• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis Paru

1. Gambaran Umum TB Paru a. Definisi

Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis sebagian besar menyerang Paru dan dapat mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB Paru cepat mati apabila terkena sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup dalam beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab.1)

b. Gejala dan tanda TB Paru

Departemen kesehatan menyebutkan gejala dan tanda penyakit TB Paru BTA Positif adalah : a) gejala umum : nyeri dada, batuk lebih dari tiga minggu atau lebih. b) gejala lain : nyeri dada batuk dahak atau dahak bercampur darah, keringat malam, demam lebih dari sebulan, sesak nafas, nafsu makan menurun dan berat badan menurun.3)

c. Cara Penularan

Sumber penularan penyakit TB Paru dikarenakan oleh kuman yang berterbangan di udara dan ada juga yang jatuh pada lantai sehingga dapat terhirup oleh setiap orang, pada paru-paru kuman atau basil TB Paru akan bersarang dan basil berkembang biak juga menggerogoti Paru-paru.

Tidak semua orang yang dimasuki basil TB Paru pasti sakit TB paru karena badannya kuat dan daya tahan tubuhnya kuat orang mungkin terhindar dari sakit TB Paru. Daya tahan tubuh yang kuat jika gizi makanan yang cukup, bergerak badan dan istirahat yang cukup. Atau jika sejak bayi semua anak harus diberi Imunisasi BCG yang berfungsi untuk mencegah tertular TB Paru. 6)

(2)

Komplikasi sering terjadi pada penderita berstadium lanjut antara lain6:

1) Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersambungnya jalan nafas.

2) Kolaps dari lobus akibat kontraksi bronkiat.

3) Bronkiestasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan) jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktiti pada paru.

4) Penyebaran infeksi organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.

5) Insufisiensi kardio pulmoner (Cardio pulmonery insuffiency) 1) e. Diagnosis

Bahwa seseorang ditetapkan sebagai penderita TB Paru apabila melakukan serangkain pemeriksaan sebagai berikut 1:

1) Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan cara yang paling dapat diandalkan (paling murah) dan harus diupayakan tiga buah spesimen untuk pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan 3x dengan sesaat, pagi, sesaat (SPS) paling baik dipastikan dengan hasil positif berikutnya 1.

2) Pemeriksaan semua pasien dengan kronis khususnya batuk perokok atau batuk lebih dari 4 minggu, mereka yang turun berat badannya, nyeri dada dan lainnya yang mengakibatkan TB Paru.

3) Foto rontgen, pemeriksaan rontgen diperlukan bila pasien yang memiliki masalah-masalah yang sulit terutama para tersangka TB Paru yang positif HIV. Hal ini tidak dilakukan untuk kasus secara massal di negara-negara dengan prevalensi tinggi.

4) Tes tuberkulin, tes ini kurang dapat diandalkan dalam menegakan diagnosis di negara miskin karena gizi buruk, dan penyakit lain. Seperti infeksi HIV atau TB Paru yang sangat parah dapat menghasilkan tes yang lemah meskipun pasien dewasa atau anak berpenyakit TB Paru aktif. Tes pada anak dapat berubah karena BCG 7.

(3)

Pada penyakit TB Paru dapat diklasifikasikan yaitu TB Paru dan TB ekstra paru. TB Paru merupakan batuk yang paling sering dijumpai dari semua penderita. Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB Paru yang mudah tertular. TB ekstra Paru merupakan bentuk penyakit TB Paru yang menyerang organ tubuh lain, selain paru-paru seperti pleura, kelenjar limfe, persendian tulang belakang, saluran kencing, susunan saraf pusat.8)

2. Program Pemberantasan TB Paru a. Tujuan Program

Tujuan jangka panjang : memutuskan rantai penularan sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Tujuan jangka pendek : a) tercapainya kesembuhan minimal 85% penderita baru BTA positif yang ditemukan, b) tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap hingga mencapai 70% dari semua penderita TB paru, c) tercapainya resistensi obat tuberkulosis di masyarakat, d) menanggulangi penderita akibat penyakit TB paru 8.

b. Kebijakan Operasional

1) Penanggulangan TB paru di Indonesia dilaksanakan dengan desentralisasi sesuai dengan keijakan Departemen Kesehatan.

2) Penggulangan TB paru dilaksanakan oleh seluruh unit pelayanan kesehatan, meliputi Puskesmas, Rumah Sakit, Pemerintah dan swasta, BP4 serta praktik dokter swasta, politeknik umum, politeknik perusahaan dengan melibatkan peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu. 3) Peningkatan mutu pelayanan, penanggulangan obat rasional dan

kombinasi obat sesuai dengan strategi DOTS.

4) Target program adalah konversi pada akhir pengobatan tahap intensif minimal 80%, angka kesembuhan sediaan dahak yang benar (angka kesalahan 5%).

(4)

5) Pemeriksaan uji silang (cross check) secara rutin oleh Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) atau laboratorium rujukan yang ditunjuk untuk mendapatkan pemeriksaan dahak yang bermutu

6) Penanggulangan TB paru nasional diberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada penderita secara Cuma-Cuma dan jaminan ketersediaannya. 7) Pengembangan sistem pemantauan, supervisi dan evaluasi program untuk

mempertahankan kualitas pelaksanaan program.

8) Menggalang kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah dan swasta 9.

c. Strategi

Strategi DOTS sesuai rekomendasi WHO2, yaitu :

1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.

2) Diagnosis TB paru dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik

3) Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. 5) Pencatatan dan palaporan secara baku untuk memudahakan pemantauan

dan evaluasi program penanggulangan TB paru.2)

3. Pengobatan Penyakit TB Paru a. Tatalaksanaan Pengobatan TB Paru

Pengobatan diberikan dalam dua tahap, yaitu 9 :

1) Tahap Intensif (awal dimana pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah kekebalan atau resistensi terhadap semua OAT (Obat Anti Tuberkulosis), terutama Rifampisin. Bila tahap ini diberikan secara tepat pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu dua minggu. Sebagian besar TBC Paru BTA Positif (+) menjadi BTA Negatif (-) pada akhir pengobatan ini 9.

2) Tahap lanjutan, pasien mendapat obat dalam jangka waktu yang lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah kekambuhan.

(5)

Tujuan dari pengobatan pasien TB paru adalah penyembuhan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan resiko penularan 1).

Menyembuhkan pasien dengan gangguan semininal mungkin dalam hidupnya, mencegah kematian pada pasien, meencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait, mencegah kekambuhannya penyakit, mencegah kuman menjadi resisten dan melindungi kelurga dan masyarakat penderita terhadap infeksi 10).

Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan TB paru antara lain 10): 1) Isoniasid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat membunuh

90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.

2) Rifampisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh INH.

3) Piranizamid, (Z), bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel suasana asam

4) Streptomycine (S), bersifat bakterisid 5) Etambutol (E), bersifat bakteriotatik. b. Program Obat Anti Tuberkulosis 9)

Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO (World Health Organization) dan IUAT-LD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) dengan jangka 6 (enam) bulan yaitu :

1) Kategori I (2HRZA / 4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazanamid (Z) dan Etamburol (E), obat diberikan setiap hari selama 2 (dua) bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan tahap lanjutan yang terdiri Isoniasid dan Rifampisin diberikan 3 (tiga) kali seminggu selama 4 (empat) bulan (4H3R3) 9).

Panduan OAT kategori I diberikan untuk : a. Pasien baru TB – Paru BTA Positif (+)

b. Pasien baru TBC – Paru Negatif (-), Rontgen positif (+) yang sakit berat.

(6)

c. Penyakit paru ekstra berat

2) Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE dan suntikan Steptomisin (S), setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalamseminggu 9).

3) Kategori III (2HR2/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari selama 2 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu 9).

OAT kategori ini diberikan untuk :

a) Pasien batuk TBC Paru BTA Negatif (-) dan rontgen positif (+) sakit ringan.

b) Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudtiva unilateral, Tuberkuilosis kulit, Tuberkulosis tulang (kecuali tulang belakang, Tuberkulosis sendi dan kelenjar adrenal) 9).

c. Hasil Pengobatan

Hasil pengobatan diklasifikasikan antara lain 1,7,10) : 1) Sembuh

Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow - up) paling sedikit 2 (dua) berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP sebulan sebelum AP dan pada satu pemeriksaan Follow up sebelumnya 7). 2) Pengobatan lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut : Penderita diberi tahu apabila muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan menikuti prosedur tetap 7).

(7)

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini dan penderita harus membawa surat pindah / rujukan (TB –09) 10)

4) Drop Out (DO)

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif.1) 5) Gagal

Penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih dan penderita dengan hasil BTA Negatif Rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan 10).

6) Meninggal

Penderita TB paru yang diketahui meninggal karena sebab apapun.

4. Pengendalian Penderita dan Penentuan Keberhasilan Pengobatan

Pengendalian pengobatan penderita dilaksanakan pada saat kunjungan penderita ke uni pelayanan kesehatan atau dengan kunjungan ke rumah penderita yang dilakukan oleh petugas kesehatan maupun petugas pengawas menelan obat (PMO). Penentu status penderita atau keberhasilan dan keketebalan ditentukan pada akhir masa pengobatan 11).

Keberhasilan pengobatan Tuberkulosis dinilai berdasarkan : uji bakteriologi, radiologi dan klinik. Uji bakteriologi pada akhir pengobatan TB Paru BTA Positif menjadi negatif dan hasil rontgen ulang menjadi baik atau tidak ada masalah dengan paru-parunya 11).

5. Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Pengoabatan TB Paru a. Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang

(8)

yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat di bedakan menjadi 2, yaitu 12 :

1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya : umur, pendidikan, tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, pekerjaan dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Beberapa teori lain yang telah di coba untuk mengungkap determinan perilaku dari analisa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green 12

Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat di pengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri di tentukan atau terbentuk dari 3 faktor 12.

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing faktors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, pekerjaan dan sebagainya.

2) Faktor-faktor pendukung (enabling faktors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya peran PMO, pemakaian OAT dan sebagainya.

3) Faktor-faktor pendorong (reinforcing faktors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, keluarga

(9)

dan masyarakat yang merupakan kelompok referensi oleh perilaku masyarakat.

Perilaku seseorang dibentuk oleh tiga yaitu pengetahuan, sikap dan praktek :

1) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan yang tercakup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkatan :

a) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah diajarkan dan dipelajari sebelumnya.

b) Memahami (Comprehension)

Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang dketahui.

c) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real

d) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu obyek kedalam komponen-komponen

e) Sintesis (Syntesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulas-formulasi yang ada.

f) Evalusi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek 12.

2) Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi dari sikap tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya ditafsirkan dari perilaku yang tertutup 12.

(10)

Seperti halnya pengetahuan sikap terdiri dar 4 tingkatan : a) Menerima (receiving)

Menerima berarti bahwa orang (obyek) mau atau mempertimbangkan stimulus yang diberikan (obyek).

b) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. c) Menghargai (valuding)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan, mendiskripsikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga

d) Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

3) Praktik

Prktik berarti sama dengan praktek keperawatan. Praktek atau tindakan adalah sesuatu perbuatan nyata atau aktifitas nyata sehubungan dengan stimulus atau obyek. Untuk terwujudnya suatu sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas 12. Sikap seseorang untuk menjadi praktek melalui empat tahapan :

a) Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tingkatan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

b) Respon Terpimpin (guided response)

Dapat melaksanakan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai denga contoh.

c) Mekanisme (mekanisme)

Apabila seseorang telah dapat melaksanakan sesuatu dengan benar secara otomatis.

(11)

d) Adopsi (adaption)

Adaptasi adalah suatu praktek atau dibedakan yang sudah berkembang dengan benar 12.

b. Umur

Umur merupakan salah satu faktor pendorong yang dapat menentukan perilaku seseorang dalam keberhasilan pengobatan penyakitnya, umur yang semakin tua akan mempunyai pengalaman yang cukup untuk memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang, begitu pula dengan pengobatan. Seseorang semakin tua umurnya akan lebih taat dalam melakukan pengobatan sesuai petunjuk petugas kesehatan karena mereka mempunyai keinginan yang kuat untuk sembuh 12. Biasanya TB paaru lebih banyak menyerang pada usia yang tua karena adanya proses penurunan sistem kekebalan dalam tubuh 1. c. Pendidikan

Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan pada diri seseorang yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu, dan masyarakat, pendidikan kesehatan tidak dapat diberikan pada seseorang atau orang lain, bukan seperangkat prosedur yang harus dilaksanakan atau proses pengembangan yang berubah secara dinamis, yang di dalamnya seseorang menerima atau menilai informasi, sikap, maupun praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat.7)

d. Pekerjaan

Pada umumnya, penderita yang terserang tuberkulosis adalah golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan primer sehari-hari lebih penting dari pada pemeliharaan kesehatan. Kemiskinan dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan penderita tidak mampu membiayai transportasi kepelayanan kesehatan dan ini menjadi kendala dalam melakukan pengobatan, sehingga dapat mempengaruhi keteraturan berobat 11.

e. Pemakaian OAT sebelum pengobatan 6 bulan.

Pemakaian OAT sebelum pengobatan 6 bulan diartikan sebagai pemakaian OAT yang diberikan sebelum berakhir prpses pengobatan yang

(12)

sedang dievaluasi, tetapi tidak mengalami penyembuhan. Pemakaian OAT sebelumnya berkaitan dengan resistensi, makin lama makin sering dan makin teratur pemakaian OAT akan makin meningkat kemungkinan resisten OAT terhadap mycobacterium tuberculosis 7).

f. Pengawasan Menelan Obat (PMO)

Salah satu program keberhasilan pengobatan TB Paru dilakukan pengawasan menelan obat (PMO) 5).

1) Pengawas Menelan Obat (PMO) 5)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan Pengawas Menelan Obat (PMO) 5).

2) Persyaratan PMO 5)

a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun penderita selain itu harus dusegani dan dihormati oleh penderita.

b) Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita. c) Bersedia membatu penderita dengan sukarela.

d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.

e) Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan lain-lain.

3) Tugas PMO 5)

Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

a) Memberi dorongan kepada penderita agar menelan obat secara teratur. b) Mengingatkan penderita untuk periksaq ulang dahak pda waktu-waktu

yang telah ditentukan.

c) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.

(13)

a) TB Paru bukan penyakit keturunan atau kutukan. b) TB Paru dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

c) Tata laksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan lanjutan. d) Pentingnya berobat secara teratur, karena itu pengobatan perlu

diawasi.

e) Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut.

g. Keteraturan Minum Obat

Keteraturan minum obat diukur sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah ditetapkan yaitu dengan pengobatan lengkap sampai dalam jangka waktu pengobatan sampai 100% (68 kali). Keteraturan pengobatan apabila kurang dari 90% maka akan mempengaruhi penyembuhan. OAT harus diminum teratur sesuai dengan jadwal, terutama pada fase pengobatan awal guna menghindari terjadinya kegagalan pengobatan serta terjadinya kekambuhan.8) B. Kerangka Teori Faktor Enabling : a. Pemakaian OAT b. Peran PMO Faktor predisposing : a. Pengetahuan TB Paru b. Sikap Karakteristik : a. Umur b. Jenis kelamin c. Tingkat Sembuh Keberhasilan pengobatan

(14)

Perilaku keteraturan minum obat Tidak sembuh Faktor Reinforsing : a. Petugas kesehatan b. Keluarga c. Masyarakat

Sumber: Modifikasi dari Buku Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis Paru, Depkes RI, tahun 2002.

C. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Umur

Pendidikan

Pekerjaan

Peran PMO

Keteraturan minum obat Peran PMO

Keberhasilan pengobatan TB Paru

D. Hipotesa

1. Ada hubungan antara umur dengan keberhasilan pengobatan TB paru 2. Ada hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan pengobatan TB paru 3. Ada hubungan antara pekerjaan dengan keberhasilan pengobatan TB paru

4. Ada hubungan antara pemakaian OAT sebelumnya dengan keberhasilan pengobatan TB paru

(15)

5. Ada hubungan antara peran PMO dengan keberhasilan pengobatan TB paru 6. Ada hubungan antara keteraturan minum obat dengan keberhasilan pengobatan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan peluang pengembangan kultur pesantren yang mendapat legitimasi undang-undang sistem pendidikan nasional seperti di atas, seyogyanya pesantren-pesantren yang ada di

Hal ini dapat dilakukan dengan fitur-fitur canggih WINISIS dalam hal teknik pengindeksan dan penelusuran sehingga sistem dapat digunakan untuk meningkatkan layanan

Dari sepuluh komponen komunikasi tersebut, hanya beberapa komponen yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk peristiwa komunikasi pada komunitas perempuan pesisir antara

En is dit een correcte interpretatie van de feiten door het hof?4 Of zouden we, zoals de A-G,5 moeten aannemen dat geen onderscheid te maken is in het houden (voor zichzelf dan

fitokimianya. Data dan informasi ini menjadi sangat penting untuk didokumentasikan sehingga dapat diketahui oleh generasi berikutnya, mengingat belum adanya dokumentasi

Strategi yang diterapkan Kepala Madrasah dalam menjalankan proses kepemimpinannya di Madrasah Tsanawiyahh Satu Atap Mikrajussibyan NW Selanglet adalah dengan

Hasil yang dapat disimpulkan dari penelitian yang dilakukan oleh Sri Rahayu bahwa penelitian yang dilakukan olehnya adalah untuk mengetahui pengaruh Corporate Social

Untuk melakukan pelatihan menggunakan One Class SVM sebaiknya digunakan nilai parameter nu yang sama dengan jumlah data intrusi pada data pelatihan. Akan tetapi, jika jumlah