ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI GETAH
KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN
LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN
KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN PROVINSI
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh:
Ade Pertiwi Harahap NIM. C52212095
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah Surabaya
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI GETAH
KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN
LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN
KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN PROVINSI
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Fakultas Syariah dan Hukum
Oleh:
Ade Pertiwi Harahap NIM. C52212095
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang dilakukan di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung dengan judul “Analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara”.ُSkripsi ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dituangkan dalan dua rumusan masalah yaitu: Bagaimana praktik jual beli
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
SURAT PENGESAHAN... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRASLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 15
F. Kegunaan Hasil penelitian ... 16
G. Definisi Operasional ... 17
H. Metode Penelitian ... 17
I. Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II KONSEP JUAL BELI DALAM ISLAM ... 24
1. Pengertian jual beli ... 24
2. Dasar hukum jual beli ... 25
3. Rukun jual beli ... 26
4. Syarat jual beli ... 26
5. Bentuk-bentuk jual beli ... 28
B. Macam-Macam akad jual beli ... 33
1. Definisi akad ... 33
2. Landasan hukum dan akibat hukumnya ... 35
3. Rukun akad ... 37
4. Syarat akad ... 39
5. Batal dan sahnya akad ... 39
6. Berakhirnya akad ... 40
BAB III PRAKTEK JUAL BELI GETAH KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN PROVINSI SUMATERA UTARA ... A. Gambaran Umum Tentang Lokasi Penelitian ... 48
1. Keadaan Geografis ... 49
2. Keadaan Sosial Keagamaan ... 49
3. Keadaan Sosial Pendidikan ... 50
4. Keadaan Sosial Ekonomi ... 51
B. Praktek akad jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang ... 52
1. Proses Transaksi Jual Beli Getah Karet ... 53
2. Proses Pelaksanaan Panen Karet ... 54
3. Petani memasukkan serpihan kayu kedalam karet . 56
4. Petani dan Pembeli Menimbang Karet ... 56
5. Pelaksanaan akad awal yang berlawanan dengan praktik yang dilakukan oleh petani ... 57 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JUAL
BELI GETAH KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN KABUPATEN
LABUHAN BATU UTARA PROVINSI SUMATERA SELATAN ...
BAB V PENUTUP ... 64
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 64
DASAR PUSTAKA ... xviii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Islam merupakan ajaran Allah yang bersifat universal yang mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya secara matrial maupun spiritual selalu
berhubungan dengan orang lain.1 Manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan
harus berinteraksi dengan yang lainnya. Ia memerlukan bantuan orang lain dan
ia juga diperlukan oleh yang lainnya.2 Sehingga demikian, telah menjadi
sunnatulla>h bahwa setiap manusia butuh kerja sama dan pertolongan dari
orang lain, tanpa adanya itu mustahil bagi manusia untuk hidup secara normal.
Kerja sama mempunyai unsur take and give, membantu dan dibantu.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:
... ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُُُ
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (Q.S. Al- Ma<idah: 2).3
Dari ayat di atas bisa kita lihat bahwa Islam merupakan agama
Rahmatan lil al‘a>lami>n yang memiliki empat sifat dasar sebagai indikatornya.
1 Ismail Nawawi, Fiqh Mu’a>malah,(Jakarta: Viv Press, 2012), 30.
2 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2013), 54.
3Kementrian Agama Republik Indonesia,
2
Keempat sifat tersebut adalah Islam sebagai agama kasih sayang, Islam
bersifat universal, Islam melarang diskriminasi, dan Islam bersifat
komprehensif.4
Islam memiliki sifat komprehensif karena mencakup semua dimensi
atau aspek kehidupan manusia baik yang ritual (mah}d}ah) maupun sosial
(mu’a@malah), material dan moral, ekonomi, politik, hukum, sosial,
kebudayaan, keamanan, nasional, dan internasional.5 Di dalam melakukan
kegiatan sosial (mu’a@malah), Islam memiliki prinsip-prinsip mu’a@malah.6
Mu’a@malah adalah segala aturan agama yang mengatur hubungan
antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara
manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.7
Muamalah dapat dipahami juga sebagai aturan-aturan hukum Allah SWT,
yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan
dan sosial masyarakat. Dengan demikian manusia tidak lagi melanggar segala
bentuk aturan yang ada kaitannya dengan muamalah tersebut. Sehingga
apapun bentuk aktivitas manusia di dunia ini senantiasa dalam rangka
mengabdikan diri hanya kepada Allah SWT dan sesama manusia, dengan tetap
menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ketika manusia hendak membeli, menjual, menyimpan dan
meminjam, atau menginvestasikan harta, ia selalu berpegang teguh pada
4 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek Hukumnya, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2014), 18.
5 Ibid., 22.
6 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 7-12.
3
ketentuan yang ditetapkan Allah SWT tidak memakan uang haram, monopoli,
korupsi, mencuri, berjudi, maupun melakukan suap menyuap. Seorang
manusia secara tegas menjauhi daerah yang diharamkan Allah SWT
disamping berusaha semaksimal mungkin meninggalkan sesuatu shubhat.8
Shubhat merupakan istilah di dalam Islam yang menyatakan tentang keadaan
yang samar tentang kehalalan atau keharaman dari sesuatu.
Dalam bermuamalah, manusia dilarang merugikan pihak lain dengan
cara yang tidak wajar. Oleh karena itu, Allah SWT melarang memakan harta
yang diperoleh melalui jalan yang tidak benar kecuali dengan jalan
perniagaaan yang berlaku dengan suka sama suka antara penjual dan pembeli.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Nisa@’ ayat 29.
ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ
ُُُ ُArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang bat}il, kecuali dengan jalan peniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang
kepadamu”. (Q.S. al-Nisa@’: 29)9
Ayat di atas menegaskan bahwa dalam melakukan jual beli harus
dengan cara yang benar. Salah satu usaha untuk mempertahankan kehidupan
manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan cara jual beli. Pada
prinsipnya hukum jual beli halal (diperbolehkan) selama tidak melanggar
aturan–aturan shari@’ah Islam. Bahkan usaha perdagangan dianggap mulia
8 Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, ..., 46.
9 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya,
4
apabila dilakukan dengan jujur, ama@nah, dan tidak ada unsur tipu menipu
antara satu dengan yang lain dan benar-benar berdasarkan prinsip shari@’ah
Islam.
Jual beli artinya menukarkan barang dengan barang atau barang
dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap
orang lain atas dasar kerelaan kedua belah pihak.10 Jual beli merupakan
tindakan atau transaksi yang telah disyari’atkan agama Islam. Artinya, semua
aspek dan mekanisme jual beli jelas dalam Islam. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat al-Baqarah ayat 275.
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُ
ُُُ
ُ
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila, keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. al-Baqarah:
275)11
10Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi’I, , (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007),
22.
5
Dalam melaksanakan transaksi jual beli hal penting yang perlu
diperhatikan oleh pihak penjual dan pembeli adalah mencari barang yang halal
untuk di perjual belikan di lakukan dengan cara yang jujur, bersih dari segala
sifat yang dapat merusak jual beli itu sendiri.12
Dalam jual beli terdapat suatu konsekuensi yaitu penjual
memindahkan barang kepada pembeli dan pembeli memindahkan miliknya
kepada penjual sesuai dengan harga yang telah disepakati. Setelah itu
masing-masing mereka dapat menggunakan barang yang telah dipindahkan
kepemilikannya sesuai dengan jalan yang dibenarkan oleh sharī’ah Islam.
Proses pemindahan hak melalui jual beli tersebut harus mengandung
nilai kesepakatan bersama, keuntungan yang diperoleh salah satu pihak bukan
kerugian yang diderita oleh pihak lain. Dengan kata lain, hanya transaksi
bisnis yang lepas dari paksaan dan intimidasi, ketidakadilan dan eksploitasi
inilah yang dianggap sebagai transaksi bisnis yang halal.13
Dalam sharī’ah Islam terdapat tata cara jual beli yang wajib diikuti
agar terhindar dari penipuan, pemalsuan, dan akal busuk manusia. Upaya
kecurangan dalam jual beli yang berbentuk eksploitasi, pemerasan, monopoli,
penipuan maupun bentuk lainnya tidak dibenarkan oleh Islam. Dengan
demikian, Islam berdiri pada posisi yang benar dan berperan adil dalam
hubungan bisnis terhadap semua pihak. Transaksi yang dilakukan secara
kekerasan, kecurangan ataupun kebatilan adalah diharamkan, karena
12 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2003), 36.
6
pelaksanaan jual beli harus berdasarkan prinsip suka sama suka diantara pihak
penjual dan pembeli.
Getah karet merupakan salah satu sumber penghasilan utama bagi
masyarakat Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan
Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Masyarakat dalam menampung getahnya
menggunakan tempurung dan getah mengalir keُdalamnya. Kemudian getah
tersebut kering selama 1 hari, sehingga getah karet dalam keadaan kering siap
untuk dijual oleh petani kepada pembeli.
Adapun praktik akad jual beli getah karet yang dilakukan petani karet
bagi masyarakat Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan
Kabupaten Labuhan Batu Selatan pembeli melakukan akad awal yang
mengharuskan petani untuk memanen getah murni. Sedangkan pada praktik di
lapangan petani memasukkan serpihan-serpihan kayu ke dalam wadah
penampungan getah karet tanpa sepengetahuan pembeli. Hal demikian
bertujuan agar petani memperoleh keuntungan lebih.
Berangkat dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti
tentang praktik jual beli getah karet yang dijalankan oleh petani masyarakat
Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan
Batu Selatan. Dari praktik yang dijalankan, terdapat dugaan sifat taghri>r dan
tadli>s sehingga berdampak pada kualitas dan kuantitas objek akad dan
terdapat unsur merugikan bagi salah satu pihak yaitu pihak pembeli. Oleh
karena itu, perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan judul analisis hukum
7
Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi
Sumatera Utara.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang di atas terdapat beberapa masalah, diantaranya
adalah:
1. Praktik jual beli karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai
Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.
2. Pembeli menginginkan getah karet yang dijual oleh petani dalam keadaan
murni atau kering
3. Penyebab petani sengaja memasukkan serpihan kayu atau kotoran ke
dalam wadah penampungan getah karet.
4. Ketidak tahuan pembeli bahwasanya petani memasukkan serpihan kayu/
kotoran ke dalam wadah penampungan getah karet.
5. Adanya dugaan bahwasanya praktik yang dilakukan oleh petani
mengandung unsur taghri>r dan tadli>s.
6. Hukum Islam terhadap Praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan
Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu
Selatan Provinsi Sumatera Utara.
Untuk menghindari bias dalam pembahasan selanjutnya, maka
penulis perlu untuk membatasi beberapa masalah di atas pada dua masalah inti
yaitu:
8
Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara
2. Analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di Lingkungan Ujung
Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
Provinsi Sumatera Utara
C. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan masalah yang telah penulis batasi, maka penulis
dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang
Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi
Sumatera Utara?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di
Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten
Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran yang
memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa penelitian terdahulu
yang sejenis atau memiliki keterkaitan, sehingga tidak ada pengulangan
penelitian dan duplikasi. Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis
menemukan beberapa penelitian terkait akad jual beli getah karet,
9
Pertama, Marisa Farhana jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2012, dengan judul skripsi ” Praktik
Jual Beli Karet di Kecamatan Gelumbang Kabupaten Muara Enim Ditinjau
dari Hukum Islam”.14 Skripsi ini membahas tentang batasan pelaksanaan jual
beli lelang atau tender karet di Kecamatan Gelumbang ditinjau dari persfektif
hukum Islam dan membahas tentang praktik monopoli harga oleh pembeli.
Poin utama skripsi tersebut adalah membahas tentang lelang dan penetapan
harga secara sepihak oleh pembeli serta monopoli harga oleh pembeli.
Kedua, Irawati jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah IAIN Antasari
Banjarmasin pada tahun 2008, dengan judul “Praktik Jual Beli Karet (Studi
Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong”15.
Skripsi ini membahas tentang pembeli karet yang memberikan pinjaman uang
kepada petani karet. Selanjutnya petani membayar hutang tersebut secara
bertahap dengan menjual karet kepada pembeli yang meminjamkan uang.
Ketiga, Haris Maiza Putra, jurusan Hukum Perdata Islam Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2016, dengan
judul skripsi ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tawar Menawar Pengurangan
Berat Timbangan Getah Karet (Studi Kasus di Nagari Lubuk Alai Kecamatan
Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat)”16. Skripsi
ini membahas tentang praktik tawar menawar pengurangan berat timbangan
14 Marisa Farhana, Praktek Jual Beli Karet di Kecamatan Gelumbang Kabupaten Muara Enim
Ditinjau dari Hukum Islam, (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012).
15 Irawati, Praktik Jual Beli Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai
Kabupaten Tabalong, (Skripsi--IAIN Antasari Banjarmasin, 2008).
16 Haris Maiza Putra, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tawar Menawar Pengurangan Berat
10
getah karet. Dalam prakteknya, ketika seorang juragan membeli getah karet
dari petani, getah tersebut ditimbang beratnya. Kemudian pembeli getah karet
akan mengurangi berat timbangan dengan alasan berat getah tersebut akan
berkurang karena di dalam getah tersebut masih mengandung air dan akan
berkurang beratnya setelah airnya menyusut. Setelah pembeli mengurangi
berat timbangan dengan alasan tersebut petani getah karet akan melakukan
tawar menawar berat timbangannya, karena petani tidak mau berat getah
karetnya dikurangi terlalu banyak.
Berikut tabel perbedaan penelitian ini dengan judul-judul skripsi diatas:
Nama Irawati Marisa Farhana Haris Maiza
Putra
Ade Pertiwi Harahap
Judul Praktik Jual Beli Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong)
Praktek Jual Beli Karet di
Kecamatan Gelumbung Kabupaten Muara Enim Ditinjau Dari Hukum Islam Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tawar Menawar Pengurangan Berat Timbangan Getah Karet (Studi Kasus di Nagari Lubuk Alai Kecamatan Bukik Barisan)
Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Getah Karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara Latar Belakang
Sebagai ilustrasi kasus, di Kecamatan Haruan terdapat orang pedagang karet yang membeli karet dari
masyarakat untuk dijual kembali ke perusahaan karet di
11
Banjarmasin. Kelima pedagang itu adalah A, B, C, D dan E. Pedagang A mempunyai modal yang besar,
memonopoli
pembelian karet dari masyarakat,
sehingga B, C, D dan E tidak dapat membeli /
memperoleh karet dari masyarakat setempat. Cara yang dilakukan A untuk memonopoli pasar adalah dengan memberikan
pinjaman/kredit uang atau barang kepada masyarakat dengan perjanjian dibayar dengan karet.
12
praktik jual beli getah karet kering yang dilakukan petani tidak seharusnya dilakukan terlebih petani mengatakan bahwa getah karet yang ia jual dalam keadaan bersih, sedangkan pembeli mengira bahwa getah karet kering yang ia terima pun dalam keadaan bersih. Pembeli pada dasarnya tidak mengetahui bahwa petani memasukkan serpihan kayu kedala wadah penampungan getah karet. Rumusan Masalah 1. Bagaimana praktik jual beli karet yang
dilakukan pedagang karet di Kecamatan Haruai Kabupaen Tabalong?
13
karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong?
gelumbung? 3. bagaimana pelaksanaan jual beli lelang karet dalam pandangan hukum Islam? Kota Provinsi Sumatera Barat? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik tawar menawar pengurangan berat timbangan getah karet di Nagari Lubuk Alai Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat? 2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara? Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan di kecamatan haruai kabupaten tabalong.
14
pada konsep-konsep yang ada.
Analisis Praktik Jual Beli Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong) ditinjau dari hukum Islam.
Praktek Jual Beli Karet di
Kecamatan Gelumbung Kabupaten Muara Enim Ditinjau Dari Hukum Islam yaitu dianalisis dengan nash al-Quran dan Hadis.
Tinjauan hukum
Islam terhadap
tawar menawar pengurangan berat timbangan jual beli getah karet di Nagari Lubuk Alai dianalisis dengan al-Quran dan hadis
Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Getah Karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara yang dianalisis dengan nash al-Quran dan Hadis. Kesimpulan Kasus penjual harus
menjual getah karet ke pembeli yang sama karena punya hutang hukumnya boleh selama tidak ada permainan harga karena petani punya hutang. Sedangkan yang ada permainan harga hukumnya haram. Penetapan harga karet yang dilakukan oleh pembeli dirasakan tidak adil oleh pihak penjual (petani). Karena sudah ada timbal balik antara penjual dan pembeli artinya sudah ada kerelaan antara kedua belah pihak maka dalam persfektif hukum islam hukumnya sah.
Praktek jual beli getah karet di Nagari Lubuk Alai sejalan dengan hukum Islam. Karena tidak ada pihak yang dirugikan dalam transaksi ini. Pihak pembeli tidak dirugikan dengan getah karet yang masih mengandung air. Pembeli juga tidak akan rugi ketika berat timbangannya menyusut.
Analisis hukum Islam terhadap praktek jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang
15
Begitu juga dengan pihak petani, petani yang melakukan tawar menawar jika berat timbangannya terlalu banyak oleh pembeli. Maka hukum jual beli diperbolehkan menurut syara’.
Dengan adanya kajian pustaka di atas, hal ini jelas sangat berbeda
dengan penelitian yang akan penulis lakukan dengan judul “Analisis Hukum
Islam terhadap akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang
Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi
Sumatera Utara”, dalam penelitian ini penulis ingin memfokuskan tentang
praktik jual beli getah karet yang dilakukan oleh petani dengan
memasukannya serpihan kayu atau kotoran kepada getah karet sehingga
berimbas pada kuantitas dan kualitas objek akad.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka dalam melakukan
penelitian ini penulis memiliki tujuan:
16
Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu
Selatan Provinsi Sumatera Utara
2. Untuk memahami analisis hukum Islam terhadap akad jual beli getah
karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan
Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara
F. Kegunaan dan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunanaan, baik secara
teoritis maupun secara praktis. Secara umum, kegunaan penelitian yang
dilakukan penulis ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu:
1. Dari tinjauan teoritis – akademis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas
wawasan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam, terutama pada bidang
fikih muamalah, menambah wawasan mengenai tindakan penjual dan
pembeli dalam praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung
Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
Provinsi Sumatera Utara serta diharapkan menjadi bahan hipotesis bagi
penelitian berikutnya.
2. Dari sisi praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan bermuamalah yang sesuai
17
dijadikan bahan untuk memperbaiki penerapan praktik akad jual beli getah
karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten
Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara, yang sesuai dengan hukum
Islam.
G.Definisi Operasional
Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami beberapa
istilah yang ada di dalam penelitian ini, maka penulis memberikan penjelasan
atau definisi dari beberapa istilah sebagai berkut:
Hukum Islam: Ketentuan hukum yang bersumber dari al-Quran dan
Hadits serta pendapat ulama yang mengatur tentang akad
jual beli yang dijadikan pedoman bagi kehidupan
masyarakat.
Jual Beli Getah Karet: Zat cair pekat dari batang kayu yang biasanya di
jadikan mata pencaharian utama petani di Lingkungan
Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten
Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara, kemudian
18
H.Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif, yakni
tentang analisis hukum Islam terhadap akad jual beli getah karet di
Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten
Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.
Untuk menghasilkan gambaran yang sistematis dibutuhkan
langkah-langkah yang meliputi: data yang dikumpulkan, sumber data
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data dan teknik
analisis data.
1. Data yang dikumpulkan
Data yang diperlukan dihimpun untuk menjawab pertanyaan
dalam rumusan masalah yakni data tentang praktik jual beli getah karet di
lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai
Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara dan
data yang ada kaitannya dengan hukum Islam serta pandangan ulama’
terhadap praktik jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang
Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan kabupaten Labuhan
Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.
2. Sumber data
Data dalam penelitian ini akan didapatkan dari beberapa sumber,
antara lain:
a. Sumber Primer
19
objek yang diteliti baik dari pribadi maupun dari suatu instansi yang
mengolah dan untuk keperluan penelitian, seperti dengan melakukan
wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan
dengan penelitian yang dilakukan.17 yakni keterangan dan data yang
diperoleh dari masyarakat yang melakukan praktik jual beli getah karet
di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten
Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara. Diantaranya pembeli,
penjual, kepala desa, dan kepala suku.
b. Sumber Sekunder
Sumber Sekunder adalah data yang didapatkan dari sumber
secara tidak langsung kepada pengumpul data.18 Data sekunder
merupakan data yang memberikan penjelasan terhadap data primer.
Data sebagian besar merupakan literatur yang berkaitan dengan konsep
hukum Islam. Data ini bersumber dari al-Qur’an dan Hadist, monografi
desa Ujung Lombang, buku-buku, jurnal atau dokumen-dokumen
lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
1) Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’i
2) Rahmat Syafe’I, Fiqih Muamalah
3) Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, Riba>, Gharar dan
Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah
4) Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah
5) Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah
17 Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 62.
20
6) M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, maka
penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena
praktik jual beli yang terjadi menggunakan pengamatan dan
pencatatan19. Penulis akan melakukan observasi tentang fenomena
tersebut pada tanggal 15-20 Oktober 2016 di Lingkungan Ujung
Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
Provinsi Sumatera Utara. Pihak-pihak yang menjadi objek observasi
penulis antara lain tiga petani, satu di antaranya merupakan kepala
petani, dan pembeli getah karet serta beberapa masyarakat tani.
b. Wawancara (Interview) Merupakan metode pengumpulan data dengan
cara bertanya langsung kepada pihak yang terkait dengan masalah yang
akan dibahas.20 Peneliti akan mencoba melakukan wawacara dengan
penjual (diantaranya: Umar Harahap, Sahri, Ahmad Hasibuan, Heni,
Guntur) dan pembeli (diantaranya: Ali Nasution, Bangun Purba, Jamil
Hasibuan, Soleh Hasibuan) getah karet di Lingkungan Ujung Lombang
Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi
Sumatera Utara untuk mendapatkan pengetahuan tentang praktik yang
dijalankan.
c. Dokumentasi yaitu teknik pengambilan data dengan cara membaca dan
19 Masruhan, Metodologi Penlitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 212.
21
mengambil kesimpulan dari jual beli dengan akad di awal yang telah
terjadi dalam praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung
Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
Provinsi Sumatera Utara.
5. Teknik Pengolahan Data
Adapun teknik pengolahan data yang digunakan untuk
mempermudah dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Editing, adalah memeriksa kelengkapan data. Teknik ini digunakan
untuk meneliti kembali data-data yang diperoleh,21 yaitu mengadakan
pemeriksaan kembali data-data tentang praktik jual beli getah karet di
Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten
Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.
b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematika data tentang proses
awal hingga akhir praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung
Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
Provinsi Sumatera Utara.
c. Analizing, yaitu tahapan analisis dan perumusan pelaksanaan transaksi
praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang
Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi
Sumatera Utara.
21 Soeratno, Metode Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis, (Yogyakarta: UUP AMP YKPM,
22
6. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari lapangan akan dianalisis dengan
menggunakan metode deskriptif, yaitu memaparkan data yang terkait
dengan masalah yang dibahas yang ditemukan dalam berbagai literatur
dan kesimpulannya diambil logika deduktif yaitu memaparkan masalah–
masalah yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat khusus.
I. Sistematika Pembahasan
Bab pertama berisi pendahuluan yaitu terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian,
definisi operasional dan sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan kerangka teoritik atau landasan teori tentang
jual beli yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap penelitian ini, yang
mencakup pengertian jual beli, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual
beli, macam-macam jual beli dan bentuk jual beli yang terlarang, serta
manfaat dan hikmah jual beli.
Bab ketiga merupakan penyajian data hasil penelitian yang telah
dikumpulkan di lokasi penelitian kemudian dideskripsikan secara objektif
mengenai gambaran umum tentang lokasi penelitian dan praktik akad jual beli
getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan
23
Bab keempat memuat tentang analisis, yaitu analisis hukum Islam
tentang praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang
Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi
Sumatera Utara.
Bab kelima merupakan penutup, yang di dalamnya memuat tentang
BAB II
KONSEP JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM
A. Teori Jual Beli
1. Pengertian jual beli
Jual beli dalam bahasa arab disebut dengan al-bai’. Jual beli
(al-bai‟) secara bahasa merupakan mashdar dari kata ba’a – yabi’u yang
bermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata al-ba’
karena masing-masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskan
untuk mengambil dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan
penjualan dan pembelian disebut al-bay’ani. Secara bahasa, kata al-bai’
dianggap lawan dari kata assyira’u yang berarti membeli, dengan
demikian, kata al-bai’ berarti penjualan. Menurut kitab Fiqih Maz|hab
Syafi‟i, yang dimaksud dengan jual beli adalah menukarkan barang
dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak
milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas dasar kerelaan kedua
belah pihak1.
Menurut madzhab Hanafiah, jual beli adalah pertukaran harta
(mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta
dengan harta di sini, diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat
25
kecendrungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang
dimaksud adalah shighat atau ungkapan ijab dan qabul.
Menurut imam Nawawi dalam kitab Majmu’, jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki.
Sedangkan menurut Ibnu Qudamah menyatakan jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki dan
dimiliki2
Jual beli (menurut B.W) adalah suatu perjanjian timbal balik
dalam mana pihak-pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si
pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang
sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut3.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli
ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima
benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang telah dibenarkan Syara‟ dan disepakati. Maksudnya ialah
memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang
2 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 69.
26
ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya
tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.4
2. Dasar hukum jual beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat
manusia mempunya landasan yang kuat dalam al-Quran dan Sunnah
Rasulullah saw. Terdapat beberapa firman Allah yang membicarakan
tentang jual beli:
....
...
Artinya:“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... (QS. Al Baqarah:275)5
....
Artinya:“Bukanlah suatu dosa bagimu mencari rezeki dari Tuhanmu”.(QS.
Al-Baqarah: 198)6
....
...
Artinya:“... kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka di antara Kamu...”(QS. An-Nisa‟:29)7
Dasar hukum jual beli dalam Hadist di antaranya adalah:
Artinya : ”Dari Rifa’an ibn Rafi’ bahwa Rasulullah SAW. Ditanya
salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling
4 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), 69.
5 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta:Maghfirah Pustaka, 2010), 45.
27
baik. Rasulullah ketika itu menjawab. Usaha tangan manusia sendiri
dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazar dan Al-Hikam)8
3. Rukun jual beli
Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
1. Ada orang yang berakad atau al-muta’ aqid (penjual dan pembeli);
2. Ada sighat (lafal ijab dan qabul);
3. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut Ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang
dibeli, dan nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli,
bukan rukun jual beli.
4. Syarat jual beli
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang
dikemukaakan jumhur ulama di atas adalah sebagai berikut:
a. Syarat yang berakad
1) Berakal, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum
berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
2) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya,
seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan
sebagai penjual, sekaligus pembeli.
b. Syarat yang terkait dengan Ijab Qabul
28
Para ulama fiqih mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu
ialah,
1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2) Qabul sesusai dengan ijab
3) Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis.
c. Syarat barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan
adalah:
1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu;
2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia;
3) Mempunyai hak milik atas barang tersebut;
4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang
disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
d. Syarat nilai tukar (harga barang)
Untuk syarat nilai tukar atau harga barang di antaranya:
1) Harga yang disepakati kedua belah pihak;
2) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan
barang (al-muqayyadah), maka barang yang dijadikan nilai tukar
bukan barang yang diharamkan syara‟, seperti babi dan khamar.9
29
3) Syarat jual beli merupakan sesuatu yang harus dipenuhi dalam
kegiatan jual beli agar transaksi jual beli menjadi sah. Namun,
terdapat bentuk lain yang merupakan perkecualian dari jual beli,
di mana barang yang diperjualbelikan tidak harus diserahkan
ketika akad dan tidak harus ada pada penjual diwaktu transaksi,
bentuk lain dari jual beli ini yaitu jual beli salam.
5. Bentuk –bentuk jual beli
Adapun bentuk - bentuk jual beli yang perlu kita ketahui, antara lain
yaitu:
a. Jual beli yang shahih
Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang shahih
apabila jual beli tersebut disyari’atkan, memenuhi rukun dan
syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain, tidak bergantung
pula pada hak khiyar lagi, jual beli seperti ini dikatakan sebagai
jual beli yang shahih. Misalnya, seseorang membeli sebuah
kendaraan roda empat. Seluruh rukun dan syarat jual beli telah
terpenuhi, kendaraan roda empat itu telah diperiksa oleh pembeli
dan tidak ada cacat, tidak ada yang rusak, tidak ada manipulasi
harga dan harga buku (kwitansi) itupun telah diserahkan, serta
30
demikian ini hukumnya shahih dan telah mengikat kedua belah
pihak.10
b. Jual beli yang ba>thil
Yaitu jual beli apabila salah satu atau seluruh rukunnya
tidak terpenuhi, atau jual beli tersebut pada dasar dan sifatnya
tidak disyari’atkan, seperti jual beli yang dilakukan oleh
anak-anak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang
diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.
Adapun jenis-jenis jual beli yang ba>thil adalah:
1) Jual beli sesuatu yang tidak ada. Para ulama fiqh sepakat
menyatakan jual beli seperti ini tidak sah atau batil.
Misalnya, memperjual belikan buah-buahan yang putiknya
pun belum muncul di pohonnya atau anak sapi yang belum
ada, sekalipun di perut ibunya telah ada.
2) Menjual barang yang tidak boleh diserahkan kepada
pembeli, seperti menjual barang yang hilang atau burung
piaraan yang lepas dan terbang di udara..
3) Jual beli yang mengandung unsur penipuan bai’ al-gharar ,
yang pada awalnya baik, tetapi dibalik itu semua terdapat
unsur-unsur penipuan. Misalnya, memperjualbelikan
10
31
4) kurma yang ditumpuk, diatasnya bagus-bagus, dan manis,
tapi ternyata di dalam tumpukan tersebut banyak terdapat
yang busuk. Termasuk ke dalam jual beli tipuan ini adalah
jual beli al-hashah. Selain itu yang termasuk dalam jual
beli yang mengandung unsur penipuan adalah jual beli
al-mula>masah (mana yang terpegang oleh engkau dari barang
itu, itulah yang saya jual). Kemudian jual beli
almuza>banah (barter yang diduga keras tidak sebanding),
misalnya memperjualbelikan anggur yang masih di
pohonnya dengan dua kilo cengkeh yang sudah kering,
karena dikhawatirkan antara yang dijual dan yang dibeli
tidak sebanding.
5) Jual beli benda-benda najis. Seperti babi, khamr, bangkai,
dan darah. Karena semua itu dalam pandangan Islam
adalah najis dan tidak mengandung makna harta.
6) Jual beli al-arbun yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan
melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan
uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual,
dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka
32
dikembalikan, maka uang yang telah diberikan pada
penjual, menjadi hibah bagi penjual.
7) Memperjual belikan air sungai, air danau, air laut, dan air
yang tidak boleh dimiliki seseorang, karena air yang tidak
dimiliki seseorang merupakan hak bersama umat manusia
dan tidak boleh diperjualbelikan11.
c. Jual beli yang fasid
Ulama Hanafiyah yang membedakan jual beli fasid dengan
jual beli yang bathil. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait
dengan barang yang diperjualbelikan, maka hukumnya batal,
seperti memperjualbelikan barang-barang haram (khamr, babi,
darah). Apabila kerusakan pada jual beli itu meyangkut harga
barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli tersebut dinamakan
fasid. Akan tetapi jumhur ulama tidak membedakan antara jual
beli yang fasid dengan jual beli yang batil. Menurut mereka jual
beli itu terbagi dua, yaitu jual beli yang sahih dan jual beli batil.
Apabila syarat dan rukun jual terpenuhi, maka jual beli itu sah.
Sebaliknya, apabila salah satu rukun atau syarat jual beli itu tidak
terpenuhi, maka jual beli itu batal12.
d. Transaksi jual beli yang barangnya tidak ada di tempat akad
11 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000) 122-125.
33
Transaksi jual beli yang barangnya tidak berada di tempat
akad, hukumnya boleh dengan syarat barang tersebut diketahui
dengan jelas klasifikasinya. Namun, apabila barang tersebut tidak
sesuai dengan apa yang telah diinformasikan, akad jual beli akan
menjadi tidak sah, maka pihak yang melakukan akad dibolehkan
untuk memilih menerima atau menolak, sesuai dengan
kesepakatan antara pihak pembeli dan penjual.13
e. Transaksi atas barang yang sulit dan berbahaya untuk melihatnya
diperbolehkan juga melakukan akad transaksi atas barang yang
tidak ada di tempat akad, bila kriteria barang tersebut diketahui
menurut kebiasaan, misalnya makanan kaleng, obat-obatan dalam
tablet, tabung-tabung oksigen, bensin dan minyak tanah melalui
kran pompa dan lainnya yang tidak dibenarkan untuk dibuka
kecuali pada saat penggunaannya, sebab sulit melihat barang
tersebut dan membahayakan14.
B. Macam-Macam Akad Jual Beli
Dalam jual beli penyebutan akad termasuk pada bagian sigha>t (ija>b
dan qabu>l) sebagai rukun dari jual beli. Sehingga kejelasan akad pada saat
menyatakan transaksi dan pada saat transaksi sangat mempengaruhi
keabsahan jual beli tersebut.
13 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 4, (Jakarta:Pena Pundi Aksara, 2006) 131.
34
1. Definisi akad
Secara linguistik, akad memiliki beberapa arti, antara lain:15
a. Mengikat (
طْبَرلا
), yaitu :نْيملْ بمح ْمَْرمط معْمَ
و م نحامي و مةْعنطمق بمانبْل م ي م نلََم ََمح نرنرِْبنب بم َ محمح أ دممي
Artinya:
“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan
yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai
sepotong benda.”
Makna ”ar-rabt{u” secara luas dapat diartikan sebagai ikatan
antara beberapa pihak. Makna linguistik ini lebih dekat dengan makna
istilah fiqh yang bersifat umum, yakni keinginan seseorang untuk
melakukan sesuatu, baik keinginan bersifat pribadi maupun keinginan
yang terkait dengan pihak lain.16
b. Sambungan (
م ْقمع
), yaitu :نسْ ُ ْىنذَلا لنصْوممْلما
بمم ه قِ ثمو مي بمم ه ك
Artinya:
“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
c. Janji (ُُ دْهَعْلَا), sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an :
مْينقََ مْلا أبن ُ مها َننإمي ىمقَ تامي هن ْهمةنب مَْيما ْنمم ىلمب
Artinya :
15 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 44.
35
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran: 76)17
Istilah ‘ahdu dalam al-Qur’an mengacu kepada pernyataan
seseorang atau perjanjian, baik dua perjanjian atau lebih yang
menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang
berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan
dua buah janji (‘ahdu) atau biasa disebut perikatan (‘aqad).18
Sedangkan menurut istilah, akad memiliki makna khusus,
yang berasal dari lafal al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan
permufakatan alittifaq. Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan
dengan:
مىلمع ولْو بمقنب وببمْْنإ طبمبنتْرا
م ثمح ت بْثم وعْي رْدمم وهْجمي
نهِلممَ نَ همر
Artinya:
“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang
berpengaruh pada obyek perikatan.”
Sedangkan beberapa definisi lain menurut Nasroen Haroen adalah19:
1. Menurut Mursyid Al-Hairan, akad merupakan, “pertemuan ijab yang
diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang
menimbulkan akibat hukum pada objek akad.
17 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 193
18 Hendi Suhendi, Fiqh..., 45
36
2. Menurut Syamsul Anwar, akad adalah “pertemuan ijab dan qabul
sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan
suatu akibat hukum pada objeknya. Kedua definisi di atas
memperlihatkan bahwa, pertama, akad merupakan keterkaitan atau
pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum.
Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad
adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu
pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga,
tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum.20
2. Landasan hukum dan akibat hukumnya
Landasan hukum yang digunakan mengenai kebolehan dalam berakad
disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Ma>idah ayat 1 dan surat Ali Imron ayat
76. Adapun Q.S. al-Ma>idah ayat 1, yang berbunyi:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”(Q.S. al-Ma>idah ayat 1)21
Sedangkan dalam Q.S. Ali Imron ayat 76, yang berbunyi:
20 Ibid., 69.
37
Artinya:
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.”( Q.S. Ali Imron ayat 76)22
Suatu akad dapat dikatakan sempurna apabila ijab dan qabul telah
memenuhi syarat. Akan tetapi adapula akad-akad yang baru sempurna
apabila telah dilakukan serah terima obyek akad, tidak cukup hanya
dengan ijab dan qabul saja. Akad seperti ini disebut dengan al-’uqu>d al
-’ainiyyah. Akad seperti ini ada lima macam, yaitu: hibah, ‘a>riyah (pinjam
meminjam), wa>di’ah, qirad{ (perikatan dalam modal), dan rahn (jaminan
hutang). Dan setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya
sasaran yang ingin dicapai sejak semula, seperti pemindahan hak milik
dari penjual kepada pembeli dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak-
pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal- hal
yang dibenarkan syara’.
Dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban
diantara pihak yang bertransaksi. Dalam jual beli misalnya, pembeli
berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai hak atau obyek transaksi
dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban
untuk menyerahkan barang dan menerima uang sebagai kompensasi
barang.
38
3. Rukun akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga
sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang
membentuknya. Rumah, misalnya, terbentuk karena adanya unsur-unsur
yang membentuknya, yaitu fondasi, tiang, lantai, dinding, atap dan
seterusnya. Dalam konsepsi hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk
sesuatu itu disebut rukun.23
Menurut ulama Hanafiyah, rukun akad itu adalah:
مفتنا ْنمع رمغ بمم أل ك مو
و ببمَنك ْيمح و مربمشنإ ْيمح ولْةني ْننم بمم هممبمقمم مْو قم بمم ْيمح ننْمدامر نإْا نقب
Artinya:
“Rukun akad adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan
dua kehendak atau yang menempati tempat keduanya baik berupa
perbuatan, isyarat, atau tulisan”.24
Sehingga yang dimaksud dengan rukun akad adalah ija>b dan
qabu>l. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya
yang menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab
keberadaannya sudah pasti.25 Adapun ulama-ulama selain Hanafiah
berpendapat bahwa rukun akad itu ada tiga:26
a) Orang yang melakukan akad (‘aqid)
23 Ibid., 95.
24 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Mu’a>malah ..., 114.
25Rachmat Syafe’i, Fiqih Mu’a>malah (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 45.
39
b) Objek akad (ma’qud alaih)
c) S{igat.
Dalam jual beli misalnya, orang yang melakukan akad adalah
penjual dan pembeli, sedangkan objek akadnya adalah barang dan
harga, dan shighatnya adalah ija>b dan qabu>l. Ketiga rukun akad
menurut jumhur ini mengacu kepada pengertian rukun menurut
pandangan mereka yaitu sesuatu yang keabsahannya menunggu
kepada sesuatu yang lain, walaupun ia bukan bagian dari hakikat
sesuatu tersebut.27
Sedangkan menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun
yang membentuk akad itu ada empat, yaitu:28
1) Para pihak yang membuat akad (al- ‘aqida>n)
2) Pernyataan kehendak para pihak (s{ighatul ‘aqd)
3) Objek akad (mah{allul ‘aqd)
4) Tujuan akad (maudhu al-‘aqd).
4. Syarat-syarat akad
Masing-masing rukun yang membentuk akad, memerlukan
syarat-syarat agar unsur itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya
syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad. Dalam
hukum Islam, syarat-syarat dimaksud dinamakan syarat-syarat
40
terbentuknya akad. Rukun pertama, yaitu para pihak, harus memenuhi
dua syarat terbentuknya akad, yaitu (1) Tamyiz, dan (2) Berbilang.
Rukun kedua, yaitu pernyataan kehendak, harus memenuhi dua syarat,
yaitu (1) Adanya persesuaian ija>b dan qabu>l, dengan kata lain tercapainya
kata sepakat, dan (2) Kesatuan majelis akad. Rukun ketiga, yaitu objek
akad, harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) Objek itu dapat diserahkan,
(2) Dapat ditentukan, dan (3) Objek itu dapat ditransaksikan. Rukum
keempat memerlukan satu syarat, yaitu tidak bertentangan dengan
shara’.29
5. Batal dan sahnya akad
Suatu perjanjian akad tidak cukup hanya ada secara faktual, tetapi
keberadaannya juga harus sah secara syar’i (yuridis) agar akad tersebut
dapat melahirkan akibat-akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak
yang membuatnya. Suatu akad menjadi sah apabila rukun-rukun dan
syaratsyaratnya terpenuhi, dan tidak sah apabila rukun dan syaratnya
tidak terpenuhi. Madzhab H{anafi mengungkapkan tentang tingkat
kebatalan dan keabsahan akad menjadi lima peringkat.
Tingkatan-tingkatan tersebut adalah: akad bath{il (akad yang salah satu atau seluruh
rukunnya tidak terpenuhi dan sifatnya tidak di syari’atkan){{, Akad fasid
29 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Mu’a>malat...,
41
(akad yang rusak dikarenakan harga barang dan boleh di perbaiki), Akad
mawquf (akad yang masih memiliki keterkaitan dengan hak orang lain).30
6. Berakhirnya akad
Berakhirnya suatu akad ulama fikih menyatakan bahwa suatu
akad dapat berakhir apabila terjadi hal-hal seperti berikut:31
a) Berakhir masa berlaku akadnya, apabila akad tersebut memiliki
tenggang waktu;
b) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu
mengikat;
c) Dalam suatu akad yang mengikat, akad dapat berakhir bila, akad
itu fasid, berlakunya khiyar sharat, khiyar ‘aib, akad yang tidak
dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad, dan telah tercapainya
tujuan akad itu secara sempurna;
d) Wafat salah satu pihak yang berakad. Menurut M. Ali Hasan
bahwa walaupun salah satu pihak wafat, maka dapat diteruskan
oleh ahli warisnya, seperti akad sewa-menyewa, gadai (rahn) dan
perserikatan dagang (syirkah). Dengan demikian tidak pihak yang
dirugikan.
30 Ibid.
31 Nasrun Haroen, Fiqh Mu’a>malah ..., 108. Lihat juga di M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi
42
7. Akad jual beli as-Salam
Salam adalah bentuk masdar dari kata salama. Sedangkan
bentuk masdar yang sebenarnya adalah Islam. Salam juga diistilahkan
dengan as-salaf (yaitu pinjaman tanpa bunga)32. Dalam pengertian
lain disebutkan bahwa as-salam dinamai juga dengan as-salaf
(pendahuluan), yaitu transaksi penjualan sesuatu barang yang akan
diterimanya dengan pembayaran terlebih dahulu atau pembayaran di
muka (atau pembayaran lebih dulu daripada barangnya).33 Dikatakan
akad jual beli salam karena orang yang memesan menyerahkan harta
pokoknya dalam majelis, dan dikatakan salaf karena ia menyerahkan
uangnya terlebih dahulu sebelum menerima barang dagangan.34 Secara
terminologi, salam adalah penjualan suatu barang yang disebutkan
sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan barang tersebut masih
dalam tanggungan penjual, yang syarat-syarat tersebut di antaranya
adalah mendahulukan pembayaran pada waktu di akad majelis (akad
disepakati).35Salam disebut juga dengan forward sale, yaitu jual beli
32 Chatibul Umam dan Abu Hurairah, Fiqh Empat Madzhab (Jombang: Darul Ulum Press, 2001), 232.
33 M. A. Asyhari, Halal dan Haram, (Gresik: CV. Bintang Remaja, 1989), 371.
34 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, et al, Al-Fiqhul Muyassar Qismul Muamalat, Mausu’ah
Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkamal-Fiqhil-Islami Bi Uslu>b Wa>dhih Lil-Mukhtashin wa Gharirihim, Penerjemah Miftahul Khair (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), 137.
35 Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama,
43
barang-barang yang diserahkan dikemudian hari sementara
pembayaran dilakukan dimuka.36
Dasar hukum akad jual beli as-Salam dalam al-Qur’an, yaitu
pada Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi:
...
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.”37
Sedangkan dasar hukumnya dalam As-sunnah, diartikan sebagai
berikut:
”Rasulullah saw datang ke madinah, sementara para sahabat sedang
mengadakan jual beli salam pada kurma untuk dua tahun atau tiga
tahun. Maka Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memberikan
utang maka hendaknya dia memberikannya d