• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN III PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI KHUSUS PAPUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAGIAN III PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI KHUSUS PAPUA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAGIAN III

PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI

KHUSUS PAPUA

(2)

BAB 6

KEBIJAKAN UMUM

PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

DI ERA OTONOMI KHUSUS

Latar belakang Lahirnya Undang-Undang Otsus

T

erbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU 21/2001) merupakan hasil dari perjuangan panjang mewujudkan hak-hak dasar penduduk asli Papua, yang dihimpun dan dirumuskan dalam tujuh butir nilai dasar Otonomi Khusus (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Papua dan Universitas Cenderawasih, 2008) yaitu: 1) Perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua; 2) Demokrasi dan kedewasaan ber-demokrasi; 3) Penghargaan terhadap etika dan moral; 4) Penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia; 5) Supremasi hukum; 6) Penghargaan terhadap keberagaman; dan 7) Persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Ketujuh butir nilai dasar tersebut dituangkan ke dalam Rancangan Undang-Undang yang disusun dan dikonsultasikan

(3)

kepada rakyat Papua oleh Tim Asistensi yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Papua. Tim Asistensi juga memeriksa dengan cermat apakah ketujuh butir nilai dasar tersebut telah terakomodasi dengan baik di dalam RUU Otsus Papua tersebut. Hasil telaahan tersebut menyimpulkan bahwa butir-butir itu telah terakomodasi ke dalam kerangka dasar RUU Otonomi Khusus Papua, yang diserahkan oleh Pemerintah Provinsi Papua ke Pusat. Setelah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, kembali dilakukan telaahan oleh Tim Asistensi, dan disimpulkan bahwa hampir semua gagasan tersebut telah diakomodasi ke dalam Undang-undang tersebut.

Dengan pengesahan UU No 21/2001, maka ada sejumlah prinsip penting yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di era Otonomi Khusus. Prinsip-prinsip tersebut antara lain perlunya menghor-mati hak-hak dasar penduduk asli Papua, yaitu hak atas rasa keadilan, kesejahteraan, perlakukan yang sama baik dalam layanan umum maupun di depan hukum, dan penghargaan hak-hak asasinya sebagai manusia, termasuk pula hak masyarakat adat Papua atas pengelolaan dan peman-faatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua.

Terkait dengan itu, maka dapat dikatakan bahwa hadirnya UU No. 21/2001, yang melalui proses yang rumit, telah memunculkan kesadaran dan komitmen baru negara untuk menata kembali Papua melalui upaya-upaya:

a) Menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat;

b) Menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua;

(4)

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

c) Menyelenggarakan perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral;

d) Menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa lalu.

Semangat dan daya juang tinggi yang melahirkan UU Otonomi Khusus Papua kemudian dilanjutkan dengan mengimplementasikan amanat-amanat yang terkandung di dalam UU tersebut, termasuk di dalamnya memperjuangkan pendidikan sebagai upaya mengangkat harkat, derajat dan martabat orang Papua untuk menyelenggarakan hak-hak dasarnya yang selama ini terabaikan.

Amanat Undang-Undang Otsus Tentang Pendidikan di Papua

Amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tentang pendidikan tertuang dalam pasal 56 tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Ayat (1) dari pasal ini menyatakan bahwa ―Pemerintah provinsi bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan di Tanah Papua‖, sedangkan pada ayat (3) memerintahkan bahwa ―Setiap penduduk Provinsi berhak memperoleh pendidikan yang bermutu ... sampai pada tingkat pendidikan menengah dengan beban masyarakat yang serendah-rendahnya.‖ Kedua ayat ini menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mengatasi masalah keterbatasan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan hak penduduk Tanah Papua untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu.

Ada dua pemahaman penting yang terkandung dalam frasa ―Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu,‖ sebagaimana yang terkandung dalam pasal 56 ayat (3) tersebut di atas.

(5)

Pertama, setiap penduduk Papua, tanpa kecuali, berhak memperoleh akses yang memadai terhadap pendidikan. Kedua, pendidikan yang dimaksud-kan bagi penduduk di Papua adalah pendidikan yang bermutu.

Semua penduduk Papua, apalagi yang selama ini hidup terisolasi dan jauh dari fasilitas pendidikan, perlu diberikan kesempatan untuk mening-katkan kualitas dirinya melalui berbagai program pendidikan. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban untuk menyediakan berbagai fasilitas layanan pendidikan bagi penduduk baik di perkotaan, pinggiran hingga daerah terpencil.

Pendidikan yang bermutu dalam sistem pendidikan nasional adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan mengacu kepada standar mutu pendidikan nasional sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Standar ini mengatur tentang delapan komponen standar penyelenggaraan pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompentensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana prasarana, stan-dar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan1. Mutu pendidikan tersebut lalu dijabarkan dalam standar pelayanan mini-mal untuk setiap jenjang pendidikan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri. Melalui ketentuan tersebut dapat diukur mutu ketersediaan fasilitas, mutu tenaga kependidikan, manajemen satuan pendidikan, pem-biayaan pendidikan, mutu hasil belajar (ulangan dan ujian), dan sebagainya.

Geografi Papua yang luas dan topografi yang sangat rumit menyebabkan permukiman di setiap wilayah yang tersebar mengalami isolasi dalam

1

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Jakarta, 2005.

(6)

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

berbagai aspek. Keterisolasian ini menyebabkan terbentuknya perbedaan tingkat peradaban antarwilayah terisolasi, terpencil dan perkotaan. Kebu-tuhan akan pendidikan pun tentunya akan berbeda antartingkat peradaban tersebut. Oleh sebab itu layanan pendidikan dalam masa awal penyeleng-garaan Otonomi Khusus Papua Papua dirancang agar menjadi proses mobilisasi sosial-budaya dari tingkat peradaban tersebut, dengan penga-turan standar mutu pendidikan yang berjenjang. Pendidikan seperti ini disesuaikan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan geo-grafi, bahkan dikembangkan menjadi pendidikan yang khas bagi pengem-bangan anak Papua. Hal penting lain yang diperhatikan adalah bagaimana menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak, yang mungkin saja ber-jumlah sedikit, namun tidak memiliki akses yang baik ke sekolah karena jauhnya jarak. Di sisi lain, pemerintah perlu melakukan efisiensi terhadap pemanfaatan fasilitas dan tenaga pendidik untuk anak-anak tersebut.

Perkembangan Pendidikan di Indonesia dan Implikasinya

Bagi Papua

Ketika pemerintah pusat mulai menerapkan Program Pembangunan Lima Tahun yang disebut Pelita, terjadilah berbagai perkembangan dan perubahan dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan tersebut antara lain dimulai dengan penggantian kurikulum tahun 1976, dari kurikulum yang berorientasi esensialis dan perenealis menuju pendidikan yang meng-ikuti gerakan developmentalis. Kurikulum 1976 lalu digantikan dengan kurikulum 1984 yang berorientasi pada pendidikan pragmatis yang mene-rapkan metodologi kuantitas yang penekanannya pada aktivitas instruk-sional yang dikembangkan oleh guru untuk menyelesaikan target kuri-kulum (Curiculum Based Program). Peserta didik diharapkan dapat

(7)

menguasai materi kurikulum sebanyak-banyaknya sehingga harus dievaluasi dengan tes-tes objektif.

Masyarakat Papua pun ikut berkembang sesuai dengan kondisi struktur sentralisme dan paradigma yang dikembangkan pada saat itu, yaitu ber-orientasi kepada developmentalisme yang mementingkan kuantitas dan aspek-aspek yang pragmatis.

Berkembangnya pandangan developmentalisme pendidikan yang berasal dari masyarakat Barat yang liberal, khususnya Amerika, dengan sendirinya mengakibatkan pendekatan pendidikan liberal mulai mendo-minasi orientasi pengembangan pendidikan kita di Indonesia. Masyarakat Papua yang masih terisolasi dari berbagai perkembangan budaya, baik isolasi informasi maupun isolasi fisik, juga ikut mengalami konstruksi sosial yang dibangun melalui pendidikan pragmatis tersebut. Perkembangan ini dapat dikatakan sebagai suatu kondisi kritis, khususnya dari sisi nilai dan norma masyarakat Papua, yang sesungguhnya belum mengalami proses akulturasi secara natural (pengendapan dalam kebiasaan hidup masyarakat).

Proses pendidikan yang belum kontekstual, mau atau tidak mau, ikut membawa aliran liberalisme yang memberikan pengaruh bagi perkem-bangan peradaban masyarakat Papua – padahal masyarakat Papua memiliki nilai-nilai sosial dan budaya lokal yang berbeda dengan prinsip-prinsip demokrasi yang berasal dari budaya barat. Masyarakat Papua di perkotaan dapat beradaptasi dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam aliran baru pendidikan. Tetapi mereka yang hidup di kampung-kampung masih kuat menganut nilai-nilai lokal dalam sistem sosial budaya yang tradisional, yang oleh karenanya masih memerlukan upaya sistematis ketika mereka

(8)

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

diperkenalkan dengan sistem pendidikan yang sarat mengandung nilai-nilai baru.

Perubahan Kurikulum tahun 1994 merupakan titik awal sistem pen-didikan kita mulai mengadopsi prinsip competence based yang diarahkan pada penguasaan kemampuan secara tuntas. Penguasaan kemampuan bukan berpatokan pada ketercapaian penyampaian materi pembelajaran, tetapi lebih kepada ketuntasan kemampuan (perfomance

base) yang ditam-pilkan oleh peserta didik melalui hasil belajar yang

mengacu kepada stan-dar kompetensi yang disyaratkan.

Perubahan ini menunjukkan terjadinya perubahan pola belajar dari yang berorientasi kepada aktivitas guru, ke aktivitas peserta didik. Tahun 2004 merupakan masa penerapan kurikulum yang sepenuhnya ber-orientasi kepada competence based dengan menerapkan standar isi, standar proses dan standar kompetensi lulusan. Selanjutnya sekolah diberikan kewe-nangan untuk menyusun kurikulum bersama dengan masyarakat yang diwakili oleh Komite Sekolahnya hingga saat ini.

Berlakunya Otonomi Khusus di Provinsi Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua bersamaan dengan bergulirnya reformasi sistem pemerintahan negara kita. Kewenangan penyelenggaraan pendidikan diserahkan pengurusannya kepada pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat, yaitu pemerintah daerah.

Walaupun begitu, pemberian kewenangan ini masih diwarnai dengan paradigma pembangunan pendidikan lama, yaitu lebih pada pemenuhan

instrumental input, berupa penyediaan kebutuhan fisik, alat dan bangunan

(9)

berlangsungnya proses pembelajaran, yaitu guru dan murid, justru tidak memperoleh perhatian utama dalam manajemen pendidikan di Dinas Pen-didikan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Urusan guru justru ditangani oleh unit pengelola kepegawaian kabupaten yang seringkali tidak memahami prinsip-prinsip pengelolaan guru dan hubungannya dengan aktivitas sekolah.

Pada tahun 2001, atas dasar hasil-hasil penelitian yang dilakukannya, Uncen mengusulkan agar pertumbuhan dan pengembangan pendidikan dipusatkan di lokasi distrik/kecamatan (Universitas Cenderawasih, 2001). Usulan ini sangatlah tepat untuk dijadikan acuan dalam pengembangan program pendidikan bagi daerah-daerah terpencil. Titik distribusi layanan pendidikan oleh pemerintah untuk daerah terpencil harus bertumpu dan berlangsung setiap saat melalui kantor pemerintah daerah di tingkat distrik, sehingga memenuhi daya jangkau layanan dan pengawasan‗pendidikan. Selain itu kebijakan rotasi secara berkala bagi pendidik yang bertugas di daerah terpencil selama tiga tahun, disertai insentif yang memadai, perlu dilakukan untuk menjamin terselenggaranya layanan pendidikan di daerah terpencil hingga daerah terisolasi.

Selain hal-hal yang disebutkan di atas, disimpulkan pula bahwa kuali-fikasi guru yang diperlukan di tempat-tempat seperti ini sangat berbeda, yaitu mereka yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dengan kondisi fisik daerah dan sosial-budaya masyarakat setempat. Itu sebabnya, perbedaan tingkat peradaban masyarakat, akibat dari luasnya wilayah Papua, menjadi permasalahan tersendiri yang perlu dipecahkan melalui penyediaan dan penempatan tenaga pendidik. Gagasan baru guna menja-wab permasalahan ketersediaan dan kesesuaian tenaga pendidik bagi daerah terpencil telah dikembangkan oleh pemerintah daerah melalui

(10)

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

lembaga pendirian ―pendidikan guru untuk layanan khusus‖ yang disebut Kolese Pendidikan Guru (Teacher College).

Fungsi dan Kewenangan Pengelolaan Pendidikan dalam

Model Desentralisasi dan Otonomi Khusus

Kewenangan dan tanggungjawab mengelola pendidikan dapat dije-laskan sebagai berikut. Kewenangan menyangkut fungsi, sedangkan tang-gungjawab menyangkut peran dari masing-masing tingkatan pemerintahan dalam mengelola pendidikan. Sebagaimana diatur dalam Peraturan rintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Tugas Urusan Peme-rintahan, Pemerintah mempunyai kewenangan menetapkan norma, standar dan prosedur serta kriteria untuk semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah pusat melaku-kan koordinasi, fasilitasi, pembinaan dan pengawasan implementasi norma, standar, prosedur dan kriteria tersebut pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan menyelenggarakan pendidikan berdasarkan norma, standar dan prosedur pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan, kecuali perguruan tinggi. Peran dan tanggungjawab tersebut merupakan kinerja yang harus ditun-jukkan dari kewenangan yang dimiliki pada setiap jenjang pemerintahan.

Peraturan Daerah bidang pendidikan di Provinsi Papua pertama kali ditetapkan pada tahun 2006. Ketika rancangan peraturan daerah ini mulai disusun sejak awal tahun 2003, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) belum ditetapkan, sehingga boleh dikatakan bahwa aturan ketatanegaraan kita di bidang pendidikan masih belum mapan.

(11)

Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi Papua) Nomor 5 tahun 2006 tentang Pendidikan mengalami banyak benturan dengan berbagai per-aturan teknis di bidang pemerintahan. Benturan ini terutama menyangkut pembagian kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan turunannya dalam Per-aturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Demikian halnya dengan adanya Peraturan pelaksanaan dibawah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Mutu Pendidikan, Peraturan Peme-rintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2010 Tentang Pen-danaan pendidikan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen serta Permendiknas Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Pemerintah Daerah. Hal ini menyebabkan Perdasi yang telah ditetapkan ini tidak dapat digunakan secara efektif untuk mengatur pendidikan di Papua karena terjadinya berbagai per-ubahan mekanisme dalam peraturan di atasnya.

Sesungguhnya Perdasi yang dihasilkan oleh Pemerintah Otonomi Khusus Provinsi Papua menganut prinsip lex spesialis, namun hingga kini, dalam kenyataannya, kedudukan status Pemerintahan Otonomi Khusus Provinsi Papua kerap kali berbenturan dengan mekanisme pemerintahan Otonomi Daerah yang bertumpu pada kewenangan-kewenangan peme-rintah kabupaten/kota. Sebagai akibatnya, prinsip-prinsip lex-spesialis, tidak dihargai baik di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat kabupaten/kota

(12)

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

Keterkaitan Pendidikan di Era Otsus dengan Kebijakan

dan Regulasi Nasional

Penyelenggaraan pendidikan di era Otonomi Khusus Papua memiliki kesatuan sistem dengan sistem pendidikan secara nasional, seperti yang dinyatakan dalam pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.Artinya, penyelenggaraan pendidikan di Papua harus berlandaskan kerangka yang mengacu kepada asas-asas negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai ideologi bangsa, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesa-tuan Republik Indonesia.

Otonomi Khusus merupakan model desentralisasi pemerintahan yang memiliki kewenang khusus (lex spesialis) untuk mengembangkan model tertentu yang dapat memberi manfaat bagi percepatan kemajuan orang Papua, namun tidak bertentangan dengan asas-asas negara Republik Indonesia.

1. Keterkaitan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan di Papua sebagai suatu kesatuan sistem pendidikan nasional pada dasarnya menyang-kut kewenangan-kewenangan yang diatur dalam Peraturan Peme-rintah Nomor 48 Tahun 2007 Tentang Kewenangan PemePeme-rintah Daerah.Kewenangan dimaksud sangat terkait terutama menyangkut kendali mutu penyelenggaraan pendidikan yang didalamnya ter-masuk pengendalian norma, standar, prosedur dan kriteria yang menjadi sistem nasional. Kendali mutu pendidikan tersebut merujuk kepada tujuan negara dalam menyelenggarakan pendidikan bagi warganegaranya seperti yang dicantumkan dalam pembukaan

(13)

Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam pasal 56 ayat 1 UU 21/2001 tentang Otsus Papua menyatakan bahwa pemerintah Provinsi bertanggungjawab terhadap penye-lenggaraan pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan, sedangkan dalam Undang-Undang Sisdiknas pasal 50 ayat 1 menyata-kan bahwa tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden. Kedua undang-undang ini memberi tanggungjawab yang sama dan setara kepada Gubernur dan Menteri Pendidikan dalam penyeleng-garaan pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan. Walaupun tanggungjawab tersebut setara, namun dalam penja-barannya diatur dalam kewenangan masing-masing melalui peraturan-peraturan pelaksanaan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2007. Sebagai penjabaran dari Otonomi Khusus Papua di bidang pendidikan, ketentuan kewenangan tersebut selanjutnya dijabarkan lebih jauh secara operasional melalui peraturan-peraturan daerah, atau Perdasi dan Perdasus.

2. Otonomi Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus

Penyelenggaan pendidikan di era otonomi khusus Papua mesti menonjol kekhususannya, karena adanya tingkat-tingkat peradaban masyarakat yang perlu mendapat perlakuan pendidikan dengan layanan yang berbeda dari model pendidikan pada umumnya. Pendidikan di Papua semestinya disediakan dan diselenggarakan dengan mengacu kepada taraf perkembangan peradaban masyara-kat di setiap wilayah huniannya.

(14)

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

Ada tiga kelompok peradaban masyarakat yang mesti mendapatkan layanan pendidikan secara berbeda di Papua, yaitu kelompok peramu atau yang selama ini disebut kelompok Komunitas Adat Terpencil — KAT (remote education), kelompok masyarakat kampung peda-laman (rural education) dan kelompok masyarakat perkotaan (urban

education).Ketiga kelompok tersebut secara geografis huniannya

tersebar pada 4 wilayah konsentris. Kelompok masyarakat kota ter-sebar dari pusat hingga pinggiran perkotaan. Kelompok masyara-kat kampung tersebar di wilayah pinggiran hingga terpencil, sedang-kan kelompok peramu (KAT) tersebar di antara wilayah terpencil hingga terisolasi (lihat diagram lingkaran konsentris pada bab 12). Pendidikan di daerah urban, seperti di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Biak, Merauke, Serui, Mimika dan Jayawijaya, dapat dikatakan telah majudan penyelenggaraannya berorientasi kepada standar mutu nasional. Namun, sebagian terbesar penduduk Papua justru bermukim di perkampungan yang berada dipinggiran kota hingga daerah-daerah terpencil yang bahkan sulit dijangkau dengan transportasi umum. Itu sebabnya, pendidikan bagi masyarakat daerah terpencil sebagaimana diatur dalam pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Sisdiknas, yaitu pendidikan layanan khusus, merupakan bagian yang penting dalam otonomi khusus Papua.

Selain pendidikan layanan khusus, pendidikan khusus dengan keunggulan lokal merupakan upaya mengembangkan kemajuan masyarakat di era otonomi khusus Papua. Pendidikan khusus dengan keunggulan lokal seperti sekolah khusus keberbakatan olahraga, seni, jurnalistik, sekolah kejuruan dengan suatu produk unggulan di wilayah tersebut dapat dikembangkan sebagai model-model

(15)

sekolah dalam rangka pelaksanaan pembangunan di era otonomi khusus Papua.

3. Materi Pembelajaran Muatan Lokal sebagai Penguatan Jati Diri Otonomi Khusus Papua memberikan kewenangan kepada peme-rintah daerah dan masyarakat Papua untuk mengangkat dan mengembangkan berbagai kearifan lokal (local wisdom) dari setiap kelopompok sub etnis untuk dijadikan tuntunan dalam pengem-bangan diri, pengetahuan maupun ketrampilan yang dapat disusun menjadi materi pembelajaran muatan lokal. Saat ini pendidikan karakter menjadi sangat penting karena bersamaan dengan merebaknya informasi secara global, muncul berbagai nilai, norma dan etika yang dengan mudah dan bebas dit erima oleh para peserta didik, padahal nilai, normadan etika itu belum tentu sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Oleh karena itu pemerintah telah menganjurkan kepada semua penyelenggara pendidikan untuk mengadopsi 18 karakter yang telah disepakati secara nasional untuk diterapkan atau dibiasakan (diinternalisasikan) dalam lingkungan satuan pendidikan. Ke-18 nilai karakter tersebut adalah religius, jujur, toleransi, disipilin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, komu-nikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggungjawab.

Selain nilai-nilai yang telah disepakati secara nasional tersebut, sesungguhnya di dalam adat dan tradisi setiap masyarakat terdapat berbagai nilai, norma dan etika yang perlu dipertahankan, atau bahkan dihidupkan kembali, untuk membentuk dan memperkukuh

(16)

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

jati diri setiap orang. Menghidupkan kembali kearifan lokal yang positif untuk membentuk karakter dapat dikembangkan dengan mendorong berfungsinya lembaga adat disetiap komunitas. Materi muatan lokal tersebut dapat dipromosikan untuk dilaksanakan di lingkungan sekolah dan masyarakat.

Materi muatan lokal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 37 ayat 1 poin j menjadi tanggungjawab pemerintah, baik pemerintah provinsi dan penyelenggara pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah daerah maupun lembaga pendidikan swasta sebagai penyelenggara satuan pendidikan di tingkat kabu-paten berkewajiban untuk mengupayakan agar muatan lokal ini dapat disusun dan dilaksanakan ditingkat satuan pendidikan. Pemerintah provinsi, melalui Tim Pengembang Kurikulum Provinsi, bertanggungjawab untuk membimbing penyusunan muatan lokal ditingkat kabupaten/kota. Setiap materi yang akan dijadikan muatan lokal dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan perlu terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Bupati atau Walikota masing-masing. Penyelenggara sekolah swastapun dapat mengembangkan materi muatan kurikulum lokalnya yang kemudian diajukan untuk mendapat persetujuan pemerintah kabupaten dan kota.

Materi muatan lokal sangat beragam dalam setiap kelompok masyarakat, tergantung maksud penggunaan materi tersebut. Ada yang berbentuk norma-norma yang mengatur tentang boleh dan tidaknya suatu tingkah laku, sikap atau kegiatan dilakukan dalam lingkungan tersebut. Ada pula menyangkut nilai-nilai atau prinsip-prinsip sebagai cara pandangan tentang kehidupan dari suatu kelompok masyarakat. Ada pula yang bersifat tatakrama pergaulan

(17)

antara anak dan orang dewasa/tua, atau antara laki-laki dan perempuan, atau antara manusia dan makluk hidup lainnya. Kearifan lainnya yang sangat bermanfaat dalam membentuk kehalusan budi pekerti dari setiap orang adalah kesenian dan kerajinan tangan yang dimiliki setiap kelompok masyarakat. Kesenian dapat berupa seni tari, seni melantun puisi, seni suara, seni mendongeng, seni lukis, seni ukir dan lain-lainnya.

Bahasa daerah merupakan salah satu kekayaan lokal yang dapat digunakan untuk menjadi bahan muatan lokal,batau sebagai media pengantar atau materi pembelanjaran. Materi seperti ini sangat ber-manfaat dalam membentuk kehalusan budi pekerti, serta memung-kinkan peserta didik untuk mengerti berbagai falsafah yang terkan-dung didalam setiap seni, kerajinan, bahasa dan unsur-unsur budaya lainnya.

Perdasi Pendidikan Nomor 5 Tahun 2006, termasuk versi revisi, menganjurkan tentang perlunya dibentuk kurikulum pendidikan yang mantap di Papua. Kurikulum pendidikan dasar memuat paling sedikit dua mata pelajaran yang meliputi, pengetahuan masyarakat setempat; bahasa daerah, sejarah lokal; teknolgi lokal; dan kecakapan hidup. Sedangkan untuk pendidikan menengah meliputi: bahasa asing selain bahasa Inggris, kebudayaan asli Papua, kewirausahaan dan keterampilan dan kerajinan lokal. Untuk perguruan tinggi tidak berbeda dengan pendidikan menengah namun penekanannya lebih kepada kebutuhan pola ilmiah.

4. Peraturan Daerah Tentang Pendidikan

Sebutan Peraturan Daerah di Papua dalam era Otonomi Khusus sesuai arahan Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21/2001, pasal

(18)

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

29 disebut Perdasi dan Perdasus. Sederhananya, Perdasi kurang lebih sama dengan peraturan-peraturan daerah di daerah-daerah lain di Indonesia. Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) adalah peraturan daerah yang secara spesifik mengatur tentang hak-hak orang asli Papua, dan oleh karenanya memerlukan pertimbangan dan perse-tujuan Majelis Rakyat Papua sebelum dapat disahkan oleh DPRP. Peraturan daerah tentang pendidikan di Provinsi Papua telah disusun dalam dua jenis peraturan daerah seperti dijelaskan di atas, yaitu Perdasi dan Perdasus. Pertama kali Perdasi pendidikan telah ditetapkan oleh DPRD pada tahun 2005 dengan nama Perdasi Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pembangunan Pendidikan di Provinsi Papua. Perdasi tersebut banyak mengalami hambatan karena perubahan-perubahan peraturan baik secara nasional dan daerah sehingga terjadi tumpang tindih yang menyulitkan pelaksanaannya. Perdasi Nomor 5 Tahun 2006 akhirnya dicabut untuk diganti dengan Perdasi yang baru yang telah ditetapkan dalam sidang Paripurna DPRP pada 19 Desember 2012. Pada waktu yang bersamaan telah ditetapkan juga Perdasus Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat Terpencil/ KAT), yang dikhususkan bagi masyarakat yang peradabannya masih rendah dan mesti mendapatkan layanan secara khusus agar dapat beradaptasi terhadap kehidupan sosial yang lebih maju seperti pada masa kini.

Ketika penulisan buku ini berlangsung, kedua peraturan tersebut sedang menunggu untuk dicatat dalam lembaran daerah dan diberi nomor tertentu pada tahun 2013. Nama Perdasus tersebut adalah Pelayanan Pendi-dikan bagi Komunitas Adat Terpencil.

(19)

Perdasus Pendidikan bagi Komunitas Adat Terpencil (KAT) telah meng-arahkan bahwa penyelenggaraan pendidikan bagi komunitas adat terpencil

menggunakan pola SD

kecil kelas awal tiga tahun dan dilanjutkan pada SD-SMP satu atap berasrama di tingkat distrik.Pola ini dapat dikembangkan lebih ber-variasi berdasarkan penye-suaian terhadap kebutuhan setempat. Penggunaan bahasa daerah akan sangat efektif untuk membangun komunikasi dengan

masya-rakat KAT, sehingga bahasa daerah juga telah ditetapkan sebagai bahasa pengantar selain bahasa Indonesia.

Selain penyelenggaraan pendidikan dasar secara formal, diperlukan pendidikan informal dan nonformal dalam bentuk kursus. Lembaga kursus yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga agama untuk membuka isolasi informasi dan komunikasi dengan komunitas adat terpencil yang baru. Komunitas baru ini biasanya masih sangat tertutup dan memiliki peradaban yang sangat sederhana, seperti pada zaman prasejarah atau taraf kebudayaan megalitik. Untuk itu diperlukan pendidikan layanan khusus untuk memberi pengertian baru dan kebiasaan baru yang me-mungkinkan mereka untuk menjadi warga masyarakat yang lebih maju dan mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya.

Gambar: 6.1. Para Pakar yang terlibat dalam penyusunan Perdasi Pendidikan Nomor 5 tahun 2006 dari kiri Drs. Yuvenalis Ledang, MA selaku

moderator, selanjutnya Prof, Dr. Rudi Tarumingkeng, Dr. Aries Pontolurang, Willy

(20)

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

Perdasus ini juga mengatur tentang pendidikan guru untuk menjang-kau masyarakat kampung dan masyarakat peramu atau komunitas adat terpencil di wilayah yang sangat sulit. Para guru dimaksud adalah para lulusan lembaga pendidikan yang disebut Kolese Pendidikan Guru (KPG). Kolese ini memiliki tiga kampus di beberapa kota yaitu di Nabire, Merauke dan Timika. Untuk wilayah Papua Barat berada di Sorong. Tujuan pendirian KPG adalah untuk menyediakan guru bagi masyarakat kampung dan masyarakat peramu atau komunitas adat terpencil, yang kebutuhan

pendidikannya masih sangat sederhana. Ilmu pengetahuan dan teknologi maju belum dibutuhkan oleh masyarakat ini. Sebaliknya, yang lebih dibutuhkan adalah menum-buhkan kemampuan keca-kapan hidup (lifeskill) mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan di luar mereka. Oleh sebab itu kurikulum bagi pendidikan guru melalui KPG ini menekankan pada muatan lokal dan intitusional, berbeda dengan kurikulum pendidikan guru yang bersifat nasional. Program pendidikan KPG disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat daerah terpencil dan terisolasi yang masih sangat sederhana kehidupan sosialnya.

tahun 2012

Pendidikan di Hotel Swissbell Merauke Gambar 6.2. Rapat pembahasan Perdasus

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan fungsi kepatuhan sudah berjalan dengan baik dimana struktur dan infrastruktur tata kelolanya sudah sesuai ketentuan dan memadai, proses penerapan tata

Sementara itu, hasil analisis dokumen RPP juga menunjukkan bahwa meskipun para guru sudah menyusun instrumen penilaian pembelajaran di dalam dokumen RPP,

Jenis penilitian ini menggunakan penelitian deskriftif kualitatif.Menurut (Saryono 2010: 1), kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,

keanekaragaman spesies laba-laba di permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan laba-laba penghuni tajuk, namun kelimpahan, jumlah spesies, dan keanekaragaman spesies

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan calon guru dalam menghasilkan ensiklopediaberbasis bioedupreneurship melalui pembelajaran berbasis proyek dengan

Spermatozoa yang dikoleksi dari bagian cauda epididimis memenuhi syarat untuk dimanfaatkan dalam program IB, sedangkan spermatozoa yang dikoleksi dari bagian caput dan

Indonesia yang tidak bekerja lagi di perusahaan sebagai akibat dari telah mencapai saat jatuh tempo kepesertaan, meninggal dunia, pemutusan hubungan kerja atau

Hasil akhir dari Part of Deployment didapatkan gambaran mengenai nilai kontribusi Critical Part, kemudian nilai tersebut dinormalisasikan dengan cara membagi nilai