• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI GETAH

KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN

LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN

KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN PROVINSI

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:

Ade Pertiwi Harahap NIM. C52212095

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah Surabaya

(2)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI GETAH

KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN

LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN

KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN PROVINSI

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Fakultas Syariah dan Hukum

Oleh:

Ade Pertiwi Harahap NIM. C52212095

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang dilakukan di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung dengan judul “Analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara”.ُSkripsi ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dituangkan dalan dua rumusan masalah yaitu: Bagaimana praktik jual beli

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

SURAT PENGESAHAN... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRASLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Kegunaan Hasil penelitian ... 16

G. Definisi Operasional ... 17

H. Metode Penelitian ... 17

I. Sistematika Pembahasan ... 22

BAB II KONSEP JUAL BELI DALAM ISLAM ... 24

(9)

1. Pengertian jual beli ... 24

2. Dasar hukum jual beli ... 25

3. Rukun jual beli ... 26

4. Syarat jual beli ... 26

5. Bentuk-bentuk jual beli ... 28

B. Macam-Macam akad jual beli ... 33

1. Definisi akad ... 33

2. Landasan hukum dan akibat hukumnya ... 35

3. Rukun akad ... 37

4. Syarat akad ... 39

5. Batal dan sahnya akad ... 39

6. Berakhirnya akad ... 40

BAB III PRAKTEK JUAL BELI GETAH KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN PROVINSI SUMATERA UTARA ... A. Gambaran Umum Tentang Lokasi Penelitian ... 48

1. Keadaan Geografis ... 49

2. Keadaan Sosial Keagamaan ... 49

3. Keadaan Sosial Pendidikan ... 50

4. Keadaan Sosial Ekonomi ... 51

B. Praktek akad jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang ... 52

1. Proses Transaksi Jual Beli Getah Karet ... 53

2. Proses Pelaksanaan Panen Karet ... 54

3. Petani memasukkan serpihan kayu kedalam karet . 56

4. Petani dan Pembeli Menimbang Karet ... 56

5. Pelaksanaan akad awal yang berlawanan dengan praktik yang dilakukan oleh petani ... 57 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JUAL

BELI GETAH KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN KABUPATEN

(10)

LABUHAN BATU UTARA PROVINSI SUMATERA SELATAN ...

BAB V PENUTUP ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 64

DASAR PUSTAKA ... xviii

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Islam merupakan ajaran Allah yang bersifat universal yang mengatur

seluruh aspek kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya secara matrial maupun spiritual selalu

berhubungan dengan orang lain.1 Manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan

harus berinteraksi dengan yang lainnya. Ia memerlukan bantuan orang lain dan

ia juga diperlukan oleh yang lainnya.2 Sehingga demikian, telah menjadi

sunnatulla>h bahwa setiap manusia butuh kerja sama dan pertolongan dari

orang lain, tanpa adanya itu mustahil bagi manusia untuk hidup secara normal.

Kerja sama mempunyai unsur take and give, membantu dan dibantu.

Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:

... ُ   ُ  ُ   ُ   ُ  ُ   ُ   ُ  ُ  ُ  ُ  ُ   ُ   ُ  ُ  ُ   ُ   ُ   ُ  ُُُ

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

taqwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat

siksa-Nya.” (Q.S. Al- Ma<idah: 2).3

Dari ayat di atas bisa kita lihat bahwa Islam merupakan agama

Rahmatan lil al‘a>lami>n yang memiliki empat sifat dasar sebagai indikatornya.

1 Ismail Nawawi, Fiqh Mu’a>malah,(Jakarta: Viv Press, 2012), 30.

2 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2013), 54.

3Kementrian Agama Republik Indonesia,

(12)

2

Keempat sifat tersebut adalah Islam sebagai agama kasih sayang, Islam

bersifat universal, Islam melarang diskriminasi, dan Islam bersifat

komprehensif.4

Islam memiliki sifat komprehensif karena mencakup semua dimensi

atau aspek kehidupan manusia baik yang ritual (mah}d}ah) maupun sosial

(mu’a@malah), material dan moral, ekonomi, politik, hukum, sosial,

kebudayaan, keamanan, nasional, dan internasional.5 Di dalam melakukan

kegiatan sosial (mu’a@malah), Islam memiliki prinsip-prinsip mu’a@malah.6

Mu’a@malah adalah segala aturan agama yang mengatur hubungan

antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara

manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.7

Muamalah dapat dipahami juga sebagai aturan-aturan hukum Allah SWT,

yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan

dan sosial masyarakat. Dengan demikian manusia tidak lagi melanggar segala

bentuk aturan yang ada kaitannya dengan muamalah tersebut. Sehingga

apapun bentuk aktivitas manusia di dunia ini senantiasa dalam rangka

mengabdikan diri hanya kepada Allah SWT dan sesama manusia, dengan tetap

menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya.

Ketika manusia hendak membeli, menjual, menyimpan dan

meminjam, atau menginvestasikan harta, ia selalu berpegang teguh pada

4 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek Hukumnya, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2014), 18.

5 Ibid., 22.

6 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 7-12.

(13)

3

ketentuan yang ditetapkan Allah SWT tidak memakan uang haram, monopoli,

korupsi, mencuri, berjudi, maupun melakukan suap menyuap. Seorang

manusia secara tegas menjauhi daerah yang diharamkan Allah SWT

disamping berusaha semaksimal mungkin meninggalkan sesuatu shubhat.8

Shubhat merupakan istilah di dalam Islam yang menyatakan tentang keadaan

yang samar tentang kehalalan atau keharaman dari sesuatu.

Dalam bermuamalah, manusia dilarang merugikan pihak lain dengan

cara yang tidak wajar. Oleh karena itu, Allah SWT melarang memakan harta

yang diperoleh melalui jalan yang tidak benar kecuali dengan jalan

perniagaaan yang berlaku dengan suka sama suka antara penjual dan pembeli.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Nisa@’ ayat 29.

 ُ   ُ   ُ   ُ   ُ  ُ  ُ  ُ   ُ  ُ   ُ  ُ  ُ   ُ  ُ  ُ   ُ   ُ  ُ  ُ  ُ   ُ   ُ  ُ  ُ



ُُُ ُ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang bat}il, kecuali dengan jalan peniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang

kepadamu”. (Q.S. al-Nisa@’: 29)9

Ayat di atas menegaskan bahwa dalam melakukan jual beli harus

dengan cara yang benar. Salah satu usaha untuk mempertahankan kehidupan

manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan cara jual beli. Pada

prinsipnya hukum jual beli halal (diperbolehkan) selama tidak melanggar

aturan–aturan shari@’ah Islam. Bahkan usaha perdagangan dianggap mulia

8 Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, ..., 46.

9 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-quran dan Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya,

(14)

4

apabila dilakukan dengan jujur, ama@nah, dan tidak ada unsur tipu menipu

antara satu dengan yang lain dan benar-benar berdasarkan prinsip shari@’ah

Islam.

Jual beli artinya menukarkan barang dengan barang atau barang

dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap

orang lain atas dasar kerelaan kedua belah pihak.10 Jual beli merupakan

tindakan atau transaksi yang telah disyari’atkan agama Islam. Artinya, semua

aspek dan mekanisme jual beli jelas dalam Islam. Sebagaimana firman Allah

SWT dalam surat al-Baqarah ayat 275.



ُ



ُ



ُ

ُ





ُ

ُ

ُ



ُ

ُ

ُ



ُ

ُ



ُ

ُ



ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ



ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ



ُ

ُ

ُ

ُ

ُ



ُ



ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ



ُ

ُ

ُ





ُ

ُ

ُ



ُ



ُ



ُُُ

ُ

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat

berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila, keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah

penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. al-Baqarah:

275)11

10Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi’I, , (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007),

22.

(15)

5

Dalam melaksanakan transaksi jual beli hal penting yang perlu

diperhatikan oleh pihak penjual dan pembeli adalah mencari barang yang halal

untuk di perjual belikan di lakukan dengan cara yang jujur, bersih dari segala

sifat yang dapat merusak jual beli itu sendiri.12

Dalam jual beli terdapat suatu konsekuensi yaitu penjual

memindahkan barang kepada pembeli dan pembeli memindahkan miliknya

kepada penjual sesuai dengan harga yang telah disepakati. Setelah itu

masing-masing mereka dapat menggunakan barang yang telah dipindahkan

kepemilikannya sesuai dengan jalan yang dibenarkan oleh sharī’ah Islam.

Proses pemindahan hak melalui jual beli tersebut harus mengandung

nilai kesepakatan bersama, keuntungan yang diperoleh salah satu pihak bukan

kerugian yang diderita oleh pihak lain. Dengan kata lain, hanya transaksi

bisnis yang lepas dari paksaan dan intimidasi, ketidakadilan dan eksploitasi

inilah yang dianggap sebagai transaksi bisnis yang halal.13

Dalam sharī’ah Islam terdapat tata cara jual beli yang wajib diikuti

agar terhindar dari penipuan, pemalsuan, dan akal busuk manusia. Upaya

kecurangan dalam jual beli yang berbentuk eksploitasi, pemerasan, monopoli,

penipuan maupun bentuk lainnya tidak dibenarkan oleh Islam. Dengan

demikian, Islam berdiri pada posisi yang benar dan berperan adil dalam

hubungan bisnis terhadap semua pihak. Transaksi yang dilakukan secara

kekerasan, kecurangan ataupun kebatilan adalah diharamkan, karena

12 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2003), 36.

(16)

6

pelaksanaan jual beli harus berdasarkan prinsip suka sama suka diantara pihak

penjual dan pembeli.

Getah karet merupakan salah satu sumber penghasilan utama bagi

masyarakat Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan

Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Masyarakat dalam menampung getahnya

menggunakan tempurung dan getah mengalir keُdalamnya. Kemudian getah

tersebut kering selama 1 hari, sehingga getah karet dalam keadaan kering siap

untuk dijual oleh petani kepada pembeli.

Adapun praktik akad jual beli getah karet yang dilakukan petani karet

bagi masyarakat Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan

Kabupaten Labuhan Batu Selatan pembeli melakukan akad awal yang

mengharuskan petani untuk memanen getah murni. Sedangkan pada praktik di

lapangan petani memasukkan serpihan-serpihan kayu ke dalam wadah

penampungan getah karet tanpa sepengetahuan pembeli. Hal demikian

bertujuan agar petani memperoleh keuntungan lebih.

Berangkat dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti

tentang praktik jual beli getah karet yang dijalankan oleh petani masyarakat

Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan

Batu Selatan. Dari praktik yang dijalankan, terdapat dugaan sifat taghri>r dan

tadli>s sehingga berdampak pada kualitas dan kuantitas objek akad dan

terdapat unsur merugikan bagi salah satu pihak yaitu pihak pembeli. Oleh

karena itu, perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan judul analisis hukum

(17)

7

Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi

Sumatera Utara.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang di atas terdapat beberapa masalah, diantaranya

adalah:

1. Praktik jual beli karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai

Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

2. Pembeli menginginkan getah karet yang dijual oleh petani dalam keadaan

murni atau kering

3. Penyebab petani sengaja memasukkan serpihan kayu atau kotoran ke

dalam wadah penampungan getah karet.

4. Ketidak tahuan pembeli bahwasanya petani memasukkan serpihan kayu/

kotoran ke dalam wadah penampungan getah karet.

5. Adanya dugaan bahwasanya praktik yang dilakukan oleh petani

mengandung unsur taghri>r dan tadli>s.

6. Hukum Islam terhadap Praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan

Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu

Selatan Provinsi Sumatera Utara.

Untuk menghindari bias dalam pembahasan selanjutnya, maka

penulis perlu untuk membatasi beberapa masalah di atas pada dua masalah inti

yaitu:

(18)

8

Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara

2. Analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di Lingkungan Ujung

Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

Provinsi Sumatera Utara

C. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan masalah yang telah penulis batasi, maka penulis

dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang

Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi

Sumatera Utara?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di

Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten

Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran yang

memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa penelitian terdahulu

yang sejenis atau memiliki keterkaitan, sehingga tidak ada pengulangan

penelitian dan duplikasi. Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis

menemukan beberapa penelitian terkait akad jual beli getah karet,

(19)

9

Pertama, Marisa Farhana jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2012, dengan judul skripsi ” Praktik

Jual Beli Karet di Kecamatan Gelumbang Kabupaten Muara Enim Ditinjau

dari Hukum Islam”.14 Skripsi ini membahas tentang batasan pelaksanaan jual

beli lelang atau tender karet di Kecamatan Gelumbang ditinjau dari persfektif

hukum Islam dan membahas tentang praktik monopoli harga oleh pembeli.

Poin utama skripsi tersebut adalah membahas tentang lelang dan penetapan

harga secara sepihak oleh pembeli serta monopoli harga oleh pembeli.

Kedua, Irawati jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah IAIN Antasari

Banjarmasin pada tahun 2008, dengan judul “Praktik Jual Beli Karet (Studi

Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong”15.

Skripsi ini membahas tentang pembeli karet yang memberikan pinjaman uang

kepada petani karet. Selanjutnya petani membayar hutang tersebut secara

bertahap dengan menjual karet kepada pembeli yang meminjamkan uang.

Ketiga, Haris Maiza Putra, jurusan Hukum Perdata Islam Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2016, dengan

judul skripsi ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tawar Menawar Pengurangan

Berat Timbangan Getah Karet (Studi Kasus di Nagari Lubuk Alai Kecamatan

Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat)”16. Skripsi

ini membahas tentang praktik tawar menawar pengurangan berat timbangan

14 Marisa Farhana, Praktek Jual Beli Karet di Kecamatan Gelumbang Kabupaten Muara Enim

Ditinjau dari Hukum Islam, (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012).

15 Irawati, Praktik Jual Beli Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai

Kabupaten Tabalong, (Skripsi--IAIN Antasari Banjarmasin, 2008).

16 Haris Maiza Putra, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tawar Menawar Pengurangan Berat

(20)

10

getah karet. Dalam prakteknya, ketika seorang juragan membeli getah karet

dari petani, getah tersebut ditimbang beratnya. Kemudian pembeli getah karet

akan mengurangi berat timbangan dengan alasan berat getah tersebut akan

berkurang karena di dalam getah tersebut masih mengandung air dan akan

berkurang beratnya setelah airnya menyusut. Setelah pembeli mengurangi

berat timbangan dengan alasan tersebut petani getah karet akan melakukan

tawar menawar berat timbangannya, karena petani tidak mau berat getah

karetnya dikurangi terlalu banyak.

Berikut tabel perbedaan penelitian ini dengan judul-judul skripsi diatas:

Nama Irawati Marisa Farhana Haris Maiza

Putra

Ade Pertiwi Harahap

Judul Praktik Jual Beli Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong)

Praktek Jual Beli Karet di

Kecamatan Gelumbung Kabupaten Muara Enim Ditinjau Dari Hukum Islam Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tawar Menawar Pengurangan Berat Timbangan Getah Karet (Studi Kasus di Nagari Lubuk Alai Kecamatan Bukik Barisan)

Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Getah Karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara Latar Belakang

Sebagai ilustrasi kasus, di Kecamatan Haruan terdapat orang pedagang karet yang membeli karet dari

masyarakat untuk dijual kembali ke perusahaan karet di

(21)

11

Banjarmasin. Kelima pedagang itu adalah A, B, C, D dan E. Pedagang A mempunyai modal yang besar,

memonopoli

pembelian karet dari masyarakat,

sehingga B, C, D dan E tidak dapat membeli /

memperoleh karet dari masyarakat setempat. Cara yang dilakukan A untuk memonopoli pasar adalah dengan memberikan

pinjaman/kredit uang atau barang kepada masyarakat dengan perjanjian dibayar dengan karet.

(22)

12

praktik jual beli getah karet kering yang dilakukan petani tidak seharusnya dilakukan terlebih petani mengatakan bahwa getah karet yang ia jual dalam keadaan bersih, sedangkan pembeli mengira bahwa getah karet kering yang ia terima pun dalam keadaan bersih. Pembeli pada dasarnya tidak mengetahui bahwa petani memasukkan serpihan kayu kedala wadah penampungan getah karet. Rumusan Masalah 1. Bagaimana praktik jual beli karet yang

dilakukan pedagang karet di Kecamatan Haruai Kabupaen Tabalong?

(23)

13

karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong?

gelumbung? 3. bagaimana pelaksanaan jual beli lelang karet dalam pandangan hukum Islam? Kota Provinsi Sumatera Barat? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik tawar menawar pengurangan berat timbangan getah karet di Nagari Lubuk Alai Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat? 2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara? Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan di kecamatan haruai kabupaten tabalong.

(24)

14

pada konsep-konsep yang ada.

Analisis Praktik Jual Beli Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong) ditinjau dari hukum Islam.

Praktek Jual Beli Karet di

Kecamatan Gelumbung Kabupaten Muara Enim Ditinjau Dari Hukum Islam yaitu dianalisis dengan nash al-Quran dan Hadis.

Tinjauan hukum

Islam terhadap

tawar menawar pengurangan berat timbangan jual beli getah karet di Nagari Lubuk Alai dianalisis dengan al-Quran dan hadis

Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Getah Karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara yang dianalisis dengan nash al-Quran dan Hadis. Kesimpulan Kasus penjual harus

menjual getah karet ke pembeli yang sama karena punya hutang hukumnya boleh selama tidak ada permainan harga karena petani punya hutang. Sedangkan yang ada permainan harga hukumnya haram. Penetapan harga karet yang dilakukan oleh pembeli dirasakan tidak adil oleh pihak penjual (petani). Karena sudah ada timbal balik antara penjual dan pembeli artinya sudah ada kerelaan antara kedua belah pihak maka dalam persfektif hukum islam hukumnya sah.

Praktek jual beli getah karet di Nagari Lubuk Alai sejalan dengan hukum Islam. Karena tidak ada pihak yang dirugikan dalam transaksi ini. Pihak pembeli tidak dirugikan dengan getah karet yang masih mengandung air. Pembeli juga tidak akan rugi ketika berat timbangannya menyusut.

Analisis hukum Islam terhadap praktek jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang

(25)

15

Begitu juga dengan pihak petani, petani yang melakukan tawar menawar jika berat timbangannya terlalu banyak oleh pembeli. Maka hukum jual beli diperbolehkan menurut syara’.

Dengan adanya kajian pustaka di atas, hal ini jelas sangat berbeda

dengan penelitian yang akan penulis lakukan dengan judul “Analisis Hukum

Islam terhadap akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang

Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi

Sumatera Utara”, dalam penelitian ini penulis ingin memfokuskan tentang

praktik jual beli getah karet yang dilakukan oleh petani dengan

memasukannya serpihan kayu atau kotoran kepada getah karet sehingga

berimbas pada kuantitas dan kualitas objek akad.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka dalam melakukan

penelitian ini penulis memiliki tujuan:

(26)

16

Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu

Selatan Provinsi Sumatera Utara

2. Untuk memahami analisis hukum Islam terhadap akad jual beli getah

karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan

Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara

F. Kegunaan dan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunanaan, baik secara

teoritis maupun secara praktis. Secara umum, kegunaan penelitian yang

dilakukan penulis ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu:

1. Dari tinjauan teoritis – akademis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas

wawasan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam, terutama pada bidang

fikih muamalah, menambah wawasan mengenai tindakan penjual dan

pembeli dalam praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung

Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

Provinsi Sumatera Utara serta diharapkan menjadi bahan hipotesis bagi

penelitian berikutnya.

2. Dari sisi praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan bermuamalah yang sesuai

(27)

17

dijadikan bahan untuk memperbaiki penerapan praktik akad jual beli getah

karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten

Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara, yang sesuai dengan hukum

Islam.

G.Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami beberapa

istilah yang ada di dalam penelitian ini, maka penulis memberikan penjelasan

atau definisi dari beberapa istilah sebagai berkut:

Hukum Islam: Ketentuan hukum yang bersumber dari al-Quran dan

Hadits serta pendapat ulama yang mengatur tentang akad

jual beli yang dijadikan pedoman bagi kehidupan

masyarakat.

Jual Beli Getah Karet: Zat cair pekat dari batang kayu yang biasanya di

jadikan mata pencaharian utama petani di Lingkungan

Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten

Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara, kemudian

(28)

18

H.Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif, yakni

tentang analisis hukum Islam terhadap akad jual beli getah karet di

Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten

Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

Untuk menghasilkan gambaran yang sistematis dibutuhkan

langkah-langkah yang meliputi: data yang dikumpulkan, sumber data

penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data dan teknik

analisis data.

1. Data yang dikumpulkan

Data yang diperlukan dihimpun untuk menjawab pertanyaan

dalam rumusan masalah yakni data tentang praktik jual beli getah karet di

lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai

Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara dan

data yang ada kaitannya dengan hukum Islam serta pandangan ulama’

terhadap praktik jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang

Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan kabupaten Labuhan

Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

2. Sumber data

Data dalam penelitian ini akan didapatkan dari beberapa sumber,

antara lain:

a. Sumber Primer

(29)

19

objek yang diteliti baik dari pribadi maupun dari suatu instansi yang

mengolah dan untuk keperluan penelitian, seperti dengan melakukan

wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan

dengan penelitian yang dilakukan.17 yakni keterangan dan data yang

diperoleh dari masyarakat yang melakukan praktik jual beli getah karet

di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten

Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara. Diantaranya pembeli,

penjual, kepala desa, dan kepala suku.

b. Sumber Sekunder

Sumber Sekunder adalah data yang didapatkan dari sumber

secara tidak langsung kepada pengumpul data.18 Data sekunder

merupakan data yang memberikan penjelasan terhadap data primer.

Data sebagian besar merupakan literatur yang berkaitan dengan konsep

hukum Islam. Data ini bersumber dari al-Qur’an dan Hadist, monografi

desa Ujung Lombang, buku-buku, jurnal atau dokumen-dokumen

lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

1) Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’i

2) Rahmat Syafe’I, Fiqih Muamalah

3) Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, Riba>, Gharar dan

Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah

4) Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah

5) Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah

17 Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 62.

(30)

20

6) M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, maka

penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena

praktik jual beli yang terjadi menggunakan pengamatan dan

pencatatan19. Penulis akan melakukan observasi tentang fenomena

tersebut pada tanggal 15-20 Oktober 2016 di Lingkungan Ujung

Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

Provinsi Sumatera Utara. Pihak-pihak yang menjadi objek observasi

penulis antara lain tiga petani, satu di antaranya merupakan kepala

petani, dan pembeli getah karet serta beberapa masyarakat tani.

b. Wawancara (Interview) Merupakan metode pengumpulan data dengan

cara bertanya langsung kepada pihak yang terkait dengan masalah yang

akan dibahas.20 Peneliti akan mencoba melakukan wawacara dengan

penjual (diantaranya: Umar Harahap, Sahri, Ahmad Hasibuan, Heni,

Guntur) dan pembeli (diantaranya: Ali Nasution, Bangun Purba, Jamil

Hasibuan, Soleh Hasibuan) getah karet di Lingkungan Ujung Lombang

Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi

Sumatera Utara untuk mendapatkan pengetahuan tentang praktik yang

dijalankan.

c. Dokumentasi yaitu teknik pengambilan data dengan cara membaca dan

19 Masruhan, Metodologi Penlitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 212.

(31)

21

mengambil kesimpulan dari jual beli dengan akad di awal yang telah

terjadi dalam praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung

Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

Provinsi Sumatera Utara.

5. Teknik Pengolahan Data

Adapun teknik pengolahan data yang digunakan untuk

mempermudah dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Editing, adalah memeriksa kelengkapan data. Teknik ini digunakan

untuk meneliti kembali data-data yang diperoleh,21 yaitu mengadakan

pemeriksaan kembali data-data tentang praktik jual beli getah karet di

Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten

Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematika data tentang proses

awal hingga akhir praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung

Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

Provinsi Sumatera Utara.

c. Analizing, yaitu tahapan analisis dan perumusan pelaksanaan transaksi

praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang

Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi

Sumatera Utara.

21 Soeratno, Metode Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis, (Yogyakarta: UUP AMP YKPM,

(32)

22

6. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan akan dianalisis dengan

menggunakan metode deskriptif, yaitu memaparkan data yang terkait

dengan masalah yang dibahas yang ditemukan dalam berbagai literatur

dan kesimpulannya diambil logika deduktif yaitu memaparkan masalah–

masalah yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang

bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Bab pertama berisi pendahuluan yaitu terdiri dari latar belakang

masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian,

definisi operasional dan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan kerangka teoritik atau landasan teori tentang

jual beli yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap penelitian ini, yang

mencakup pengertian jual beli, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual

beli, macam-macam jual beli dan bentuk jual beli yang terlarang, serta

manfaat dan hikmah jual beli.

Bab ketiga merupakan penyajian data hasil penelitian yang telah

dikumpulkan di lokasi penelitian kemudian dideskripsikan secara objektif

mengenai gambaran umum tentang lokasi penelitian dan praktik akad jual beli

getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan

(33)

23

Bab keempat memuat tentang analisis, yaitu analisis hukum Islam

tentang praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang

Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi

Sumatera Utara.

Bab kelima merupakan penutup, yang di dalamnya memuat tentang

(34)

BAB II

KONSEP JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM

A. Teori Jual Beli

1. Pengertian jual beli

Jual beli dalam bahasa arab disebut dengan al-bai’. Jual beli

(al-bai‟) secara bahasa merupakan mashdar dari kata ba’a – yabi’u yang

bermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata al-ba’

karena masing-masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskan

untuk mengambil dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan

penjualan dan pembelian disebut al-bay’ani. Secara bahasa, kata al-bai’

dianggap lawan dari kata assyira’u yang berarti membeli, dengan

demikian, kata al-bai’ berarti penjualan. Menurut kitab Fiqih Maz|hab

Syafi‟i, yang dimaksud dengan jual beli adalah menukarkan barang

dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak

milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas dasar kerelaan kedua

belah pihak1.

Menurut madzhab Hanafiah, jual beli adalah pertukaran harta

(mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta

dengan harta di sini, diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat

(35)

25

kecendrungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang

dimaksud adalah shighat atau ungkapan ijab dan qabul.

Menurut imam Nawawi dalam kitab Majmu’, jual beli adalah

pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki.

Sedangkan menurut Ibnu Qudamah menyatakan jual beli adalah

pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki dan

dimiliki2

Jual beli (menurut B.W) adalah suatu perjanjian timbal balik

dalam mana pihak-pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk

menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si

pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang

sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut3.

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli

ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai

nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima

benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau

ketentuan yang telah dibenarkan Syara‟ dan disepakati. Maksudnya ialah

memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang

2 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 69.

(36)

26

ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya

tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara.4

2. Dasar hukum jual beli

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat

manusia mempunya landasan yang kuat dalam al-Quran dan Sunnah

Rasulullah saw. Terdapat beberapa firman Allah yang membicarakan

tentang jual beli:

....





...

Artinya:

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... (QS. Al Baqarah:275)5







....



Artinya:

“Bukanlah suatu dosa bagimu mencari rezeki dari Tuhanmu”.(QS.

Al-Baqarah: 198)6

....









...



Artinya:

“... kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka di antara Kamu...”(QS. An-Nisa‟:29)7

Dasar hukum jual beli dalam Hadist di antaranya adalah:

Artinya : ”Dari Rifa’an ibn Rafi bahwa Rasulullah SAW. Ditanya

salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling

4 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), 69.

5 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta:Maghfirah Pustaka, 2010), 45.

(37)

27

baik. Rasulullah ketika itu menjawab. Usaha tangan manusia sendiri

dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazar dan Al-Hikam)8

3. Rukun jual beli

Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:

1. Ada orang yang berakad atau al-muta’ aqid (penjual dan pembeli);

2. Ada sighat (lafal ijab dan qabul);

3. Ada nilai tukar pengganti barang.

Menurut Ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang

dibeli, dan nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli,

bukan rukun jual beli.

4. Syarat jual beli

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang

dikemukaakan jumhur ulama di atas adalah sebagai berikut:

a. Syarat yang berakad

1) Berakal, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum

berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.

2) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya,

seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan

sebagai penjual, sekaligus pembeli.

b. Syarat yang terkait dengan Ijab Qabul

(38)

28

Para ulama fiqih mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu

ialah,

1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.

2) Qabul sesusai dengan ijab

3) Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis.

c. Syarat barang yang diperjualbelikan

Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan

adalah:

1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual

menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu;

2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia;

3) Mempunyai hak milik atas barang tersebut;

4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang

disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

d. Syarat nilai tukar (harga barang)

Untuk syarat nilai tukar atau harga barang di antaranya:

1) Harga yang disepakati kedua belah pihak;

2) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan

barang (al-muqayyadah), maka barang yang dijadikan nilai tukar

bukan barang yang diharamkan syara‟, seperti babi dan khamar.9

(39)

29

3) Syarat jual beli merupakan sesuatu yang harus dipenuhi dalam

kegiatan jual beli agar transaksi jual beli menjadi sah. Namun,

terdapat bentuk lain yang merupakan perkecualian dari jual beli,

di mana barang yang diperjualbelikan tidak harus diserahkan

ketika akad dan tidak harus ada pada penjual diwaktu transaksi,

bentuk lain dari jual beli ini yaitu jual beli salam.

5. Bentuk –bentuk jual beli

Adapun bentuk - bentuk jual beli yang perlu kita ketahui, antara lain

yaitu:

a. Jual beli yang shahih

Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang shahih

apabila jual beli tersebut disyari’atkan, memenuhi rukun dan

syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain, tidak bergantung

pula pada hak khiyar lagi, jual beli seperti ini dikatakan sebagai

jual beli yang shahih. Misalnya, seseorang membeli sebuah

kendaraan roda empat. Seluruh rukun dan syarat jual beli telah

terpenuhi, kendaraan roda empat itu telah diperiksa oleh pembeli

dan tidak ada cacat, tidak ada yang rusak, tidak ada manipulasi

harga dan harga buku (kwitansi) itupun telah diserahkan, serta

(40)

30

demikian ini hukumnya shahih dan telah mengikat kedua belah

pihak.10

b. Jual beli yang ba>thil

Yaitu jual beli apabila salah satu atau seluruh rukunnya

tidak terpenuhi, atau jual beli tersebut pada dasar dan sifatnya

tidak disyari’atkan, seperti jual beli yang dilakukan oleh

anak-anak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang

diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.

Adapun jenis-jenis jual beli yang ba>thil adalah:

1) Jual beli sesuatu yang tidak ada. Para ulama fiqh sepakat

menyatakan jual beli seperti ini tidak sah atau batil.

Misalnya, memperjual belikan buah-buahan yang putiknya

pun belum muncul di pohonnya atau anak sapi yang belum

ada, sekalipun di perut ibunya telah ada.

2) Menjual barang yang tidak boleh diserahkan kepada

pembeli, seperti menjual barang yang hilang atau burung

piaraan yang lepas dan terbang di udara..

3) Jual beli yang mengandung unsur penipuan bai’ al-gharar ,

yang pada awalnya baik, tetapi dibalik itu semua terdapat

unsur-unsur penipuan. Misalnya, memperjualbelikan

10

(41)

31

4) kurma yang ditumpuk, diatasnya bagus-bagus, dan manis,

tapi ternyata di dalam tumpukan tersebut banyak terdapat

yang busuk. Termasuk ke dalam jual beli tipuan ini adalah

jual beli al-hashah. Selain itu yang termasuk dalam jual

beli yang mengandung unsur penipuan adalah jual beli

al-mula>masah (mana yang terpegang oleh engkau dari barang

itu, itulah yang saya jual). Kemudian jual beli

almuza>banah (barter yang diduga keras tidak sebanding),

misalnya memperjualbelikan anggur yang masih di

pohonnya dengan dua kilo cengkeh yang sudah kering,

karena dikhawatirkan antara yang dijual dan yang dibeli

tidak sebanding.

5) Jual beli benda-benda najis. Seperti babi, khamr, bangkai,

dan darah. Karena semua itu dalam pandangan Islam

adalah najis dan tidak mengandung makna harta.

6) Jual beli al-arbun yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan

melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan

uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual,

dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka

(42)

32

dikembalikan, maka uang yang telah diberikan pada

penjual, menjadi hibah bagi penjual.

7) Memperjual belikan air sungai, air danau, air laut, dan air

yang tidak boleh dimiliki seseorang, karena air yang tidak

dimiliki seseorang merupakan hak bersama umat manusia

dan tidak boleh diperjualbelikan11.

c. Jual beli yang fasid

Ulama Hanafiyah yang membedakan jual beli fasid dengan

jual beli yang bathil. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait

dengan barang yang diperjualbelikan, maka hukumnya batal,

seperti memperjualbelikan barang-barang haram (khamr, babi,

darah). Apabila kerusakan pada jual beli itu meyangkut harga

barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli tersebut dinamakan

fasid. Akan tetapi jumhur ulama tidak membedakan antara jual

beli yang fasid dengan jual beli yang batil. Menurut mereka jual

beli itu terbagi dua, yaitu jual beli yang sahih dan jual beli batil.

Apabila syarat dan rukun jual terpenuhi, maka jual beli itu sah.

Sebaliknya, apabila salah satu rukun atau syarat jual beli itu tidak

terpenuhi, maka jual beli itu batal12.

d. Transaksi jual beli yang barangnya tidak ada di tempat akad

11 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000) 122-125.

(43)

33

Transaksi jual beli yang barangnya tidak berada di tempat

akad, hukumnya boleh dengan syarat barang tersebut diketahui

dengan jelas klasifikasinya. Namun, apabila barang tersebut tidak

sesuai dengan apa yang telah diinformasikan, akad jual beli akan

menjadi tidak sah, maka pihak yang melakukan akad dibolehkan

untuk memilih menerima atau menolak, sesuai dengan

kesepakatan antara pihak pembeli dan penjual.13

e. Transaksi atas barang yang sulit dan berbahaya untuk melihatnya

diperbolehkan juga melakukan akad transaksi atas barang yang

tidak ada di tempat akad, bila kriteria barang tersebut diketahui

menurut kebiasaan, misalnya makanan kaleng, obat-obatan dalam

tablet, tabung-tabung oksigen, bensin dan minyak tanah melalui

kran pompa dan lainnya yang tidak dibenarkan untuk dibuka

kecuali pada saat penggunaannya, sebab sulit melihat barang

tersebut dan membahayakan14.

B. Macam-Macam Akad Jual Beli

Dalam jual beli penyebutan akad termasuk pada bagian sigha>t (ija>b

dan qabu>l) sebagai rukun dari jual beli. Sehingga kejelasan akad pada saat

menyatakan transaksi dan pada saat transaksi sangat mempengaruhi

keabsahan jual beli tersebut.

13 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 4, (Jakarta:Pena Pundi Aksara, 2006) 131.

(44)

34

1. Definisi akad

Secara linguistik, akad memiliki beberapa arti, antara lain:15

a. Mengikat (

طْبَرلا

), yaitu :

نْيملْ بمح ْمَْرمط معْمَ

و م نحامي و مةْعنطمق بمانبْل م ي م نلََم ََمح نرنرِْبنب بم َ محمح أ دممي

Artinya:

“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan

yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai

sepotong benda.”

Makna ”ar-rabt{u” secara luas dapat diartikan sebagai ikatan

antara beberapa pihak. Makna linguistik ini lebih dekat dengan makna

istilah fiqh yang bersifat umum, yakni keinginan seseorang untuk

melakukan sesuatu, baik keinginan bersifat pribadi maupun keinginan

yang terkait dengan pihak lain.16

b. Sambungan (

م ْقمع

), yaitu :

نسْ ُ ْىنذَلا لنصْوممْلما

بمم ه قِ ثمو مي بمم ه ك

Artinya:

“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”

c. Janji (ُُ دْهَعْلَا), sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an :

مْينقََ مْلا أبن ُ مها َننإمي ىمقَ تامي هن ْهمةنب مَْيما ْنمم ىلمب

Artinya :

15 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 44.

(45)

35

“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran: 76)17

Istilah ‘ahdu dalam al-Qur’an mengacu kepada pernyataan

seseorang atau perjanjian, baik dua perjanjian atau lebih yang

menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang

berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan

dua buah janji (‘ahdu) atau biasa disebut perikatan (‘aqad).18

Sedangkan menurut istilah, akad memiliki makna khusus,

yang berasal dari lafal al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan

permufakatan alittifaq. Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan

dengan:

مىلمع ولْو بمقنب وببمْْنإ طبمبنتْرا

م ثمح ت بْثم وعْي رْدمم وهْجمي

نهِلممَ نَ همر

Artinya:

“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan

penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang

berpengaruh pada obyek perikatan.”

Sedangkan beberapa definisi lain menurut Nasroen Haroen adalah19:

1. Menurut Mursyid Al-Hairan, akad merupakan, “pertemuan ijab yang

diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang

menimbulkan akibat hukum pada objek akad.

17 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 193

18 Hendi Suhendi, Fiqh..., 45

(46)

36

2. Menurut Syamsul Anwar, akad adalah “pertemuan ijab dan qabul

sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan

suatu akibat hukum pada objeknya. Kedua definisi di atas

memperlihatkan bahwa, pertama, akad merupakan keterkaitan atau

pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum.

Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad

adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu

pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga,

tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum.20

2. Landasan hukum dan akibat hukumnya

Landasan hukum yang digunakan mengenai kebolehan dalam berakad

disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Ma>idah ayat 1 dan surat Ali Imron ayat

76. Adapun Q.S. al-Ma>idah ayat 1, yang berbunyi:

                                            Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan

bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan

hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”(Q.S. al-Ma>idah ayat 1)21

Sedangkan dalam Q.S. Ali Imron ayat 76, yang berbunyi:

20 Ibid., 69.

(47)

37





 









 

Artinya:

“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertakwa.”( Q.S. Ali Imron ayat 76)22

Suatu akad dapat dikatakan sempurna apabila ijab dan qabul telah

memenuhi syarat. Akan tetapi adapula akad-akad yang baru sempurna

apabila telah dilakukan serah terima obyek akad, tidak cukup hanya

dengan ijab dan qabul saja. Akad seperti ini disebut dengan al-’uqu>d al

-’ainiyyah. Akad seperti ini ada lima macam, yaitu: hibah, ‘a>riyah (pinjam

meminjam), wa>di’ah, qirad{ (perikatan dalam modal), dan rahn (jaminan

hutang). Dan setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya

sasaran yang ingin dicapai sejak semula, seperti pemindahan hak milik

dari penjual kepada pembeli dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak-

pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal- hal

yang dibenarkan syara’.

Dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban

diantara pihak yang bertransaksi. Dalam jual beli misalnya, pembeli

berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai hak atau obyek transaksi

dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban

untuk menyerahkan barang dan menerima uang sebagai kompensasi

barang.

(48)

38

3. Rukun akad

Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga

sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang

membentuknya. Rumah, misalnya, terbentuk karena adanya unsur-unsur

yang membentuknya, yaitu fondasi, tiang, lantai, dinding, atap dan

seterusnya. Dalam konsepsi hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk

sesuatu itu disebut rukun.23

Menurut ulama Hanafiyah, rukun akad itu adalah:

مفتنا ْنمع رمغ بمم أل ك مو

و ببمَنك ْيمح و مربمشنإ ْيمح ولْةني ْننم بمم هممبمقمم مْو قم بمم ْيمح ننْمدامر نإْا نقب

Artinya:

“Rukun akad adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan

dua kehendak atau yang menempati tempat keduanya baik berupa

perbuatan, isyarat, atau tulisan”.24

Sehingga yang dimaksud dengan rukun akad adalah ija>b dan

qabu>l. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya

yang menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab

keberadaannya sudah pasti.25 Adapun ulama-ulama selain Hanafiah

berpendapat bahwa rukun akad itu ada tiga:26

a) Orang yang melakukan akad (‘aqid)

23 Ibid., 95.

24 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Mu’a>malah ..., 114.

25Rachmat Syafe’i, Fiqih Mu’a>malah (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 45.

(49)

39

b) Objek akad (ma’qud alaih)

c) S{igat.

Dalam jual beli misalnya, orang yang melakukan akad adalah

penjual dan pembeli, sedangkan objek akadnya adalah barang dan

harga, dan shighatnya adalah ija>b dan qabu>l. Ketiga rukun akad

menurut jumhur ini mengacu kepada pengertian rukun menurut

pandangan mereka yaitu sesuatu yang keabsahannya menunggu

kepada sesuatu yang lain, walaupun ia bukan bagian dari hakikat

sesuatu tersebut.27

Sedangkan menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun

yang membentuk akad itu ada empat, yaitu:28

1) Para pihak yang membuat akad (al- ‘aqida>n)

2) Pernyataan kehendak para pihak (s{ighatul ‘aqd)

3) Objek akad (mah{allul ‘aqd)

4) Tujuan akad (maudhu al-‘aqd).

4. Syarat-syarat akad

Masing-masing rukun yang membentuk akad, memerlukan

syarat-syarat agar unsur itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya

syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad. Dalam

hukum Islam, syarat-syarat dimaksud dinamakan syarat-syarat

(50)

40

terbentuknya akad. Rukun pertama, yaitu para pihak, harus memenuhi

dua syarat terbentuknya akad, yaitu (1) Tamyiz, dan (2) Berbilang.

Rukun kedua, yaitu pernyataan kehendak, harus memenuhi dua syarat,

yaitu (1) Adanya persesuaian ija>b dan qabu>l, dengan kata lain tercapainya

kata sepakat, dan (2) Kesatuan majelis akad. Rukun ketiga, yaitu objek

akad, harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) Objek itu dapat diserahkan,

(2) Dapat ditentukan, dan (3) Objek itu dapat ditransaksikan. Rukum

keempat memerlukan satu syarat, yaitu tidak bertentangan dengan

shara’.29

5. Batal dan sahnya akad

Suatu perjanjian akad tidak cukup hanya ada secara faktual, tetapi

keberadaannya juga harus sah secara syar’i (yuridis) agar akad tersebut

dapat melahirkan akibat-akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak

yang membuatnya. Suatu akad menjadi sah apabila rukun-rukun dan

syaratsyaratnya terpenuhi, dan tidak sah apabila rukun dan syaratnya

tidak terpenuhi. Madzhab H{anafi mengungkapkan tentang tingkat

kebatalan dan keabsahan akad menjadi lima peringkat.

Tingkatan-tingkatan tersebut adalah: akad bath{il (akad yang salah satu atau seluruh

rukunnya tidak terpenuhi dan sifatnya tidak di syari’atkan){{, Akad fasid

29 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Mu’a>malat...,

(51)

41

(akad yang rusak dikarenakan harga barang dan boleh di perbaiki), Akad

mawquf (akad yang masih memiliki keterkaitan dengan hak orang lain).30

6. Berakhirnya akad

Berakhirnya suatu akad ulama fikih menyatakan bahwa suatu

akad dapat berakhir apabila terjadi hal-hal seperti berikut:31

a) Berakhir masa berlaku akadnya, apabila akad tersebut memiliki

tenggang waktu;

b) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu

mengikat;

c) Dalam suatu akad yang mengikat, akad dapat berakhir bila, akad

itu fasid, berlakunya khiyar sharat, khiyar ‘aib, akad yang tidak

dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad, dan telah tercapainya

tujuan akad itu secara sempurna;

d) Wafat salah satu pihak yang berakad. Menurut M. Ali Hasan

bahwa walaupun salah satu pihak wafat, maka dapat diteruskan

oleh ahli warisnya, seperti akad sewa-menyewa, gadai (rahn) dan

perserikatan dagang (syirkah). Dengan demikian tidak pihak yang

dirugikan.

30 Ibid.

31 Nasrun Haroen, Fiqh Mu’a>malah ..., 108. Lihat juga di M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi

(52)

42

7. Akad jual beli as-Salam

Salam adalah bentuk masdar dari kata salama. Sedangkan

bentuk masdar yang sebenarnya adalah Islam. Salam juga diistilahkan

dengan as-salaf (yaitu pinjaman tanpa bunga)32. Dalam pengertian

lain disebutkan bahwa as-salam dinamai juga dengan as-salaf

(pendahuluan), yaitu transaksi penjualan sesuatu barang yang akan

diterimanya dengan pembayaran terlebih dahulu atau pembayaran di

muka (atau pembayaran lebih dulu daripada barangnya).33 Dikatakan

akad jual beli salam karena orang yang memesan menyerahkan harta

pokoknya dalam majelis, dan dikatakan salaf karena ia menyerahkan

uangnya terlebih dahulu sebelum menerima barang dagangan.34 Secara

terminologi, salam adalah penjualan suatu barang yang disebutkan

sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan barang tersebut masih

dalam tanggungan penjual, yang syarat-syarat tersebut di antaranya

adalah mendahulukan pembayaran pada waktu di akad majelis (akad

disepakati).35Salam disebut juga dengan forward sale, yaitu jual beli

32 Chatibul Umam dan Abu Hurairah, Fiqh Empat Madzhab (Jombang: Darul Ulum Press, 2001), 232.

33 M. A. Asyhari, Halal dan Haram, (Gresik: CV. Bintang Remaja, 1989), 371.

34 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, et al, Al-Fiqhul Muyassar Qismul Muamalat, Mausu’ah

Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkamal-Fiqhil-Islami Bi Uslu>b Wa>dhih Lil-Mukhtashin wa Gharirihim, Penerjemah Miftahul Khair (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), 137.

35 Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama,

(53)

43

barang-barang yang diserahkan dikemudian hari sementara

pembayaran dilakukan dimuka.36

Dasar hukum akad jual beli as-Salam dalam al-Qur’an, yaitu

pada Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi:







...



Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya.”37

Sedangkan dasar hukumnya dalam As-sunnah, diartikan sebagai

berikut:

”Rasulullah saw datang ke madinah, sementara para sahabat sedang

mengadakan jual beli salam pada kurma untuk dua tahun atau tiga

tahun. Maka Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memberikan

utang maka hendaknya dia memberikannya d

Gambar

 Tabel 3.1 Mata Pencaharian masyarakat Ujung Lombang
  Gambar  3.2
Gambar 3.1. Panen karet
Gambar 3.2. Serpihan kayu

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa praktek jual beli pohon karet dengan sistem tangguh yang terjadi di Desa Tunggal Warga, sudah menjadi tradisi dimana

Kesesuaian dan Atau Tidak Sesuai Jual Beli stishna‟ Pada Konveksi Arda Jaya Tailor Desa Payung Batu Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah dengan Fatwa

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan masyarakat Desa Karangsono, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak yang dalam pelaksanaan praktek jual beli batu bata merah,