INTENSITAS CAHAYA BERPERAN PENTING DALAM MENINGKATKAN
KEBERHASILAN
EX VITRO ROOTING
DAN AKLIMATISASI BIBIT KELAPA
KOPYOR
Sisunandar
Laboratorium Genetika dan Botani, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Kampus Dukuhwaluh, Kembaran, Purwokerto 53182. Telepon (0281) 636751 ext.164
E-mail : [email protected]
Abstrak
Kelapa kopyor memiliki ekonomi tinggi. namun pembibitan kelapa kopyor true-to-type yang mampu menghasilkan 100 % buah kopyor hanya dapat dilakukan dengan menggunakan kultur embryo. Namun kelemahan utama dari kultur embryo kelapa kopyor adalahsebagian bibit tidak menghasilkan akar selama proses in vitro serta belum optimalnya protokol aklimatisasi sehingga tingkat keberhasilan masih sangat rendah ( kurang dari 30 %). Penelitian ini mengembangkan teknik ex vitro rooting yang digabungkan dengan tahapan aklimatisasi sehingga produksi bibit menjadi lebih murah dan lebih cepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo berumur 4 bulan yang tidak memiliki akar mampu diinduksi pembentukan akar secara ex vitro dan diaklimatisasikan dengan keberhasilan tinggi (hampir 95 %). Bibit ditanam pada medium arang sekam :kompos dan dipelihara dalam mini growth chamber dengan pencahayaan 1400 lux dengan 14 jam terang dan 10 jam gelap atau 3000 lux di screen house. Dengan teknik tersebut, bibit kelapa kopyor mampu menghasilkan daun yang lebih tebal dengan jaringan palisade dan spon parenkim yang lebih tebal, jumlah stomata yang lebih banyak serta lapisan epikutikular lilin yang lebih tebal dibandingkan dengan bibit yang dihasilkan dalam kondisi in vitro.
Kata kunci : Aklimatisasi, Mini growth chamber, Anatomi perbandingan, Kultur embryo
I. PENDAHULUAN
Kelapa kopyor dikenal memiliki nilai ekonomi tinggi karena harga jualnya dapat mencapai 10 kali lipat dari kelapa normal. Namun demikian, para petani kesulitan membudidayakan jenis kelapa tersebut karena kelapa kopyor tidak dapat dikecambahkan secara alami, umumnya sudah busuk setelah 2 minggu lepas dari pohon. Akibatnya, petani kelapa membudidayakan kelapa kopyor dengan cara menanam buah normal dari pohon yang menghasilkan buah kopyor. Akibatnya produksi buah kopyor yang dihasilkan relatif rendah (25 - 30 % dari total buah yang dihasilkan) dengan kemungkingan menghasilkan buah kopyor yang cukup rendah [1].
Sampai saat ini, satu-satunya cara yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit yang mampu menghasilkan pohon kopyior dengan buah 100 % kopyor adalah dengan menggunakan teknik kultur embryo. Teknik tesebut telah mulai dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1985 [2-4]. Namun demikian,
tingkat keberhasilan pembibitan kelapa kopyor melalui kultur embryo masih perlu ditingkatkan. Tingkat keberhasilan pada tahap perkecambahan dan pemanjangan sudah cukup tinggi, namun pada tahap induksi akar dan aklimatisasi memiliki tingkat keberhasilan yang cukup rendah. Protokol kultur embryo yang tersedia saat ini hanya mampu menghasilkan kecambah yang lengkap dengan akar masih cukup rendah, yaitu sekitar 50 % (Sukendah 2009; Sukendah et al. 2008), sedangkan pada tahap aklimatisasi masih kurang dari 20 % [3-5].
teknik tersebut mengakibatkan lama waktu yang dibutuhkan untuk produksi bibit menjadi lebih panjang, biaya lebih mahal dengan resiko kegagalan yang lebih besar.
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mempersingkat waktu kultur dengan tingkat keberhasilan yang lebih baik adalah dengan menggunakan teknik ex vitro rooting, yaitu induksi akar yang dilakukan bersamaan dengan aklimatisasi. Teknik ini telah banyak dilaporkan pada beberapa anaman dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi, seperti blackberry [8], Agapanthus praecox [9], Bixa orellana [10]. Rubus fruticosus [11], maupun Rosa hybrida [11]. Aplikasi teknik ex vitro rooting yang dilakukan bersamaan dengan aklimatisasi belum pernah dilaporkan pada tanaman kelapa maupun kelapa kopyor. Pada penelitian ini dilaporkan keberhasilan teknik tersebut untuk meningkatkan persentase keberhasilan induksi akar maupun aklimatisasi pada kelapa kopyor
II. METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo berumur 4 bulan yang tidak memiliki akar digunakan dalam penelitian ini. Kultur Embryo dilakukan dengan menggunakan protokol yang umum digunakan dengan sedikit modifikasi [12]. Embryo kelapa kopyor genjah yang diperoleh dari perkebunan rakyak Kabupaten Pati, Jawa Tengah diisolasi dan ditanam pada medium dasar Y3 [13]. Kultur dipelihara di tempat gelap sampai embryo berkecambah. Kecambah selanjutnya dipindahkan ke medium baru dan dipelihara ditempat terang dengan intensitas caya 900 lux dan fotoperiode 14 jam terang dan 10 jam gelap. Setelah bibit berumur 4 bulan dan berdaun terbuka satu atau dua buah kemudian siap diinduksi akar dan diaklimatisasikan dalam percobaan ini.
Uji Pengaruh Intensitas Cahaya pada Lingkungan Terkontrol
Bibit kelapa kopyor ditanam pada medium arang sekam kompos dengan perbandingan 1: 1 (v/v) dan dipelihara di dalam mini growth chamber (MGC) selama 3 bulan pada kelembapan udara sekitar 100 %. Dua intensitas cahaya digunakan dalam penelitian
ini, yaitu 900 lux dan 1700 lux serta digunakan fotoperioda 14 jam terang dan 10 jam gelap.. Ke dalam MGC ditambahkan medium kultur jaringan tanpa penambahan vitamin dan gula sebanyak 15 liter. Bibit dipelihara di dalam ruang kultur jaringan tumbuhan dengan temperatur udara terkontrol 24 -26 0C.
Uji Pengaruh Intensitas Cahaya pada Lingkungan Tidak Terkontrol
Bibit kelapa dipelihara dengan cara yang sama seperti di atas namun ditempatkan pada dua kondisi lingkungan yang tidak terkontrol, yaitu di dalam screen house dengan intensitas cahaya sekitar 3000 lux dan dibawah cahaya matahari langsung (45.000 lux). Temperatur udara di dalam MGC diamati dengan menggunakan alat temperatur humidity data logger guna memantau perubahan suhu dan kelembapan di dalam MGC.
Uji Morfologi dan Anatomi Bibit Kelapa Kopyor
Setelah 12 minggi, bibit dibersihkan dan dilakukan pengukuran morfologi bibit yang dihasilkan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah akar primer dan berat basah bibit. Setiap perlakuan digunakan 20 bibit dengan ulangan sebanyak 3 kali. Disamping itu juga dilakukan studi perbandingan anatomi daun antara bibit kelapa kopyor berumur 4 bulan sebelum ex vitro rooting dengan bibit kelapa kopyor sesudah ex vitro rooting selama 12 minggu. Anatomi daun yang diamati meliputi tebal daun, tebal jaringan palisade parenkim, tebal jaringan spon parenkim, tebal jaringan epidermis atas dan bawah, serta jumlah stomata pada permukaan atas dan bawah daun.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan uji student t-test dengan menggunakan software Minitab rel 16.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Intensitas Cahaya pada Lingkungan Terkontrol
Gambar 1. Keberhasilan aklimatisasi bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo dengan menggunakan metode ex vitro rooting yang dipelihara pada kondisi ruang terkontrol dengan intensitas cahaya 900 lux ( ) dan 1700 lux ( ). A. persentase bibit yang terinduksi akar serta kelulushidupan bibit setelah 12 minggu kultur di dalam mini growth chamber. B. Hasil pengukuran karakteristik morfologi bibit kelapa kopyor setelah 12 minggu dipelihara di dalam mini growth chamber meliputi tinggi bibit, berat basah, jumlah daun dan jumlah akar primer. Tanda *) menunjukkan perlakuan intensitas cahaya menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap keberhasilan aklimatisasi maupun morfologi bibit dengan dengan nilai p ≤ 0.05.
Pada intensitas cahaya yang tinggi (1700 lux), bibit kelapa kopyor berhasil diinduksi pembentukan akar secara ex vitro maupun berhasil diaklimatisasi dengan tingkat keberhasilan tinggi. Meskipun masih ditemukan bibit yang tidak terinduksi akar (sekitar 25 %) setelah 12 minggu proses aklimatisasi, namun hampir 95 % bibit kelapa kopyor yang tidak memiliki akar berhasil diaklimatisasikan dengan kondisi eksternal selama 12 minggu (Gambar 2). Pada intensitas cahaya yang lebih rendah (900 lux), tingkat keberhasilan induksi akar secara ex vitro dan aklimatisasi menurun secara signifikan (Gambar 1 A.). Kurang dari 70 % bibit kelapa kopyor tanpa akar berhasil diaklimatisasikan serta hanya sekitar 55 % bibit berhasil muncul akar setelah 12 minggu kultur.
Hasil analisis morfologi terhadap bibit yang berhasil tumbuh pada kedua kondisi intensitas cahaya yang berbeda menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan berat tanaman meningkat secara signifikan pada kultur dengan intensitas cahaya yang tinggi dibandingkan dengan kultur yang dipelihara dengan intensitas cahaya yang rendah. Namun demikian, jumlah
daun dan jumlah akar primer yang berhasil terinduksi tidak berbeda secara signifikan (Gambar 1 B).
Pengaruh Intensitas Cahaya pada Lingkungan yang Tidak Terkontrol
Dalam lingkungan yang tidak terkontrol, suhu di dalam MGC bervariasi tergantung intensitas cahaya. Pada intensitas cahaya sekitar 3000 lux, temperatur udara di dalam MGC berfluktuasi dengan temperatur udara minimum 27 0C pada malam hari pukul 2 dan temperatur udara maksimum sebesar 39 0C pada siang hari pukul 11.00. Pada intensitas cahaya yang tinggi (45000 lux), temperatur udara minimum sebesar 28 0C pada malam hari pukul 2 dan 49 0
Gambar 2 Morfologi bibit kelapa kopyor yang dipelihara dengan intensitas cayaha yang tinggi (1700 lux) selama 12 minggu kultur (A) dibandingkan dengan bibit yang dipelihara dengan intensitas cahaya yang rendah (900 lux; B). Bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo berumur 4 bulan yang tidak memiliki akar (C) dan bibit kelapa kopyor sesuah 12 minggu induksi akar secara ex vitro menunjukkan munculnya akar primer baru pada bibit yang ditanam (D).
Bibit yang dipelihara pada intensitas cahaya 3000 lux di dalam screen house berhasil terinduksi akar secara ex vitro dan berhasil diaklimatisasikan selama 12 minggu tanam. Seperti halnya pemeliharaan di dalam ruangan yang terkontrol, pemeliharan bibit di dalam MGC yang ditempatkan di screen house berhasil digunakan untuk aklimatisasi dengan tingkat tingkat keberhasilan mencapai lebih dari 90% dengan hampir 80 % bibit terinduksi pembentukan akar secara ex vitro. Ciri-ciri morfologi dari bibit yang berhasil tumbuh juga tidak berbeda secara signifikan dengan bibit yang dipelihara pada kondisi terkontrol dengan intensitas cahaya 1700 lux.
Hasil yang bertolak belakang diamati pada bibit yang dipelihara dengan intensitas cahaya tinggi (sekitar 45.000 lux) dengan cara bibit dipelihara di dalam MGC dan ditempatkan secara langsung dibawah sinar matahari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh bibit yang ditanam tidak berhasil tumbuh setelah 3 minggu kultur.
Anatomi Perbandingan Bibit Kelapa Kopyor Sebelum dan Sesudah Aklimatisasi
Gambar 3. Anatomi perbandingan antara daun yang tumbuh pada bibit in vitro berumur 4 bulan (sebelum aklimatisasi, ) dengan daun yang tumbuh pada bibit setelah aklimatisasi ( ) berdasarkan ciri ketebalan daun (A) dan jumlah stomata (B). Batang yang diikuti dengan tanda bintang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji t-test dengan nilai p≤
0,05.
Hasil pengukuran berat lapisan epikutikular lilin pada daun yang tumbuh selama proses in vitro sebelum proses aklimatisasi dengan daun yang tumbuh selama proses ex vitro (sesudah aklimatisasi) menunjukkan peningkatan berat lapisan epikutikular lilin yang signifikan setelah bibit dipelihara secara ex vitro (sesudah aklimatisasi) dibandingkan dengan daun yang tumbuh selama dipelihara secara in vitro (Gambar 4).
Gambar 4. Perbandingan berat lapisan epikutikular lilin antara daun yang tumbuh pada bibit in vitro berumur 4 bulan (sebelum aklimatisasi, ) dengan daun yang tumbuh pada bibit setelah aklimatisasi selama 12 minggu ( ).
Pembahasan
Kultur embrio telah lama diupayakan untuk digunakan dalam penyediaan bibit kelapa kopyor di Indonesia karena bibit yang dihasilkan terbukti mampu menghasilkan 100 % buah kopyor (true-to-type) dibandingkan dengan teknik pembibitan alami yang hanya mampu menghailkan buah kopyor kurang dari 25 %. Namun demikian, kendala yang dihadapi dalam mengaplikasikan teknik tersebut adalah tingginya bibit yang tidak memiliki akar selama proses in vitro (hampir 40 %) dan rendahnya keberhasilan aklimatisasi (sekitar 20 %; [3]. Pada semua protokol kultur embryo kelapa yang telah dipublikasikan, bibit tanpa akar tersebut akan diinduksi pembentukan akarnya secara in vitro sebelum diaklimatisasikan ke kondisi ex vitro [2; 3; 6; 7; 14; 15]. Namun demikian penambahan tahap induksi akar selama beberapa periode subkultur tersebut memperlama waktu produksi serta meningkatkan ongkos produksi.
akar (Gambar 1). Hasil ini merupakan terobosan baru dalam pengembangan protokol kultur embryo kelapa kopyor, bahkan kultur embryo kelapa pada umumnya,. Meskipun beberapa penelitian sebelumnya tentang teknik aklimatisasi bibit kelapa hasil kultur embryo mampu menghasilkan tingkat kelulushidupan yang sama, namun tekniktersebut membutuhkan waktu 6 - 9 bulan kondisi in vitro sebelum bibit siap diaklimatisasikan [3; 6; 7; 14; 15]. Teknik ex vitro rooting yang dikembangkan dalam penelitian membutuhkan waktu in vitro yang lebih singkat (4 bulan) sehingga mempersingkat waktu. Meskipun teknik fotoautotrop mampu menggunakan bibit yang berumur sama (4 bulan) dengan tingkat kelulushidupan yang sama pula [2], namun teknik yang dikembangkan ini murah dilakukan dan tidak membutuhkan teknologi tinggi seperti pada tenik fotoautotorp.
Pada umumnya, penyebab gagalnya proses aklimatisasi tanaman hasil kultur jaringan adalah perbedaan lingkungan yang sangat kontras antara lingkungan in vitro dengan lingkungan ex vitro seperti kelembapan udara yang sangat tinggi, ketersediaan gas CO2 yang sangat terbatas,maupun kekurangmampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis [16]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas cahaya memegang peran penting dalam menentukan keberhasilan aklimatisasi bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo baik dalam ruangan yang terkontrol (Gambar 2) maupun dalam kondisi lingkungan yang tidak terkontrol. Intensitas cahaya yang tinggi dibutuhkan untuk perkembangan bibit kelapa kopyor, namun intensitas cahaya yang terlalu tinggi dengan menempatkan di bawah matahari secara langsung menyebabkan kematian yang diakibatkan oleh tingginya temperatur udara di dalam mini growth chamber (48 0C di siang hari). Oleh karena itu penelitian ini merekomendasikan untuk tidak meletakkan bibit hasil kultur jaringan secara langsung di bawah sinar matahari.
Hasil uji anatomi perbandingan daun menunjukkan bahwa selama proses aklimatisasi dihasilkan daun yang lebih tebal, jaringa palisade dan spon parenkim yang lebih tebal, jumlah stomata yang lebih banyak serta lapisan epikutikular lilin yang lebih tebal dibandingkan dengan bibit yang dipelihara secara in vitro (Gambar 3 dan 4). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa pada umumnya, tanaman
in vitro memiliki stomata dengan jumlah yang lebih rendah serta stomata yang dimiliki belum fungsional [17] serta memiliki lapisan epikutikular lilin yang lebih tipis [18]. Kondisi tersebut diduga berhubungan dengan hilangnya hilangnya rangsang membuka dan menutupnya stomata sebagai akibat dari kondisi lingkungan yang konstant, kelembapan yang sangat tinggi serta tidak adanya aliran udara pada lingkungan in vitro [19]. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab gagalnya proses aklimatisasi pada kultur embryo kelapa kopyor seperti banyak dilaporkan sebelumnya [3; 4].
IV. KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa teknik ex vitro rooting dapat digunakan untuk induksi akar sekaligus aklimatisasi bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo. Tingkat keberhasilan induksi akar yang tinggi dapat dilakukan pada intensitas cahaya yang tinggi 1700 - 4500 lux dengan temperatur udara dibawah 26 - 28 0C. Bibit yang dihasilkan setelah 12 minggu tahapan induksi akar secara ex vitro akan memiliki daun yanglebih tebal dengan jumlah stomata yang lebih banyak serta lapisan epikutikular lilin yang lebih tebal dibandingkan bibit hasil kultur in vitro (sebelum digunakan aklimatisasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai proyek Insentif Riset Sinas dengan no kontrak 33/SEK/INSINAS/PPK/IV/2015 addendum 33/ADD/INSINAS/PPK/VIII/2015,
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA