• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS LAPAROTOMI DI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT TAHUN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS LAPAROTOMI DI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT TAHUN 2012"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS

LAPAROTOMI DI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR.

MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT TAHUN 2012

Rafika Fathni, Maksum Radji, dan Siti Fauziyah

Program Studi Sarjana Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Abstrak

Laparotomi merupakan salah satu prosedur medis yang dilakukan secara manual dan menyebabkan banyak perlukaan, yang berisiko tinggi mengalami infeksi, yang dicegah dengan antibiotik profilaksis. Pemberian antibiotik profilaksis yang dilakukan secara empiris dapat menyebabkan banyak dampak negatif jika dilakukan tanpa pengkajian kerasionalan penggunaannya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data penggunaan antibiotik profilaksis dan melakukan evaluasi kerasionalannya dilihat dari ketepatan indikasi, ketepatan obat, dan ketepatan dosis. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data penggunaan antibiotik profilaksis laparotomi dari rekam medis pasien yang menerima prosedur laparotomi pada bulan Januari – Desember 2012 secara retrospektif dengan desain cross-sectional. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik total sampling. Populasi penelitian berjumlah 486 pasien, dan 161 pasien diterima sebagai sampel penelitian, dengan total administrasi antibiotik profilaksis laparotomi sebanyak 230 kali. Hasil penelitian menunjukkan pola penggunaan antibiotik profilaksis yang kebanyakan diberikan adalah antibiotik profilaksis tunggal (57,14%), dan antibiotik yang paling banyak digunakan adalah seftriakson dan sefotaksim (34,78%). Penggunaan antibiotik profilaksis yang memenuhi kriteria tepat indikasi adalah 54,78%, tepat obat 3,48%, dan tepat dosis 88,70%. Namun demikian, dari seluruh sampel penelitian tidak ada yang dapat dikategorikan rasional dilihat dari ketepatan indikasi, obat, dan dosis.

Kata kunci: antibiotik; laparotomi; profilaksis; rasional Abstract

Laparotomy is a manual medical procedure which causes many wounds, and has a high infection risk. Surgical site infection is usually prevented by administration of prophylaxis antibiotics. Empirical administration of prophylaxis antibiotics without rationality study can cause many negative impacts. The aim of this study was to collect prophylaxis antibiotics usage data and to evaluate rationality of the administration, observed from the accuracy of indication, medication, and dose. This retrospective cross-sectional study was done by collecting laparotomy prophylaxis antibiotics usage data from medical record of patients who had received laparotomy procedure on January – December 2012 using total sampling. Population of study included 486 patients, and 161 patients were accepted as samples of study, with total 230 times administration of laparotomy prophylaxis antibiotics. The results showed that most of antibiotic prophylaxis were given as single type antibiotic (57.14%), and the most antibiotics used were ceftriaxone and cefotaxime (34.78%). Patients given prophylaxis antibiotics with rational indication were 54.78%, only 3.48% were given the appropriate medication, and 88.70% were given antibiotics with the right dose. However, among all samples, none was considered rational in terms of indication, medication, and dose accuracy. Keywords : antibiotic; laparotomy; prophylaxis; rational

(2)

PENDAHULUAN

Salah satu prosedur bedah yang banyak dilakukan adalah laparotomi, yang termasuk operasi besar dan menyebabkan banyak perlukaan, sehingga risiko terjadinya infeksi luka operasi laparotomi cukup tinggi (Goldman, 2007). Menurut Emori dan Gaynes (1993), sekitar 10% hingga 30% pasien operasi pada area gastrointestinal mengalami infeksi luka operasi (ILO). ILO rata-rata menyebabkan lebih dari 60% pasien dirawat di unit perawatan intensif (Intensive Care Unit), harus kembali dirawat di rumah sakit lima kali atau lebih, meningkatkan total biaya perawatan hingga 225% untuk ILO laparotomi dan 77% pada ILO area kolon, serta meningkatkan tingkat mortalitas pasien dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi luka operasi (Kirkland, Briggs, Trivette, Wilkinson, dan Sexton, 1999). ILO juga merupakan insiden pasca operasi yang paling banyak terjadi, merupakan tipe infeksi nosokomial kedua terbanyak, dan salah satu penyebab utama kematian pasien di dunia   (Karnadihardja, 1990). Infeksi nosokomial untuk luka bedah di Indonesia mencapai 18,3%, dan menyebabkan kematian lebih dari 20.000 orang setiap harinya di dunia (Djojosugito, Roeshadi, Pusponegoro, dan Supardi, 2001).

Salah satu tindakan pencegahan ILO adalah dengan pemberian antibiotik profilaksis, namun dalam penggunaannya masih terdapat beberapa kesalahan. Pasien Rumah Sakit Kanker Dharmais di Jakarta sebanyak 84,68% menerima antibiotik profilaksis tidak tepat waktu dan 81,98% menerima antibiotik profilaksis dalam kurun waktu lebih dari 24 jam Desiana, Soemardi, dan Radji, 2008). Penggunaan antibiotik secara tidak rasional dapat memperpanjang masa infeksi, memperburuk kondisi klinis, serta menyebabkan penggunaan antimikroba tingkat lanjut yang lebih mahal dengan efek samping dan toksisitas yang lebih besar pada pasien (Departemen Kesehatan RI, 2011).

Prinsip penggunaan antibiotik yang rasional, termasuk antibiotik profilaksis, mencakup tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat rute pemberian, tepat waktu pemberian, dan tepat lama pemberian. Pemberian antibiotik profilaksis yang optimal dan rasional dapat menurunkan tingkat kejadian ILO hingga 5,6% (Evans, Classen, Pestotnik, et al., 1994).

Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo adalah salah satu rumah sakit rujukan di Jakarta dengan lebih dari 400 pasien setiap harinya. Tindakan bedah laparotomi darurat maupun elektif banyak dilakukan setiap tahunnya di rumah sakit ini. Namun demikian, belum ada penelitian yang dilakukan mengenai kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis di rumah sakit tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan antibiotik profilaksis serta menganalisis kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis laparotomi di RSAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

(3)

TINJAUAN TEORITIS

Bedah adalah perlakuan untuk tujuan diagnosis atau terapi suatu kondisi penyakit dengan alat yang dapat melokalisasi pengaruh atau melakukan pemindahan jaringan manusia hidup, yang melibatkan laser, gelombang ultrasonik, ionisasi, radiasi, pisau bedah, dan jarum (Grill, 2012). Kelas bedah atau operasi dapat dibedakan berdasarkan risiko terjadinya infeksi menjadi empat kelompok, antara lain operasi bersih, bersih-terkontaminasi, kontaminasi, dan kotor (NNIS, 2004). Contoh operasi bersih yang umum dilakukan adalah sirkumsisi (khitan), yakni keadaan pra bedah bersih merupakan kondisi tanpa luka dan proses bedah memperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik. Operasi bersih-kontaminasi memiliki kondisi pra bedah hampir mirip dengan operasi bersih, namun operasi dilakukan pada saluran pencernaan, urogenital, dan/atau melibatkan pemasangan drain, contohnya caesar (sectio caesarea) dan cholecystectomy. Operasi terkontaminasi adalah pembedahan yang melibatkan daerah dengan luka kurang dari 6 jam (Golden period) dengan atau tanpa zat asing pada luka, atau merupakan tindakan darurat yang mengabaikan prosedur aseptik dan antiseptik. Operasi kotor merupakan pembedahan yang melibatkan daerah dengan luka terbuka selama lebih dari 6 jam, luka dengan tanda-tanda klinik infeksi, atau luka perforasi (perlubangan) organ, misalnya operasi dengan perforasi diverkulitis atau operasi yang melewati daerah purulen (inflamasi bakterial), misalnya pada operasi infeksi usus besar (Mangram, Horan, Pearson, Silver, dan Jarvis, 1999).

Laparotomi merupakan tindakan pembuatan insisi melalui dinding abdomen untuk mengakses rongga peritoneal, rongga preperitoneal, maupun rongga retroperitoneal, dengan tujuan eksplorasi (pengamatan), diagnosis, maupun terapi (Grill, 2012). Operasi ini diindikasikan untuk semua kelainan intraabdomen yang memerlukan operasi, baik darurat maupun elektif. Menurut Norton, Barie, dan Bollinger (2008), berdasarkan tekniknya, laparotomi dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yakni insisi pada garis tengah abdomen (mid-line incision) dan insisi pada garis transversal abdomen (pfannenstiel incision). Laparotomi merupakan operasi besar, dan sebagian laparotomi termasuk operasi bersih-terkontaminasi yang menimbulkan banyak komplikasi, antara lain abses, infeksi luka operasi, gas gangrene, hematoma, perdarahan, dan lain-lain (Pessaux, Msika, Atalla, et al., 2003).

Infeksi Luka Operasi (ILO) atau Infeksi Tempat Pembedahan (ITP)/ Surgical Site Infection (SSI) adalah infeksi bakteri pada luka operasi atau organ/ruang yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah operasi atau dalam waktu 1 tahun apabila terdapat implan (Hidajat, 2009). Menurut National Nosocomial Infection Surveillance (2004), terdapat 3 kriteria infeksi luka operasi, yaitu superficial incision SSI (infeksi luka operasi superfisial),

(4)

deep incisional SSI (infeksi luka operasi dalam), dan organ/space SSI (infeksi luka operasi organ/rongga tubuh). Bakteri yang menyebabkan infeksi pasca operasi berbeda-beda, tergantung pada kondisi dan jenis operasi, serta pola penyebaran mikroorganisme di lokasi operasi (Di Piro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, Posey, 1997).

Pencegahan infeksi pasca bedah pada pasien dengan operasi bersih terkontaminasi, terkontaminasi, dan beberapa operasi bersih dengan penggunaan antimikroba profilaksis diakui sebagai prinsip bedah. Penggunaan antimikroba profilaksis di kamar operasi bertujuan untuk mengontrol penyebaran infeksi pada saat pembedahan, misalnya dengan mengurangi jumlah bakteri yang ada pada jaringan mukosa yang mungkin muncul pada daerah operasi pada operasi bersih terkontaminasi (Potter dan Perry, 2005). Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis antara lain antibiotik harus sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan, berspektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri, memiliki toksisitas rendah, tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi, bersifat bakterisida, dan harganya terjangkau. Sefalosporin generasi I – II dianjurkan untuk digunakan sebagai profilaksis bedah, dan pada kasus-kasus yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan metronidazol. Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV, golongan karbapenem, dan golongan kuinolon untuk profilaksis bedah (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi survei atau observasional dengan metode retrospektif, dengan desain cross sectional. Data retrospektif yang digunakan adalah data periode Januari – Desember 2012 yang dikumpulkan melalui pengambilan data sekunder berupa rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Penelitian dilakukan di Ruang Administrasi Kamar Operasi, Ruang Administrasi Medis Sentral dan Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat pada tanggal 15 Februari hingga 16 April 2013.

Sampel penelitian adalah pasien yang menerima perlakuan laparotomi di Kamar Bedah Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo pada bulan Januari – Desember 2012 yang memenuhi kriteria inklusi, antara lain kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien yang menerima administrasi antibiotik profilaksis sebelum operasi, sedangkan kriteria eksklusi penelitian adalah pasien yang menerima tindakan laparotomi berupa sectio caesarea dan pasien dengan rekam medis yang tidak lengkap, hilang, atau tidak dapat terbaca dengan jelas.

(5)

Pengolahan data yang dilakukan meliputi analisis data deskriptif untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi karakteristik data demografi pasien, meliputi jenis kelamin, umur, hasil diagnosa penyakit, dan jenis operasi yang dijalani; analisis pengaruh jenis kelamin dan umur terhadap diagnosa penyakit pasien; analisis data deskriptif untuk mengetahui jenis antibiotik profilaksis yang digunakan, pola penggunaan antibiotik profilaksis (tunggal atau kombinasi), dan antibiotik apa yang banyak digunakan sebagai profilaksis baik secara tunggal maupun kombinasi; analisis data peta resistensi bakteri terhadap antibiotik secara deskriptif, meliputi jenis spesimen yang banyak dijadikan kultur dalam uji resistensi, spesies bakteri yang paling banyak ditemukan pada kultur pus/apusan luka pasien, serta tingkat resistensi bakteri terhadap berbagai antibiotik; analisis ketepatan indikasi, ketepatan obat, dan ketepatan dosis dari masing-masing jenis antibiotik profilaksis laparotomi, serta kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis laparotomi pada setiap pasien, yang dilakukan secara deskriptif. Kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis dilakukan dengan menggunakan panduan dari New York Presbyterian Hospital dan Peraturan Kementerian Kesehatan nomor 2406 tahun 2011. Dilakukan juga analisis regresi logistik binomial untuk mengetahui pengaruh jenis antibiotik yang digunakan sebagai laparotomi terhadap hasil sensitif pada uji resistensi bakteri Escherichia coli, Coliform, dan Staphylococcus sp. yang diperoleh dari peta resistensi bakteri RSAL Dr. Mintohardjo tahun 2012.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi penelitian, yakni seluruh pasien RSAL Dr. Mintohardjo yang menerima tindakan bedah laparotomi, berjumlah 486 pasien. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 161 orang pasien. Demografi (persebaran) pasien berdasarkan berbagai karakteristik ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Demografi pasien laparotomi berdasarkan berbagai karakteristik

Variabel Kategori Jumlah Persentase (%)

Jenis Kelamin Laki-laki 40 24,85

Perempuan 121 75,15 Umur 0-9 1 0,62 10-19 5 3,00 20-29 22 13,66 30-39 39 14,22 40-49 49 30,44 50-59 23 14,28 60-69 12 7,45 70-79 6 3,73 80-89 4 2,48

Diagnosa Penyakit Apendisitis 3 1,86

(6)

Kolelitiasis 39 24,22

Hernia incisiona abdominal 1 0,62

Hipersplenisme 1 0,62

Kanker serviks 1 0,62

Kanker ovarium 1 0,62

Kanker rektusigmoid 1 0,62

Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) 5 3,11

Kista ovarium 35 21,74 Mioma geburt 1 0,62 Mioma uteri 33 20,50 Nefrolithiasis 2 1,24 Obstruksi apendiks 1 0,62 Obstruksi ileus 10 6,21 Pendarahan postpartum 1 0,62 Peritonitis 5 3,11 Prolapsus uteri 2 1,24 Retensi plasenta 1 0,62 Retinoblastoma metastase 1 0,62 Striktura uretra 1 0,62

Trauma abdomen akut 2 1,24

Tumor abdomen 6 3,73

Tumor kolon 1 0,62

Tumor kolon sigmoid 2 1,24

Vulnus sclopetarium 2 1,24

Jenis Operasi Kolesistektomi 35 21,74

Histerektomi 12 7,45 Kistektomi 7 4,35 Laparoskopi 1 0,62 Laparotomi sederhana 69 42,86 Laparotomi eksploratif 31 19,25 Myomektomi 3 1,86 Nefrektomi 2 1,24 Ovarektomi 1 0,62 Pola Penggunaan Antibiotik Antibiotik Tunggal 92 57,14 Antibiotik Kombinasi 69 42,86

Data persebaran pasien berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa pasien perempuan jauh lebih banyak dibandingkan pasien laki-laki, dan berdasarkan diagnosa penyakit diperoleh bahwa penyakit yang banyak diderita oleh pasien laparotomi adalah kista ovarium dan mioma uteri. Data jenis kelamin dan diagnosa penyakit kemudian dihubungkan dengan uji kai-kuadrat, dan diperoleh hasil bahwa ada pengaruh antara jenis kelamin terhadap diagnosa penyakit pasien. Data rentang usia pasien juga menunjukkan bahwa pasien paling banyak berada pada rentang usia 40-49 tahun. Analisis kai-kuadrat pada data tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh antara kelompok usia dengan diagnosa penyakit (Tabel 2).

Data demografi pasien berdasarkan diagnosa penyakit menunjukkan bahwa penyakit yang paling banyak diderita pasien laparotomi adalah kolelitiasis, mioma uteri, kista ovarium, obstruksi ileus, dan tumor abdomen. Meskipun kebanyakan penyakit yang memerlukan

(7)

tindakan laparotomi merupakan penyakit dengan prevalensi rendah, banyak pasien RSAL Dr. Mintohardjo yang baru menerima laparotomi setelah penyakit memerlukan pertolongan darurat, dan pada kondisi darurat inilah biasanya infeksi pada luka operasi berisiko cukup tinggi terjadi.

Dosis regimen antibiotik profilaksis yang paling banyak digunakan secara tunggal adalah 1 g seftriakson dan 1 g sefotaksim, masing-masing pada 32 pasien (34,78%). Mayoritas pasien yang menerima antibiotik profilaksis kombinasi diberikan 1 g ampisilin dan 80 mg gentamisin, yakni sebanyak 32 pasien (46,38%). Data penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Analisis kai-kuadrat data demografi pasien laparotomi di RSAL Dr. Mintohardjo tahun 2012

Variabel 1 Variabel 2 p Jenis Kelamin Diagnosa Penyakit 0,000

Usia Diagnosa Penyakit 0,000

Tabel 3. Data penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien laparotomi RSAL Dr. Mintohardjo tahun 2012 Pola Penggunaan Antibiotik Nama Generik Antibiotik 1 Dosis Nama Generik

Antibiotik 2 Dosis Jumlah %

Antibiotik Kombinasi Ampisilin 1 g Gentamisin 40 mg 1 1,45 80 mg 32 46,38 160 mg 17 24,64 Sefotaksim 1 g Gentamisin 80 mg 2 2,90 Seftriakson 1 g Gentamisin 80 mg 7 10,14 160 mg 8 11,59 Seftriakson 2 g Gentamisin 80 mg 2 2,90 Jumlah 69 100,00

Antibiotik Tunggal Ampisilin 1 g - 2 2,17

2 g - 1 1,09 Seftazidim 1 g - 1 1,09 Sefoperazon 1 g - 1 1,09 Sefotaksim 1 g - 32 34,78 2 g - 2 2,17 Seftriakson 1 g 2 g - - 32 34,78 9 9,78 Gentamisin 80 mg - 2 2,17 120 mg - 1 1,09 Meropenem 250 mg 1 g - - 1 7 1,09 7,61 Siprofloksasin 500 mg - 1 1,09 Jumlah 92 100,00

(8)

Penggunaan antibiotik profilaksis yang diperoleh dari data tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan pedoman yang digunakan, karena kebanyakan antibiotik yang digunakan sebagai profilaksis laparotomi merupakan antibiotik berspektrum kerja luas, antara lain antibiotik golongan kuinolon, sefalosporin generasi III dan IV, serta golongan karbapenem. Namun demikian, seftriakson dan sefotaksim sebagai profilaksis sudah digunakan secara luas sebagai antibiotik profilaksis di berbagai rumah sakit di dunia. Seftriakson telah dibuktikan lebih efektif dalam mencegah infeksi luka operasi (Esposito, Noviello, Vanasia, dan Venturino, 2004). Penggunaan sefalosporin golongan III dan IV sebagai profilaksis laparotomi ini diduga disebabkan oleh resistensi bakteri penyebab infeksi di RSAL Dr. Mintohardjo yang sangat tinggi terhadap antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II. Rumah sakit lokasi penelitian juga tidak melakukan pengadaan sediaan antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II dalam bentuk injeksi, sehingga tidak tersedia untuk digunakan sebagai profilaksis laparotomi.

Antibiotik kombinasi yang digunakan sebagai profilaksis di RSAL Dr. Mintohardjo terdiri dari dua antibiotik, dan dalam setiap kombinasi salah satunya adalah gentamisin. Gentamisin digunakan sebagai kombinasi dengan sefalosporin atau penisilin untuk meningkatkan aktivitasnya, sebab kombinasi tersebut dapat menunjukkan aktivitas bakterisidal pada strain bakteri yang diklaim telah resisten terhadap ampisilin dan penisilin. Antibiotik digunakan secara kombinasi untuk mencegah resistensi strain bakteri tersebut terhadap gentamisin (Villar, Jugo, dan Farinati, 1994).

Penggunaan meropenem dan siprofloksasin sangat jarang dan tidak disarankan terlalu sering diberikan sebagai profilaksis, karena selain kedua antibiotik ini termasuk antibiotik berspektrum luas (broad spectrum), penggunaanya cukup baru dan efektivitasnya tinggi, sehingga penggunaannya secara luas dapat dengan cepat meningkatkan resistensi berbagai bakteri terhadap antibiotik tersebut (Nester, 1998). Bagaimanapun, siprofloksasin dalam hal ini digunakan sebagai profilaksis dalam laparotomi eksploratif pada penyakit striktura uretra atau penyempitan saluran urinasi, dimana siprofloksasin merupakan antibiotik yang direkomendasikan sebagai terapi lini pertama penyakit tersebut (Solomkin, Mazuski, Bradley, et al., 2010), sehingga penggunaannya sebagai profilaksis dalam hal ini dapat diterima.

Bakteri yang ditemukan pada kultur spesimen yang diperoleh dari pasien antara lain Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. yang merupakan bakteri Gram positif, serta kelompok bakteri Coliform, Pseudomonas sp., Proteus sp., Alcaligenes sp., Aerobacter sp.,

(9)

dan Acetobacter sp. yang merupakan bakteri Gram negatif. Bakteri yang paling banyak ditemukan dari spesimen yang digunakan adalah bakteri kelompok Coliform dan Escherichia coli, yakni pada 46 kultur spesimen terdapat bakteri kelompok Coliform (18,62%), dan pada 57 kultur spesimen pasien ditemukan bakteri Escherichia coli (23,08%). Jika seluruh kultur spesimen uji dimana terdapat bakteri Staphylococcus sp. digabungkan, baik yang bersifat hemolitik maupun tidak, jumlahnya juga cukup banyak, yaitu 48 spesimen (19,43%).

Kultur pus atau apusan luka yang mengindikasikan infeksi pada luka diuji, dan diperoleh bahwa jenis bakteri yang paling banyak ditemukan adalah bakteri Escherichia coli, yaitu ditemukan tumbuh pada 33 kultur (13,36%). Bakteri lainnya yang banyak ditemukan adalah Staphylococcus aureus pada 30 kultur (12,15%), dan Proteus sp., Alcaligenes sp., serta Pseudomonas sp. yang ditemukan pada masing-masing 12 kultur (4,86%). Data lengkap mengenai peta resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat dilihat pada Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6.

Tabel 4. Data profil kuman berdasarkan jenis spesimen uji sensitivitas antibiotik RSAL Dr. Mintohardjo periode Januari – Desember 2012

No. Jenis Isolat Jenis Kuman Jumlah %

1 Cairan Sendi Alcaligenes sp. 1 0,40

2 Sekret Mata α-Streptococcus 1 0,40

Pseudomonas sp. 1 0,40

3 Ludah Escherichia coli 1 0,40

4 Feses Proteus sp. 1 0,40

5 Ujung Cup/Ujung Kateter

Streptococcus sp. 1 0,40

Escherichia coli 2 0,81

6 Apusan Tenggorok Streptococcus sp 1 0,40

Streptococcus pneumoniae 1 0,40

7 Jaringan

Staphylococcus aureus 1 0,40

Coliform 1 0,40

Pseudomonas sp. 1 0,40

8 Biakan Bronkus Acetobacter aerogenes 1 0,40

Staphylococcus aureus 1 0,40

9 Cairan Pleura Staphylococcus aureus 1 0,40

10 Cairan Empedu Pseudomonas sp. 1 0,40

11 Lemak Abdomen Staphylococcus pyrogenes 1 0,40

12 Apusan Vagina Escherichia coli 1 0,40

13 Apusan Tenggorok Streptococcus sp 1 0,40

14 Darah Alcaligenes sp. 8 3,24 Staphylococcus aureus 4 1,62 Coliform 3 1,21 Streptococcus sp. 6 2,43  

(10)

   

No. Jenis Isolat Jenis Kuman Jumlah %

15 Pus Coliform 15 6,07 Escherichia coli 33 13,36 Proteus sp. 12 4,86 Staphylococcus aureus 30 12,15 Pseudomonas sp. 12 4,86 Streptococcus sp. 5 2,02 Staphylococcus pyrogenes 1 0,40 Aerobacter aerogenes 1 0,40 Alcaligenes sp. 12 4,86 16 Sputum Proteus sp. 3 1,21 Pseudomonas sp. 14 5,67 Coliform 20 8,10 Escherichia coli 10 4,05 α-Streptococcus 2 0,81 Acetobacter aerogenes 1 0,40 Alcaligenes faecalis 4 1,62 Staphylococcus aureus 1 0,40 17 Urine Escherichia coli 10 4,05 Alcaligenes sp. 1 0,40 Pseudomonas sp. 1 0,40 γ-Streptococcus 1 0,40 Streptococcus sp. (haemolyticus) 2 0,81 Staphylococcus aureus 7 2,83 Proteus sp. 1 0,40 Coliform 7 2,83 Jumlah 247 100,00

(11)

Tabel 5. Data jumlah kuman yang terlibat dalam pembuatan peta resistensi bakteri terhadap antibiotik di RSAL Dr. Mintohardjo periode Januari – Desember 2012

No. Jenis Kuman Jumlah %

1 Acetobacter aerogenes 2 0,81 2 Aerobacter aerogenes 1 0,40 3 Alcaligenes sp. 26 10,53 4 a-Streptococcus 3 1,21 5 Coliform 46 18,62 6 Escherichia coli 57 23,08 7 g-Streptococcus 2 0,81 8 Proteus sp. 17 6,88 9 Pseudomonas sp. 30 12,15 10 Staphylococcus aureus 45 18,22 11 Staphylococcus pyrogenes 2 0,81 12 Streptococcus pneumoniae 1 0,40 13 Streptococcus sp. (anhaemolyticus) 1 0,40 14 Streptococcus sp. (haemolyticus) 14 5,67 Jumlah 247 100,00

Tabel 6. Peta resistensi bakteri dari kultur pus/apusan luka pasien RSAL Dr. Mintohardjo periode Januari-Desember 2012

Spesies Bakteri Status

Resistensi Terhadap Antibiotik (%)

AMP CFP CTX CAZ CRO CIP GN MEM

Staphylococcus sp. S 26 38 0 39 35 42 35 70 I 10 24 100 10 23 3 6 0 R 65 38 0 52 42 55 58 30 Coliform S - 7 13 13 13 7 27 67 I - 13 0 7 7 33 0 7 R - 80 87 80 80 60 73 27 Escherichia coli S - 26 29 43 29 23 54 97 I - 6 6 6 9 3 3 0 R - 69 66 51 63 74 43 3

Data resistensi bakteri terhadap antibiotik memperlihatkan bahwa mayoritas bakteri, baik Gram positif maupun Gram negatif, sudah resisten terhadap lebih dari 10 jenis antibiotik dari berbagai golongan. Escherichia coli dan bakteri golongan Coliform yang merupakan bakteri yang paling tinggi kemungkinannya untuk menyebabkan infeksi pada luka operasi laparotomi sekaligus bakteri yang paling banyak terdapat di lingkungan RSAL Dr. Mintohardjo, sudah resisten pada hampir seluruh antibiotik yang digunakan sebagai

(12)

profilaksis di RSAL Dr. Mintohardjo, antara lain sefoperazon, sefotaksim, seftazidim, seftriakson, siprofloksasin, dan sefepim. Ampisilin yang ditujukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri kokus Gram positif seperti Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. juga sudah tidak efektif lagi untuk menghambat pertumbuhan bakteri tersebut, terlihat dari resistensi masing-masing bakteri terhadap ampisilin yang sudah lebih dari 50%. Penggunaan antibiotik dalam jangka waktu yang panjang pada pasien diduga menyebabkan resistensi bakteri terhadap antibiotik, terlebih lagi karena pasien yang diambil jaringannya untuk dikultur merupakan pasien yang menerima terapi antibiotik secara empiris namun tidak kunjung sembuh.

Fokus penilaian kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis yang diamati meliputi ketepatan indikasi, ketepatan obat, dan ketepatan dosis. Data kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis laparotomi RSAL Dr. Mintohardjo tahun 2012 dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 7.

Ketidaktepatan indikasi paling banyak disebabkan karena penggunaan seftriakson dan sefotaksim yang termasuk sefalosporin generasi 3, dan meropenem yang termasuk golongan karbapenem, dimana kedua golongan antibiotik tersebut tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai profilaksis secara rutin karena berspektrum luas, sehingga dapat meningkatkan risiko timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut. Data yang diperoleh juga menunjukkan bahwa hampir semua antibiotik profilaksis yang digunakan sudah tidak efektif lagi untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang paling tinggi risikonya untuk menyebabkan infeksi pada luka operasi laparotomi. Berdasarkan ketepatan dosis, kebanyakan antibiotik profilaksis telah digunakan secara tepat dosis. Antibiotik yang digunakan secara tidak tepat dosis adalah gentamisin, yang digunakan lebih dari 120 mg pada 25 pasien dan kurang dari 1,5 mg/kg pada 1 pasien secara kombinasi dengan ampisilin atau seftriakson. Gentamisin memiliki efek samping nefrotoksik sehingga perlu berhati-hati dalam penggunaannya. Dosis gentamisin seharusnya disesuaikan dengan berat badan pasien, namun dosis antibiotik tersebut dalam penggunaannya sebagai profilaksis laparotomi di RSAL Dr. Mintohardjo biasanya disesuaikan dengan dosis lazim saja.

(13)

Tabel 7. Data evaluasi penggunaan antibiotik laparotomi RSAL Dr. Mintohardjo tahun 2012 berdasarkan ketepatan indikasi, ketepatan obat, dan ketepatan dosis

Variabel Kriteria Jumlah Administrasi Antibiotik Persentase (%)

Ketepatan Indikasi Tepat indikasi 126 54,78

Tidak tepat indikasi 104 45,22

Ketepatan Obat Tepat obat 8 3,48

Tidak tepat obat 222 96,52

Ketepatan Dosis Tepat dosis 204 88,70

Tidak tepat dosis 26 11,30

Kerasionalan Rasional 0 0,00

Tidak rasional 161 100,00

Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik profilaksis paling banyak disebabkan oleh ketidaktepatan obat, yaitu sebanyak 222 kali pemberian pada 153 pasien (95,03%). Uji kai-kuadrat yang dilakukan menunjukkan bahwa jenis antibiotik berpengaruh terhadap sensitivitas bakteri Escherichia coli, kelompok bakteri Coliform, dan Staphylococcus sp (Tabel ). Uji regresi logistik yang dilakukan terhadap data peta resistensi bakteri Escherichia coli menunjukkan bahwa meropenem merupakan antibiotik yang paling besar memberikan hasil sensitif, sedangkan siprofloksasin adalah antibiotik yang paling kecil memberikan hasil sensitif, artinya pada setiap 1 kali penggunaan siprofloksasin, kemungkinan diperoleh hasil resisten lebih besar dibandingkan dengan pemberian antibiotik lain.

Uji regresi logistik juga dilakukan terhadap data resistensi kelompok bakteri Coliform dan Staphylococcus sp. Sefotaksim merupakan antibiotik yang paling kecil memberikan hasil sensitif pada kelompok bakteri Coliform, dan meropenem memberikan hasil sensitif paling besar. Ampisilin paling sedikit memberikan hasil sensitif pada Staphylococcus sp., sedangkan yang paling besar kemungkinannya untuk memberikan hasil sensitif adalah sefotaksim. Data lengkap mengenai hasil uji regresi logistik dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Data hasil uji regresi logistik jenis antibiotik dengan sensitivitas bakteri

Escherichia coli, Coliform, dan Staphylococcus sp

Spesies/Kelompok Bakteri Jenis Antibiotik Konstanta Regresi Odds Ratio

Escherichia coli Sefotaksim -0,938 0,391 Seftriakson -0,814 0,443 Seftazidim -0,231 0,794 Sefoperazon -1,068 0,344 Meropenem 3,239 25,500

(14)

Siprofloksasin -1,349 0,260

Konstanta 0,288 1,333 Spesies/Kelompok Bakteri Jenis Antibiotik Konstanta Regresi Odds Ratio

Coliform Sefotaksim -0,860 0,423 Seftriakson -0,375 0,688 Seftazidim -0,375 0,688 Sefoperazon -0,375 0,688 Meropenem 2,023 7,562 Siprofloksasin 0,606 1,833 Konstanta -1,012 0,364 Staphylococcus sp. Ampisilin -0,272 0,762 Sefotaksim 21,528 2236811350,67 Seftriakson 0,651 1,917 Seftazidim 0,261 1,298 Sefoperazon 0,818 2,266 Meropenem 1,173 3,231 Siprofloksasin 0,131 1,140 Konstanta -0,325 0,722 Bagaimanapun, kerasionalan penggunaan antibiotik di RSAL Dr. Mintohardjo tidak dapat langsung disimpulkan tidak rasional secara keseluruhan, karena terdapat banyak hal yang memengaruhi keputusan dokter bedah untuk menggunakan antibiotik tersebut. Misalnya dalam penggunaan sefalosporin generasi III dan IV sebagai profilaksis, dapat disebabkan oleh terlalu rendahnya efektifitas penghambatan pertumbuhan bakteri penyebab infeksi oleh sefalosporin generasi I dan II, dan resistensi bakteri terhadap sefalosporin generasi III dan IV yang masih relatif rendah walaupun sudah lebih dari 50%.

KESIMPULAN

Pasien yang menjadi sampel penelitian berjumlah 161 pasien, dan dari data pasien tersebut diperoleh total 230 kali administrasi antibiotik profilaksis. Pasien yang menerima antibiotik profilaksis tunggal sebanyak 92 pasien (57,14%) dan yang menerima antibiotik profilaksis kombinasi sebanyak 69 pasien (42,86%). Antibiotik tunggal yang paling banyak digunakan adalah sefotaksim dan seftriakson dengan dosis 1 g, masing-masing diberikan kepada 32 pasien (34,78%), sedangkan antibiotik kombinasi yang paling banyak digunakan adalah ampisilin 1 gram dan gentamisin 80 mg, yaitu pada 32 orang (46,38%). Pengkajian kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis laparotomi di RSAL Dr. Mintohardjo menunjukkan bahwa administrasi antibiotik profilaksis yang tepat indikasi berjumlah 126 kali pemberian (54,78%), tepat obat 8 kali pemberian (3,48%), dan tepat dosis 204 kali pemberian

(15)

(88,70%). Tidak ada pasien yang menerima antibiotik profilaksis laparotomi secara rasional jika dilihat dari data ketepatan indikasi, ketepatan obat, dan ketepatan dosis.

SARAN

Dokter bedah disarankan menelaah panduan yang berlaku lebih lanjut, atau melakukan penyusunan panduan pemberian antibiotik profilaksis bedah bagi kalangan sendiri. Evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis laparotomi secara evidence-based pada periode tertentu atau perputaran penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat indikasi dan efektif disarankan untuk dilakukan untuk mencegah berkembangnya resistensi lebih lanjut pada bakteri penginfeksi. Selain itu, diperlukan penelitian lanjutan mengenai hubungan antara kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis dengan kejadian infeksi luka operasi laparotomi, serta faktor-faktor yang memengaruhinya.

KEPUSTAKAAN

Departemen Kesehatan RI. (2011). Masalah Kebal Obat Masalah Dunia. Dikutip 15 Oktober 2012, dari halaman web Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya

Manusia Kesehatan:

www.bppsdmk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=189: masalah-kebal-obat-masalah-dunia&catid=38:berita&itemid=82.

Desiana, Lydia S., Soemardi, Ajoedi., Radji, Maksum. (2008). Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis di Ruang Bedah Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Jakarta dan Hubungannya dengan Kejadian Infeksi Daerah Operasi. Indonesian Journal of Cancer, 2(4):126-131.

Di Piro J.T., Talbert, R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (1997). Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach. Connecticut: Appleton & Lange, pp. 2019-2035.

Djojosugito, MA., Roeshadi, D., Pusponegoro, AD., Supardi, I. (2001). Buku Manual Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Emori, T.G., Gaynes, R.P. (1993). An overview of nosocomial infections, including the role of the microbiology laboratory. Clin. Microbiol Rev. 6(4): 428-442.

Esposito, S., Noviello, S., Vanasia, A., dan Venturino, P. (2004). Ceftriaxone versus Other Antibiotics for Surgical Prophylaxis: A Meta-Analysis. Clin Drug Investig. 24(1): 29-39.

Evans, RS., Classen, DC., Pestotnik, SL., et al. (1994). Improving empiric antibiotic selection using computer decision support. Archives of Internal Medicine, 154(8):878-884.

(16)

Goldman, Maxine A. (2007). Pocket Guide to the Operating Room Third Edition. Philadelphia: F.A.Davis Company.

Grill, C. (2012). State of the states: defining surgery. Bulletin of the American College of Surgeons, 97(5): 27–9.

Hedrick, T.L., Turrentine, F.E., Smith, R.L., et al. (2007). Single Institutional Experience eith the Surgical Infection Prevention Project in Intra Abdominal Surgery. Surgical Infectioms 8(4): 425-436.

Hidajat, Nucki N. (2009). Pencegahan Infeksi Luka Operasi. Bandung: FK-UNPAD/Bag. Orthopaedi & Traumatologi RS. Hasan Sadikin.

Karnadihardja W. (1990). Tinjauan terhadap Penelitian Infeksi Nosokomial di RS Hasan Sadikin dalam Usaha Penggunaan Antimikroba secara Rasional. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 2406/MENKES/PER/XII/2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kirkland, Kathryn B., Briggs, Jane P., Trivette, Sharon L., Wilkinson, William E., dan Sexton, Daniel J. (1999). The Impact of Surgical – Site Infections in the 1990s: Attributable Mortality, Excess Length of Hospitalization, and Extra Costs. Infection Control and Hospital Epidemiology, 20(11):725-730

Mangram, A., Horan, T., Pearson, M., Silver, L., dan Jarvis, W. (1999). Guidelines for prevention of surgical site infection. Infection Control and Hospital Epidemiology, 20(4): 247. Dikutip 20 Oktober 2012, dari halaman web CDC: http://www.cdc.gov/ncidod/hip/SSI/SSI_guideline.htm.

Nester, E.W., et al. (1998). Microbiology, A Human Perspective 2nd edition. New York: McGraw-Hill.

NNIS. (2004). National Nosocomial Infections Surveillance (NNIS) System Report, data summary from January 1992 through June 2004. Dikutip 20 Oktober 2012, dari halaman web CDC: http://www.cdc.gov/nhsn/pdfs/datastat/nnis_2004.pdf.

Norton, J.A., Barie, P.S., Bollinger, R.R. (2008). Surgery: Basic Science and Clinical Evidence. New York: Springer.

Pessaux P., Msika S., Atalla D., et al. (2003). Risk factors for postoperative infectious complications in colorectal abdominal surgery: a multivariate analysis based on a prospective multicenter study of 4718 patients. Arch. Surg. 138(3): 314-324.

Potter, P.A., Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 1. Alih Bahasa: Yasmin Asih, dkk. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

(17)

Solomkin, J.S., Mazuski, J.E., Bradley, J.S., et al. (2010). Diagnosis and management of complicated intra-abdominal infection in adults and children: guidelines by the Surgical Infection Society and the Infetious Diseases Society of America. Clin. Infect. Dis. 50(2): 133-164.

Villar, H., Jugo, M., dan Farinati, A. (1994). Efficacy of gentamycin combined with beta-lactam antibiotics against penicillin-resistant and non-resistant Streptococcus agalactiae. Enferm Infecc Microbiol Clin. 12(8):385-389.

Gambar

Tabel 1. Demografi pasien laparotomi berdasarkan berbagai karakteristik
Tabel 2. Analisis kai-kuadrat data demografi pasien laparotomi di RSAL Dr.
Tabel 6. Peta resistensi bakteri dari kultur pus/apusan luka pasien RSAL Dr.
Tabel 7. Data evaluasi penggunaan antibiotik laparotomi RSAL Dr. Mintohardjo tahun  2012 berdasarkan ketepatan indikasi, ketepatan obat, dan ketepatan dosis

Referensi

Dokumen terkait

Interrelasi ini merupakan refleksi dari pemikiran Ibnu Khaldun yang secara singkat dapat dijelaskan bahwa suatu ‘umran bila tidak dijaga oleh syari’at pada

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data... menurut Sugiyono

Menurut Ibu Hastati (warga di sekitar Masjid Al – Ghazali 9/10 ulu) bentuk toleransi antar umat beragama di daerah ini dengan cara hidup rukun bersama, saling menyapa

Dengan tujuan untuk mengetahui pelaksanaan pembiayaan pensiunan pada Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Bukittinggi penulis dalam proses pengumpulan datanya merasa perlu

Corak jalur merupakan garis-garis memanjang pada · permul<aan kain hasil proses penenunan kain serta dapat dilakukan dengan pelbagai cara iaitu dengan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa, 1) Perilaku perempuan tani jika ditinjau dari pengetahuan, sikap dan keterampilan masih memiliki kategori yang rendah karena

Depdikbud (1993:8) mengungkapkan fungsi-fungsi tersebut yaitu: 1) Untuk meningkatkan produktifitas pendidikan, dimana sumber belajar diharapkan dapat memicu

Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesarbesarnya atas bimbingan, bantuan, dukungan dan dorongan semangat yang telah diberikan