manifestasi Oral

Manifestasi oral pada anemia et causa inflamasi biasanya muncul serupa atau sama dengan anemia defiensi Fe, di antaranya:

1. Mukosa oral pucat 2. Glossitis (Atrofi papila)

3. Glossodynia/ Burning Mouth Syndrome 4. Angular Cheilitis

4.2 Vitiligo 4.2.1 Definisi

(37)

Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit yang bersifat progresif dan familial yang ditandai oleh makula hipopigmentasi pada kulit yang asimtomatik akibat imunitas tubuh yang menyerang sel-sel melanosit.

4.2.2 Etiologi

Penyebab vitiligo yang pasti belum diketahui, diduga suatu penyakit herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.

Beberapa faktor pencetus terjadinya vitiligo antara lain: 1) Faktor mekanis

Pada 1070% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas,trauma fisik, dan kimiawi.

2) Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A

Pada 715% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpapar dalam waktu lama. 4) Faktor hormonal

Diduga vitiligo memburuk penggunaan kontrasepsi oral. 4.2.3 Manifestasi Klinis

Makula hipopigmentasi yang khas pada vitiligo berupa bercak putih seperti susu, berdiameter beberapa milimeter sampai sentimeter, berbentuk bulat, lonjong, ataupun tak beraturan, dan berbatas tegas. Selain hipopigmentasi tidak dijumpai kelainan lain pada kulit. Kadang-kadang rambut pada kulit yang terkena ikut menjadi putih. Pada lesi awal kehilangan pigmen tersebut hanya sebagian, tetapi makin lama seluruh pigmen

melanin hilang. Lesi vitiligo umumnya mempunyai distribusi yang khas (jari, lutut, siku), daerah tibia anteriordan umbilikus. Daerah utama genital, bibir, dan gusi.

Di samping itu dapat pula diklasifikasikan lesi vitiligo, antara lain:

1) Trichome vitiligo : vitiligo yang berwarna coklat, coklat muda dan putih. 2) Vitiligo inflamatoar: lesi dengan granulamatosa dan gatal.

3) Lesi linear.

Situs paling umum dari keterlibatan adalah wajah, leher dan kulit kepala. Keterlibatan mukosa agak sering terjadi di sekitar lubang tubuh seperti

(38)

bibir, alat kelamin, gingiva, areola dan puting. Keterlibatan intra-oral mukosa palatum juga ditemukan.

Area hipopigmentasi melanin pada kulit melanin

Palatum molle yang menunjukkan hipopigmentasi 4.2.4 Diagnosis Banding

Diagnosis banding lain akan mencakup tinea versicolor, pityriasis alba, hypopigmentosis pasca inflamasi dan mikosis fungoides hypopigmented.

(39)

BAB V PEMBAHASAN

(40)

DAFTAR PUSTAKA http://med.unhas.ac.id/index.php?

option=com_content&view=article&id=173:oftalmopati-graves-epidemiologi-klasifikasi-dan-penatalaksanan&catid=102&Itemid=48 ( diakses tanggal 28 oktober 2011).

http://www.healthscout.com/ency/68/489/main.html (diakses tanggal 28 oktober 2011)

www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_014_penyakit_gondok.pdf (diakses tanggal 28 oktober 2011)

ocw.usu.ac.id/.../kmb_slide_asuhan_keperawatan_pada_pasien_ganguan tiroid. (diakses tanggal 28 oktober 2011)

ebooks.google.co.id/books?isbn=9794484679 Nelson ilmu Kesehatan Anak pustaka.unpad.ac.id/wp-content/.../fungsi_dan_kelainan_kelenjar.pdf .

Gambar

FOTO THORAK AP Klinis :
Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Graves

Referensi

Dokumen terkait

Abu Ahmadi merumuskan bahwa metode demonstrasi adalah metode mengajar dimana guru atau orang lain yang sengaja diminta atau siswa sendiri memperhatikan pada

Rata - rata daya terima panelis terhadap kekentalan susu kedelai berbeda secara signifikan antara susu kedelai kontrol dengan susu kedelai yang terbuat dari perbandingan

Penelitian menunjukkan bahwa aroma, warna, dan rasa tempe dari enam varietas yang dicoba, sebelum dan setelah disimpan beku, me- menuhi standar yaitu dengan kriteria normal khas..

Kandungan amilosa mempengaruhi pola absorpsi airnya, beras dengan amilosa tinggi relatif lebih mudah menyerap air dibanding beras amilosa rendah pada suhu kurang

Cairan NaCl 0.9% merupakan cairan fisiologis yang efektif untuk perawatan luka dengan cara menjaga kelembaban, menjaga granulasi tetap kering, namun NaCl 09%

AKMAL Padang Kandis, 50 Kota, pada tanggal 10 Oktober SMKN 1 Kecamatan Guguak Teknik Mekanik

Dalam metode ini dilakukan pada Mahasiswa Brawijaya Fakultas Teknologi Pertanian dengan melakukan uji sensori terhadap tidak alergi terhadap susu, mau mengkonsumsi

Salah satu kelebihan metode derivatif numerik adalah data observasi dari akuisisi tidak perlu dikoreksi atau diubah untuk diperhalus (smoothing) untuk mendapatkan data