• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saya senang sekali karena bisa bersama-sama dengan Bapak/Ibu pimpinan umat beragama se-sulawesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Saya senang sekali karena bisa bersama-sama dengan Bapak/Ibu pimpinan umat beragama se-sulawesi"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Pemujaan kepada Tuhan Yang Mahabesar diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ke taraf kemanusiawian yang layak, sebagaimana dirancang Tuhan pada awal penciptaan, tetapi dirusak oleh kelahiran hukum rimba buatan manusia ” ( Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr) I

Saya senang sekali karena bisa bersama-sama dengan Bapak/Ibu pimpinan umat beragama se-Sulawesi

Selatan dalam sharing ini. Saya kira tujuan utama sharing ini ialah kita ingin saling

memperkaya satu dengan yang lain dari perspektif yang berbeda-beda untuk mewujudkan

masyarakat Sulawesi Selatan menja

di masyarakat

komunikatif dan dialogis

yang menghargai perbedaan aspirasi dan kepentingan di antara kita sebagai sesama warga masyarakat di Sulawesi Selatan. Saya kira itulah yang dimaksudkan oleh topik panel yang diberi judul: “

Reaktualisasi Nilai-nilai Agama dan Budaya dalam Proses Transformasi Masyarakat: Membincang Masalah Aktual Keberagamaan dan Akar Konflik

” (lihat jadwal kegiatan, Rabu, 25 Agustus 2004). Dalam sharing ini saya akan memberi fokus pada aspek agama, sekalipun tidak dapat dipisahkannya dari aspek budaya. Panelis lain lebih pantas membagikan perspektifnya tentang aspek budaya. Kalau saya menafsirkan topik panel ini, maka saya melihat ada asumsi tertentu di belakang topik ini. Asumsi itu ialah bahwa

berbagai konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat kita beberapa tahun terakhir ini mempunyai kaitan (kalau bukan mempunyai

korelasi-kausal-simetris?

) dengan keberagamaan umat beragama di Indonesia. Diduga tidak sejalannya nilai-nilai agama dengan hidup keagamaan para penganutnya. Di satu pihak saya mengaminkan asumsi itu, namun di pihak lain saya mempunyai pendapat yang berbeda. Karena itu, dalam sharing ini, saya ingin mengajukan

pokok-pokok pikiran berikut ini.

II

Apabila ditelaah secara kritis berbagai konflik sosial bernuansa keagamaan dalam masyarakat manapun( termasuk di Indonesia), baik itu berkaitan dengan konflik antar umat yang berbeda agama dan sesama penganut agama maupun konflik umat beragama dengan golongan

(2)

masyarakat sekuler,  maka hal itu tidak semata-mata karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai agama dan praktik keberagamaan umat. Seolah-olah nilai-nilai agama, seperti keadilan, kebenaran, perdamaian dan persaudaraan, adalah nilai-nilai yang tidak dapat dipengaruhi oleh aspirasi dan kepentingan tertentu. Dan karena itu apabila nilai-nilai itu

diterapkan oleh para penganut agama maka dengan sendirinya tidak akan ada masalah sosial dalam kehidupan bersama. Saya kira pandangan seperti ini hanya dapat dibenarkan dalam masyarakat homogen, baik dari segi identitas kultural dan religius maupun aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan politik. Akan tetapi, dalam masyarakat heterogen seperti di Indonesia, pandangan seperti itu hanya akan mendorong proses homogenisasi penghayatan nilai yang bersifat dipaksakan. Dalam hal ini ada bahaya--- apa yang oleh Pierre Bourdieu----sebut: kekerasan simbolik atau oleh Don Cupitt disebut: rejim kebenaran!!

Memang benar bahwa nilai-nilai agama itu dalam dirinya sendiri adalah pesan-pesan moral dan etis yang bersifat netral. Akan tetapi, setiap nilai agama dalam penghayatan hidup

keberagamaan umatnya tidak lagi bersifat netral. Nilai itu sudah sangat dipengaruhi oleh aspirasi dan kepentingan penganutnya. Sebab nilai-nilai itu dalam penghayatan hidup keberagamaan umat telah menjadi nilai-nilai yang bersifat interpretatif. Penghayatan nilai keadilan dan kebenaran, misalnya, tidak akan lagi netral ketika nilai itu dihubungkan dengan aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan politik dua golongan yang berbeda dalam

masyarakat. Di sini biasanya pintu masuk bagi para demagog politik dan rohani --- yang dengan agak malu-malu--- sebenarnya menerapkan logika pertentangan kelas a la marxisme ideologis

(beda dari marxis-ilmiah) untuk mencapai

kepentingan mereka.

Saya melihat bahwa baik demagog politik maupun demagog rohani mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana dapat merebut “jiwa rakyat” untuk menjadi anggota kelompoknya demi keuntungan sang demagog itu sendiri. Mereka juga mempunyai watak yang sama, yaitu cara berpikir ideologis dan tidak tahan melihat perbedaan dalam masyarakat. Dan karena itu mereka sebenarnya anti-kemanusiaan dan pembunuh jiwa-jiwa kreatif dan dialogis dalam masyarakat. Saya kira---dalam situasi seperti ini--- sulitlah kita mengikuti anjuran beberapa kalangan agar kita perlu memisahkan antara “habitat agama” dari “habitat politik”. Karena bukan saja

kekuasaan politik yang dapat mengkorup martabat manusia, melainkan kekuasaan agama pun tidak kalah dasyatnya daya korupnya!! Kita tidak perlu memisahkan “agama” dan “politik” sebagai “dua habitat yang saling bertolak belakang”. Karena baik “habitat agama” maupun “habitat politik” sama-sama diperlukan oleh manusia untuk bertumbuh ke arah kehidupannya

(3)

Siri

’ itu!! Saya berpendapat baik kekuasaan agama maupun kekuasaan politik haruslah menjadi

kekuasaan yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk ikatan perbudakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia sebagai

imago Dei

tadi. Dalam pengertian seperti inilah kedua habitat yang berbeda itu--- “habitat agama” dan “habitat politik” --- harus dilihat sebagai

karunia Allah

bagi manusia untuk memekarkan dirinya menjadi manusia berkeadaban secara sosial ekonomi, budaya dan politik.

III

Di sini saya lihat bahwa tidak adanya peranan transformatif agama-agama dalam masyarakat seperti sering dikeluhkan oleh banyak kalangan bukan karena tidak berfungsinya nilai-nilai

agama , melainkan lebih pada cara bagaimana

nilai-nilai agama itu berfungsi dalam masyarakat. Nilai keadilan dan kebenarannya, misalnya, dapat berfungsi secara ideologis yang membuat para penganut nilai itu hidup dalam kesadaran palsu. Pada tataran ini kedua nilai yang dalam dirinya mengandung pesan moral dan etis yang dapat memotivasi seseorang hidup sebagai pribadi yang berkeadaban dan membangun

masyarakat yang berkeadaban kehilangan fungsi transformatif. Yang terjadi ialah

fungsi-ideologis, yaitu berfungsi sebagai “kaca mata hitam” yang membuat individu-individu dalam masyarakat melihat realitas sosial secara samar-samar! Dan lebih celaka lagi nilai itu kemudian menjadi “gumpalan-gumpalan hidrogen” yang membahayakan “mata sosial” individu-individu dalam masyarakat. Jadi, nilai tadi justru membuat individu-individu dalam masyarakat menjadi buta dan tidak sanggup lagi melihat realitas sosial yang sesungguhnya. Di sini agama tidak lagi memainkan peranannya sebagai kekuatan sosial yang bersifat

transformatif. Sebaliknya, agama berberan sebagai penghambat dinamika sosial dan pembunuh kreativitas masyarakat! Peranan agama seperti inilah yang sangat

dikritik

oleh Yesus. Dalam kritik Yesus yang pedas sebagaimana ditulis oleh penginjil Matius (lihat Matius 23) kita membaca bahwa agama dan hukum-hukum agama haruslah melayani

kemanusiaan, dan tidak boleh mengorbankan manusia atas nama agama dan hukum-hukum agama (baca: nilai-nilai agama yang baku dan kaku).

(4)

Karena itu, ketika kita menghendaki kehidupan keberagaman kita menjadi kehidupan keberagamaan transformatif dalam masyarakat maka kita perlu memiliki keberaniaan untuk terus menerus mempersoalkan model penghayatan hidup keberagamaan kita. Kita tidak boleh puas dengan model penghayatan hidup keberagamaan yang telah ada. Sebab boleh jadi apa yang kita anggap sebagai model penghayatan hidup keberagamaan transformatif itu untuk konteks sosial ekonomi dan politik tertentu, dalam konteks sosial ekonomi dan politik yang lain tidak lagi transformatif. Malahan model penghayatan hidup keberagamaan itu telah menjadi sangat represif. Saya ingin memberi contoh di sini. Saya kira kita semua masih memiliki ingatan yang segar tentang bagaimana peranan agama-agama di Indonesia selama Orde Baru. Seperti kita tahu bahwa harapan untuk mengikutsertakan agama-agama dalam rencana-rencana

pembangunan nasional waktu itu ialah agar agama-agama dapat mendorong proses transformasi sosial, baik secara ekonomi maupun politik, agar Indonesia pasca Orde Lama boleh menjadi Negara yang demokratis, adil secara politik dan berkecukupan secara ekonomi. Tetapi apa yang kita lihat ialah agama-agama justru kehilangan fungsi transformatif itu dan menjadi legitimator kepentingan kelompok kecil yang mendominasi kekuasaan ekonomi dan politik! Saya kira, baiklah kita belajar dari sejarah itu, sehingga kita tidak saling

mempersalahkan pada kemudiaan hari seperti sekarang ini!

Keberagamaan transformatif adalah model penghayatan hidup keberagamaan yang

memelihara tradisi kritis atau dalam idiom Biblikal disebut tradisi profetik!! Tradisi kritis atau profetik sangat penting. Sebab, seperti telah disinggung di atas, bahwa nilai-nilai agama dalam penghayatan hidup keberagamaan umat selalu bersifat interpretatif. Dan nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif itu selalu akan dipengarahi oleh aspirasi dan kepentingan penganut, baik secara sosial ekonomi maupun politik. Karena itu, tanpa tradisi kritis atau profetik, kehidupan keberagamaan akan selalu berada dalam bahaya mempertahankan

status quo

nilai-nilai keagamaan yang bersifat interpretatif itu dalam bentuk nilai-nilai agama yang baku  dan ideologis, sifatnya. Model keberagamaan transformatif adalah model keberagamaan yang jauh dari model keberagamaan “retorika-profetik” atau “verbalisme-profetik”.  Ia merupakan kesadaran religius atau kesadaran hidup meng-agama

yang lahir dari pelayanan liturgis berdimensi ganda, yaitu : mengabdi kepada Allah dan kemanusiaan

!! Jadi, keberagamaan transformatif dalam semangat tardisi profetik adalah model

keberagamaan yang melayani Allah sepenuh hati dengan jalan mengabdikan diri sepenuhnya kepada kemanusiaan!! Itu berarti bahwa nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif dalam penghayatan umat beragama selalu harus

(5)

kemanusiaan yang abstrak secara ideologis.

V

Demikianlah pokok-pokok pikiran yang dapat saya sumbangkan dalam panel ini. Kiranya hal itu akan merangsang kita bersama melakukan otokritik terhadap model penghayatan hidup

keberagamaan kita selama ini dan memikir

kan

model penghayatan keberagamaan yang lebih memampukan kita saling menghargai satu dengan yang lain sehingga kita mampu mewujudkan harkat dan martabat kemanusiaan kita ---yang dalam idiom Kristiani disebut----

menjadi manusia gambar Allah (

imago Dei

; bdk. Kej. 1: 26-27).Akhirnya, izinkalah saya menutup sumbangan pemikiran ini dengan penghayatan iman Kristiani sebagaimana dirumuskan dalam motto STT INTIM Makassar: In Christo Lux Mundi Crescit

!! Semoga!! Sekian dan terima kasih!! Makassar, 25 Agustsus 2004. (Pdt. Dr. Julianus Mojau/Dosen STT INTIM Makassar).

Referensi

Dokumen terkait

Bahasa pengantar di sekolah rendah Inggeris telah ditukar kepada bahasa kebangsaan Penubuhan Universiti Kebangsaan Malaysia 1977 Pada tahun 1982, Bahasa Melayu menjadi bahasa

Orang yang memuiliki tipe kepribadian ini terlalu menekankan rasa aman, memiliki komitmen, bertanggung jawab, dapat bekerja keras, sering meragukan diri sendiri, kurang percaya

pengembangan dakwah persyarikatan Muhammadiyah di Dana Mbojo.. 15 tokoh Muhammadiyah “Muma” menjadi sosok yang dihargai dan dihormati oleh seluruh elemen masyarakat,

Selanjutnya terdakwa bersama teman-teman terdakwa mengejar saksi korban, lalu saksi korban mengeluarkan besi putih dari belakang pinggangnya dan kabur menyelamatkan

Secara keseluruhannya, penulis berharap agar sistem yang dibangunkan ini dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh pelajar-pelajar yang mengikuti khursus SPT, SPK, SPP,

Media pembelajaran merupakan semua bahan dan alat bantu yang digunakan dalam proses pembelajaran yang berfungsi untuk menyampaikan atau menyalurkan pesan dengan

Hasil penelitian ini menunjkkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel harga, citra merk, kualitas produk terhadap loyalitas pelanggan kuota IM3 Ooredo

Peranan Penyuluhan Kesehatan Gigi dan Mulut Terhadap Peningkatan Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa-Siswi Kelas VII-1 SMP N 31 Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun