• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF - HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF - HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF

DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

2.1 Pengertian Posisi Dominan

Dalam menjalankan kegiatan usahanya setiap pelaku usaha tentu memiliki tujuan untuk menjadi lebih unggul dari pelaku usaha pesaingnya di suatu pasar bersangkutan. Dengan menjadi lebih unggul (market leader) dari pelaku usaha lainnya di pasar bersangkutan tentu akan memberikan keuntungan yang lebih maksimal bagi pelaku usaha tersebut terutama dalam hal menarik konsumen.

Dalam rangka mencapai suatu posisi dominan, penguasaan market power oleh pelaku usaha sangat penting. Market Power yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kekuatan pasar merupakan kemampuan dari pelaku untuk memperoleh laba sebesar-besarnya, dalam hal ini pelaku usaha mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi harga tanpa dapat dipengaruhi oleh pelaku usaha pesaingnya.20 Dalam kata lain market power merupakan kemampuan pelaku usaha dalam mempengaruhi pasar. Pengukuran terhadap market power sangat penting dalam menentukan posisi dominan yang dimiliki pelaku usaha.

Dalam perspektif ekonomi, perusahaan yang mempunyai market power mempunyai kemampuan untuk menaikkan harga diatas biaya marginal, biaya marginal sendiri merupakan keadaan naiknya biaya total yang disebabkan oleh

20

(2)

produksi satu unit output.21 Semakin besar market power yang dimiliki oleh perusahaan maka akan semakin besar selisih harga terhadap biaya marginal. Sehingga semakin tinggi market power yang dimiliki oleh suatu perusahaan maka akan menyebabkan pasar semakin tidak efisien.22

Market Power tidak hanya terbentuk karena pelaku usaha memiliki

kemampuan dalam mempengaruhi pasar, namun dapat juga terbentuk karena produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut lebih diminati oleh konsumen. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya harga yang terjangkau, standar kualitas produk, pengaruh trend dan sebagainya.23

Penguasaan market power dan keunggulan dalam hal finansial, jangkauan akses, efisiensi, teknologi dan sebagainya dapat membuat suatu pelaku usaha memiliki posisi dominan di suatu pasar bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut maka memiliki posisi dominan merupakan prestasi tersendiri bagi pelaku usaha.

Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar.24 Dalam hukum persaingan usaha menjadi lebih unggul (market leader) tidaklah dilarang, pelaku usaha tentu akan terpacu untuk melakukan inovasi dan efisiensi dalam hal menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga yang kompetitif agar dapat memperoleh posisi yang lebih unggul (market leader) dari pelaku usaha lainnya dalam suatu pasar

21

Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.29.

22Ayu Sitoresmi, “

Strategi Brand Proliferation Sebagai Bentuk Penyalahgunaan Posisi Dominan Dalam Konteks Persaingan Usaha”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, h.20.

23

Vegitya Ramadhani Putri, Hukum Bisnis Konsep & Kajian Kasus; Kajian Perbandingan Hukum Bisnis Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, Setara Press, Malang, 2013, h.2.

24

(3)

bersangkutan. Persaingan inilah yang mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang dominan.

Namun dengan memiliki posisi dominan, pelaku usaha berpotensi untuk melakukan tindakan anti persaingan dalam bentuk penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position), hal ini disebabkan dengan posisi dominan yang dimilikinya pelaku usaha tersebut dapat dengan mudah melakukan tindakan yang mempengaruhi dinamika pasar (penawaran dan permintaan) secara luas tanpa terpengaruh dengan pelaku usaha lainnya. Tindakan inilah yang pada akhirnya berpotensi mengancam keberlangsungan persaingan usaha yang sehat dan efektif di suatu pasar bersangkutan.

Posisi dominan dilihat dari perspektif ekonomi dapat diartikan sebagai posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar dan dengan pangsa pasar yang besar itu perusahaan tersebut memiliki market power sehingga dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya.25

Kepemilikan posisi dominan menandakan bahwa pelaku usaha tersebut memiliki market power yang lebih kuat dari pelaku usaha pesaingnya. Penyalahgunaan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha biasanya terlihat dari perilaku strategis (strategic behaviour) pelaku usaha tersebut. Perilaku strategis merupakan suatu konsep bagaimana suatu perusahaan dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing yang

25

(4)

potensial yang akan masuk di pasar bersangkutan.26 Perilaku strategis ini pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan keuntungan pelaku usaha. Perilaku strategis ini meliputi penetapan harga dan kuantitas, mengejar pangsa pasar, memperlebar kapasitas hingga mempersempit ruang gerak pesaing.

Terdapat dua bentuk perilaku strategis yang digunakan oleh pelaku usaha untuk meningkatkan keuntungan pelaku usaha yaitu:27

1. Perilaku strategis yang bersifat kooperatif

Perilaku strategis ini bertujuan untuk mengubah kondisi pasar sehingga mempermudah koordinasi antar pelaku usaha yang sudah ada di pasar bersangkutan dan mempersempit ruang gerak pelaku usaha pesaing mereka. Dalam perilaku strategis ini terdapat kerjasama yang dilakukan diantara pelaku usaha yang telah ada di pasar bersangkutan.

2. Perilaku strategis yang bersifat non kooperatif

Berbeda dengan perilaku strategis kooperatif, dalam perilaku strategis ini tidak ada kerjasama yang dilakukan diantara pelaku usaha. Melalui perilaku strategis ini pelaku usaha berupaya meningkatkan profit mereka dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pelaku usaha pesaing. Tujuan dari penggunaan perilaku strategis ini adalah untuk meningkatkan keuntungan pelaku usaha dan menurunkan keuntungan pelaku usaha pesaing.

Dengan posisi dominan yang dimilikinya pelaku usaha dapat menerapkan perilaku strategis ini sehingga dapat mempengaruhi dinamika di suatu pasar

26

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan Berdasarkan Undang Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h.14.

(5)

bersangkutan. Penerapan perilaku strategis yang bertujuan menghambat persaingan oleh pelaku usaha dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap persaingan maupun konsumen.

a. Dampak terhadap persaingan28

1.) Meminimalisir persaingan diantara pelaku usaha di pasar bersangkutan

Penerapan perilaku strategis yang bersifat kooperatif pada dasarnya bertujuan untuk mempermudah koordinasi antar pelaku usaha yang telah ada di pasar bersangkutan. Kerja sama ini biasanya dimotori oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan. Kerja sama diantara pelaku usaha ini tentu menimbulkan manfaat bagi pelaku usaha karena kerjasama ini bertujuan untuk melindungi kepentingan dari pelaku usaha namun disisi lain kerja sama diantara pelaku usaha ini dapat meminimalisir persaingan dalam pasar bersangkutan yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi konsumen.

2.) Timbulnya hambatan masuk (barrier to entry) bagi pelaku usaha potensial Dengan besarnya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan terhadap pesaingnya tentu akan memudahkan pelaku usaha tersebut menciptakan hambatan masuk terhadap pelaku usaha pesaing yang potensial masuk ke suatu pasar bersangkutan yang dikuasai oleh pemegang posisi dominan. Dengan adanya hambatan masuk yang diciptakan pemegang posisi dominan ini tentu akan meminimalkan tingkat persaingan yang terjadi di suatu pasar bersangkutan.

3.) Timbulnya hambatan perdagangan (restraint trade) bagi pelaku usaha pesaing

28

(6)

Dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha dapat mengeluarkan kebijakan yang dapat mempengaruhi dinamika pasar secara mandiri tanpa dapat dipengaruhi oleh pelaku usaha pesaingnya. Dengan kekuatan ini tentu pelaku usaha dapat dengan mudah mengeluarkan kebijakan yang dapat menghambat kinerja dari pelaku usaha pesaingnya seperti membatasi pasokan dan distribusi produk bagi pesaingnya serta membatasi akses terhadap hal yang esensial bagi pelaku usaha pesaing.

Dengan adanya hambatan perdagangan yang diberikan pelaku usaha pemegang posisi dominan terhadap pelaku usaha pesaingnya ini dapat menimbulkan dampak terhadap persaingan. Dengan hambatan perdagangan tersebut pelaku usaha pesaing tidak akan optimal dalam menjalankan kegiatan usahanya sehingga akan menyulitkan bagi pelaku usaha itu untuk bersaing terutama dengan pemegang posisi dominan, yang pada akhirnya akan menyebabkan persaingan antar pelaku usaha di suatu pasar bersangkutan tidak berjalan secara efektif.

4.) Terciptanya kondisi pasar yang tidak efektif dan efisien

(7)

suatu pasar yang tidak beroperasi secara efektif dan efisien sehingga akan menimbulkan dampak terhadap persaingan yang terjadi di pasar tersebut.

b. Dampak terhadap konsumen29

1.) Terbatasnya alternatif pilihan bagi konsumen

Tindakan kerjasama yang dilakukan diantara pelaku usaha ini dapat meminimalisir persaingan dalam pasar bersangkutan, hal ini tentu akan berdampak terhadap konsumen khususnya terkait dengan menjadi terbatasnya pilihan bagi konsumen untuk mendapatkan produk yang lebih murah.

Salah satu bentuk kerja sama yang dapat membatasi alternatif pilihan bagi konsumen untuk mendapatkan produk yang lebih murah adalah tindakan price

leadership pelaku usaha pemegang posisi dominan.

Penetapan harga tinggi oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan sebagai bentuk penggunaan market power yang optimal dapat menjadi pelindung dan insentif bagi pelaku usaha pesaing untuk ikut menikmati harga tersebut. Pemegang posisi dominan mempunyai kekuatan untuk bertindak sebagai price

setter (penentu harga) hal ini membuat pemegang posisi dominan berperan

sebagai price leadership dalam suatu pasar sehingga harga yang ditetapkan pemegang posisi dominan itu akan diikuti oleh pelaku usaha pesaingnya sebagai

price taker.30 Kondisi inilah yang dapat menyebabkan pilihan konsumen untuk

dapat menikmati harga yang lebih murah menjadi terbatas. 2.) Ketidakstabilan harga dan pasokan suatu produk

29 Ibid.

30

(8)

Salah satu unsur dari posisi dominan adalah kemampuan pelaku usaha dalam melakukan penyesuaian terhadap pasokan penjualan atau permintaan. Dengan besarnya market power yang dimiliki pelaku usaha pemegang posisi dominan, tentu pelaku usaha tersebut dapat dengan mudah melakukan kontrol terhadap harga maupun distribusi suatu produk di pasar bersangkutan. Bentuk penyalahgunaan seperti inilah yang dapat menciptakan ketidakstabilan harga dan pasokan di suatu pasar yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.

3.) Deadweight loss

Salah satu dampak lain yang dirasakan oleh konsumen sebagai akibat dari adanya penyalahgunaan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha adalah

deadweight loss. Deadweight loss adalah jumlah biaya yang harus ditanggung

masyarakat jika pasar tidak beroperasi secara efisien.31

Besarnya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan ini membuat pelaku usaha tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pasar. Besarnya pangsa pasar serta market power yang dimiliki pemegang posisi dominan membuat pelaku usaha pemegang posisi dominan dapat menyesuaikan pasokan dengan penjualan serta permintaan, dengan hal tersebut pemegang posisi dominan dapat melakukan penyalahgunaan dengan menjauhkan besarnya harga dan jumlah barang dari titik keseimbangan penawaran dan permintaan.

Ketidakseimbangan antara harga dan jumlah barang dengan penawaran dan permintaan inilah yang menyebabkan pasar tidak beroperasi secara efisien yang

31

(9)

akhirnya menimbulkan keadaan deadweight loss.32 Salah satu akibat adanya

deadweight loss bagi konsumen adalah berkurangnya kemampuan konsumen

untuk menabung yang disebabkan oleh tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk suatu produk.

4.) Berkurangnya tingkat kesejahteraan konsumen

Bentuk-bentuk penyalahgunaan yang dilakukan oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan seperti membatasi distribusi suatu produk, mengatur jumlah pasokan dan pengontrolan harga terhadap suatu produk di suatu pasar bersangkutan tentu akan menyebabkan pasar tidak beroperasi secara efektif dan efisien yang akhirnya menimbulkan ketidakstabilan harga di suatu pasar. Ketidakstabilan harga ini umumnya terwujud dengan tingginya harga suatu produk yang harus dibayar oleh konsumen. Dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen terhadap suatu produk yang seharusnya dapat dijangkau lebih murah ini menyebabkan tingkat kesejahteraan dari konsumen juga akan berkurang.

Mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan terhadap persaingan maupun konsumen, maka tindakan penyalahgunaan posisi dominan merupakan hal yang dilarang dalam hukum persaingan usaha.

Terdapat berbagai definisi terkait dengan posisi dominan salah satunya adalah definisi dari The European Court of Justice (ECJ) yang mengartikan posisi dominan berdasarkan putusannya terhadap kasus United Brands, yaitu:

“a position of economic strength enjoyed by an undertaking which

enable it to prevent effective competition being maintained on the

(10)

relevant market by giving it power to behave to an appreciable extent independently of its competitors, customers and ultimately of

consumers.”33

Konsep posisi dominan berdasarkan The European Court of Justice (ECJ) pada intinya adalah sebuah posisi kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh pelaku usaha yang memungkinkan pelaku usaha tersebut untuk mencegah persaingan yang efektif pada pasar bersangkutan secara mandiri dari pelaku usaha pesaingnya, pelanggan dan konsumennya.

Definisi lain terkait dengan posisi dominan juga dapat ditemui dalam UU No.5/1999, yang mendefinisikan posisi dominan sebagai:

“keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.”34

Penguasaan posisi dominan ini dapat dimiliki oleh satu pelaku usaha yang disebut dengan monopolist yaitu jika ada satu pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar yang lebih tinggi dari pesaingnya.35 Dapat juga dimiliki oleh dua atau lebih pelaku usaha yang disebut dengan oligopolist yaitu keadaan dimana suatu pasar bersangkutan terdapat dua pelaku usaha atau lebih yang mempunyai kekuatan

33

Andi Fahmi Lubis et al., Loc.Cit., dikutip dari Valentine Korah, An Introductory Guide to EC Competition Law and Practice (7th ed.), Portland Oregon, Oxford, 2000, p.81.

34

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps. 1 angka 4.

35

(11)

pasar yang hampir sama atau seimbang. Dalam posisi ini umumnya antar pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tersebut saling bergantung satu sama lain.36

2.1.1 Unsur-unsur posisi dominan

Berdasarkan definisi posisi dominan yang terdapat dalam pasal 1 angka 4 UU No.5/1999 terdapat empat unsur-unsur yang perlu diteliti untuk menentukan apakah pelaku usaha tersebut mempunyai posisi dominan atau tidak.

1. Pangsa pasar

Definisi pangsa pasar dalam pasal 1 angka 13 UU No.5/1999 adalah presentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. Pangsa pasar merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan apakah pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan atau tidak. Dalam pasal 25 ayat (2) dijelaskan bahwa satu pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu atau menguasai lebih dari 75% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu untuk dua atau lebih kelompok usaha.

2. Kemampuan keuangan

Salah satu unsur yang perlu diteliti dalam menentukan pelaku usaha memiliki posisi dominan atau tidak adalah kemampuan keuangan. Pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan apabila memiliki kemampuan keuangan yang lebih kuat dibanding pesaingnya. Salah satu tanda paling penting dalam

36

(12)

menganalisis kemampuan keuangan suatu pelaku usaha adalah cash flow yang dimiliki pelaku usaha tersebut. Cash flow disini dapat diartikan sebagai jumlah keuntungan pelaku usaha dalam suatu periode tertentu. Hal lain yang menentukan besarnya kemampuan keuangan suatu pelaku usaha adalah dengan perbandingan antara omset pelaku usaha dengan modal dasarnya.37 Dalam menilai apakah suatu pelaku usaha mempunyai kemampuan keuangan yang kuat dapat dilihat dari berbagai faktor yaitu:38

f.) Akses ke pasar keuangan nasional dan internasional. 3. Kemampuan pada pasokan atau penjualan

Salah satu ciri pelaku usaha memegang posisi dominan adalah kemampuan untuk mengatur pasokan atau penjualan. Kemampuan ini pada umumnya diperoleh karena pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya.

4. Kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan

Pada prinsipnya kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan memiliki kesamaan dengan kemampuan mengatur pasokan atau penjualan. Pelaku usaha pemegang posisi dominan tentu akan dengan mudah menyesuaikan pasokan atau permintaan dengan pangsa pasar yang mereka miliki.

37

Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.172. dikutip dari Emmerich, Voelker, Kartellrecht, 8 Auflage, (Muenchen: Verlag C.H Beck) p.189.

38

(13)

Penilaian terhadap keempat unsur diatas tersebut penting sebagai dasar untuk menentukan kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha di pasar bersangkutan.

2.1.2 Penetapan posisi dominan

Berdasarkan UU No. 5/1999 sebelum menentukan apakah suatu pelaku usaha memegang posisi dominan atau tidak, terlebih dahulu lembaga otoritas persaingan melakukan investigasi terhadap pasar yang bersangkutan. Investigasi tersebut dilakukan dengan cara melakukan pembatasan terhadap pasar bersangkutan.

Definisi dari pasar bersangkutan dapat ditemui dalam UU No.5/1999 pasal 1 angka 10 yaitu pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi dari barang dan atau jasa tersebut.39

Pasar bersangkutan merupakan suatu konsep untuk mendefinisikan ukuran pasar dari sebuah produk.40 Pengukuran terhadap pasar bersangkutan ini sangat penting untuk melihat ada tidaknya posisi dominan yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha dalam suatu pasar bersangkutan.Definisi dari pasar bersangkutan ini berfungsi sebagai batasan dalam mengukur luasnya dampak dari tindakan anti persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha.41

39

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps.1 Angka 10.

40

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 Angka 10 tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h.9.

(14)

Pasar bersangkutan (relevant market) terdiri atas pasar produk, pasar geografis, dan pasar temporal. Secara umum pendekatan terhadap pasar bersangkutan terdiri atas dua aspek yaitu pasar produk dan pasar geografis. Terdapat dua metode pembatasan pasar bersangkutan dalam menentukan posisi dominan suatu pelaku usaha yaitu:42

a.) Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk (product market) Pasar produk (product market) diartikan sebagai produk-produk persaing dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang dapat menjadi subtitusi dari produk tersebut.43

Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk atau secara objektif adalah kondisi dimana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk subtitusinya.44 Dalam rangka menentukan apakah suatu barang dengan barang lain dapat dikategorikan sama atau dapat menjadi subtitusi terhadap barang tertentu dapat dilihat dari empat aspek yaitu:

a. Bentuk dan sifat barang

Dalam menentukan apakah suatu produk berada dalam satu pasar bersangkutan dapat dilihat dari bentuk dan fisik suatu barang. Apabila bentuk dan sifat barang dari produk yang berbeda itu sama maka dapat dikatakan produk tersebut berada dalam satu pasar bersangkutan.

b. Fungsi barang

42

Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.175.

43

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h.10.

44

(15)

Pengidentifikasian produk tersebut juga dapat dilihat dari fungsi barang, apakah produk satu dengan produk yang lain mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen. Apabila produk yang berbeda tersebut mempunyai fungsi yang sama maka produk tersebut berada dalam satu pasar bersangkutan.

c. Harga

Salah satu unsur penting dalam menentukan apakah produk tersebut berada dalam pasar bersangkutan yang sama atau tidak adalah harga. Apabila perbedaan harga antara produk yang berbeda tersebut tidak terlalu jauh maka barang tersebut dapat dikatakan bersubtitusi satu sama lain dan berada di pasar bersangkutan yang sama.

d. Fleksibilitas barang bagi konsumen (interchangeable)

Unsur terakhir dalam menentukan apakah suatu produk dapat dinyatakan berada dalam satu pasar bersangkutan atau tidak adalah fleksibilitas kebutuhan barang tersebut bagi konsumen. Hal ini disebut sebagai konsep kebutuhan konsumen.45 Dalam konsep ini suatu barang dapat dikatakan berada dalam satu pasar bersangkutan apabila ketika konsumen kehabisan produk tersebut, konsumen secara otomatis mau beralih kepada produk yang berbeda. Produk dikatakan berada dalam satu pasar bersangkutan apabila produk yang berbeda ini dapat saling menggantikan satu sama lain (interchangeable). Dalam menentukan hal ini aspek penilaian konsumen sangatlah penting karena konsumen membeli suatu produk untuk kebutuhannya.

45

(16)

Apabila suatu produk sudah dikategorikan berada dalam satu pasar bersangkutan yang sama, maka konsekuensinya adalah pangsa pasar barang sejenis dan barang subtitusi akan ikut dijumlahkan untuk menentukan apakah pangsa pasar bersangkutan memiliki posisi dominan atau tidak.46

b. Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis (relevant geographic market) Pasar geografis (relevant geographic market) adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah tersebut.47

Pembatasan pasar bersangkutan ditentukan sejauh mana produsen memasarkan produknya seluas itulah dihitung produsen yang memasarkan produk di wilayah tersebut.48 Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis ini bertujuan untuk menghitung pangsa pasar bersangkutan secara objektif disekitar wilayah barang tersebut dipasarkan. Pasar disini meliputi wilayah regional, nasional, internasional dan pasar global.

Dalam pasar geografis faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan luas dan cakupan wilayah suatu produk adalah49 :

a. Kebijakan perusahaan

Kebijakan perusahaan merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan luas dan cakupan wilayah suatu produk. Hal ini dikarenakan

46

Ibid, h.177.

47

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h.11.

48Ibid.

49

(17)

kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan akan sangat menentukan logistik suatu produk terutama terkait dengan wilayah yang akan dijadikan target pemasaran. Analisa terhadap kebijakan perusahan terkait logistik suatu produk akan menunjukkan mengenai luas cakupan geografis dari produk tersebut.

b. Biaya transportasi dan lamanya perjalanan

Biaya serta waktu transporatsi juga merupakan faktor yang mempengaruhi ketersediaan produk di wilayah tertentu. Semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan serta lamanya perjalanan yang harus ditempuh tentu akan menyulitkan pelaku usaha untuk memperluas wilayah pemasarannya sehingga cakupan wilayah produk tersebut relatif terbatas untuk wilayah pemasaran yang sudah ada. Sebaliknya apabila biaya serta waktu yang harus ditempuh tidak signifikan maka akan mendorong pelaku usaha untuk melakukan ekspansi pasar produk tersebut.

c. Tarif dan peraturan yang membatasi lalu lintas perdagangan antar kota/wilayah Penentuan tarif disini juga menentukan luas jangkauan wilayah pemasaran suatu produk. Kebijakan tarif suatu yang dapat menyebabkan peningkatan harga produk sehingga menurunkan minat beli konsumen tentu akan membatasi lalu lintas produk tersebut di wilayah tersebut. Dengan terbatasnya distribusi produk dalam satu wilayah tentu akan mempersempit jangkauan wilayah geografis dari produk tersebut.

(18)

Dengan adanya peraturan yang menghambat distribusi suatu produk di suatu wilayah tentu akan mempersempit cakupan geografis dari produk tersebut.

Berdasarkan pasar geografis ini pelaku usaha pemegang posisi dominan ialah pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar di wilayah tersebut.

2.2 Penyalahgunaan Posisi Dominan (Abuse of Dominant Position)

Kepemilikan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha tidaklah dilarang sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi dominannya pada pasar yang bersangkutan dilakukan atas kemampuannya sendiri dan dengan cara yang dibenarkan. Fokus utama dalam hukum persaingan usaha adalah menjaga persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar yang bersangkutan dan mendorong pelaku usaha untuk menjadi pelaku usaha yang memiliki posisi dominan melalui persaingan usaha yang sehat dan efektif.50

Kepemilikan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha baru dilarang apabila dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha tersebut melakukan tindakan anti persaingan yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat di suatu pasar yang bersangkutan. Dengan posisi dominan yang dimilikinya, suatu pelaku usaha dapat melakukan tindakan anti persaingan pada suatu pasar bersangkutan secara individu tanpa memperhitungkan pelaku usaha pesaingnya. Dengan memegang posisi dominan suatu pelaku usaha mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi keadaan pasar secara mandiri dengan cara penentuan harga,

50

(19)

mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian penting dari produk-produk yang diminta.51

2.2.1 Bentuk penyalahgunaan posisi dominan (Abuse of Dominant Position)

Dalam hukum persaingan usaha terdapat dua bentuk penyalahgunaan posisi dominan, yaitu penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abuse) dan penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran (exclutionary abuse).

a.) Penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abuse)

Penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif ini merupakan penyalahgunaan yang berbentuk upaya maksimalisasi profit dengan cara mereduksi iuaran dan menaikkan harga diatas level kompetitif.52 Tindakan penyalahgunaan ini akan mengakibatkan terjadinya eksploitasi terhadap konsumen. Bentuk penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif ini terdiri atas:53

a. Excessive price yaitu membebankan suatu harga yang bersifat monopolistik;

b. Unfair condition yaitu penerapan syarat-syarat yang tidak adil kepada

konsumen sehingga konsumen tidak dapat membeli atau menjual kembali secara bebas;

c. The quite life yaitu pelaku usaha yang memegang posisi dominan menolak

menggunakan teknologi tertentu dengan alasan-alasan yang tidak dapat diterima.

b.) Penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran (exclutionary abuse)

51

Ibid, h.167 dikutip dari Valentine Korah, Op.Cit., p.81.

52

Vegitya Ramadhani Putri, Op.Cit., h.115.

53

(20)

Pelaku usaha yang memegang posisi dominan memiliki tanggung jawab khusus (special responsibility) untuk mencegah tindakannya menyebabkan suatu persaingan yang tidak sehat di dalam pasar bersangkutan. Penyalahgunaan bersifat penyingkiran ini bertujuan untuk menutup pasar dari pesaing atau pelaku usaha baru baik secara potensial maupun aktual. Bentuk penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran ini terdiri atas:

a. Melindungi market power dengan cara mempersulit pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar bersangkutan (barrier to entry).

b. Export bans yaitu pelarangan terhadap ekspor.

c. Pricing strategies (strategi harga) yang berbentuk:

(1) Discount and rabates (diskon dan rabat)

Diskon dan rabat ini dapat diberikan oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan kepada pelaku usaha tertentu atau konsumen dengan tujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaingnya dari pasar bersangkutan. Sebagai contoh produsen kain A memberikan diskon kepada pengusaha konveksi B, C dan D dengan kesepakatan bahwa para pengusaha konveksi tersebut tidak boleh membeli kain dari produsen lain. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan hambatan bagi pelaku usaha lain untuk bersaing di pasar bersangkutan.

(2) Predatory pricing (harga predator)

(21)

d. Tying and Leverage yaitu pelaku usaha dominan memperluas market power -nya dari pasar yang telah didominasi-nya ke pasar lain. Perilaku ini dapat dilakukan dengan cara pemborongan sehingga dominasi pada pasar yang produknya terikat akan meluas ke pasar produk ikatan tersebut.

e. Merger yang bertujuan untuk menciptakan posisi dominan.

f. Refusal to supply yaitu penolakan penyaluran kepada konsumen. Penolakan ini

dibagi menjadi dua jenis yaitu:

(1) Refusal to deal yaitu penolakan penyaluran kepada konsumen tertentu dengan

tujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing.

(2) Refusal to allow consumers access to essential facility yaitu penolakan kepada

konsumen untuk mengakses fasilitas yang esensial. 2.2.2 Hubungan afiliasi dengan pelaku usaha yang lain

Salah satu penilaian posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha dapat juga dinilai melalui afiliasi suatu pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain. Hubungan terafiliasi antar pelaku usaha ini terbagi menjadi dua jenis yaitu: a.) Jabatan rangkap

Dalam UU No.5/1999 terdapat pengaturan mengenai larangan jabatan rangkap. Pasal 26 UU No.5/1999 menegaskan larangan adanya jabatan rangkap:

“Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut:

a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau

b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau

(22)

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”54

Berdasarkan ketentuan pasal 26 ini jabatan rangkap baru dilarang apabila dengan hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Penilaian terhadap jabatan rangkap ini biasanya dilakukan pada proses merger atau akuisisi saham, apabila perusahaan melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain dan akibat akuisisi tersebut ditempatkan Komisaris atau Direksi, maka penempatan tersebut dapat dinilai apakah nantinya akan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di pasar bersangkutan atau tidak. Jabatan rangkap disini dapat dilakukan diantara perusahaan yang berada di pasar bersangkutan yang sama55 maupun perusahaan yang tidak bergerak di bidang usaha yang sama.56

Jabatan rangkap yang dilakukan diantara pelaku usaha yang bergerak di bidang yang sama penilaiannya dilakukan melalui besarnya saham yang dimiliki dan pangsa pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang mengambilalih dan pangsa pasar yang diambilalih (secara horizontal).

Jabatan rangkap juga dapat dilakukan diantara pelaku usaha yang tidak bergerak dalam bidang usaha yang sama, diantara pelaku usaha tersebut mempunyai keterkaitan usaha dalam proses produksi barang dari pasar hulu ke pasar hilir. Dalam hal ini antar pelaku usaha tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha.

54

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps.26.

55

Ibid, Ps. 26 huruf a.

56

(23)

Jabatan rangkap juga dapat dinilai melalui pangsa pasar perusahaan-perusahaan tempat dimana seseorang merangkap jabatan sebagai Direksi atau Komisaris.57 Dua atau tiga pelaku usaha dikatakan memegang posisi dominan apabila memiliki pangsa pasar lebih dari 75%. Jabatan rangkap Direksi atau Komisaris yang dimiliki oleh seseorang dapat menimbulkan hambatan persaingan bagi pelaku usaha pesaingnya, hal ini disebabkan kedua perusahaan tempat dimana seseorang memegang jabatan rangkap tersebut akan menimbulkan perilaku yang sama ke pasar yang mengakibatkan pelaku usaha tersebut dapat bertindak sebagai satu pelaku usaha. Perilaku seperti inilah yang berpotensi menghilangkan persaingan di suatu pasar yang bersangkutan.58

b.) Kepemilikan saham silang

Hubungan afiliasi antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain dapat juga dilihat dari kepemilikan saham suatu pelaku usaha di dua atau lebih perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang sama atau dengan pelaku usaha yang lain. Dalam UU No.5/1999 terdapat larangan memiliki saham mayoritas.59

Kepemilikan saham mayoritas ini bisa terjadi pada beberapa perusahaan sejenis yang bergerak di bidang usaha yang sama di pasar bersangkutan yang sama atau dapat berupa pendirian beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang mengakibatkan: a.) satu pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;

57

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps. 26 huruf c.

58

Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.185.

59

(24)

b.) dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Kepemilikan saham mayoritas oleh pelaku usaha di beberapa perusahaan harus dibuktikan terlebih dahulu kemudian dibuktikan penguasaan pangsa pasar di pasar yang bersangkutan60 setelah itu dibuktikan apakah posisi dominan yang dimiliki oleh pemilik saham mayoritas tersebut disalahgunakan untuk menciptakan suatu persaingan usaha yang tidak sehat di suatu pasar bersangkutan. 2.2.3 Kontrol terhadap merger

Kebijakan merger selain dapat menciptakan efisiensi bagi pelaku usaha dapat juga menghilangkan persaingan yang ada antara pihak yang melakukan merger. Hal ini tentu akan mengurangi jumlah pesaing yang berada di dalam pasar dan dikhawatirkan dapat merusak iklim persaingan dalam suatu pasar bersangkutan dan berpotensi menimbulkan tindakan anti persaingan seperti penyalahgunaan posisi dominan. Bisa saja dengan merger yang dilakukan dua atau lebih pelaku usaha ini mengakibatkan pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan di suatu pasar bersangkutan. Sebagai upaya untuk mencegah adanya pemusatan konsentrasi pasar sehingga menimbulkan posisi dominan yang dihasilkan dari tindakan merger tersebutmaka perlu dibentuk pengaturan kontrol terhadap merger.

Dalam UU No. 5/1999 terdapat larangan terhadap penggabungan atau peleburan badan usaha serta pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat

60

(25)

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.61 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 201062 (untuk selanjutnya disebut PP No. 57/2010) praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilarang salah satunya adalah penyalahgunaan posisi dominan.63

Pengaturan mengenai batasan nilai aset atau penjualan yang ditetapkan pemerintah terhadap merger diatur di PP No.57/2010, apabila nilai dari merger yang dilakukan pelaku usaha melebihi batas nilai yang ditetapkan oleh pemerintah maka pelaku usaha tersebut wajib melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk kemudian dianalisa apakah merger tersebut dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di dalam pasar bersangkutan.64 Batasan nilai aset atau nilai penjualan yang ditetapkan pemerintah adalah nilai aset sebesar Rp. 2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar rupiah) dan/atau nilai penjualan sebesar Rp. 5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah)65, sedangkan untuk pelaku usaha bidang perbankan batasan nilai aset melebihi Rp. 20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah).66

Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian terhadap merger ini berdasarkan PP No.57/2010 dilakukan dengan metode ex post yaitu penilaian

61

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal 28.

62

(26)

terhadap merger baru dilakukan setelah merger diantara pelaku usaha tersebut berlaku efektif secara yuridis.67

2.3 Pengaturan Posisi Dominan di Indonesia dan ASEAN

2.3.1 Pengaturan posisi dominan di Indonesia

Di Indonesia pengaturan mengenai posisi dominan dapat ditemui dalam UU No.5/1999. Pasal yang mengatur mengenai posisi dominan terdapat dalam Bab V yang terdiri dari empat bagian dan lima pasal, sedangkan pasal yang mengatur secara khusus mengenai praktek posisi dominan terdapat di dalam pasal 25 UU No.5/1999.

Dalam undang-undang ini pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% pangsa pasar atau lebih bagi pelaku usaha perorangan dan 75% atau lebih pangsa pasar di suatu pasar bersangkutan bagi kelompok pelaku usaha.68

Penguasaan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha tidaklah dilarang, yang dilarang adalah apabila penguasaan posisi dominan itu disalahgunakan oleh suatu pelaku usaha untuk melakukan tindakan anti kompetisi yang pada akhirnya menciptakan suatu persaingan usaha yang tidak sehat di suatu pasar bersangkutan. Hal ini dapat dilihat di dalam pasal 25 ayat (1) UU No.5/1999 yang secara tegas mengatur bahwa:

“Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:

67

Ibid, Pasal 3.

68

(27)

a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau

b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi untuk menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.”69

Dalam UU No.5/1999 selain terdapat pengaturan mengenai kepemilikan posisi dominan dan penyalahgunaannya, juga terdapat pengaturan yang terkait dengan kepemilikan posisi dominan yaitu hubungan afiliasi dengan pihak lain yang dibagi menjadi dua yaitu jabatan rangkap dan kepemilikan saham silang serta terdapat juga pengaturan mengenai kontrol terhadap merger.

Dalam hukum persaingan usaha terdapat dua jenis pendekatan yang digunakan untuk menentukan apakah pelaku usaha tersebut melanggar ketentuan undang-undang yaitu pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of reason. Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal tanpa disertai pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.70 Pendekatan lainnya adalah rule of reason yaitu pendekatan yang digunakan lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan usaha tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.71 Berbeda dengan pendekatan per se illegal, dalam rule of reason diperlukan

69

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., ps.25 ayat (1).

70

Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.55.

(28)

analisis lebih lanjut mengenai akibat yang ditimbulkan dari suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu terhadap persaingan.

Pasal 25 UU No.5/1999 ini dilihat secara kontekstual menggunakan pendekatan per se illegal namun dalam prakteknya pendekatan yang dilakukan lembaga otoritas persaingan usaha dalam menentukan suatu pelaku usaha melakukan penyalahgunaan posisi dominan atau tidak adalah pendekatan rule of

reason. Pendekatan rule of reason ini digunakan mengingat penguasaan posisi

dominan bukanlah suatu pelanggaran dalam hukum persaingan usaha. Penguasaan posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha bisa jadi diperoleh karena efisiensi dan inovasi-inovasi yang dilakukannya sehingga menghasilkan suatu produk yang lebih berkualitas dibandingkan dengan produk dari pelaku usaha pesaingnya. Perbuatan yang dilarang adalah ketika posisi dominan yang dimiliki pelaku usaha tersebut disalahgunakan untuk menimbulkan praktek persaingan tidak sehat di suatu pasar bersangkutan.

(29)

sebagai wujud dari pendekatan rule of reason yang digunakan di pasal 25 UU No.5/1999.

2.3.2 Pengaturan posisi dominan di negara-negara ASEAN

Pengaturan mengenai posisi dominan diantara negara-negara anggota ASEAN tidaklah sama. Tidak semua negara di kawasan ASEAN memiliki instrumen hukum persaingan usaha di negaranya terutama yang mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan.

Bagian ini akan membahas mengenai pengaturan posisi dominan yang terdapat di negara-negara kawasan ASEAN.

1. Brunei Darussalam

Di negara Brunei Darussalam tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai persaingan usaha secara umum, namun negara ini menerapkan kebijakan yang terkait dengan persaingan secara sektoral.

Dalam hal ini, kebijakan terkait persaingan usaha diterapkan dalam sektor telekomunikasi yang diatur dalam Authority for Info-communications Technology

Industry of Brunei Darussalam Order 2001 (the AITI Order) dan the

Telecommunications Order 2001 (the Telecommunications Order)72yang berlaku

bagi seluruh pelaku usaha yang bergerak di bidang teknologi telekomunikasi.

Telecommunications Order 2001 merupakan kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah Brunei Darussalam yang berkaitan dengan sistem dan layanan telekomunikasi di Brunei Darussalam.

72

(30)

Di dalam kebijakan ini tidak ditemui pengaturan yang secara spesifik mengatur mengenai posisi dominan dan bentuk penyalahgunaannya.Dalam kedua kebijakan ini hanya diatur mengenai larangan bagi the AiTi yang merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Brunei Darussalam sebagai pengatur dan penyedia sistem dan layanan telekomunikasi di negara tersebutuntuk mendominasi penggunaan hak ekslusif yang diberikan undang-undang kepadanya. 2. Filipina

Berbeda dengan Brunei Darussalam yang pengaturan mengenai persaingan usahanya hanya bersifat sektoral, Filipina mempunyai beberapa peraturan yang mengatur mengenai persaingan usaha diantaranya terdapat dalam

The 1987 Constitution of The Republic of The Philippines, Article XII

Sections 1, 6, 11, 19, 22; The Revised Penal Code of The Philippines Article 186

(amendment by Republic Act No.1956) Section 1 paragraph d (5) of Republic Act

No.7080; The New Civil Code of The Philippines (R.A. No.386) article 28; dan

The Act to Prohibit Monopolies and Combinations in Restraint of Trade Section

6. Selain beberapa aturan tersebut terdapat juga peraturan yang mengatur persaingan usaha secara sektoral seperti Price Act (R.A. No.7581) Section 5; The Cooperative Code (R.A. No. 6938) Article 8; The Downstream Oil Industry

Deregulation Act of 1988 (R.A. No.8479) Rule III Section 9 and Rule IV Section

15; dan The Corporation Code (Act No.68) yang mengatur mengenai kontrol

terhadap merger.73

73

(31)

Dalam hukum persaingan usaha di negara ini tidak ditemui aturan yang mengatur secara spesifik mengenai penguasaan posisi dominan. Aturan persaingan usaha di negara ini lebih menekankan pada larangan terhadap praktek monopoli dan segala tindakan yang dapat mengganggu persaingan sehat seperti praktek monopoli, predatory pricing, dan kartel.

Selain itu pengaturan persaingan usaha di negara ini juga mengatur mengenai kontrol terhadap merger. Kontrol terhadap merger ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya posisi dominan sehingga menyebabkan berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan yang dapat terjadi di suatu pasar bersangkutan akibat tindakan merger tersebut.

3. Kamboja

Di negara Kamboja belum terdapat pengaturan yang komperhensif mengatur mengenai persaingan usaha. Di negara ini terdapat rancangan undang-undang yang mengatur mengenai persaingan usaha yang masih dalam tahap pembahasan. Rancangan undang-undang ini nantinya akan berlaku untuk seluruh kegiatan produksi dan distribusi barang serta penyediaan jasa baik oleh perusahaan publik maupun swasta serta yang dilakukan oleh perseorangan maupun badan hukum.

Praktek persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam rancangan undang-undang ini meliputi penyalahgunaan posisi dominan, perjanjian yang menimbulkan tindakan anti persaingan serta terdapat juga pengaturan kontrol terhadap merger maupun akuisisi.

(32)

Di negara Laos, persaingan usaha diatur dalam Decree 15/PMO(4/2/2004) on Trade Competition.

Dalam aturan ini dicantumkan mengenai definisi posisi dominan yang terdapat dalam article 2 yaitu :“market dominance means sales volume or market share of any goods or services of one or more business entities is above that

prescribed by the Trade Competition Commission.”74

Berdasarkan definisi diatas posisi dominan merupakan keadaan dimana volume penjualan atau pangsa pasar suatu barang atau jasa satu atau lebih pelaku usaha berada diatas yang ditetapkan oleh Trade Competition Commission (TCC).

Dalam undang-undang ini tidak ditemui pengaturan yang mengatur secara spesifik mengenai penyalahgunaan posisi dominan, bentuk penyalahgunaan dominasi pasar yang diatur dalam undang-undang ini adalah monopoli. Monopoli disini diartikan sebagai dominasi pasar yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha.75

Berdasarkan analisis terhadap Decree No.15 PMO (4/2/2004) on Trade

Competition kepemilikan posisi dominan oleh pelaku usaha tidaklah dilarang,

posisi dominan ini baru dilarang apabila diperoleh akibat dari tindakan yang dilarang dalam aturan ini dan posisi dominan tersebut tidak ditujukan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain atau untuk membatasi persaingan, hal ini dapat dilihat dalam article 9 mengenai merger dan akuisisi.

74

Decree No. 15/PMO (4/2/2004) on Trade Competition, article 2.

(33)

Dominasi pasar dalam peraturan ini juga dilarang apabila terjadi karena penunjukan atau pemberian kewenangan terhadap satu pelaku usaha untuk melakukan penjualan produk atau penyediaan jasa di satu pasar.76

5. Malaysia

Di Malaysia pengaturan mengenai persaingan usaha secara umum dapat ditemui dalam The Competition Act 2010, selain peraturan tersebut terdapat beberapa peraturan khusus yang mengatur persaingan usaha di beberapa sektor tertentu yaitu The Communications and Multimedia Act 1998, The Energy

Commission Act 2001, The Electricity Supply Act 1990 dan The Gas Supply Act

1993, sedangkan pengaturan mengenai penegakan hukum persaingan usaha diatur di dalam The Competition Commission Act 2010.

Dalam The Competition Act 2010 posisi dominan didefinisikan sebagai “a situation in which one or more enterprises possess such significant power in a

market to adjust prices or outputs or trading terms, without effective constraint

from competitiors or potential competitors.”77

Berdasarkan definisi ini posisi dominan merupakan keadaan dimana satu atau lebih pelaku usaha memiliki kekuatan yang signifikan di suatu pasar untuk melakukan pengaturan terhadap harga, produk yang dihasilkan serta memberikan persyaratan perdagangan tanpa menemui perlawanan efektif dari pelaku usaha pesaingnya baik yang telah ada di pasar maupun pesaing potensial.

76

Ibid, article 10.

77

(34)

Dalam undang-undang ini secara tegas melarang adanya penyalahgunaan posisi dominan namun tidak mengatur mengenai pengaturan terkait dengan posisi dominan seperti kontrol terhadap merger maupun hubungan afiliasi dengan pihak lain. Bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang dalam undang-undang ini diantaranya adalah tindakan predator, refusal to supply dan pemberlakuan

unfair condition terhadap konsumen atau pelaku usaha pesaing. Bentuk-bentuk

penyalahgunaan posisi dominan diatur secara rinci dalam chapter 2 article 10 (2). Dalam undang-undang ini tidak melarang pemegang posisi dominan untuk mengambil kebijakan komersial yang wajar sebagai respon atas masuknya atau perilaku pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha pesaingnya.78 Berdasarkan ketentuan ini dapat diartikan bahwa penguasaan posisi dominan oleh pelaku usaha sebagai konsekuensi dari inovasi dan efisiensi yang dilakukannya dalam menghasilkan produk tidaklah dilarang dalam undang ini. Dalam undang-undang ini penentuan mengenai posisi dominan dan penyalahgunaannya dilakukan oleh The Competition Commision of Malaysia.

Di negara ini dalam menentukan posisi dominan dilakukan pendekatan rule

of reason dimana suatu komisi pengawas persaingan melakukan analisis terhadap

unsur-unsur posisi dominan diantaranya pasar bersangkutan, pangsa pasar serta kemampuan dari pelaku usaha untuk mengambil kebijakan secara mandiri, ketentuan tersebut terdapat dalam The Communications and Multimedia Act 1998. 6. Myanmar

(35)

Di Myanmar belum ada pengaturan yang komperhensif mengenai persaingan usaha khususnya yang mengatur mengenai posisi dominan. Namun terdapat larangan monopoli atau tindakan manipulasi harga yang dapat membahayakan persaingan sehat di dalam suatu kegiatan ekonomi. Hal tersebut dapat ditemui dalam article 36b the New Constituton.

7. Singapura

Di Singapura pengaturan mengenai persaingan usaha dapat ditemui dalam

The Competition Act (Chapter 50B of Singapore Statutes). Pengaturan ini berlaku

untuk perbuatan baik yang dilakukan secara perseorangan maupun badan hukum yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi tanpa memperhatikan status hukum maupun sumber dana pelaku usaha tersebut, hal ini diatur dalam section 2 dan 33 dalam undang-undang ini.

(36)

tersebut dapat dikategorikan ke dalam penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang dalam undang-undang ini.79

Penentuan penyalahgunaan posisi dominan dalam hal ini dilakukan oleh

Competition Commission Singapore (CCS). Terdapat 2 tes yang digunakan dalam

menentukan apakah terdapat penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha, yaitu apakah pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan dalam pasar bersangkutan yang terdiri dari pasar produk dan pasar geografis baik di Singapura maupun di tempat lain serta apakah dengan posisi dominan yang dimilikinya pelaku usaha melakukan tindakan-tindakan anti persaingan yang bertujuan untuk menghalangi atau bahkan menutup akses pelaku usaha pesaingnya untuk masuk ke dalam suatu pasar di Singapura.

Terdapat 4 kriteria untuk menentukan apakah pelaku usaha memegang posisi dominan di pasar bersangkutan yaitu:80

a. Pelaku usaha tersebut memiliki pangsa pasar sebesar 60% atau lebih;

b. Hanya terdapat sedikit atau bahkan tidak ada pelaku usaha pesaing yang dapat dituju oleh konsumen di pasar bersangkutan;

c. Konsumen tidak memiliki daya tawar yang signifikan;

d. Pelaku usaha baru merasa sulit untuk memasuki pasar diantaranya disebabkan biaya modal yang tinggi atau hambatan teknologi.

79Anti Competitive Behaviour Abuse of Dominance”,

www.ccs.gov.sg diakses pada tanggal 21 November 2014.

80

(37)

Langkah selanjutnya adalah menentukan apakah dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha itu melakukan tindakan penyalahgunaan yang dapat membatasi persaingan seperti exclusive dealing dan predatory pricing.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa pendekatan yang digunakan oleh Singapura dalam menerapkan ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan adalah rule of reason.

Dalam undang-undang ini juga ditemui pengaturan terkait posisi dominan dalam hal ini kontrol terhadap merger.Singapura melarang tindakan merger yang dapat menyebabkan berkurangnya tingkat persaingan di pasar bersangkutan baik di bidang barang maupun jasa.Sehingga dalam undang-undang ini kontrol terhadap merger dimaksudkan untuk mencegah adanya posisi dominan yang dapat timbul akibat tindakan merger tersebut.

8. Thailand

Undang-undang yang mengatur mengenai persaingan usaha yang berlaku di Thailand adalah Trade Competition Act B.E. 2542 (1999). Di undang-undang ini mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan serta pengaturan lain terkait dengan posisi dominan yaitu kontrol terhadap merger.

Dalam undang-undang ini larangan terhadap penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position) terdapat dalam section 25 Trade

Competition Act B.E. 2542 (1999).

(38)

pengawas yang berwenang.81 Nilai tersebut diatur secara rinci dalam Notification

by Trade Competition Commission, berdasarkan aturan ini suatu pelaku usaha

dikatakan memiliki posisi dominan apabila:

1.) Pelaku usaha tersebut pada tahun sebelumnya memiliki pangsa pasar lebih dari

50% dan memiliki omset paling sedikit 1.000 juta baht;

2.) Tiga besar pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar gabungan lebih darin 75% pada tahun sebelumnya dan memiliki omset sedikitnya 1.000 juta baht.82

Dalam section 25 Trade Competition Act B.E. 2542 (1999) ditegaskan bahwa pelaku usaha pemegang posisi dominan di suatu pasar dilarang melakukan tindakan anti persaingan diantaranya adalah: predatory pricing, exclusive dealing,

dan refusal to supply.

Selain mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan, dalam Trade

Competition Act B.E. 2542 (1999) juga terdapat pengaturan kontrol terhadap

merger, hal ini untuk mencegah timbulnya pemusatan konsentrasi dalam suatu pasar kepada pelaku usaha tertentu yang akan menimbulkan dampak terhadap persaingan di pasar bersangkutan. Undang-undang ini melarang tindakan merger yang dapat menimbulkan monopoli dan praktek persaingan usaha yang tidak sehat di suatu pasar bersangkutan.

Kewenangan untuk menentukan penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha di negara ini berada pada Trade Competition Commission (TCC). Dalam menentukan apakah tindakan pelaku usaha pemegang posisi dominan

81Trade Competition Act B.E. 2542 (1999), Section 3.

82“Thailand Antitrust Law Competition”,

(39)

dapat dikatakan sebagai tindakan penyalahgunaan posisi dominan terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap tindakan pelaku usaha tersebut83, sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan dalam undang-undang ini menggunakan pendekatan rule of reason.

9. Vietnam

Di Vietnam pengaturan mengenai persaingan usaha terdapat di The

Competition Law No. 27/2004/QH11 dan beberapa ketentuan penunjuk yang

berkaitan dengan undang-undang ini. Undang-undang ini berlaku bagi seluruh pelaku usaha baik di bidang penyediaan barang dan jasa bagi kepentingan umum maupun di sektor lainnya, undang-undang ini juga berlaku bagi pelaku usaha asing dan asosiasi profesional yang beroperasi di Vietnam. Dalam undang-undang ini terdapat pengaturan yang mengatur secara spesifik mengenai posisi dominan selain itu juga terdapat pengaturan yang terkait dengan kepemilikan posisi dominan yaitu kontrol terhadap merger.

“Berdasarkan undang-undang yang berlaku di negara ini suatu pelaku usaha dikatakan memegang posisi dominan apabila memiliki pangsa pasar sebesar 30% atau lebih atau pelaku usaha tersebut mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan yang membatasi persaingan,84 sedangkan untuk dua pelaku usaha atau lebih dikatakan memegang posisi dominan di suatu pasar jika kelompok pelaku usaha tersebut mengambil tindakan bersama untuk membatasi persaingan dan termasuk ke dalam salah satu :

a. Dua pelaku usaha yang mempunyai jumlah pangsa pasar sebesar 50 % atau lebih di pasar bersangkutan;

b. Tiga pelaku usaha yang mempunyai jumlah pangsa pasar sebesar 65 % atau lebih di pasar bersangkutan; dan

83

Ibid, diakses pada tanggal 22 November 2014.

(40)

c. Empat pelaku usaha yang mempunyai jumlah pangsa pasar sebesar 75 % atau lebih di pasar bersangkutan.”85

Dalam undang-undang ini terdapat pengaturan mengenai kontrol terhadap merger guna mencegah adanya pemusatan konsentrasi pasar di suatu pasar bersangkutan yang dapat menimbulkan posisi dominan terhadap para pelaku usaha yang melakukan merger.

Undang-undang ini dengan tegas melarang pelaku usaha pemegang posisi dominan untuk melakukan praktek persaingan usaha yang tidak sehat, diantaranya adalah predatory pricing dan exclusive dealing.

Vietnam dengan tegas melarang pemegang posisi dominan untuk melakukan penyalahgunaan yang dapat memberikan dampak terhadap persaingan, hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang digunakan pada pasal penyalahgunaan posisi dominan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan pendekatan yang digunakan Vietnam dalam menerapkan pasal penyalahgunaan posisi dominan adalah per se illegal.

Tidak semua negara-negara anggota ASEAN memiliki instrumen hukum persaingan usaha yang komperhensif dan mengatur tentang kepemilikan posisi dominan di negaranya. Diantara kesepuluh anggota ASEAN, negara yang telah memiliki instrumen hukum persaingan usaha adalah Indonesia, Filipina, Laos, Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam.

Dari ketujuh negara yang mempunyai instrumen hukum persaingan usaha tersebut hanya lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan

85

(41)

Vietnam yang mengatur secara spesifik mengenai penyalahgunaan posisi dominan.

Dalam pengaturan mengenai posisi dominan yang terdapat di negara-negara tersebut masih terdapat ketidakseragaman terkait dengan definisi pelaku usaha, definisi pasar bersangkutan dan jumlah penguasaan pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan sebagai posisi dominan.

Selain itu untuk pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi dominan juga masih terlihat adanya perbedaan terkait dengan bentuk penyalahgunaan yang dilarang serta jenis pendekatan yang digunakan untuk menerapkan pasal mengenai penyalahgunaan posisi dominan.

Berdasarkan analisis dari undang-undang persaingan usaha yang berlaku di negara-negara ASEAN ketidakharmonisasian terlihat dalam pengaturan terkait posisi dominan di kawasan ASEAN.

Indonesia Laos Malaysia Singapura Thailand Vietnam Filipina

(42)

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat masih adanya ketidakseragaman terkait dengan pengaturan tentang posisi dominan. Dalam kebijakan persaingan usaha yang berlaku di negara ASEAN tidak semuanya terdapat pengaturan tentang penyalahgunaan posisi dominan. Negara di ASEAN yang tidak mengatur penyalahgunaan posisi dominan secara spesifik adalah Laos dan Filipina.

Selain mengenai penyalahgunaan posisi dominan, perbedaan juga dapat dilihat dari pengaturan tentang posisi dominan yaitu hubungan afiliasi dengan pihak lain dalam hal ini adalah jabatan rangkap dan kepemilikan saham silang. Dari seluruh negara ASEAN yang telah mempunyai instrumen hukum persaingan usaha yang komperhensif hanya Indonesia yang didapati mempunyai pengaturan mengenai hubungan afiliasi dengan pihak lain dalam hal ini berupa jabatan rangkap dan kepemilikan saham silang.

Perbedaan diantara negara-negara anggota ASEAN juga terlihat dari pengaturan kontrol terhadap merger. Di kawasan ASEAN masih terdapat negara yang belum mengatur secara spesifik mengenai kontrol terhadap merger, hal ini dapat ditemui di Malaysia yang tidak mempunyai pengaturan mengenai kontrol terhadap merger dalam hukum persaingan usahanya.

(43)

Gambar

Tabel II.1

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel fundamental yang diukur oleh profitabilitas, ukuran perusahaan dan struktur aktiva terhadap struktur modal

memilih judul Analisis Sumber dan Penggunaan Modal Kerja padaPT PLN (Persero) Pembangkitan Sumbagsel Sektor Pembangkitan Keramasan Palembang. 1.2

Dalam menghubungkan adab dengan keseimbangan alam ataupun ekologi, Ziauddin Sardar menggariskan tujuh prinsip utama iaitu; Kesedaran sikap terhadap pertautan antara setiap ahli

Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan peserta didik kelas XII Ilmu-Ilmu Sosial di Madrasah Aliyah Negeri 1 Pekanbaru, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah

hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara harga diri dengan tingkah laku menolong pada remaja. Semakin tinggi harga diri

Studi Tentang Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Aktifitas Fisik saat Puasa dan Tidak Puasa pada Mahasiswa Putri Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian

Dilihat dari identifikasi masalah dapat diketahui banyaknya masalah yang berkaitan dengan prokrastinasi akademik maka penelitian ini dibatasi. pada hubungan antara

Operasi panel surya sepsrti di atas utrtuk aplikasi teftetrtu k:wang disukai karena tidak bekerja pada kondisi optimahya. Agar dapat bekerja pada kodisi optiDialnya maka arus