• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3 Pengaturan Posisi Dominan di Indonesia dan ASEAN

2.3.2 Pengaturan posisi dominan di negara-negara ASEAN

Pengaturan mengenai posisi dominan diantara negara-negara anggota ASEAN tidaklah sama. Tidak semua negara di kawasan ASEAN memiliki instrumen hukum persaingan usaha di negaranya terutama yang mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan.

Bagian ini akan membahas mengenai pengaturan posisi dominan yang terdapat di negara-negara kawasan ASEAN.

1. Brunei Darussalam

Di negara Brunei Darussalam tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai persaingan usaha secara umum, namun negara ini menerapkan kebijakan yang terkait dengan persaingan secara sektoral.

Dalam hal ini, kebijakan terkait persaingan usaha diterapkan dalam sektor telekomunikasi yang diatur dalam Authority for Info-communications Technology

Industry of Brunei Darussalam Order 2001 (the AITI Order) dan the

Telecommunications Order 2001 (the Telecommunications Order)72yang berlaku

bagi seluruh pelaku usaha yang bergerak di bidang teknologi telekomunikasi.

Telecommunications Order 2001 merupakan kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah Brunei Darussalam yang berkaitan dengan sistem dan layanan telekomunikasi di Brunei Darussalam.

72

ASEAN Secretariat, Handbook on Competition Policy and Law in ASEAN for Business 2013, Jakarta, May 2013, h.14.

Di dalam kebijakan ini tidak ditemui pengaturan yang secara spesifik mengatur mengenai posisi dominan dan bentuk penyalahgunaannya.Dalam kedua kebijakan ini hanya diatur mengenai larangan bagi the AiTi yang merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Brunei Darussalam sebagai pengatur dan penyedia sistem dan layanan telekomunikasi di negara tersebutuntuk mendominasi penggunaan hak ekslusif yang diberikan undang-undang kepadanya. 2. Filipina

Berbeda dengan Brunei Darussalam yang pengaturan mengenai persaingan usahanya hanya bersifat sektoral, Filipina mempunyai beberapa peraturan yang mengatur mengenai persaingan usaha diantaranya terdapat dalam

The 1987 Constitution of The Republic of The Philippines, Article XII Sections 1, 6, 11, 19, 22; The Revised Penal Code of The Philippines Article 186 (amendment by Republic Act No.1956) Section 1 paragraph d (5) of Republic Act

No.7080; The New Civil Code of The Philippines (R.A. No.386) article 28; dan

The Act to Prohibit Monopolies and Combinations in Restraint of Trade Section 6. Selain beberapa aturan tersebut terdapat juga peraturan yang mengatur persaingan usaha secara sektoral seperti Price Act (R.A. No.7581) Section 5; The Cooperative Code (R.A. No. 6938) Article 8; The Downstream Oil Industry Deregulation Act of 1988 (R.A. No.8479) Rule III Section 9 and Rule IV Section

15; dan The Corporation Code (Act No.68) yang mengatur mengenai kontrol

terhadap merger.73

73

Dalam hukum persaingan usaha di negara ini tidak ditemui aturan yang mengatur secara spesifik mengenai penguasaan posisi dominan. Aturan persaingan usaha di negara ini lebih menekankan pada larangan terhadap praktek monopoli dan segala tindakan yang dapat mengganggu persaingan sehat seperti praktek monopoli, predatory pricing, dan kartel.

Selain itu pengaturan persaingan usaha di negara ini juga mengatur mengenai kontrol terhadap merger. Kontrol terhadap merger ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya posisi dominan sehingga menyebabkan berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan yang dapat terjadi di suatu pasar bersangkutan akibat tindakan merger tersebut.

3. Kamboja

Di negara Kamboja belum terdapat pengaturan yang komperhensif mengatur mengenai persaingan usaha. Di negara ini terdapat rancangan undang-undang yang mengatur mengenai persaingan usaha yang masih dalam tahap pembahasan. Rancangan undang-undang ini nantinya akan berlaku untuk seluruh kegiatan produksi dan distribusi barang serta penyediaan jasa baik oleh perusahaan publik maupun swasta serta yang dilakukan oleh perseorangan maupun badan hukum.

Praktek persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam rancangan undang-undang ini meliputi penyalahgunaan posisi dominan, perjanjian yang menimbulkan tindakan anti persaingan serta terdapat juga pengaturan kontrol terhadap merger maupun akuisisi.

Di negara Laos, persaingan usaha diatur dalam Decree 15/PMO(4/2/2004) on Trade Competition.

Dalam aturan ini dicantumkan mengenai definisi posisi dominan yang terdapat dalam article 2 yaitu :“market dominance means sales volume or market share of any goods or services of one or more business entities is above that

prescribed by the Trade Competition Commission.”74

Berdasarkan definisi diatas posisi dominan merupakan keadaan dimana volume penjualan atau pangsa pasar suatu barang atau jasa satu atau lebih pelaku usaha berada diatas yang ditetapkan oleh Trade Competition Commission (TCC).

Dalam undang-undang ini tidak ditemui pengaturan yang mengatur secara spesifik mengenai penyalahgunaan posisi dominan, bentuk penyalahgunaan dominasi pasar yang diatur dalam undang-undang ini adalah monopoli. Monopoli disini diartikan sebagai dominasi pasar yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha.75

Berdasarkan analisis terhadap Decree No.15 PMO (4/2/2004) on Trade

Competition kepemilikan posisi dominan oleh pelaku usaha tidaklah dilarang,

posisi dominan ini baru dilarang apabila diperoleh akibat dari tindakan yang dilarang dalam aturan ini dan posisi dominan tersebut tidak ditujukan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain atau untuk membatasi persaingan, hal ini dapat dilihat dalam article 9 mengenai merger dan akuisisi.

74

Decree No. 15/PMO (4/2/2004) on Trade Competition, article 2.

Dominasi pasar dalam peraturan ini juga dilarang apabila terjadi karena penunjukan atau pemberian kewenangan terhadap satu pelaku usaha untuk melakukan penjualan produk atau penyediaan jasa di satu pasar.76

5. Malaysia

Di Malaysia pengaturan mengenai persaingan usaha secara umum dapat ditemui dalam The Competition Act 2010, selain peraturan tersebut terdapat beberapa peraturan khusus yang mengatur persaingan usaha di beberapa sektor tertentu yaitu The Communications and Multimedia Act 1998, The Energy

Commission Act 2001, The Electricity Supply Act 1990 dan The Gas Supply Act

1993, sedangkan pengaturan mengenai penegakan hukum persaingan usaha diatur di dalam The Competition Commission Act 2010.

Dalam The Competition Act 2010 posisi dominan didefinisikan sebagai “a

situation in which one or more enterprises possess such significant power in a market to adjust prices or outputs or trading terms, without effective constraint

from competitiors or potential competitors.”77

Berdasarkan definisi ini posisi dominan merupakan keadaan dimana satu atau lebih pelaku usaha memiliki kekuatan yang signifikan di suatu pasar untuk melakukan pengaturan terhadap harga, produk yang dihasilkan serta memberikan persyaratan perdagangan tanpa menemui perlawanan efektif dari pelaku usaha pesaingnya baik yang telah ada di pasar maupun pesaing potensial.

76

Ibid, article 10.

77

Dalam undang-undang ini secara tegas melarang adanya penyalahgunaan posisi dominan namun tidak mengatur mengenai pengaturan terkait dengan posisi dominan seperti kontrol terhadap merger maupun hubungan afiliasi dengan pihak lain. Bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang dalam undang-undang ini diantaranya adalah tindakan predator, refusal to supply dan pemberlakuan

unfair condition terhadap konsumen atau pelaku usaha pesaing. Bentuk-bentuk

penyalahgunaan posisi dominan diatur secara rinci dalam chapter 2 article 10 (2). Dalam undang-undang ini tidak melarang pemegang posisi dominan untuk mengambil kebijakan komersial yang wajar sebagai respon atas masuknya atau perilaku pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha pesaingnya.78 Berdasarkan ketentuan ini dapat diartikan bahwa penguasaan posisi dominan oleh pelaku usaha sebagai konsekuensi dari inovasi dan efisiensi yang dilakukannya dalam menghasilkan produk tidaklah dilarang dalam undang ini. Dalam undang-undang ini penentuan mengenai posisi dominan dan penyalahgunaannya dilakukan oleh The Competition Commision of Malaysia.

Di negara ini dalam menentukan posisi dominan dilakukan pendekatan rule

of reason dimana suatu komisi pengawas persaingan melakukan analisis terhadap

unsur-unsur posisi dominan diantaranya pasar bersangkutan, pangsa pasar serta kemampuan dari pelaku usaha untuk mengambil kebijakan secara mandiri, ketentuan tersebut terdapat dalam The Communications and Multimedia Act 1998. 6. Myanmar

Di Myanmar belum ada pengaturan yang komperhensif mengenai persaingan usaha khususnya yang mengatur mengenai posisi dominan. Namun terdapat larangan monopoli atau tindakan manipulasi harga yang dapat membahayakan persaingan sehat di dalam suatu kegiatan ekonomi. Hal tersebut dapat ditemui dalam article 36b the New Constituton.

7. Singapura

Di Singapura pengaturan mengenai persaingan usaha dapat ditemui dalam

The Competition Act (Chapter 50B of Singapore Statutes). Pengaturan ini berlaku

untuk perbuatan baik yang dilakukan secara perseorangan maupun badan hukum yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi tanpa memperhatikan status hukum maupun sumber dana pelaku usaha tersebut, hal ini diatur dalam section 2 dan 33 dalam undang-undang ini.

Praktek penyalahgunaan posisi dominan termasuk tindakan yang dilarang secara tegas dalam undang-undang ini. Pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi dominan diatur di section 47 The Competition Act. Posisi dominan yang diperoleh pelaku usaha sebagai hasil atas inovasi dan efisiensi yang dilakukannya dalam menghasilkan produk yang diminati konsumen tidaklah dilarang. Posisi dominan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi pelaku usaha, namun ketika pelaku usaha tersebut berusaha melindungi bahkan meningkatkan posisi dominan di pasar dengan cara yang tidak kompetitif bahkan cenderung membatasi persaingan dan pada akhirnya merugikan konsumen dan bisnis maka tindakan

tersebut dapat dikategorikan ke dalam penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang dalam undang-undang ini.79

Penentuan penyalahgunaan posisi dominan dalam hal ini dilakukan oleh

Competition Commission Singapore (CCS). Terdapat 2 tes yang digunakan dalam

menentukan apakah terdapat penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha, yaitu apakah pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan dalam pasar bersangkutan yang terdiri dari pasar produk dan pasar geografis baik di Singapura maupun di tempat lain serta apakah dengan posisi dominan yang dimilikinya pelaku usaha melakukan tindakan-tindakan anti persaingan yang bertujuan untuk menghalangi atau bahkan menutup akses pelaku usaha pesaingnya untuk masuk ke dalam suatu pasar di Singapura.

Terdapat 4 kriteria untuk menentukan apakah pelaku usaha memegang posisi dominan di pasar bersangkutan yaitu:80

a. Pelaku usaha tersebut memiliki pangsa pasar sebesar 60% atau lebih;

b. Hanya terdapat sedikit atau bahkan tidak ada pelaku usaha pesaing yang dapat dituju oleh konsumen di pasar bersangkutan;

c. Konsumen tidak memiliki daya tawar yang signifikan;

d. Pelaku usaha baru merasa sulit untuk memasuki pasar diantaranya disebabkan biaya modal yang tinggi atau hambatan teknologi.

79”Anti Competitive Behaviour Abuse of Dominance”, www.ccs.gov.sg diakses pada tanggal 21 November 2014.

80

How Do I Recognise Abuse of Dominance”, www.ccs.gov.sg diakses pada tanggal 21 November 2014.

Langkah selanjutnya adalah menentukan apakah dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha itu melakukan tindakan penyalahgunaan yang dapat membatasi persaingan seperti exclusive dealing dan predatory pricing.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa pendekatan yang digunakan oleh Singapura dalam menerapkan ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan adalah rule of reason.

Dalam undang-undang ini juga ditemui pengaturan terkait posisi dominan dalam hal ini kontrol terhadap merger.Singapura melarang tindakan merger yang dapat menyebabkan berkurangnya tingkat persaingan di pasar bersangkutan baik di bidang barang maupun jasa.Sehingga dalam undang-undang ini kontrol terhadap merger dimaksudkan untuk mencegah adanya posisi dominan yang dapat timbul akibat tindakan merger tersebut.

8. Thailand

Undang-undang yang mengatur mengenai persaingan usaha yang berlaku di Thailand adalah Trade Competition Act B.E. 2542 (1999). Di undang-undang ini mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan serta pengaturan lain terkait dengan posisi dominan yaitu kontrol terhadap merger.

Dalam undang-undang ini larangan terhadap penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position) terdapat dalam section 25 Trade

Competition Act B.E. 2542 (1999).

Menurut undang-undang ini pelaku usaha dapat dikatakan memegang posisi dominan apabila satu atau lebih pelaku usaha di pasar barang atau jasa memiliki pangsa pasar dan volume penjualan diatas yang ditentukan oleh lembaga

pengawas yang berwenang.81 Nilai tersebut diatur secara rinci dalam Notification

by Trade Competition Commission, berdasarkan aturan ini suatu pelaku usaha

dikatakan memiliki posisi dominan apabila:

1.) Pelaku usaha tersebut pada tahun sebelumnya memiliki pangsa pasar lebih dari 50% dan memiliki omset paling sedikit 1.000 juta baht;

2.) Tiga besar pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar gabungan lebih darin 75% pada tahun sebelumnya dan memiliki omset sedikitnya 1.000 juta baht.82

Dalam section 25 Trade Competition Act B.E. 2542 (1999) ditegaskan bahwa pelaku usaha pemegang posisi dominan di suatu pasar dilarang melakukan tindakan anti persaingan diantaranya adalah: predatory pricing, exclusive dealing,

dan refusal to supply.

Selain mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan, dalam Trade

Competition Act B.E. 2542 (1999) juga terdapat pengaturan kontrol terhadap

merger, hal ini untuk mencegah timbulnya pemusatan konsentrasi dalam suatu pasar kepada pelaku usaha tertentu yang akan menimbulkan dampak terhadap persaingan di pasar bersangkutan. Undang-undang ini melarang tindakan merger yang dapat menimbulkan monopoli dan praktek persaingan usaha yang tidak sehat di suatu pasar bersangkutan.

Kewenangan untuk menentukan penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha di negara ini berada pada Trade Competition Commission (TCC). Dalam menentukan apakah tindakan pelaku usaha pemegang posisi dominan

81Trade Competition Act B.E. 2542 (1999), Section 3.

82“Thailand Antitrust Law Competition”, www.thailawforum.com,diakses pada tanggal 22 November 2014.

dapat dikatakan sebagai tindakan penyalahgunaan posisi dominan terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap tindakan pelaku usaha tersebut83, sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan dalam undang-undang ini menggunakan pendekatan rule of reason.

9. Vietnam

Di Vietnam pengaturan mengenai persaingan usaha terdapat di The

Competition Law No. 27/2004/QH11 dan beberapa ketentuan penunjuk yang

berkaitan dengan undang-undang ini. Undang-undang ini berlaku bagi seluruh pelaku usaha baik di bidang penyediaan barang dan jasa bagi kepentingan umum maupun di sektor lainnya, undang-undang ini juga berlaku bagi pelaku usaha asing dan asosiasi profesional yang beroperasi di Vietnam. Dalam undang-undang ini terdapat pengaturan yang mengatur secara spesifik mengenai posisi dominan selain itu juga terdapat pengaturan yang terkait dengan kepemilikan posisi dominan yaitu kontrol terhadap merger.

“Berdasarkan undang-undang yang berlaku di negara ini suatu pelaku usaha dikatakan memegang posisi dominan apabila memiliki pangsa pasar sebesar 30% atau lebih atau pelaku usaha tersebut mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan yang membatasi persaingan,84 sedangkan untuk dua pelaku usaha atau lebih dikatakan memegang posisi dominan di suatu pasar jika kelompok pelaku usaha tersebut mengambil tindakan bersama untuk membatasi persaingan dan termasuk ke dalam salah satu :

a. Dua pelaku usaha yang mempunyai jumlah pangsa pasar sebesar 50 % atau lebih di pasar bersangkutan;

b. Tiga pelaku usaha yang mempunyai jumlah pangsa pasar sebesar 65 % atau lebih di pasar bersangkutan; dan

83

Ibid, diakses pada tanggal 22 November 2014.

c. Empat pelaku usaha yang mempunyai jumlah pangsa pasar sebesar 75 % atau lebih di pasar bersangkutan.”85

Dalam undang-undang ini terdapat pengaturan mengenai kontrol terhadap merger guna mencegah adanya pemusatan konsentrasi pasar di suatu pasar bersangkutan yang dapat menimbulkan posisi dominan terhadap para pelaku usaha yang melakukan merger.

Undang-undang ini dengan tegas melarang pelaku usaha pemegang posisi dominan untuk melakukan praktek persaingan usaha yang tidak sehat, diantaranya adalah predatory pricing dan exclusive dealing.

Vietnam dengan tegas melarang pemegang posisi dominan untuk melakukan penyalahgunaan yang dapat memberikan dampak terhadap persaingan, hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang digunakan pada pasal penyalahgunaan posisi dominan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan pendekatan yang digunakan Vietnam dalam menerapkan pasal penyalahgunaan posisi dominan adalah per se illegal.

Tidak semua negara-negara anggota ASEAN memiliki instrumen hukum persaingan usaha yang komperhensif dan mengatur tentang kepemilikan posisi dominan di negaranya. Diantara kesepuluh anggota ASEAN, negara yang telah memiliki instrumen hukum persaingan usaha adalah Indonesia, Filipina, Laos, Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam.

Dari ketujuh negara yang mempunyai instrumen hukum persaingan usaha tersebut hanya lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan

85

Vietnam yang mengatur secara spesifik mengenai penyalahgunaan posisi dominan.

Dalam pengaturan mengenai posisi dominan yang terdapat di negara-negara tersebut masih terdapat ketidakseragaman terkait dengan definisi pelaku usaha, definisi pasar bersangkutan dan jumlah penguasaan pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan sebagai posisi dominan.

Selain itu untuk pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi dominan juga masih terlihat adanya perbedaan terkait dengan bentuk penyalahgunaan yang dilarang serta jenis pendekatan yang digunakan untuk menerapkan pasal mengenai penyalahgunaan posisi dominan.

Berdasarkan analisis dari undang-undang persaingan usaha yang berlaku di negara-negara ASEAN ketidakharmonisasian terlihat dalam pengaturan terkait posisi dominan di kawasan ASEAN.

Tabel II.1

Pengaturan Posisi Dominan di ASEAN

No.

Pengaturan

tentang Posisi

Dominan

Indonesia Laos Malaysia Singapura Thailand Vietnam Filipina 1 Penyalahgunaan Posisi Dominan × × 2 Kepemilikan Saham Silang × × × × × × 3 Jabatan Rangkap × × × × × × 4 Kontrol terhadap Merger ×

Sumber : diolah dari berbagai sumber Keterangan : × = tidak diatur

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat masih adanya ketidakseragaman terkait dengan pengaturan tentang posisi dominan. Dalam kebijakan persaingan usaha yang berlaku di negara ASEAN tidak semuanya terdapat pengaturan tentang penyalahgunaan posisi dominan. Negara di ASEAN yang tidak mengatur penyalahgunaan posisi dominan secara spesifik adalah Laos dan Filipina.

Selain mengenai penyalahgunaan posisi dominan, perbedaan juga dapat dilihat dari pengaturan tentang posisi dominan yaitu hubungan afiliasi dengan pihak lain dalam hal ini adalah jabatan rangkap dan kepemilikan saham silang. Dari seluruh negara ASEAN yang telah mempunyai instrumen hukum persaingan usaha yang komperhensif hanya Indonesia yang didapati mempunyai pengaturan mengenai hubungan afiliasi dengan pihak lain dalam hal ini berupa jabatan rangkap dan kepemilikan saham silang.

Perbedaan diantara negara-negara anggota ASEAN juga terlihat dari pengaturan kontrol terhadap merger. Di kawasan ASEAN masih terdapat negara yang belum mengatur secara spesifik mengenai kontrol terhadap merger, hal ini dapat ditemui di Malaysia yang tidak mempunyai pengaturan mengenai kontrol terhadap merger dalam hukum persaingan usahanya.

Melihat masih belum adanya keseragaman terkait dengan pengaturan kepemilikan posisi dominan dalam hukum yang berlaku di negara-negara ASEAN semakin menegaskan pentingnya suatu upaya harmonisasi pengaturan di kawasan ASEAN terkait dengan kepemilikan posisi dominan. Harmonisasi pengaturan tersebut penting untuk memberikan suatu aturan main yang jelas dan berlaku

global bagi seluruh pelaku usaha di negara-negara ASEAN dalam rangka menghadapi adanya AEC pada tahun 2015.

Dokumen terkait