• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 4 Number 1 Article 7

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume 4 Number 1 Article 7"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Journal of Islamic Law Studies

Journal of Islamic Law Studies

Volume 4 Number 1 Article 7

May 2021

MENINJAU KEDUDUKAN PELAKU RIDDAH DAN HUKUMAN MATI

MENINJAU KEDUDUKAN PELAKU RIDDAH DAN HUKUMAN MATI

BAGI PELAKU RIDDAH BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN HAK

BAGI PELAKU RIDDAH BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN HAK

ASASI MANUSIA DALAM SUDUT PANDANG ISLAM

ASASI MANUSIA DALAM SUDUT PANDANG ISLAM

Muhammad Adiguna Bimasakti

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nadim Raouf

Universitas Indonesia

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jils

Part of the Islamic Studies Commons, and the Religion Law Commons

Recommended Citation Recommended Citation

Bimasakti, Muhammad Adiguna and Raouf, Nadim (2021) "MENINJAU KEDUDUKAN PELAKU RIDDAH DAN HUKUMAN MATI BAGI PELAKU RIDDAH BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SUDUT PANDANG ISLAM," Journal of Islamic Law Studies: Vol. 4 : No. 1 , Article 7.

(2)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

MENINJAU KEDUDUKAN PELAKU RIDDAH DAN

HUKUMAN MATI BAGI PELAKU RIDDAH BERDASARKAN

HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SUDUT

PANDANG ISLAM

(REVIEWING THE POSITION OF AN APOSTATE AND DEATH

PENALTY FOR APOSTASY BASED ON ISLAMIC SHARIA LAW

AND HUMAN RIGHTS IN ISLAMIC PERSPECTIVE)

Muhammad Adiguna Bimasakti, SH63 dan Nadim Raouf, SH64

Abstrak

Riddah merupakan tindakan berupa keluarnya seorang muslim dari agama Islam. Beberapa teks

hadits mengindikasikan bahwa bagi pelaku riddah ini mestilah dijatuhi hukuman mati. Selain itu pelaku riddah juga kehilangan beberapa haknya menurut Syariah Islam. Akan tetapi kita temukan beberapa asas kebebasan yang terdapat di dalam Alquran seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 256 yang menyatakan: “Tidak ada paksaan dalam agama”. Hal ini juga mengindikasikan bahwa kebebasan dalam beragama di dalam Islam merupakan sebuah jaminan, dan tidak dapat dipaksakan. Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi antara asas kebebasan beragama tersebut dengan pemidanaan / jarimah bagi pelaku riddah ditinjau dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM), terutama HAM berdasarkan “Deklarasi Kairo Tentang HAM dalam Islam” yang telah dideklarasikan di Kairo, Mesir pada tahun 1990.

Kata Kunci: Riddah, Hukuman Mati Bagi Murtad, HAM dalam Perspektif Islam. Abstract

Riddah is an act of apostasy in Islamic faith. Some texts of the hadits (sayings of The Prophet PBUH) indicate that the apostate shall be punished with death sentence. Beside, the apostate will also lose some of his/her rights according to Islamic Sharia. But there is also a principle of Freedom of Religion in quranic text as we read in Surah Albaqarah (chapter 2) verse 256 which says: “There is no compulsion in religion”. This also indicates that the Freedom of Religion in Islamic perspective is guaranteed, and cannot be taken. Thus this writing tries to elaborate the two which are the Freedom of Religion principle and Capital Punishment / Jarimah for apostasy from the perspective of Human Right especially from the “Cairo Declaration on Human Rights in Islam” which was declared in Cairo, Egypt in 1990.

Keywords: Apostasy, Death Penalty for an Apostate, Human Rights in Islamic Perspective

63 Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, email: [email protected]. 64 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, email: [email protected]

(3)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

PENDAHULUAN

Dalam sudut pandang Islam, Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna dengan akal yang dapat digunakan untuk memilah mana hal yang baik dan buruk. Sehingga telah menjadi fitrah manusia untuk menjadi makhluk yang berbudaya (Homo Sapiens). Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT berikut ini:

َورَهُاجُف ََ

ََ َ

فلأَهَمَها ََ ََ

َ

وتق َوَاه

Terjemah:

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. As-Syams: 8)

Sesungguhnya dalam sudut pandang Islam, agama yang diturunkan adalah satu, yakni agama yang mengajarkan keesaan Tuhan dan menyembahNya saja tanpa mempersekutukannya. Manusia selaku ciptaan Tuhan tentu tidak akan dibiarkan berada dalam kondisi ketidaktahuan. Oleh karena itu dalam pandangan Islam, Tuhan menurunkan pesan berupa wahyunya kepada para Nabi dan Rasul dengan tujuan untuk membimbing manusia kepada jalan Tuhan. Pesan dari Tuhan inilah yang disebut dengan diin atau agama. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasul SAW menyatakan setidaknya ada sekitar 124,000 (seratus dua puluh empat ribu) nabi yang Allah utus kepada manusia dan di antaranya ada sekitar 312 (tiga ratus dua belas) orang rasul. Ahmed Deedat seorang penceramah Internasional yang terkemuka di abad ke-20 mengatakan:

If God Almighty is not partial to His creatures with regard to material blessings like - fresh-air, rain, sunshine etc., why should He be partial in regard to His spiritual blessings (The Guidance of God)? He has not been partial! There is no nation or language group on earth who does not know God by some name. This knowledge was given by the Creator Himself through the lips of His chosen messengers. The names of a very few of these messengers we know, the rest have been lost or clouded in superstition.65 (Terjemah bebas Penulis:

Jika Tuhan Yang Maha Kuasa tidak parsial kepada makhluk-Nya dalam hal keberkahan material seperti dalam hal udara segar, hujan, sinar mentari dan sebagainya, mengapa Dia harus bersikap parsial dalam hal Keberkahan Spiritual-Nya (Petunjuk dari Tuhan)? Dia tidaklah parsial! Tidak ada bangsa atau kelompok bahasa manapun di dunia ini yang tidak mengenal Tuhan dalam berbagai nama. Pengetahuan tentang hal ini diberikan langsung oleh Sang Pencipta sendiri melalui lisan para Nabi pilihan-Nya. Nama-nama dari para Nabi tersebut sebagian kita ketahui, dan sebagian nama lagi telah hilang atau tersamarkan dalam takhayul.)

(4)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Berdasarkan sudut pandang Islam, Tuhan yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul tersebut adalah Tuhan yang sama, yakni Tuhan yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan hanya kepada Nya lah semua makhluk patutnya menyembah. Hal ini lah yang disebut dengan risalah. Setiap nabi dan rasul memiliki umat dan zaman masing-masing. Nabi Musa misalnya Allah utus ia AS kepada Bani Israil (Bangsa Israel) saja, begitu pula dengan Nabi Isa AS dan Yahya AS yang diutus oleh Allah kepada Bani Israil saja. Berbeda dengan semua nabi dan rasul, Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang dikirimkan kepada semua umat manusia hingga akhir zaman, dan merupakan penutup para nabi (khataman nabiyyiin). Berikut adalah Firman Allah SWT dalam Quran yang menyatakan hal tersebut:

َ َ َّ َ َ ََّ َّ ََّ َّ َ كافة للناسَبش يرا َونَذ يرا َولكن أكث َر لاناس َّلَي علُم َون َّلّ َوَما أ رَسلَنَاك Terjemah:

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.) QS. Sabaa: 28)

Selain itu menjadi seorang yang menyembah Tuhan yang Esa merupakan fitrah manusia. Sejak manusia berada di dalam kandungan ia telah mengadakan perjanjian dengan Tuhan untuk menerimaNya sebagai Rabb nya. Hal ini

sebagaimana tertera dalam Firman Allah SWT sebagai berikut:

ُ َ َ َ ُ ُ َ َ على أنفسهم م وأشهدَهُم َك من بني آدَم من ظهورهم ذّ ريَّتَه ََُّ وإذ أَخذ رب ٰ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ َ َ َُّ َّ ُ َ ُ َ ُ َ لاقيامة ي و م َ شَه د نَا ُت َ ع ن ك ن ا ن ا إ تَق ول وا أ ن َبلى قلاوا َ بربّ كم َلأس َ َ َ َ َ ٰ َ َ َ ٰ غَاف ل َين هَذا Terjemah:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A’raf: 172)

Hal ini mengindikasikan bahwa fitrah manusia dalam sudut pandang Islam adalah seorang muslim yakni orang yang berserah diri kepada kehendak Tuhan. Rasul SAW dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahkan pernah bersabda bahwa sesungguhnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), kemudian orang tua (lingkungan sosialisasi primer) lah yang menjadikannya nasrani, yahudi atau majusi (atau paham teologis lainnya). Oleh karena itu seseorang yang lahir dari keluarga muslim dan tidak pernah meninggalkan Islam selama hidupnya tidak perlu melakukan pengikraran syahadat sebagaimana dilakukan oleh para muallaf (orang yang masuk ke dalam Agama Islam kembali) karena ia telah menjalani fitrahnya sebagai muslim.

Berdasarkan pemahaman tersebut diketahui jika seorang manusia keluar dari Islam (berserah diri kepada kehendak Tuhan) maka ia disebut sebagai seorang

(5)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

karena itulah syariat mengenai seorang murtad atau pelaku riddah ini sudah ada sejak dahulu. Lebih lanjut hal ini akan dibahas dalam bahasan mengenai hukum

riddah. Penulis dalam hal ini mengambil topic mengenai riddah ini dalam rangka

melihat perbuatan riddah dalam sudut pandang kebebasan beragama dalam Islam serta mengenai hukuman mati bagi pelaku riddah dalam Islam ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia (HAM) terutama HAM yang dideklarasikan dalam Deklarasi Kairo Tentang HAM dalam Islam (Cairo Declaration on Human Rights in Islam) yang dideklarasikan pada tahun 1990 di Kairo, Mesir.

PEMBAHASAN

HAK ASASI MANUSIA DALAM SUDUT PANDANG BARAT DAN ISLAM, SERTA DEKLARASI KAIRO TENTANG HAM DALAM ISLAM

HAM Sudut Pandang Barat

Dalam sudut pandang barat, nilai-nilai yang lebih dimajukan dalam menilai suatu hak asasi manusia adalah nilai-nilai kemanusiaan (humanisme)66. Karena dunia barat memandang religiusitas tidak bisa digunakan sebagai tolak ukur dalam memandang suatu nilai baik dan buruk dari suatu tindakan atau suatu hak dan kewajiban sehingga mereka cenderung untuk sekuler. Sebagai contoh, Belanda sejak Tahun 1870 telah menghapuskan hukuman mati dari Wetboek van

Strafrecht (WvS / KUHP) nya, karena dianggap menyalahi perikemanusiaan.

Bahkan pada tahun 1983 menurut Prof Muladi KUHP Militer Belanda pun sudah tidak menganut hukuman mati lagi67. Lalu mengapa KUHP di Indonesia yang notabene masih menggunakan KUHP saduran Belanda, masih menganut hukuman mati? Sedikit menengok sejarah hukuman mati di Indonesia, menurut Christian Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat di Hindia Belanda) menyatakan bahwa nilai-nilai hukum adat dalam hukum di Hindia Belanda sangatlah penting68 oleh karena itu KUHP yang merupakan induk dari undang-undang pidana di Hindia Belanda mengakomodasikan nilai-nilai dari hukum adat yang masih hidup salah satunya mengenai hukuman mati (doodstraf). Maka pada Tahun 1915 atas Titah Raja (Koninklijk Besluit) No. 33 Tahun 1915 diperintahkan kepada Gouverneur Generaal op de Nederlandsch

Indie (Gubernur Jenderal Hindia Belanda) untuk memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (KUHP bagi Hindia Belanda) dengan

penyesuaian (Concordantie / Konkordansi) salah satunya pada Pasal 10 yakni menambahkan hukuman mati (doodstraf) sebagai pidana pokok69.

66Moh. Hamdi, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, An -Nawa, Jurnal

Hukum Islam, Vol XVI-Januari-Juni 2015 , hlm. 1.

67 https://www.suara.com/news/2017/12/19/130334/ri-pewaris-hukuman-mati-belanda-padahal-disana-sudah-dihapus diaksespada 6 Mei 2018 pukul 15.30 WIB.

68C. Van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, Leiden: Boekhandel en

Drukkerij Voorheen E. J. Brill, 1931, hlm. 1.

69Balai Poestaka, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Kitab Oendang-Oendang Hoekoeman), Batavia: Penerbit Balai Poestaka, 1921, Pasal 10.

(6)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Hukuman mati di Belanda dihapus dari WvS / KUHP pada tahun 1870 dengan alasan menyalahi perikemanusiaan padahal sebelumnya WvS / KUHP tersebut diambil dari prinsip-prinsip hukum Jermanik, Romawi, dan Gereja yang dahulu juga mengakomodasi hukuman mati, sebagaimana dijelaskan oleh L. J. Van Apeldoorn: “Het recht, dat zijn uit deze bronnen putten, was ontstaan uit de

vermenging van Romeinsche, Germaansche en Kerkelijke (Kanoniekrechtelijk) rechtsbeginselen”70. (Terjemah: Hukum yang mereka tarik itu bersumber dari percampuran prinsip-prinsip hukum Romawi, Jermanik, dan Gereja / Hukum Kanonik). Berdasarkan hal ini dapat diketahui adanya pergeseran sudut pandang barat atas hak asasi manusia dari sudut pandang religius (adposi hukum gerejawi) kepada sudut pandang humanis.

Secara umum, Hak Asasi Manusia dalam sudut pandang barat terbagi menjadi tiga generasi, yakni:

• Hak Asasi Manusia Generasi Pertama • Hak Asasi Manusia Generasi Kedua • Hak Asasi Manusia Generasi Ketiga

Hak Asasi Manusia Generasi Pertama merupakan hak-hak Sipil dan Politik. Hak untuk Hidup dan Kebebasan Beragama masuk dalam hak generasi pertama ini. Hak Asasi Manusia Generasi Kedua adalah hak-hak mengenai Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sedangkan Hak Asasi Manusia Generasi Ketiga adalah hak-hak atas Perdamaian dan Pembangunan.

Pada tanggal 10 Oktober 1948, Majelis Umum PBB mendeklarasikan sebuah Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian disebut dengan Universal

Declaration of Human Rights (UDHR) yang kemudian diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia menjadi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Deklarasi ini merupakan manifesto dari hak asasi dalam sudut pandang barat yang mengedepankan nilai humanisme. DUHAM ini merupakan pangkal dari lahirnya berbagai kovenan atau konvensi terkait dengan HAM di PBB, di antaranya seperti ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang mengatur mengenai Hak-hak Sipil dan Politik, serta ICESCR (International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights) yang mengatur Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya. Kesemua Kovenan, Konvensi dan/atau Deklarasi tersebut kemudian dikenal dengan Instrumen-Instrumen Hak Asasi Manusia.

HAM dalam Islam dan Deklarasi Kairo Tentang HAM dalam Islam

Dalam sudut pandang Islam, pemenuhan hak asasi merupakan tujuan dari hukum. Hal ini sebagaimana kemudian dirumuskan oleh para fuqaha (ahli fiqh) sebagai Maqashidus Syariah (Tujuan Syariah/Hukum Islam). Secara umum Islam menghendaki adanya keteraturan dalam hidup manusia dengan cara menjaga aspek-aspek utama dalam kehidupan manusia. Hal ini karena manusia merupakan makhluk yang dipilih langsung oleh Allah sebagai pengganti-Nya di muka bumi

70L. J. Van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van Het Nederlandsche Recht, Zwolle: W.

(7)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

untuk mengurus bumi beserta isinya. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut:

Terjemah:

Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’

Ayat ini menegaskan bahwa alam semesta ini ditundukkan untuk keperluan manusia. Oleh karena itu manusia lah yang bertanggung jawab menjaganya, serta melaksanakan hukum Allah di atas muka bumi.

Berdasarkan hal inilah Allah menetapkan syariat-Nya bagi umat manusia dengan menebarkan seluruh tanda-tandaNya di alam semesta yang berupa dalil-dalil Naqli maupun Aqli. Secara umum tujuan hukum berdasarkan ayat-ayat tersebut di atasmenurut Prof. Daud Ali adalah agar tercapai71:

1. Kebahagiaan hidup manusia di dunia; 2. Kebahagiaan hidup manusia di akhirat.

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa hukum bertujuan melindungi hak asasi manusia, yakni terdiri dari lima buah hal yang harus dilindungi/dipelihara yakni: Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta. Adapaun berdasarkan kedudukan manusia sebagai pengganti Allah di muka bumi (Khalifatullah Fil Ardh), maka tujuan dari syariah (hukum) tersebut adalah melindungi kelima hal tersebut sebagaimana menurut Abu Ishaq Al-Sathibi yang ia sebut sebagai Maqashidus Syariah (Tujuan Hukum) yakni72:

• Memelihara Agama; • Memelihara Jiwa; • Memelihara Akal: • Memelihara Keturunan; • Memelihara Harta.

71Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. Ke-16, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 61.

(8)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Kelima hal inilah yang menjadi tujuan hukum dalam sudut pandang hukum Islam, berdasarkan kedudukan manusia selaku khalifah, maka tujuan hukum pun dibuat untuk melindungi atau memelihara aspek-aspek dalam kehidupan manusia. Kelima tujuan hukum ini (Maqashidus Syariah) kemudian disepakati oleh para ahli sebagai tujuan hukum dalam sudut pandang Islam.

Sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW sebetulnya pengaturan mengenai hak-hak asasi manusia ini sudah ada, yakni melalui Konstitusi Madinah atau lebih dikenal dengan Piagam Madinah, yang mana menurut Prof. Jimly Asshidiqie merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia73. Dalam Piagam Madinah ini terutama Pasal 11 sampai Pasal 26. Hak Hidup diatur dalam Pasal 14, Hak Milik Pasal 20, Hak Berserikat Pasal 12 sampai 16, dan Hak keamanan pada Pasal 21-2374.

Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia dalam sudut pandang Islam lebih dikenal tercantum dalam Deklarasi Kairo Tetang Hak Asasi Manusia dalam Islam (Cairo Declaration on Human Rights in Islam) yang mana deklarasi ini mengambil nilai-nilai dari Alquran75. Akan tetapi sebetulnya jauh sebelum itu

sudah ada seorang ahli yang menjabarkan prinisp-prinsip Hak Asasi Manusia dalam Islam yakni seorang bernama Khalid M. Ishaque dalam tulisannya yang berjudul "Human Rights in Islamic Law" yang diterbitkan oleh Jurnal Review of

the International Commission on Jurists pada Juni 1974. Pada dasarnya menurut

Ishaque prinsip-prinsip HAM dalam Islam adalah mencakup hal-hal berikut76: • Hak Hidup

• Hak Memperoleh Keadilan • Hak Persamaan

• Hak dan Kewajiban Kepatuhan Hukum • Hak Kebebasan dan Perlindungan

• Hak Berbicara dan Menyatakan Kebenaran • Hak atas Kehormatan

• Hak Ekonomi; dan • Hak Milik

Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam yang dideklarasikan dalam Deklarasi Kairo pun sebetulnya tidak jauh berbeda dengan prinsip HAM menurut Ishaque, maupun menurut DUHAM. Lalu di manakah letak perbedaan prinsipil antara HAM dalam sudut pandang barat dan Islam sebagaimana digaungkan selama ini? Sebagaimana telah disebut sebelumnya perbedaannya terletak pada tolak ukur dalam menilai suatu hak asasi.

73 Syafnil Effendi, Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif Sejarah,

Humanus Vol. X, No. 1, Tahun 2011, hlm. 80.

74Thahir Ul-Qadri, The Constitution of Medina: 63 Constitutional Articles (PDF), London:

Minhajul Quran Publication, 2012, hlm. 7-9.

75Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2008, hlm. 240 76Khalid M. Ishaque, Human Rights in Islamic Law, Review of the International

(9)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Dalam sudut pandang barat, HAM merupakan sesuatu yang dianggap puncak dari perikemanusiaan sehingga yang menjadi tolak ukur adalah humanisme. Individualisme pun lebih dikedepankan dalam sudut pandang barat ketimbang kolektivisme. Sedangkan dalam sudut pandang Islam, HAM merupakan suatu karunia Tuhan (Allah SWT) oleh karenanya sumber dari HAM adalah hukum Allah (syariah) yang mana hukum ini bertujuan melindungi kepentingan manusia (lihat kembali penjelasan Maqashidus Syariah). Hal ini dapat dilihat dari Pasal Pertama dan Pasal Terakhir dari Deklarasi Kairo berikut:

Article 1.

(a) All human beings form one family whose members are united by their subordination to Allah and descent from Adam. All men are equal in terms of basic human dignity and basic obligations and responsibilities, without any discrimination on the basis of race, colour, language, belief, sex, religion, political affiliation, social status or other considerations. The true religion is the guarantee for enhancing such dignity along the path to human integrity.

(b) All human beings are Allah's subjects, and the most loved by Him are those who are most beneficial to His subjects, and no one has superiority over another except on the basis of piety and good deeds.

Terjemah:

Pasal 1

(a) Seluruh umat manusia berasal dari satu keluarga yang seluruh anggotanya bersatu dalam ketundukan pada Allah dan merupakan keturunan dari Adam. Seluruh manusia setara dalam hal kehormatan dasar dan kewajiban dasar serta tanggungjawabnya, tanpa diskriminasi berbasis ras, warna kulit, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, agama, afiliasi politik, status sosial atau hal lainnya. Agama yang benar adalah menjamin terlaksananya kehormatan tersebut di dalam jalan kepada integritas kemanusiaan.

(b) Seluruh umat manusia ADALAH MILIK ALLAH, dan yang paling dicintai-Nya adalah yang paling bermanfaat bagi makhluk-makhluk-dicintai-Nya, dan tak ada satupun superioritas atas kelompok lain kecuali berdasarkan keshalihan dan amal shalih.

Article 25

The Islamic Shari'ah is the only source of reference for the explanation or clarification of any of the articles of this Declaration.

Terjemah:

Pasal 25

Syariah Islam merupakan SATU-SATUNYA SUMBER RUJUKAN UNTUK PENJELASAN atau KLARIFIKASI pasal-pasal dalam Deklarasi ini.

(10)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Dalam Pasal 1 Deklarasi Kairo dengan jelas kita dapat melihat prinsip religiusitas yang terkandung di dalam Deklarasi tersebut yakni menyatakan bahwa seluruh manusia merupakan “Allah’s Subjects” yang tunduk pada-Nya. Artinya Islam menginterpretasikan Hak Asasi Manusia sebagai pemberian Tuhan (Allah SWT). Kemudian Pasal 25 menekankan kembali bahwa sumber dari penjelasan atas deklarasi kairo adalah Syariah Islam (bersumber dari Alquran dan Assunnah/Hadits). Inilah yang membedakan antara HAM dalam sudut pandang Islam dengan HAM dalam sudut pandang barat.

Definisi Riddah

Riddah secara etimologis atau lughawi dalam bahasa arab berarti kembali

ke belakang. Sedangkan secara terminologis kalimat riddah ini seringkali disandingkan dengan Murtad/Irtad yakni berarti secara istilah adalah perbuatan meninggalkan agama Islam. Sebetulnya konsep murtad atau keluarnya seseorang dari suatu agama tidak hanya terdapat dalam agama Islam saja, melainkan di hampir semua agama. Dalam agama Kristen dan Yahudi misalnya, pada Alkitab Perjanjian lama yakni tepatnya di dalam Kitab Imamat Pasal 24 ayat 16 dan Kitab Ulangan Pasal 13 ayat 5. Berikut adalah kutipannya:

Siapa yang menghujat nama TUHAN, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jemaah itu. Baik orang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama TUHAN, haruslah dihukum mati.77 (Imamat 24:16)

Nabi atau pemimpi itu haruslah dihukum mati, karena ia telah mengajak murtad terhadap TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir dan yang menebus engkau dari rumah perbudakan dengan maksud untuk menyesatkan engkau dari jalan yang diperintahkan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dijalani. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.78 (Ulangan 13: 5)

Dalam hal ini dapat kita lihat dalam agama Yahudi dan Nasrani berdasarkan teks Alkitab maka orang yang murtad haruslah dijatuhi hukuman mati dengan cara dirajam / dilempari batu sampai mati (Imamat 24: 16). Akan tetapi dalam teks Alkitab tersebut perbuatan murtad mestilah disertai dengan tindakan mengajak orang lain untuk murtad atau menghina Tuhan Allah (Adonai /

YHWH Elohainu) sehingga ia dapat dirajam. Jika tidak maka hukuman rajam

tidak berlaku baginya. Mengenai hukum Islam tentang Riddah/Murtad akan dibahas pada bagian selanjutnya.

77Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Terjemahan Baru, Jakarta: Percetakan LAI, 1997,

Imamat 24: 16.

(11)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Secara terminologis, riddah adalah tindakan keluarnya seorang muslim dari agama Islam. Hal ini juga seringkali disebutkan oleh Alquran sebagai murtad. Misalnya dalam QS. Al-Maidah: 54 ia disebut dengan yartadda minkum:

َ َّ َ َ ُ ُ َّ َ يايأُّها لاذَين آمنوا من ي رتدَّ منكم عن دين ه فسوف يأ تيَّللاُ بقوم يُبحُّهم ويُحُّبونَهُ أذلٍة على َ َ ُ ٍ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َك ََ ُف ضل َ َ َ ُ وَّل َ َّ َ مؤمنَين لومة َّلئم ذل يخَاف َون َلاكافرَين يُجاهَد ُون في س بيل َّللا أةعزٍ على لا ٍ َ َ َ َ َ َُوَّللا َ ُ واسٌع َعليم ُاء َّللا ي َُ ؤت يه من َيَش ٌ َ َ َ Terjemah:

Wahai orang-orang yang beriman. Barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-diberikan-Nya, dan Allah Maha Luas pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui. (Al-Maidah: 54)

Konsep riddah ini berarti adalah seseorang yang melakukan perbuatan keluar dari agama Islam. Pelaku Riddah tidak perlu melakukan ritual tertentu untuk keluar dari Islam. Ia cukup menyatakan tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya79. Akibat hukum dari riddah / murtad ini maka pelakunya akan diperlakukan sama dengan seorang kafir. Ia menjadi kehilangan hak-hak keperdataannya dalam Islam. Mengenai perkawinannya maka menurut sepakat ulama perkawinannya putus. Hak warisnya pun gugur dalam artian ia tidak berhak menjadi ahli waris dari keluarganya yang muslim dan sebaliknya keluarganya pun tidak berhak mewaris darinya80. Beberapa ulama juga berpendapat bahwa pelaku riddah ini harus dihukum mati berdasarkan huduud (Jarimah / Pemidanaan yang diatur langsung oleh Allah –Hak Allah), yang mana akan dibahas pada bagian berikutnya.

Kedudukan Seorang Murtad dalam Hukum Islam

Seperti telah disebut sebelumnya, seorang yang Murtad atau keluar dari agama Islam maka ia kehilangan hak-haknya dalam Islam, di antaranya hak dalam kewarisan dan keluarga. Hal ini karena memang keluarnya seseorang dari Agama Islam menyebabkan kedudukannya dalam Islam dipandang sebagai seorang yang Kafir karena tidak lagi mengimani hal-hal yang menjadi pondasi iman dalam Agama Islam. Oleh karena itu secara hukum pun ia dianggap kehilangan beberapa hak terutama hak keperdataan. Akan tetapi dalam tata hukum Islam di Indonesia hal tersebut tidak diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam – Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991).

79Arief Salleh Rosman, Murtad Menurut Perundangan Islam, Skudai: Univ. Teknologi

Malaysia, 2001, hlm. 7

80Zulfa Djoko Basuki, Perkawinan Antar Agama Dewasa ini di Indonesia, Ditinjau dari Segi Hukum Antar Tata Hukum, Jurnal Hukum dan Pembangunan FHUI (Vol. 17 No. 3, Juni

(12)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

a. Hak Waris

Seorang yang meninggal dan meninggalkan sejumlah harta, maka hartanya akan menjadi harta warisan. Orang yang memberikan warisan disebut dengan Pewaris, sedangkan yang menerima warisan disebut Ahli Waris. Setiap orang yang memang menjadi subjek dalam kewarisan meskipun masih berupa janin dalam kandungan berhak mewaris. Akan tetapi dalam hukum Islam terdapat beberapa pengecualian bagi golongan ahli waris yang mana karena sebab tertentu mereka menjadi tidak berhak mewaris, yakni:

- Karena membunuh Pewaris; - Karena memfitnah Pewaris;81

- Karena kafir (bukan seorang muslim). Ini tidak diatur dalam KHI tetapi ada dalam beberapa hadits shahih.

- Perbudakan, karena seorang budak adalah milik tuannya dan ia tidak berhak mewaris82.

Mengenai konteks hilangnya hak kewarisan karena murtad ini juga berlaku secara a contrario berdasarkan hadits berikut:

“Tidak mewaris seorang muslim kepada kafir dan tidak mewaris

seorang kafir kepada muslim” (HR. Bukhari)83

Berdasarkan hadits tersebut maka mayoritas imam madzhab berpendapat seorang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim, dan hal ini secara ekstensif juga berlaku bagi seorang murtad84.

b. Hukum Keluarga

Dalam hukum Islam, murtadnya seseorang juga berakibat hilangnya hak- hak seseorang dalam hukum keluarga. Di antaranya adalah hak untuk menjadi wali nikah, hak untuk mendapatkan nasab dari ayahnya yang muslim, serta murtadnya seseorang dapat dijadikan alasan untuk bercerai85.

Hak Hidup dan Kebebasan Beragama dalam Islam dalam Konteks Riddah

a. Hak Hidup dalam Islam dalam Konteks Pidana Mati bagi Riddah

Hak untuk hidup merupakan hak yang mutlak dalam diri manusia. Dalam sudut pandang Islam, seseorang tidak dapat dibunuh atau dijatuhi hukuman mati kecuali dengan sebab yang diperbolehkan syariah Islam yakni karena ia telah membunuh atau berbuat kerusakan di muka bumi. Hal ini sebagaimana diatur dalam QS. Al-Maidah ayat 32 berikut:

81Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, INPRES No. 1 Tahun 1991, Pasal 173. 82Lihat QS. An-Nahl : 75.

83Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Penerjemah: Masykur A.B.),

Jakarta: Lentera, 1996, hlm. 542.

84Ibid.

(13)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Terjemah:

Oleh karena itu telah Kami tetapkan kepada Bani Israil bahwasanya barangsiapa yang membunuh suatu jiwa bukan karena membunuh jiwa yang lain, atau karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan seperti ia telah membunuh seluruh manusia. Dan barangsiapa yang menghidupkan (memelihara) jiwa maka seakan seperti ia memelihara seluruh manusia. Dan sungguh telah Kami jadikan bagi mereka rasul-rasul dengan keterangan-keterangan yang jelas, kemudian sungguh banyak di antara mereka setelah itu membuat kerusakan di bumi. (Al-Maidah: 32).

Berdasarkan ayat tersebut jelas bahwa kebolehan untuk menghukum mati hanya berdasarkan dua sebab, yakni karena membunuh (sebagai qisas) atau karena melakukan kerusakan di muka bumi, seperti melakukan pemerkosaan, melakukan kerusuhan, dan lain sebagainya.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Hak Asasi Manusia menurut sudut pandang Islam, aspek religiusitas sangat dikedepankan. Artinya hak-hak tersebut merupakan karunia Tuhan dan hanya Tuhan melalui hukumnya yang berhak mencabutnya. Hal ini juga sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Deklarasi Kairo bahwa untuk menginterpretasikan atau mengklarifikasi hak-hak dalam deklarasi tersebut memerlukan Syariah sebagai tolak ukur. Islam memandang hukuman mati sebagai mekanisme hukuman pembalasan (Qisas atau

Lex Tallionis) sebagaimana juga diatur dalam Perjanjian Lama (an eye for an eye and a tooth for a tooth) apabila terkait kejahatan terhadap nyawa, serta sebagai hudud (ketetapan Allah) apabila terkait kejahatan berat lainnya (dalam

Al-Maidah: 32 disebut fasaadin fil ardh – berbuat kerusakan di bumi). Oleh karena itu dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menurut sudut pandang Islam, hak untuk hidup dibatasi oleh syariat. Berikut ini penjelasannya:\

• Qisas

Yang dimaksud qisas adalah hukuman berupa pembalasan dari korban atau ahli warisnya kepada pelaku tindak pidana yang terkategori pidana / jarimah qisas, yakni pidana terhadap fisik. Di antara pidana atau jarimah fisik dalam istilah awam dikenal dengan penganiayaan, pemukulan, pembunuhan dan sejenisnya. Mengenai

(14)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

pidana pembunuhan karena hukumannya adalah hukuman mati maka dikhususkan dengan adanya kompensasi yang disebut diyat (pengganti).

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam perspektif Islam, tujuan kedua dari hukum adalah menjaga jiwa manusia. Karena jiwa merupakan unsur pembentuk kehidupan yang tanpanya maka seseorang akan mati. Jiwa merupakan ruh yang ditiupkan Allah agar seorang manusia dapat hidup. Dialah yang memberikan jiwa dan Dialah yang berhak mengambilnya kembali dengan cara-cara yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Firman Allah SWT:

Terjemah:

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (QS. As-Sajdah: 9)

Oleh karena itu Allah melarang manusia saling membunuh satu sama lain dengan cara yang tidak dibenarkan:

Terjemah:

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Israa: 33)

Sebab itu hukuman Qisas (balasan) bagi pembunuhan dapat diganti dengan

Diyat (Dispensasi) sesuai dengan kesepakatan dengan ahli waris korban, atau

dimaafkan saja sesuai dengan kesepakatan dengan ahli waris korban. Hukuman qisas untuk pembunuhan ini bukanlah sesuatu yang baru. Dalam Perjanjian Lama pun hukum ini diberlakukan, yakni dalam Kitab Keluaran Pasal 21 ayat 23:

(15)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

“Tetapi jika kecelakaan itu membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa diganti nyawa.”86

Hukuman qisas ini sebetulnya lebih dikenal dengan sebutan Lex Tallionis yang berarti “Hukum Pembalasan”. Konsep dari Lex Tallionis ini adalah pembalasan setimpal atas derita fisik yang dialami korban pidana. Oleh karena itu kutipan yang terkenal tentang Lex Tallionis ini adalah berasal dari Kitab Keluaran Pasal 21 ayat 23 yakni “an eye for an eye and a tooth for a tooth” (Mata untuk mata dan gigi untuk gigi).

• Berbuat Kerusakan di Muka Bumi

Dalam syariat Islam terdapat beberapa kategori Hudud yang hukumannya adalah hukuman mati, yakni perzinaan yang muhson (salah satunya sudah menikah

- adultery), berbuat kerusuhan, perkosaan, menyebarkan kebatilan, termasuk nabi, dan pemberontakan. Jenis hukuman untuk masing-masing tindak pidana tersebut berbeda walaupun kategorinya sama-sama hukuman mati.

Untuk zina muhson bagi pelakunya yang sudah menikah maka akan dihukum dengan rajam87 (Kutukan) yakni dikubur setengah badan lalu dilempari batu oleh setiap orang yang lewat sampai mati. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Muslim88, Al-Bukhary, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai. Menurut Ijtihad ulama pemerkosaan juga diberlakukan hukuman rajam ini.

Untuk pidana lainnya yang tergolong berbuat kerusakan di bumi yang tergolong Hirabah89, seperti pemberontakan, atau berbuat kerusuhan (hirabah), atau mengaku nabi dan menyebarkan kebatilan maka pilihannya dapat dihukum

86Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Terjemahan Baru, Jakarta: Percetakan LAI, 1997,

Keluaran 21: 23.

87Darsul S. Puyu, Konsep Pidana Hudud Menurut Al-Quran: Suatu Kajian Tafsir Tematik,

Al-Daulah, Vol. 1, No. 1, Desember 2012, hlm. 142.

88Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-Nasyaburiy, Shahih Muslim, Jilid II, Bandung:

Dahlan, Tanpa Tahun, hlm. 48.

(16)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Salib dengan tangan dan/atau kaki dipotong secara bersilangan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

Terjemah:

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan berbuat kerusakan di bumi, adalah dengan membunuhnya, atau menyalibnya, atau memotong tangannya dan kakinya secara bersilangan, atau dibuang dari negeri. Itulah penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat adalah azab yang sangat besar. (QS. Al-Maidah: 33).

Berdasarkan penjabaran tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hak hidup dalam Islam hanya dapat dibatasi dengan Syariah atau Hukum Allah saja.

• Tidak ada Hudud Hukuman Mati bagi Riddah

Sebagaimana telah dijelaskan, dalam QS. Al Maidah: 32 dan 33 bahwa yang

patut dijatuhi hukuman mati hanyalah orang-orang yang membunuh, orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya (Hirabah), serta yang berbuat kerusakan di muka bumi. Lalu bagaimana dengan konteks Murtadnya seorang muslim? Apakah ia bisa dikenakan hukuman mati melalui jalur hukuman hudud ini? Lalu apa kategorinya?

Berdasarkan beberapa nas-nas atau dalil hadits yang terkemuka mengenai

riddah/murtad, di antaranya berbunyi sebagai berikut:

Terjemah:

Dari ‘Abd Allâh (ibn Mas’ud), Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak halal darah (tidak boleh dibunuh) seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga: jiwa dengan jiwa (hukum qishash karena membunuh), orang berzina yang sudah berumah tangga dan orang yang memisahkan diri dari agama dan meninggalkan jamaah. (HR.

(17)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Kalimat yang digunakan dalam hadits tersebut adalah Wal maariqu

minaddiini annaariku liljamaa’ah (memisahkan diri dari agama dan

meninggalkan jamaah). Konteks dalam hadits tersebut adalah seseorang yang meninggalkan agamanya (murtad) kemudian ia meninggalkan jamaah (berpihak kepada musuh). Sebenarnya banyak lagi hadits yang membahas hal tersebut akan tetapi karena tulisan ii tidak membahas hadits secara detail maka tidak akan dibahas di sini, serta hadits-hadits lain pun kurang lebih maknanya sama dengan hadits ini. Perbedaannya hanya terletak pada redaksi hadits saja, namun konteks dan isi / matan-nya kurang lebih sama. Dalam konteks hadits tersebut jelas dapat dihubungkan dengan QS. Al-Maidah ayat 33 di atas, yakni termasuk kedalam golongan Haribu atau Harbi yakni golongan kafir yang memerangi Allah dan Rasul-Nya.

Berdasarkan hadits tersebut dihubungkan dengan QS Al-Maidah: 33 maka yang dapat dihukum mati bukanlah karena ia keluar dari agama Islam namun karena ia meninggalkan jamaah dan berpaling serta memerangi Islam (menjadi Harbi). Sehingga dapat disimpulkan dalam hal ini hudud berupa hukuman mati atau salib diberlakukan bukan karena ia melakukan riddah semata tetapi juga karena ia memerangi Islam setelah murtad. Hal ini sejalan dengan hukum murtad dalam Perjanjian Lama sebagaimana telah disebut di muka yakni pada Kitab Imamat Pasal 24 ayat 16 dan Kitab Ulangan Pasal 13 ayat 5. Berikut adalah kutipannya:

Siapa yang menghujat nama TUHAN, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jemaah itu. Baik orang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama TUHAN, haruslah dihukum mati.90 (Imamat 24:16)

Nabi atau pemimpi itu haruslah dihukum mati, karena ia telah mengajak murtad terhadap TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir dan yang menebus engkau dari rumah perbudakan dengan maksud untuk menyesatkan engkau dari jalan yang diperintahkan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dijalani. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.91 (Ulangan 13: 5) Dalam hal ini dapat kita lihat dalam agama Yahudi dan Nasrani berdasarkan teks Alkitab maka orang yang murtad haruslah dijatuhi hukuman mati dengan cara dirajam / dilempari batu sampai mati (Imamat 24: 16). Akan tetapi dalam teks Alkitab tersebut perbuatan murtad mestilah disertai dengan tindakan mengajak orang lain untuk murtad atau menghina Tuhan Allah (Adonai / YHWH Elohainu) sehingga ia dapat dirajam. Jika tidak maka hukuman rajam tidak berlaku baginya.

b. Kebebasan Beragama dalam Islam dan Perbuatan Riddah

90Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Terjemahan Baru, Jakarta: Percetakan LAI, 1997,

Imamat 24: 16.

(18)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Sebagaimana telah disinggung pada bahasan sebelumnya, Islam menghargai hak atas kepercayaan. Dalam konteks HAM kontemporer, dari sudut pandang Islam, hal ini dapat dilihat dalam Deklarasi Kairo sebagaimana telah dijabarkan di atas. Mengenai kebebasan dalam beragama hal ini diatur dalam Pasal 10 Deklarasi Kairo sebagai berikut:

Article 10

Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to another religion or to atheism.

Terjemah:

Pasal 10

Islam adalah agama fitrah yang tidak tercemar. Sangat terlarang untuk melakukan bentuk-bentuk tekanan apapun kepada seseorang, atau memanfaatkan kemiskinannya, atau kebodohannya untuk memaksanya mengganti agamanya kepada agama lain atau kepada atheisme.

Berdasarkan Pasal 10 Deklarasi Kairo tersebut maka jelas anggota Negara-Negara Islam yang telah menandatanganinya mengakui kebebasan beragama dalam konteks Islam. Oleh karena itu seseorang juga berhak untuk keluar dari agama Islam. Mengenai keyakinannya maka itu merupakan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Tuhan. Lalu bagaimana nas-nas (dalil tertulis) memandang kebebasan beragama (dan berkeyakinan)?

(19)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Pandangan Quran terhadap hal ini jelas tergambar dalam Surat Al-Baqarah ayat 256 dan 257, yakni tidak ada paksaan dalam agama, karena telah jelas antara yang benar dan yang salah. Berikut adalah firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 dan 257:

Terjemah:

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut92 dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah Tagut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 256 dan 257).

92Thagut (Tagut) dalam Bahasa Arab berasal dari kata “Thaga” yang artinya “melampaui

batas”. Dalam konteks ini berarti melampaui batas yang diberikan Allah yakni untuk tidak Syirik / menyekutukan Allah. Oleh karena itu Thagut sebagai kata benda dapat diartikan Setan atau Segala sesuatu yang disembah selain Allah.

(20)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Dalam ayat tersebut jelas Al-Quran menegaskan bahwa Tidak Ada Paksaan dalam Agama (Islam). Oleh karena itu tiap manusia diberikan kebebasan oleh Allah untuk memilih untuk beriman atau kafir. Akan tetapi juga harus diingat ayat tersebut mengandung sebuah paradoks universal yakni seseorang bebas memilih akan tetapi ia tidak bebas dari konsekuensi atas pilihannya93. QS Al-Baqarah ayat 256 ini mengingatkan bahwa Allah SWT telah memberikan petunjuk tentang yang baik dan yang buruk oleh karenanya manusia diberikan kebebasan memilih jalan yang baik atau yang buruk dengan catatan dalam ayat 257 apabila manusia memilih jalan keburukan maka ia akan masuk kepada kegelapan dan neraka adalah tempatnya yang kekal. Inilah konsep kebebasan beragama dalam Islam.

Mengenai konteks Riddah, maka hal ini pun dapat diterapkan. Seorang muslim dapat murtad dari Agama Islam, karena Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberi peringatan tentang jalan yang baik dan buruk. Dengan catatan bahwa Allah SWT telah menjanjikan neraka yang kekal baginya. Akan tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, penulis tidak menemukan dalil yang serta merta dapat menghukum mati seorang pelaku riddah kecuali perbuatan tersebut disertai dengan perbuatan memusuhi Islam atau ia mempropagandakan kemurtadannya (mengajak orang lain untuk murtad). Hal ini dipertegas kembali oleh Allah SWT dalam QS. Yunus ayat 99, yang mana Allah SWT menyatakan Dia dapat saja menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat, namun tidak melakukannya. Lalu mengapa manusia hendak memaksakannya? Berikut adalah firman Allah dalam QS Yunus ayat 99:

Terjemah:

Jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang di muka bumi semuanya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang yang beriman semuanya? (QS. Yunus: 99). Ijtihad Ulama Kontemporer Mengenai Hukuman Mati Terhadap Riddah

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai dua fatwa dari dua orang ulama, yakni Yusuf Qaradhawy94 dari Mesir dan Jamal Badawy dari Kanada. Keduanya merupakan ulama yang terkenal moderat di bidang fiqh. Yusuf Qaradhawy merupakan ulama yang terkenal dengan fatwanya yang menggebrak seperti

93 Redaksi yang beredar di masyarakat dalam Bahasa Inggris adalah: “You are free to choose, but you are not free from the consequences of your choice.”

94Dalam literatur namanya biasa disebut Yusuf Al-Qaradawi, namun Penulis lebih suka

(21)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

mengenai Zakat Profesi yang juga ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Fiqih Zakat yang mana ia menyatakan bagi setiap profesi diwajibkan zakat dengan beban khusus95. Sedangkan Jamal Badawy dikenal sebagai keturunan mesir yang merupakan seorang ahli ekonomi yang juga seorang ulama kontemporer yang berkecimpung di dunia dakwah di Kanada dan merupakan anggota dari Fiqh

Council of North America (FCNA)96 dan beberapa organisasi Islam lain yang

berbasis dakwah atau fiqh di Benua Amerika.

a. Pendapat Yusuf Qaradhawy

Pada tahun 1996, Syaikh Yusuf Qaradhawy mempublikasikan sebuah tulisan yang membahas secara spesifik mengenai Riddah yang diberi judul: “Jarimat arriddah wa ‘uqubat al-murtad fi daw ‘al-quran wassunnah” (Pidana bagi Riddah dan Akibat Murtad dalam Tinjauan Quran dan Assunnah) yang dipublikasi di Kairo, Mesir.

Dalam karyanya tersebut ia mengulas dalil-dalil yang diberikan dalam Al-Quran maupun dalam hadits-hadits yang membahas mengenai riddah sebagaimana pula telah Penulis berikan di muka. Dalam beberapa tulisan yang mengutip buku kecil tersebut, didapati penjelasan mengenai pendapat Qaradhawy yang menyatakan bahwa tidak ada hukuman mati dalam hudud bagi pelaku riddah kecuali jika dibarengi dengan tindakan permusuhan kepada umat Islam. Ia juga membedakan antara murtad ringan dan murtad berat.

Dalam lain kesempatan ia juga menulis artikel di http://islamonline.net yang mana ia menyatakan bahwa terdapat pula yang dikatakan sebagai

“Intellectual Apostacy”97 yakni ketika seorang muslim menentang umat Islam

sendiri dan mendukung perang terhadap sesama muslim. Secara umum ia berpendapat bahwa terhadap murtad atau riddah tidak terdapat hukuman mati. Ia berkesimpulan jika seorang murtad dapat dijatuhi hukuman mati apabila ia menjadi seorang kafir harbi yang memusuhi Islam. Kesimpulan ini didapatkan dari analisa mengenai teks-teks dalam Al-Quran dan Hadits yang menyatakan bahwa hanya seorang murtad yang melawan Islam dan mempropagandakan kemurtadannya saja yang dapat dihukum mati. Apa yang dilakukannya adalah tanggungjawabnya di hadapan Tuhan. Tetapi ia dapat dihukum mati jika ia menyampaikan kepada publik tentang pendapat buruknya tentang Islam (Kemurtadannya) yang dapat menimbulkan fitnah di kalangan umat Islam.

b. Pendapat Jamal Badawy

Jamal Badawy menulis sebuah artikel dalam web http://fiqhcouncil.org mengenai hukum bagi seorang murtad. Dalam artikel tersebut ia menjelaskan

95Yusuf Al-Qaradhawy, Hukum Zakat, diterjemahkan oleh Salman Harun et.al., Bogor:

Pustaka Litera Antarnusa, 2011, hlm. 71.

96 Tulisannya banyak dimuat di laman http://www.fiqhcouncil.org

97 http://islamonline.net/English/contemporary/2006/04/article01c.shtml- diaksespada 5 Mei 2018 Pukul 20.00 WIB.

(22)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

bahwa tidak ada satupun ayat Al-Quran maupun teks Hadits yang menyatakan bahwa seorang murtad dapat serta merta dijatuhi hukuman mati karena kemurtadannya. Ia menyatakan bahwa:

1. The preponderance of evidence from both the Qur’an and Sunnah indicates that there is no firm ground for the claim that apostasy is in itself a mandatory fixed punishment [Hadd], namely capital punishment.

2. References to early capital punishment for apostasy were not due to apostasy itself but the other capital crime [s] that was coupled with it.

3. In the context of the besieged early Muslim community, apostasy was a major threat to the nascent Muslim community. Taking a passive attitude towards it would have jeopardized the very emergence of the Muslim community. This may be one reason why the consensus of scholars is that apostasy is an offense [in the context of an Islamic society]. However, there wide divergence of views about its suitable punishment.98

Terjemah:

1. Banyak bukti dari Quran dan Sunnah yang mengindikasikan bahwa tidak ada satupun dasar untuk klaim bahwa murtad harus dihukum dengan hukuman hudud berupa hukuman mati.

2. Referensi awal mengenai hukuman mati bagi murtad bukanlah untuk kemurtadan itu sendiri melainkan untuk pidana berat lain yang berbarengan dengannya (dalam hal ini harbi/memusuhi Islam).

3. Dalam konteks Umat Muslim generasi awal, Riddah / Murtad merupakan ancaman besar bagi Umat Muslim. Mengambil sikap pasif terhadapnya akan berakibat terulangnya perilaku tersebut dan membahayakan Umat Islam. Ini merupakan salah satu alasan mengapa consensus ulama pada masa itu adalah murtad adalah merupakan fitnah (dalam konteks umat Islam). Bagaimanapun, terdapat divergensi pandangan berbeda mengenai pidana yang cocok bagi riddah.

Berdasarkan pendapat kedua ulama kontemporer tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil-dalil mengenai hukuman mati bagi pelaku riddah hanya diberlakukan jika pelakunya melakukan propaganda kemurtadan ataupun melawan Islam (menjadi Harbi).

PENUTUP

Islam merupakan agama rahmatan lil ‘aalamiin (rahmat bagi semesta alam). Oleh karena itu Islam mengajarkan kasih saying yang tidak parsial, karena

(23)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Tuhan tidak bersifat parsial. Akan tetapi setiap tindakan pasti memiliki konsekuensi sebagaimana berlakunya kaidah paradoks universal: “You are free to

choose, but you are not free from the consequences of your choice.” (Anda bebas

memilih tetapi anda tidak bebas dari akibat-akibat atas pilihan anda). Begitu pula dalam hal kebebasan beragama dalam konsep Islam. Allah SWT membebaskan makhluknya dalam memilih pilihannya. Akan tetapi Allah SWT juga memperingatkan konsekuensinya jika manusia mengambil jalan yang salah.

Kemurtadan merupakan pilihan. Ketika manusia diberikan keleluasaan untuk memilih jalan yang baik atau yang buruk, maka pilihan menjadi titik tolak penilaian, yakni sejauh apa manusia dapat menerima kebenaran. Oleh karena itu selama manusia tidak memusuhi Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada alasan bagi manusia lain untuk memusuhinya. Kali ini Penulis akan mengambil kesimpulan dengan mengutip kembali pendapat dari Jamal Badawy di atas yang telah Penulis terjemahkan sendiri:

1. Banyak bukti dari Quran dan Sunnah yang mengindikasikan bahwa tidak ada satupun dasar untuk klaim bahwa murtad harus dihukum dengan hukuman hudud berupa hukuman mati.

2. Referensi awal mengenai hukuman mati bagi murtad bukanlah untuk kemurtadan itu sendiri melainkan untuk pidana berat lain yang berbarengan dengannya (dalam hal ini harbi/memusuhi Islam).

3. Dalam konteks Umat Muslim generasi awal, Riddah / Murtad merupakan ancaman besar bagi Umat Muslim. Mengambil sikap pasif terhadapnya akan berakibat terulangnya perilaku tersebut dan membahayakan Umat Islam. Ini merupakan salah satu alasan mengapa consensus ulama pada masa itu adalah murtad adalah merupakan fitnah (dalam konteks umat Islam). Bagaimanapun, terdapat divergensi pandangan berbeda mengenai pidana yang cocok bagi riddah.

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia, Cet. Ke-16. Jakarta: Rajawali Press, 2011.

Al-Nasyaburiy, Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi. Shahih Muslim, Jilid II.

Bandung: Dahlan, Tanpa Tahun.

Apeldoorn, L. J. Van. Inleiding tot de Studie van Het Nederlandsche Recht. Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink, 1937.

Balai Poestaka, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Kitab

Oendang-Oendang Hoekoeman). Batavia: Penerbit Balai Poestaka, 1921.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2008. Deedat,Ahmed. What is His Name?. Durban: Islamic Propagation Center

International, 1986.

Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Terjemahan Baru, Jakarta: Percetakan LAI, 1997.

(24)

Journal of Islamic Law Studies (JILS) Vol 4 No. 1 (2020)

Mei 2019 Edisi 9

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Madzhab. (Penerjemah: Masykur A.B.). Jakarta: Lentera, 1996.

Qaradhawy, Yusuf. Hukum Zakat. diterjemahkan oleh Salman Harun et.al.. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2011.

Rosman, Arief Salleh. Murtad Menurut Perundangan Islam. Skudai: Univ. Teknologi Malaysia, 2001.

Ul-Qadri, Thahir. The Constitution of Medina: 63 Constitutional Articles (PDF). London: Minhajul Quran Publikation, 2012.

Vollenhoven, C. Van. Het Adatrecht van Nederlandsch Indie. Leiden: Boekhandel en Drukkerij Voorheen E. J. Brill, 1931.

ARTIKEL JURNAL

Basuki, Zulfa Djoko. Perkawinan Antar Agama Dewasa ini di Indonesia, Ditinjau

dari Segi Hukum Antar Tata Hukum. Jurnal Hukum dan Pembangunan FHUI,

Vol. 17 No. 3, Juni 1987.

Effendi, Syafnil. Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif

Sejarah. Humanus Vol. X, No. 1, Tahun 2011.

Hamdi, Moh. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Islam. An -Nawa, Jurnal Hukum Islam, Vol XVI-Januari-Juni 2015.

Ishaque, Khalid M. Human Rights in Islamic Law. Review of the International Commission on Jurists 12, 1974.

Puyu, Darsul S. Konsep Pidana Hudud Menurut Al-Quran: Suatu Kajian Tafsir

Tematik. Al-Daulah, Vol. 1, No. 1, Desember 2012.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Kompilasi Hukum Islam. INPRES No. 1 Tahun 1991.

INTERNET

https://www.suara.com/news/2017/12/19/130334/ri-pewaris-hukuman-mati- belanda-padahal-disana-sudah-dihapus diakses pada 6 Mei 2018 pukul 15.30 WIB.

http://www.fiqhcouncil.org/node/34 diakses pada 5 Mei 2018 Pukul 21.00 WIB. http://islamonline.net/English/contemporary/2006/04/article01c.shtml- diakses

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Nuraeni dkk (2014) menyebutkan bahwa intervensi konseling dan pendampingan suami mempunyai peluang 7 kali lebih besar untuk memberikan kolostrum pada bayinya

Kita dapat mengubah atau melakukan konversi satuan dalam suatu sistem satuan tertentu menjadi sistem satuan lain, misalnya dari Sistem Inggris menjadi Sistem Internasional

Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dari hasil pengolahan dan analisis data dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Kinerja Manajerial Kepala Sekolah dan Pemanfaatan

Pembentukan lembaga pengelola TPST Daur Ulang Sampah Anorganik Pelatihan bagi pengelola TPST Daur Ulang Sampah Anorganik Pembangunan TPST Unit Daur Ulang (3R), Sampah

Ketentuan Mengenai Sanksi Pidana Di Dalam Peraturan Daerah Provinsi Jambi Tentang Pajak Daerah Berpengaruh Terhadap Kepatuhan Hukum Masyarakat Dalam Membayar Pajak

Sistem yang dibangun adalah sistem informasi inventory obat yang mampu mengolah data persediaan stok obat, pengecekan, pemesanan dan pembuatan laporan secara

→ Bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru melemparkan beberapa pertanyaan kepada siswa berkaitan dengan materi Gerakan kaki gaya dada yang akan selesai dipelajari

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif, dengan pendekatan deskriptif, yaitu dimana data yang dikumpulkan berupa kata- kata