• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecerdasan emosional hidup berkomunitas para suster puteri Reinha Rosari Larantuka tahun 2010 dan implikasinya terhadap konseling kelompok - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kecerdasan emosional hidup berkomunitas para suster puteri Reinha Rosari Larantuka tahun 2010 dan implikasinya terhadap konseling kelompok - USD Repository"

Copied!
241
0
0

Teks penuh

(1)

KECERDASAN EMOSIONAL HIDUP BERKOMUNITAS

PARA SUSTER PUTERI REINHA ROSARI LARANTUKA TAHUN 2010 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSELING KELOMPOK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Yoaneta Olla

061114032

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

KECERDASAN EMOSIONAL HIDUP BERKOMUNITAS

PARA SUSTER PUTERI REINHA ROSARI LARANTUKA TAHUN 2010 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSELING KELOMPOK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Yoaneta Olla

061114032

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Yesus Kristus Anak Allah yang hidup, terang dunia, aku sembah sujud kepadaMU,

untuk Engkau aku hidup, untuk Engkau aku mati.”

(Mgr. Gabriel Manek, SVD., Pendiri Kongregasi PRR)

Orang yang banyak tahu tentang orang lain mungkin disebut pandai, tapi orang yang

bisa memahami dirinya sendiri itulah orang yang cerdas. Orang yang bisa

mengendalikan orang lain mungkin disebut berkuasa, tapi orang yang bisa menguasai

dirinya sendiri itu jauh lebih perkasa.

(Lao – Tsu)

Dengan penuh syukur dan pujian skripsi ini kupersembahkan kepada

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 April 2011

Penulis

(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Yoaneta Olla

Nomor Mahasiswa : 061114032

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul KECERDASAN

EMOSIONAL HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER PUTERI REINHA

ROSARI LARANTUKA TAHUN 2010 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

KONSELING KELOMPOK

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan

dan membentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan, mendistribusikan

secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk

kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti

kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada Tanggal 29 April 2011

Yang menyatakan

(8)

ABSTRAK

KECERDASAN EMOSIONAL HIDUP BERKOMUNITAS

SUSTER-SUSTER PUTERI REINHA ROSARI LARANTUKA TAHUN 2010

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSELING KELOMPOK

Yoaneta Olla

Universitas Sanata Dharma, 2011

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingginya kecerdasan emosional dalam hidup berkomunitas para suster Puteri Reinha Rosari Larantuka tahun 2010 dan implikasinya terhadap konseling kelompok.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Subyek penelitian adalah semua suster Puteri Reinha Rosari yang berkarya di Larantuka pada tahun 2010, berjumlah 50 orang. Mereka berusia antara 25-60 tahun. Instrumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh penulis sendiri dengan mengambil inspirasi dari buku Emotional Intelligence, yang dikarang oleh Daniel Goleman (2009). Kuesioner tersebut terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mencakup kelima aspek kecerdasan emosional. Kelima aspek tersebut adalah: (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan. Seluruh item berjumlah 70 butir. Teknik analisis data yang digunakan adalah perhitungan frekwensi dengan pendistribusian berdasarkan rumus Penilain Acuan Patokan Tipe I yang digolongkan menjadi 5 tingkat yaitu sangat rendah, rendah, cukup, tinggi, dan sangat tinggi.

(9)

ABSTRACT

THE EMOTIONAL INTELLIGENCE IN THE COMMUNITY LIFE OF THE DAUGHTER OF OUR LADY QUEEN OF THE HOLY ROSARY SISTERS, LARANTUKA IN 2010 AND ITS IMPLICATIONS FOR GROUP COUNSELING

Yoaneta Olla

Sanata Dharma University, 2011

This study is aimed to get a description of the level of emotional intelligence in the community life of the Daughter of Our Lady Queen of the Holy Rosary sisters, Larantuka in 2010 and to find its implications for group counseling.

The subjects of this descriptive study are the Daughters of Our Lady Queen of the Holy Rosary sisters who live in Larantuka in 2010. There are 50 sisters involved in this study. The age of the subjects ranges between 25 to 60 years old. The instrument for this study is a questionnaire constructed by the researcher and is based on the Daniel Goleman’s book Emotional Intelligence (2009). The questionnaire consists of items which correspond to the five aspects of emotional intelligence: (1) to recognize one’s own emotions, (2) to manage emotions, (3) to do self-motivation, (4) to recognize others’ emotions, (5) to build relationship with others. There are 70 items used in this questionnaire. The data is analyzed using frequency calculation. The data is categorized into five levels by applying the Criterion Referenced Evaluation (PAP) type I. These levels are: very low, low, sufficient, high, and very high.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmatNya

yang berlimpah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul KECERDASAN EMOSIONAL HIDUP BERKOMUNITAS PARA SUSTER

PUTERI REINHA ROSARI LARANTUKA TAHUN 2010 DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP KONSELING KELOMPOK. Banyak pengalaman yang muncul selama

penulisan skripsi ini, pengalaman gembira, sedih, dan cemas. Meskipun demikian

berkat perhatian, dukungan dan doa-doa dari berbagai pihak penulis mendapatkan

kekuatan, dan semangat untuk tekun dalam penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun

untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Program

Studi Bimbingan dan Konseling.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas

dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu

pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dra. M. J. Retno Priyani, M.Si., selaku dosen pembimbing utama yang telah

meluangkan waktu, penuh kesabaran dan keterbukaan hati memberikan

bimbingan, perhatian, dan sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini.

2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., selaku ketua Program Studi Bimbingan dan

Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah memberikan ijin

(11)

3. Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling, MKDU, dan MKDK

Universitas Sanata Dharma yang telah mendampingi, membimbing dan

membekali dengan pengetahuan dan ketrampilan kepada penulis.

4. Para karyawan sekretariat FKIP, BK, MKDU, MKDK, dan BAAK, yang dengan

sabar memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi.

5. Para karyawan Perpustakaan Sanata Dharma Yogyakarta yang dengan keramahan

dan kesederhanaannya membantu penulis dalam hal peminjaman buku.

6. Para karyawan Rumah Tangga Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang

selalu setia membersihkan lingkungan belajar, sehingga penulis merasa kerasan

dan nyaman dalam belajar.

7. Pimpinan Komunitas Biara suster CIJ, FdCC, PRR, SSpS, dan TMM

Yogyakarta, yang telah mengijinkan penulis untuk mengadakan uji coba alat.

8. Pimpinan Komunitas Biara suster PRR Lebao, Postoh, Riangkemie, Tabali dan

Weri Larantuka, beserta para anggota komunitas yang telah mengijinkan penulis

untuk mengadakan penelitian.

9. Sr. M. Benediktis, PRR., selaku Pemimpin Umum beserta para suster Anggota

Dewan Kongregasi dan para suster Puteri Reinha Rosari, yang telah memberikan

kepercayaan dan kesempatan untuk mengembangkan diri dengan mengikuti studi

lanjut di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

10.Para suster Komunitas PRR Magnifikat Yogyakarta, yang telah memberikan

perhatian dan dukungan kepada penulis dalam belajar dan dalam penyusunan

(12)

11.Rm. Paul Yan Olla, MSF., orang tua dan keluarga yang telah mendukung penulis

lewat doa, cinta dan perhatian selama ini.

12.Keluarga Bapak Mikael Koten dan Bapak Niko Samon sekeluarga, yang

memberikan perhatian dan dukungan khusus kepada penulis.

13.Teman-teman Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2006 yang

telah memberikan dukungan, motivasi, dan saling kerjasama dalam belajar.

14.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah banyak

memberikan perhatian dan dukungan bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran untuk menyempurnakan

gagasan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

khususnya bagi para suster kongregasi Puteri Reinha Rosari.

Yogyakarta, 29 April 2011

Penulis

(13)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.………..ii

HALAMAN PENGESAHAN……….iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….v

HALAMAN PENYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….vi

ABSTRAK ……….vii

ABSTRACT ……….viii

KATA PENGANTAR ………ix

DAFTAR ISI ……….xii

DAFTAR TABEL ………xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………...xvii

BAB I: PENDAHULUAN ………...1

A. Latar Belakang Masalah ………...1

(14)

xiii

C. Tujuan Penelitian ………..6

D. Manfaat Penelitian ………...6

E. Definisi Operasional ………...7

BAB II: KAJIAN PUSTAKA ………...8

A.Hakekat Kecerdasan Emosional ……….………...8

1. Pengertian Kecerdasan Emosional ………...8

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ………...11

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional……...18

B.Konseling Kelompok.………22

1.Pengertian.………....22

2.Tujuan Konseling Kelompok..………..23

3.Komponen-komponen Konseling Kelompok..……….24

4.Asas-asas Konseling Kelompok.………..27

5.Struktur Konseling Kelompok.………...28

6.Tahap-tahap Konseling Kelompok ………..30

C.Konseling Kelompok di Komunitas ………...37

1. Pengertian Komunitas.………..37

2. Pentingnya Layanan Konseling Kelompok di Komunitas dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional ………...40

(15)

xiv

bagi Para Suster ………...42

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ………...47

A. Jenis Penelitian ………...47

B. Subjek Penelitian ………47

C. Instrumen Penelitian ………...48

D. Prosedur Pengumpulan Data ………..58

1. Tahap Persiapan ………..58

2. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data ………..60

E. Teknik Analisa Data ………...61

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAAN ………...63

A. Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional dalam Hidup Berkomunitas Para Suster Puteri Reinha Rosari Larantuka pada Tahun 2010 ………...63

B. Pembahasan.………....65

BAB V: PENDAMPINGAN KONSELING KELOMPOK BAGI PARA SUSTER PUTERI REINHA ROSARI..………...75

A. Pendampingan Konseling Kelompok Bagi Para Suster Puteri Reinha Rosari Larantuka………...75

B. Laporan Pemberian Layanan Konseling Kelompok………....80

1. Kelompok I………....81

(16)

xv

3. Kelompok III………...130

4. Kelompok IV………...154

C. Dampak Konseling Kelompok………..175

BAB VI: KESIMPULAN DAN SARAN………...177

A. Kesimpulan………....177

B. Saran ………...179

DAFTAR PUSTAKA ………181

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosional untuk Penelitian………52

Tabel 2: Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Validitas Item ……….55

Tabel 3: Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional Para Suster Puteri

Reinha Rosari Larantuka dalam Hidup Berkomunitas Tahun 2010………….62

Tabel 4: Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional dalam Hidup Berkomunitas

Para Suster Puteri Reinha Rosari Larantuka Tahun 2010……….63

Tabel 5: Tingginya Aspek-aspek Kecerdasan Emosional dalam Hidup Berkomunitas

Para Suster Puteri Reinha Rosari Larantuka pada 2010.……...64

Tabel 6: Materi Konseling Kelompok Bagi Para Suster Puteri Reinha Rosari

Larantuka ………78

Tabel 7: Jadwal Kegiatan Konseling Kelompok Bagi Para Suster

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1: Kuesioner Kecerdasan Emosional Para Suster

Puteri Reinha Rosari Larantuka ……….181

Lampiran 2: Skor Uji Coba Kuesioner Kecerdasan Emosional ………190

Lampiran 3: Hasil Perhitungan Taraf Validitas ………....195

Lampiran 4: Skor Kecerdasan Emosional Para Suster Puteri Reinha Rosari

Larantuka ………..207

Lampiran 5: Daftar Nama Anggota Konseling Kelompok………221

Lampiran 6: Surat Permohonan Ijin Penelitian ……….222

 

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bagian ini disajikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.

A. Latar Belakang Masalah

Hidup bersama dengan orang lain merupakan suatu kebutuhan bagi setiap

manusia sebagai makluk sosial. Dalam kebersamaan dengan orang lain, setiap orang

memperjuangkan suatu cita-cita, misalnya kebersamaan dalam hidup berkeluarga,

bertujuan mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Selain kebersamaan dalam

keluarga masih ada bentuk kebersamaan yang lain yakni persekutuan hidup religius.

Salah satu ciri utama hidup religius adalah hidup berkomunitas. Syarat untuk menjadi

anggota religius adalah sehat jasmani dan rohani, dapat hidup bersama dengan orang

lain, dapat menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungannya, memiliki sifat dan

perilaku yang baik, ramah, terbuka, jujur, sabar, tulus, sederhana, rendah hati dan setia

(Konstitusi PRR, artikel 318-319). Dalam hidup berkomunitas para religius

menghayati kharisma dan spiritualitas tarekat yang sama, mengikuti Kristus

bersama-sama, merasul dalam kebersamaan, berdoa berbersama-sama, berbagi milik dan harta, berbagi

kesediaan dan kemauan untuk mengabdi Kristus. Para religius yang hidup bersama

(20)

terbuka, sabar menghadapi tekanan-tekanan dan perbedaan yang dialami, menerima

kritikan, dan rela memberi maaf.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajemukan anggota, terkadang

mempengaruhi hidup berkomunitas karena anggota-anggota yang hidup dalam

komunitas berasal dari berbagai suku, budaya, usia, tingkat pendidikan dan latar

belakang keluarga dengan status ekonomi yang berbeda. Kemajemukan anggota dapat

mempengaruhi watak dan kepribadian para religius. Terkadang kehidupan

berkomunitas tidaklah sepenuhnya berjalan baik, sering muncul kesulitan-kesulitan.

Masih ada sebagian suster terkesan kasar, mudah marah, tidak sabar, suka bertengkar,

mendiamkan sesamanya, sulit memaafkan dan mau menang sendiri. Ada anggota yang

menjadikan sesama sebagai batu sandungan, memunculkan sikap mencela, mencari

kekurangan anggota lain, diam, mengisolasi diri dan mengingat-ingat kesalahan

anggota tertentu yang pernah melukai hatinya serta melampiaskan kemarahannya

dengan saling mempersalahkan. Sikap-sikap seperti di atas berkembang menjadi

kejengkelan atau kebencian. Suasana ini merenggangkan relasi antar anggota yang

satu dengan anggota yang lain, dan mengganggu hidup doa dan pelaksanaan karya

pun menjadi terhambat. Suasana komunitas yang tidak harmonis memperlihatkan

bahwa para suster kurang mampu mengelola emosinya dengan baik, kurang

memahami baik dirinya sendiri maupun orang lain, kurang mampu membina

hubungan yang baik dengan orang lain, dan sulit untuk memaafkan sesama secara

tulus.

Kecerdasan emosional sangat dibutuhkan dalam hidup berkomunitas terutama

(21)

 

adalah kemampuan individu untuk mengenal perasaan diri sendiri dan orang lain,

memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik dan membina hubungan

dengan orang lain (Goleman 2009). Menurut konsep Goleman, orang yang memiliki

kecerdasan emosional adalah orang yang matang dalam hal pengaturan kondisi diri

dan emosinya. Orang yang memiliki kecerdasan emosional, diharapkan mampu

mengungkapkan emosinya secara konstruktif. Sebaliknya, orang yang kecerdasan

emosionalnya rendah akan kurang berhasil, karena cepat merasa gagal dan mudah

menyerah jika menghadapi kesukaran. Sekarang kecerdasan tidak lagi dipandang

hanya mencakup kecepatan berpikir, ketepatan menghitung, melainkan juga

pengendalian emosi dan kemampuan mengendalikan diri dalam hubungan dengan

sesama. Secara ringkas, Stein dan Book (2002: 31) mengatakan, “kecerdasan

emosional terkait erat dengan kemampuan membaca lingkungan politik, sosial dan

menatanya kembali, kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan dan

dibutuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka; kemampuan untuk tidak

terpengaruh oleh tekanan dan kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan,

yang kehadirannya didambakan orang lain”. Mengingat pentingnya kecerdasan

emosional, maka dipandang perlu adanya pengembangan kecerdasan emosional bagi

para suster dalam hidup berkomunitas. Keberhasilan menyesuaikan diri di komunitas

sangat ditentukan oleh kemampuan masing-masing suster dalam menjawab dan

mengatasi situasi permasalahan yang ada. Kenyataan hidup sehari-hari menunjukkan

bahwa penghayatan saling menanggung kelemahan sesama dengan sabar dari

tekanan-tekanan akibat perbedaan watak, usia, kebudayaan, pendidikan, dan lain-lain

tidak mudah dijalankan karena para suster kurang mampu mengelola kecerdasan

(22)

Rendahnya tingkat kecerdasan emosional para suster hanya dapat diatasi bila

mereka saling terbuka untuk menerima dan menanggung kelemahan satu sama lain

dengan sabar, dan saling mendengarkan diantara mereka. Konseling kelompok

merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kecerdasan emosional para suster,

karena melalui konseling kelompok para suster bekerja dan berproses bersama untuk

mengeksplorasi gagasan, sikap, perasaan dan perilaku yang berkaitan dengan

perkembangan dan kemajuan dalam hidup berkomunitas. Konseling kelompok pada

hakekatnya adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan

perilaku yang disadari, dibina dalam suatu kelompok kecil dengan mengungkapkan

diri kepada sesama anggota dan konselor sebagai pembimbing kelompok, dimana

komunikasi antar pribadi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan

penerimaan diri terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk

belajar perilaku tertentu ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Konseling kelompok

bersifat memberikan kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu,

dalam arti bahwa konseling kelompok memberikan dorongan dan motivasi kepada

individu untuk membuat perubahan-perubahan dengan memanfaatkan potensi secara

maksimal sehingga dapat mewujudkan diri. Konseling kelompok mempunyai tujuan

untuk membantu memecahkan permasalahan yang dialami oleh tiap anggota

kelompok (Winkel dan Hastuti, 2004: 542). Anggota yang mempunyai perilaku yang

tidak sesuai dalam konseling kelompok, dapat menggunakan interaksi dalam

kelompok untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan

tujuan tertentu, untuk mempelajari atau menghilangkan sikap-sikap atau perilaku yang

(23)

 

Salah satu upaya yang perlu dilakukan oleh pemimpin adalah bekerjasama

dengan pihak lain yang lebih berkompeten dalam bidang bimbingan dan konseling

untuk memberikan pelayanan konseling kelompok, atau memanfaatkan suster-suster

Puteri Reinha Rosari yang memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan

konseling (Corey, 1997: 357). Pihak-pihak yang berkompeten dapat memberikan

konseling kelompok yang sesuai dengan kebutuhan para suster. Dengan memberikan

konseling kelompok yang relevan para suster dibantu menjadi pribadi yang mampu

mengatur hidupnya, mengenal perasaan/emosinya baik emosi sendiri mau pun emosi

orang lain, memahami dirinya sendiri dan orang lain, dapat memotivasi dirinya

sendiri, serta mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain. Bertitik tolak

dari latar belakang di atas, maka perlu diadakan penelitian tentang kecerdasan

emosional para suster Puteri Reinha Rosari dalam hidup berkomunitas dan

implikasinya dalam pendampingan konseling kelompok.

B. Perumusan Masalah

Memperhatikan latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang muncul

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Seberapa tinggi aspek-aspek kecerdasan emosional para suster Puteri Reinha

Rosari di Larantuka dalam hidup berkomunitas?

2. Topik-topik layanan konseling kelompok mana yang sesuai bagi para suster

(24)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:

1. Mengetahui tingginya aspek-aspek kecerdasan emosional para suster Puteri

Reinha Rosari Larantuka dalam hidup berkomunitas.

2. Dapat memberikan layanan konseling kelompok yang sesuai bagi para suster

untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak:

1. Manfaat Teoritis

Menambah kajian teori dan menjadi bahan informasi yang dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan dan mengembangkan program studi

Bimbingan dan Konseling terutama dalam bidang kecerdasan emosional.

2. Manfaat Praktis

a. Memperluas wawasan dan pemahaman para suster Puteri Reinha Rosari

tentang pentingnya kecerdasan emosional dalam hidup berkomunitas

b. Suster-suster Puteri Reinha Rosari memperoleh masukan yang berguna

untuk pembinaan bidang pengembangan kecerdasan emosional di

komunitas-komunitas.

c. Memperoleh pengalaman dalam mengungkapkan tingkat kecerdasan

(25)

 

E. Definisi Operasional

Berikut ini dijelaskan definisi operasional dari beberapa istilah yang digunakan

dalam penelitian ini:

1. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami,

merasakan dan mengenali perasaan dirinya dan orang lain sehingga orang tersebut

dapat mengendalikan perasaan yang ada dalam dirinya, dapat memahami serta

menjaga perasaan orang lain, dan dapat memotivasi diri sendiri untuk menjadi

individu atau pribadi yang lebih baik dalam kehidupan yang dijalaninya.

2. Suster-suster Puteri Reinha Rosari adalah kelompok religius kristiani berumur

antara 25-60 tahun yang tinggal dan berkarya di komunitas-komunitas di sekitar

wilayah Larantuka.

3. Konseling kelompok adalah wawancara konseling antara konselor selaku

pemimpin kelompok dengan beberapa individu (4-12 orang) selaku anggota

kelompok untuk memecahkan masalah dan pengembangan pribadi para anggota

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi uraian mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan topik

penelitian yaitu: (1) Hakekat kecerdasan emosional yang meliputi: pengertian

kecerdasan emosional, aspek-aspek kecerdasan emosional, faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosional; (2) Konseling kelompok meliputi: pengertian,

tujuan, komponen-komponen konseling kelompok, asas-asas konseling kelompok dan

tahap-tahap konseling kelompok; (3) Konseling kelompok di komunitas meliputi: arti

komunitas, pentingnya layanan konseling kelompok di komunitas, hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam konseling kelompok.

A. Hakekat Kecerdasan Emosional 1. Pengertian kecerdasan Emosional

Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar

kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern

yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan

sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan

bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat

kesuksesan atau prestasi hidup seseorang. Daniel Goleman adalah salah

seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang

dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi prestasi seseorang,

yakni kecerdasan emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan

(27)

 

Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional

adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan

daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh manusiawi.

Senada dengan definisi tersebut, Goleman mengungkapkan bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam

memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan

emosi, menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa (Imam, 2009: 16).

Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Patton (1998) mengemukakan

kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara efektif

guna mencapai tujuan, dan membangun hubungan yang produktif dan dapat

meraih keberhasilan. Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan

pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer (Shapiro, 2000:

5). Kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan

kita sendiri, dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan

kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam

hubungan dengan orang lain; mampu bertahan menghadapi frustrasi;

mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan;

mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan

kemampuan berpikir; berempati dan berdoa (Goleman, 2009: 45).

Peter Salovey dan Jack Mayer menjelaskan bahwa kecerdasan

emosional merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan

membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan

maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu

(28)

dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses

dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh

varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik,

interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner

sebagai kecerdasan pribadi. Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari:

”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa

yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja dan bagaimana bekerja

bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah

kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut

adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan

mengacu pada diri sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif”

(Goleman, 2009: 50-53). Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti

kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan

menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat

orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju

pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri

seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut

serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku” (Goleman, 2009 : 53).

Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey

memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk

dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri

individu. Menurut Solovey kecerdasan emosional adalah kemampuan

(29)

 

sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina

hubungan (kerjasama) dengan orang lain (Goleman, 2009: 57). Menurut

Goleman (2009: 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang

mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi; menjaga keselarasan emosi

dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,

motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Dalam penelitian ini yang

dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan suster-suster

untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri,

mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina

hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami, merasakan dan

mengenali perasaan dirinya dan orang lain sehingga orang tersebut dapat

mengendalikan perasaan yang dialaminya, dapat memahami serta menjaga

perasaan orang lain, dan dapat memotivasi diri sendiri untuk menjadi individu

atau pribadi yang lebih baik dalam kehidupannya.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Salovey menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan

kemampuan yang dapat dipelajari (Goleman, 2009: 57-59). Kecerdasan

emosional memiliki lima aspek penting yang oleh Goleman disebut wilayah

utama atau ciri-ciri kecerdasan emosional. Kelima aspek kecerdasan

emosional tersebut adalah: mengenali emosi diri, mengelola emosi,

memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan.

(30)

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk

mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini

merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi

menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2009: 64)

kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran

tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi

mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran

diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan

salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga

individu mudah menguasai emosi. Langkah pertama untuk menjadi

cerdas secara emosi adalah dengan menjadi orang yang sedapat

mungkin memiliki kesadaran diri (Yeung, 2009: 15). Menjadi orang

berkesadaran diri juga berarti sadar akan dampak yang kita timbulkan

bagi orang lain.

Menurut Goleman (2009) dan Yeung (2009), aspek mengenali emosi sendiri terdiri dari:

1) Kesadaran diri

Orang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi mampu: a) Tahu emosi mana yang sedang mereka rasakan dan mengapa. b) Menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dengan yang

mereka pikirkan, perbuat dan katakan.

c) Mengetahui bagaimana perasaan mereka memengaruhi kinerja. d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai

dan sasaran-sasaran mereka. 2) Penilaian diri

Orang yang memiliki kecakapan penilaian diri secara teliti atau pengukuran diri yang akurat, maka ia;

a) Sadar akan kekuatan dan kelemahannya.

b) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman. c) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima

(31)

 

d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.

3) Kepercayaan diri

a) Berani tampil dengan keyakinan diri; berani menyatakan keberadaannya.

b) Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban.

c) Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan tidak pasti dan tertekan.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani

perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai

keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan

tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.

Kemampuan mengendalikan emosi adalah kekuatan yang siap digali untuk

mendapatkan kualitas hidup yang baik (Wijokongko, 2007: 12).

Kemampuan mengendalikan emosi mencakup kemampuan untuk

menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau

ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan

untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. Shapiro menegaskan

bahwa individu yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan lebih

cakap menangani ketegangan emosi, karena kemampuan mengelola emosi

akan mendukung individu menghadapi dan memecahkan konflik

interpersonal dan kehidupan secara efektif (Safaria dan Saputra, 2009: 8).

Menurut Goleman (2009: 404) orang yang memiliki kemampuan

mengelola emosi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah. 2) Berkurangnya ejekan verbal.

(32)

5) Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri 6) Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa

7) Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan. 

Orang yang memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik dapat

mengendalikan emosinya dengan efektif. Ia mampu menyeimbangkan rasa

marah, rasa kecewa, frustrasi, putus asa akibat diejek, ditolak, diabaikan

atau menghadapi ancaman. Orang yang memiliki kecerdasan dalam

mengelola emosinya akan lebih obyektif dan realistis dalam menganalisa

permasalahannya (Safaria dan Saputra, 2009: 9). Aspek kemampuan

mengelola emosi menurut Goleman (2009) meliputi:

1)Mengendalikan emosinya sendiri

Orang yang dapat mengendalikan emosinya sendiri secara tepat mampu:

a) Mengelola dengan baik emosi yang menekan,

b) Tetap teguh, bersikap positif dan tidak goyah sekalipun dalam situasi yang paling berat,

c) Berpikir jernih dan tetap fokus kendati dalam keadaan tertekan. 2)Dapat dipercaya

Orang yang dapat dipercaya mampu:

a) Bertindak seturut etika dan tidak pernah mempermalukan orang lain,

b) membangun kepercayaan dengan sikap apa adanya dan jujur,

c) mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatanyang tidak dapat diterimanya,

d) berpegang pada prinsip secara teguh walaupun akibatnya adalah menjadi tidak disukai orang lain.

c. Memotivasi Diri Sendiri

Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan memberikan

semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan

bermanfaat. Menurut Imam (2009: 103), membangun motivasi dalam diri

merupakan perbuatan yang harus ditumbuhkan dalam diri setiap orang agar

memiliki semangat untuk menjadikan kehidupan lebih berkualitas. Dalam

(33)

 

kekuatan dan semangat untuk melakukan aktivitas tertentu, misalnya

belajar, bekerja dan menolong orang lain. Kemampuan memotivasi diri

sangat diperlukan lebih-lebih pada waktu motivasi orang itu negatif, yaitu

pada waktu patah semangat, kehilangan pandangan ke masa depan.

Tujuannya agar motivasinya positif dan ia menjadi bersemangat serta

bergairah lagi dalam hidup. Orang yang mampu memotivasi dirinya akan

lebih berhasil dalam kehidupannya dibandingkan dengan orang yang

menunggu orang lain untuk memperhatikan dirinya. Salah satu ciri dari

kemampuan memotivasi diri adalah kepercayaan diri. Orang yang memiliki

motivasi yang tinggi akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi pula. Ciri

utama kepercayaan diri adalah sikap optimis dalam menghadapi berbagai

tantangan. Orang yang memiliki kecakapan ini tidak mudah jatuh dalam

suatu kegagalan dan tidak mudah puas dengan apa yang dihasilkan,

melainkan kemauan untuk terus berusaha memperbaiki diri. Kemampuan

memotivasi diri sendiri menurut Goleman (2009) meliputi aspek:

1)Dorongan untuk berprestasi

Orang yang memiliki kemampuan berprestasi memiliki kemampuan; a) berorientasi pada tujuan dengan semangat juang yang tinggi untuk

meraihnya,

b) menetapkan tujuan yang menantang dan berani mengambil resiko, c) mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi

ketidakpastian dan mencari cara yang lebih tepat, d) terus belajar untuk meningkatkan prestasi. 2)Memiliki komitmen

Orang yang memiliki komitmen tinggi mampu; a) berkorban demi tercapainya tujuan,

b) merasakan dorongan semangat dalam mencapai tujuan yang utama dalam hidupnya,

c) mempertimbangkan nilai-nilai yang diterima dalam masyarakat untuk mengambil keputusan,

(34)

3)Memiliki inisiatif

Orang yang memiliki inisiatif mampu:

a) memanfaatkan peluang untuk memajukan dirinya,

b) mengejar sasaran lebih daripada yang dipersyaratkan atau diharapkan,

c) berani melanggar batas-batas dan aturan yang tidak prinsip apabila perlu, agar tugas dapat dilaksanakan,

d) berani mengajak orang lain bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

4)Optimis

Orang memiliki sifat optimis mampu:

a) bersikap tekun dalam mengejar cita-citanya meskipun banyak hambatan,

b) bekerja atau belajar dengan harapan untuk sukses dan tidak merasa takut gagal,

c) berani belajar dari kegagalan.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Menurut Goleman (2009: 59) kemampuan seseorang untuk mengenali

emosi orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang.

Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap

sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang

dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang

orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk

mendengarkan orang lain. Yeung (2009: 82) mengatakan bahwa kunci

menciptakan empati dan kedekatan adalah dengan mendengarkan. Banyak

orang melakukan kesalahan karena terlalu banyak bicara dan kurang

mendengarkan atau mereka sekedar mendengarkan, tapi tidak memahami

maksudnya. Ketrampilan membangun empati dan kedekatan dapat

dilakukan dengan cara mendengarkan, membaca isyarat emosional,

mengajukan pertanyaan, menunjukkan sikap mendengarkan dan

sensitivitas, serta melakukan kontak mata. Rosenthal dalam penelitiannya

(35)

 

isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih

populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka (Goleman, 2009: 136).

Orang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran

diri yang tinggi, semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu

mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut

mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. Goleman

(2009: 404) mengemukakan bahwa orang yang memiliki kemampuan

mengenali emosi orang lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain. 2) Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain. 3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.

e. Membina Hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan

yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar

pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar

dalam keberhasilan membina hubungan. Kemampuan untuk

mengungkapkan diri termasuk perasaan merupakan dasar dalam

kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Orang-orang yang

hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam

bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu

berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer

dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena

kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2009: 59).

Menurut Goleman (2009: 404-405) orang yang memiliki kemampuan

(36)

1) lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan,

2) lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan,

3) lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi, 4) lebih populer dan mudah bergaul,

5) lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa,

6) lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok, 7) lebih suka berbagi rasa, bekerjasama, dan suka menolong,

8) lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil

komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional

sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional terdiri dari dua

faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal.

Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang

mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua

sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor

fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang dapat

terganggu maka dapat mempengaruhi proses kecerdasan emosinya. Segi

psikologis mencakup pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan

motivasi.

Faktor internal dipengaruhi oleh otak emosional orang.

Mula-mula pesan diterima melalui indra, dicatat oleh bagian struktur otak yang

disebut amygdala yakni bagian struktur otak yang paling banyak berurusan dengan pengolahan dan penyimpanan data emosional.

(37)

 

berurusan dengan proses kegiatan rasional. Karena itu ketika menghadapi

sesuatu, terlebih dahulu orang bereaksi secara emosional, sebelum

disadari sepenuhnya oleh rasio. Kecerdasan emosional tinggi akan

membantu untuk menjaga hubungan komunikasi terbuka antara

amygdala dan neocortex, dan akan membuat orang mampu menguasai diri, memahami emosi orang lain secara empatik, dan menyesuaikan diri

dengan emosi orang lain atau lingkungan yang dihadapi (Goleman, 2009:

23-25).

b. Faktor Eksternal.

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak

bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan

lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat

mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.

Keterampilan kecerdasan emosional bukanlah lawan keterampilan IQ

atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara

dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain

itu, kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor

keturunan (Shapiro, 1998: 10).

Gottman dan De Claire, (2008: 4-5) berpendapat bahwa faktor

eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah:

1) Keluarga

Pengaruh pola asuh orang tua mempunyai dampak besar

pada kehidupan anak di kemudian hari. Salah satu penghambat

(38)

pada perkembangan anak. Biasanya terjadi ketika anak di bawah

lima atau enam tahun dan di bawah sebelas tahun. Keluarga

merupakan sekolah yang pertama untuk mempelajari emosi. Orang

tua merupakan pelatih emosi anak yang pertama dan utama.

Sebagai pelatih emosi ia tidak cukup hanya bersikap hangat dan

positif saja tetapi ia harus mampu mengatasi secara efektif

perasaan-perasaan negatif anaknya. Gottman dan De Claire

mengindentifikasikan tiga tipe orangtua yang gagal mengajarkan

kecerdasan emosional kepada anak antara lain:

a) Orang tua yang sering mengabaikan, tidak menghiraukan, dan

menganggap sepi atau meremehkan emosi-emosi negatif anak.

b) Orang tua yang tidak menyetujui, dan bersifat kritis terhadap

perasaan anak, serta memarahi atau menghukum karena anak

mengungkapkan emosinya.

c) Orang tua yang selalu menerima emosi anak dan bersikap

empati, tetapi tidak memberikan bimbingan atau menentukan

batas-batas pada tingkah laku anak. Orang tua sebagai pelatih

emosi, seharusnya dapat menerima kesedihan anak, menolong

memberi nama pada emosi yang sedang dialami, dan

membiarkan anak mengalami perasaannya-perasaannya, tidak

memarahi waktu anak sedih serta mendampingi anak sewaktu

menangis.

Menurut Prasetya (2003: 27) pola pengasuhan yang

(39)

 

anak dengan sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan

kehidupan masa depan yang jelas. Mereka tidak hanya

memikirkan masa kini, tetapi memahami bahwa masa depan harus

dilandasi oleh tindakan masa kini. Orang tua yang demokratis

tidak ragu-ragu dalam mengendalikan anak, berani menegur bila

anak berperilaku buruk. Orang tua mengerahkan perilaku anak

sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap, pengetahuan,

dan ketrampilan yang dibutuhkan anak untuk mengarungi hidup

dan kehidupannya di masa mendatang.

2) Pengalaman

Pengalaman hidup juga mempengaruhi emosi seseorang

(Albin, 1986: 90). Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman

mengungkapkan emosi misalnya anak perempuan boleh

mengungkapkan rasa sedih dengan menangis tetapi sebaliknya

anak laki-laki tidak diharapkan untuk mengungkapkan perasaan

itu, sebaliknya rasa marah dan perlawanan boleh dinyatakan oleh

anak laki-laki. Pengalaman dengan orang lain mempengaruhi

watak asli seseorang dan menjadikannya menjadi orang yang unik

dalam mengalami emosi, dalam mengungkapkan dan dalam

keterbukaannya dengan orang lain.

(40)

Shertzen dan Stone mengatakan bahwa konseling kelompok adalah

suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pemikiran dan perilaku

yang disadari. Proses itu mengandung ciri terapeutik seperti pengungkapan

pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi pada kenyataan, pembukaan diri

mengenai seluruh perasaan mendalam yang dialami, saling percaya, saling

pengertian dan saling mendukung (Winkel & Hastuti, 2004: 590). Konseling

kelompok merupakan pengalaman edukatif yang di dalamnya kelompok

bekerja dan berproses bersama untuk mengeksplorasi gagasan, sikap, perasaan

dan perilaku yang berkaitan dengan perkembangan dan kemajuan dalam

kelompok. Latipun (2008: 179) berpendapat bahwa konseling kelompok

merupakan kelompok terapeutik yang dilaksanakan untuk membantu individu

mengatasi masalah sehari-hari yang menekankan pada proses remedial dan

pencapaian fungsi-fungsi secara optimal (memberikan dorongan dan

pemahaman pada individu/klien) untuk memecahkan masalah yang

dihadapinya.

Peran konselor adalah memperlancar interaksi dalam kelompok.

Proses konseling kelompok berjalan dengan cara setiap anggota

mengungkapkan diri, mendengarkan dengan cermat, dan memberikan masukan

satu sama lain. Permasalahan yang dibahas sering kali mirip dengan aktivitas

yang dialami.

2. Tujuan konseling kelompok

Kesuksesan layanan konseling kelompok sangat dipengaruhi sejauh mana

tujuan yang akan dicapai dalam konseling kelompok. Ellis (Corey, 1997: 350)

(41)

 

a. Membantu anggota kelompok memahami sumber masalah mereka dan

menggunakan pemahaman kognitif untuk mengatasi gejala-gejala masalah

dan belajar berperilaku yang pantas.

b. Memberikan kesempatan pada anggota kelompok mengembangkan

pemahaman tentang masalah orang lain dan anggota belajar bagaimana

memberi bantuan kepada teman satu kelompok.

c. Memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk belajar

cara-cara memahami keadaan kehidupan dan memberikan reaksi-reaksi rasional

pada keadaan itu, sehingga mengurangi gangguan bagi diri individu.

d. Memberikan kesempatan pada para anggota kelompok mencapai

perubahan kognitif dasar, emosi datar dan perilaku yang diharapkan,

termasuk cara menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan, cara

berpikir rasional, mempraktekan penilaian diri sendiri dan memperlakukan

diri sendiri sebagai insan yang berharga.

Tujuan konseling kelompok pada dasarnya dibedakan menjadi dua,

yaitu tujuan teoritis dan tujuan operasional. Tujuan teoritis berkaitan dengan

tujuan yang secara umum dicapai melalui proses konseling, sedangkan tujuan

operasional disesuaikan dengan harapan klien dan masalah yang dihadapi

klien, yaitu mengurangi perilaku agresif.

Tujuan teoritis konseling kelompok yang secara lengkap dikemukakan

Corey (1997: 7-8) adalah sebagai berikut:

a. Lebih terbuka dan jujur terhadap diri sendiri dan orang lain b. Belajar mempercayai diri sendiri dan orang lain

c. Berkembang untuk lebih menerima diri d. Belajar berkomunikasi

(42)

g. Meningkatkan kesadaran diri h. Belajar memberi dan menerima i. Belajar memecahkan masalah j. Belajar memberi perhatian

k. Lebih peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain l. Lebih mengerti bahwa orang lain juga punya masalah m. Belajar memberi dan menerima umpan balik dan konfrontasi

Konseling kelompok sangat bermanfaat karena melalui saling interaksi

antar anggota kelompok mereka memenuhi beberapa kebutuhan psikologis,

seperti kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan sesama dan diterima oleh

mereka, kebutuhan untuk bertukar pikiran dan berbagi perasaan, kebutuhan

menemukan nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan dan kebutuhan untuk

menjadi lebih independen serta mandiri.

3. Komponen-komponen Konseling Kelompok

Ada beberapa komponen yang harus dipenuhi agar dapat mendukung

kelancaran kegiatan konseling kelompok, yaitu anggota kelompok, pemimpin

kelompok, dinamika kelompok dan topik permasalahan.

a. Anggota kelompok

Keanggotaan merupakan salah satu unsur pokok dalam proses

kehidupan kelompok. Kegiatan atau kehidupan kelompok itu sebagian

besar didasarkan atas peranan para anggotanya.

Peranan anggota kelompok menurut Prayitno (1995: 32)

antara lain :

1)Membantu terbinanya suasana keakraban dalam hubungan antar anggota kelompok.

2)Mencurahkan segenap perasaan dalam melibatkan diri dalam kegiatan kelompok.

3)Berusaha agar yang dilakukan itu membantu tercapainya tujuan bersama.

(43)

 

5)Benar-benar berusaha untuk secara efektif ikut serta dalam seluruh kegiatan kelompok.

6)Mampu mengkomunikasikan secara terbuka. 7)Berusaha membantu anggota lain.

8)Memberikan pada anggota lain untuk juga menjalani perannya. 9)Menyadari pentingnya kegiatan kelompok tersebut.

Dengan memilih berpartisipasi dalam kelompok ini maka para

anggota menerima tantangan untuk bersama-sama membina kebersamaan

dan mencari penyelesaian atas masalah yang dihadapi bersama, untuk itu

para anggota harus memberikan sumbangan dengan memegang

peranan-peranan tersebut diatas.

b. Pemimpin kelompok

Orang yang memimpin kelompok dan memprakarsai tingkah laku

sosial dengan cara mengatur, menunjukkan, mengorganisasikan, atau

mengendalikan upaya yang dilakukan orang, baik melalui prestise,

kekuasaan maupun posisinya dalam kelompok, jadi pemimpin kelompok

mengatur jalannya kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan konseling

kelompok.

Peranan pemimpin kelompok menurut Prayitno (1995: 35) adalah

sebagai berikut:

1) Pemimpin kelompok dapat memberi bantuan, pengarahan atau campur tangan terhadap kegiatan kelompok.

2) Pemimpin kelompok memusatkan perhatian pada suasana perasaan yang berkembang dalam kelompok itu baik perasaan anggota tertentu maupun keseluruhan anggotanya.

3) Jika anggota itu kurang menjurus ke arah yang dimaksudkan maka pemimpin kelompok perlu memberikan arah.

4) Pemimpin kelompok juga memberikan tanggapan (umpan balik) tentang berbagai hal yang terjadi dalam kelompok baik yang bersifat isi maupun proses kegiatan kelompok.

(44)

6) Sifat kerahasiaan dari kegiatan kelompok itu dengan segenap isi dan kejadian-kejadian yang timbul didalamnya juga menjadi tanggungjawab pemimpin kelompok.

7) Membentuk norma. Norma yang berlaku dalam kelompok yang disepakati bersama oleh kelompok.

Pemimpin kelompok sebagai pribadi, tidak dapat memaksakan

teknik dalam kelompok dari karakteristik personalnya. Pemimpin

kelompok mempunyai pengaruh pada proses konseling tidak hanya

kecakapan menggunakan teknik, namun lebih pada karakteristik pribadi

dan tingkah lakunya. Menurut Corey (1997: 357) keberhasilan pemimpin

tidak hanya diukur dari karakteristik partisipasi anggota atau teknik

khusus dalam memimpin kelompok. Menurutnya pemimpin kelompok

dapat memperoleh teori yang luas dan pengetahuan praktis tentang

dinamika kelompok dan mempunyai kemampuan dalam mendiagnostik

serta prosedur teknik, akan menjadi efektif dalam merangsang

pertumbuhan dan merubah anggota. Pemimpin sebagai profesional dalam

konseling kelompok sepenuhnya bertanggungjawab terhadap segala hal

yang berkembang dalam kelompok tersebut. Selain ia telah dibekali dalam

segi teori maupun segi yang praktis, ia juga harus mampu bertindak sebagi

pemimpin kelompok yang memenuhi sejumlah syarat yang menyangkut

pendidikan akademik, kepribadiannya, keterampilan berkomunikasi

dengan orang-orang dan penggunaan teknik-teknik dalam kenseling

kelompok.

c. Dinamika kelompok

Dinamika kelompok adalah suasana yang hidup yang ditandai

(45)

 

tujuan kelompok. Dalam suasana seperti ini seluruh anggota kelompok

menampilkan dan membuka diri memberikan sumbangan bagi suksesnya

kegiatan kelompok.

Menurut Prayitno (1995: 22) faktor-faktor yang mempengaruhi

kualitas kelompok antara lain :

1)Tujuan dan kegiatan kelompok 2)Jumlah anggota

3)Kualitas masing-masing pribadi anggota kelompok 4)Kedudukan kelompok

5)Kemampuan kelompok dalam memenuhi kebutuhan anggota untuk saling berhubungan sebagai kawan, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan bantuan moral dan sebagainya.

Kondisi positif yang ada pada faktor-faktor tersebut diatas akan

menunjang terhadap fungsi kelompok untuk tujuan bersama.

d. Topik permasalahan

Menurut Prayitno (1995: 26) topik permasalahan dalam konseling

kelompok terdapat dua kategori yaitu :

1)Topik tugas yaitu topik yang secara langsung dikemukakan oleh pemimpin kelompok dan ditugaskan kepada seluruh anggota kelompok untuk bersama-sama membahasnya.

2)Topik bebas yaitu anggota secara bebas mengemukakan permasalahan yang dihadapi atau yang sedang dirasakannya kemudian dibahas satu persatu.

4. Asas-asas konseling kelompok

Dalam kegiatan konseling kelompok ada beberapa asas sebagai

pedoman dalam pelaksanaannya, yaitu asas kerahasiaan, asas kesukarelaan,

asas keterbukaan, asas kekinian, asas kemandirian, kegiatan, asas kedinamisan

dan asas kenormatifan (Prayitno, 1995: 23).

(46)

Segala sesuatu yang dibicarakan dalam kelompok tidak boleh disampaikan kepada orang luar oleh anggota kelompok atau orang lain selain anggota kelompok.

b. Asas kesukarelaan

Anggota kelompok diharapkan sukarela tanpa ragu-ragu atau pun terpaksa menyampaikan masalah yang dihadapinya serta mengungkapkan segenap fakta, data dan seluk beluk masalah kepada pemimpin kelompok dan anggota lain dengan suka rela mengikuti kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.

c. Asas Keterbukaan

Antara pemimpin kelompok dan anggota kelompok harus saling terbuka sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dan akhirnya akan mengganggu jalannya kegiatan kelompok.

d. Asas Kekinian

Masalah yang dihadapi oleh anggota kelompok adalah masalah yang sudah lampau hanya merupakan latar belakang dari masalah tersebut.

e. Asas Kemandirian

Merupakan asas dimana tujuan konseling kelompok adalah agar anggota kelompok dapat mandiri baik itu dalam memecahkan masalahnya atau mengambil keputusan juga mandiri dalam perkembangannya.

f. Asas Kegiatan

Asas ini menunjukkan pada pola konseling “multi dimensional” yang tidak hanya mengandalkan transaksi verbal antara klien (anggota kelompok) dengan pemimpin kelompok. Dalam konseling yang berdimensi verbal asas kegiatan masih harus dilaksanakan yaitu aktif menjalani proses konseling dan aktif pula menjalankan atau melaksanakan serta menerapkan hasil-hasil kegiatan konseling.

g. Asas Kedinamisan

Adanya perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik, perubahan ini tidaklah sekedar mengulang yang lama tetapi adanya peningkatan kearah pembaharuan yang positif.

h. Asas Kenormatifan

Kegiatan konseling kelompok tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku baik ditinjau dari norma-norma agama, norma-norma adat, hukum, ilmu maupun kehidupan sehari-hari.

5. Struktur dalam konseling kelompok

Konseling kelompok memiliki struktur yang sama dengan terapi

kelompok pada umumnya. Struktur konseling menurut Latipun (2009: 185)

(47)

 

a. Jumlah anggota kelompok

Umumnya berkisar antara 4 sampai 12 orang. Berdasarkan

penelitian jumlah anggota kelompok yang kurang dari 4 orang tidak efektif

karena dinamika kelompok menjadi kurang hidup. Sebaliknya jika anggota

melebihi 12 orang terlalu besar untuk konseling kelompok karena terlalu

berat dalam mengelola kelompok.

b. Homogenitas kelompok

Konseling kelompok bisa dibuat homogen atau heterogen sangat

tergantung pada kelompok. Penentuan homogenitas keanggotaan

kelompok disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan pemimpin

kelompok.

c. Sifat kelompok

Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Dikatakan terbuka jika

pada suatu saat dapat menerima anggota baru dan dikatakan tertutup jika

keanggotaannya tidak memungkinkan adanya anggota baru.

d. Waktu pelaksanaan

Lamanya waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat

bergantung pada kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok.

Konseling kelompok yang bersifat jangka pendek membutuhkan jangka

waktu antara 6 sampai 20 kali pertemuan dengan frekwensi pertemuan

antara satu sampai tiga kali dalam seminggu. Durasi pertemuan kelompok

pada prinsipnya sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi anggota

kelompok.

(48)

Menurut Prayitno (1995: 40) pelaksanaan kegiatan konseling kelompok

terdiri dari empat tahap, yaitu tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap

kegiatan, tahap pengakhiran dan follow up (tindak lanjut). a. Tahap I, Tahap Pembentukan

Tahap awal adalah saat-saat orientasi dan penggalian. Penentuan

struktur kelompok, pengenalan dan penggalian harapan-harapan atau

keinginan-keinginan anggota-anggotanya. Selama fase ini anggota

mempelajari fungsi kelompok, memperjelas harapan-harapan,

mempertegas tujuan-tujuan dan mencari posisinya dalam kelompok. Tugas

utama dari tahap awal adalah pencantuman dan identitas, fase ini

menyangkut keputusan untuk masuk atau keluar dari kelompok,

penanganan kepribadian dan membuat komitmen. Anggota kelompok

berhak untuk membawa ciri-ciri atau keunikan mereka dan membentuk jati

dirinya (tidak menjadi lebur dalam kelompok).

Karakteristik tahap awal adalah waktu untuk orientasi dan

menetapkan struktur kelompok. Anggota mempelajari aturan-aturannya

dan apa yang bisa diharapkan, mempelajari bagaimana fungsi kelompok

dan belajar berpartisipasi dalam kelompok. Kekompakan kelompok dan

kepercayaan lambat laun mulai terbentuk, jika anggota-anggotanya

bersedia mengekspresikan/mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan

rasakan. Anggota memperhatikan apakah mereka dapat masuk atau tidak

dan mereka mulai menetapkan posisi mereka dalam kelompok.

Perasaan-perasaan negatif mulai nampak untuk menguji apakah Perasaan-perasaan-Perasaan-perasaan

(49)

 

ketidakpercayaan. Disini ada masa keheningan dan kecanggungan/kikuk;

para anggota mulai mencari arah dan berpikir kelompok ini maunya apa.

Para anggota mempelajari perilaku-perilaku dasar dari menghargai, empati,

penerimaan, perhatian, dan menanggapi semua perilaku-perilaku yang

membangun kepercayaan.

Fungsi dan tugas utama pemimpin kelompok selama tahap orientasi

dan penggalian dalam kelompok adalah:

1) Mengajarkan partisipasi, beberapa petunjuk umum dan cara untuk

berpartisipasi dengan aktif akan meningkatkan peluang mereka untuk

mendapatkan kelompok yang produktif.

2) Mengembangkan aturan-aturan dasar dan membuat norma-norma, serta

mengajarkan proses dasar dalam kelompok.

3) Membantu anggota dalam mengungkapkan ketakutan-ketakutan

mereka dan harapan-harapan, dan mengembangkan kepercayaan,

membuat model dari perilaku terapi.

4) Membantu anggota membangun tujuan-tujuan pribadi yang konkrit dan

menangani secara terbuka perhatian-perhatian dan

pertanyaan-pertanyaan anggota.

5) Membantu anggota untuk berbagi rasa dan berbagi pendapat mengenai

apa yang timbul dalam kelompok.

6) Mengajarkan anggota dasar hubungan antar manusia seperti

mendengarkan dengan aktif dan menganggapi, setra menilai kebutuhan

kelompok dan mencari jalan bagaimana kebutuhan-kebutuhan tersebut

(50)

7) Memperlihatkan pada anggota bahwa mereka mempunyai tanggung

jawab terhadap arah dan hasil dari kelompok.

8) Memastikan semua anggota berpartisipasi dalam interaksi kelompok,

sehingga tak ada seorang pun yang merasa dikucilkan dan mengurangi

ketergantungan anggota pada pemimpin.

Tahap ini merupakan pengenalan, tahap pelibatan diri atau proses

memasukkan diri kedalam kehidupan kelompok. Hal-hal yang dibicarakan

dalam tahap ini meliputi :

a) Penjelasan tentang pengertian

b)Cara-cara pelaksanaannya

c) Asas-asas yang ada dalam kegiatan konseling kelompok.

b. Tahap II, Tahap Peralihan

Tahap kedua adalah tahap transisi yang ditandai dengan adanya

perasaan-perasaan khawatir dan defensif (bertahan) dalam berbagai

bentuk perlawanan. Perasaan ini biasanya mengawali keterbukaan dan

kepercayaan dalam tahap berikutnya. Tahap transisi menurut Prayitno,

dijelaskan sebagai tahap peralihan yang bertujuan membebaskan anggota

kelompok dari perasaan atau sikap enggan, ragu, malu atau saling tidak

percaya untuk memasuki tahap berikutnya (Prayitno, 1995: 47). Pada saat

ini keraguan utama dari partisipan berkaitan dengan terlalu banyak atau

terlalu sedikit tanggung jawab dan terlalu banyak atau terlalu sedikit

pengaruh. Konflik timbul dari ketidaksesuaian dari anggota sendiri dan

kesan stereotip yang mereka tangkap dan sering kali diekspresikan dalam

(51)

 

Pada tahap peralihan suasana kelompok terbentuk dan dinamika

kelompok mulai tumbuh, kegiatan kelompok hendaknya dibawa untuk

menuju kegiatan kelompok (Prayitno, 1995: 44). Karakteristik tahap

transisi pengembangan kelompok ditandai dengan perasaan-perasaan

khawatir, defensif dan berbagai bentuk perlawanan (Corey, 1997: 101).

Pada kondisi demikian anggota peduli tentang apa yang dipikirkan

terhadapnya jika mereka meningkatkan kewaspadaan diri dan peduli

terhadap penerimaan atau penolakan. Setiap anggota kelompok belajar

mengekspresikan diri sehingga anggota yang lain mendengarnya. Peranan

anggota kelompok adalah terpusat pada mengenali dan menangani bentuk

resistensi. Tugas anggota kelompok adalah mengenali dan

mengekspresikan berbagai perasaan negatif. Mempelajari bagaimana

berkonfrontasi dengan anggota yang lain dalam sikap membangun.

Bersedia menghadapi dan menangani reaksi terhadap apa yang terjadi

dalam kelompok.

Tugas kunci dari pemimpin kelompok adalah kebutuhan untuk

intervensi atau mencampuri dalam kelompok dengan sikap sensitif dan

pada saat yang tepat. Hal yang lebih mendasar adalah memberikan

keberanian dan tantangan seperlunya pada anggota untuk menghadapi dan

menyelesaikan atau mengatasi konflik yang timbul di dalam kelompok

(Prayitno, 1995: 38). Tahap ini merupakan tahap untuk mengantarkan

anggota kelompok pada tahap berikutnya. Para anggota kelompok dituntut

(52)

masing-masing, pemimpin kelompok memantapkan asas-asas kerahasiaan,

keterbukaan, kesukarelaan dan kenormatifan.

c. Tahap III, Tahap Kegiatan

Tahap ketiga adalah tahap kegiatan kelompok, maka aspek-aspek

yang menjadi isi dan pengiringnya cukup banyak (Prayitno, 1995: 47).

Tahap ini merupakan kehidupan yang sebenarnya dari kelompok. Tahap

kegiatan ditandai dengan adanya eksplorasi masalah-masalah yang

nampak dan dengan tindakan yang efektif untuk menghasilkan

perubahan-perubahan perilaku yang dikehendaki (Corey, 1997: 53). Pada kegiatan ini

saatnya anggota berpartisipasi untuk menyadari bahwa merekalah yang

bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Jadi anggota kelompok harus

didorong untuk mengambil keputusan sendiri masalah-masalah yang

dihadapi dalam kelompok, mereka harus belajar bagaimana menjadi

bagian kelompok yang integral dan sekaligus memahami kepribadiannya

sendiri, dan menyaring umpan balik yang diterima dan membuat

keputusan sendiri, apa yang akan dilakukan.

Ciri-ciri utama suatu kelompok mencapai tahap kegiatan adalah

sebagai berikut:

1) Tingkat kepercayaan dan keakraban tinggi.

2) Konflik antaranggota dikenali dan berhubungan secara langsung dan secara efektif.

3) Umpan balik diberikan secara bebas dan diterima secara sukarela (tanpa perlawanan).

4) Peserta merasa didukung dalam usaha-usaha mereka untuk berubah dan bersedia untuk mengambil resiko dalam perubahan tingkah laku. 5) Anggota merasa mempunyai harapan besar dimana mereka dapat

(53)

 

Fungsi utama dari pemimpin pada tahap kegiatan adalah

menyediakan penguatan secara sistematis dari tingkah laku kelompok

yang diinginkan yang membantu perkembangan kerja yang kohesif dan

produktif. Memberikan kebebasan pada anggota untuk mengambil resiko

dan memaksa mereka untuk menerapkan tingkah laku ini dalam

kehidupan sehari-hari. Mendorong anggota untuk memusatkan diri pada

apa yang mereka inginkan dari kelompok dan untuk meminta apa yang

mereka inginkan.

d. Tahap IV, Tahap Pengakhiran

Tahap keempat adalah tahap akhir yaitu konsolidasi dan

terminasi, hal ini penting bahwa masalah-masalah terminasi dapat di

pecahkan lebih awal pada permulaan dalam sejarah kelompok. Setiap

awal pengakhiran selalu merupakan kenyataan dan anggota memerlukan

peringatan secara periodik dari pemimpin dimana kelompok pada

akhirnya akan berakhir.

Tugas utama yang dihadapi para anggota selama tahap akhir

kelompok adalah konsolidasi dan mentransfer apa yang telah mereka

pelajari dalam kelompok ke dunia luar. Inilah waktu bagi mereka untuk

mengulang kembali dan memasukkannya dalam kerangka kognitif

kelompok. Tugas para anggota pada tahap akhir berhubungan dengan

perasaan tentang perpisahan dan terminasi; persiapan untuk penerapan

(54)

sehari-hari; pemberian umpan balik yang akan memberikan gambaran pada

anggota yang lain apa yang mereka rasakan, untuk menyelesaikan

masalah yang tidak terselesaikan, baik itu masalah yang ada di kelompok

maupun masalah yang ada di masyarakat; untuk mengevaluasi dampak

dari kegiatan kelompok, membuat keputusan-keputusan dan

rencana-rancana yang berhubungan dengan perubahan-perubahan yang akan

mereka buat dan bagaimana mereka mengerjakan hal-hal tersebut.

Peranan pemimpin kelompok adalah tetap mengusahakan suasana

yang hangat, bebas, dan terbuka. Memberikan pernyataan dan

mengucapkan terima kasih atas keikutsertaan anggota. Memberi

semangat untuk kegiatan lebih lanjut, penuh rasa persahabatan dan

simpati (Prayitno, 1995: 60). Di samping itu fungsi pemimpin kelompok

pada tahap konsolidasi adalah mempersiapkan suatu kerangka yang

memungkinkan para anggota untuk memperjelas arti dari tiap

pengalaman yang diperoleh di dalam kelompok dan mengajak para

anggota untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari (Corey, 1997:

121). Pada tahap ini pemimpin kelompok meminta para anggota

menyimpulkan hasil hasil yang diperoleh dan mengutarakan kesan-kesan

tentang kegiatan yang telah dilaksanakan, setelah itu dilakjutkan dengan

penetapan waktu dan tempat pertemuan selanjutnya dan penutup.

e. Tahap V, Tindak lanjut (Follow up)

Follow up (tindak lanjut) dapat dilaksanakan secara kelompok dan individu. Pada kegiatan tindak lanjut ini para anggota kelompok dapat

Gambar

Tabel 1: Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosional untuk Penelitian………………52
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3 Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional dalam Hidup Berkomunitas
+5

Referensi

Dokumen terkait