• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profesionalisme bagi Profesi Dokter PDF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Profesionalisme bagi Profesi Dokter PDF"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Profesionalisme bagi

Profesi Dokter

Zunilda Djanun Sadikin

Badan Pengembangan dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) Ikatan Dokter Indonesia

Kata profesionalisme merupakan kata kunci dalam Undang-Undang RI no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang sempat membuat gerah kalangan dokter. Yang langsung tampak oleh para dokter, khususnya para spesialis, adalah “pembatasan gerak” mereka dalam bentuk pembatasan jumlah tempat praktik. Itu suatu reaksi yang alami dalam suatu upaya pembenahan, seperti halnya pembenahan pedagang K-5. Sebagai organisasi, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentu tidak mungkin mengambil langkah reaktif. Hal tersebut dibuktikan dalam muktamarnya tahun 2006 yang berhasil merumuskan visi dan misi organisasi. Visinya sungguh berat, tetapi tampaknya memang patut dituju, yaitu

terwujudnya dokter Indonesia dengan kompetensi global yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Untuk mencapai

visi itu dirancanglah 5 strategi utama (grand strategy) yaitu:1

1. Memperkuat infrastruktur organisasi di tingkat pusat, wilayah, dan cabang.

2. Membina kompetensi dan etika dokter di Indonesia sesuai dengan standar kompetensi dan kode etik kedokteran Indonesia.

3. Membangun sistem pembiayaan organisasi yang mandiri.

4. Membangun sistem pelayanan kedokteran terpadu 5. Membangun citra IDI sebagai organisasi profesi dokter

yang aktif dalam pembangunan kesehatan.

Dalam strategi kedua terdapat misi pembinaan secara bersistem dalam suatu program pengembangan keprofesian bersinambung atau continuing professinal development. Secara salah kaprah program itu resmi disebut sebagai

pro-gram pengembangan dan pendidikan keprofesian ber-kelanjutan, atau program P2KB. Organ IDI yang

bertang-gungjawab mengelola program pembinaan ini, yaitu Badan

Pengembangan dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan,

yang memiliki kepanjangan tangan di tingkat wilayah, BP2KB

Wilayah. Dalam badan otonom tersebut duduk dokter dan

spesialis yang mewakili perhimpunan sekaligus kolegiumnya. Akhir Juni 2007 Ketua Umum IDI, Dr. dr. Fahmi Idris, M.Kes, mengundang para ketua perhimpunan dokter spesialis di lingkungan IDI serta para ketua IDI Wilayah sebagai langkah pertama dalam upaya mewujudkan program P2KB. Setelah arahan dari Ketua Umum dan Ketua Badan P2KB, tiga pembicara lain tampil membahas soal P2KB dan resertifikasi secara lebih rinci.

Kalau ditelusuri empat sasaran strategi kedua IDI dalam menuju visinya, maka akan ditemukan benang merah P2KB yang mengait ke majalah ini. Berikut empat sasaran dalam membina kompetensi dan etika dokter:

1. Setiap anggota memperoleh Continuing Professional

Development dengan akses cepat dan biaya terjangkau. 2. Setiap anggota mendapat Jurnal IDI secara teratur

(2)

3. Setiap anggota mendapat perlindungan hukum dan perlindungan kerja secara proporsional sesuai dengan wewenang IDI

4. Terbitnya Guideline Audit Medik untuk memastikan penerapan standar kompetensi dan kode etik kedokteran. IDI memang terasa dormant selama ini. Orang sempat bertanya, apa manfaatnya menjadi anggota IDI dan apa ruginya tidak menjadi anggota IDI. Geliatan pertama berupa program P2KB ini, agaknya mengejutkan bagi sebagian anggotanya, bahkan sangat mengejutkan bagi sebagian besar lainnya. Bagi mereka yang terlibat dalam kepengurusan pusat sejak periode yang lalu, 4 sasaran di atas bukan gerakan mimpi apalagi gerak latah, melainkan suatu keniscayaan. Lebih-lebih kalau kita mau sedikit merenungkan napas yang terkandung dalam Undang-Undang RI no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,2 atau mau sedikit menengok apa

yang terjadi di luar sana.3-6

Ruh UUPK adalah “melindungi masyarakat dalam menerima layanan profesi dokter”. Lalu, cobalah tengok dunia luar dengan kaca mata jernih, kaca mata profesional, maka kita akan lega melihat 4 sasaran di atas. Itu bukan sasaran yang mengada-ada, tetapi tentu saja, semua dituntut untuk siap berubah dan siap menghadapi perubahan.

Pembinaan Profesi

“Pembinaan” adalah kata yang banyak sekali muncul dalam tatanan lembaga (organisasi), tetapi arti sebenarnya mungkin tak jelas benar bagi kebanyakan orang. Beberapa direktoral general atau direktorat di lingkungan Departemen Kesehatan yang menggunakan kata “pembinaan” atau “Bina” pada namanya juga rasanya tak sepenuhnya men-jelaskan arti “pembinaan” itu. Apakah pembinaan benar-benar sudah terjadi di sekitar kita? Nah kini, dikaitkan pula dengan profesi.

Kalau kita lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka pengertian pembinaan diuraikan sebagai berikut: upaya,

tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Lalu apakah pembinaan profesi? Tampaknya ada euphemism dalam mengangkat istilah “pembinaan” karena pada kenyataannya, pembinaan profesi yang dimaksud dalam pro-gram P2KB ini lebih tepat kalau disebut sebagai bagian dari upaya pengawasan profesi (professional oversight).3 IDI

kepengurusan 2006-2009 melansir program ini setelah Komisi III Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian IDI periode kepengurusan sebelumnya menggodog gagasan itu selama 2 tahun.

Program P2KB pada dasarnya memang merupakan upaya

ini tidak dapat dilepaskan dari mekanisme licensure atau pemberian izin praktik. Perlu diketahui bahwa Continuing

Professional Development bukan monopoli profesi dokter, karena semua profesi yang memberikan jasanya untuk kepentingan masyarakat luas punya program ini.8 Dengan

demikian, jelas agak aneh kalau CPD dikacaukan penger-tiannya dengan CME, atau lebih parah lagi, CPD disebutkan sebagai “menggantikan CME”.

Tidak bisa tidak program P2KB harus dilihat sebagai bagian dari professional oversight.3 Dalam masa kehidupan

profesinya seorang dokter (juga profesi lain) senantiasa harus memperbarui ilmu dan keterampilannya karena ilmu kedokteran selalu berkembang, masalah kedokteran dan kesehatan senantiasa berubah. Terakhir, tak berlebihan kiranya kalau dikatakan bahwa kerja dokter berhubungan dengan kesejahteraan, bahkan, hidup mati seseorang. Oleh karena itu, IDI bertanggungjawab menjamin bahwa dokter yang bekerja di Indonesia adalah dokter yang kompeten untuk memikul tugasnya. Di masa lalu, tanggung jawab itu hanya dijalankan secara “administratif”, yaitu dengan memberikan rekomendasi bagi dokter yang akan mengurus izin praktiknya. Di masa depan tanggung jawab tersebut akan dijalankan dengan sebenar-benarnya yaitu melalui proses sertifikasi dan resertifikasi. Untuk itu semua perhimpunan (spesialis maupun nonspesialis) di bawah IDI harus terlibat: mereka harus menyelenggarakan pembinaan bersistem bagi anggotanya. Bukan saja Undang-undang Praktik Kedokteran yang menuntut demikian, tetapi zaman pun menuntut.

Profesionalisme bagi dokter meliputi kompetensi, etika,

altruism, collegiality, dan accountability.9 Mengembangkan

profesionalisme merupakan kewajiban profesi (professional

imperative) bagi setiap dokter dan itu dimulai saat seorang calon dokter menjalani pendidikan di fakultas kedokteran. Oleh karena itu umumnya dokter muda/baru yang baru memperoleh kompetensinya, yang baru mempelajari etika kedokteran, dan yang baru mulai melangkah menapaki cita-citanya tampak “idealis”. Namun, kita tidak dapat menjamin idealisme itu masih tetap ada setelah beberapa tahun ia berpraktik. Terlalu banyak faktor yang membuat seseorang “terpaksa” meninggalkan cita-cita awalnya untuk me-ngabdikan diri bagi kemanusiaan. Semua unsur pro-fesionalisme yang seharusnya dipertahankan dan/atau dikembangkan dalam kehidupan seorang profesional, terasa sulit sekali diwujudkan. Tentu saja ada CME, tetapi itu tidak cukup karena CME hanya menyangkut kompetensi. Apalagi dengan CME yang kita kenal sekarang yang lebih banyak berupa pengalihan (transfer) pengetahuan, yang belum tentu mencakup juga keterampilan. Apakah pengetahuan yang diperoleh dari CME itu membuat seorang dokter berpraktik

(3)

Beberapa Prinsip dalam P2KB

Berbeda dengan prinsip dalam pendidikan kedokteran dasar dan pendidikan spesialis yang berstruktur, P2KB merupakan kegiatan belajar mandiri dengan ciri self-directed dan practice-based (Gambar 1). Oleh karena itu keberlangsungan program P2KB sangat bergantung pada motivasi para dokter itu sendiri. Dari sudut pandang dokter, motivasi untuk menjalani P2KB seyogyanya muncul dari tiga dorongan utama:

1. Dorongan profesional untuk memberikan layanan yang terbaik kepada pasien

2. Dorongan untuk memenuhi kewajiban kepada pemberi kerja

3. Dorongan untuk memperoleh kepuasan kerja dan mencegah “kejenuhan” (burn out)

Banyak bukti telah memperlihatkan bahwa suatu P2KB ternyata baru efektif bila didukung oleh (a) adanya kebutuhan untuk mempelajari suatu tema/topik, (b) cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan itu, dan (c) kesempatan untuk menerapkan hasil belajar itu.5

Dokter sudah lama dikenal sebagai profesi yang akan/ harus belajar sepanjang hidup profesionalnya (life-long

learning profession). Hanya pribadi masing-masing dokterlah yang tahu apa yang harus atau perlu dipelajarinya. Banyak cara untuk menetapkan kebutuhan belajar seseorang, mulai dari ujian formal yang mengacu ke standar kompetensi, sampai ke cara yang umum dalam kehidupan sehari-hari

seperti penilaian atasan atau teman sekerja, medical audit, bahkan juga perenungan (refleksi) diri. Berdasarkan

learn-ing needs itu seorang dokter hendaknya menyusun sendiri rencana pengembangan dirinya dalam bentuk rencana pengembangan diri (RPD) atau personal development plan.4

Dari uraian di atas jelas bahwa P2KB diperlukan oleh setiap

orang yang menjalankan profesinya. Untuk IDI, P2KB

kedokteran harus dijalani oleh dokter yang berpraktik umum maupun spesialis.

Coba berhenti sejenak dan kita lihat sasaran keempat dalam strategi “membina kompetensi dan etika dokter di In-donesia sesuai dengan standar kompetensi dan kode etik kedokteran Indonesia”. Tampaklah bahwa medical audit yang saat ini belum populer di kalangan kita pada dasarnya merupakan sarana untuk dokter meningkatkan pro-fesionalismenya, bukan sekedar untuk mencari kesalahan dalam penanganan pasien. Kita berharap mudah-mudahan sasaran keempat itu segera tercapai sehingga lebih banyak peluang untuk menjalankan P2KB.

Prinsip pertama dalam P2KB adalah pembelajarannya bersifat self-directed dan practice-based, maka unsur utama untuk dapat berlangsungnya P2KB adalah pencatatan untuk tujuan pemantauan oleh perhimpunannya. Dalam hal ini pemanfaatan teknologi informasi akan sangat membantu. Prinsip kedua, P2KB mengacu kepada kompetensi yang ditetapkan oleh kolegium.5 Untuk dokter umum kolegium ini

adalah Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga Indonesia dan kompetensinya adalah kompetensi yang ditetapkan oleh

(4)

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).10 Dengan demikian,

suatu program P2KB seyogyanya mencakup semua kegiatan

practicing doctors dan kebijakan umum dalam pelaksanaan programnya disepakati oleh perhimpunan dan kolegiumnya melalui Badan P2KB IDI, sedangkan implementasinya diserahkan kepada perhimpunan. Saat ini perhimpunan spesialis maupun perhimpunan dokter pelayanan primer di lingkungan IDI sedang giat menyusun kebijakan operasional

(petunjuk pelaksanaan teknis) P2KB sesuai dengan ciri

layanan bidang profesinya masing-masing.7

P2KB dan Sertifikasi

Seperti telah diuraikan di atas, P2KB bagi seorang dokter merupakan upaya pembelajaran yang dilaksanakannya melalui kegiatan praktiknya. Setiap dokter berpraktik berhak memperoleh kesempatan untuk menjalani program P2KB IDI yang dikelola oleh perhimpunan dokter yang sesuai dengan jenis layanan kedokterannya. Tentu sang dokter harus jadi anggota perhimpunan itu dulu. Program ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses resertifikasi yang di-butuhkan untuk mendapatkan izin praktik (lisensure).

Proses resertifikasi adalah proses pemberian surat keterangan pengakuan oleh perhimpunan profesi dan/atau kolegiumnya yang menyatakan bahwa seorang dokter dinilai telah memiliki kemampuan profesi yang setara dengan standar profesi dan standar kompetensi yang ditetapkan oleh kolegium yang bersangkutan. Surat keterangan itu bernama

sertifikat kompetensi. Untuk mendapatkan serifikat

kompetensi tersebut dokter tersebut harus mengumpulkan sejumlah tertentu nilai kredit yang dapat dijadikan ukuran kompetensinya. Tentu saja nilai itu hanya dapat diperoleh dari berbagai kegiatannya sebagai dokter karena kompetensi dokternyalah yang diukur, bukan kompetensinya mengelola sebuah rumah sakit, misalnya. IDI menetapkan bahwa jumlah nilai yang harus dikumpulkan adalah 50 per tahun atau 250 per lima tahun.7 Sertifikat kompetensi ini juga diperlukan

untuk registrasi ulang di KKI.

Pembelajaran dalam P2KB

Pertanyaannya sekarang dari mana angka 50 per tahun itu dapat dikumpulkan? Dalam sosialisasi pertama program P2KB di kalangan intern pengurus IDI, memang ada beberapa keberatan tentang jumlah nilai yang dituntut ini, tetapi mari kita lihat latar belakang munculnya gagasan P2KB (CPD) di kalangan profesional, dan tujuannya.

Latar belakang munculnya gagasan P2KB adalah gagalnya upaya pembelajaran bersinambung (CME) membuat seorang dokter menjadi lebih kompeten. Bayangkan

sirkumsisi yang membuat seseorang terampil melakukannya dan hanya dengan menangani hepatitis seorang dokter dapat dinilai kompetensinya dalam menangani hepatitis.

Tujuan dilaksanakannya program P2KB adalah membuat pelayanan kedokteran lebih bermutu agar masyarakat pengguna layanan terlindungi.2 Dengan demikian kegiatan

P2KB pun mestinya dirunut ke pekerjaan dokter itu sendiri. Itulah yang dimaksud dengan practice-based. Masing-masing spesialis tentu sudah ada standar pelayanannya, demikian juga dokter praktik umum. Dengan melakukan tugasnya sebagai dokter puskesmas atau dokter praktik umum, seseorang dapat mempertahankan kemampuannya sebagai dokter praktik umum, dan bila dilakukan audit pada pekerjaannya mutu layanannya pun dapat dijaga. Itulah pembinaan yang dimaksud dalam strategi kedua mencapai visi IDI.1 Bagi sejawat yang pernah bekerja di puskesmas,

P2KB mungkin mengingatkannya pada proses pengumpulan nilai kum kenaikan pangkat.11 Bedanya, dalam P2KB, lebih

banyak kegiatan yang dapat menghasilkan nilai pendidikan/ pembelajaran yang disebut sebagai SKP IDI. Masing-masing perhimpunan akan membuat petunjuk teknis untuk ini.

Mari kita lihat Tabel 1 (dimodifikasi dari pustaka 7). Hampir semua kegiatan dalam tabel ini, termasuk penelitian, sebenarnya merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh semua dokter, umum maupun spesialis, tetapi kita tidak melakukannya, entah dengan alasan apa. Program P2KB IDI ingin mendorong anggotanya untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan, karena hanya dengan itu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional kita dapat diasah. Tabel 1. Berbagai Kegiatan yang Memberikan Nilai SKP IDI

Kegiatan Jenis kegiatan

Membaca jurnal dan menjawab uji-dirinya. Pembelajaran

Memberikan penyuluhan. Pengabdian masyarakat

Membuat tulisan populer Pengabdian masyarakat

Menulis tinjauan kasus/ tinjauan pustaka/ Karya ilmiah buku/monograf.

Terlibat dalam suatu panitia/pokja Pengabdian masyarakat/ profesi

Menangani pasien (dengan/tanpa Kegiatan profesional intervensi)

Melakukan edukasi pasien (perorangan/ Kegiatan profesional kelompok)

Melakukan kajian mitra bestari Kegiatan professional (peer review)

Melaporkan kejadian efek samping obat Kegiatan professional

Melakukan skrining kesehatan Kegiatan professional

Menyajikan makalah dalam acara ilmiah Pengembangan ilmu Membuat penelitian Pengembangan ilmu

Melakukan penelusuran informasi/ Pembelajaran

(5)

pendidikan dokter, tetapi dengan berubahnya paradigma pendidikan kedokteran sekarang ini, bukan tak mungkin dokter di puskesmas atau yang berpraktik bersama di sebuah klinik dokter keluarga, dapat menjadi penyelia calon dokter atau dokter lain yang sedang belajar.

Selama ini kita mengira bahwa kegiatan no. 11, 12, dan 13 hanya patut untuk mereka yang bekerja di perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Anggapan tersebut sama sekali tidak benar karena pasien yang dihadapi dokter sehari-hari merupakan sumber data yang dapat diolah untuk menghasilkan sesuatu (informasi) berharga. Sementara itu, pelaporan efek samping obat yang sebenarnya sangat dianjurkan (kalau tak mau disebut diwajibkan) oleh Departemen Kesehatan hanya tinggal wacana walaupun lembaga yang bertanggungjawab untuk itu sebenarnya sudah ada.

Dari Tabel 1. itu juga terlihat bahwa sebenarnya kegiatan yang dapat dilakukan oleh seorang dokter dapat dibedakan atas 5 macam yaitu:

1. Kegiatan pembelajaran

2. Kegiatan profesional, yaitu yang berhubungan dengan tugasnya sebagai dokter

3. Kegiatan pengabdian masyarakat/profesi 4. Kegiatan penulisan karya ilmiah

5. Kegiatan pengembangan ilmu

Budaya Tulis

Suatu body of knowledge yang kita kuasai sekarang ini pada dasarnya terbentuk dari sebuah budaya tulis. Apa yang dikenal sebagai kebenaran ilmu direkam dalam berbagai tulisan, mulai dari pengamatan pribadi, temuan suatu eksperimen, makalah ilmiah, monograf, sampai ke buku ajar (textbook). Apa yang ditemui dalam penerapan suatu ilmu, kedokteran misalnya, seharusnya juga direkam karena kebenaran ilmu berubah dari waktu ke waktu. Apa yang ditemui oleh dokter A pada pasiennya belum tentu sama dengan apa yang tertulis dalam buku ajar tentang penyakit sang pasien dan mungkin berbeda pula dengan apa yang ditemui sejawatnya. Hal itu yang belum menjadi kesadaran kita sehingga segala harta berharga yang tersimpan dalam berbagai kasus yang ditangani sehari-hari sirna begitu saja. Kegiatan 4, 8, dan 9 dalam Tabel 1. di atas merupakan kegiatan yang mungkin baru bagi sebagian besar kita, tetapi melalui P2KB ini IDI ingin mendorong anggotanya untuk melakukannya.

MKI sebagai jurnal resmi IDI membuka pintu selebar-lebarnya untuk memuat rekaman pengalaman para dokter

untuk dibagi bersama sejawat lainnya. Mulai dari pengalaman pribadi yang unik dalam menangani pasien atau masalah kesehatan, laporan kasus sulit, temuan baru pada pasien, termasuk efek samping, sampai ke keraguan atas sesuatu yang dibaca atau suatu hasil penelitian. Apapun, di sinilah tempat kita berbagi. Oleh karena itu sejak April 2008 ini, selain memuat rubrik yang dapat dijadikan ajang belajar dan menguji kemampuan diri (kegiatan 1 dalam Tabel 1), MKI mengundang seluruh dokter Indonesia untuk mengungkapkan apa yang dapat dibagi dengan sesama sejawat dan dengan itu Anda akan mendapatkan nilai SKP !

Pertanyaan berikut hampir dapat diramalkan munculnya: bagaimana cara menuliskannya?

Memang dunia kedokteran kita masih berada pada era peralihan antara budaya tutur dan budaya tulis sehingga kegiatan publikasi tampak sebagai kegiatan elite. Padahal, tidaklah demikian. Menulis sesuatu di jurnal, identik dengan berkomunikasi dengan pasien atau dengan sesama sejawat. Mula-mula tersendat, lama-lama biasa. Oleh karena itu, redaksi MKI dengan senang hati menerima tulisan apapun menyangkut kinerja Anda sebagai dokter, lalu proses pembiasaan akan kita jalani. Inilah benang merah P2KB yang mengait ke MKI. Insya Allah

Daftar Pustaka

1. Rapat Kerja Ikatan Dokter Indonesia, Cipayung, Januari 2007. 2. Undang-Undang RI no. 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran.

3. Greiner A. Health professions education: a bridge to quality. Insti-tute of Medicine, 2003.

4. Davis D, Barnes BE, Fox R. The continuing professional devel-opment of physicians: from research to practice. American Medi-cal Association, 2003.

5. World Federation for Medical Education. Continuing professional development of medical doctors: WFME Global Standards for Quality Improvement, 2003.

6. Federation of Royal Colleges of Physicians of the UK. Continu-ing professional development, 2002.

7. Badan P2KB IDI. Pedoman Pelaksanaan Program Pengembangan dan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan IDI, Jakarta 2007. 8. http://www.rtpi.org.uk/cgi.bin/item.cgi; diunduh tanggal 10 Juli

2007.

9. Sastroasmoro S. Role of professional development in improving standards of care, 2004).

10. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter, Jakarta 2006.

11. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Petunjuk Teknis Penghitungan Angka Kredit Jabatan Fungsional Tenaga Kesehatan di Lingkungan DinKes Prop.DKI Jakarta, 2003.

Gambar

Tabel  1.  Berbagai  Kegiatan  yang  Memberikan  Nilai  SKP  IDI

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tabel 2, bisa diketahui bahwa penulis yang memiliki artikel paling banyak mengenai bank sampah dari tahun 2008 hingga 2018, yakni Indriyani Rachman dari

Kegiatan penelitian merupakan salah satu bagian dari tridharma perguruan tinggi, sehingga baik mahasiswa maupun dosen berkewajiban untuk melakukan kegiatan

Mengatasi hambatan-hambatan tersebut, perusahaan perlu memiliki suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, yang mampu memberikan perlindungan efektif kepada para

Data yang diperoleh tersebut merupakan data dari setiap titik sounding, dengan masing-masing titik sounding tersebut dilakukan proses inversi menggunakan algoritma RR-PSO

Sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan R guru BK di SMA Negeri 1 Samarinda pada tanggal 16 November 2013, di SMA Negeri 1 Samarinda

Melihat dari semakin meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan PAM Jaya setiap tahun akibat meningkatnya nilai tukar dan inflasi serta tarif listrik dan BBM semakin tinggi

Daerah tempat kapal melempar sauh di luar pelabuhan digunakan sebagai tempat penungguan sebelum kapal bisa masuk ke dalam pelabuhan, baik karena sedang menunggu

Penelitian ini difokuskan pada kohesi gramatikal yang terdiri atas aspek pengacuan (referensi), aspek penyulihan (substitusi), aspek pelesapan (elipsis), dan aspek kata