• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan Terdakwa : Eddie Widiono Soewondho

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemeriksaan Terdakwa : Eddie Widiono Soewondho"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

Selasa, 30 November 2011

Pemeriksaan Terdakwa : Eddie Widiono Soewondho

Hakim Ketua : Silahkan. Kita mulai pemeriksaan diri saudara hari ini ya. Saudara

pernah diperiksa oleh penyidik KPK ya?

Terdakwa : Pernah Yang Mulia.

Hakim Ketua : Pernah. Sebelum saudara menandatangani berita acara tersebut saudara

membacanya ya?

Terdakwa : Iya Yang Mulia.

Hakim Ketua : Benar keterangan saudara di sana?

Terdakwa : Benar Yang Mulia

Hakim Ketua : Baik. Coba ceritakan dari awal mengenai CIS RISI ini?

Terdakwa : Baik Yang Mulia.

Hakim Ketua : Saudara menjabat Dirut PLN tahun berapa?

Terdakwa : Saya menjabat Dirut PLN tahun 2001 bulan Maret.

Hakim Ketua : Sampai dengan?

Terdakwa : Sampai dengan bulan Maret tahun 2008.

Hakim Ketua : Sebelum itu saudara menjabat sebagai apa?

Terdakwa : Sejak tahun 1998-2001 saya menjabat sebagai Direktur Pemasaran dan

Distribusi PLN.

Hakim Ketua : Ketika PLN mengadakan kerja sama dengan pihak ITB, jabatan saudara

(2)

Terdakwa : Pada saat kerja sama itu sebelum tahun 1998 Yang Mulia, saya bekerja sebagai Direktur Niaga dan Pengembangan Usaha pada PT. PLN, anak perusahaan PT.PLN pembangkitan Jawa-Bali 1.

Hakim Ketua : Menyangkut kerja sama PLN dengan ITB, apa yang saudara ketahui itu?

Terdakwa : Saya tidak mengetahui kerja sama PLN Disjaya dengan ITB sampai

tahun 2000, pada saat mana General Manager PLN Disjaya melaporkan pada saya bahwa PLN Disjaya mendapat kesulitan karena tidak bisa menerapkan system informasi. Baru pada saat itu say diberi masukan-masukan mengenai progress atau status terakhir dari kerja sama PLN Disjaya dengan Politeknik ITB.

Hakim Ketua : Terus?

Terdakwa : Dari laporan saudara Margo Santoso pada saat itu, saya mendapat

kesimpulan bahwa project implementasi SIMPEL RISI tersebut mengalami keterlambatan yang sangat parah terutama karena ketidaksiapan PLN dalam menyediakan SDM dan peralatan hardware?

Hakim Ketua : SIMPEL RISI ini kerja sama PLN dengan ITB ya?

Terdakwa : Ya PLN dengan ITB.

Hakim Ketua : Terus?

Terdakwa : Pada waktu itu Pak Margo melaporkan pada saya, bahwa beliau gagal

mendapatkan pendanaan dari APLN untuk lanjutan dari kontrak yang sudah tiga kali mengalami addendum. Sehingga waktu itu menanyakan pada saya, apakah ada jalan keluar? Terus terang saja, saya tidak mempunyai jalan keluar, saya justru menambahkan kepada beliau bahwa “wah ini situasinya gawat kalau TDL jadi naik di akhir tahun 2000 dan Pak Margo belum siap dengan system informasi”. Beliau setuju bahwa ini menjadi masalah yang besar. Itulah introduksi saya pada permasalahan SIMPEL RISI kira-kira bulan Mei tahun 2000 Yang Mulia.

(3)

Hakim Ketua : Hmm. Terus?

Terdakwa : Selanjutnya saya tidak mendengar apa-apa mengenai masalah ini ya.

Ada sekali saja Pak Margo bercerita pada saya tahun 1995 eh maaf tahun 1999 bulan Mei tiba-tiba SIMPEL RISI ini di SIDAK oleh Dirut pada waktu itu dan kemudian sebagian dari tugas Politeknik yaitu SIMKEU dan SIMMAT kalau saya tidak salah itu dikeluarkan dari kontrak. Saya mendapat kesan tentang kontrak itu belum ditutup. Tetapi posisinya PLN berada dalam posisi kurang lebih berhutang karena tidak bisa menyelesaikan tidak bisa menutup dan pada saat yang sama juga membutuhkan suatu system informasi. Kejadian ini diikuti dengan bulan September sekitar pertengahan atau akhir bulan di September.

Hakim Ketua : Di tahun?

Terdakwa : Tahun 2000 masih Yang Mulia. Saya mendapat tembusan surat dari

Netway pada waktu itu, mohon kesempatan untuk presentasi. Kemudian

saya mendapat informasi dari Pak Margo, bahwa memang Netway

merencanakan untuk mengajukan suatu proposal yang pada waktu itu disebut CIS Outsourcing Solution, dan atas informasi tersebut, saya membuka pintu dan menyediakan waktu untuk mendengarkan presentasi. Setahu saya, sebelum presentasi di tempat kami, di Direktorat Pemasaran, Netway sudah melakukan presentasi di PLN Disjaya, di tempat saya kalau tidak salah tanggal 27 September. Di Disjaya tanggal 21 September. Pada waktu mereka datang mengajukan presentasinya, saya berkesimpulan bahwa presentasi ini banyak kesesuaian dengan kebutuhan PLN pada waktu itu. Perlu kami sampaikan, bahwa berbeda dengan apa yang dicatat dalam beberapa BAP rekan-rekan, presentasi pertama dari Netway, sama sekali tidak menyinggung masalah SIMPEL RISI atau CIS RISI. Ini pernyataan saya. Karena pada waktu itu, Netway hanya menyatakan saya mempunyai solusi CIS Outsourcing Solution. Netway juga menunjukan kepada kami, bahwa mereka sudah siap dengan data-data yang cukup dan itu ditunjukkan dan juga saya sampaikan di dalam BAP, yang menarik perhatian saya, presentasi itu

(4)

tidak mempunyai latar belakang system informasi.Oleh karenanya saya tidak tertarik pada masalah IT nya. Untuk Bapak Hakim Yang Mulia ketahui, masalah IT itu dikomandoi oleh Divisi Sistem Informasi di bawah Direktorat Perencanaan. Direktorat saya Pemasaran dan Distribusi, berkaitan dengan Pelayanan pelanggan dan pengembangan usaha. Oleh karenanya saya melihat dari aspek pengembangan usaha ya. Karena dalam tawaran mereka, mereka menyadarkan bahwa mereka akan menyedikan dana investasi untuk memenuhi kebutuhan investasi PLN di bidang IT. Kemudian untuk itu mereka minta untuk di kontrak selama 5 tahun dengan tawaran pada waktu itu, angka yang disebut belum tawaran yang resmi sekitar 5 ribu Rupiah per pelanggan. Tapi modus kerja nya adalah Outsourcing seluruh pekerjaan. Pada waktu itu yang ditwarkan sekali lagi bukan CIS RISI, tetapi tawarannya adalah mereka akan membawa modernisasi system informasi ini menjadi CIS IBP (Industrial Best Practice) yang berarti yang berarti saya belakangan ketahui bahwa itu tingkatnya adalah di atas CIS RISI apakah CIS RISI Standard, CIS RISI Standarad Plus itu belum mencapai IBP. Atas presentasi tersebut saya melapor kepada Pak Dirut, dalam rangka

Dipotong oleh Hakim Ketua

Hakim Ketua : Siapa Dirut nya?

Terdakwa : Pak Kuntoro Mangkusubroto. Dan kalau Bapak Hakim Yang Mulia

Melihat, ini keberadaan rapat Direksi yang membahas masalah ini walaupun sebentar sekali juga dikonfirmasi oleh dua saksi yaitu Pak Tunggono dalam BAP nya, beliau hadir dan Pak Azis Sabarto. Di sana saya melaporkan bahwa ada usulan ada gagasan dari pihak swasta untuk melakukan Outsource dari pekerjaan ini. Sebagai latar belakang Yang Mulia kami sampaikan, pada tahun 2000 tersebut, PLN dalam keadaan rugi yang sangat parah. Sejak tahun 1997 seingat saya PLN terus merugi dan tahun 2000 itu kondisi terparah pada saat mana kerugian kita mencapai 26 Triliun. Satu tahun itu. Mengapa ini bisa merugi? Ini tidak lain karena kejatuhan harga Rupiah terhadap Dollar dan karena hampir 70% dari biaya PLN itu terkait dibayarkan dalam Dollar, antara lain

(5)

listrik swasta, pembelian BBM dan sebaginya, sedangkan pendapatan PLN dalam Rupiah, maka otomatis timbul kerugian yang sangat besar yang tidak bisa ditutupi dari sumber-sumber di PLN. Kami jelaskan latat belakang yang lain, atas kerugian yang cukup besar tadi, pemerintah merencanakan untuk merestrukturisasi sector ketenagalistrikan dan itu dimulai dampaknya di PLN setahu saya, pada tahun 1994 itu ada tim dari Universitas Indonesia, yang melakukan kajian dampak resutrkturisasi PLN, kemudian diikuti dengan pembentukan anak perusahaan, PJB 1 dan PJB 2. ini merupakan respon PLN terhadap krisis listrik yang terjadi krisis perekonomian yang terjadi pada waktu itu. Tetapi pada saat yang sama pemerintah mendapat tekanan dari IMF dan Bank Dunia. Pemerintah untuk segera membuka pasar ketenagalistrikan di Indonesia, dan itu diwujudkan tahun 1996, ada konsultan yang dibiayai Bank Dunia, yaitu Anderson Consulting, menyelesaikan suatu studi yang disebut ITSP (Information Technology Strategic Plan) yang sangat controversial waktu itu. Kemudian pemerintah mengkontrak Copperson konsultan yang juga dibiayai Bank Dunia, yang memberikan gagasan bagaimana memecah pasar listrik Indonesia, atas secara vertical, ada pasar pembangkitan, nanti ada pasar distribusi dan ada sisi monopoli yang disebut wire business. Studi tersebut diambil oleh pemerintah menjadi yang disebut white paper pemerintah pada waktu itu Menterinya Pak Kuntoro, masih. Nah white paper ini sudah menggambarkan PLN akan mengalami yang disebut unbundling. Pemisahan fungsi pembangitan, fungsi kawat, wire business fungsi transmisi dan distribusi, dan fusngsi retail. Kemudian dalam studi itu disampaikan bahwa PLN Distribusi Jakarta akan dijadikan Strategic Business Unit (SBU) kemudian akan di Strategic Partner kan dengan pihak asing. Jadi istilah kami Disjaya akan dijual. Begitu. Itu merupakan sebuah informasi yang

merata, tahun 1999 pada waktu Dirut nya Pak Adi Satria. Akhir 1999

karena masalah listrik swasta, Pak Adi Satria mundur dan digantikan

Pak Kuntoro yang sudah turun dari Menteri menjadi Dirut PLN.

(6)

Terdakwa : Baik Yang Mulia. Yang ingin kami gambarkan adalah

Hakim Ketua : Latar belakang sudah tadi ya.

Terdakwa : Tahun 2000 tersebut kami semua berpendapat bahwa satu-satunya jalan

keluar, bagi PLN untuk keluar dari krisis, yang terutama adalah kita harus menaikkan TDL. Kenaikan TDL itu berlangsung di tengah suasana penolakan. Karena beban masyarakat akibat krisis sudah cukup berat. Oleh karena itu kami sangat berhati-hati, jangan sampai kenaikan TDL ini memicu suatu penolakan dari masyarakat. Salah satu kelemahan dari Distribusi Jakarta adalah tahun 1999 Distribusi Jakarta mengalami re organisasi. 7 cabang dirubah menjadi 35 area pelayanan. Re organisasi tadi maksudnya baik, tetapi karena system informasi nya terlambat, maka koordinasi dari 35 AP tersebut menjadi kacau. Akibatnya di akhir tahun 2000, kami semua mendapat laporan dari KAP (Kantor Akuntan Publik) bahwa PLN kemungkinan akan kehilangan status wajar tanpa persyaratan, karena di PLN Distribusi Jakarta itu ada dana pendapatan PLN hampir 800 Miliar yang gagal di rekonsiliasi akibat datanya tidak baik. Jadi ada pressure dari kebutuhan tersebut. Juga di tahun 2000 itu meskipun kami sudah berusaha mencegah muncul ke permukaan dimana oknum PLN ini berhasil menyembunyikan uang pendapatan, memutar sekitar hampir 6 miliar dan itu dan itu muncul sebagai berita besar pada waktu itu yang disebut sebagai Kapyanto Gate. Berita-berita ini sangat memukul kita dalam persiapan kita menghadapi kenaikan Tarif Dasar

Listrik. Oleh karena itu pada waktu Pak Margo mengeluh pada saya dan

melaporkan bahwa kita harus mencari terobosan, ya saya menganggap bahwa keberadaan suatu system informasi, menjadi mutlak diperlukan. Pak Margo juga melaporkan pada saya bahwa system informasi SIMPEL RISI itu sebenarnya mendapat restu dari Bank Dunia. Dan sudah akan didanai Bank Dunia sebesar 39 Juta Dollar, di akhir tahun 1999 tersebut, tapi Bank Dunia menarik diri. Saya berkoordinasi dengan Direktur Keuangan dan mendapat informasi dari Direktur Keuangan, bahwa

(7)

Terdakwa : Pak Parno Isworo. Bahwa dengan menarik dirinya Bank Dunia ini, karena situasinya PLN, paling cepat dana Bank Dunia itu baru akan masuk ke PLN tahun 2003, masuk kembali ke PLN tahun 2003.Nah masalahnya adalah sebenarnya Bank Dunia punya program, yang mendukung ITSP yang dibuat Anderson Consulting, yaitu pendanaan sebesar 250 Juta Dollar. Dan itu sudah disiapkan tetapi karena krisis tadi, berhenti juga. Jadi dari tahun 2001 sampai 2003, kita sudah perkirakan bahwa kita akan menjadi sasaran tembak. Tariff naik, kita tidak mampu mengamankan, pendapatan karena tidak mempunyai system informasi, dan oleh karena itu tawaran Netway, untuk membiayai investasi yang pada waktu itu tidak mungkin dilakukan oleh PLN, menjadi suatu tawaran yang sangat menarik. Lebih menarik lagi bagi saya, karena saya berlatar belakang sebetulnya pemasaran dan pengembangan usaha. Saya melihat bahwa pada tawaran tersebut ada suatu kesempatan bagi PLN untuk bisa mengembangkan bisnisnya di luar sector ketenagalistrikan. Dan ini dimungkinkan oleh Undang-Undang yang rencananya akan dibangun. Mungkin Bapak hakim bisa memaklumi PLN pada waktu itu berusaha mencari pendapatan di luar sector listrik, karena sector listrik itu tergantung pada tariff. Kami mencari pendapatan di luar sector listrik, kami berusaha mencari pendapatan dalam US Dollar, karena berusaha mengurangi gap antara pendapatan Rupiah dan biaya US Dollar. Dan

untuk itu Pak Kuntoro pada tahun 2000 merestui dan membentuk PT.

Icon Plus, anak perusahaan telematika PLN, yang pada waktu itu ditugasi untuk memanfaatkan asset PLN, antara lain kabel-kabel fiber optic, kemudian kemampuan computer kita, untuk bisa dikerjasamakan dengan sector telekomunikasi. Yang pada saat itu sedang booming. Jadi ini bagian strategi besar, bahwa kita ingin men-tap pendapatan dari sector telekomunikasi, dan sector perbankan yang kita perkirakan akan tumbuh. Oleh karena itu, ide Netway untuk membentuk OSCO (Outsourcing Company) itu saya anggap dari sisi pengembangan usaha merupakan suatu opportunity bagi PLN, dan karena nya kami mencoba sejauh mungkin meng-entertain ide ini. Kami lanjutkan situasi yang lain adalah di tahun 2000 karena situasi demikian krisis dan PLN itu harus

(8)

mengeluarkan Dekrit Desentralisasi kewenangan penuh kepada para GM, untuk masalah operasional. Jadi semua kegiatan operasional dikeluarkan dari PLN Pusat. Semua esselon 1 di bawah Direktur, yang berkaitan dengan operasi dihapuskan. Wilayah-wilayah diwajibkan berdiri sendiri. Sedemikian drastisnya sehingga keluar yang disebut SK 075, SK Pengadaan 075 pada waktu itu, bulan Oktober tahun 2000, yang menyatakan bahwa batasan kewenangan pemimpin wilayah (GM) untuk anggaran APLN itu tidak terbatas. Jadi berapa pun mereka mau melakukan pengadaan, silahkan. semua kewenangan , hak dan kewenangan diserahkan. PLN pusat berkonsetrasi kepada masalah-masalah strategis. Dalam kaitan dengan CIS RISI OSCO, karena Outsourcing Company ini merupakan suatu pembentukan anak perusahaan baru, maka saya menganggap ini masalah strategis dan kita berusaha untuk membantu Distribusi Jakarta di dalam membangun OSCO tersebut. Singkat kata, sebetulnya ada suatu cacat yang fundamental dalam usulan PLN Disjaya megenai OSCO, yaitu Disjaya menganggap bahwa PLN Disjaya ingin bekerja sama dengan Netway, membentuk anak perusahaan, anak perusahaan ini diberi pekerjaan di Disjaya, setelah besar nanti dipakai untuk “berjualan” PLN Disjaya “berjualan” di wilayah-wilayah PLN yang lain. Ide dasarnya sebenarnya demkian. Namun karena harus berdasarkan governance yang baik, rasanya tidak mungkin pimpinan PLN Disjaya sebagai bohir dari pekerjaan itu juga sekaligus sebagai pemegang saham dari anak perusahaan tersebut. Oleh karena itu dalam ide arahan kami selanjutnya kepada Disjaya adalah “Hei tolong kamu kembali kepada fungsi anda sebagai pemberi pekerjaan, dan serahkan masalah kerja sama ini dengan anak perusahaan PLN yang lain yang disebut Icon Plus, yang memang bidangnya adalah telematika. Itu saya nyatakan dalam surat 15 Januari Yang Mulia. Namun sebelum surat 15 Januari ini, memang karena mungkin situasinya pada waktu itu demikian gawat bagi Disjaya, ada serangkaian tindakan yang pada waktu itu memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya PLN Disjaya menulis surat pada kami tanggal 6 Oktober, minta izin mengeluarkan Letter of Intent untuk melakukan negosiasi. Izin tersebut, permohonan izin tersebut tidak kami respon

(9)

karena sebetulnya pada waktu itu belum pernah ada izin formal bagi Distribusi Jakarta untuk melakukan Outsourcing. Hasil konsultasi kami dengan Direksi, mengizinkan Outsourcing. Sehingga itulah yang kami jawab. Kami tidak memberikan izin Letter of Intent, karena pada waktu itu pemahaman kami. Letter of Intent ini sudah mempunyai nilai keterikatan. Meskipun dikatakan di situ tidak megikat, tetapi secara moril kalau sudah mengeluarkan Letter of Intent kepada suatu perusahaan ini sifatnya mengikat. Surat kami menyatakan kepada GM, tolong konsentrasi pada pekerjaan persiapan. Buat rencana masukan anggaran, dan lakukan sosialisasi. I’tikad kami menyampaikan hal itu adalah, karena OSCO ini kerja sama Outsourcing Company ini, sesuatu yang baru di PLN, ini sangat mudah disalah mengerti. Begitu. Jadi perintah kami pada waktu itu, lakukan sosialisasi, lakukan perencanaan. Tetapi mungkin karena ketergesaan, Disjaya langsung melakukan pembicaraan dengan Netway, dan bulan Desember Disjaya megeluarkan suatu surat, kepada kami yang isinya meminta izin kerja sama dengan rincian. Sebenarnya rinciannya financial model tapi disebutkan tahun pertama sekitar ratusan miliar, tahun kedua ratusan miliar. Dan surat tersebut adalah surat terbuka, sehingga akhir tahun 2000 tersebut, PLN pusat gempar karena nadanya seolah-olah Direktur Pemasaran akan menunjuk langsung suatu perusahaan dengan nilai 900 Miliar. Padahal itu sangat premature sekali, dan belum pernah ada angka pembicaraan menyangkut itu. Karena timbul masalah ini khususnya timbul pendapat juga kritik dari Sunggu Aritonang pada waktu itu Divisi Sistem Informasi, yang menyatakan “Kenapa kok Disjaya berani menyebutkan produknya CIS-IBP?” padahal berlum pernah konsultasi dengan tim CIS-IBP di PLN pusat. Di PLN pusat itu ada tim, terdiri beberapa divisi yang merumuskan CIS-IBP itu seperti apa binatangnya? Nah itu belum pernah konsultasi. Jadi awal Januari kami mengarahkan supaya Distribusi Jakarta tetap berposisi sebagai Bohir serahkan ownership kerjasamanya kepada Icon, dan kemudian telaah dengan tim IBP PLN pusat apa-apa saja yang. Salah satu keberatan lain adalah kerja samanya kenapa 5 tahun? Karena mereka sudah mendapat informasi bahwa sekitar 2003 dana dari Bank Dunia akan masuk. Kalau dana dari Bank

(10)

Dunia akan masuk maka ITSP akan jalan dan PLN akan mengadakan tender CIS-IBP. Begitu. Karena dalam surat 15 Januari, kami juga mengarahkan supaya masa kerja sama pembentukan OSCO itu diturunkan dari 5 tahun menjadi 3 tahun. Atas arahan kami, Disjaya membentuk tim dan melakukan berbagai kajian. Setelah itu bulan Maret saya diangkat menjadi Dirut dan saya ketahui Pak Margo tanggal 14 Maret menulis surat kepada Direktur Pemasaran. Sayangnya pada waktu saya diangkat menjadi Dirut, saya juga diberhentikan sebagai Direktur Pemasaran, sehingga surat Pak Margo pada waktu itu tidak terjawab karena jabatan Dirsar lowong pada waktu itu. Tidak ada pejabatnya. Saya naik menjadi Dirut, kemudian hari ada ketetapan Pak Tunggono yang menjadi Dirsar, tetapi itu sudah berkisar bulan Juli. Jadi sampai bulan Maret itu, Pak Margo sudah seingat saya menulis 3 surat yang minta izin. Supaya diizinkan bekerja sama dengan Netway. Dan belum pernah satu kali pun kami mengeluarkan suatu izin. Karena kita ingin persiapan pekerjaannya lebih. Lebih keras lagi. Rupanya karena surat 14 Maret ini tidak terjawab, maka pada tanggal 31 Mei, Pak Margo menulis surat kepada Dirut juga minta izin untuk menunjuk Netway sebagai partner. Ini mohon Yang Mulia kami beri penekanan, karena dalam konsep Outsourcing Company tadi, kita harus menyelesaikan vehicle nya dulu. Baru setelah itu kita pikirkan ini mau diberi pekerjaan bagaimana. Begitu. Nah usul penunjukkan langsung Netway ini pernah dibicarakan sebagai partner ini pernah dibicarakan dalam rapar direksi. Memang betul anggota direksi pernah menyarankan yaitu Pak Hardiv pernah menyarankan bahwa menunjuk partner itu harus kuat dasar hukumnya. Misalnya melalui tender. Sebagai seseorang yang mempunyai background di bidang pengembangan usaha, pada waktu itu sudah saya coba jelaskan kepada Pak Hardiv, bahwa di dunia nyata itu tidak ada orang memilih partner melalui proses tender. Kalau pendagadaan iya, tetapi memilih partner itu pertimbangannya banyak sekali. Jadi ini tidak bisa dilakukan dengan tender terbuka dalam konsep pengadaan. Kemudian saya katakan bahwa OSCO ini hanya bekerja sebagai perantara saja. Sampai 2003. pada saat mana nanti kita melakukan tender untuk CIS IBP. Nah kelanjutan dari OSCO ini apabila ada tender

(11)

tersebut, itu juga dipertanyakan. Kalau OSCO sudah milik PLN sebagian, apakah nanti bisa PLN itu level dalam tender CIS IBP. Kalau ada peserta lain yang tidak me Roll Out seperti PLN. Oleh karena itu dalam pembicaraan strategi, pada waktu itu bulan Mei itu, saya menyarankan coba diselidiki kemungkinan siapa saja memang yang berminat untuk masuk di CIS IBP. Dan coba lakukan pendekatan dengan vendor-vendor itu juga mengenai perjanjian Outsourcing Company. Begitu. Jadi intinya sebenarnya adalah pendekatan Outsourcing dan itu terus terang saja bukan dari kami. Dirut tahun 2000, dalam RKAP 2001, Pak Dirut, Pak Kuntoro sudah menyampaikan dan juga didukung oleh pemegang saham agar mencari upaya melepaskan ketergantungan PLN dari pendanaan pemerintah. Oleh karenya kerja sama dengan swasta menjadi sesuatu yang harus ditempuh pada waktu itu. Sebagai ujung tombaknya adalah kerja sama di bidang pembangkitan yang pada waktu itu dikenal dengan nama TMP. Total Maintenance Timesheet, Total Maintance Contract di mana pembangkit milik PLN, seluruh proses pembiayaannya mulai dari beli spare part, masang, sampai menjamin keandalannya itu dilakukan oleh pihak swasta dan itu sudah berjalan dari tahun 1997 tapi baru naik ke permukaan sekitar tahun 2000. Tahun 2001 ada 11 kontrak semacam itu dan sudah dilaksanakan oleh PLN. Oleh karena itu, Outsourcing di bidang distribusi itu merupakan konsekuensi logis dari situasi PLN pada waktu itu yang tidak mampu melakukan pendanaan investasi.

Hakim Ketua : Akhirnya ditunjuk ya?

Terdakwa : Belum Yang Mulia. Belum. Jadi bulan Agustus, direksi belum mencapai

satu kesepahaman. Dalam berbagai rapat belum mencapai kesepahaman. Mau di apakan usulan Distirbusi Jakarta tanggal 31 Mei itu. Bertepatan dengan itu kami menerima satu surat dari Setwapres, Sekretariat Wapres yang menyatakan bahwa ini ada surat kaleng yang menyatakan bahwa proses penunjukkan Netway itu tidak transparan. Menunjukkan kepada Direksi itu tidak professional dalam anunya. Terus kami diminta membuat penjelasan kepada Sekretariat Wapres mengenai hal itu. Atas

(12)

kejadian tersebut, kami kumpulkan Direksi dalam rapat, panggil GM Disjaya, suruh kami minta mempresentasikan lagi, dan kemudian atas usulan Disjaya tadi, ada 4 rentang keputusan yang kami arahkan untuk diambil Direksi. Yang pertama setuju. Maaf, yang pertama tidak setuju terhadap usulan Distribusi Jakarta. Yang kedua setuju dengan catatan ya. Ada pembatasan dalam lingkup. Yang ketiga kita angkat saja masalahnya ke Dekom atau RUPS, kalau Dekom dan RUPS setuju, kita teruskan. Kalau nggak, ya nggak. Yang ke-empat setuju dan megizinkan Distribusi Jakarta untuk membuat Letter to Proceed. Jadi surat permohonannya sebenarnya minta izin menunjuk Netway dan mengeluarkan Letter to Proceed. Yang Mulia, yang ke-empat ini pendapat saya sangat riskan. Karena Letter to Proceed itu berarti Netway boleh berinvest, sudah mulai belanja ,sudah boleh melakkan mobilisasi, meskipun pembicaraan belum selesai. Oleh karena itu yang ke-empat kita drop. Yang ke-tiga ini memang sebagian juga menyarankan coba konslutasi dulu. Oleh karena itu konsultasi informal coba kami lakukan. Dan jawabannya memang dari Dekom, kalau belum bisa diidentifikasi benar oleh Direksi, mereka belum mau memberikan pendapat. Jadi rapat Direksi tanggal 7 Agustus, merumuskan 4 rentang keputusan, dan 4 rentang keputusan tadi baru diambil keputusannya tanggal 9 Agustus karena kami pada tanggal 9 Agustus mengundang Serikat Pekerja. Karena kami menggunakan momentum surat kaleng dari Serikat Pekerja tadi untuk menyatukan pendapat Direksi. Itu momentum yang kami pakai. Jadi Serikat Pekerja datang, kami tanya kepada serikat pekerja, apakah betul surat ini merupakan surat serikat pekerja. Lalu serikat pekerja menyatakan bahwa ada aspirasi pekerja, tetapi itu bukan surat serikat pekerja. Nah karena itu dibuka diskusi dan akhirnya seluruh direksi sepakat untuk mengambil alternative kedua. Yaitu mengizinkan Disjaya untuk membuat OSCO dengan catatan bahwa OSCO ini tidak sampai kepada CIS-IBP. Karena CIS-IBP harus ditender. Hanya harus sampai kepada CIS RISI saja. Kami harus menyampaikan bahwa dalam rapat tanggal 9 Agustus, 1 orang anggota direksi tidak hadir yaitu Pak Hardiv Harris. Tapi beliau juga tidak menyatakan dissenting. Jadi seluruh rapat tadi, hasilnya kami laporkan kepada Dekom, dan untuk

(13)

informasi, pada bulan Agustus tersebut belum ada negosiasi harga. Jadi apa yang ada di Distribusi Jakarta adalah suatu financial model. Yang financial model ini 900 Miliar. Yang Mulia kami perlu menyampaikan bahwa ada salah pengertian mengenai angka 900 miliar ini, seolah-olah ini menjadi kewajiban PLN akan membayar 900 miliar. 900 miliar itu dalam financial model dalam pendekatan pengembangan usaha itu berarti volume usaha dari anak perusahaan tadi besarnya adalah 900 miliar. Ini penting kami sampaikan karena pengembangan usaha, masalah utama adalah mencari pendanaan pinjaman dan semakin besar nilai proyek, umumnya semakin mudah mendapatkan pinjaman. Jadi kalau ada angka 900 milar yang belum diteliti tidak diutak-atik dulu salah satu pertimbangan barangkali adalah skalanya harus dibuat seksi kalau istilah orang keuangan. Harus seksi supaya pendanaan bisa masuk. Ini penting karena kondisi PLN pada waktu itu, kalau gadis sudah sangat tidak cantik dan berkurap sehingga tidak ada satupun investor yang mau pada waktu itu mau bekerja sama dan menitipkan uangnya. Bahkan investor yang sudah ada, listrik swasta, itu berusaha Caplost cashing in dan minta negosiasi supaya bisa diganti rugi oleh PLN. Situasi seperti itu tidak mungkin PLN maju sendiri dan mencari pendanaan. Apalagi dengan rugi yang demikian besar. Sejak bulan Agustus tadi kami melakukan surat menyurat dengan Dekom untuk menjelaskan mengenai ide gagasan ini. Surat Dekom yang pertama sangat responsive dan sangat baik. Pak Sofyan Djalil pada waktu itu menyampaikan bahwa Dekom prinsipnya mendukung upaya ini cuma minta dijelaskan. Tetapi surat kedua, saya ingat suratnya No.123 kalau tidak salah itu tiba-tiba berubah drastis nadanya. Itu menimbulkan kekecewaan kami, mengapa kok Dekom tiba-tiba menarik garis. Salah satu bentuk yang mengecewakan kami adalah dikatakan OSCO ini, pendekatan OSCO 700 mlliar, saya tidak tahun angka 700 milar dari mana. Karena yang saya tahu dalam surat itu 900 miliar. OSCO yang 700 miliar ini dibandingkan dengan upaya membentuk pekerjaan yang sama di Bandung Timur yang nilai 900 juta. Begitu. Bagi kami ini suatu perbandingan yang apple to apple, maaf agak menyinggung perasaan terus terang saja. Apa iya Direksi PLN melakukan kebodohan demkian besar mengerjakan suatu pekerjaan yang

(14)

900 miliar yang seharusnya pekerjaan bisa 900 juta. Tapi karena itu ditulis dalam suatu surat, maka kami sendiri terkaget-kaget mengapa bisa demikian. Belakangan hari baru saya ketahui, Dekom mendapat masukan dari pihak luar yang notabenya mendiskreditkan konsep OSCO tersebut. Tapi kita tidak tahu. Kami mencoba dengan itikad baik menjawab ya, setiap Dekom membuat surat, kami coba jelaskan dan jawab sampai melalui rapat-rapat itu terlihat juga bahwa jurang perbedaan pendapat ini melebar bukan menyempit di antara Dekom dan Direksi. Sampai suatu titik kami dipanggil, saya sendiri dipanggil, diundang oleh Dekom untuk hadit dalam rapat di Bimasena dan undangan tersebut hanya untuk Dirut. Tidak boleh dihadiri oleh Direksi yang lain. Kami sendiri cukup heran dengan undangan seperti itu, tapi sekali lagi dengan i’tikad baik kami datang. Di gedung Bimasena telah berkumpul semua anggota Dekom, saya ingat ada Pak Komut, kemudian Pak Sofyan Djalil, Komut nya adalah Pak Endro, Pak Martiono, Pak.. siapa namanya mantan Dirut PLN, Pak Yamin, dan satu orang lagi saya tidak ingat namanya. Dan pada waktu kami datang, langsung perntanyaan, ditanyakan kepada kami mengapa kok kita/Direksi begitu ngotot memperjuangkan OSCO? Khususnya saya yang ditanya. Saya katakana OSCO ini adalah ide yang sangat baik, berdasarkan pengalaman saya, dalam pengembangan usaha. Pada waktu itu saya diminta secara lisan, “Udah, ini sudah ramai di luar, cabut usulanmu”. Begitu. Permintaannya kepada saya. Saya katakan, “Pak, ini surat menyurat sudah demikian gencar, saya tidak mungkin mencabut hanya atas perintah lisan. Jadi kalau saya memang diperintahkan mencabut, saya minta Dekom membuat jawaban yang tertulis. Sebenarnya korespondensi kami dengan Dekom sudah mengindikasikan bahwa Dekom memilih pendekatan yang disebut pendekatan Non OSCO. Pendekatan Non Osco itu berarti PLN yang mengerjakan, kemudian dibantu oleh Konsultan. Nah tapi sudah kami jelaskan, “Pak kalau pendekatannya Non-OSCO, satu, PLN harus punya cukup orang untuk mengerjakannya. Kebutuhan orangnya kira-kira 200, dan Pak Margo dalam laporan ke Direksi menyatakan Distribusi Jakarta paling banyak bisa menyediakan 80. Jadi harus ada 120 lebih ,140 orang yang harus

(15)

dicari dari Outsourcing Company. Itu yang pertama. Yang kedua, kita tidak cukup dana untuk investasi membeli hardware. Kalaupun ada apakah hardware itu bisa datang tepat pada waktunya. Saya sampaikan juga laporan dari hasil kajian Pak Margo mengenai SIMPEL RISI dimana proyek ini tertunda-tunda karena salahnya di PLN bukan di rekanannya. Tapi pada waktu itu saya di desak bahkan dibacakan juga hak-hak komisaris bahwa komisaris bisa memecat anggota direksi, sehingga situasi pada rapat tersebut agak memanas saya ditarik keluar dari ruang rapat dan kemudian diberi nasihat oleh para senior saya supaya menghadapinya dengan kepala dingin. Setelah saya kembali ke ruang rapat, ternyata Pak Komut yang cukup keras dengan kami, itu sudah meninggalkan sidang, meninggalkan rapat, Pak Sofyan Djalil yang menggantikan. Saya sampaikan ke Pak Sofyan Djalil, saya tetap posisi saya, apapun yang diperintahkan Dekom akan kami laksanakan selama itu tertulis. Setelah rapat itu kami membahas sedikit mencapai suatu kesepakatan-kesepakatan, akhirnya saya menyetujui konsep Non OSCO yang diarahkan oleh Dekom. Baik, kalau memang Dekom mintanya Non OSCO, akan saya sampaikan kepada Disjaya. Begitu Pak. Seminggu berselang saya tidak mendapatkan surat apapun sehingga saya telepon Pak Sofyan Djalil, dan Pak Sofyan mengatakan, “Oh notulennya sudah siap”. Akan saya kirim. Akhirnya saya mendapatkan kiriman notulen dari Pak Sofyan Djalil dan atas dasar notulen tersebut saya minta sekretaris perusahaan, untuk mindahkan atau menterjemahkan arahan dari Dekom tersebut dalam bentuk suatu surat yang akan saya layangkan kepada GM Disjaya. Saya tahu bahwa Sekper tidak ingat masalah itu, tapi barangkali sebagai satu hal yang perlu dipertimbangkan surat yang saya tanda tangani hasil itu mempunyai 2 nomor. Nomor 1, satu nomor menggunakan nomor Sekper. Kalau suratnya itu datang dari Dirut, nomor suratnya adalah nomor Dirut. Tapi baiklah barangkali Sekper pada waktu itu juga banyak kegiatan, kami juga terus terang saja melihat dan mengkoreksi sedikit kemudian saya tanda tangani surat tersebut, saya kirimkan kepada Distribusi Jakarta. Intinya adalah Distribusi Jakarta agar menempuh pola Non OSCO. Yaitu tertulis di sana bahwa kontrak dengan Netway, hanya untuk Software, Roll Out Software dan

(16)

Implementasinya. Itu adalah sesuai dengan arahan Dekom. Yang lain dikeluarkan dari sana. Nah itulah titik dimana menurut saya ini adalah suatu milestone penting dimana proses ini karena ide Outsourcing Company itu sudah mati sejak tanggal 8 November pada saat Dekom bersikeras bahwa pendekatannya harus Non OSCO dan akhirnya kami sepakati. Jadi apa yang terjadi menyangkut Outsourcing Company, 700 miliar, 900 miliar dan sebaganinya itu, sudah tutup buku Pak. Dengan surat tersebut kami minta Disjaya untuk membicarakan dengan Netway. Mengapa dengan Netway? Karena Netway ini masih memegang CIS RISI. Kami perlu melaporkan bahwa di tengah proses kita melakukan atau minta mencoba meyakinkan Dekom dengan OSCO tadi, Distribusi Jakarta karena kepepet dengan kenaikan TDL, bulan Mei atau Juli tahun 2001, tanpa sepengetahuan kami dan tidak meminta izin pada kami, memang itu adalah hak nya Disjaya, Disjaya melakukan kontrak penunjukkan langsung dengan Netway. Untuk dukungan operasi SIMPEL RISI. Saya mengetahuinya bulan Agustus pada pada saat kami, saya ajak Pak Margo untuk mengkonsep surat, saya tanya,”Ini Netway harus disebut sebagai apa?” Calon rekanan? Kemudian Pak Margo mengatakan “Sudah bisa disebut rekanan Pak”. Saya sudah menunjuk dia bulan lalu. Katanya begitu. Jadi ini kejadian yang terjadi. Dalam proses surat menyurat kami dengan Dekom, kami di BAP juga ditanya mengenai masalah pendaftaran Hak Cipta yang kalau tidak salah di dalam dakwaan juga disebutkan bahwa seolah-olah Dirut minta kepada saudara Gani untuk melakukan pendaftaran Hak Cipta. Ini bersumber dari perbedaan tanggal dalam surat kami ke Dekom dimana di dalam surat itu kami menyatakan bahwa Hak Cipta ada di tangan Netway, tetapi Hak Pakai ada di Disjaya. Kata-kata ini adalah kami ambil dan in memang juga dikonsep dalam waktu mengonsep itu ada Pak Margo juga, dari laporannya Pak Margo, di depan rapat Direksi tanggal 7 Agustus. Ada di dalam manage, jadi bukan invention/penemuan dari Dirut pada waktu itu. Tetapi kami betul-betul hanya menyatakan apa yang dinyatakan GM Disjaya.

(17)

Terdakwa : Bagaimana Pak?

Hakim Ketua : Suara hakim kurang terdengar jelas

Terdakwa : Belum Pak. Jadi belum ada surat penunjukkan. Selama tahun 2001 itu

pembicaraan dengan Dekom

Hakim Ketua : Kedudukan sebagai apa?

Terdakwa : Kalau yang menyangkut PLN Pusat, itu baru pada 2003, maaf Pak. 2004.

Itu saja. Tetapi memang untuk dukungan operasi yang disebut 6 kontrak kecil, Pak Margo melakukan penunjukkan langsung sejak bulan Juli tahun 2001. Jadi apa yang kami bicarakan dengan Dekom, mengenai OSCO dan sebagainya itu masih Shadow Boxing, belum ada apa-apanya. Belum ada. Bahkan Letter to Proceed saja saya tidak setujui dikeluarkan. Letter of Intent sebenarnya juga saya tidak setuju tetapi Pak Margo mengeluarkan juga pada waktu itu. Jadi demikian situasinya sampai akhir tahun 2001 ya Pak. Sebenarnya masih ada satu cerita lagi, kelanjutan dari pertemuan rapat November tadi yaitu sekitar tanggal 27 November dalam rapat konsultasi Direksi dan Dekom, di sana kami melaporkan bahwa kami sudah mengeluarkan surat tertanggal 21 November kepada Disjaya yang isinya menindaklanjuti permintaan Dekom. Pada waktu kami menyatakan itu, situasinya sedang tidak baik. Terus terang saja sebelum rapat tersebut, kami terlambat hadir di rapat, Pak Komut menelpon saya dan dengan nada keras menanyakan mengapa saya mengeluarkan surat itu. Saya katakan bahwa surat itu adalah kesepakatan kami dengan anggota Dekom yang lain, setelah bapak tidak ada adalah melanjutkan pesan atau arahan Dekom yang kami terima apda waktu itu berdasarkan Notulen Rapat Direksi. Saya tidak tahu bahwa dalam notulen rapat Dekom yang tidak dibagikan kepada kami itu dikatakan kepada kami bahwa Dekom tidak menerima hal itu. Tapi sesungguhnya saya tidak pernah menerima informasi suruh mencabut surat itu kembali. Memang dalam pembicaraan telephone, waktu beliau marah kepada saya, saya katakan “Pak kalau saya disuruh mencabut surat itu, berarti notulennya juga dicabut Pak”. Begitu. Karena saya

(18)

mendasarkan pada notulen tersebut. Satu hal yang penting ingin kami sampaikan bahwa tanpa Outsourcing, tanpa pembentukan OSCO, maka kalau mengikuti arahan Dekom tadi, maka masalahnya hanya menjadi permasalahan konsultan dan itu bagi kami tidak mempunyai nilai strategis. Oleh karena itu, setelah rapat 27 November dengan Dekom, saya berkata kepada Direktur Pemasaran pada waktu itu “Pak, sudah. Sekarang serahkan Distribusi Jakarta saja yang menyelesaikan karena arahannya adalah konsultan. Saya tidak melihat arti strategis dari pekerjaan ini. Dalam surat kami, sebenarnya kami minta GM untuk lapor perkembangnnya akhir Januari 2002. Tetapi laporan itu tidak pernah datang, sampai kurang lebih bulan Agustus. Tiba-tiba Pak Margo menulis surat kepada saya melaporkan bahwa telah ada kesepakatan dengan Netway untuk menurunkan biaya itu menjadi 155 Miliar tetapi tidak ada kesepakatan mengenai biaya lisensi sebesar 35 miliar. Mohon petunjuk dari Dirut. Saya menolak memberikan jawaban karena masalah itu benar-benar masalah teknis. Kenapa tidak bisa dijustifikasi, di situ dikatakan bahwa biaya lisensi tadi berkaitan dengan penggunan teknologi trietier yang dibandingkan dengan teknologi client server yang ada. Jadi karena masalah teknis saya serahkan kepada Direktur Teknis terkait Pak Tunggono untuk menyelesaikan. Tidak adanya tanggapan barangkali membuat pada tahun 2002 tim Re-evaluasi dan Re-negosiasi tidak bisa membuat suatu rumusan yang final sampai pada akhirnya bulan Desember, ketua tim menyatakan menghentikan negosiasi. Jadi akhir Desember 2001, ide Outsourcing Company habis. Akhir 2002 dengan menghentikan negosiasi itu sebetulnya peran PLN pusat juga sudah habis. Tetapi saya tidak mengetahui sekali lagi mengapa sebabnya di akhir Januari 2003, Pak Margo membentuk tim penunjukkan langsung. Tim penunjukkan langsung ini juga tidak dilaporkan kepada kami, dan baru kami ketahui pada bulan Juni, pada waktu kami mendapat tembusan surat Pak Margo kepada Pak Sunggu Aritonang selaku Direktur Niaga yang melaporkan bahwa mereka telah menyelesaikan negosiasi, tim penunjukkan langsung telah menyelesaikan negosisasi, dengan hasil kalau saya tidak salah 137 Miliar biayanya. Jadi sesuai dengan Tupoksi Direksi, memang masalah IT itu

(19)

ditangani kalau zaman saya jadi Dirsar itu ditangani Diran (Direktur Perencanaan). Tetapi sejak 2003, IT pindah ke Direktur Niaga. Kebetulan Direkturnya Pak Sunggu Anwar Aritonang adalah mantan Kepada Divisi Sistem Informasi. Jadi saya kita itu suatu peralihan yang sangat logis dibandingkan kalau itu tetap dipegang oleh Direktur yang lain. Jadi pada saat itulah proses berjalan kembali, saya tadi lupa menjelaskan bahwa setelah rapat 27 November tadi, Dekom meskipun tidak menyetujui surat saya, 27 November 2001, maaf, Dekom ternyata menyetujui RKAP yang berisi CIS RISI

Hakim Ketua : RKAP kapan?

Terdakwa : Itu RKAP 2002 Pak. Sehingga pada RUPS RKAP 2002, pemegang

saham membuat keputusan yang menyatakan bahwa pekerjaan Roll Out CIS RISI di PLN Disjaya dapat dilaksanakan bila telah terbukti proven dan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Catatan ini sebagai respon atas butir didalam rencana kerja dan anggaran perusahaan tahun 2002 dimana kami menyatakan bahwa ada program dari tahun 2001-2005 untuk mengembangkan IT di distribusi dan pada tahun 2002 kami akan me Roll Out CIS pada waktu itu disebut CIBS (Costumer Information and Billing System) di seluruh Jakarta dengan biaya 150 Miliar. Juga dikatakan di sana di tahun 2004, nanti PLN akan menenderkan CIS IBP. Jadi ini akan menjelaskan secara garis besar bahwa CIS yang kami usulkan tadi adalah suatu solusi antara sebelum kita menunggu CIS IBP. Ini saya kira sejalan/konsisten dengan rapat 8 Mei 2001 di antara Direksi yang memang pada waktu itu alur pikirnya adalah CIS ini sementara saja. Jadi di RUPS RKAP 2002, sudah jelas ada persetujuan RUPS mengenai anggaran ini. Kemudian di tahun 2002 di pertengahan tahun terjadi pergantian Dekom. Pak Endro diganti Pak Lulu dan Pak Lulu mantan Dirjen Listrik, itu meneruskan suatu hal yang dimulai pada zaman Pak Endro yaitu Pak Endro di tahun menanyakan mengapa kontrak-kontrak Multi Years PLN tidak sesuai dengan Anggaran Dasar yaitu mendapat persetujuan RUPS terlebih dahulu. Sebenarnya ini cerita panjang yang kami harus awali dengan penyusunan Anggaran Dasar

(20)

1998, pada waktu itu PLN mendapati kontrak-kontrak listrik swasta yang sangat besar itu Direksi dipanggil oleh Menteri Pertanian dan diminta menandatangani kontrak pada waktu itu di depan kepala Negara di luar Negeri misalnya tanpa mendapat persetujuan RUPS sebelumnya. Oleh karena itu di tahun 1998, ada upaya untuk memasukkan dalam Anggaran Dasar bahwa kontrak-kontrak listrik swasta, ini sebenarnya penekanannya pada kontrak listrik swasta, itu harus minta persetujuan RUPS. Namun, di dalam penyusunan kata-katanya ada satu kalimat yang hilang sehingga ini bisa ditafsirkan semua kontrak yang sifatnya Multi Years harus melalui izin RUPS. Ini sesuatu hal yang pada waktu itu bahkan sampai sekarang pun tidak mungkin dilakukan karena dengan pendelegasian kewenangan operasi kepada wilayah, maka wilayah itu sebetulnya boleh melakukan pengadaan untuk kepentingan operasi tanpa harus melalui persetujuan PLN Pusat. Itu sesuai dengan SK 075 pada waktu itu. Jadi kalau diminta lagi persetujuan RUPS maka itu harus kemabli ke pusat dan kontrak semacam itu Yang Mulia Bapak bisa bayangkan bahwa satu kantor cabang itu paling tidak mempunyai 4 atau 5 kontrak cater yang sifatnya Multi Years pada saat itu. Di PLN ada 240-270 cabang pada tahun sekitar itu. Sekarang sudah hampir 400 cabangnya. Jadi tidak mungkin semua kontrak itu naik harus mendapat persetujuan RUPS. Ini sebetulnya menjadi suatu permasalahan terbuka di tahun 2001 bahkan dalam rapat konsultasi Dekom dengan Direksi tanggal 16 Agustus 2001 akhirnya di situ dituliskan bahwa untuk kontrak-kontrak Multi Years, cukup kalau dimasukkan dalam RUPS RKAP, atau kebijikannya diketahui oleh RUPS. Jadi sudah ada pelunakan. Di tahun 2002, Pak Luluk menyatakan lagi bahwa untuk kontrak-kontrak investasi yang Multi Years itu cukup dilampirkan di RKAP. Maka itu bagian yang tidak terpisahkan dari RKAP. Perstujuan RUPS nya semacam itu. Jadi perkembangan ini berkembang lebih lanjut lagi sehingga tahun 2005, kami mempunyai rekaman/catatan wakil atau kuasa pemegang saham dalam RUPS RKAP 2005 menyatakan bahwa dia minta Direksi menandatangani suatu kesepakatan bahwa apapun yang sudah disepakati di dalam RUPS RKAP itu tidak perlu lagi dimintakan izin lagi kepada Menteri BUMN. Karena permintaan izin

(21)

tersebut akan memakan waktu lama, dan di sana tidak ada yang proses, nanti Direksi mempunyai alasan untuk menyatakan bahwa itu menunggu izin dari BUMN. Ini otentik disampaikan oleh Pak Roes Arya, kami mempunyai rekamannya untuk itu dan itu menggambarkan proses persetujuan konrtrak Multi Years untuk pekerjaan khususnya pekerjaan-pekerjaan operasional itu tidak pernah berjalan dalam inteprestasi yang disampaikan bahwa itu harus minta izin RUPS dan sebagainya. Tidak pernah berlangsung di PLN baik sebelum masa saya atau sesudah masa saya. Karena di tahun 2007, akhirnya Anggaran Dasar tersebut di Amandemen dan dinyatakan bahwa selama itu tidak materiil yaitu batasannya adalah 10% dari kontrak, maa, 10% dari pendapatan atau 5% dari equity, itu boleh dilaksanakan cukup dengan izin komisaris. Asal dilakukan di daerah wilayah. Begitu Anggaran Dasar 2007. Jadi in menggambarkan bahwa seluruh proses yang kami laksanakan untuk CIS RISI sampai 2003-2004 itu sebenarnya sudah mengikuti aturan-aturan yang ada.

Hakim Ketua : Silahkan kepada Penuntut Umum

PU : Izin bertanya Yang Mulia. Saudara terdakwa ya, tadi terdakwa

menerangkan ada presentasi di PLN Disjaya oleh Netway ya, terdakwa bisa menjelaskan siapa yang melakukan presentasi di Disjaya oleh Pihak Netway?

Terdakwa : Saya tidak tahu. Pada waktu itu saya tidak tahu. Apakah saya bisa

menjawab berdasarkan BAP yang saya baca karena di BAP itu baru saya melihat bahwa rapat di Disjaya dihadiri oleh GM Disjaya serta manager-manager nya dan itu ada undangan resmi dari GM Disjaya tanggal 14, 19, dan akhirnya rapatnya tanggal 21 September 2007. Ini dari pengakuan saudara Dodoh Rahmat yang saya baca dari BAP nya.

(22)

PU : Jadi terdakwa tidak tahu ya siapa yang melakukan presentasi di Disjaya sana ya?

Terdakwa : Saya tidak tahu persisnya.

PU : Kemudian, apakah selanjutnya pihak Netway ada melakukan presentasi

di PLN pusat?

Terdakwa : Benar, seperti yang saya sampaikan, Netway meminta memberi

presentasi, dan presentasi itu sangat brief, bukan seperti presentasi yang digambarkan seolah-olah bicara mengenai aplikasi SIMPEL RISI, tidak, sama sekali tidak. Yang dibicarakan adalah konsep CIS Outsourcing Solution. Mereka menjelaskan kenapa harus Outsourcing. Kenapa harus Netway. Berapa biayanya kalau pakai Outsourcing, berapa biayanya kalau pendekatannya non OSCO. In disampiakan. Tentu sangat masuk akal bahwa Direksi, khususnya Direktur Pemasaran pada waktu itu tidak ada kaitannya dengan masalah-masalah teknis IT. Tetapi mereka menunjukkan bahwa mereka siap kalau memang bahwa disetujui konsepnya mereka akan siap menjalankan buktinya ditunjukkan. Saya sendiri kaget-kaget bahwa cukup detail sampai mereka tahu setiap cabang kekuatan hardware kita dan sebagainya.

PU : Pada waktu presentasi, bisa saudara terdakwa terangkan siapa-siapa yang

hadir dari PLN Disjaya yang hadir, kemudian dari pihak Netway siapa yang melakukan presentasi?

Terdakwa : Saya tidak ingat dari PLN Disjaya, yang jelas Pak Margo hadir. Dari

PLN pusat karena presentasinya di Direktorat Pemasaran hanya saya dan beberapa kepala Divisi, saya kira Pak Azis Sabarto hadir dan apa namanya, kemudian alau tidak salah satu atau dua eselon 1 kami juga hadir disana.

PU : Dari Netway siapa yang hadir?

Terdakwa : Yang saya ingat yang hadir adalah saudara Gani, dan satu India ya yang

(23)

PU : Saudara Harmet?

Terdakwa : Harmet Harmet. Iya betul

PU : Baik. Setelah selesai saudara Gani melakukan presentasi di hadapan

terdakwa, apakah pada saat itu ada perintah terdakwa? Kepada Gani atau kepada saudara Margo?

Terdakwa : Bapak JPU menggunakan kata perintah. Pada waktu itu seorang Direktur

sangat jarang memberikan perintah karena era nya adalah era desentralisasi.

Hakim Ketua : (suara Hakim Ketua tidak terdengar karena tidak menggunakan mic)

Terdakwa : Jadi setelah saya presentasi, lazimnya, saya tanya pendapat dari GM,

“bagaimana pak GM, atas presentasi tersebut?” Pak GM, seingat saya,

menjawab, “Pak, ini..” (dipotong oleh Hakim Ketua)

Hakim Ketua : Ada tidak yang berupa petunjuk, arahan, atau perintah?

Terdakwa : Kalau dikatakan arahan, baik, yang disebut arahan hanya, “oke kalau

begitu silahkan ditindaklanjuti, dibicarakan lebih lanjut, di tempat

saudara”. Karena.. (dipotong oleh Hakim Ketua)

Hakim Ketua : Saudara katakan seperti itu?

Terdakwa : Ya. Tapi arahan tersebut, karena pak Margo sudah menyampaikan

bahwa idenya ini sesuai dengan masalah yang dihadapi yaitu, Disjaya tidak mempunyai cukup tenaga SDM untuk menangani masalah terkait.

PU : Baik ya, apakah arahan tersebut berupa, saudara meminta kepada

saudara Gani untuk melakukan penawaran dengan mengajukan proposal

ke PT. Netway.. ke PLN Disjaya, dan kemudian meminta Margo agar

mengkaji proposal yang diajukan oleh Netway tersebut. Apakah demikian arahan terdakwa?

(24)

Terdakwa : Tidak ada. Saya normatif saja menyampaikan bahwa, “oke, kalau idenya baik, silahkan ditindaklanjuti, dibicarakan di Disjaya.” Dan kalau

memang memerlukan dukungan Pusat, pak Margo pada waktu itu

mengatakan, “ya, kami membutuhkan dukungan Pusat, nanti laporkan pada saya.” Begitu. Karena sebenarnya, kalau masalah pengadaannya, pak Margo mempunyai kekuasaan penuh, tanpa harus minta izin ke Direksi.

PU : Terdakwa kenal dengan saudara Gani sejak kapan?

Terdakwa : Saya kira.. Bukan, bukan saya kira. Persisnya, saya bertemu saudara

Gani itu kira-kira pertengahan tahun 2000, ya, pertengahan tahun 2000

di lobby, ya. Beliau, kalau saya tidak salah, beliau waktu itu dengan siapa gitu, kemudian saya sedang di jalan keluar, dan beliau memperkenalkan diri, menyebut nama kakaknya yang kebetulan juga

bersekolah di Elektro ITB. Tapi kalau saudara Gani sendiri, saya tidak

kenal. Sebelumnya saya tidak pernah kenal.

PU : Baik. Apakah terdakwa pernah meminta Gani untuk melakukan

presentasi di PLN Disjaya?

Terdakwa : Tidak pernah. Tidak pernah.

PU : Tidak pernah ya. Karena dari keterangan.. (dipotong oleh Hakim Ketua)

Hakim Ketua : (suara Hakim Ketua tidak terdengar karena tidak menggunakan mic)

PU : Apakah terdakwa juga pernah meminta Gani untuk membuat suatu

proposal pada saksi Sunggu Anwar Aritonang?

Terdakwa : Saya tidak pernah minta pak Gani melakukan apapun, dari sehabis rapat

itu, selain mempersilahkan untuk menindaklanjuti dengan pak Margo.

Hakim Ketua : Tidak pernah ya?

(25)

PU : Setelah dilakukan presentasi dihadapan terdakwa, apakah kemudian terdakwa pernah menerima surat perkenalan.. tembusan, dari PT. Netway, yang ditujukan kepada GM Disjaya, yang ditembuskan kepada terdakwa?

Terdakwa : Saya kira terbalik urutannya. Urutannya terbalik. Karena sebelum..

seingat saya, surat itu saya bawa ke rapat Direksi, ya. Surat itu saya bawa ke rapat Direksi, dan itu terjadinya sesudah presentasi. Sesudah presentasi.

PU : Baik ya. Di sini ada surat no. NET. DIR.. nanti juga kita ajukan sebagai

barang bukti.. tanggal 27 September 2000, dari Netway, berupa CIS

outsourcing solution, yang ditujukan kepada Margo Santoso, dengan

tembusan kepada Bapak Ir. Eddie Widiono. Pernah ini di terima oleh

terdakwa, surat ini?

Terdakwa : Saya tidak ingat apakah saya menerima tembusannya, atau saya

menerima bersama dengan pak Margo. Tetapi, ya, surat itu ada terlampir

juga dalam surat pak Margo tanggal 6 Oktober, yang ditujukan kepada

saya. Ia minta jawaban, ya,dan sebenarnya surat itu yang membuat saya agak berhati-hati, karena di sana, dalam.. kalau saya tidak salah dalam surat No. 1 itu, seolah-olah sudah ada kesepakatan, antara Netway dengan Disjaya. Itu yang membuat saya agak berhati-hati, untuk

menyetujui kata-kata “Letter of Intent”, ya. Karena kalau keluar letter of

intent, sebetulnya itu seolah-olah mengkonfirmasi bahwa ada

kesepakatan. Padahal, masih jauh dari kesepakatan.. Bahkan scope of

work nya saja belum jelas pada waktu itu.

PU : Baik. Apakah kemudian terdakwa juga ada menerima surat dari Margo

Santoso. Ini suratnya tertanggal 13.. suratnya nomor 1308, tertanggal 6

Oktober 2000, perihal CIS outsourcing solution?

(26)

PU : Oh, baik. Selanjutnya, apakah saudara ada memberikan suatu tanggapan

terhadap surat yang dikirim oleh saksi Margo?

Terdakwa : Ya, saya menjawab dengan surat tanggal 13 Oktober tahun 2000.

PU : Bisa saudara jelaskan, apa balasan.. surat balasan yang.. (dipotong oleh

Hakim Ketua)

Hakim Ketua : Saudara menanyakan surat-surat bukti itu kan? Tunjukan sajalah.

PU : Baik. Oke, lanjut, yang Mulia. Di dalam surat saudara, ya, kami bacakan,

“menunjukan surat saudara no. 1308, tanggal 6 Otober 2000, perihal tersebut di atas, setelah konsultasi melalui rapat Direksi”, ya. Jadi surat ini saudara buat, saudara mau rapat konsultasi dengan Direksi. Pertanyaan kami adalah, apakah benar saudara melakukan rapat Direksi dengan pembuatan surat ini?

Terdakwa : Iya betul. Tadi sudah saya sampaikan bahwa, kami melaporkan hal ini.

Hakim Ketua : Ada ya?

Terdakwa : Ada.

PU : Siapa yang membuat surat.. tadi kan.. surat 4323, ya, siapa yang ketua

perintahkan untuk membuat surat tersebut?

Hakim Ketua : (ucapan Hakim Ketua tidak terdengar karena tidak menggunakan mic)

PU : Ini balasan dari..

Hakim Ketua : Nah itu saudara tunjukkan saja. Benar tidak surat ini, kan begitu.

PU : Lanjut yang Mulia. Tadi saudara ada yang menerangkan mengenai..

dalam surat 4323, ada yang mengatakan mengenai, meminta kepada Margo untuk mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk rencana implementasi berikut anggaran, maksudnya apa ini terdakwa?

(27)

Terdakwa : Jadi, setiap program atau setiap keinginan, dari pimpinan untuk melakukan sesuatu, itu harus diuraikan dalam suatu program dan rencana. Program yang tadi, harus berisikan jadwal, jumlah tenaga kerja yang diperlukan, dan jumlah dana yang diperlukan. Pada waktu saya menulis surat itu, sudah bulan Oktober, sedangkan RKAP 2002.. 2001, maaf, itu sudah dalam proses akan masuk ke Dekom dan RUPS. Oleh karenanya, saya tekankan di sana, selesaikan perencanaannya dulu. Begitu. Dan, lakukan sosialisasi. Kalau pak Penuntut Umum membaca, jelas sekali tekanan saya di saya, bukan kepada negosiasinya, tetapi kepada selesaikan perencanaan, dan sosialisasikan. Karena saya

mengetahui bahwa ide outsourcing company tadi, adalah suatu ide yang

sangat masih baru, ya, dan ini sangat mudah sekali memancing reaksi, karena tentu ini akan ada pergeseran-pergeseran.

PU : Baik ya. Terdakwa, setelah presentasi.. jadi kan ada presentasi Netway di

PLN Pusat ya?

Terdakwa : Ya.

PU : Di hadapan terdakwa. Kemudian setelah itu, apakah ada lagi

presentasi-presentasi yang dilakukan oleh Netway di hadapan terdakwa?

Terdakwa : Saya tidak ingat persisnya, pak JPU, tapi memang setelah keluarnya

surat pak Margo Desember tahun 2001, dimana pak Margo menuliskan

bahwa biayanya mencapai sekian ratus miliar selama sekian tahun, yang kalau di jumlah totalnya 900 miliar, pada waktu itu, seperti saya katakan tadi, timbul suatu kegemparan di PLN Pusat. Makanya saya dorong pak Margo, segera sosialisasikan, jelaskan apa yang anda rencanakan ini, ya. Karena kalau tidak, ini berkembang menjadi.. tentu saya tidak bisa menjelaskan dengan bahasa yang lebih baik, ya. Bapak Hakim bisa menyadari bahwa dalam situasi PLN yang tengah mengalami tekanan berat pada waktu itu, setiap issue menjadi peluang untuk mendiskreditkan Direksi. Oleh karenanya, saya minta supaya segera dilakukan sosialisasi, dan kalau saya tidak salah, beberapa kali ada sosialisasi dengan berbagai pihak, kalau saya tidak salah, dengan

(28)

Direktorat Keuangan yang harus menyetujui anggaran, dengan Direktorat Perencanaan karena CCIT nya ya. Intinya, kalau dengan Direktorat Perencanaan, sebenarnya simple saja. Kita ingin meyakinkan,

bahwa outsourcing company ini tidak dimaksudkan untuk mengambil

kewenangan Direktorat Perencanaan mengenai masalah IT. IT-nya tetap Direktorat Perencanaan yang harus, tetapi konsep pembentukan anak

perusahaan OSCO ini, yang merupakan domain dari pengembangan

usaha, biarkan kami yang menggarap. Sebenarnya intinya demikian. Tetapi rupanya, di Direktorat Perencanaan, sudah ada pemikiran untuk menunggu saja sampai 2003, pada waktu CIS IBP, atau dananya Bank Dunia turun, ya. Karena dikatakan di situ, konsep ITSP, itu konsepnya

adalah membeli packaged programme. Konsep yang dilakukan oleh

Disjaya adalah customize, atau custom-made programme. Ini dua

pendekatan yang sama sekali berbeda. Kalau kita menggunakan

packaged programme, ya, makanya PLN harus menyesuaikan diri dengan program tersebut. Dan itu sangat berat, pada situasi tahun 2000, dimana ketidakpuasaan sedang begitu tinggi, ya. Lebih mudah bagi kami untuk membuat program yang mengikuti, apa yang sudah dipahami oleh kawan-kawan di Distribusi Jakarta. Nah, tapi kembali lagi, karena ini

sebetulnya, domainnya adalah domain di Perencanaan untuk

menentukan, kami harus menyampaikannya dengan hati-hati. Makanya

kami tekankan kepada pak Margo, “tolong sosialisasikan baik-baik,

jangan sampai kawan-kawan di Perencanaan itu menganggap kita mau mengambil porsi pekerjaannya beliau”, begitu.

PU : Lanjut ya. Kemudian, apakah benar ini, dalam satu presentasi ya,

presentasi yang dilakukan oleh Ir. Gani, setelah Ir. Gani Abdul Gani

selesai melakukan presentasi, terdakwa ada menyampaikan sebagai berikut, “ini adalah peluang bagi PLN dalam memenuhi kebutuhan Sistem Informasi Pelanggan yang terintegrasi dengan resiko kegagalan yang ditanggung oleh PT. Netway Utama. Selanjutnya terdakwa dalam beberapa kesempatan rapat di kantor Pusat PT. PLN, yang juga dihadiri MargoSantoso dan Dodoh Rahmat, menegaskan bahwa, secara teknis proposal PT. Netway Utama merupakan peluang bisnis yang menarik

(29)

dan dapat menguntungkan kedua belah pihak, dengan kerja sama dalam

bentuk joint investment project atau joint venture company, dalam

mengembangkan sistem pelayanan pelanggan, dan tawaran PT. Netway Utama sudah dikenal di PLN Disjaya dalam mengerjakan SIMPEL RISI, sebagai pelaksana atas kontrak Politeknik ITB dengan PT. PLN Disjaya”. Pernah terdakwa mengemukakan hal ini?

Terdakwa : Saya tidak ingat apakah persisnya saya menggunakan kata-kata itu.

Tetapi, apa yang tersirat.. (dipotong oleh Hakim Ketua)

Hakim Ketua : Yang saudara baca itu, dari mana itu? (bertanya kepada PU)

PU : Keterangan saksi yang ada di dakwaan, Yang Mulia. Ini juga kita muat

di dakwaan juga.

Hakim Ketua : Ada saudara menyampaikan seperti itu? (bertanya kepada Terdakwa)

Terdakwa : Saya tidak ingat menyatakan seperti itu, Yang Mulia. Namun memang,

ada beberapa pokok pemikiran yang ada di dalam statement seperti itu, yang sesuai dengan pola pikir saya. Yaitu misalnya, tadi saya sudah

laporkan.. (dipotong oleh Hakim Ketua)

Hakim Ketua : Penilaian saudara ya?

Terdakwa : Ya, penilaian kami, ini pengembangan usaha. Jadi pengembangan usaha,

merupakan domain kami selaku Direktur Pemasaran, ini memang

merupakan opprtunity. Bahwa ini bisa memindahkan resiko, ya, resiko

pengembangan sistem IT dari PLN, seperti yang terjadi pada waktu SIMPEL RISI itu kan resiko, yang Mulia, tertunda dan sebagainya. Dipindahkan kepada pihak luar, ya, itu memang merupakan salah satu

keunggulan dari konsep outsourcing yang saya pelajari di sekolah bisnis,

yang Mulia.

(30)

PU : Saudara terdakwa ya, apakah terdakwa pernah juga menerbitkan surat No. 36 tanggal 15 Januari 2001?

Hakim Ketua : Ditunjukan saja nanti.

PU : Baik. Kita ini kan dulu Yang Mulia, suratnya. Pernah?

Terdakwa : Ya, tadi saya sudah singgung surat tersebut, yaitu surat yang meminta

Distribusi Jakarta.. (dipotong oleh Hakim Ketua)

Hakim Ketua : (ucapan Hakim Ketua tidak terdengar karena tidak menggunakan mic)

PU : Baik, baik, Yang Mulia. Kemudian di sana saksi ada.. dalam surat ini ya,

saksi ada memerintahkan atau menyatakan dalam surat ini, pertama adalah, menugaskan.. meminta kepada PLN Disjaya dan Tangerang melanjutkan negosiasi dengan Netway. Kemudian, menugaskan tim IBP

Industrial Best Practice, ya. Maksudnya apa ini?

Terdakwa : Ya, surat itu menjawab surat Desember tahun 2000, yang tadi saya

sampaikan, menimbulkan kegemparan di PLN Pusat, karena menyebut angka 900 miliar, dan menyatakan bahwa kerja sama ini akan membawa Disjaya ke CIS IBP. Padahal di PLN Pusat ada tim Eselon 1 yang sedang merumuskan apa itu CIS IBP. Nah, tim ini protes kepada saya, “kenapa Distribusi Jakarta gampang-gampang menyatakan CIS IBP tidak pernah

konsultasi kepada kami”. Salah satu yang protes itu pak Aritonang.

Oleh karena itu, dalam surat kami, kami katakan, “sebelum anda mengatakan CIS IBP, tolong koordinasi dulu dengan tim PLN Pusat”. Nah, tim CIS IBP tersebut, bukan tim kami, tapi tim antar Direktorat. Jadi ada Direktorat kami, ada Direktorat Keuangan, ada Direktorat Perencanaan, dan kalau saya tidak salah, Ketua atau Wakil Ketuanya

adalah pak Aritonang, dan salah satu di antaranya pak Azis Sabarto

sebagai pimpinan tim tersebut.

PU : Selanjutnya ya, ini pada bulan Februari 2001, dalam satu pertemuan di

ruang rapat Dirsar PT. PLN Pusat, yang dihadiri Azis Sabarto, Sunggu

(31)

Angklasito, dan Antoni Dewono, ada memerintahkan agar CIS outsourcing ditawarkan PT. Netway Utama, diimplementasikan sesegera

mungkin. Selanjutnya, Margo mengarahkan tim.. Benar ini?

Terdakwa : Tidak benar dan tidak masuk akal. Karena pada waktu itu, belum matang

ini, katanya.

Hakim Ketua : (ucapan Hakim Ketua tidak terdengar karena tidak menggunakan mic)

PU : Lanjutkan Yang Mulia.

Hakim Ketua : Ya. Lanjutkan.

PU : Saudara terdakwa, terkait dengan kontrak, saya sedikit.. Tadi saudara

menyampaikan ada desentralisasi terkait pelaksanaan. Setahu saudara, kegiatan Roll-Out CIS RISI ini memang kewenangan dari Disjaya atau masuk dalam ranah Pusat?

Terdakwa : Kewenangannya ada di Disjaya. Sebagai user, sebagai pihak yang

mengadakan pengadaan ada di Disjaya.

PU : Apakah terdakwa tahu, siapa yang menandatangani kontrak terkait

pengadaan ini?

Terdakwa : Kontrak 2001, yang.. (dipotong oleh PU)

PU : 2004

Terdakwa : Oh 2004, ditandatangani pak Fahmi Mochtar, GM Disjaya.

PU : Pernahkah, terkait dengan pelaksanaan kontrak tadi, saudara

memberikan surat kuasa kepada Fahmi Mochtar untuk menandatangani

kontrak tersebut?

Terdakwa : Surat kuasa yang bapak JPU maksud, barangkali adalah yang kami sebut

SKK, Surat Kuasa Khusus. Surat Kuasa Khusus tersebut, di minta oleh GM kepada saya, seingat saya melalui satu surat. Tapi saya tidak

(32)

membaca suratnya, akhirnya beliau membawa surat tersebut kepada

saya, hand carry. Kemudian dia katakan bahwa, “pak, saya

membutuhkan surat kuasa dari bapak, untuk..”, yang disampaikan kepada saya waktu itu adalah untuk mengurus masalah hak intelektual dari CIS RISI. Saya tidak membaca suratnya, kebetulan bersama dengan

beliau, ada saudara Rex Panambunan, pada waktu itu adalah Kepala

Divisi Hukum PLN. Saya tanyakan kepada saudara Rex, “Rex, saya kok

tidak pernah menandatangani surat kuasa yang lain, selain surat kuasa umum?” Surat kuasa umum itu ditandatangani dan diberikan kepada semua GM di PLN, sebagai bentuk desentralisasi. Terus saya tanyakan

kepada Rex, “ini kenapa kok begini?” Terus pak Rex katakan, “pak,

penandatanganan kontrak, surat kuasa bapak itu sudah memberi kuasa yang di minta oleh pak Fahmi. Tapi kalau untuk kepentingan mengurus ke pengadilan, memang dibutuhkan surat kuasa tersendiri.” Begitu.

Hakim Ketua : Di pengadilan?

Terdakwa : Di pengadilan. Karena penjelasannya pada saya, mengurus Hak Cipta,

itu bisa berujung sampai ke pengadilan. Ini yang saya tangkap pada

waktu itu. Atas penjelasan dari saudara Rex tersebut, saya katakan,

Rex, jadi ini bagaimana? Saya tanda tangan atau tidak?” Lalu pak Rex

bilang, “pak, sebetulnya itu sama saja dengan SKU yang sudah bapak keluarkan. Kalau ini memberikan kenyamanan, comfort, kepada pak Fahmi, untuk pak Fahmi, silahkan ditandatangani.” Terus saya katakan

kepada pak Rex, “kalau memang ini di setujui oleh Divisi Hukum, you

paraf dulu, baru saya tanda tangan.” Di paraf oleh pak Rex, barulah saya

tanda tangani. Begitu ceritanya. Jadi, bertentangan dengan apa yang terjadi, atau yang dikesankan, itu sama sekali bukan surat perintah. Itu

justru inisiatif datang dari pak Fahmi, kepada saya.

Hakim Ketua : (ucapan Hakim Ketua tidak terdengar karena tidak menggunakan mic)

PU : Sebelum terdakwa menandatangani surat kuasa itu, membaca dulu ya?

(33)

Terdakwa : Iya saya baca, tapi dalam posisi saya berada di luar, tidak di kantor, dan ada Kepala Divisi Hukum saya yang meyakinkan.

PU : Melanjutkan Yang Mulia. Saudara terdakwa, saudara tadi

menyinggung-nyinggung surat dari Seswapres.

Terdakwa : Setwapres.

PU : Setwapres, ya?

Terdakwa : Ya.

PU : Surat dari Setwapres itu mempertanyakan tentang apa?

Terdakwa : Suratnya hanya meminta penjelasan, apakah surat yang berkop Serikat

Pekerja ini, ya, benar isinya. Begitu. Jadi, agar dibuatkan penjelasan mengenai surat tersebut. Dan ini ada surat pengantar resmi dari Setwapres, kantor Setwapres, ibu Susi pada waktu itu.

PU : Saudara jawab surat Setwapres itu?

Terdakwa : Iya, kami jawab.

PU : Tertulis?

Terdakwa : Tertulis.

PU : Bisa saudara jelaskan apa yang saudara jawab?

Terdakwa : Jadi, kami menjawab surat tersebut setelah rapat tanggal 9 Agustus,

dimana Serikat Pekerja menyatakan bahwa, surat tersebut tidak mencerminkan pendapat atau posisi Serikat Pekerja mengenai CIS RISI. Karena pada rapat tanggal 9 Agustus tersebut, saya beri kesempatan, di depan para Direksi, kepada Serikat Pekerja, “silahkan, anda menyatakan apakah ini benar posisinya Serikat Pekerja atau tidak.” Begitu. Jawaban dari Ketua Serikat Pekerja pada waktu itu, “selama lingkupnya adalah CIS RISI, kami tidak keberatan.” Saya katakan lagi, “apakah saya boleh

(34)

mencantumkan dalam surat saya, kepada Setwapres bahwa, Serikat Pekerja menyatakan bahwa ini bukan posisi Serikat Pekerja.” Terjadi perdebatan di dalam. Saya ingat, ada satu anggota Serikat Pekerja yang menyatakan, “kan tidak semua isi dalam surat itu salah.” Begitu. Di surat itu selain kata-kata itu, ada juga kata-kata yang menuduh bahwa Direksi tidak profesional, Direksi tidak transparan, dan sebagainya. Saya diam, saya tunggu sampai Ketua Serikat Pekerja menyelesaikan. Akhirnya Ketua Serikat Pekerja menyatakan, “saya harus bicarakan dengan rekan-rekan, ini bukan posisi Serikat Pekerja. Silahkan bapak tulis di sana, bantahan dari Serikat Pekerja ini.” Nah, atas dasar itu, kami membuat surat kepada Setwapres yang menyatakan bahwa, yang pertama, proses CIS RISI itu masih dalam proses. Yang kedua, yang tadi saya laporkan bahwa, Netway adalah rekanan PLN Disjaya, dan seterusnya. Yang ketiga, bahwa surat tersebut adalah surat kaleng, tidak mencerminkan posisi Serikat Pekerja.

PU : Saya garis bawahi, yang nomor dua. Saudara menyatakan dalam surat

tersebut, bahwa Netway adalah rekanan PLN Disjaya. Surat itu 14 Juli 2001 yang saudara buat. Betul?

Terdakwa : Bukan. Agustus.

PU : Tanggal 14 Juli 2001, nomor 2093.

Terdakwa : Keliru. Surat itu, seingat saya, Agustus 2001.

PU : Baik. Apa betul di dalam surat tersebut, saudara menyatakan bahwa,

Netway itu sebagai rekanan PLN Disjaya, dengan mencantumkan kontrak antara PLN Disjaya dengan Politeknik ITB?

Terdakwa : Itu adalah masukan yang saya terima dari pak Margo, pada waktu itu,

karena saya bertanya kepada pak Margo, “ini Netway harus disebut apa

di sini?” Dan beliau memberi masukan, “dia sudah bisa disebut rekanan pak. Karena saya sudah beri kontrak bulan Juli” Begitu penjelasannya.

(35)

PU : Kenapa pada waktu itu kontrak bulan Juli tidak saudara masukkan dalam surat saudara, tetapi yang saudara masukkan kontrak di tahun 1996?

Terdakwa : Sekali lagi, juga karena penjelasan pak Margo bahwa, Netway itu

menyatakan bahwa mereka ikut di dalam proses tersebut. Proses kontrak tersebut. Sebagai bagian dari Politeknik ITB.

PU : Tahun 1998 saudara sebagai Dirsar, betul?

Terdakwa : Ya.

PU : Dirsar itu, apakah juga turut sebagai yang mengawasi terhadap proyek

Politeknik ITB?

Terdakwa : Tidak. Karena IT-nya itu berada di dalam scope dari Divisi Sistem

Informasi Direktorat Perencanaan.

PU : Sebagai Dirsar, apakah ada rapat-rapat Direksi untuk menetapkan

tentang proyek Politeknik ITB dengan Disjaya?

Terdakwa : Tidak ada.

PU : Tidak ada. Baik. Pada waktu 4 Juli, surat saudara ke Setwapres itu kan

menurut saudara tadi tanggal 9 Agustus ya?

Terdakwa : Setelah rapat tanggal 9 Agustus.

PU : Ya.

Terdakwa : Seingat saya mungkin tanggal 14 Agustus.

PU : Oke. 14 Agustus ya. Surat itu saudara sampaikan setelah ada perjanjian,

enam perjanjian yang di buat oleh MargoSantoso dengan Netway?

Terdakwa : Salah. Belum ada enam perjanjian itu. Baru satu yang pak Margo

(36)

PU : Iya, maksud saya, satu di antara enam yang kemudian perjanjian itu kan terus-menerus sampai 2003. Perjanjian antara Disjaya dengan Netway, sebesar Rp. 8.500.000.000 (delapan miliar lima ratus juta rupiah), itu pada tanggal 4 Juli 2001.

Terdakwa : Iya, betul.

PU : Saudara dilaporkan ini sama.. (dipotong oleh Terdakwa)

Terdakwa : Saya tidak dilaporkan. Tadi sudah kami jelaskan bahwa kami

mendapatkan informasi itu pada waktu.. (dipotong oleh PU)

PU : Saudara dapat informasi itu pada waktu sebelum menjawab surat

Setwapres kan?

Terdakwa : Pada waktu mengkonsep surat Setwapres bersama pak Margo.

PU : Artinya antara bulan empat.. antara tanggal 4 Juli sampai Agustus ya?

Terdakwa : Tidak. Tidak. Setelah 9 Agustus.

PU : Setelah 9 Agustus?

Terdakwa : Setelah 9 Agustus.

PU : Saudara mengetahui itu ya?

Terdakwa : Iya betul.

PU : Pada waktu itu, pekerjaan yang seperti ini, apakah juga masuk di dalam

RKAP di 2001?

Terdakwa : Pekerjaan yang seperti ini maksudnya apa?

PU : Pekerjaan perjanjian kerja sama antara Disjaya, ya, yang kontraknya

(37)

Terdakwa : Baik. Saya harus me-refer kepada penjelasan yang mungkin sudah

disampaikan kepada pak JPU oleh saudara Parno, sebagai Direktur

Keuangan. Jadi, anggaran operasi bagi setiap unit bisnis itu, tidak menyebutkan secara detail, apa pekerjaan di dalam sana. Jadi selama pak Margo menggunakan anggaran operasi, sesuai dengan SK 75, APLN, itu sepenuhnya hak dan tanggung jawab ada di GM Disjaya. Tidak perlu melaporkan ke PLN Pusat. Tadi karena sudah disampaikan, mengapa itu terjadi, karena PLN Pusat dilepaskan dari tanggung jawab operasional

sejak zaman pak Kuntoro.

PU : Sebagai ini.. dalam kontrak tersebut, ini kan di adendum, sehingga dia

itu berlanjut terus, multi years, untuk pekerjaan yang juga masalahnya

adalah CIS RISI di 2001 itu.

Terdakwa : Saya tidak tahu dengan detail masalah ini.

PU : Oke.

Terdakwa : Tetapi kalau dari apa yang saya baca, lingkup pekerjaannya berbeda.

PU : Pada waktu 4 Juli 2001 terjadi kontrak itu, apakah saudara tahu bahwa,

kontrak antara Disjaya dengan Politeknik ITB masih berlangsung?

Terdakwa : Yang pertama, saya tidak tahu kontrak antara Politeknik ITB dengan

PLN Disjaya. Yang kedua, saya juga tidak tahu waktu kontrak itu ditandatangani pada bulan Juli.

PU : Waktu serah terima pekerjaan antara ITB dengan Disjaya, saudara tahu?

Terdakwa : Tidak tahu.

PU : Tidak dilaporkan kepada saudara selaku Dirut?

Terdakwa : Tidak. Seperti saya sampaikan tadi, lingkup pekerjaan sistem informasi

(38)

PU : Baik. Pada tahun 2004, apakah saudara tahu bahwa, di wilayah lain di bawah.. di PLN wilayah, juga ada melaksanakan pengadaan yang semisal CIS RISI?

Terdakwa : Tidak pada tahun 2004. Saya ketahuinya sekitar tahun 2006, atau 2005,

pada waktu salah satu Kepala Divisi saya melaporkan feedback dari pelaksanaan SK 138. Jadi, saya agak sedikit menjelaskan mengenai SK

138. SK 138 mengenai outsourcing, itu ditandatangani tahun 2002, lahir

sebagai antisipasi PLN terhadap Undang-Undang Konsumen, ya. Dan juga antisipasi kita terhadap Undang-Undang Tenaga Kerja, yang membatasi pemberi pekerja hanya boleh memberikan kontrak PKWT,

isitilahnya, kontrak outsourcing.. kontrak honorer, itu maksimum dua

tahun. Perlu diketahui bahwa, pegawai PLN ada 48.000, dan 140.000 atau 150.000, pegawai honorer. Oleh karena itu, keluarnya keputusan Undang-Undang tersebut, juga merupakan suatu hal yang harus diantisipasi dari awal, oleh PLN. Nah, solusi yang dipilih pada waktu itu adalah, tenaga-tenaga honorer ini, harus di tampung dalam perusahaan-perusahaan yang berkontrak dengan PLN. Dari pendekatan kita dengan Departemen Tenaga Kerja, langkah itu disetujui dengan syarat, bahwa PLN menjamin hak-hak normatif dari pekerja yang masuk di perusahaan

outsourcing company tadi. Mengingat waktu dan jumlah pekerjaan yang demikian banyak, maka tidak mungkin itu dilakukan melalui proses tender. Karena initnya, sebenarnya adalah, memberi baju, memberi rumah kepada tenaga honorer, yang 140.000 tadi. Oleh karena itu, SK

138, outsourcing, itu memberikan izin untuk melakukan penunjukan

langsung, dengan tujuan untuk menyelamatkan orang-orang ini, yang sebelumnya statusnya pegawai harian. Perlu diketahui bahwa mereka sudah kerap kali demo ke PLN Pusat, minta di angkat menjadi pegawai tetap. Dan itu semakin hari semakin ganas demonya, sehingga..

(dipotong oleh PU)

PU : Saya lanjutkan ya. Kalau saudara cerita tentang tadi outsourcing,

kemudian ada peraturan Kep 138 tentang outsourcing, apakah

Referensi

Dokumen terkait

Just wear a swimsuit under your wetsuit, make a complete change into cycling clothes, and make a complete change into Your favorite running clothes and shoes for the marathon. This is

( 2 ) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) , apabila PDPPM belum ma~npu melaksanakan pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di bidang

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian ekstrak daun sirsak (A.muricata L.) terhadap kadar gula darah tikus Wistar (R.norvegicus) yang diinduksi alloxan.

Peran lifting wavelet transform dari penelitian sebelumnya dapat meningkatkan ketahanan watermark terhadap serangan sehingga menghasilkan nilai bit error rate dan PSNR

Perbedaan tersebut ditunjukan dengan hasil penelitian yang memberikan fakta bahwa pada kelompok involvement tinggi dan rendah berbeda dalam proses pemilihan produk

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa frekuensi kejadian bullying paling tinggi terjadi pada pola asuh orangtua yang otoriter

Pada penelitian ini Improved Adaptive Median Filter memiliki hasil yang lebih baik dalam menghilangkan noise pada citra dengan noise yang tinggi jika dibandingkan dengan