• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian tentang pemertahanan bahasa sudah banyak dilakukan oleh para ahli sosiolinguistik dengan beragam isu-isu yang terjadi. Dengan demikian, ada beberapa studi yang diacu sebagai kajian pustaka untuk kepentingan penelitian tentang pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar. Untuk itu, penulis akan rujuk beberapa referensi yang berkaitan dengan penelitian ini sebagai berikut.

Tulisan yang berjudul ”Tingkat Tutur Bahasa Jawa di Diponggo: Menuju ke Kepunahan” (Sariono, 2002: 195) menguraikan penelitian tentang pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa ibarat dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan hasil kolektif dari pemilihan bahasa (language choice). Selanjutnya, dikemukakan bahwa pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa adalah

”Language shift simply means that a community gives up a language completely in favour of another one. The members of the community, when the shift has taken place, have collectivelly chosen anew language where and old one used to be used in language maintenance, the community collectivelly decides to continue using the language in domains formely shift in progress. If the member of speech community are monolingual and are not collectively acquiring another language, then they are obvisiously maintaining their language use pattern...

(Fasold,1985:213)”(http:/www.id.shvoong.com/social-ciences/1798573-pemertahanan bahasa-ibu.

Uraian tersebut secara sederhana dapat dikatakan bahwa pergeseran bahasa itu terjadi manakala masyarakat memilih suatu bahasa baru untuk mengganti bahasa

(2)

sebelumnya. Dengan kata lain, pergeseran bahasa itu terjadi karena masyarakat bahasa tertentu beralih ke bahasa lain, biasanya bahasa domain dan berprestise, lalu digunakan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa yang lama. Pemertahanan bahasa adalah masyarakat bahasa tetap menggunakan bahasanya secara kolektif atau secara bersama-sama dalam ranah-ranah pemakaian tradisional.

Dalam konteks penelitian dengan kajian di atas, dan faktor penunjang serta penghambat pemertahanan bahasa ada persamaan seperti adanya pilihan bahasa bagi masyarakat pemakainya. Perbedaannya, objek kajian di atas adalah kepunahan bahasa sedangkan dalam tulisan ini objek kajiannya adalah pemertahanan bahasa. Relevansinya dengan penelitian ini adalah hasil pemaparan tersebut menambah wawasan penulis untuk mendapatkan konsep dalam memahami upaya-upaya, faktor-faktor serta dampak yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

Makalah berjudul ”Pergeseran Bahasa Dayak di Kota Palangkaraya” (Kurniati, 2007: 73) menyebutkan bahwa salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap mentransmisikan bahasanya dari generasi ke generasi. Relevansinya dengan penelitian ini adalah loyalitas masyarakat dan pemertahanan bahasa sama-sama merupakan suatu upaya. Manfaat dari tulisan tersebut terhadap penilitian ini menambah wawasan penulis dalam memahami faktor penunjang pemertahanan bahasa Bali.

Disertasi Sumarsono (1990: 27) yang berjudul Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali, menguraikan bahwa konsentrasi wilayah permukiman adalah salah satu faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa. Konsentrasi wilayah

(3)

permukiman merupakan faktor penting dibandingkan dengan jumlah penduduk yang besar. Kelompok yang kecil jumlahnya pun dapat lebih kuat mempertahankan bahasanya, jika konsentrasi wilayah permukiman dapat dipertahankan, sehingga terdapat keterpisahan secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya.

Persamaannya, konteks penelitian dengan kajian di atas sama-sama ada upaya pemertahannan sedangkan perbedaannya, terletak pada unsur sosial pemertahanan bahasa. Relevansinya dengan penelitian ini bahwa uraian tersebut memberi inspirasi dalam menentukan faktor penunjang dan penghambat pemertahanan bahasa Bali serta sebagai wawasan penulis dalam membahas masalah nomer dua yang tersaji pada halaman empat di depan.

Selain itu, faktor yang dapat mendukung pemertahanan bahasa adalah digunakannya bahasa itu sebagai bahasa penghantar di sekolah-sekolah, dalam penerbitan buku-buku agama, dan dijadikannya sebagai bahasa penghantar dalam upacara-upacara keagamaan. Secara garis besar uraian di atas menjelaskan tentang faktor-faktor penunjang pemertahanan bahasa di antaranya loyalitas, faktor konsentrasi permukiman, digunakan sebagai bahasa penghantar dalam pendidikan maupun dalam upacara keagamaan. Relevansinya adalah konteks penelitian dengan kajian di atas sama-sama menekankan upaya yang dilakukan dalam usaha pemertahanan bahasa. Pemaparan di atas memberikan gambaran tentang upaya pemertahanan bahasa Bali dan juga sebagai inspirasi bagi penulis untuk membahas masalah nomer 3 yang tersaji pada halaman 4 di depan.

Selanjutnya Gal dalam Lukman (2000: 88), melalui makalahnya yang berjudul ”Pemertahanan Bahasa Warga Transmigran Jawa di Wonomulyo-Polmas Serta Hubungan Dengan Kedwibahasaan dan Faktor-Faktor Sosial”, memaparkan bahwa

(4)

masyarakat dwibahasawan di Obertwart telah terjadi dalam waktu yang lama tetapi menjelang abad ke–19 sebagian besar petani di Obertwart merupakan masyarakat dwibahasawan. Sejak abad tersebut di atas, Obertwart yang mulanya merupakan desa pertanian berubah menjadi sebuah kota dengan keanekaragaman sosial budayanya. Pada awalnya bahasa Hongaria dan bahasa Jerman sejajar dan kedua bahasa itu memiliki prestise yang tinggi bagi pendukungnya masing-masing. Namun, lama-kelamaan prestise bahasa Hongaria sebagai penduduk asli Obertwart bergeser ke bahasa Jerman, karena pengaruh dari kelompok pendatang yang lebih kuat, sehingga bahasa Hongaria yang semula memiliki prestise tinggi akhirnya tidak mampu bertahan menghadapi pengaruh bahasa Jerman. Akibatnya, sebagian besar penduduk Obertwart tidak mewariskan bahasa yang sebelumnya berstatus tinggi ke generasi berikutnya. Intinya uraian di atas menegaskan bahwa pada dasarnya bahasa ”daerah” merupakan bahasa yang berprestise, namun karena adanya perkembangan sosial budaya seperti ledakan penduduk karena faktor urbanisasi atau imigrasi menyebabkan terjadinya perubahan (pergeseran atau kepunahan) bahasa (http:/www.id.shvoong.com/social-sciences/1798573-pemertahanan bahasa-ibu.

Persamaannya adalah sama-sama mengkaji tentang unsur budaya lokal (bahasa daerah). Perbedaannya adalah kajian di atas mengkaji pergeseran atau kepunahan bahasa sedangkan, tulisan ini mengkaji pemertahanan bahasa. Relevansinya dengan penelitian ini mempertajam wawasan penulis dalam memahami faktor penunjang dan penghambat serta dampak pemertahanan bahasa Bali. Uraian tersebut sebagai inspirasi penulis untuk membahas masalah 2 dan 3.

(5)

Makalah berjudul Eksistensi Penggunaan Bahasa Bali sebagai Bentuk Pemertahanan Bahasa Bali di Daerah Pariwisata (2004), karya Budiarsa diterbitkan oleh Universitas Udayana. Budiarsa dalam tulisan tersebut memaparkan bahwa penggunaan bahasa sangat terkait dengan nilai-nilai sosial budaya dari suatu masyarakat tutur tempat bahasa itu digunakan. Uraian tersebut mengetengahkan bahwa bentuk dan pemilihan bahasa ditentukan oleh konteks situasi pertuturan. Persamaanya adalah unsur objek kajiannya sama-sama bahasa Bali. Perbedaannya dalam konteks penelitian ini unsur sosialnya adalah budaya global, sedangkan dalam kajian di atas unsur sosialnya adalah budaya lokal. Relevansinya sebagai sumber inspirasi dalam memahami konsep penggunaan bahasa Bali kecuali itu, melalui inspirasi tersebut menjadi pijakan bagi penulis untuk membahas masalah dampak dan makna pemertahanan bahasa Bali.

Terpilihnya tulisan tersebut di atas sebagai kajian pustaka dalam penelitian ini berdasarkan alasan masih adanya kedekatan (relevan) antara objek tulisan tersebut dengan objek penelitian ini. Relevansi antara keduanya dapat menunjang dan mengarahkan analisis pada uraian selanjutnya. Penulis berharap materi uraian dalam kajian tersebut dapat memberi kontribusi sebagai rujukan, dukungan penguat pendapat dan pengayaan terhadap penelitian yang akan dilaksanakan. Beberapa uraian di atas ada kesamaan objek penelitian dengan tulisan ini namun, yang membedakan adalah lokasinya yaitu Kota Denpasar. Penulis berupaya mengembangkan penelitian dan kajian sebelumnya melalui penelitian ini.

(6)

2.2 Konsep

Koentjaraningrat (1994: 21) mengatakan bahwa konsep adalah unsur pokok dari suatu penelitian sebab melalui konsep akan diperoleh batasan pengertian yang lebih jelas. Konsep juga merupakan sekelompok fakta atau gejala dari apa yang diamati dalam penelitian. Ia merupakan pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret dalam menggambarkan keadaan individu, kelompok dan masyarakat yang menjadi objek perhatian. Konsep menurut Barker (2005: 5) adalah alat untuk bertindak di dunia ini, dan bagaimana ia digunakan itulah maknanya. Dalam penelitian ini dirumuskan dua satuan konsep yang menjadi kunci dalam tulisan ini yaitu (1) pemertahanan bahasa Bali dan (2) masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

2.2.1 Pemertahanan Bahasa Bali.

Dalam memaparkan konsep pemertahanan bahasa Bali, akan dijelaskan menurut unsur-unsur dalam konsep tersebut yaitu pemertahanan, bahasa Bali, pemertahanan bahasa Bali.

Kata pemertahanan secara morfologis diuraikan mengacu kepada pendapat Chaer (2008: 9), yang mengatakan bahwa ada empat model atau teknik dalam menganalisis satuan-satuan morfologi di antaranya analisis berdasarkan unsur bawahan langsung artinya menguraikan satuan-satuan morfologi dengan memperhatikan makna dari bentuk bahasa yang diuraikan. Bertitik tolak dari uraian tersebut, bentuk pemertahanan unsur langsungnya pertahanan mendapat awalan pe- yang berarti ‘kemampuan melakukan upaya-upaya’ Bentuk pertahanan unsur langsungnya tahan mendapat konfiks per-an yakni sesuatu yang tetap digunakan. Pertemuan antara bentuk unsur langsung

(7)

pertahanan dengan imbuhannya menjadi kata pepertahanan. Huruf p yang terdapat pada unsur langsung pertahanan mengalami proses morfologi yakni berubah bunyi menjadi m. Dengan demikian bentuk pepertahanan menjadi pemertahanan yang dikonsepkan sebagai kemampuan untuk melakukan upaya-upaya terhadap sesuatu dalam konteks ini bahasa Bali agar tetap digunakan.

Trask (1997: 126), mengungkapkan pemertahanan bahasa merupakan penggunaan sebuah bahasa secara kontinu oleh penuturnya, khususnya dalam keadaan bahasa itu berada dalam tekanan bahasa lain. Hal ini terjadi karena komunitas secara bersama-sama memutuskan untuk terus menggunakan bahasa (atau bahasa-bahasa) yang secara tradisi telah mereka pergunakan.

Berkenaan dengan konsep bahasa Bloomfield (1933: 326) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda untuk mengungkapkan, membentuk, dan menyimbolkan realitas budaya. Di antara semua bentuk simbol, bahasa merupakan simbol yang paling rumit, halus, dan berkembang. Kini manusia telah sepakat bersama, dalam kesalingtergantungannya selama berabad-abad, untuk menjadikan berbagai suara yang mereka ciptakan dengan hembusan udara paru-paru, tenggorokan, lidah, gigi, dan bibir, secara sistematis mewakili peristiwa-peristiwa dalam sistem-sistem saraf mereka, sehingga bahasa disebut sebagai sistem kesepakatan.

Sebagai sistem kognisi, bahasa dengan sistem gramatikal, bunyi serta tata tulisnya itu, dipahami sebagai sumber daya dan kekayaan mental yang setelah dipelajari, ada dalam diri manusia dan masyarakat. Sistem bahasa yang abstrak itu merupakan pemilikan bersama dan ada dalam kesadaran kolektif masyarakat tutur. Pemilikan itu digunakan

(8)

secara nyata dalam bentuk tuturan dan tulisan dalam wujudnya sangat bervarisi, baik variasi bentuk maupun nuansa makna dalam konteks penuturan (Saussure, 1996: 16). Mengacu pada paparan di atas, bahasa Bali dalam wujudnya yang kongkret, yaitu berupa ujaran (parole) dalam penuturannnya terkait dengan strata sosial masyarakat berfungsi untuk mewujudkan integrasi sosial dan dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan segala bentuk ide oleh manusia Bali. Bali dalam konteks ini secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki identitas yang berwujud bahasa yakni bahasa Bali.

Bertitik tolak dari uraian di atas, pemertahanan bahasa Bali dalam tulisan ini dikonsepkan sebagai upaya-upaya yang dilakukan masyarakat agar bahasa Bali tetap digunakan. Berkaitan dengan hal itu, loyalitas masyarakat pendukungnya merupakan salah satu faktor penting dalam pemertahanan bahasa Bali. Loyalitas itu berakar pada asal-usul seseorang. Implementasinya terlihat pada tingkah laku seperti tidak malu menggunakan bahasa Bali dalam pergaulan; ikut memperjuangkan bahasa Bali secara resmi; ikut mengoreksi kesalahan bentuk bahasa Bali yang dipakai orang lain.

2.2.2 Masyarakat Multikultural di Kota Denpasar

Konsep masyarakat menurut Chaer (2007: 59) diartikan sebagai kelompok orang yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah tempat tinggal, atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama. Sebagai misal adalah masyarakat Indonesia, masyarakat Bali, masyarakat Betawi, atau juga masyarakat Eropa.

Menurut Simon (1760-1825), masyarakat bukanlah semata-mata suatu kumpulan orang belaka yang tindakan-tindakannya tidak mempunyai sebab, kecuali kemauan

(9)

masing-masing. Kumpulan tersebut hidup karena didorong oleh organ-organ tertentu yang menggerakkan manusia untuk melakukan fungsi-fungsi tersebut.

Herbert Spencer (dalam Triguna, 2008: 1), adalah orang yang pertama menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang kongkret. Spencer telah memberikan suatu model kongkret membahas masyarakat berdasarkan prinsip organisme. Suatu organisme menurut Spencer akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan dengan adanya diferensiasi antara bagian-bagiannya. Hal ini berarti bahwa adanya organisasi fungsi yang lebih matang antarbagian organisme tersebut, dan integrasi yang lebih sempurna pula. Organisme tersebut ada kriterianya, yaitu kompleksitas, diferensiasi, dan integrasi. Kriteria tersebut akan dapat diterapkan pada setiap masyarakat. Evaluasi sosial dan perkembangan sosial pada dasarnya berarti bertambahnya diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja dan suatu transisi dari keadaan homogen ke keadaan heterogen. Pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar berhubungan dengan berbagai konsep di atas, yang menggarisbawahi perubahan, heterogenitas, kompleksitas, diferensiasi, dan integrasi sosial.

Multikultural menurut Chr.Dawson (dalam Sudiarja dkk, 2006: 706) menyatakan adanya keragaman unsur kebudayaan dalam masyarakat. Unsur kebudayaan tersebut mencakup seluruh kompleks institusi, adat istiadat, keyakinan, kejujuran, serta organisasi ekonomi yang merupakan warisan sosial dari suatu bangsa’ Terkait dengan konteks tersebut bahwa masyarakat yang melakukan kegiatan dan aktivitas di Kota Denpasar tidak saja warga negara Indonesia ada juga warga negara asing seperti orang Amerika, Australia, Inggris, dan lain sebagainya. Kecuali itu penduduk Kota Denpasar terdiri atas

(10)

berbagai etnis seperti etnis Jawa, Tionghoa, Bugis, dan lain-lain. Begitu pula dari segi keyakinan sangat beragam, jenjang pendidikan serta banyaknya jumlah sekolah sangat menonjol, bahasa yang digunakan oleh masyarakat juga beragam (anonim, 2008).

Lebih lanjut Suastika (2007: 530) menyatakan bahwa konsep multikultural lebih menekankan pada ciri-ciri masyarakat majemuk, yakni menekankan pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Dengan demikian, maka konsep multikultural mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ide itu, seperti politik dan demokrasi, keadilan dan penegak hukum, kesempatan kerja dan berusaha, hak budaya komunikasi dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Dari pemparan di atas, masyarakat multikultural dipahami sebagai keragaman yang dilatarbelakangi oleh keragaman asal-usul, etnis, daerah, agama, adat istiadat, bahasa, kesenian, institusi, organisasi ekonomi, ilmu pengetahuan, yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu serta berbagai pengaruh di dalamnya yakni adanya toleransi, saling menghormati, saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.

Barker (2006: 379) bahwa strategi multikulturalis memerlukan citra positif namun tidak memberikan persyaratan bagi asimilasi. Namun, suku bangsa diyakini memiliki status setara, memiliki hak untuk menjaga warisan budaya. Multikulturalisme bertujuan untuk merayakan perbedaan. Misalnya pengajaran pendidikan multi-agama, pertunjukan ritual dan promosi makanan etnis.

Masyarakat multikultural dalam artian ini adalah sebuah proses di mana prakti-praktik sosial dan pola-pola interaksi yang diatur oleh aturan dan peranan anggota masyarakat dengan keberagamannya, diakui, dihormati dalam kemasan pelibatan terhadap interaksi dan dinamikanya. Masyarakat multikultural juga dipahami sebagai

(11)

bedahan, kajian, dan telaahan atas keanekaan warna budaya, transformasi sosial, dan dinamika kebudayaan bangsa pada era global (Astra, 2003: iii). Keanekaan warna budaya yang ditunjang oleh saling menghormati dalam keragaman tersebut merupakan suatu ciri khas masyarakat Kota Denpasar sebagai masyarakat multikultural.

Kota menurut pandangan Bintarto (dalam Daldjoeni, 1996: 42), adalah sebagai benteng budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non-alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang sifatnya heterogen dan materialistis.

Mengacu pada pendapatnya Bintarto, kota dalam konsep ini adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialis. Kota dikonsepkan demikian lantaran faktor manusianya yang esensial, karena hanya manusia yang mampu melakukan kegiatan dan aktivitas. Segala sesuatu yang terjadi di kota seperti kegiatan berorganisasi, politik, kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya disebabkan oleh manusia itu sendiri dan secara hakiki manusia adalah pencipta, pewaris dan penerus kebudayaan termasuk di dalamnya bahasa Bali.

Driyarkara (dalam Sudiarja, 2006: 602) mengetengahkan bahwa ada beberapa alasan manusia membangun kota, yaitu (1) untuk menyelenggarakan, mempertahankan, dan menyempurnakan kehidupan organisasi-organisasi masyarakat yang mendirikannya; (2) masyarakat yang mendirikan kota mempunyai kehidupan politik yang layak; (3) masyarakat yang mendirikan kota sudah mempunyai tingkat kebudayaan yang pantas; (4) masyarakat yang mendirikan kota sudah menjalankan kehidupan sosial ekonomi yang

(12)

bermutu. Semua usaha ini, kota dengan organ-organnya harus memimpin dan membawa masyarakat ke perkembangan yang makin lama makin tinggi (Sudiarja, 2006: 602). Barker (2006: 310-311) mengedepankan pandangan ketiga Bapak Sosiologi yaitu Durkheim, Marx dan Weber. Durkheim mengonsepkan kota secara ambivalen, bawa kehidupan kota merupakan ruang aktivitas, kemajuan dan tatanan moral baru, namun hal ini akan menjadi arena bagi kebusukan moral dan anomi. Weber melihat kehidupan kota sebagai penopang demokrasi industri modern sekaligus menjelaskan nalar instrumental dan ”jeruji besi” organisasi birokratis. Marx mengonsepkan kota sebagai tanda kemajuan dan lompatan besar produktivitas yang ditimbulkan oleh kapitalisme, dan di sisi lain sebagai tempat bagi kemiskinan, keseragaman dan kekejian. Simmel kemudian mengedepankan sutau konsep positif tentang kota, yaitu tempat lahir estetika modernisme dan tempat bagi pelarian dari kontrol tradisi.

Wirth mengeksplisitasikan pendekatan yang lebih kultural ketimbang ekologi terhadap kehidupan kota. Wirth melukiskan kehidupan kota bertitiktolak pada urbanisme sebagai suatu cara hidup dan suatu bentuk eksistensi sosial. Keragaman budaya dan gaya hidup kehidpan kota mendorong impersonalitas dan mobilitas (sosial dan spasial) karena orang kehilangan perasaan terhadap ”tempat” dan kehilangan hubungan sosial yang stabil. Kehidupan kota didasarkan atas adanya sejumlah besar orang yang hidup berdekatan tanpa benar-benar mengenal satu sama lain. Para penghuni kota membentuk asosiasi satu sama lain yang didasarkan atas gaya hidup, kebudayaan dan etnisitas (Barker, 2006: 311).

Kota Denpasar dalam penelitian ini adalah tempat pusat kegiatan dan aktivitas masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang dan tempat asalnya, bukan sebagai

(13)

daerah pemerintahan yang setingkat dengan kabupaten. Bertitik tolak dari uraian di atas maka, masyarakat multikultural di Kota Denpasar dikonsepkan sebagai kelompok manusia yang mempunyai kepentingan sosial yang sama diwarnai oleh keragaman dalam kesederajatan dari berbagai perbedaan yang melatari serta hidup dalam wilayah Kota Denpasar.

2.3 Landasan Teori

Snelbecker (dalam Moleong, 2008: 57), mengatakan teori berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. Dalam penulisan ini teori digunakan untuk memudahkan dalam pengorganisasian data atau membantu menelaah hasil penelitian. Uraian selanjutnya tentang pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar akan memakai teori sosiolinguistik sebagai payungnya artinya teori sosiolinguistik yang memayungi berbagai teori di bawahnya. Teori sosiolinguistik mengaitkan kehadiran bahasa dengan masyarakat pendukungnya. Dalam konteks ini masyarakat sebagai pendukung bahasa selalu muncul dalam teori pendukung lainnya yakni teori perubahan sosial dan teori motivasi yang juga digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Rincian uraian teori tersebut sebagai berikut.

2.3.1 Teori Sosiolinguistik

Adiel (2008) dalam tulisannya “Hakekat Sosiolinguistik” memaparkan bahwa teori sosiolinguistik objek kajiannya adalah bahasa. Bahasa sebagai parole dipandang sebagai perangkat tingkah laku yang telah ditransmisikan secara budaya atau dipakai oleh sekelompok individu. Tampaknya pandangan tersebut memiliki suatu paham bahwa

(14)

bahasa sebagai tingkah laku budaya manusia. Dengan demikian manusia tidak mungkin ada tanpa hadirnya bahasa begitu pula manusia dalam berinteraksi sosial maupun komunikasi selalu menggunakan bahasa.

Lebih lanjut Jendra (2007: 227) dalam buku Sosiologi Teori dan Penerapannya, mengatakan bahwa teori sosiolinguistik memandang kehadiran bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat pendukungnya. Karena itu mayarakat dianggap sebagai penutur, juga sekaligus sebagai sumber repertoar bahasa yang memiliki perasaan, pikiran, dan perilaku bahasa. Ketiga unsur tersebut (perasaan, pikiran, perilaku bahasa) adalah suatu ‘lapisan masyarakat yang tidak selamanya mempunyai ciri yang sejalan dalam perkembangan bahasa. Banyak lapisan masyarakat yang kadang-kadang acuh tak acuh terhadap bahasanya, tetapi ada juga yang demikian bersatu erat, bangga, dan selalu menjunjung bahasanya sebagai kebanggaan kelompoknya atau kebanggaan bangsanya.

Bertitik tolak dari uraian di atas pemertahanan bahasa Bali terkait dengan masyarakat sebagai sumber bahasa atau linguistik repertoir. Berkenaan dengan hal tersebut teori sosiolinguistik akan digunakan sebagai pisau analisis permasalahan satu dan sebagai penguat pembahasan masalah dua dan tiga.

2.3.2 Teori Perubahan Sosial

Tidak ada sesuatu yang kekal, kecuali perubahan. Hal ini menunjukkan tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang luput dari perubahan. Dengan demikian eksistensi perubahan tidak pernah terlewatkan dari kenyataan hidup manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Comte (dalam Triguna, 2008: 1), mengatakan bahwa dalam hubungan kebudayaan manusia senantiasa mengalami proses perubahan dengan segala

(15)

konsekuensi yang menyertainya, baik disebabkan oleh kebutuhan untuk berubah maupun perubahan yang direncanakan.

Pitana (1994: 4) mengemukakan perubahan merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam masyarakat dan kebudayaan. Ini berarti perubahan sosial merupakan gejala umum dalam masyarakat yang dikarenakan adanya komunikasi masyarakat dengan gagasan-gagasan baru, masyarakat menyadari akan keterbelakangannya, dan adanya ikatan kesadaran berorganisasi yang relatif lebih baik (Salim, 2002: 132). Dalam konteks ini, perubahan sosial turut mempengaruhi masa depan hidup masyarakat yang mengalaminya. Salim (2002: 132) dalam bukunya berjudul Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, mengemukan bahwa perubahan sosial disebabkan oleh pengaruh luar terhadap sendi-sendi kehidupan internal, seperti unsur produktivitas masyarakat tradisional, sikap mental, kemampuan organisasi, ragam etnik, mundurnya sektor ekonomi, serta pengaruh modernisasi. Kecuali itu faktor eksternal juga berpengaruh terhadap aspek-aspek struktural masyarakat yang oleh Salim dikatakan sebagai ”mesin penggerak” perubahan sosial, seperti informasi komunikasi yang meliputi pengaruh media massa dengan bentuk industri pers, birokrasi yang meliputi keterkaitan birokrasi sipil dengan birokrasi militer, ideologi yang meliputi agama dan hak asasi manusia (HAM), modal yang meliputi modal finansial dan sumber daya manusia (SDM), teknologi yang meliputi unsur yang cepat berubah dan sangat tergantung kepada pemikiran modal.

Menurut Hegel dan Max dalam Kayam (1989), menggambarkan proses perubahan sosial adalah reproduction atau menghasilkan kembali segala sesuatu yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Proses ini berkenaan

(16)

dengan usaha untuk menjadikan bahasa Bali sebagai suatu kebanggan identitas seperti pada masa lampau, melalui penciptaan ranah-ranah baru untuk penggunaan bahasa Bali seperti adanya penyelenggaraan lomba berpidato dan menulis cerita berbahasa Bali secara berkesinambungan. Selain itu perubahan sosial juga digambarkan sebagai proses Transformation yakni suatu proses penciptaan hal yang baru yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi seperti kontak person dalam siaran tembang-tembang Bali oleh Bali TV.

Pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar, berada di tengah realitas perubahan sosial seperti uraian di atas. Teori perubahan sosial dalam penulisan ini digunakan sebagai pisau analisis tentang faktor penunjang dan penghambat pemertahanan bahasa Bali yakni rumusan masalah 2.

2.3.3 Teori Motivasi

Maslow (dalam Siagian, 2002: 103) memaparkan bahwa teori motivasi dikaitkan dengan pemuasan berbagai kebutuhan manusia. Asumsi-asumsi dasar teori motivasi Maslow yaitu (a) manusia adalah mahluk sosial yang berkeinginan, selalu menginginkan banyak. Keinginan ini terus-menerus, baru berhenti jika akhir hayatnya tiba, (b) suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivasi bagi pelakunya, hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang menjadi alat motivasi, dan (c) kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat yang diklasifikasikan pada lima tingkatan yakni (1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan akan rasa aman, (3) kebutuhan sosial, (4) kebutuhan yang mencerminkan harga diri, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. Kelima klasifikasi kebutuhan di atas, kebutuhan sosial relevan dengan penelitian ini khususnya dalam

(17)

menganalisis masalah kedua, yaitu apakah faktor-faktor penunjang dan faktor-faktor penghambat upaya-uapa pemertahanan bahasa Bali masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

Lebih lanjut Siagian (2002: 80), mengemukakan ada tiga komponen utama dalam motivasi, yaitu (1) kebutuhan, (2) dorongan, (3) tujuan. Kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidakseimbangan antara apa yang ia miliki dan yang ia harapkan. Dorongan merupakan kekuatan mental untuk melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan atau pencapaian tujuan, merupakan inti dari motivasi. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan yang mengaktifkan, menggerakan, menyalurkan dan mengarahkan sikap dan perilaku individu.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori motivasi dapat mendorong masyarakat multikultural di Kota Denpasar untuk memahami bahwa upaya pemertahanan bahasa Bali merupakan suatu kebutuhan masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian bahasa bali sebagai warisan leluhur. Teori motivasi juga medorong masyarakat multikultural di Kota Denpasar untuk menggunakan bahasa Bali dalam pergaulan sehari-sehari baik di tengah keluarga maupun masyarakat.

Teori motivasi akan digunakan untuk membahas permasalahan 1 dan 3. Masalah pertama adalah bagaimanakah upaya-upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar. Masalah ketika adalah apakah dampak dan makna pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

(18)

2.4 Model Penelitian

Penelitian pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar dapat digambarkan pada gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1 Model Penelitian

Keterangan Model :

: menunjukkan hubungan dua arah : menunjukkan hubungan satu arah : menyatakan satuan-satuan variabel

Gambar di atas dapat dijelaskan bahwa ada interaksi antara lokalitas dalam konteks ini budaya Bali dengan era globalisasi. Budaya Bali salah satu unsurnya adalah bahasa Bali. Pengaruh globalisasi sangat tampak dalam kehidupan masyarakat multikultural seperti adanya berbagai macam bahasa, etnis, keragaman agama, latar belakang daerah asal. Keberagaman kehidupan bermasyarakat seperti itu, memengaruhi kebudayaan Bali

Lokalisasi Globalisasi Nilai-Nilai Lokal -Warisan budaya -Identitas budaya Unsur-Unsur Global -Pariwisata -Media Bahasa Bali

Pemertahanan Bahasa Bali Dalam Masyarakat

Multikultural di Kota Denpasar

FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG DAN PENGHAMBATPEMERTAHAN DAMPAK DAN MAKNA PEMERTAHAN UPAYA-UPAYA PEMERTAHANAN

(19)

pada umumnya, dan pemertahanan bahasa Bali pada khususnya. Keberagaman yang merupakan karakteristik masyarakat multikultural, merupakan tantangan bagi pemertahanan bahasa Bali sebagai warisan dan identitas budaya masyarakat Bali.

Masyarakat multikultural sebagai tantangan bagi pemertahanan bahasa Bali, sangat jelas dalam kehidupan masyarakat Kota Denpasar. Pada satu sisi Kota Denpasar adalah kota wawasan budaya, namun pada pihak lain hal tersebut menjadi tantangan bagi keberadaan budaya lokal, khususnya pemertahanan bahasa Bali. Dengan demikian, Kota Denpasar merupakan salah satu kota di Bali yang mempunyai potensi budaya lokal seperti bahasa Bali dan juga merupakan pilar utama penopang bahasa Bali tak lepas dari pengaruh globalisasi. Pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar sebagai salah satu upaya dalam menyikapi (menghadapi) tantangan global tersebut.

Berkenaan dengan hal di depan akan dibahas dan dianalisis dalam penelitian ini, dengan merumuskan tiga masalah yaitu tentang upaya, faktor, serta dampak dan makna pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

Gambar

Gambar 2.1 Model Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi dan persepsi pengunjung/jamaah pada Masjid Agung Jawa Tengah adalah pengunjung Masjid Agung Jawa Tengah mayoritas adalah jamaah domestik yang berasal dari

Setelah menentukan tingkat resiko kontrol, auditor akan melakukan pengujian terhadap kontrol, dalam hubungannya dengan audit sistem informasi maka yang diuji adalah kontrol

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan: Tingkat stres kerja karyawan sebelum diberikan terapi ROP berada pada kategori

Dari penelitian ini disarankan perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap struktur komunitas Echinodermata di zona intertidal Pantai Krakal dan Drini dengan

Kesimpulan hasil penelitian bahwa dari kebijakan CU Semarong dalam meningkatkan produktivitas kerja karyawan, diketahui mayoritas karyawan, sudah memenuhi harapan karyawan

Status Gizi Remaja dan Faktor-faktor yang berhubungan pada siswa SMUN 3 Bogor Tahun 2001.. Fakultas Kesehatan

Dalam kaitan dengan pembinaan iman orang dewasa, sekarang ini bisa dibedakan empat jenis orang dewasa: pertama, mereka yang menjalani masa katekumenat, kedua,

Melihat kondisi yang terjadi pada J&J Travel maka kami mengusulkan untuk mengembangkan metode sistem reservasi manual menjadi sistem reservasi berbasis aplikasi