• Tidak ada hasil yang ditemukan

OTONOMI, PEMEKARAN DAERAH DAN MASALAH INTEGRASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OTONOMI, PEMEKARAN DAERAH DAN MASALAH INTEGRASI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

OTONOMI, PEMEKARAN DAERAH

DAN MASALAH INTEGRASI

Idil Akbar

Departemen Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran Email: idil.akbar@unpad.ac.id

ABSTRACT

Decentralization in fact has two perspectives. One side, it has become solution for democratization in local, demonstrated non centralism policy and gave a freedom and opportunity to region to determinate the development of theirself. But, the other side there is a biggest concern occur the national integration’s problem which culminate to disunity and conflict. Amount case in local has shown these phenomena as far as effect the government took decisive policy to doing moratorium of regional separation. Several causes was happened in regional separation which ignited integration’s problem, that generally caused by egocentrism and etnocentrism. The solutions for this problems are ensure that the government gives the justice and equilibration for development and local resources, beside the most important is ensure appropiateness a region to separation.

Keywords: Decentralization, Region Separation, Integration, Disintegration

ABSTRAK

Otonomi daerah dalam perjalanannya memiliki dua perspektif. Satu sisi menjadi pemecah masalah bagi demokratisasi di tingkat lokal, mendemontrasikan kebijakan non sentralistis dan memberikan kebebasan dan keleluasan bagi daerah di dalam menentukan pembangunannya sendiri. Tapi disisi lain ada kekhawatiran terbesar terjadinya masalah integrasi na-sional yang bermuara pada perpecahan dan konflik. Beberapa kasus di daerah menunjukkan gejala tersebut hingga mengakibatkan pemerintah mengambil langkah tegas melakukan moratorium pemekaran daerah. Berbagai motif terjadi dalam ricuh pemekaran daerah yang memantik masalah integrasi, yang pada garis besar disebabkan oleh egosentris dan etnosentris kedaerah. Jalan keluarnya adalah memastikan bahwa pemerintah memberikan keadilan dan keseimbangan atas pembangunan dan sumber daya daerah, selain yang terpenting adalah memastikan kelayakan suatu daerah untuk dimekarkan.

Kata Kunci: Otonomi Daerah, Pemekaran Daerah, Integrasi, Disintegrasi

PENDAHULUAN

Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat negara Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah)1. Hal inilah yang

menjadi pemicu penting dari adanya kebijakan otonomi daerah. Otonomi daerah dalam arti sesungguhnya adalah salah satu poin penting reformasi yang menjadi keinginan masyarakat. Semangatnya adalah keinginan untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan yang lebih leluasa, adil dan akomodatif terhadap perkembangan masyarakat di daerah.

1 Michael Malley, Daerah, Sentralisasi dan Perlawanan, dalam Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi,

(2)

Memasuki akhir dekade 1990-an Indonesia mengalami perubahan sosial politik yang bermuara kepada pilihan melaksanakan desentralisasi sebagai salah satu moda utama pembangunan Indonesia. Hal ini ditandai dengan pemberlakuan UU 22/1999tentang Otonomi Daerah yang kemudian dirubah menjadi UU 32/2004 (dan se-karang menjadi UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 telah menempatkan revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah ini sebagai satu prioritas dalam pembangunan nasional. Revitalisasi tersebut diarahkan untuk, pertama, memperjelas pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan; kedua, mendorong kerjasama antar pemerintah daerah; ketiga, menata kelembagaan pemerintah daerah agar lebih efektif dan efisien; keempat, meningkatkan kualitas aparatur pemerintah daerah; kelima, meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah; serta keenam, menata daerah otonom baru (DOB)2.

Semangat otonomi daerah itu sendiri salah satunya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam PP 78/2007tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik kewilayahan3 dengan tujuan untuk

mensejahterakan masyarakat yang ada di wilayahnya.

Berbagai permasalahan timbul dari kebijakan pemekaran daerah. Mulai dari rendahnya performance yang ditunjukkan daerah hingga pada persoalan konflik horizontal yang dapat menimbulkan potensi masalah atas integrasi Kebangsaan Indonesia4. Lihat saja pemekaran daerah yang dilakukan sebagai konsekuensi dari

kebijakan otonomi daerah, tercatat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, setidaknya telah terbentuk lebih dari 205

2 Lihat Laporan Studi Evaluasi Pemekaran Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tahun 2007, hal.

3 Lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan PP 78 Tahun 2007.

4 Berdasarkan wawancara Sonny Sumarsono dengan Antara News, tanggal 21 Juni 2010 dikatakan bahwa sebanyak 80% daerah

otonom tidak menunjukkan performance yang bagus dan karenanya ditetapkan oleh Kemendagri untuk dievaluasi

DOB (7 Provinsi, 164 Kabupaten, dan 34 Kota) atau lebih dari 20 DOB pertahun. Jumlah ini nampaknya akan terus bertambah hingga 20255.

Lebih jauh, yang menjadi dampak luas dari tidak performance-nya daerah-daerah otonom adalah banyaknya kepala daerah yang berpekara dan siap untuk di-mejahijau-kan. Dari data Kemendagri tercatat 17 Gubernur dan 150 Bupati/Walikota yang terjerat kasus korupsi di daerah dan sebagian telah menjadi tersangka. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan mendasar dari pelaksanaan otonomi daerah, khususnya dalam pola penataan pemekaran daerah.

Masalah integrasi merupakan persoalan lain yang turut mewarnai kebebasan berotonomi. Salah satu masalah yang timbul adalah intensitas dan ekskalasi konflik horizontal yang terjadi dalam proses perwujudan daerah yang otonom. Dalam konteks menelaah pemekaran daerah sebagai wujud dari kebijakan otonomi daerah, memang terdapat banyak alasan yang mendasari maraknya tuntutan atas pemekaran tersebut. Diantaranya adalahadanya perasaan ketidakadilan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde kepada masyarakat lokal6.

Akan tetapi beberapa daerah juga melakukan pemekaran atas dasar tuntutan sejarah masa lalu seperti yang terjadi di Bangka Belitung, Maluku, NTB, serta Sulawesi. Di beberapa tempat, pemekaran ini seringkali justru menimbulkan konflik-konflik horisontal di masyarakat. Kejadian pemekaran wilayah Irian jaya yang kemudian menimbulkan konflik antar suku di Irian atau yang baru-baru saja terjadi ketika pemekaran Sulawesi Barat yang akhirnya menyebakan bentrukan antar penduduk Mamasa dengan wilayah dan penduduk lainnya. Telah menimbulkan kecenderungan terjadinya konflik atar masyarakat. Belum lagi beberapa konflik yang melibatkan etnis-etnis di daerah seperti halnya konflik Poso.

Pemekaran daerah di satu sisi memberikan peluang yang besar bagi daerah untuk mencapai kesejahteraan sebagaimana yang diharapkan. Namun di sisi lain, pembentukan daerah baru seringkali banyak menimbulkan

(3)

5 Berdasarkan Desain Besar Penataan Daerah (DESERTADA) Kementrian Dalam Negeri, selama kurun waktu 2010-2025 direncanakan akan

ada penambahan DOB sebanyak 54 kabupaten/kota dan 11 provinsi. Sehingga, total keseluruhan daerah otonom di Indonesia hingga 2025 berjumlah 545 daerah. Lebih jelas dapat dilihat pada Desain Besar Penataan Daerah Kemendagri Tahun 2010.

6 www.kompas.com/17/02/2000. Diunduh pada tanggal 21 November 2010 pukul 21.10 wib.

masyarakat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), desentralisasi perilaku korup yang dilakukan kepala daerah sebagaimana telah diutarakan di atas, oligarki kekuasaan, dan lain sebagainya.

Moratorium yang dikeluarkan pemerintah diasumsikan akan mampu meredam, atau setidaknya meminimalisir pembentukan daerah-daerah baru di Indonesia. Tetapi pada kenyataannya, moratorium tersebut juga kurang mendapat respon positif dan kurang greget, sehingga kurang memiliki dampak terhadap perkembangan pelaksanaan otonomi daerah yang ada. Padahal, PP 78/2007 telah menegaskan beberapa faktor penting untuk dipedomani sebelum melaksanakan pembentukan daerah baru, seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal inilah yang kerapkali dilanggar, tentunya demi kepentingan politik itu sendiri.

Realitas ini kerap dipandang hanya sebagai komoditas politik semata, terutama dalam kerangka memperoleh kekuasaan yang ada. Sebab sebagaimana kita ketahui, pembentukan daerah baru akan dipastikan dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah tersebut. Hal inilah yang kemudian selalu menjadi perebutan oleh elit-elit lokal untuk berkuasa. Dengan demikian, pemekaran daerah dan pembentukan daerah baru hanya menjadi kepanjangan orientasi untuk berkuasa, bukan untuk betul-betul memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan masyarakat lokal.

Pintu masuk bagi daerah untuk mengajukan pemekaran yang terdapat pada dua lembaga tinggi negara, yakni eksekutif dan legislatif juga menimbulkan masalah lain di dalamnya. Seringkali elit lokal yang menjadi pionir dalam pelaksanaan pemekaran mencari celah agar proses pemekaran di tingkat pusat dapat berjalan lancar. Pada umumnya menyadari betul bahwa pintu eksekutif melalui Kemendagri sulit untuk ditembus, disebabkan ketatnya prosedur dalam pembentukan daerah baru. Pintu yang dianggap relatif “lebih menjanjikan, aman dan lancar” adalah melalui pintu legislatif. Sebab, asumsinya adalah proses politik melalui mekanisme dewan cenderung lebih cair, apalagi jika itu menyangkut “kepentingan” rakyat di daerah.

Menarik pula untuk melihat bagaimana sikap elit dan rakyat di daerah yang selama ini terpinggirkan dan diperlakukan tidak adil di dalam pembagian “kue pembangunan”. Pada umumnya mereka akan selalu berusaha untuk membentuk Daerah Otonomi Baru (terlepas dari banyaknya rent seekers) dengan alasan bahwa pembentukan Daerah Otonomi Baru akan meningkatkan paling tidak Dana Alokasi Umum (DAU), DAK (Dana Alokasi Khusus), kesempatan kerja sebagai pegawai negeri yang cukup banyak di daerah, mun-culnya elit daerah yang memegang kekuasaan (di pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dan DPRD), menguatnya identitas lokal, menguatnya egosentrisme lokal, timbulnya potensi konflik antar suku, dasn sebagainya.

Mereka tidak peduli dengan semakin beratnya beban Anggaran Negara. Hasil penelitian yang dilakukan Percik, di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, menunjukkan menguatnya “semangat balas dendam” kepada Pemerintah Pusat yang dianggap selama ini hanya memperhatikan wilayah pusat (Pulau Jawa), untuk menarik dana sebanyak mungkin ke daerah. Semua permasalahan diatas, selain disebabkan adanya ketidakadilan dan “semangat balas dendam” dari rakyat di daerah, juga disebabkan oleh belum jelasnya proses dan motivasi dibalik pembentukan Daerah Otonomi Baru, yang dikenal sebagai Pemekaran Daerah7.

LITERATUR REVIEW OTONOMI DAERAH

(4)

otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan pera-turan perundang-undangan9.Berdasarkan pada pengertian tersebut di atas, maka terdapat dua pandangan yang

menjiwai makna otonomi, yaitu: pertama, legal self sufficiency dan yang kedua, adalah actual independence.

7 Kutut Suwondo, Makalah dalam Seminar Internasional 10 Tahun Otonomi Daerah, Salatiga, 2010

8 Andrew heywood, Politics, Macmillan Foundations, Houndmills. 1997, hal. 131. Devolusi sering dikenali sebagai transfer wewenang

(power) dari pemerintah pusat (nasional) kepada institusi daerah yang menjadi subordinatnya.

9 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Otonomi Daerah sendiri secara konseptual bertujuan menjadikan penyelenggaraan pemerintahan lebih efisien dan transparan. Efisiensi dapat dipenuhi dengan penyerahan sebagian kewenangan -yang selama ini didominasi penangannya oleh pemerintah pusat dan dijalankan secara sektoral lewat instansi vertikal- kepada daerah. Filosofi sederhana efisiensi ini adalah “Indonesia terlalu besar untuk diurusi hanya oleh pemerintah pusat, disisi lain pemerintah pusat terlalu tinggi untuk mengurusi hal-hal kecil di daerah.”

Karenanya akan lebih efisien bila sejumlah kewenangan yang selama ini ditangani pemerintah pusat, dengan Otonomi dijalankan oleh daerah. Dengan desentralisasi sesungguhnya beban pusat menjadi berkurang. Disisi lain daerah memiliki keleluasaan untuk menjalankan sebuah kewenangan sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan daerah. Untuk menterjemahkan kondisi, kebutuhan dan kemampuan daerah, tentu saja pemerintah daerah tidak bisa berjalan sendiri. Disinilah muncul adanya keharusan keterlibatan masyarakat, dimana sebagai pihak yang terkena dampak sebuah kebijakan, masyarakat sudah selayaknya ikut menentukan apa yang menjadi kebutuhannya. Oleh karenanya UU mengharuskan kebijakan dibuat atas prakarsa dan aspirasi masyarakat10.

INTEGRASI

Menurut Myron Weiner11, integrasi dapat mengacu kepada proses untuk menyatukan kelompok-kelompok

yang berlainan baik secara kultural maupun sosial kedalam satu unit teritorial dan membangun sebuah identitas nasional. Dalam kerangka ini secara umum diasumsikan adanya sebuah pluralitas etnis dalam sebuah masyarakat, dimana masing-masing kelompok memiliki karakteristik yang berbeda atau kesadaran kualitas etnisnya sendiri yang berbeda, akan tetapi permasalahan ini mungkin juga muncul dalam sistem politik yang memisahkan unit politik yang independen dimana masyrakat mengidentifikasikan dirinya.

Sehingga konsep integrasi nasional secara spesifik mengacu kepada permasalahan membuat sebuah perasaan nasionalitas teritorial yang dikalahkan oleh parochial loyaties. Permasalahan integrasi bangsa ini akan sangat kental dalam masyarakat yang pluralistik, dimana keberadaan masyarakat tidaklah bersifat homogen, melain-kan terdapat garis-garis pemisah antar kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Garis-garis tersebut dapat berupa agama, kultur, etnisitas, bahasa, bahkan ideologi politik. Dan persinggungan antara garis-garis batas tersebut seringkali menjadi titik tolak konflik antara kelompok masyarakat.

Sementara, Nazarudin Sjamsuddin melihat bahwa integrasi merupakan suatu proses dan bukan suatu tujuan seperti pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Integrasi politik disini dimaksudkan adalah proses integrasi yang mengandung bobot politik, maka proses ini bersifat politik. Integrasi politik bisa mencakup vertikal dan horizontal. Integrasi vertikal mencakup integrasi antara elit dan massa dan integrasi horizontal yang bertujuan menjembatani perbedaan-perbedaan horizontal12.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan melalui kajian literatur dengan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menganalisis bagaimana otonomi dan pemekaran daerah berdampak terhadap masalah integrasi.Penelitian deskriptif bertujuan untuk menjelaskan suatu peristiwa yang operasionalisasinya berkisar pada pengumpulan data, pengolahan data dan penafsiran data yang diberi makna secara rasional dengan tetap memegang prinsip-prinsip logika sehingga terbentuk kesimpulan yang holistik. Tujuan lain dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMEKARAN DAERAH DAN MASALAH INTEGRASI

Adanya kebijakan bagi daerah untuk mengurus daerahnya sendiri dengan prakarsa dan potensi yang dimiliki menimbulkan gejala masif dimana daerah berupaya untuk bisa melepaskan diri dari daerah induknya dan berdiri sebagai daerah sendiri. Dengan berbagai alasan dan berlandaskan pada kondisi yang ada di daerah, mereka akan terus berupaya agar daerah yang otonom dapat segera terbentuk.

10 Dadan S Suharmawijaya, Desentralisasi dan Partisipasi, Makalah dipresentasikan pada Regional Meeting Program Pengembangan

Kecamatan (PPK), 4 – 8 Oktober 2004, di Hotel Club Bunga Butik Resort, Batu.

11 Weiner, Myron, Political Integration and Political Development, dalam Jason L. Finkle and Richard W.G., Poitical Development and Social Change, John Wiley and Sons, Inc., New York, London, Sidney, hal. 551-553

12 Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik Di Indonesia, PT. Gramedia, 1999, hal. 12.

Realitas ini kerap dipandang hanya sebagai komoditas politik semata, terutama dalam kerangka memperoleh kekuasaan yang ada. Sebab sebagaimana kita ketahui, pembentukan daerah baru akan dipastikan dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah tersebut. Hal inilah yang kemudian selalu menjadi perebutan oleh elit-elit lokal untuk berkuasa. Dengan demikian, pemekaran daerah dan pembentukan daerah baru hanya menjadi kepanjangan orientasi untuk berkuasa, bukan untuk betul-betul memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan masyarakat lokal.

Dalam konsepnya pemerintah, pemekaran ditujukan untuk kesejahteraan. Sementara sekarang, pemekaran menjadi instrumen elit politik mencapai kepentingan-kepentingan politik mereka. Sebelumnya, mereka terpinggirkan menjadi lebih powerful. Memang, konsep awal adalah untuk kesejahteraan masyarakat, namun elit lokal menggunakannya untuk bargaining position. Ada semacam gap atau jurang pemisah, antara yang diharapkan oleh masyarakat dengan para elit di daerah. Dan ini dalam realitasnya dapat menimbulkan gejolak konflik dikalangan elit yang ingin memperebutkan kekuasaan dan biasanya akan menyeret masyarakat luas untuk terlibat di dalamnya.

Selain itu, terdapat pula beberapa gejala yang menunjukkan kondisi riil dari kebijakan pemekaran yang memiliki konsekuensi terhadap masalah integrasi. Pertama, munculnya egoisme kedaerahan yang bersumber dari perasaan mampu membiayai pembangunan demi kemajuan masyarakat sendiri dan perlawanan terhadap kepemimpinan daerah yang selama Orba dikuasai oleh pendatang, realitas yang merupakan akibat dari pemilihan (semu) kepala daerah yang harus selalu mendapat restu pemerintah pusat.Keadaan ini langsung maupun tidak langsung mendorong penonjolan simbol-simbol identitas kelompok yang dibangun atas dasar etnik maupun agama yang kian tampak, terutama dalam proses pemilihan kepala daerah.

Kedua, eskalasi etnosentrisme, yakni perasaan senasib yang timbul dalam satu komunitas etnik atau paham

kebangsaan yang berbasis pada sentimen etnik. Menguatnya etnosentrisme membawa sejumlah akibat, seperti menarik garis pemisah atau menjauhkan diri atau bahkan keluar dari tatanan negara bangsa serta berusaha mendudukkan orang sesuku dalam pemerintahan (kekuasaan politik). Ini sering kita temui dalam berbagai jen-jang pemerintahan, baik pusat maupun daerah–lingkaran pertama di sekitar pejabat adalah orang sedaerah.

Ketiga, timbulnya perasaan kuat sebagai “putra daerah” yang harus diprioritaskan di dalam rekrutmen

pegawai negeri sipil (PNS), misalnya. Juga tuntutan pemekaran wilayah atas dasar kesukuan dan agama. Menurut Benedict Anderson, hal itu terjadi karena nasionalisme yang berkembang pada bangsa-bangsa yang baru merdeka dari penjajahan lebih bersifat nasionalisme imajinatif. Nasionalisme tidak terbangun atas dasar kesamaan tujuan dan pilihan-pilihan rasional dan faktual.

Keempat, adanya proses pembentukan kesadaran identitas, solidaritas sosial, dan sentimen kebangsaan yang

cenderung subjektif. Redistribusi yang diskriminatif dan ketidakadilan dalam bidang hukum, politik, ekonomi,religidan pendidikan juga menimbulkan sikap antipati terhadap kelompok yang sedang berkuasa yang dalam konteks Indonesia sering diidentifikasikan dengan kelompok suku tertentu. Bahkan, pada tingkat tertentu ada ingin melepaskan diri dari suatu bangsa. Selain itu, pengelolaan kekayaan alam tanpa

(6)

memperhatikan masyarakat lokal telah menimbulkan kecemburuan sosial yang akan terjelma dalam berbagai bentuk perlawanan.

Kelima, lemahnya didalam mengidentifikasi keberagaman etnik dengan agama yang itu tampak dari pola

penyikapan terhadap suatu gerakan politik. Respons itu tidak hanya datang dari pemerintah, tapi juga dari kelompok agama tertentu yang merasa dirugikan. Umumnya hal ini dipicu oleh persoalan ketidakadilan, kesenjangan, dan perbedaan ideologi. Salah satu penyebabnya adalah mekanisme dampak saring (filtering

effect), yaitu suatu dampak yang disebabkan program pembangunan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka

yang sesuai dengan program pembangunan, sementara mereka yang tidak masuk dalam standar tidak memperolehnya.

JALAN KELUAR DARI MASALAH DISINTEGRASI

Untuk mencapai kondisi ideal bagaimana sebuah pemekaran daerah mampu memberikan dampak positif kepada masyarakat Indonesia secara luas, dan dapat meminimalisir gesekan parah terhadap integrasi bangsa, maka pemerintah harus meratifikasi kebijakan pemekaran daerah dengan melihat pada realitas yang menjadi karakter masyarakat Indonesia.

Pertama, pemekaran daerah harus betul-betul objektif dengan memperhatikan kelayakan daerah

untuk berotonomi. Niatan pemerintah pusat juga harus diperbaiki untuk lebih betul-betul memberikan keleluasaan pada daerah dengan tetap tidak menghilangkan fungsi pengawasan yang objektif.Pemerintah juga harus menekan penggunaan simbol-simbol identitas kelompok yang dibangun atas dasar etnik maupun agama termasuk di dalam proses pemilihan kepala daerah.

(7)

Kedua, pemerintah harus juga memberikan keseimbangan dan keadilan politik dengan menyediakan

peluang bagi siapapun untuk berkembang, Faktor-faktor etnosentrisme yang kuat harus ditekan untuk memperoleh pemerintahan daerah yang sehat. Prioritas putra darah juga harus melihat pada kapabilitas dan kapasitas yang dimiliki agar tidak menjadi etnosentrisme buta yang dapat mengangganggu stabilitas sosial masyarakat.

Ketiga, Pemerintah harus memberikan rasa keadilan atas segala sumber yang dimiliki daerah.Pola

diskriminatif dan ketidakadilan dalam bidang hukum, politik, ekonomi,religidan pendidikan harus dihilangkan untuk mencegah ancaman yang lebih parah, yakni disintegrasi bangsa.Pemerintah harus meregulasi sistem dan mekanisme pengelolaan kekayaan alam yangberkeadilan dan memperhatikan masyarakat lokal.

Keempat, pentingnya melakukan mengidentifikasi keberagaman etnik dengan agama secara

komprehensif, memetakan persoalan dan konflik yang ada, menyosialiasikan peran dan fungsi dari lembaga-lembaga pemerintah di daerah yang mengurusi persoalan ini, mencerdaskan masyarakat melalui pemerataan pendidikan, dan intensif melakukan pendekatan persuasif terhadap pihak-pihak yang berpotensi untuk berkonflik. Pemerintah juga harus memperbaiki mekanisme dampak saring (filtering effect), sehingga diperoleh pemerataan pembangunan yang lebih baik untuk semua kalangan.

KESIMPULAN

Berdasarkan pada apa yang telah diungkapkan di atas, maka dari makalah ini dapat ditarik kes-impulan bahwa Pertama, masalah integrasi merupakan persoalan mendasar yang ada di dalam kebijakan otonomi daerah. Salah satunya adalah intensitas dan eskalasi konflik horizontal yang ter-jadi dalam proses perwujudan daerah yang otonom. Dalam konteks menelaah pemekaran daerah sebagai wujud dari kebijakan otonomi daerah, memang terdapat banyak alasan yang mendasari maraknya tuntutan atas pemekaran tersebut.

Kedua, pemekaran daerah di satu sisi memberikan peluang yang besar bagi daerah untuk mencapai

kesejahteraan sebagaimana yang diharapkan. Namun di sisi lain, pembentukan daerah baru seringkali banyak menimbulkan masalah baru setelahnya, antara lain adanya eskalasi konflik horizontal antar kelompok masyarakat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), desentralisasi perilaku korup yang dilakukan kepala daerah, oligarki kekuasaan, dan lain sebagainya.

Ketiga, terdapat beberapa gejala yang menunjukkan kondisi riil dari kebijakan pemekaran yang

memiliki konsekuensi terhadap masalah integrasi, seperti munculnya egoisme kedaerahan, adanya peningkatan etnosentrisme, perasaan sebagai “putra daerah” yang harus diprioritaskan, tindakan diskriminatif dan ketidakadilan dalam bidang hukum, politik, ekonomi,religidan pendidikan, serta lemahnya didalam mengidentifikasi keberagaman etnik dengan agama di masyarakat.

Keempat, sebagai solusi atas dampak yang timbul dari pemekaran daerah terhadap disintegrasi

bangsa antara lain pemerintah harus objektif memperhatikan kelayakan daerah untuk berotonomi. Selain itu, pemerintah juga harus lebih betul-betul memberikan keleluasaan pada daerah untuk mengurus daerahnya sendiri. Kemudian, menjaga keseimbangan dan keadilan politik. Lalu, menghilangkan diskriminatif dan ketidakadilan dalam bidang hukum, politik, ekonomi,religidan pendidikan dan memperbaiki mekanisme dampak saring (filtering effect), sehingga diperoleh pemer-ataan pembangunan yang lebih baik untuk semua kalangan.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Malley, Michael, Daerah, Sentralisasi dan Perlawanan, dalam Donald K. Emmerson (ed.),

Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, PT Gramedia, Jakarta,

2001.

Laporan Studi Evaluasi Pemekaran Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappe-nas), tahun 2007.

Desain Besar Penataan Daerah (DESERTADA) Kementrian Dalam Negeri 2010

Suwondo, Kutut, Makalah dalam Seminar Internasional 10 Tahun Otonomi Daerah, Salatiga, 2010

Heywood, Andrew, Politics, Macmillan Foundations, Houndmills. 1997.

S.Suharmawijaya, Dadan, Desentralisasi dan Partisipasi, Makalah dipresentasikan pada Regional Meeting Program Pengembangan Kecamatan (PPK), 4 – 8 Oktober 2004, di Hotel Club Bunga Butik Resort, Batu.

Weiner, Myron, Political Integration and Political Development, dalam Jason L. Finkle and Richard W.G., Poitical Development and Social Change, John Wiley and Sons, Inc., New York, London, Sidney, 2001.

Sjamsuddin, Nazaruddin, Integrasi Politik Di Indonesia, PT. Gramedia, 1999.

Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Penggabungan, Pembentukan dan Peng-hapusan Daerah.

Sonny Sumarsono dengan Antara News, tanggal 21 Juni 2010 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Referensi

Dokumen terkait

(6) Dalam melaksanakan tugas teknis tertentu, Pemimpin Bagian Proyekj wajib berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Kepala Dinas yang menangani Perkebunan, Tanaman Pangan &

Pemahaman ini ternyata juga dipahami oleh pemilih pemula. Istilah pendidikan politik memunculkan banyak gagasan. Dalam kedudukannya sebagai pemilih pemula, mereka pada

Dari temuan yang berupa gambaran tentang instrumen gendrang dan pola tabuhannya yang dilihat dari sisi manfaat bahwa instrumen gendrang merupakan hasil dari

Bila kita makan banyak lemak jenuh atau bahan makanan yang kaya akan kolesterol, kadar LDL kolesterol dalam darah kita tinggi, kelebihan LDL-C akan melayang-layang dalam darah

Algoritma ini tidak menggunakan metode LSB, namun ia menghitung penyebaran byte-byte dari steganogram citra (dalam hal ini citra berformat JPEG (Joint Photographic

model pembe-lajaran langsung, (2) manakah yang menghasilkan pemahaman konsep dan keterampilan komputasi matematika yang lebih baik, siswa dengan kemam-puan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek sitotoksik ekstrak etanol, fraksi polar, semipolar, dan nonpolar daun jambu biji terhadap sel kanker kolon WiDr

Dari peta diatas dapat dilihat umunya di wilayah Bali bagian Tengah, Selatan, Utara dan Timur, anomali curah hujannya bernilai positif (+), yang artinya hujan yang turun selama