KECERDASAN EMOSIONAL HIDUP BERKOMUNITAS
PARA SUSTER PUTERI REINHA ROSARI LARANTUKA TAHUN 2010 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSELING KELOMPOK
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Yoaneta Olla
061114032
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
KECERDASAN EMOSIONAL HIDUP BERKOMUNITAS
PARA SUSTER PUTERI REINHA ROSARI LARANTUKA TAHUN 2010 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSELING KELOMPOK
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Yoaneta Olla
061114032
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Yesus Kristus Anak Allah yang hidup, terang dunia, aku sembah sujud kepadaMU,
untuk Engkau aku hidup, untuk Engkau aku mati.”
(Mgr. Gabriel Manek, SVD., Pendiri Kongregasi PRR)
Orang yang banyak tahu tentang orang lain mungkin disebut pandai, tapi orang yang
bisa memahami dirinya sendiri itulah orang yang cerdas. Orang yang bisa
mengendalikan orang lain mungkin disebut berkuasa, tapi orang yang bisa menguasai
dirinya sendiri itu jauh lebih perkasa.
(Lao – Tsu)
Dengan penuh syukur dan pujian skripsi ini kupersembahkan kepada
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 29 April 2011
Penulis
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Yoaneta Olla
Nomor Mahasiswa : 061114032
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul KECERDASAN
EMOSIONAL HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER PUTERI REINHA
ROSARI LARANTUKA TAHUN 2010 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KONSELING KELOMPOK
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dan membentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan, mendistribusikan
secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti
kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada Tanggal 29 April 2011
Yang menyatakan
ABSTRAK
KECERDASAN EMOSIONAL HIDUP BERKOMUNITAS
SUSTER-SUSTER PUTERI REINHA ROSARI LARANTUKA TAHUN 2010
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSELING KELOMPOK
Yoaneta Olla
Universitas Sanata Dharma, 2011
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingginya kecerdasan emosional dalam hidup berkomunitas para suster Puteri Reinha Rosari Larantuka tahun 2010 dan implikasinya terhadap konseling kelompok.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Subyek penelitian adalah semua suster Puteri Reinha Rosari yang berkarya di Larantuka pada tahun 2010, berjumlah 50 orang. Mereka berusia antara 25-60 tahun. Instrumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh penulis sendiri dengan mengambil inspirasi dari buku Emotional Intelligence, yang dikarang oleh Daniel Goleman (2009). Kuesioner tersebut terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mencakup kelima aspek kecerdasan emosional. Kelima aspek tersebut adalah: (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan. Seluruh item berjumlah 70 butir. Teknik analisis data yang digunakan adalah perhitungan frekwensi dengan pendistribusian berdasarkan rumus Penilain Acuan Patokan Tipe I yang digolongkan menjadi 5 tingkat yaitu sangat rendah, rendah, cukup, tinggi, dan sangat tinggi.
ABSTRACT
THE EMOTIONAL INTELLIGENCE IN THE COMMUNITY LIFE OF THE DAUGHTER OF OUR LADY QUEEN OF THE HOLY ROSARY SISTERS, LARANTUKA IN 2010 AND ITS IMPLICATIONS FOR GROUP COUNSELING
Yoaneta Olla
Sanata Dharma University, 2011
This study is aimed to get a description of the level of emotional intelligence in the community life of the Daughter of Our Lady Queen of the Holy Rosary sisters, Larantuka in 2010 and to find its implications for group counseling.
The subjects of this descriptive study are the Daughters of Our Lady Queen of the Holy Rosary sisters who live in Larantuka in 2010. There are 50 sisters involved in this study. The age of the subjects ranges between 25 to 60 years old. The instrument for this study is a questionnaire constructed by the researcher and is based on the Daniel Goleman’s book Emotional Intelligence (2009). The questionnaire consists of items which correspond to the five aspects of emotional intelligence: (1) to recognize one’s own emotions, (2) to manage emotions, (3) to do self-motivation, (4) to recognize others’ emotions, (5) to build relationship with others. There are 70 items used in this questionnaire. The data is analyzed using frequency calculation. The data is categorized into five levels by applying the Criterion Referenced Evaluation (PAP) type I. These levels are: very low, low, sufficient, high, and very high.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmatNya
yang berlimpah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul KECERDASAN EMOSIONAL HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER
PUTERI REINHA ROSARI LARANTUKA TAHUN 2010 DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP KONSELING KELOMPOK. Banyak pengalaman yang muncul selama
penulisan skripsi ini, pengalaman gembira, sedih, dan cemas. Meskipun demikian
berkat perhatian, dukungan dan doa-doa dari berbagai pihak penulis mendapatkan
kekuatan, dan semangat untuk tekun dalam penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Program
Studi Bimbingan dan Konseling.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu
pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Dra. M. J. Retno Priyani, M.Si., selaku dosen pembimbing utama yang telah
meluangkan waktu, penuh kesabaran dan keterbukaan hati memberikan
bimbingan, perhatian, dan sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini.
2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., selaku ketua Program Studi Bimbingan dan
Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah memberikan ijin
3. Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling, MKDU, dan MKDK
Universitas Sanata Dharma yang telah mendampingi, membimbing dan
membekali dengan pengetahuan dan ketrampilan kepada penulis.
4. Para karyawan sekretariat FKIP, BK, MKDU, MKDK, dan BAAK, yang dengan
sabar memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi.
5. Para karyawan Perpustakaan Sanata Dharma Yogyakarta yang dengan keramahan
dan kesederhanaannya membantu penulis dalam hal peminjaman buku.
6. Para karyawan Rumah Tangga Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang
selalu setia membersihkan lingkungan belajar, sehingga penulis merasa kerasan
dan nyaman dalam belajar.
7. Pimpinan Komunitas Biara suster CIJ, FdCC, PRR, SSpS, dan TMM
Yogyakarta, yang telah mengijinkan penulis untuk mengadakan uji coba alat.
8. Pimpinan Komunitas Biara suster PRR Lebao, Postoh, Riangkemie, Tabali dan
Weri Larantuka, beserta para anggota komunitas yang telah mengijinkan penulis
untuk mengadakan penelitian.
9. Sr. M. Benediktis, PRR., selaku Pemimpin Umum beserta para suster Anggota
Dewan Kongregasi dan para suster Puteri Reinha Rosari, yang telah memberikan
kepercayaan dan kesempatan untuk mengembangkan diri dengan mengikuti studi
lanjut di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
10.Para suster Komunitas PRR Magnifikat Yogyakarta, yang telah memberikan
perhatian dan dukungan kepada penulis dalam belajar dan dalam penyusunan
11.Rm. Paul Yan Olla, MSF., orang tua dan keluarga yang telah mendukung penulis
lewat doa, cinta dan perhatian selama ini.
12.Keluarga Bapak Mikael Koten dan Bapak Niko Samon sekeluarga, yang
memberikan perhatian dan dukungan khusus kepada penulis.
13.Teman-teman Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2006 yang
telah memberikan dukungan, motivasi, dan saling kerjasama dalam belajar.
14.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah banyak
memberikan perhatian dan dukungan bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran untuk menyempurnakan
gagasan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
khususnya bagi para suster kongregasi Puteri Reinha Rosari.
Yogyakarta, 29 April 2011
Penulis
xii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.………..ii
HALAMAN PENGESAHAN……….iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….v
HALAMAN PENYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….vi
ABSTRAK ……….vii
ABSTRACT ……….viii
KATA PENGANTAR ………ix
DAFTAR ISI ……….xii
DAFTAR TABEL ………xvi
DAFTAR LAMPIRAN ………...xvii
BAB I: PENDAHULUAN ………...1
A. Latar Belakang Masalah ………...1
xiii
C. Tujuan Penelitian ………..6
D. Manfaat Penelitian ………...6
E. Definisi Operasional ………...7
BAB II: KAJIAN PUSTAKA ………...8
A.Hakekat Kecerdasan Emosional ……….………...8
1. Pengertian Kecerdasan Emosional ………...8
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ………...11
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional……...18
B.Konseling Kelompok.………22
1.Pengertian.………....22
2.Tujuan Konseling Kelompok..………..23
3.Komponen-komponen Konseling Kelompok..……….24
4.Asas-asas Konseling Kelompok.………..27
5.Struktur Konseling Kelompok.………...28
6.Tahap-tahap Konseling Kelompok ………..30
C.Konseling Kelompok di Komunitas ………...37
1. Pengertian Komunitas.………..37
2. Pentingnya Layanan Konseling Kelompok di Komunitas dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional ………...40
xiv
bagi Para Suster ………...42
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ………...47
A. Jenis Penelitian ………...47
B. Subjek Penelitian ………47
C. Instrumen Penelitian ………...48
D. Prosedur Pengumpulan Data ………..58
1. Tahap Persiapan ………..58
2. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data ………..60
E. Teknik Analisa Data ………...61
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAAN ………...63
A. Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional dalam Hidup Berkomunitas Para Suster Puteri Reinha Rosari Larantuka pada Tahun 2010 ………...63
B. Pembahasan.………....65
BAB V: PENDAMPINGAN KONSELING KELOMPOK BAGI PARA SUSTER PUTERI REINHA ROSARI..………...75
A. Pendampingan Konseling Kelompok Bagi Para Suster Puteri Reinha Rosari Larantuka………...75
B. Laporan Pemberian Layanan Konseling Kelompok………....80
1. Kelompok I………....81
xv
3. Kelompok III………...130
4. Kelompok IV………...154
C. Dampak Konseling Kelompok………..175
BAB VI: KESIMPULAN DAN SARAN………...177
A. Kesimpulan………....177
B. Saran ………...179
DAFTAR PUSTAKA ………181
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1: Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosional untuk Penelitian………52
Tabel 2: Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Validitas Item ……….55
Tabel 3: Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional Para Suster Puteri
Reinha Rosari Larantuka dalam Hidup Berkomunitas Tahun 2010………….62
Tabel 4: Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional dalam Hidup Berkomunitas
Para Suster Puteri Reinha Rosari Larantuka Tahun 2010……….63
Tabel 5: Tingginya Aspek-aspek Kecerdasan Emosional dalam Hidup Berkomunitas
Para Suster Puteri Reinha Rosari Larantuka pada 2010.……...64
Tabel 6: Materi Konseling Kelompok Bagi Para Suster Puteri Reinha Rosari
Larantuka ………78
Tabel 7: Jadwal Kegiatan Konseling Kelompok Bagi Para Suster
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1: Kuesioner Kecerdasan Emosional Para Suster
Puteri Reinha Rosari Larantuka ……….181
Lampiran 2: Skor Uji Coba Kuesioner Kecerdasan Emosional ………190
Lampiran 3: Hasil Perhitungan Taraf Validitas ………....195
Lampiran 4: Skor Kecerdasan Emosional Para Suster Puteri Reinha Rosari
Larantuka ………..207
Lampiran 5: Daftar Nama Anggota Konseling Kelompok………221
Lampiran 6: Surat Permohonan Ijin Penelitian ……….222
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bagian ini disajikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.
A. Latar Belakang Masalah
Hidup bersama dengan orang lain merupakan suatu kebutuhan bagi setiap
manusia sebagai makluk sosial. Dalam kebersamaan dengan orang lain, setiap orang
memperjuangkan suatu cita-cita, misalnya kebersamaan dalam hidup berkeluarga,
bertujuan mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Selain kebersamaan dalam
keluarga masih ada bentuk kebersamaan yang lain yakni persekutuan hidup religius.
Salah satu ciri utama hidup religius adalah hidup berkomunitas. Syarat untuk menjadi
anggota religius adalah sehat jasmani dan rohani, dapat hidup bersama dengan orang
lain, dapat menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungannya, memiliki sifat dan
perilaku yang baik, ramah, terbuka, jujur, sabar, tulus, sederhana, rendah hati dan setia
(Konstitusi PRR, artikel 318-319). Dalam hidup berkomunitas para religius
menghayati kharisma dan spiritualitas tarekat yang sama, mengikuti Kristus
bersama-sama, merasul dalam kebersamaan, berdoa berbersama-sama, berbagi milik dan harta, berbagi
kesediaan dan kemauan untuk mengabdi Kristus. Para religius yang hidup bersama
terbuka, sabar menghadapi tekanan-tekanan dan perbedaan yang dialami, menerima
kritikan, dan rela memberi maaf.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajemukan anggota, terkadang
mempengaruhi hidup berkomunitas karena anggota-anggota yang hidup dalam
komunitas berasal dari berbagai suku, budaya, usia, tingkat pendidikan dan latar
belakang keluarga dengan status ekonomi yang berbeda. Kemajemukan anggota dapat
mempengaruhi watak dan kepribadian para religius. Terkadang kehidupan
berkomunitas tidaklah sepenuhnya berjalan baik, sering muncul kesulitan-kesulitan.
Masih ada sebagian suster terkesan kasar, mudah marah, tidak sabar, suka bertengkar,
mendiamkan sesamanya, sulit memaafkan dan mau menang sendiri. Ada anggota yang
menjadikan sesama sebagai batu sandungan, memunculkan sikap mencela, mencari
kekurangan anggota lain, diam, mengisolasi diri dan mengingat-ingat kesalahan
anggota tertentu yang pernah melukai hatinya serta melampiaskan kemarahannya
dengan saling mempersalahkan. Sikap-sikap seperti di atas berkembang menjadi
kejengkelan atau kebencian. Suasana ini merenggangkan relasi antar anggota yang
satu dengan anggota yang lain, dan mengganggu hidup doa dan pelaksanaan karya
pun menjadi terhambat. Suasana komunitas yang tidak harmonis memperlihatkan
bahwa para suster kurang mampu mengelola emosinya dengan baik, kurang
memahami baik dirinya sendiri maupun orang lain, kurang mampu membina
hubungan yang baik dengan orang lain, dan sulit untuk memaafkan sesama secara
tulus.
Kecerdasan emosional sangat dibutuhkan dalam hidup berkomunitas terutama
adalah kemampuan individu untuk mengenal perasaan diri sendiri dan orang lain,
memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik dan membina hubungan
dengan orang lain (Goleman 2009). Menurut konsep Goleman, orang yang memiliki
kecerdasan emosional adalah orang yang matang dalam hal pengaturan kondisi diri
dan emosinya. Orang yang memiliki kecerdasan emosional, diharapkan mampu
mengungkapkan emosinya secara konstruktif. Sebaliknya, orang yang kecerdasan
emosionalnya rendah akan kurang berhasil, karena cepat merasa gagal dan mudah
menyerah jika menghadapi kesukaran. Sekarang kecerdasan tidak lagi dipandang
hanya mencakup kecepatan berpikir, ketepatan menghitung, melainkan juga
pengendalian emosi dan kemampuan mengendalikan diri dalam hubungan dengan
sesama. Secara ringkas, Stein dan Book (2002: 31) mengatakan, “kecerdasan
emosional terkait erat dengan kemampuan membaca lingkungan politik, sosial dan
menatanya kembali, kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan dan
dibutuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka; kemampuan untuk tidak
terpengaruh oleh tekanan dan kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan,
yang kehadirannya didambakan orang lain”. Mengingat pentingnya kecerdasan
emosional, maka dipandang perlu adanya pengembangan kecerdasan emosional bagi
para suster dalam hidup berkomunitas. Keberhasilan menyesuaikan diri di komunitas
sangat ditentukan oleh kemampuan masing-masing suster dalam menjawab dan
mengatasi situasi permasalahan yang ada. Kenyataan hidup sehari-hari menunjukkan
bahwa penghayatan saling menanggung kelemahan sesama dengan sabar dari
tekanan-tekanan akibat perbedaan watak, usia, kebudayaan, pendidikan, dan lain-lain
tidak mudah dijalankan karena para suster kurang mampu mengelola kecerdasan
Rendahnya tingkat kecerdasan emosional para suster hanya dapat diatasi bila
mereka saling terbuka untuk menerima dan menanggung kelemahan satu sama lain
dengan sabar, dan saling mendengarkan diantara mereka. Konseling kelompok
merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kecerdasan emosional para suster,
karena melalui konseling kelompok para suster bekerja dan berproses bersama untuk
mengeksplorasi gagasan, sikap, perasaan dan perilaku yang berkaitan dengan
perkembangan dan kemajuan dalam hidup berkomunitas. Konseling kelompok pada
hakekatnya adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan
perilaku yang disadari, dibina dalam suatu kelompok kecil dengan mengungkapkan
diri kepada sesama anggota dan konselor sebagai pembimbing kelompok, dimana
komunikasi antar pribadi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan
penerimaan diri terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk
belajar perilaku tertentu ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Konseling kelompok
bersifat memberikan kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu,
dalam arti bahwa konseling kelompok memberikan dorongan dan motivasi kepada
individu untuk membuat perubahan-perubahan dengan memanfaatkan potensi secara
maksimal sehingga dapat mewujudkan diri. Konseling kelompok mempunyai tujuan
untuk membantu memecahkan permasalahan yang dialami oleh tiap anggota
kelompok (Winkel dan Hastuti, 2004: 542). Anggota yang mempunyai perilaku yang
tidak sesuai dalam konseling kelompok, dapat menggunakan interaksi dalam
kelompok untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan
tujuan tertentu, untuk mempelajari atau menghilangkan sikap-sikap atau perilaku yang
Salah satu upaya yang perlu dilakukan oleh pemimpin adalah bekerjasama
dengan pihak lain yang lebih berkompeten dalam bidang bimbingan dan konseling
untuk memberikan pelayanan konseling kelompok, atau memanfaatkan suster-suster
Puteri Reinha Rosari yang memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan
konseling (Corey, 1997: 357). Pihak-pihak yang berkompeten dapat memberikan
konseling kelompok yang sesuai dengan kebutuhan para suster. Dengan memberikan
konseling kelompok yang relevan para suster dibantu menjadi pribadi yang mampu
mengatur hidupnya, mengenal perasaan/emosinya baik emosi sendiri mau pun emosi
orang lain, memahami dirinya sendiri dan orang lain, dapat memotivasi dirinya
sendiri, serta mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain. Bertitik tolak
dari latar belakang di atas, maka perlu diadakan penelitian tentang kecerdasan
emosional para suster Puteri Reinha Rosari dalam hidup berkomunitas dan
implikasinya dalam pendampingan konseling kelompok.
B. Perumusan Masalah
Memperhatikan latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang muncul
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Seberapa tinggi aspek-aspek kecerdasan emosional para suster Puteri Reinha
Rosari di Larantuka dalam hidup berkomunitas?
2. Topik-topik layanan konseling kelompok mana yang sesuai bagi para suster
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mengetahui tingginya aspek-aspek kecerdasan emosional para suster Puteri
Reinha Rosari Larantuka dalam hidup berkomunitas.
2. Dapat memberikan layanan konseling kelompok yang sesuai bagi para suster
untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak:
1. Manfaat Teoritis
Menambah kajian teori dan menjadi bahan informasi yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan dan mengembangkan program studi
Bimbingan dan Konseling terutama dalam bidang kecerdasan emosional.
2. Manfaat Praktis
a. Memperluas wawasan dan pemahaman para suster Puteri Reinha Rosari
tentang pentingnya kecerdasan emosional dalam hidup berkomunitas
b. Suster-suster Puteri Reinha Rosari memperoleh masukan yang berguna
untuk pembinaan bidang pengembangan kecerdasan emosional di
komunitas-komunitas.
c. Memperoleh pengalaman dalam mengungkapkan tingkat kecerdasan
E. Definisi Operasional
Berikut ini dijelaskan definisi operasional dari beberapa istilah yang digunakan
dalam penelitian ini:
1. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami,
merasakan dan mengenali perasaan dirinya dan orang lain sehingga orang tersebut
dapat mengendalikan perasaan yang ada dalam dirinya, dapat memahami serta
menjaga perasaan orang lain, dan dapat memotivasi diri sendiri untuk menjadi
individu atau pribadi yang lebih baik dalam kehidupan yang dijalaninya.
2. Suster-suster Puteri Reinha Rosari adalah kelompok religius kristiani berumur
antara 25-60 tahun yang tinggal dan berkarya di komunitas-komunitas di sekitar
wilayah Larantuka.
3. Konseling kelompok adalah wawancara konseling antara konselor selaku
pemimpin kelompok dengan beberapa individu (4-12 orang) selaku anggota
kelompok untuk memecahkan masalah dan pengembangan pribadi para anggota
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi uraian mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan topik
penelitian yaitu: (1) Hakekat kecerdasan emosional yang meliputi: pengertian
kecerdasan emosional, aspek-aspek kecerdasan emosional, faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosional; (2) Konseling kelompok meliputi: pengertian,
tujuan, komponen-komponen konseling kelompok, asas-asas konseling kelompok dan
tahap-tahap konseling kelompok; (3) Konseling kelompok di komunitas meliputi: arti
komunitas, pentingnya layanan konseling kelompok di komunitas, hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam konseling kelompok.
A. Hakekat Kecerdasan Emosional 1. Pengertian kecerdasan Emosional
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar
kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern
yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan
sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan
bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat
kesuksesan atau prestasi hidup seseorang. Daniel Goleman adalah salah
seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang
dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi prestasi seseorang,
yakni kecerdasan emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan
Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan
daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh manusiawi.
Senada dengan definisi tersebut, Goleman mengungkapkan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam
memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi, menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa (Imam, 2009: 16).
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Patton (1998) mengemukakan
kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara efektif
guna mencapai tujuan, dan membangun hubungan yang produktif dan dapat
meraih keberhasilan. Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan
pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer (Shapiro, 2000:
5). Kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan
kita sendiri, dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orang lain; mampu bertahan menghadapi frustrasi;
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan;
mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan
kemampuan berpikir; berempati dan berdoa (Goleman, 2009: 45).
Peter Salovey dan Jack Mayer menjelaskan bahwa kecerdasan
emosional merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan
membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan
maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu
dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses
dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh
varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik,
interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner
sebagai kecerdasan pribadi. Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari:
”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa
yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja dan bagaimana bekerja
bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah
kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut
adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan
mengacu pada diri sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif”
(Goleman, 2009: 50-53). Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti
kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan
menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat
orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju
pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri
seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut
serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku” (Goleman, 2009 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey
memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk
dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri
individu. Menurut Solovey kecerdasan emosional adalah kemampuan
sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina
hubungan (kerjasama) dengan orang lain (Goleman, 2009: 57). Menurut
Goleman (2009: 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi; menjaga keselarasan emosi
dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan suster-suster
untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina
hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami, merasakan dan
mengenali perasaan dirinya dan orang lain sehingga orang tersebut dapat
mengendalikan perasaan yang dialaminya, dapat memahami serta menjaga
perasaan orang lain, dan dapat memotivasi diri sendiri untuk menjadi individu
atau pribadi yang lebih baik dalam kehidupannya.
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Salovey menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan
kemampuan yang dapat dipelajari (Goleman, 2009: 57-59). Kecerdasan
emosional memiliki lima aspek penting yang oleh Goleman disebut wilayah
utama atau ciri-ciri kecerdasan emosional. Kelima aspek kecerdasan
emosional tersebut adalah: mengenali emosi diri, mengelola emosi,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan.
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk
mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini
merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi
menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2009: 64)
kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran
tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi
mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran
diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan
salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga
individu mudah menguasai emosi. Langkah pertama untuk menjadi
cerdas secara emosi adalah dengan menjadi orang yang sedapat
mungkin memiliki kesadaran diri (Yeung, 2009: 15). Menjadi orang
berkesadaran diri juga berarti sadar akan dampak yang kita timbulkan
bagi orang lain.
Menurut Goleman (2009) dan Yeung (2009), aspek mengenali emosi sendiri terdiri dari:
1) Kesadaran diri
Orang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi mampu: a) Tahu emosi mana yang sedang mereka rasakan dan mengapa. b) Menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dengan yang
mereka pikirkan, perbuat dan katakan.
c) Mengetahui bagaimana perasaan mereka memengaruhi kinerja. d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai
dan sasaran-sasaran mereka. 2) Penilaian diri
Orang yang memiliki kecakapan penilaian diri secara teliti atau pengukuran diri yang akurat, maka ia;
a) Sadar akan kekuatan dan kelemahannya.
b) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman. c) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima
d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.
3) Kepercayaan diri
a) Berani tampil dengan keyakinan diri; berani menyatakan keberadaannya.
b) Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban.
c) Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan tidak pasti dan tertekan.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan
tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.
Kemampuan mengendalikan emosi adalah kekuatan yang siap digali untuk
mendapatkan kualitas hidup yang baik (Wijokongko, 2007: 12).
Kemampuan mengendalikan emosi mencakup kemampuan untuk
menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau
ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan
untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. Shapiro menegaskan
bahwa individu yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan lebih
cakap menangani ketegangan emosi, karena kemampuan mengelola emosi
akan mendukung individu menghadapi dan memecahkan konflik
interpersonal dan kehidupan secara efektif (Safaria dan Saputra, 2009: 8).
Menurut Goleman (2009: 404) orang yang memiliki kemampuan
mengelola emosi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah. 2) Berkurangnya ejekan verbal.
5) Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri 6) Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa
7) Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.
Orang yang memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik dapat
mengendalikan emosinya dengan efektif. Ia mampu menyeimbangkan rasa
marah, rasa kecewa, frustrasi, putus asa akibat diejek, ditolak, diabaikan
atau menghadapi ancaman. Orang yang memiliki kecerdasan dalam
mengelola emosinya akan lebih obyektif dan realistis dalam menganalisa
permasalahannya (Safaria dan Saputra, 2009: 9). Aspek kemampuan
mengelola emosi menurut Goleman (2009) meliputi:
1)Mengendalikan emosinya sendiri
Orang yang dapat mengendalikan emosinya sendiri secara tepat mampu:
a) Mengelola dengan baik emosi yang menekan,
b) Tetap teguh, bersikap positif dan tidak goyah sekalipun dalam situasi yang paling berat,
c) Berpikir jernih dan tetap fokus kendati dalam keadaan tertekan. 2)Dapat dipercaya
Orang yang dapat dipercaya mampu:
a) Bertindak seturut etika dan tidak pernah mempermalukan orang lain,
b) membangun kepercayaan dengan sikap apa adanya dan jujur,
c) mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatanyang tidak dapat diterimanya,
d) berpegang pada prinsip secara teguh walaupun akibatnya adalah menjadi tidak disukai orang lain.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan memberikan
semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan
bermanfaat. Menurut Imam (2009: 103), membangun motivasi dalam diri
merupakan perbuatan yang harus ditumbuhkan dalam diri setiap orang agar
memiliki semangat untuk menjadikan kehidupan lebih berkualitas. Dalam
kekuatan dan semangat untuk melakukan aktivitas tertentu, misalnya
belajar, bekerja dan menolong orang lain. Kemampuan memotivasi diri
sangat diperlukan lebih-lebih pada waktu motivasi orang itu negatif, yaitu
pada waktu patah semangat, kehilangan pandangan ke masa depan.
Tujuannya agar motivasinya positif dan ia menjadi bersemangat serta
bergairah lagi dalam hidup. Orang yang mampu memotivasi dirinya akan
lebih berhasil dalam kehidupannya dibandingkan dengan orang yang
menunggu orang lain untuk memperhatikan dirinya. Salah satu ciri dari
kemampuan memotivasi diri adalah kepercayaan diri. Orang yang memiliki
motivasi yang tinggi akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi pula. Ciri
utama kepercayaan diri adalah sikap optimis dalam menghadapi berbagai
tantangan. Orang yang memiliki kecakapan ini tidak mudah jatuh dalam
suatu kegagalan dan tidak mudah puas dengan apa yang dihasilkan,
melainkan kemauan untuk terus berusaha memperbaiki diri. Kemampuan
memotivasi diri sendiri menurut Goleman (2009) meliputi aspek:
1)Dorongan untuk berprestasi
Orang yang memiliki kemampuan berprestasi memiliki kemampuan; a) berorientasi pada tujuan dengan semangat juang yang tinggi untuk
meraihnya,
b) menetapkan tujuan yang menantang dan berani mengambil resiko, c) mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi
ketidakpastian dan mencari cara yang lebih tepat, d) terus belajar untuk meningkatkan prestasi. 2)Memiliki komitmen
Orang yang memiliki komitmen tinggi mampu; a) berkorban demi tercapainya tujuan,
b) merasakan dorongan semangat dalam mencapai tujuan yang utama dalam hidupnya,
c) mempertimbangkan nilai-nilai yang diterima dalam masyarakat untuk mengambil keputusan,
3)Memiliki inisiatif
Orang yang memiliki inisiatif mampu:
a) memanfaatkan peluang untuk memajukan dirinya,
b) mengejar sasaran lebih daripada yang dipersyaratkan atau diharapkan,
c) berani melanggar batas-batas dan aturan yang tidak prinsip apabila perlu, agar tugas dapat dilaksanakan,
d) berani mengajak orang lain bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
4)Optimis
Orang memiliki sifat optimis mampu:
a) bersikap tekun dalam mengejar cita-citanya meskipun banyak hambatan,
b) bekerja atau belajar dengan harapan untuk sukses dan tidak merasa takut gagal,
c) berani belajar dari kegagalan.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Menurut Goleman (2009: 59) kemampuan seseorang untuk mengenali
emosi orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang.
Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang
orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk
mendengarkan orang lain. Yeung (2009: 82) mengatakan bahwa kunci
menciptakan empati dan kedekatan adalah dengan mendengarkan. Banyak
orang melakukan kesalahan karena terlalu banyak bicara dan kurang
mendengarkan atau mereka sekedar mendengarkan, tapi tidak memahami
maksudnya. Ketrampilan membangun empati dan kedekatan dapat
dilakukan dengan cara mendengarkan, membaca isyarat emosional,
mengajukan pertanyaan, menunjukkan sikap mendengarkan dan
sensitivitas, serta melakukan kontak mata. Rosenthal dalam penelitiannya
isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih
populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka (Goleman, 2009: 136).
Orang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran
diri yang tinggi, semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu
mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut
mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. Goleman
(2009: 404) mengemukakan bahwa orang yang memiliki kemampuan
mengenali emosi orang lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain. 2) Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain. 3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan
yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar
pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar
dalam keberhasilan membina hubungan. Kemampuan untuk
mengungkapkan diri termasuk perasaan merupakan dasar dalam
kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Orang-orang yang
hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam
bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu
berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer
dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena
kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2009: 59).
Menurut Goleman (2009: 404-405) orang yang memiliki kemampuan
1) lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan,
2) lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan,
3) lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi, 4) lebih populer dan mudah bergaul,
5) lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa,
6) lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok, 7) lebih suka berbagi rasa, bekerjasama, dan suka menolong,
8) lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil
komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional
sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional terdiri dari dua
faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor Internal.
Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang
mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua
sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor
fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang dapat
terganggu maka dapat mempengaruhi proses kecerdasan emosinya. Segi
psikologis mencakup pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan
motivasi.
Faktor internal dipengaruhi oleh otak emosional orang.
Mula-mula pesan diterima melalui indra, dicatat oleh bagian struktur otak yang
disebut amygdala yakni bagian struktur otak yang paling banyak berurusan dengan pengolahan dan penyimpanan data emosional.
berurusan dengan proses kegiatan rasional. Karena itu ketika menghadapi
sesuatu, terlebih dahulu orang bereaksi secara emosional, sebelum
disadari sepenuhnya oleh rasio. Kecerdasan emosional tinggi akan
membantu untuk menjaga hubungan komunikasi terbuka antara
amygdala dan neocortex, dan akan membuat orang mampu menguasai diri, memahami emosi orang lain secara empatik, dan menyesuaikan diri
dengan emosi orang lain atau lingkungan yang dihadapi (Goleman, 2009:
23-25).
b. Faktor Eksternal.
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak
bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan
lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat
mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan kecerdasan emosional bukanlah lawan keterampilan IQ
atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara
dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain
itu, kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor
keturunan (Shapiro, 1998: 10).
Gottman dan De Claire, (2008: 4-5) berpendapat bahwa faktor
eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah:
1) Keluarga
Pengaruh pola asuh orang tua mempunyai dampak besar
pada kehidupan anak di kemudian hari. Salah satu penghambat
pada perkembangan anak. Biasanya terjadi ketika anak di bawah
lima atau enam tahun dan di bawah sebelas tahun. Keluarga
merupakan sekolah yang pertama untuk mempelajari emosi. Orang
tua merupakan pelatih emosi anak yang pertama dan utama.
Sebagai pelatih emosi ia tidak cukup hanya bersikap hangat dan
positif saja tetapi ia harus mampu mengatasi secara efektif
perasaan-perasaan negatif anaknya. Gottman dan De Claire
mengindentifikasikan tiga tipe orangtua yang gagal mengajarkan
kecerdasan emosional kepada anak antara lain:
a) Orang tua yang sering mengabaikan, tidak menghiraukan, dan
menganggap sepi atau meremehkan emosi-emosi negatif anak.
b) Orang tua yang tidak menyetujui, dan bersifat kritis terhadap
perasaan anak, serta memarahi atau menghukum karena anak
mengungkapkan emosinya.
c) Orang tua yang selalu menerima emosi anak dan bersikap
empati, tetapi tidak memberikan bimbingan atau menentukan
batas-batas pada tingkah laku anak. Orang tua sebagai pelatih
emosi, seharusnya dapat menerima kesedihan anak, menolong
memberi nama pada emosi yang sedang dialami, dan
membiarkan anak mengalami perasaannya-perasaannya, tidak
memarahi waktu anak sedih serta mendampingi anak sewaktu
menangis.
Menurut Prasetya (2003: 27) pola pengasuhan yang
anak dengan sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan
kehidupan masa depan yang jelas. Mereka tidak hanya
memikirkan masa kini, tetapi memahami bahwa masa depan harus
dilandasi oleh tindakan masa kini. Orang tua yang demokratis
tidak ragu-ragu dalam mengendalikan anak, berani menegur bila
anak berperilaku buruk. Orang tua mengerahkan perilaku anak
sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap, pengetahuan,
dan ketrampilan yang dibutuhkan anak untuk mengarungi hidup
dan kehidupannya di masa mendatang.
2) Pengalaman
Pengalaman hidup juga mempengaruhi emosi seseorang
(Albin, 1986: 90). Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman
mengungkapkan emosi misalnya anak perempuan boleh
mengungkapkan rasa sedih dengan menangis tetapi sebaliknya
anak laki-laki tidak diharapkan untuk mengungkapkan perasaan
itu, sebaliknya rasa marah dan perlawanan boleh dinyatakan oleh
anak laki-laki. Pengalaman dengan orang lain mempengaruhi
watak asli seseorang dan menjadikannya menjadi orang yang unik
dalam mengalami emosi, dalam mengungkapkan dan dalam
keterbukaannya dengan orang lain.
Shertzen dan Stone mengatakan bahwa konseling kelompok adalah
suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pemikiran dan perilaku
yang disadari. Proses itu mengandung ciri terapeutik seperti pengungkapan
pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi pada kenyataan, pembukaan diri
mengenai seluruh perasaan mendalam yang dialami, saling percaya, saling
pengertian dan saling mendukung (Winkel & Hastuti, 2004: 590). Konseling
kelompok merupakan pengalaman edukatif yang di dalamnya kelompok
bekerja dan berproses bersama untuk mengeksplorasi gagasan, sikap, perasaan
dan perilaku yang berkaitan dengan perkembangan dan kemajuan dalam
kelompok. Latipun (2008: 179) berpendapat bahwa konseling kelompok
merupakan kelompok terapeutik yang dilaksanakan untuk membantu individu
mengatasi masalah sehari-hari yang menekankan pada proses remedial dan
pencapaian fungsi-fungsi secara optimal (memberikan dorongan dan
pemahaman pada individu/klien) untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya.
Peran konselor adalah memperlancar interaksi dalam kelompok.
Proses konseling kelompok berjalan dengan cara setiap anggota
mengungkapkan diri, mendengarkan dengan cermat, dan memberikan masukan
satu sama lain. Permasalahan yang dibahas sering kali mirip dengan aktivitas
yang dialami.
2. Tujuan konseling kelompok
Kesuksesan layanan konseling kelompok sangat dipengaruhi sejauh mana
tujuan yang akan dicapai dalam konseling kelompok. Ellis (Corey, 1997: 350)
a. Membantu anggota kelompok memahami sumber masalah mereka dan
menggunakan pemahaman kognitif untuk mengatasi gejala-gejala masalah
dan belajar berperilaku yang pantas.
b. Memberikan kesempatan pada anggota kelompok mengembangkan
pemahaman tentang masalah orang lain dan anggota belajar bagaimana
memberi bantuan kepada teman satu kelompok.
c. Memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk belajar
cara-cara memahami keadaan kehidupan dan memberikan reaksi-reaksi rasional
pada keadaan itu, sehingga mengurangi gangguan bagi diri individu.
d. Memberikan kesempatan pada para anggota kelompok mencapai
perubahan kognitif dasar, emosi datar dan perilaku yang diharapkan,
termasuk cara menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan, cara
berpikir rasional, mempraktekan penilaian diri sendiri dan memperlakukan
diri sendiri sebagai insan yang berharga.
Tujuan konseling kelompok pada dasarnya dibedakan menjadi dua,
yaitu tujuan teoritis dan tujuan operasional. Tujuan teoritis berkaitan dengan
tujuan yang secara umum dicapai melalui proses konseling, sedangkan tujuan
operasional disesuaikan dengan harapan klien dan masalah yang dihadapi
klien, yaitu mengurangi perilaku agresif.
Tujuan teoritis konseling kelompok yang secara lengkap dikemukakan
Corey (1997: 7-8) adalah sebagai berikut:
a. Lebih terbuka dan jujur terhadap diri sendiri dan orang lain b. Belajar mempercayai diri sendiri dan orang lain
c. Berkembang untuk lebih menerima diri d. Belajar berkomunikasi
g. Meningkatkan kesadaran diri h. Belajar memberi dan menerima i. Belajar memecahkan masalah j. Belajar memberi perhatian
k. Lebih peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain l. Lebih mengerti bahwa orang lain juga punya masalah m. Belajar memberi dan menerima umpan balik dan konfrontasi
Konseling kelompok sangat bermanfaat karena melalui saling interaksi
antar anggota kelompok mereka memenuhi beberapa kebutuhan psikologis,
seperti kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan sesama dan diterima oleh
mereka, kebutuhan untuk bertukar pikiran dan berbagi perasaan, kebutuhan
menemukan nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan dan kebutuhan untuk
menjadi lebih independen serta mandiri.
3. Komponen-komponen Konseling Kelompok
Ada beberapa komponen yang harus dipenuhi agar dapat mendukung
kelancaran kegiatan konseling kelompok, yaitu anggota kelompok, pemimpin
kelompok, dinamika kelompok dan topik permasalahan.
a. Anggota kelompok
Keanggotaan merupakan salah satu unsur pokok dalam proses
kehidupan kelompok. Kegiatan atau kehidupan kelompok itu sebagian
besar didasarkan atas peranan para anggotanya.
Peranan anggota kelompok menurut Prayitno (1995: 32)
antara lain :
1)Membantu terbinanya suasana keakraban dalam hubungan antar anggota kelompok.
2)Mencurahkan segenap perasaan dalam melibatkan diri dalam kegiatan kelompok.
3)Berusaha agar yang dilakukan itu membantu tercapainya tujuan bersama.
5)Benar-benar berusaha untuk secara efektif ikut serta dalam seluruh kegiatan kelompok.
6)Mampu mengkomunikasikan secara terbuka. 7)Berusaha membantu anggota lain.
8)Memberikan pada anggota lain untuk juga menjalani perannya. 9)Menyadari pentingnya kegiatan kelompok tersebut.
Dengan memilih berpartisipasi dalam kelompok ini maka para
anggota menerima tantangan untuk bersama-sama membina kebersamaan
dan mencari penyelesaian atas masalah yang dihadapi bersama, untuk itu
para anggota harus memberikan sumbangan dengan memegang
peranan-peranan tersebut diatas.
b. Pemimpin kelompok
Orang yang memimpin kelompok dan memprakarsai tingkah laku
sosial dengan cara mengatur, menunjukkan, mengorganisasikan, atau
mengendalikan upaya yang dilakukan orang, baik melalui prestise,
kekuasaan maupun posisinya dalam kelompok, jadi pemimpin kelompok
mengatur jalannya kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan konseling
kelompok.
Peranan pemimpin kelompok menurut Prayitno (1995: 35) adalah
sebagai berikut:
1) Pemimpin kelompok dapat memberi bantuan, pengarahan atau campur tangan terhadap kegiatan kelompok.
2) Pemimpin kelompok memusatkan perhatian pada suasana perasaan yang berkembang dalam kelompok itu baik perasaan anggota tertentu maupun keseluruhan anggotanya.
3) Jika anggota itu kurang menjurus ke arah yang dimaksudkan maka pemimpin kelompok perlu memberikan arah.
4) Pemimpin kelompok juga memberikan tanggapan (umpan balik) tentang berbagai hal yang terjadi dalam kelompok baik yang bersifat isi maupun proses kegiatan kelompok.
6) Sifat kerahasiaan dari kegiatan kelompok itu dengan segenap isi dan kejadian-kejadian yang timbul didalamnya juga menjadi tanggungjawab pemimpin kelompok.
7) Membentuk norma. Norma yang berlaku dalam kelompok yang disepakati bersama oleh kelompok.
Pemimpin kelompok sebagai pribadi, tidak dapat memaksakan
teknik dalam kelompok dari karakteristik personalnya. Pemimpin
kelompok mempunyai pengaruh pada proses konseling tidak hanya
kecakapan menggunakan teknik, namun lebih pada karakteristik pribadi
dan tingkah lakunya. Menurut Corey (1997: 357) keberhasilan pemimpin
tidak hanya diukur dari karakteristik partisipasi anggota atau teknik
khusus dalam memimpin kelompok. Menurutnya pemimpin kelompok
dapat memperoleh teori yang luas dan pengetahuan praktis tentang
dinamika kelompok dan mempunyai kemampuan dalam mendiagnostik
serta prosedur teknik, akan menjadi efektif dalam merangsang
pertumbuhan dan merubah anggota. Pemimpin sebagai profesional dalam
konseling kelompok sepenuhnya bertanggungjawab terhadap segala hal
yang berkembang dalam kelompok tersebut. Selain ia telah dibekali dalam
segi teori maupun segi yang praktis, ia juga harus mampu bertindak sebagi
pemimpin kelompok yang memenuhi sejumlah syarat yang menyangkut
pendidikan akademik, kepribadiannya, keterampilan berkomunikasi
dengan orang-orang dan penggunaan teknik-teknik dalam kenseling
kelompok.
c. Dinamika kelompok
Dinamika kelompok adalah suasana yang hidup yang ditandai
tujuan kelompok. Dalam suasana seperti ini seluruh anggota kelompok
menampilkan dan membuka diri memberikan sumbangan bagi suksesnya
kegiatan kelompok.
Menurut Prayitno (1995: 22) faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas kelompok antara lain :
1)Tujuan dan kegiatan kelompok 2)Jumlah anggota
3)Kualitas masing-masing pribadi anggota kelompok 4)Kedudukan kelompok
5)Kemampuan kelompok dalam memenuhi kebutuhan anggota untuk saling berhubungan sebagai kawan, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan bantuan moral dan sebagainya.
Kondisi positif yang ada pada faktor-faktor tersebut diatas akan
menunjang terhadap fungsi kelompok untuk tujuan bersama.
d. Topik permasalahan
Menurut Prayitno (1995: 26) topik permasalahan dalam konseling
kelompok terdapat dua kategori yaitu :
1)Topik tugas yaitu topik yang secara langsung dikemukakan oleh pemimpin kelompok dan ditugaskan kepada seluruh anggota kelompok untuk bersama-sama membahasnya.
2)Topik bebas yaitu anggota secara bebas mengemukakan permasalahan yang dihadapi atau yang sedang dirasakannya kemudian dibahas satu persatu.
4. Asas-asas konseling kelompok
Dalam kegiatan konseling kelompok ada beberapa asas sebagai
pedoman dalam pelaksanaannya, yaitu asas kerahasiaan, asas kesukarelaan,
asas keterbukaan, asas kekinian, asas kemandirian, kegiatan, asas kedinamisan
dan asas kenormatifan (Prayitno, 1995: 23).
Segala sesuatu yang dibicarakan dalam kelompok tidak boleh disampaikan kepada orang luar oleh anggota kelompok atau orang lain selain anggota kelompok.
b. Asas kesukarelaan
Anggota kelompok diharapkan sukarela tanpa ragu-ragu atau pun terpaksa menyampaikan masalah yang dihadapinya serta mengungkapkan segenap fakta, data dan seluk beluk masalah kepada pemimpin kelompok dan anggota lain dengan suka rela mengikuti kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
c. Asas Keterbukaan
Antara pemimpin kelompok dan anggota kelompok harus saling terbuka sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dan akhirnya akan mengganggu jalannya kegiatan kelompok.
d. Asas Kekinian
Masalah yang dihadapi oleh anggota kelompok adalah masalah yang sudah lampau hanya merupakan latar belakang dari masalah tersebut.
e. Asas Kemandirian
Merupakan asas dimana tujuan konseling kelompok adalah agar anggota kelompok dapat mandiri baik itu dalam memecahkan masalahnya atau mengambil keputusan juga mandiri dalam perkembangannya.
f. Asas Kegiatan
Asas ini menunjukkan pada pola konseling “multi dimensional” yang tidak hanya mengandalkan transaksi verbal antara klien (anggota kelompok) dengan pemimpin kelompok. Dalam konseling yang berdimensi verbal asas kegiatan masih harus dilaksanakan yaitu aktif menjalani proses konseling dan aktif pula menjalankan atau melaksanakan serta menerapkan hasil-hasil kegiatan konseling.
g. Asas Kedinamisan
Adanya perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik, perubahan ini tidaklah sekedar mengulang yang lama tetapi adanya peningkatan kearah pembaharuan yang positif.
h. Asas Kenormatifan
Kegiatan konseling kelompok tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku baik ditinjau dari norma-norma agama, norma-norma adat, hukum, ilmu maupun kehidupan sehari-hari.
5. Struktur dalam konseling kelompok
Konseling kelompok memiliki struktur yang sama dengan terapi
kelompok pada umumnya. Struktur konseling menurut Latipun (2009: 185)
a. Jumlah anggota kelompok
Umumnya berkisar antara 4 sampai 12 orang. Berdasarkan
penelitian jumlah anggota kelompok yang kurang dari 4 orang tidak efektif
karena dinamika kelompok menjadi kurang hidup. Sebaliknya jika anggota
melebihi 12 orang terlalu besar untuk konseling kelompok karena terlalu
berat dalam mengelola kelompok.
b. Homogenitas kelompok
Konseling kelompok bisa dibuat homogen atau heterogen sangat
tergantung pada kelompok. Penentuan homogenitas keanggotaan
kelompok disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan pemimpin
kelompok.
c. Sifat kelompok
Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Dikatakan terbuka jika
pada suatu saat dapat menerima anggota baru dan dikatakan tertutup jika
keanggotaannya tidak memungkinkan adanya anggota baru.
d. Waktu pelaksanaan
Lamanya waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat
bergantung pada kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok.
Konseling kelompok yang bersifat jangka pendek membutuhkan jangka
waktu antara 6 sampai 20 kali pertemuan dengan frekwensi pertemuan
antara satu sampai tiga kali dalam seminggu. Durasi pertemuan kelompok
pada prinsipnya sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi anggota
kelompok.
Menurut Prayitno (1995: 40) pelaksanaan kegiatan konseling kelompok
terdiri dari empat tahap, yaitu tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap
kegiatan, tahap pengakhiran dan follow up (tindak lanjut). a. Tahap I, Tahap Pembentukan
Tahap awal adalah saat-saat orientasi dan penggalian. Penentuan
struktur kelompok, pengenalan dan penggalian harapan-harapan atau
keinginan-keinginan anggota-anggotanya. Selama fase ini anggota
mempelajari fungsi kelompok, memperjelas harapan-harapan,
mempertegas tujuan-tujuan dan mencari posisinya dalam kelompok. Tugas
utama dari tahap awal adalah pencantuman dan identitas, fase ini
menyangkut keputusan untuk masuk atau keluar dari kelompok,
penanganan kepribadian dan membuat komitmen. Anggota kelompok
berhak untuk membawa ciri-ciri atau keunikan mereka dan membentuk jati
dirinya (tidak menjadi lebur dalam kelompok).
Karakteristik tahap awal adalah waktu untuk orientasi dan
menetapkan struktur kelompok. Anggota mempelajari aturan-aturannya
dan apa yang bisa diharapkan, mempelajari bagaimana fungsi kelompok
dan belajar berpartisipasi dalam kelompok. Kekompakan kelompok dan
kepercayaan lambat laun mulai terbentuk, jika anggota-anggotanya
bersedia mengekspresikan/mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan
rasakan. Anggota memperhatikan apakah mereka dapat masuk atau tidak
dan mereka mulai menetapkan posisi mereka dalam kelompok.
Perasaan-perasaan negatif mulai nampak untuk menguji apakah Perasaan-perasaan-Perasaan-perasaan
ketidakpercayaan. Disini ada masa keheningan dan kecanggungan/kikuk;
para anggota mulai mencari arah dan berpikir kelompok ini maunya apa.
Para anggota mempelajari perilaku-perilaku dasar dari menghargai, empati,
penerimaan, perhatian, dan menanggapi semua perilaku-perilaku yang
membangun kepercayaan.
Fungsi dan tugas utama pemimpin kelompok selama tahap orientasi
dan penggalian dalam kelompok adalah:
1) Mengajarkan partisipasi, beberapa petunjuk umum dan cara untuk
berpartisipasi dengan aktif akan meningkatkan peluang mereka untuk
mendapatkan kelompok yang produktif.
2) Mengembangkan aturan-aturan dasar dan membuat norma-norma, serta
mengajarkan proses dasar dalam kelompok.
3) Membantu anggota dalam mengungkapkan ketakutan-ketakutan
mereka dan harapan-harapan, dan mengembangkan kepercayaan,
membuat model dari perilaku terapi.
4) Membantu anggota membangun tujuan-tujuan pribadi yang konkrit dan
menangani secara terbuka perhatian-perhatian dan
pertanyaan-pertanyaan anggota.
5) Membantu anggota untuk berbagi rasa dan berbagi pendapat mengenai
apa yang timbul dalam kelompok.
6) Mengajarkan anggota dasar hubungan antar manusia seperti
mendengarkan dengan aktif dan menganggapi, setra menilai kebutuhan
kelompok dan mencari jalan bagaimana kebutuhan-kebutuhan tersebut
7) Memperlihatkan pada anggota bahwa mereka mempunyai tanggung
jawab terhadap arah dan hasil dari kelompok.
8) Memastikan semua anggota berpartisipasi dalam interaksi kelompok,
sehingga tak ada seorang pun yang merasa dikucilkan dan mengurangi
ketergantungan anggota pada pemimpin.
Tahap ini merupakan pengenalan, tahap pelibatan diri atau proses
memasukkan diri kedalam kehidupan kelompok. Hal-hal yang dibicarakan
dalam tahap ini meliputi :
a) Penjelasan tentang pengertian
b)Cara-cara pelaksanaannya
c) Asas-asas yang ada dalam kegiatan konseling kelompok.
b. Tahap II, Tahap Peralihan
Tahap kedua adalah tahap transisi yang ditandai dengan adanya
perasaan-perasaan khawatir dan defensif (bertahan) dalam berbagai
bentuk perlawanan. Perasaan ini biasanya mengawali keterbukaan dan
kepercayaan dalam tahap berikutnya. Tahap transisi menurut Prayitno,
dijelaskan sebagai tahap peralihan yang bertujuan membebaskan anggota
kelompok dari perasaan atau sikap enggan, ragu, malu atau saling tidak
percaya untuk memasuki tahap berikutnya (Prayitno, 1995: 47). Pada saat
ini keraguan utama dari partisipan berkaitan dengan terlalu banyak atau
terlalu sedikit tanggung jawab dan terlalu banyak atau terlalu sedikit
pengaruh. Konflik timbul dari ketidaksesuaian dari anggota sendiri dan
kesan stereotip yang mereka tangkap dan sering kali diekspresikan dalam
Pada tahap peralihan suasana kelompok terbentuk dan dinamika
kelompok mulai tumbuh, kegiatan kelompok hendaknya dibawa untuk
menuju kegiatan kelompok (Prayitno, 1995: 44). Karakteristik tahap
transisi pengembangan kelompok ditandai dengan perasaan-perasaan
khawatir, defensif dan berbagai bentuk perlawanan (Corey, 1997: 101).
Pada kondisi demikian anggota peduli tentang apa yang dipikirkan
terhadapnya jika mereka meningkatkan kewaspadaan diri dan peduli
terhadap penerimaan atau penolakan. Setiap anggota kelompok belajar
mengekspresikan diri sehingga anggota yang lain mendengarnya. Peranan
anggota kelompok adalah terpusat pada mengenali dan menangani bentuk
resistensi. Tugas anggota kelompok adalah mengenali dan
mengekspresikan berbagai perasaan negatif. Mempelajari bagaimana
berkonfrontasi dengan anggota yang lain dalam sikap membangun.
Bersedia menghadapi dan menangani reaksi terhadap apa yang terjadi
dalam kelompok.
Tugas kunci dari pemimpin kelompok adalah kebutuhan untuk
intervensi atau mencampuri dalam kelompok dengan sikap sensitif dan
pada saat yang tepat. Hal yang lebih mendasar adalah memberikan
keberanian dan tantangan seperlunya pada anggota untuk menghadapi dan
menyelesaikan atau mengatasi konflik yang timbul di dalam kelompok
(Prayitno, 1995: 38). Tahap ini merupakan tahap untuk mengantarkan
anggota kelompok pada tahap berikutnya. Para anggota kelompok dituntut
masing-masing, pemimpin kelompok memantapkan asas-asas kerahasiaan,
keterbukaan, kesukarelaan dan kenormatifan.
c. Tahap III, Tahap Kegiatan
Tahap ketiga adalah tahap kegiatan kelompok, maka aspek-aspek
yang menjadi isi dan pengiringnya cukup banyak (Prayitno, 1995: 47).
Tahap ini merupakan kehidupan yang sebenarnya dari kelompok. Tahap
kegiatan ditandai dengan adanya eksplorasi masalah-masalah yang
nampak dan dengan tindakan yang efektif untuk menghasilkan
perubahan-perubahan perilaku yang dikehendaki (Corey, 1997: 53). Pada kegiatan ini
saatnya anggota berpartisipasi untuk menyadari bahwa merekalah yang
bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Jadi anggota kelompok harus
didorong untuk mengambil keputusan sendiri masalah-masalah yang
dihadapi dalam kelompok, mereka harus belajar bagaimana menjadi
bagian kelompok yang integral dan sekaligus memahami kepribadiannya
sendiri, dan menyaring umpan balik yang diterima dan membuat
keputusan sendiri, apa yang akan dilakukan.
Ciri-ciri utama suatu kelompok mencapai tahap kegiatan adalah
sebagai berikut:
1) Tingkat kepercayaan dan keakraban tinggi.
2) Konflik antaranggota dikenali dan berhubungan secara langsung dan secara efektif.
3) Umpan balik diberikan secara bebas dan diterima secara sukarela (tanpa perlawanan).
4) Peserta merasa didukung dalam usaha-usaha mereka untuk berubah dan bersedia untuk mengambil resiko dalam perubahan tingkah laku. 5) Anggota merasa mempunyai harapan besar dimana mereka dapat
Fungsi utama dari pemimpin pada tahap kegiatan adalah
menyediakan penguatan secara sistematis dari tingkah laku kelompok
yang diinginkan yang membantu perkembangan kerja yang kohesif dan
produktif. Memberikan kebebasan pada anggota untuk mengambil resiko
dan memaksa mereka untuk menerapkan tingkah laku ini dalam
kehidupan sehari-hari. Mendorong anggota untuk memusatkan diri pada
apa yang mereka inginkan dari kelompok dan untuk meminta apa yang
mereka inginkan.
d. Tahap IV, Tahap Pengakhiran
Tahap keempat adalah tahap akhir yaitu konsolidasi dan
terminasi, hal ini penting bahwa masalah-masalah terminasi dapat di
pecahkan lebih awal pada permulaan dalam sejarah kelompok. Setiap
awal pengakhiran selalu merupakan kenyataan dan anggota memerlukan
peringatan secara periodik dari pemimpin dimana kelompok pada
akhirnya akan berakhir.
Tugas utama yang dihadapi para anggota selama tahap akhir
kelompok adalah konsolidasi dan mentransfer apa yang telah mereka
pelajari dalam kelompok ke dunia luar. Inilah waktu bagi mereka untuk
mengulang kembali dan memasukkannya dalam kerangka kognitif
kelompok. Tugas para anggota pada tahap akhir berhubungan dengan
perasaan tentang perpisahan dan terminasi; persiapan untuk penerapan
sehari-hari; pemberian umpan balik yang akan memberikan gambaran pada
anggota yang lain apa yang mereka rasakan, untuk menyelesaikan
masalah yang tidak terselesaikan, baik itu masalah yang ada di kelompok
maupun masalah yang ada di masyarakat; untuk mengevaluasi dampak
dari kegiatan kelompok, membuat keputusan-keputusan dan
rencana-rancana yang berhubungan dengan perubahan-perubahan yang akan
mereka buat dan bagaimana mereka mengerjakan hal-hal tersebut.
Peranan pemimpin kelompok adalah tetap mengusahakan suasana
yang hangat, bebas, dan terbuka. Memberikan pernyataan dan
mengucapkan terima kasih atas keikutsertaan anggota. Memberi
semangat untuk kegiatan lebih lanjut, penuh rasa persahabatan dan
simpati (Prayitno, 1995: 60). Di samping itu fungsi pemimpin kelompok
pada tahap konsolidasi adalah mempersiapkan suatu kerangka yang
memungkinkan para anggota untuk memperjelas arti dari tiap
pengalaman yang diperoleh di dalam kelompok dan mengajak para
anggota untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari (Corey, 1997:
121). Pada tahap ini pemimpin kelompok meminta para anggota
menyimpulkan hasil hasil yang diperoleh dan mengutarakan kesan-kesan
tentang kegiatan yang telah dilaksanakan, setelah itu dilakjutkan dengan
penetapan waktu dan tempat pertemuan selanjutnya dan penutup.
e. Tahap V, Tindak lanjut (Follow up)
Follow up (tindak lanjut) dapat dilaksanakan secara kelompok dan individu. Pada kegiatan tindak lanjut ini para anggota kelompok dapat