• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL ANALGETIK PASCA OPERASI PADA PASIEN PEDIATRI YANG MENJALANI OPERASI ELEKTIF DI RSUD DR. SOETOMO Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROFIL ANALGETIK PASCA OPERASI PADA PASIEN PEDIATRI YANG MENJALANI OPERASI ELEKTIF DI RSUD DR. SOETOMO Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA ILMIAH AKHIR

PROFIL ANALGETIK PASCA OPERASI PADA PASIEN PEDIATRI YANG MENJALANI OPERASI ELEKTIF DI RSUD DR. SOETOMO

dr. Regina Agustantina Pembimbing:

Dr. dr. Elizeus Hanindito Sp. An. KIC KAP Dr. dr. Arie Utariani Sp. An. KAP

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

RUMAH SAKIT DR. SOETOMO SURABAYA

2016

(2)
(3)

ABSTRACT

Background: Postoperative pain is an important issue after surgery. By giving proper analgetic(s), pain will be managed effectively and will accelerate patient recovery dan discharge from hospital. Pain management in children is often poorly managed due to presumption that children do not suffer from pain. However, pain is affected by several factors include anxiety.

Objective: To analyse analgetic profile used postoperatively in pediatric patients

Methods: After obtaining approval from ethics committee, 122 patients were the subjects, aged 0-18 years, undergoing elective surgery in Dr. Soetomo Hospital Surabaya. Observation started at premedication room which preoperative anxiety and pain scale measured. Patients were given analgetic postoperatively and observed at 30 minutes, 1 hour, 2 hours, 1 day and 2 days postoperative. Observations included pain scale, sedation scale and hemodynamic (respiration rate, pulse, blood pressure and saturation). The results were analysed statistically using t Test, Mann-Whitney and Chi square test.

Results: NSAID was the most used analgetic in general (54 patients) and the most used analgetic in group with 0 pain scale (no pain) in all times of pain scale evaluation. Combined analgetics had bigger pain scale compare to single analgetic in almost all times of pain scale evaluation except 2 days postoperative. However, statistically there was no difference between giving single and combined analgetics in almost all times of pain scale evaluation except 2 days postoperative. While preoperative anxiety statistically correlates with postoperative pain at 2 hours postoperative.

Conclusion: There was difference between giving single and combined analgetics at 2 days postoperative evaluation (p 0.035). Preoperative anxiety correlate with postoperative pain at 2 hours postoperative evaluation (p 0.046).

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puji syukur ke Hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) I Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya serta dapat menyusun dan menyelesaikan penelitian “Profil Analgetik Pasca Operasi pada Pasien Pediatri yang Menjalani Operasi Elektif di RSUD Dr. Soetomo” sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan keahlian di bidang Anestesiologi.

Karya akhir ini disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan karya akhir ini. Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak, pribadi dan institusi yang telah merelakan hati, pikiran serta materi; mendukung dan mendorong saya dalam meniti hari demi hari perjalanan yang indah penuh warna ini dan sekarang telah berlalu. Semoga perjalanan tersebut akan selalu mewarnai perjalanan selanjutnya yang lebih indah. Tiada lain hanya ucapan terima kasih dan rasa hormat yang dapat saya sampaikan.

Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Direktur BLUD RSUD Dr. Soetomo dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga atas kesempatan yang diberikan sehingga saya dapat menjalani pendidikan dokter spesialis di bidang Anestesiologi dan Reanimasi.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya dan juga rasa hormat saya sampaikan kepada seluruh guru dan panutan saya di Departemen/SMF Anestesiologi dan Reanimasi atas segala bimbingan, bantuan, arahan dan nasihat kepada saya selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dalam menyusun karya akhir ini yaitu:

1. Dr. dr. Hamzah Sp.An. KNA sebagai Kepala Departemen Anestesiologi dan Reanimasi yang telah memberi kesempatan untuk menjadi peserta PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi.

2. Dr. dr. Arie Utariani Sp.An. KAP sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Reanimasi yang layaknya seperti orang tua saya di Departemen Anestesiologi dan Reanimasi yang dengan sabar dan penuh kasih mendidik

(5)

saya selama menempuh masa pendidikan sekaligus menjadi pembimbing penelitian saya.

3. Dr. dr. Elizeus Hanindito Sp.An. KIC KAP sebagai guru dan pembimbing penelitian yang telah sabar dan berbaik hati memberikan sumbangan pikiran, tenaga dan waktu dalam membimbing saya menyelesaikan karya akhir ini. 4. dr. Agustina Salinding Sp.An. KIC sebagai dosen pembimbing saya yang telah

sabar membimbing, mendukung dan mendorong saya selama menempuh masa pendidikan.

5. Seluruh guru saya di Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas kesediaan dan kesabaran dalam membimbing saya selama menempuh masa pendidikan.

6. Rekan-rekan sejawat PPDS I di RSUD Dr. Soetomo Surabaya khususnya rekan satu angkatan Juli 2011 yang telah menjadi teman dan saudara terbaik di Departemen Anestesiologi dan Reanimasi. Semoga kita dipertemukan dalam keadaan yang lebih baik.

7. Seluruh paramedis dan karyawan di lingkungan Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

8. Seluruh pasien di RSUD Dr. Soetomo yang telah berperan selayaknya guru saya.

9. Kedua orang tua saya, Ir. Warsito dan Dra. Rin Retnowati MM, Ak. Atas segala pengorbanan, kesabaran, doa dan dukungan selama menempuh masa pendidikan.

10.Kakak dan adik saya, Eric Wisnuwardhana, BA dan dr. Winda Nirmala Sari yang telah memberikan dukungan, doa dan moril selama menempuh masa pendidikan.

Saya yakin masih terdapat banyak kekurangan dalam karya akhir ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun saya harapkan untuk penyempurnaan karya akhir ini.

Akhir kata, saya sampaikan permohonan maaf kepada semua pihak atas segala kekhilafan baik yang disengaja maupun tidak. Semoga karya akhir ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu dan menginspirasi lahirnya penelitian-penelitian baru.

(6)

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya kepada kita semua. Amin.

Surabaya, 4 Desember 2016 Peneliti

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .……….. i

DAFTAR TABEL ..………. vii

DAFTAR GAMBAR ……….. x

BAB 1 PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Rumusan Masalah ………... 6

1.3. Tujuan Penelitian ……… 6

1.3.1. Tujuan Umum ……… 6

1.3.2. Tujuan Khusus ……… 6

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 6

1.4.1. Bagi Pengembangan Ilmu ……….. 6

1.4.2. Bagi Pelayanan ………... 6

1.4.3. Bagi Penderita ……… 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………... 8

2.1. Nyeri ……… 8

2.2. Perkembangan Neurobiologi Nyeri pada Neonatus ……… 10

2.2.1. Maturasi dari Respon Lokal Sistem Saraf Perifer atau Transduksi ………... 11

2.2.2. Maturasi dari Proses di Saraf Spinal atau Transmisi dan Modulasi ……….. 13

2.2.3. Respon Lokal Saraf Spinal ……….. 13

2.2.4. Transmisi Ascending ………... 16

(8)

2.2.6. Proses Supraspinal dan Integrasi ………. 19

2.3. Jenis Pembedahan pada Pediatri ……….. 20

2.4. Penilaian Nyeri pada Pediatri ……….. 21

2.5. Tingkat Kecemasan pada Anak ………... 27

2.6. Sedasi dalam Mengatasi Kecemasan ………... 30

2.6.1. Midazolam ……….. 30

2.6.2. Nitrous Oxide (N2O) ………... 31

2.6.3. Obat-obat Lainnya ………... 32

2.7. Aspek Umum Perkembangan Farmakologi ………. 32

2.8. Pedoman Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi Pada Anak ………….. 34

2.8.1. Nyeri akut pada anak akibat trauma pembedahan yang luas (disertai dengan kerusakan jaringan ringan) – NRS atau VAS pasca operasi < 4 ………. 36

2.8.2. Prosedur operasi pada anak dengan kerusakan jaringan sedang – NRS atau VAS pasca operasi 4-6 dan durasi nyeri operasi < 3 hari ……….... 38

2.8.3. Prosedur operasi pada anak dengan kerusakan jaringan hebat – NRS atau VAS pasca operasi > 7 dan durasi nyeri pasca operasi > 3 hari ……… 39

2.9. Opioid ……….. 42

2.10. Efek Nyeri Pasca Operasi pada Anak ………... 44

2.10.1.Sistem Kardiovaskular ……… 45

2.10.2.Sistem Gastrointestinal ………... 45

2.10.3.Sistem Respirasi ………. 45

(9)

2.10.5.Sistem Muskuloskeletal ……….. 46

2.10.6.Sistem Imun ……… 47

2.10.7.Efek Psikologis dan Kognitif ……….. 47

2.10.8.Mual dan Muntah ……… 47

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL ………. 48

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ……… 51

4.1. Desain Penelitian ………. 51

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ………. 51

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ……….. 51

4.3.1. Kriteria Inklusi ……… 51

4.3.2. Kriteria Eksklusi ………. 51

4.3.3. Besar Sampel ……….. 51

4.3.4. Teknik Pengambilan Sampel ……….. 51

4.4. Kerangka Operasional ………. 52

4.5. Definisi Operasional ……… 52

4.6. Bahan dan Cara Kerja ………. 53

4.6.1. Bahan ……….. 53

4.6.2. Cara Kerja ………... 54

4.7. Analisa Statistik ………... 54

4.8. Jadwal Penelitian ………. 54

BAB 5 HASIL PENELITIAN ………... 56

5.1. Profil Pasien ………. 56

5.1.1. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin ………... 56

5.1.2. Karakteristik Berdasarkan Usia ……….. 57

(10)

5.1.4. Karakteristik Berdasarkan Jenis Operasi ……… 58

5.1.5. Karakteristik Berdasarkan Klasifikasi Operasi ………... 59

5.1.6. Karakteristik Berdasarkan Skala Nyeri Preoperatif …… 60

5.1.7. Karakteristik Berdasarkan Tingkat Kecemasan ……….. 61

5.1.8. Karakteristik Berdasarkan Teknik Anestesi ……… 62

5.2. Profil Analgetik ………... 63

5.2.1. Karakteristik Berdasarkan Jenis Analgetik ………. 63

5.2.2. Karakteristik Berdasarkan Jumlah Analgetik …………. 64

5.2.3. Karakteristik Analgetik Tunggal ………. 65

5.2.4. Karakteristik Analgetik Kombinasi ………. 65

5.3. Karakteristik Analgetik Tunggal dan Kombinasi ……… 66

5.4. Nyeri Pasca Operasi ……… 72

5.4.1. Skala Nyeri Pasca Operasi ……….. 72

5.4.2. Karakteristik Skala Nyeri pada Pemberian Analgetik Tunggal dan Kombinasi ……….. 74

5.4.3. Nyeri pada 30 Menit Pasca Operasi ……… 76

5.4.4. Nyeri pada 1 Jam Pasca Operasi ………. 78

5.4.5. Nyeri pada 2 Jam Pasca Operasi ………. 80

5.4.6. Nyeri pada Hari Pertama Pasca Operasi ………. 83

5.4.7. Nyeri pada Hari Kedua Pasca Operasi ……… 84

5.5. Tingkat Kecemasan ………. 86

5.5.1. Karakteristik Tingkat Kecemasan pada Pemberian Analgetik Tunggal dan Kombinasi ……….. 86

(11)

5.5.3. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 30

Menit Pasca Operasi ……….... 89

5.5.4. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi ……….. 90

5.5.5. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi ……….. 91

5.5.6. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Pertama Pasca Operasi ……… 93

5.5.7. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Kedua Pasca Operasi ………... 94

5.6. Efek Sedasi Pasca Operasi ………... 95

5.6.1. Skala Sedasi Pasca Operasi ………. 95

5.6.2. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca Operasi ……… 96

5.6.3. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi ……… 98

5.6.4. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi ……… 99

BAB 6 PEMBAHASAN ………... 101

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 110

7.1. Kesimpulan ……….. 110

7.2. Saran ……… 110

DAFTAR PUSTAKA ……….. 111

Lampiran 1 Penjelasan Untuk Mendapat Persetujuan ………. 117

(12)

Lampiran 3 Lembar Pengumpul Data ………. 120

Keterangan Kelaikan Etik ………... 127

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Skala FLACC (face, legs, activity, cry dan consolability) ……….. 24

Tabel 2.2. Skala NIPS (Neonatal Infant Pain Scale) ………... 25

Tabel 2.3. Intervensi pada Skala NIPS ………. 26

Tabel 2.4. Skala pengukuran CRIES (Crying, Requires O2 for SaO2 < 95%, Increased vital signs, Expressions, Sleepless) ………. 26

Tabel 2.5. Modified Yale Preoperative Anxiety Scale (mYPAS) ………. 28

Tabel 2.6. Tren Relevan Terkait Umur Terhadap Kerja Obat ……….. 32

Tabel 2.7. Dosis Analgetik Paracetamol pada Anak ………... 40

Tabel 2.8. Dosis Analgetik Metamizole pada Anak ………... 41

Tabel 2.9. Dosis Analgetik NSAID pada Anak ………... 41

Tabel 2.10. Dosis Analgetik Opioid pada Anak ………... 42

Tabel 2.11. Patient-controlled analgesia (PCA) ……… 42

Tabel 2.12. Nurse-controlled analgesia (NCA) ………. 42

Tabel 5.1. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 56

Tabel 5.2. Karakteristik Berdasarkan Usia ………... 57

Tabel 5.3. Karakteristik Berdasarkan PS ASA ………. 58

Tabel 5.4. Karakteristik Berdasarkan Jenis Operasi ………. 58

Tabel 5.5. Karakteristik Berdasarkan Klasifikasi Operasi ……… 59

Tabel 5.6. Karakteristik Berdasarkan Skala Nyeri Preoperatif ………. 60

Tabel 5.7. Karakteristik Berdasarkan Tingkat Kecemasan ………... 61

Tabel 5.8. Karakteristik Berdasarkan Teknik Anestesi ……… 62

Tabel 5.9. Karakteristik Berdasarkan Jenis Analgetik ……….. 63

(14)

Tabel 5.11. Karakteristik Berdasarkan Analgetik Tunggal ……… 65

Tabel 5.12. Karakteristik Berdasarkan Analgetik Kombinasi ……… 66

Tabel 5.13. Karakteristik Analgetik Tunggal dan Kombinasi ……… 70

Tabel 5.14. Skala Nyeri Pasca Operasi ………...……… 73

Tabel 5.15. Karakteristik Skala Nyeri Untuk Usia ≤ 12 tahun ……… 74

Tabel 5.16. Karakteristik Skala Nyeri Untuk Usia > 12 tahun ………75

Tabel 5.17. Nyeri pada 30 Menit Pasca Operasi ………...…….. 77

Tabel 5.18. Nyeri pada 1 Jam Pasca Operasi ………...………... 79

Tabel 5.19. Nyeri pada 2 Jam Pasca Operasi ………...………... 82

Tabel 5.20. Nyeri pada Hari Pertama Pasca Operasi ………... 84

Tabel 5.21. Nyeri pada Hari Kedua Pasca Operasi ………...….. 86

Tabel 5.22. Karakteristik Tingkat Kecemasan ………...………. 87

Tabel 5.23. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Preoperatif … 88 Tabel 5.24. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca Operasi ………...………...………... 89

Tabel 5.25. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi ………...………...………... 91

Tabel 5.26. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi ………...………...………... 92

Tabel 5.27. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Pertama Pasca Operasi ………...………...…. 93

Tabel 5.28. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Kedua Pasca Operasi ………...………...………... 95

(15)

Tabel 5.30. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca Operasi

………...………...……….… 97

Tabel 5.31. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi

………...………...……….… 98

Tabel 5.32. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Perjalanan Nyeri ……… 10

Gambar 2.2. Pengukuran Skala Nyeri: Visual Analogue Scale (VAS), Numerical Rating Scale (NRS) dan Facial Expressions Scale ………...23

Gambar 2.3. Ekspresi Wajah Akibat Rangsangan Nyeri ………... 26

Gambar 2.4. Farmakoterapi Preoperatif pada Prosedur Operasi dengan Kerusakan Jaringan Ringan – Analgetik Preemtif ……… 37

Gambar 2.5. Farmakoterapi Postoperatif pada Prosedur Operasi dengan Kerusakan Jaringan Ringan ……….. 37

Gambar 2.6. Farmakoterapi Postoperatif pada Prosedur Operasi dengan Kerusakan Jaringan Sedang ……….. 38

Gambar 2.7. Farmakoterapi Postoperatif pada Prosedur Operasi dengan Kerusakan Jaringan Hebat ……… 40

Gambar 5.1. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin ………. 56

Gambar 5.2. Karakteristik Berdasarkan Usia ………. 57

Gambar 5.3. Karakteristik Berdasarkan PS ASA ……… 58

Gambar 5.4. Karakteristik Berdasarkan Jenis Operasi ………... 59

Gambar 5.5. Karakteristik Berdasarkan Klasifikasi Operasi ………. 60

Gambar 5.6. Karakteristik Berdasarkan Skala Nyeri Preoperatif ……….. 61

Gambar 5.7. Karakteristik Berdasarkan Tingkat Kecemasan ……… 61

Gambar 5.8. Karakteristik Berdasarkan Teknik Anestesi ……….. 63

Gambar 5.9. Karakteristik Berdasarkan Jenis Analgetik ………... 64

Gambar 5.10. Karakteristik Berdasarkan Jumlah Analgetik ……… 64

(17)

Gambar 5.12. Karakteristik Berdasarkan Analgetik Kombinasi ………. 66

Gambar 5.13. Karakteristik Usia dan Berat Badan Terhadap Jumlah Analgetik 71

Gambar 5.14. Karakteristik Jenis Kelamin, PS ASA dan Usia Terhadap Jumlah Analgetik ……… 71

Gambar 5.15. Karakteristik Jenis Operasi Terhadap Jumlah Analgetik ……….. 71

Gambar 5.16. Karakteristik Klasifikasi Operasi dan Tingkat Kecemasan Terhadap Jumlah Analgetik ………... 72

Gambar 5.17. Skala Nyeri Pasca Operasi ………. 73

Gambar 5.18. Karakteristik Skala Nyeri (1) ………. 75

Gambar 5.19. Karakteristik Skala Nyeri (2) ………. 76

Gambar 5.20. Nyeri pada 30 Menit Pasca Operasi ………... 78

Gambar 5.21. Nyeri pada 1 Jam Pasca Operasi ……… 80

Gambar 5.22. Nyeri pada 2 Jam Pasca Operasi ……… 82

Gambar 5.23. Nyeri pada Hari Pertama Pasca Operasi ……… 84

Gambar 5.24. Nyeri pada Hari Kedua Pasca Operasi ……….. 86

Gambar 5.25. Karakteristik Tingkat Kecemasan ………. 87

Gambar 5.26. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Preoperatif 88

Gambar 5.27. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca Operasi ……….. 90

Gambar 5.28. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi ……….. 91

Gambar 5.29. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi ……….. 92

(18)

Gambar 5.31. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Kedua

Pasca Operasi ……… 95

Gambar 5.32. Skala Sedasi Pasca Operasi ………... 96

Gambar 5.33. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca Operasi

………. 97

Gambar 5.34. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi

………. 99

Gambar 5.35. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manajemen nyeri yang memadai merupakan kebutuhan penting dan

universal dalam perawatan kesehatan. Di era modern seperti sekarang, implikasi

fisiologi dan psikologi nyeri yang merugikan tetap tidak teratasi dengan baik.

Manajemen nyeri yang tidak efektif pada anak dapat berakibat negatif terhadap

hasil klinis dan psikologis serta kualitas hidup pasien. Manajemen nyeri pasca

operasi yang inadekuat sebagian besar akan menyebabkan terjadinya chronic

persistent postsurgical pain (CPSP) dengan insiden hingga 50%. (1) Dampak

lainnya yaitu memperpanjang perawatan pasca anestesi, keterlambatan pasien

keluar rumah sakit, hingga tidak terantisipasinya pasien rawat jalan masuk rumah

sakit pasca operasi. (1) Sebuah studi oleh Power dkk menyebutkan bahwa terjadi

gangguan pola makan pada pasien pediatri yang tidak mendapat penanganan nyeri

yang baik pada 2 hari pertama pasca operasi, diikuti dengan kecemasan saat

berpisah dengan orang tua dan apatis. (2) Manajemen nyeri akut yang efektif akan

meningkatkan hasil luaran dan juga kepuasan pasien. Penelitian dan penerapan

terhadap pedoman tatalaksana nyeri mendokumentasikan adanya perbaikan

terhadap tatalaksana nyeri akut dan nyeri pasca operasi, namun kesadaran untuk

memberikan manajemen nyeri masih sangat kurang. Intervensi tertentu akan

meningkatkan sikap dan persepsi pasien terhadap nyeri. Penanganan nyeri secara

multidisiplin akan membawa perbaikan dalam manajemen nyeri pasien, edukasi

nyeri, hasil luaran serta tingkat kepuasan pasien.

(20)

Nyeri pasca operasi merupakan permasalahan penting setelah tindakan

operasi. Penanganan nyeri yang efektif dengan efek samping sedikit akan

mempercepat pemulihan dan kepulangan pasien dari rumah sakit. Kenyamanan

pasien merupakan salah satu hal penting sehingga analgetik yang adekuat sangat

dibutuhkan pada periode pasca operasi.

Stimuli nyeri yang terjadi berulang memberi dampak merugikan seperti

perubahan sensitivitas terhadap nyeri serta perubahan permanen neuroanatomi dan

perilaku, karena itu The American Academy of Pediatrics and The American Pain

Society mengatakan bahwa nyeri harus dikenali dan dirawat lebih agresif terutama

pada anak-anak. (3)

Anak-anak telah mendapat penanganan nyeri yang tidak adekuat dan

prosedur yang menyakitkan karena adanya stigma yang salah bahwa mereka tidak

menderita atau merasa sakit ataupun mengingat pengalaman yang tidak

menyenangkan seperti halnya pada dewasa. Patofisiologi nyeri pada anak juga

terdiri dari 4 proses yaitu transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi. Proses

modulasi pada neonatus tidak berlangsung dengan baik karena jalur descending

yang imatur. (4) Kurangnya keamanan dan efektivitas analgetik disertai

kekhawatiran risiko yang mungkin terjadi seperti depresi nafas, menimbulkan

lebih banyak alasan sehingga penanganan nyeri pada anak tidak adekuat. Sebuah

dogma yang terkenal menyebutkan bahwa anak-anak tidak merasakan nyeri dan

sangat berbahaya untuk memberikan analgetik kuat karena adanya risiko

ketergantungan. (5) Penanganan nyeri pasca operasi yang tidak adekuat meskipun

pada bayi dan anak akan merangsang respon stres biokimia dan fisiologis serta

(21)

imunologi dan fungsi metabolik. (6) Finely dkk telah melaporkan bahwa berbagai

jenis pembedahan “minor” dapat menyebabkan nyeri yang signifikan pada anak,

dan terdapat kesalahpahaman pada orang tua tentang penanganan nyeri pada anak.

(7)

Manajemen nyeri pada anak tidak adekuat karena adanya morbiditas dan

juga mortalitas. Swaford dan Allen telah menyatakan bahwa “Paediatric patients

seldom need medication for relief of pain. They tolerate discomfort well…

(pasien pediatri terkadang membutuhkan terapi untuk nyeri, karena mereka dapat

menahan rasa nyeri dengan baik). (8) Eland menemukan perbedaan signifikan

dalam manajemen nyeri pada anak dan dewasa. (9) Laporan insiden nyeri dan

pemberian analgetik akan bermunculan dalam beberapa tahun ke depan. Anand

dkk menggambarkan efek dari nyeri pada bayi karena anestesi minimal pada

artikelnya. (10) Artikel serupa juga diterbitkan pada jurnal medis utama. Setelah

artikel-artikel tersebut terbit, beberapa komite memberikan rekomendasi untuk

penatalaksanaan nyeri pada anak. The society of Paediatric Anaesthesia pada

pertemuan tahunan ke-15 di New Orleans, Lousiana tahun 2001 mengemukakan

bahwa bebas dari rasa nyeri merupakan hak asasi manusia, terlepas dari usia,

kondisi medis, pengobatan, ataupun lembaga medis yang menangani. (11)

Langlade dkk menyebutkan bahwa penanganan nyeri pasca operasi harus meliputi

rencana anestesi sebelum dilakukan induksi, mengutip ide „menangani nyeri

sebelum nyeri timbul‟. (12) Saat ini, manajemen nyeri pasca operasi merupakan

integral dari praktik anestesi pada anak di seluruh rumah sakit besar.

Nyeri akut adalah nyeri yang berhubungan dengan berbagai episode

(22)

bakar, atau trauma. Dalam studi Ganter dkk di sebuah rumah sakit di Zurich,

Switzerland menyebutkan bahwa pasien dengan nyeri pasca operasi yang tiba di

PACU (Post Anesthesia Care Unit) akan membutuhkan waktu lebih lama di

PACU sebelum pasien layak kembali ke ruang rawat inap. (11, 13) Friedrichsdorf

dkk mengatakan dalam studinya bahwa intensitas nyeri yang paling besar yang

didapatkan seorang anak saat berada di rumah sakit adalah karena trauma/cedera

diikuti dengan pembedahan. (14) Penelitian yang dilakukan oleh Kozlowski dkk di

sebuah rumah sakit anak tersier di Mid Atlantic juga menyebutkan bahwa sumber

nyeri paling banyak diakibatkan oleh prosedur pembedahan mayor seperti fusi

spinal, craniectomy dan colostomy. (15) Yang ironis adalah dari survei skala besar

dilaporkan bahwa 40% pasien pediatri yang menjalani pembedahan mengalami

nyeri pasca operasi sedang hingga berat dan 75% tidak mendapat analgetik yang

cukup. (16)

Hambatan yang terjadi terhadap penanganan nyeri pasca operasi yang baik

pada pasien pediatri dikarenakan penilaian nyeri terhadap anak sulit dilakukan

karena belum ada teknik penilaian nyeri yang ideal. (17) Metode yang dapat

digunakan untuk menilai nyeri pada anak antara lain self-report ataupun

pengamatan perilaku. Namun hal ini juga dihambat oleh adanya beberapa faktor

perancu seperti tingkat kecemasan preoperatif ataupun gangguan kognitif pada

anak.

Untuk mengatasi nyeri pasca operasi dapat dilakukan teknik farmakologi

dan non-farmakologi. Teknik farmakologi mencakup berbagai jenis obat yang

diberikan mulai dari per oral, intravena, rectal maupun regional. Sebuah studi

(23)

dan epidural caudal yang diberikan setelah induksi tidak jauh berbeda. (18)

Penelitian lain oleh Beyaz di sebuah rumah sakit pendidikan di Turki

menyebutkan bahwa efek analgetik preemtif antara obat analgetik intravena dan

blok caudal tidak berbeda secara signifikan. (19)

Pasien pediatri mempunyai farmakodinamik dan farmakokinetik obat

analgetik yang berbeda dari dewasa. Respon farmakodinamik terhadap opioid,

anestesi lokal, paracetamol dan obat antiinflamasi pada anak matur pada usia 2

tahun. Dan belum terdapat bukti kuat tentang efek analgetik dari paracetamol

ataupun nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID) pada neonatus ataupun

bayi usia < 3 bulan. (20) Penelitian klinis tentang farmakodinamik dan

farmakokinetik pada populasi pediatri tidak dilakukan hingga tahun 1970an.

Penelitian sederhana mengemukakan bahwa parameter farmakokinetik seperti

waktu paruh, volume of distribution dan clearance plasma total sangat bervariasi

pada beberapa kelompok umur, meskipun berat badan hampir sama. (21) Hal ini

juga didukung oleh analisa populasi di berbagai rentang usia yang menyebutkan

bahwa usia, di samping ukuran tubuh, mempunyai peranan penting sebagai

parameter farmakokinetik pada populasi pediatri. (22)

Pembahasan tentang nyeri sangat luas, mulai dari pencegahan timbulnya

nyeri, penilaian nyeri di awal dan pasca operasi hingga komplikasi yang timbul

bila nyeri tidak diatasi dengan baik seperti bertambahnya waktu rawat di PACU.

Hal inilah yang mendasari saya membuat penelitian mengenai profil analgetik

pasca operasi pada pasien pediatri. Hambatan dari penelitian ini adalah sulitnya

menilai nyeri pada pediatri yang seringkali rancu dengan kecemasan. Oleh karena

itu, kedua aspek tersebut akan dinilai dalam penelitian ini.

(24)

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana pengelolaan nyeri pasca operasi pasien pediatri di Gedung

Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSUD Dr. Soetomo?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Menganalisa profil analgetik pasca operasi pasien pediatri di GBPT

RSUD Dr. Soetomo

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui jenis analgetik pasca operasi pasien pediatri di GBPT

RSUD Dr. Soetomo

2. Mengetahui intensitas nyeri pasca operasi pasien pediatri di GBPT

RSUD Dr. Soetomo

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Pengembangan Ilmu

Memberikan informasi tentang jenis analgetik pasca operasi pasien

pediatri di GBPT RSUD Dr. Soetomo

1.4.2. Bagi Pelayanan

Dengan mengetahui apakah pengelolaan nyeri pasca operasi pasien

pediatri saat ini sesuai pedoman, maka diharapkan manajemen nyeri pada

pediatri dapat diperbaiki

(25)

1.4.3. Bagi Penderita

Dengan adanya perbaikan manajemen nyeri pasca operasi pada pasien

pediatri maka diharapkan morbiditas pasien pediatri akibat nyeri dapat

menurun

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Nyeri

Nyeri menurut The International for the study of Pain (IASP) adalah suatu

pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan

kondisi aktual atau potensial terjadinya kerusakan jaringan. Nyeri terdiri dari 2

komponen utama yaitu komponen sensoris (fisik) dan emosional (psikologis).

Berdasarkan tipe, nyeri terdiri dari nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh aktivasi

nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai respon terhadap stimuli berbahaya dan nyeri

neuropatik yang disebabkan oleh proses sinyal di sistem saraf perifer atau pusat yang

menggambarkan sistem saraf. (23)

Nyeri merupakan stresor yang dapat mengganggu homeostasis. Respon adaptif

terhadap stres meliputi perubahan fisiologis di mana pada fase awal berguna sebagai

life saving. Adaptasi perifer melibatkan perpindahan energi dari tempat penyimpanan

menuju aliran darah untuk mengatasi stresor. Ini juga mencakup respon analgetik,

respon reflek menghilang dan berbagai perubahan fisiologis yang diperantarai oleh

sistem nervus simpatis. Namun, jika respon stres dibiarkan berlanjut, berbagai efek

berbahaya mungkin terjadi dengan melibatkan beberapa sistem tubuh dan berpotensi

mengancam jiwa. Fisiologi nyeri meliputi:

1. Transduksi

Proses ini meliputi perubahan stimulus berbahaya di ujung saraf sensorik

menjadi impuls saraf. Nosiseptor (neuron aferen primer) adalah ujung

saraf dengan kapasitas untuk membedakan antara rangsangan berbahaya

(27)

zat termasuk prostaglandin, bradikinin, serotonin, substansi P dan histamin

dirilis untuk memudahkan pergerakan impuls nyeri dari perifer ke saraf

spinal.

2. Transmisi

Pergerakan impuls dari tempat transduksi ke otak. Transmisi terjadi pada 3

tahap: dari serat nosiseptor ke saraf spinal, dari saraf spinal ke batang otak

dan thalamus, dan terakhir dari thalamus ke cortex. Agar stimulus nyeri

dapat diubah menjadi impuls dan berpindah dari perifer ke saraf spinal,

maka potensial aksi harus terjadi, yaitu berpindahnya ion natrium dan

kalium dari cairan ekstraseluler ke dalam intraseluler dan sebaliknya.

Transmisi terjadi pada serat C dan serat delta A dan neurotransmiter

dibutuhkan di tiap sinaps agar impuls nyeri dapat menyebrang celah

sinaps.

3. Persepsi

Proses yang terlibat yaitu mengenali, mendefinisikan dan menanggapi rasa

sakit. Ini merupakan hasil dari aktivitas saraf dan di mana nyeri menjadi

pengalaman sadar. Persepsi berlangsung terutama cortex, tetapi sistem

limbik dan sistem retikuler juga terlibat.

4. Modulasi

Ini melibatkan aktivasi jalur desenden yang memberi efek penghambatan

pada transmisi nyeri. Serat desenden melepaskan substansi seperti opioid

endogen, serotonin, noradrenalin, asam gamma-aminobutyric dan

neurotensin yang mempunyai kapasitas untuk menghambat transmisi

(28)

Gambar 2.1. Perjalanan Nyeri

2.2. Perkembangan Neurobiologi Nyeri pada Neonatus (4)

Nyeri merupakan proses pendeteksi sensasi di perifer dan penghantaran

sensasi melalui saraf spinal, batang otak dan nukleus relay di thalamus menuju cortex

cerebri. Neuron nosisepsi sensitif terhadap suhu, mekanik ataupun rangsangan kimia

berbahaya. Rangsangan tersebut mempunyai neuropeptida yang dikeluarkan dan

sensitif terhadap hormon pertumbuhan tertentu yang terlibat dalam inflamasi

neurogenik (misal vasodilatasi dan leakage vaskular) dan regulasi neuroimun. Neuron

nosisepsi juga mempengaruhi kontraksi otot polos dan sekresi glandular ke dalam

saluran gastrointestinal dan urinari. Fisiologi nyeri pada neonatus ini dibagi menjadi 3

bagian yaitu:

 Sistem saraf perifer lokal memproses atau proses transduksi terjadi saat

rangsangan diterjemahkan menjadi potensial aksi neuron pada

nosiseptor, yang merupakan ujung sensoris dari neuron aferen primer

perifer.

(29)

 Proses di saraf spinal, disebut sebagai proses transmisi dan modulasi,

merupakan propagasi potensial aksi di sepanjang jalur ascending dari

tempat transduksi menuju sistem saraf sensoris di saraf spinal, yang

kemudian menuju batang otak; dan aktivasi jalur descending yang

memberi efek inhibisi pada transmisi sinaps dari rangsangan berbahaya.

 Proses supraspinal dan integrasi nyeri atau proses persespsi yang

merupakan hasil dari proses nyeri yang meliputi pengenalan,

pengidentifikasi dan respon terhadap rangsangan berbahaya di otak.

2.2.1. Maturasi dari Respon Lokal Sistem Saraf Perifer atau Transduksi

Sistem saraf perifer, sebagai bagian dari sistem somatosensoris, terdiri dari 3

serat aferen primer, Aδ (bermielin tipis, reseptor nyeri mekanosensitif), Aβ,

dan serat C-polimodal (tidak bermielin, reseptor nyeri sensitif terhadap

rangsangan mekanik, kimia dan suhu). Saat usia kehamilan 6 minggu,

perkembangan sinaps antara serat sensoris dan interneuron di cornu dorsalis

dari saraf spinal mulai terjadi. Pada saat usia kehamilan 7 minggu, reseptor

sensoris di kulit muncul di area perioral. Pada usia kehamilan 11 minggu,

reseptor di kulit berkembang ke seluruh wajah, telapak tangan, telapak kaki;

pada usia kehamilan 15 minggu berkembang ke badan dan proximal dari

lengan dan kaki; dan pada usia kehamilan 20 minggu berkembang ke seluruh

permukaan kulit dan mukosa. Pada usia kehamilan 24 minggu, sistem saraf

perifer berkembang matur dan befungsi. Namun, berbeda dengan dewasa,

neonatus mempunyai densitas ambang nyeri Aδ yang lebih tinggi dan Aβ yang

lebih rendah yang respon terhadap frekuensi rangsangan lebih rendah.

Rangsangan taktil dan berbahaya membangkitkan withdrawal kulit anggota

gerak pada neonatus pada usia kehamilan 27 minggu.

(30)

Cedera jaringan memicu respon cascade di neuron perifer. Rangsangan

berbahaya yang diartikan sebagai aktivitas elektrik di ujung perifer dari serat

Aδ dan C-polimodal dan dikonduksikan dengan cepat menuju cornu dorsalis

saraf spinal. Kerusakan sel dan pembuluh darah akibat cedera disertai dengan

proses inflamasi dan adanya sel tumor, memicu pengeluaran mediator

biomekanik (bradikinin, ion kalsium dan kalium, substansi P dan

prostaglandin) yang mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor aferen Aδ

dan C-polimodal yang mengirimkan impuls nyeri ke saraf spinal dan

menstimulasi timbulnya inflamasi lokal dan respon edema. Secara bersamaan,

substansi P dan prostaglandin meningkatkan inflamasi lokal jaringan dan

menyebabkan hiperalgesia lokal primer. Dengan kerusakan jaringan berulang,

proses inflamasi dan nyeri terkait dapat meluas ke jaringan di sekitar luka

sehingga menimbulkan allodynia dan menurunkan ambang reflek fleksor di

kulit hingga 50%.

Selain hiperalgesia, kerusakan jaringan pada awal kehidupan menyebabkan

penrkembangan dendrit secara mendalam dan persisten di saraf lokal sensoris

terminal. Dibanding dengan bayi yang lebih besar, perkembangan terjadi lebih

prominen jika kerusakan jaringan terjadi saat lahir atau beberapa saat

setelahnya. Studi perilaku menunjukkan bahwa hal tersebut menunjukkan

ambang mekanik dan hiperinervasi dari area luka yang menetap hingga

dewasa.

Dulu, kurangnya mielinisasi digunakan untuk mendukung argumen bahwa

sistem saraf pada bayi prematur adalah imatur sehingga bayi tidak mampu

merasakan nyeri. Namun, pada saraf perifer dewasa, impus nosisepsi

(31)

yang tidak sempurna memperpanjang velositas konduksi, namun

dikompensasi sepenuhnya dengan jarak interneuron dan neuromuskular yang

lebih pendek yang dilalui oleh impuls saraf. Jalur saraf nosisepsi sistem saraf

pusat dan saraf spinal bermielinisasi pada usia kehamilan trimester kedua dan

ketiga. Jalur nosisepsi ascenden menuju batang otak dan thalamus

bermielinisasi secara sempurna pada usia kehamilan 30 minggu; sedangkan

serabut saraf thalamocortical di kapsula interna bagian posterior dan corona

radiata bermielinisasi pada usia kehamilan 37 minggu.

2.2.2. Maturasi dari Proses di Saraf Spinal atau Transmisi dan Modulasi

Di awal kehidupan, sistem saraf spinal neonatus yang imatur berfungsi sebagai

unit independen. Karena jalur descenden imatur, cortex neonatus hanya dapat

sedikit mengontrol rasa nyeri. Respon nyeri bioperilaku berespon terhadap

rangsangan berbahaya merupakan reflek spinal dekortikasi berkelanjutan. Saat

cortex mengasumsikan waktu, pengalaman dan maturitas nyeri; terjadi

integrasi reflek imatur menjadi pola perilaku dewasa yang canggih.

Saraf spinal mempunyai 3 level fungsi penting nosisepsi: (1) respon lokal,

yang seringkali bersifat reflek protektif; (2) transmisi nyeri ascenden dan (3)

modulasi dari impus nosispsi melalui jalur descenden. Namun deskripsi lebih

jelas dari anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat tidak tersedia.

2.2.3. Respon Lokal Saraf Spinal

Dalam saraf spinal, glutamat dan takikinin menstimulasi N-methyl-D-aspartat

(NMDA) dan reseptor takininin membantu proses mediasi nosisepsi. Reseptor

NMDA dianggap bertanggung jawab terhadap sensitisasi sentral atau “wind up

phenomenon” di mana input sensoris ke dalam sistem saraf pusat diperkuat,

(32)

nyeri. Semua lamina di cornu dorsalis pada neonatus merupakan NMDA yang

sensitif terhadap glutamat hingga usia 10-12 hari, di mana densitas tertinggi

terkonsentrasi di substansi gelatinosa. Peningkatan eksitabilitas dari resptor

nosisepsi di cornu dorsalis (“wind up”) juga menyebabkan hiperalgesia

sekunder pada jaringan normal di sekitar luka. Selain itu, input nosisepsi dari

tungkai berlawanan juga menyebabkan nyeri.

Reseptor NMDA dari cornu dorsalis pada neonatus lebih besar dari dewasa

hingga usia kehamilan 42 minggu, kemudian menurun menjadi sama dengan

ukuran dewasa pada usia kehamilan 43-44 minggu. Hal ini meningkatkan

ekspresi reseptor NMDA di cornu dorsalis saraf spinal yang menonjolkan

rendahnya ambang nyeri pada bayi prematur dan diduga berhubungan dengan

peningkatan kerentanan kerusakan eksitotoksis pada otak bayi yang baru lahir

yang menimbulkan nyeri yang lebih hebat dan lebih lama pada bayi. NMDA

yang bergantung serabut C membangkitkan depolarisasi sel saraf spinal dan

wind up” sel pada stimulasi berulang serabut C telah terbukti pada usia muda

saraf spinal in vitro (8-14 hari) dan diobservasi pada neonatus prematur dan

aterm yang terpapar oleh prosedur menyakitkan berturut-turut.

Pada dewasa, γ-aminobutyric acid (GABA) menghambat aktivitas eksitatori

dari glutamat, namun pada bayi, GABA merangsang depolarisasi dependen, di

mana terdapat konsentrasi klorida intrasel. GABA lebih sensitif pada bayi

hingga usia 44 minggu. Reseptor NMDA yang besar dan level sinyal GABA

yang imatur berperan dalam hipersensitivitas nosisepsi pada bayi. Hasilnya

respon nyeri akan timbul dengan sedikit saja rangsangan invasif.

Respon saraf spinal memiliki efek besar terhadap respon bioperilaku neonatus

(33)

dewasa, bayi prematur mempunyai ambang nyeri lebih rendah dan mempunyai

respon reflek lebih sensitif terhadap rangsangan sentuhan. Penurunan ambang

nyeri membuat bayi lebih sensitif terhadap rangsangan berbahaya seperti

sentuhan di sekitar area luka yang dapat menimbulkan nyeri selama beberapa

hari atau minggu. Dengan adanya rangsangan berbahaya berulang, ambang

nyeri bahkan menurun lebih rendah akibat pengaruh NMDA dan GABA pada

eksitabilitas dari neuron sensoris saraf spinal. Variabilits signifikan dri respon

terhadap nyeri diamati pada neonatus untuk melihat penurunan nilai ambang

nyeri secara kontinyu dan peningkatan kepekaan neuron. Implikasi klinis pada

neonatus dibanding dewasa yaitu respon perilaku pada perawatan rutin akan

sama seperti respon perilaku pada prosedur invasif. Berdasarkan usia

kehamilan bayi, banyaknya pengalaman nyeri, perilaku bayi, atau penyakit

yang diderita, 1 rangsangan saja dapat menimbulkan respon nyeri yang

berlangsung beberapa menit ataupun tidak ada reaksi sama sekali.

Afinitas reseptor NMDA menurun seiring dengan usia postnatal. NMDA

sangat tinggi membangkitkan masuknya kalsium pada substansia gelatinosa

tikus pada minggu pertama postnatal kemudan menurun hingga sama seperti

dewasa pada usia 6-8 minggu postnatal. Jumlah reseptor NMDA yang imatur

lebih besar pada neonatus dibanding dewasa dan menurun seiring dengan usia

dan aktivitas sinaps. Hal ini disebabkan oleh perubahan komposisi subunit

reseptor NMDA. Sinaps glutamatergik mempunyai pola karakter maturasi dan

perkembangan. Pola ini termasuk perubahan gerakan reseptor NMDA dan

formasi “silent synapses” yang awalnya hanya menggambarkan arus NMDA

(34)

Hal ini memungkinkan jaringan fungsional beradaptasi akibat pengalaman

yang didapatkan.

2.2.4. Transmisi Ascending

Terdapat sejumlah studi besar yang menunjukkan bahwa bayi kecil mampu

berespon terhadap rangsangan berbahaya. Pada neonatus, jalur nosisepsi

ascenden akan matang pada usia kehamilan 20 minggu. Dan pada saat usia

kehamilan 30 minggu, jalur ascenden naonatus mempunyai fungsi yang sama

dengan dewasa.

Penelitian menetapkan bahwa ekspresi wajah dan gerakan tubuh berdasarkan

bukti merupakan variabel perilaku yang menunjukkan nyeri pada bayi. Alis

menonjol, gerakan bola mata, dan gerakan sudut bibir telah ada sejak usia

kehamilan 26 minggu dan terbukti sebagai respon nyeri. Ekspresi yang sama

pada dewasa, meskipun pada bayi dengan usia kehamilan kurang dari 30

minggu respon tidak sekuat pada dewasa. Denyut jantung, variabilitas denyut

jantung (heart rate variability-HRV), dan saturasi oksigen merupakan variable

fisiologis yang berhubungan dengan nyeri akut pada bayi. Respon autonom

protektif dan respon wajah tersebut dipicu oleh serabut nyeri ascenden yang

berhubungan dengan sistem aktivasi retikular dan area periaqueductal fray

(PAG) yang tidak tergantung pada input cortex.

2.2.5. Transmisi Descending, Modulasi Nyeri

Kontrol inhibisi descenden belum matang saat lahir. Jalur inhibisi descenden

berkembang mulai dari batang otak melalui funikulus dorsolateral saraf spinal

hingga cornu dorsalis pada masa fetus. Sekali transmisi dan persepsi nyeri

terjadi, serabut di traktus spinothalamicus menstimulasi area midbrain yang

(35)

jalur inhibisi ini terkadang tidak mempunyai kolateral di cornu dorsalis dan

tidak berfungsi efektif. Keterlambatan ini disebabkan oleh ekspresi

penangguhan dari serotonin dan noradrenalin atau imaturitas interneuron

penting. Maturasi interneuron di substansia gelatinosa sebagian besar terjadi

pada periode postnatal dan merupakan hal penting dalam proses modulasi.

Karena sistem analgesik endogen yang belum matang tidak dapat mengurangi

input berbahaya saat rangsangan memasuki sistem saraf pusat, sehingga input

berbahaya mempunyai efek lebih besar pada bayi dibanding dewasa.

Neurotransmiter merupakan komponen penting pada transmisi nyeri orang

dewasa dan neonatus. Transmisi nyeri orang dewasa dan neonatus terjadi pada

saraf spinal dimediasi oleh neurotransmiter substansi P, somatostatin,

calcitonin gene-related peptide, polipeptida vasoaktif intestinal dan glutamat.

Modulasi dari transmisi nyeri terjadi saat rilis opioid endogen, enkephalin atau

serotonin, norepinephirne, acetylcholine, neurotensin dan GABA, glisin dan

dopamin dari area PAG.

GABA mempunyai peranan penting dalam mencegah penyebaran aktivitas

eksitatori glutamat. Pada sara spinal orang dewasa, GABA merupakan asam

amino transmiter inhibisi yang menyebabkan hiperpolarisasi membran melalui

aktivasi reseptor GABAA dan GABAB post sinaps dan menekan aksi rilis

transmiter melalui reseptor GABAB. Namun pada neonatus, GABA secara

transien diekspresikan berlebih saat perkembangan saraf spinal. Pada 90%

neuron embrio cornu dorsalis yang dikultur hingga lebih dari 1 minggu, baik

GABA dan glisin merangsang peningkatan kalsium dan depolarisasi sel. Efek

ini menurun seiring dengan lamanya kultur sehingga pada hari ke-30 efek

(36)

postnatal pertama, ekspresi enzim sintesa GABA, glutamate decarboxylase

(GAD), menunjukkan 50% neuron adalah positif dan 20%

GABA-positif pada minggu ketiga postnatal. Fenomena di mana GABA berperan

dalam eksitatori pada otak yang belum matang juga terjadi pada area

supraspinal pada otak tikus postnatal.

Pada bayi prematur, dopamin dan norepinephrine tidak dapat memodulasi

aktivitas nosisepsi sebelum usia kehamilan 36-40 minggu. Terlebih lagi,

serabut inhibisi yang berkembang dari area PAG dan area lainnya di batang

otak tidak memicu rilis serotonin hingga sekitar 6-8 minggu setelah lahir.

Karena neurotransmiter aferen eksitatori nyeri cukup banyak saat lahir, dan

tidak diimbangi dengan neurotransmiter inhibisi descenden, bayi prematur

mempunyai keterbatasan dalam memodulasi nyeri. Imaturitas jalur descenden

memaparkan sensitivitas dan intensitas nyeri lebih besar pada neonatus

sebelum usia kehamilan 48 minggu dibanding dewasa dan bayi.

Maturasi sambungan sinaps serabut C di cornu dorsalis, perkembangan

interneuron di substansia gelatinosa dan perkembangan fungsi sistem inhibisi

descenden mulai dari pusat supraspinal terjadi postnatal pada tikus.

Mekanisme modulasi mencapai maturasi lebih akhir dibanding mekanisme

dasar eksitatori sehingga bayi baru lahir tidak mencapai respon puncak dari

rangsangan nyeri. Respon ini tidak selalu dapat diprediksi. Kurangnya inhibisi

berperan terhadap respon dasar dan respon berlebih terhadap input sensoris

dengan nilai ambang rendah maupun tinggi, di mana respon nyeri tertentu

membutuhkan input aferen konvergen yang berkembang dari waktu ke waktu

(37)

penting aktivitas neuron dan merupakan sinyal darurat matangnya respon nyeri

pada bayi.

2.2.6. Proses Supraspinal dan Integrasi

Pada usia kehamilan 8 minggu, neocortex fetus mulai berkembang dan pada

usia kehamilan 20 minggu masing-masing cortex telah mempunyasi seluruh

komplemen 109 neuron. Neuron aferen di thalamus memproduksi akson yang

ada di otak sebelum mid-gestasi. Serabut ini “berlama-lama” di bawah

neocortex hingga bermigrasi dan cortex neuron berakhir sempurna dan

perkembangan sambungan sinaps intracortex di sekitar usia kehamilan 20

minggu menjadi sempurna. Pada usia kehamilan 24-26 minggu, serabut

thalamocortical dan hubungan sinaps telah sempurna. Potensi somatosensoris

yang dibangkitkan sangat lambat dan sederhana sebelum usia kehamilan 29

minggu, namun, pada usia kehamilan 40 minggu, pola menjadi rumit. Cortex

cerebri secara fungsional matur (termasuk cortex sensorimotor, sistem limbik,

diencephalon, thalamus, area batang otak midbrain) pada usia kehamilan 22

minggu dan menjadi sinkron bilateral pada usia kehamilan 27 minggu.

Migrasi sel cortex dari lapisan germinal ventrikel di mana mereka berasal ke

lokasi spesifik di lempeng cortex sempurna pada usia kehamilan kira-kira 24

minggu. Struktur yang mendukung matriks germinal masih kaya akan

pembuluh darah setelah migrasi sel selesai hingga usia kehamilan 28 minggu,

mengakibatkan struktur tersebut berisiko terjadi perdarahan. Pada saat proses

migrasi dan diferensiasi, apopotosis atau kematian sel terprogram

menghilangkan neuron dalam jumlah besar dari area cortex cerebri yang

berbeda. Jumlah neurin cortex mencapai puncaknya pada usia kehamilan 28

minggu kemudian menurun hingga 70% sebelum lahir.

(38)

Pada usia kehamilan 20 minggu, electroencephalographic non spesifik secara

berkala muncul di kedua hemisfer otak. Mereka menetap pada usia kehamilan

22 minggu dan menjadi sinkron bilateral pada usia kehamilan 26-27 minggu.

Munculnya neuron non spesifik ini terjadi saat perkembangan neuron.

Hilangnya neuron tersebut memberi sinyal kegawatan terhadap potensial

spesifik dan maturasi sirkuit fungsi otak.

2.3. Jenis Pembedahan pada Pediatri

Seperti halnya pada dewasa, pembedahan pada pediatri juga dibagi menjadi 2

berdasarkan tingkat keparahan penyakit, bagian tubuh yang terkena, kompleksitas

operasi, dan waktu pemulihan yang diharapkan. Pembagian ini meliputi:

1. Operasi mayor

Meliputi operasi kepala, leher, dada dan beberapa operasi abdomen.

Waktu pemulihan dapat memanjang dan membutuhkan perawatan intensif

atau beberapa hari di rumah sakit. Terdapat risiko lebih tinggi untuk

komplikasi pada operasi tersebut. Beberapa jenis operasi mayor antara

lain:

 Eksisi tumor

 Koreksi malformasi tulang tengkorak

Repair penyakit jantung kongenital, transplantasi organ, repair defek

intestinal

 Koreksi abnormalitas spinal dan terapi cedera serius

 Koreksi masalah dalam perkembangan paru, intestinal, diafragma

atau anus

(39)

2. Operasi minor

Beberapa operasi pada anak termasuk operasi minor. Waktu pemulihan

pendek dan anak dapat segera kembali pada aktivitas biasa. Sebagian besar

operasi ini merupakan operasi poliklinis, dan anak dapat pulang ke rumah

di hari yang sama. Operasi-operasi ini meliputi:

Repair hernia

 Koreksi patah tulang

 Eksisi lesi kulit

 Biopsi

2.4.Penilaian Nyeri pada Pediatri

Penilaian nyeri merupakan komponen manajemen nyeri yang paling penting

dan kritis. Menilai nyeri pada anak-anak adalah hal yang menantang serta merupakan

tugas yang sulit, karena tidak ada metode yang dapat diandalkan untuk mengukur

nyeri pada anak. Self report anak merupakan indikator yang dapat dipercaya dalam

mengukur skala nyeri pada anak. Aspek kognitif dan emosional ditambah dengan

mekanisme pertahanan psikologis adalah variabel penting dalam menilai nyeri pada

anak. (24) Sayangnya hal ini hanya berlaku pada anak dengan kemampuan kognitif dan

komunikasi yang baik. Pada bayi atau anak dengan kemampuan kognitif dan

komunikasi yang kurang, self report anak tidak selalu memungkinkan dilakukan dan

penilaian nyeri berdasarkan pengamatan terhadap tingkah laku dan biologis adalah

satu-satunya cara. Salah satu cara menilai nyeri adalah QUESTT yaitu:

Q: Question the child – (tanyakan pada anak)

U: Use pain rating scales – (gunakan skala nyeri)

(40)

S: Secure parent’s involvement – (libatkan orang tua)

T: Take cause of pain into account – (perhitungkan penyebab rasa nyeri)

T: Take earliest action (segera ambil tindakan awal) (25)

Question the child

Pernyataan verbal anak dan deskripsi nyeri adalah faktor penting dalam

menilai nyeri. Anak usia < 2 tahun dapat melaporkan dan melokalisir nyeri, meskipun

pada usia ini anak belum mampu menggambarkan kuantitas dari intensitas nyeri.

Bertanya pada anak harus sabar dan gunakan kata-kata yang familiar pada anak.

Berbicara dengan orang tua sebelum bertanya pada anak adalah cara pendekatan

terbaik dan kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan dengan keluarga harus

digunakan. Anak pada usia berapapun dapat menyangkal rasa nyeri jika penanya

adalah orang asing, atau karena mereka takut menerima sejumlah injeksi untuk

mengatasi nyeri.

Use pain rating scales

Pada anak usia < 4-5 tahun dapat digunakan pengukuran skala nyeri standar

dalam menilai nyeri. Penilai harus terlebih dulu memperkenalkan dan berdiskusi

tentang pengukuran skala nyeri tersebut pada orang tua dan pasien. Beberapa metode

pelaporan diri yang dapat digunakan antara lain Hester’s poker chip tool, Eland’s

colour scale, Visual Analog Scale (VAS), Smiley Analog Scale, Oucher Scale of

Beyer and Wells, dan Work Graphic Scale of Tesler dkk. Idealnya, tidak ada satu

pengukuran skala nyeri yang lebih baik dari lainnya.

Pada anak usia > 7-8 tahun dapat digunakan pengukuran skala nyeri dengan

angka (Numeric Rating Scale – NRS) ataupun skala VAS. Dengan menggunakan

skala tersebut, nyeri dapat dinilai untuk menentukan rencana terapi dan juga menilai

keberhasilan terapi yang diberikan.

(41)

Gambar 2.2. Pengukuran Skala Nyeri: Visual Analogue Scale (VAS), Numerical Rating Scale (NRS) dan Facial Expressions Scale

Evaluate child’s behavior and physiologic changes

Perilaku stres tertentu misal menangis, mengaduh, meringis, postur penjagaan

dan gerakan badan lainnya seringkali berhubungan dengan nyeri dan dapat digunakan

untuk mengevaluasi nyeri pada anak dengan keterbatasan kemampuan berkomunikasi.

Namun, sangat sulit untuk untuk membedakan perilaku tersebut disebabkan oleh nyeri

atau penyebab lainnya seperti lapar, takut ataupun cemas.

Banyak skala pengukuran perilaku telah dipublikasikan seperti Directly

Observed Children’s Hospital of Eastern Ontario Pain Scale (CHEOPS); Face, Legs,

Cry, Activity Concolability scale (FLACC); Toddler Preschool Post Operative Pain

Scale; Ten Item Post Operative Pain Score; CRIES scale; facial expression scale of

Wong dan Nurse or Parent rating of pain.

Skala FLACC awalnya digunakan untuk menilai nyeri postoperatif anak usia 2

bulan hingga > 12 tahun. Skala FLACC dibuat sebagai metode sederhana yang

digunakan perawat untuk mengidentifikasi, mendokumentasi, dan mengevaluasi nyeri

pada anak yang tidak mampu menyatakan nyeri dan intensintas nyeri secara verbal.

(42)

komponen tersebut diberi nilai 0-2, sehingga nilai total 0-10. Skala FLACC telah

digunakan dalam berbagai populasi dan usia termasuk perawatan di NICU, anak yang

belum bisa bicara, anak dengan gangguan kognitif dan juga sebagai penilaian nyeri

postoperatif. (26)

Tabel 2.1. Skala FLACC (face, legs, activity, cry dan consolability) (26)

Sama seperti perubahan perilaku, perubahan fisiologis juga tidak dapat

dibedakan antara respon fisik terhadap nyeri ataupun bentuk stres lainnya.

Kebanyakan studi pengukuran fisiologis dipakai untuk mengukur nyeri akut, namun

merupakan indikator yang tidak dapat diandalkan untuk mengukur nyeri yang

persisten. Misal perubahan fisiologis terhadap nyeri adalah denyut jantung meningkat,

laju nafas dan tekanan darah meningkat, menangis, berkeringat, saturasi oksigen

menurun, pupil dilatasi, wajah kemerahan, mual dan otot menegang. Denyut jantung

adalah tanda yang paling sederhana dan cocok. Rangsang vagal dan variabilitas

denyut jantung seperti saat bernafas telah digunakan untuk mengindikasikan nyeri dan

distres. Denyut jantung akan menurun dan kemudian naik sebagai respon terhadap

nyeri tajam yang akut.

(43)

Pembedahan juga memicu dikeluarkannya hormon stres (kortikosteroid,

katekolamin, glukagon dan hormon pertumbuhan). Kecuali dilakukan pemeriksaan

laboratoris dan penelitian lebih lanjut, pengukuran tersebut tidak berguna secara klinis

untuk menilai dan mengobati nyeri.

Neonatal Infant Pain Scale (NIPS) merupakan skala perilaku untuk

mengevaluasi nyeri yang dapat digunakan untuk pasien neonatus prematur maupun

aterm. Skala ini merupakan adaptasi dari skala CHEOPS dan indikasi adanya nyeri

ataupun distres. Skala ini terdiri dari 6 indikator yaitu: ekspresi wajah, tangisan, pola

nafas, postur tangan, postur kaki, dan kesadaran. Tiap indikator mempunyai nilai 0

atau 1 kecuali tangisan, mempunyai nilai 0, 1, dan 2. Bayi hendaknya diobservasi

selama 1 menit untuk setiap indikator. Nilai nyeri total antara 0-7.

Tabel 2.2. Skala NIPS(Neonatal Infant Pain Scale)

Kriteria Skor 0 Skor 1 Skor 2

Ekspresi wajah Rileks Merengut -

Tangisan Tidak ada Mengomel Menangis hebat Pernafasan Rileks Berbeda dengan

basal

-

Postur tangan Rileks Tertekuk/tegang - Postur kaki Rileks Tertekuk/tegang - Kesadaran Tidur/tenang Tertekuk/tegang -

Intervensi terhadap nilai nyeri berbeda untuk setiap nilai nyeri. Keterbatasan

penilaian nyeri yang bukan merupakan self report adalah hambatan membedakan

antara nyeri dan kecemasan, namun intervensi non-farmakologis dapat membedakan

antara kedua hal tersebut.

(44)

Tabel 2.3. Intervensi pada Skala NIPS

Level Nyeri Intervensi

0-2 = tidak nyeri/nyeri ringan

3-4 = nyeri ringan-sedang

>4 = nyeri hebat

Tidak ada

Intervensi non-farmakologis dengan penilaian

ulang dalam 30 menit

Intervensi non-farmakologis dan intervensi

farmakologis dengan penilaian ulang dalam 30

menit

Gambar 2.3. Ekspresi Wajah Akibat Rangsangan Nyeri (27)

Tabel 2.4. Skala pengukuran CRIES (Crying, Requires O2 for SaO2 < 95%, Increased vital signs, Expressions, Sleepless)

(45)

Secure parent’s involvement

Orang tua harus diwawancara mengenai identifikasi awal dan perubahan

perilaku anak akibat nyeri. Mereka juga harus didorong untuk berpartisipasi secara

aktif dalam menilai nyeri, kemajuan dan juga strategi pengobatan nyeri anak mereka.

Take cause of pain into account

Etilogi dan jenis preosedur dapat memberikan gambaran intensitas dan jenis

nyeri yang dirasakan anak.

Take a quick action to relieve the pain

Temukan tingkat nyeri yang dapat ditolerir anak dan gunakan metode yang

sesuai untuk mengatasinya.

2.5. Tingkat Kecemasan pada Anak

Kecemasan merupakan salah satu perasaan paling menyedihkan dalam kondisi

preoperatif yang dapat mengganggu praktik medis sehingga menyebabkan pasien,

terutama anak, enggan berkomunikasi atau meminum obat, menolak pemasangan

infus ataupun memasuki ruang operasi. Sebuah penelitian oleh Fortier dkk

menyebutkan bahwa tingkat kenyamanan anak yang rendah dan kecemasan orang tua

yang tinggi berhubungan dengan kecemasan anak perioperatif. Tingkat kecemasan

(46)

dokter. (28) Kecemasan preoperatif ditandai dengan perasaan tegang, ketakutan,

kegelisahan, dan kekhawatiran. Faktor yang mempengaruhi kecemasan pada masa

preoperatif antara lain: mood anak sebelum operasi, kenyamanan yang kurang,

sosialisasi yang kurang, perilaku adaptif, impulsif, pengalaman pembedahan

sebelumnya, pengalaman rawat inap sebelumnya, perlakuan tidak baik dari staf dokter

anak, maupun adanya kecemasan anggota keluarga. (29) Saat mengevaluasi kecemasan

pada anak, sangatlah penting untuk menggunakan metode yang dikembangkan secara

khusus untuk usia kelompok tertentu yang memungkinkan evaluasi psikiatrik,

evaluasi klinis, evaluasi diri atau skala observasional dan evaluasi anggota keluarga.

Berbagai skala yang didisain untuk digunakan oleh klinisi, orang tua, guru ataupun

anak telah dikembangkan untuk mengevaluasi adanya kecemasan pada anak. Namun,

sebagian besar tidak cocok digunakan untuk mengevaluasi kecemasan pada anak

prasekolah di masa preoperatif. Untuk anak usia < 5 tahun, Kain dkk menyebutkan

bahwa skala YPAS, yang kemudian dimodifikasi menjadi mYPAS digunakan untuk

anak saat preanestetik dan induksi. mYPAS meliputi observasi 5 komponen yang

menggambarkan hubungan anak dengan lingkungannya (aktivitas dan gairah),

vokalisasi, ekspresi emosi dan interaksi dengan anggota keluarga.

(47)

Selain mYPAS, penilaian kecemasan dapat dilakukan dengan menggunakan

State-Trait Anxiety Inventory (STAI). STAI merupakan self report yang meliputi 2-20

komponen, skala penilaian meninjau ciri khas dan kondisi cemas. Ibu merespon pada

skala bernilai 4 dan skor total dari setiap kuisioner berkisar antara 20 hingga 80 di

mana nilai yang lebih besar menggambarkan kondisi cemas yang lebih besar. Korelasi

tes-tes ulang dari STAI adalah tinggi yaitu 0.73 hingga 0.86. Validitas instrumen

diperiksa dalam 2 studi di mana STAI dinilai dengan memberikan kondisi stres

rendah dan tinggi pada sampel murid yang cukup besar. Nilai r berkisar antara 0.83

hingga 0.94 menunjukkan validitas yang sangat baik. (30)

Sayangnya STAI pada anak hanya dapat digunakan untuk menilai kecemasan

anak usia 9-12 tahun. Skala ini terdiri dari 2 bagian yaitu anxiety state (A state) dan

trait state (T state). Meski disusun untuk anak usia 9-12 tahun, namun penilaian ini

juga dapat dilakukan pada anak lebih muda dengan kemampuan membaca rata-rata

ataupun di atas rata-rata dan anak lebih tua dengan kemampuan membaca di bawah

rata-rata. A state terdiri dari 20 pertanyaan yang menanyakan perasaan mereka pada

saat tertentu. Hal tersebut mengukur keadaan cemas sementara, yang secara subyektif

(48)

menanyakan perasaan mereka secara umum. Hal tersebut mengukur perbedaan

individu relatif dalam kecemasan rawan, yaitu perbedaan anak yang mempunyai

kecenderungan untuk mengalami cemas.

2.6.Sedasi dalam Mengatasi Kecemasan (31)

Lebih dari separuh anak-anak yang dijadwalkan operasi yang membutuhkan

anestesi umum akan mengalami stres dan ketakutan yang dapat menyebabkan

kurangnya kooperasi. Momen perpisahan anak dari orang tua saat memasuki kamar

operasi dapat menjadi momen yang paling sulit. Beberapa anak yang cemas akan

menunjukkan kecemasan dan ketakutan mereka baik secara verbal maupun nonverbal.

Berbagai teknik farmakologi dan nonfarmakologi telah digunakan untuk mengatasi

situasi ini. Metode nonfarmakologi lebih sering digunakan untuk mengurangi tingkat

kecemasan dan meningkatkan kerja sama. Sebagian anak mempunyai respon yang

baik saat menonton film kartun, bermain video games ataupun dihipnotis. Dokter

dengan kostum badut, stimulasi sensorik yang sedikit, ataupun terapi musik telah

dilakukan untuk membuat lingkungan lebih nyaman bagi anak. Meskipun metode

nonfarmakologi dapat meningkatkan kooperasi anak, namun metode ini tidak

menurunkan tingkat kecemasan secara konsisten.

Sedangkan metode farmakologi untuk mengatasi kecemasan pada anak antara

lain pemberian sedasi, anticemas, analgetik, dan anestesi. Pemberian sedasi secara

kontinyu tidak disarankan untuk dilakukan.

2.6.1. Midazolam

Dari beberapa studi, midazolam merupakan terapi pilihan dalam mengatasi

kecemasan proepratif pada anak. Midazolam dapat diberikan secara oral

(49)

maksimal 15 mg dan diberikan 15 hingga 30 menit sebelum prosedur. Dosis

intranasal yang diberikan adalah 0,2 mg/kg, maksimal 5 mg dan diberikan 5

menit sebelum prosedur. Pemberian midazolam preoperatif menunjukkan

tingkat stres yang lebih kecil dalam berbagai pengukuran. Sedikit efek

samping muncul. Midazolam dapat menyebabkan reaksi agitasi paradoksal

pada sebagian kecil anak. Reaksi ini telah ditunjukkan dalam laporan kasus

disertai dengan pemberian antidotum midazolam (flumazenil) baik pada anak

maupun dewasa. Ketamin, obat anestesi disosiatif, telah terbukti lebih efektif

mengatasi kecemasan daripada midazolam dengan dosis lebih besar ataupun

plasebo.

Efek amnesia tidak tergantung rute pemberian, karena tidak terdapat

perbedaan signifikan efek amnesia pada pemberian oral (0,45 mf/kg) dengan

intramuskular (0,2 mg/kg) pada anak. Midazolam terbukti memberikan

amnesia total atau parsial pada 90% anak yang menjalani aspirasi sumsum

tulang atau pungsi lumbal. (32)

Efek samping midazolam pada dosis tinggi yaitu hipoventilasi dan

hipoksemia. Depresi nafas dilaporkan terjadi pada dewasa namun hanya

terdapat sedikit laporan tentang depresi nafas pada anak. Depresi nafas

berbanding lurus dengan dosis yang diberikan, sehingga pemberian dosis

harus dipantau secara ketat.

2.6.2. Nitrous Oxide (N2O)

Dua studi mengevaluasi nitrous oxide dengan pemberian kontinyu 50% dan

70%. Pada studi yang dilakukan Keidan dkk dengan membandingkan 50%

nitrous oxide dengan 0,5 mg/kg midazolam oral menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan antara midazolam dan nitrous oxide.

Gambar

Tabel 5.32.
Gambar 2.1. Perjalanan Nyeri
Tabel 2.2. Skala NIPS (Neonatal Infant Pain Scale )
Gambar 2.3. Ekspresi Wajah Akibat Rangsangan Nyeri (27)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adalah salah satu jenis sensor suhu yang mempunyai koefisien temperatur yang tinggi, dimana komponen ini dapat mengubah nilai resistansi karena adanya perubahan

Hal ini dikarenakan Flame velocity pada hydrogen jauh lebih besar dari pertamax terlihat pada table 1, sehingga menyebabkan rambatan pembakaran pada ruang bakar menjadi

PALI Tahun Anggaran 2016, dengan ini kami umumkan pemenang lelang pekerjaan tersebut diatas :.. Pemenang

[r]

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan Tugas Akhir yang

Dengan demikian perusahaan manufaktur di Indonesia rawan terhadap konsekuensi excess cash holdings maupun cash shortfall karena saldo kas akhir tahun perusahaan yang tidak

Sehingga bukanlah hal yang berlebihan jika umat Islam selalu optimis bahwa betapa pun hebat perkembangan transaksi kontemporer di era globalisasi akan selalu dapat diikuti

Dari rangkaian kegiatan penelitian tentang pengembangan profesionalisme guru melalui penulisan karya tulis ilmiah bagi guru profesional di SMA Negeri 1 Kauman