• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015 TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015 TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015

TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA

DAERAH

SKRIPSI

Oleh :

Rofiatul Adafiyah

NIM. C03212026

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam

Program Studi Siyasah Jinayah

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian dengan judul “Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon

tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah”

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan yaitu: Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah, dan Bagaimana tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah.

Untuk menjawab permasalahan diatas, maka dalam mengumpulkan data penelitian ini menggunakan studi penelitian kepustakaan (Library research), yaitu salah satu bentuk penelitian yang terfokus terhadap sumber-sumber data yang diperoleh berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU/-XIII/2015 dalam perspektif fiqh siyasah sebagai suatu objek studi. Selanjutnya sumber-sumber disusun secara deskriptif yang dimaksudkan untuk memperoleh data yang sedetail mungkin. Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan disusun secara sistematis kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yaitu melakukan pembacaan, penafsiran, dan analisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015.

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah untuk dapat melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak pada tanggal 9 Desesmber 2015 sangatlah tepat, karena tidak ada diskriminasi yang menimbulkan atas hak konstitusional warga ngara dalam hak pilih dan memilij yang tidak dapat melaksanakan pemilihan serentak dikarenakan kurang persyaratan paling sedikit dua pasangan calon yang diatur dalam Undang-Undang nomer 8 tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH MENURUT FIQH SIYASAH ... 21

A. Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Derah ... 21

B. Asas dan Tujuan Pemilihan Kepala Daerah> ... 23

C. Kedudukan Bakal Calon ... 26

(8)

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015 TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA

DAERAH ... . 37

A. Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Daerah ... 37

B. Asas dan Tujuan Pemilihan Kepala Daerah ... 41

C. Kedudukan Bakal Calon ... 55

D. Pemilihan Kepala Daerah Calon Tunggal Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi ... 61

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH MENURUT FIQH SIYASAH ... 67

A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Tunggal Dalam Pemilihan Kepala Daerah ... 67

B. Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Calon Tunggal Dalam Pemilihan Kepala Daerah ... 80

BAB V KESIMPULAN ... 84

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu instrumen untuk

memenuhi desentralisasi politik dimana dimungkinkan terjadinya transfer

lokus kekuasaan dari pusat ke daerah. Pemilihan kepala daerah sebagaimana

pemilu nasional merupakan sarana untuk memilih dan mengganti

pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui pemilihan kepala daerah,

rakyat secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus

memberikan legitimasi kepada siapa yang berhak dan mampu untuk

memerintah. Melalui pemilihan kepala daerah perwujudan kedaulatan

rakyat dapat ditegakkan. Pemilihan kepala daerah dengan kata lain

merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk

menentukan masa depan pemerintahan yang absah. Kepala daerah dan wakil

kepala daerah adalah kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara

demokratis. Pemilihan secara demokratis yang dimaksud adalah pemilihan

yang dilakukan oleh rakyat secara langsung yang persyaratan dan tata

caranya di dalam peraturan perundang-undangan.1

1

Sri Warjiyati, “Calon Perseorngan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah”, al-Daulah, nomor 1, (April, 2014), 113.

(10)

2

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

secara tegas menyatakan kepala daerah dipilih secara demokratis, ketentuan

ini terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan

“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala

pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara

demokratis”. Undang-Undang memandang bahwa pemilihan Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah secara demokratis dapat dilakukan melalui dua

cara, pertama; pemilihan oleh DPRD, kedua; pemilihan secara lagsung oleh

rakyat.2 Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana

perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara

yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila

dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai

integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. 3

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi

pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penyempurnaan

terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan untuk lebih meningkatkan

fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi

2

Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undan-Undang Nomor 32 tahun 2004 dalam system Pemilu menurut UUD 1945, (Jakarta, Prestasi Publisher, 2006), 7.

3

J.kaloh, kepemimpinnan Kepala Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 20.

(11)

3

penyelenggaraan pemilihan umum. Oleh karena itu, diperlukan satu

undang-undang yang mengatur penyelenggara pemilihan umum terutama dalam

pemilihan Kepala Daerah, maka untuk mengatur tentang pemerintahan

daerah dibuatlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Satu hal yang paling berubah secara signifikan

dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah. Hal ini

dapat diwujudkan dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.4

Dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

disebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu

pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Dengan demikian dalam

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada dasarnya

merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih

demokratis (kedaulatan rakyat), transparan, dan bertanggung jawab.5

Dalam Pelaksanaan Pemilihan kepala daerah hakekatnya sama

seperti tahap pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Menurut Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tahap

pelaksanaan Kepala Daerah meliputi: penetapan daftar pemilih, pendaftaran

dan penetapan calon Kepala Daerah/ wakil Kepala Daerah, kampanye,

pemungutan suara, perhitungan suara, dasn penetapan pasangan calon

4

Elvi Juliansyah, Pilkada Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,

(Bandung: Mandar Maju, 2007), 50.

5

Ibid., 51.

(12)

4

Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah terpilih, pengesahan, dan

Pelantikan.6

Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era baru ketika

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 digantikan dengan Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2014. Era baru penyelenggaraan pemerintahan daerah

dapat dilihat dari perbedaan yuridis maupun filosofis. Perbedaan yuridis

tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur

dalam undang-undang sebelumnya, sedangkan perbedaan filosofis terlihat

dari makna dan orientasi yang secara tersurat terkandung dalam pasal-pasal

yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang sebelumnya. Perbedaan

secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang

mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

Dalam pasal 62 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa “ketentuan mengenai pemilihan

kepala daerah diatur dengan undang-undang”. Perihal pemilihan kepala

daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang

perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Dalam hal ini di beberapa daerah pemilihan kepala daerah dengan

calon tunggal tidak dapat melaksanakan pemilihan secara serentak namun,

6

Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah…, 124.

(13)

5

dalam Putusan Mahkamah Konstutusi menyatakan bahwa dalam beberapa

pasal Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup ”menetapakan 1

(satu) pasangan calon gubernur dan calon Wakil Gubernur, 1 (satu)

pasangan calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan calon

Walikota dan calon Wakil Walikota, dalam hal hanya terdapat 1 (satu)

pasangan calon gubernur dan calon Wakil Gubernur, 1 (satu) pasangan calon

Bupati dan calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan calon Walikota dan

calon Wakil Walikota”. Dari berbagai pertimbangan dalam beberapa pasal

Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang dilakukan uji materi yang mana hal

ini dalam kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam ketentuan Pasal

24C ayat (1) UUD 1945 Jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang

Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi sebagaimana telah

diubah Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU

MK), menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi

(14)

6

menyatakan bertentangan dengan semangat UUD 1945 jika Pemilihan

Kepala Daerah tidak dilaksanakan dan ditunda sampai Pemilihan berikutnya

sebab hal itu merugikan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak

untuk dipilih dan memilih, hanya karena tidak terpenuhinya syarat paling

sedikit adanya dua pasangan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala

daerah meskipun sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh. Dengan kata

lain demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara,

Pemilihan kepala daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat

satu pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah walaupun

sebelumnya telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan

paling sedikit dua pasangan calon.

Sementara itu dalam pemerintahan Islam khali<fah dibantu oleh

para, wali yang bisa disebut sebagai gubernur untuk mengurusi wilayah atau

propinsi, wali diangkat oleh khali<fah untuk mengurusi wilayah dengan

menerapkan konsep sentralisasi. Wali diangkat oleh khali<fah bukan dalam

artian pelimpahan seluruh wewenang seluas-luasnya seperti yang terjadi

pada konsep otonomi daerah di Indonesia. Kewenangan wali diatur oleh

khali<fah, bisa jadi wali diangkat hanya untuk mengurusi urusan masyarakat

kecuali urusan harta (al ima>rah ‘ala> as}-s}a>lah}), atau mengurusi masalah harta

saja atau mengurusi kedua-duanya (al ima>rah ‘ala> as}-s}ha>l ah}wa al-khara<j).

(15)

7

Pada masa Rasulullah Muhammad SAW, kekuasaan berada

ditangan Rasulullah. Kekuasaan memerintah, legislasi hukum,

implementasi, eksekusi, urusan kemiliteran dan lain sebagainya. Kekuasaan

Rasul atas umat Islam dibimbing langsung oleh Allah SWT dengan

wahyunya dan Rasulullah adalah maksum sehingga terpelihara dari

kesalahan.

Sebagai kepala pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa

sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar

manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. 7 Rasulullah

mengangkat Abu Bakar dan Umar Bin Khattab sebagai wazi}r dan

mengangkat beberapa sahabat lain sebagai pemimpin wilayah islam

diantaranya, Muaz Bin Jabal sebagai qadhi{ sekaligus Wali} di Yaman.

Periode Umar identik dengan masa keemasan perluasan wilayah

Islam. Wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arab, Palestina,

Syria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Dalam wilayah Islam yang

sangat luas itu, ‘Umar merasa tidak mungkin bisa menjalankan roda

pemerintahan secara langsung dari Madinah sebagai ibukota negara. Karena

itu, dia segera membagi wilayah yang luas itu menjadi delapan propinsi.

Yaitu: Makah, Madinah, Syria, Jazirah, Bashrah, kufah, Mesir dan

Palestina, yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur sebagai

wakil khali<fah di tingkat daerah. Tiap propinsi memiliki ibukota serta

7

Novita Nahdiyah’s blog.htm/30/10/2011/ mengarungi sejarah keemasan daulah Islam hingga keruntuhannya/diakses 16 Agustus 2016.

(16)

8

dibagi menjadi beberapa kabupaten ( iqli>m ) yang masing-masing dikepalai

oleh seorang ami>r.8

Dalam sejarah pemerintahan mulai dari zaman khalifah Abu Bakar,

Umar, Ustman dan Ali dapat dikatakan bahwa untuk memipin negara

bagian atau provinsi maka gubernur diangkat langsung oleh khalifah yang

sedang menjabat dan gubernur yang diangkat tersebut berasal dari kalangan

sahabat Nabi yang sudah mengikuti Nabi sejak awal terbentuknya

pemerintahan Islam di Madinah, ini dikarenakan keadaan umat muslim

disaat itu yang masih memerlukan pembinaan terhadap pemahaman Islam

secara menyeluruh. Sampai kepada zaman dinasti Umayyah dan Abbasiyah

pun gubernur negara bagian dipilih dan diangkat oleh khalifah.

Pada zaman dinasti Umayyah mengubah gaya kepemimpinannya

dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa

peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun, begitu juga

pada zaman dinasti Abbasiyah yang dipilih dan diangkat oleh khalifah,

namun dalam pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai

dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.9

8

Muhammad Adib, bulletin amanah online 10 Agustus 2012, Administrasi Pemerintahan Umar, diakses 16 Agustus 2016.

9

Suyuti PulunganFiqih Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999), 160.

(17)

9

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas tedapat beberapa

masalah yang dapat diidentifikasi dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan

Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

100/PUU-XII/2015 tentang Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah” yaitu:

1. Mekanisme pemilihan calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah

2. Pelaksanaan serentak Pemilihan Kepala Daerah dalam putusan

Mahkamah Konstitusi

3. Kedudukan/Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan uji

Materi

Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan

dikaji dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis

membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang

Calon Tunggal Dalam Pemilihan Kepala Daerah Menurut Fiqh Siyasah

2. Pemilihan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Kepala Daerah dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 menurut

(18)

10

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok

masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015

tentang calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah?

2. Bagaimana tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam

Pemilihan Kepala Daerah?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau

penelitian yang sudah dilakukan diseputar masalah yang diteliti, sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang sedang dilakukan ini tidak dapat merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang ada.10

1.Setelah penulis menelusuri kajian sebelumnya, penulis menemukan

skripsi yang membahas kajian yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yakni: Skripsi yang ditulis oleh

Norizal pada tahun 2004 yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dalam

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2003”. Adapun skripsi ini membahas

10

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknik Penulisan Skripsi, (Surabaya: Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), 8

(19)

11

tentang sistem pemilihan presiden dan wakilnya dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2003. Sistem pemilihan presiden dan wakil presiden

dilakukan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, artinya

melalui proses tahap-tahapan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2003 secara tertib, teratur dan konsekuen. Selain itu, sistem

pemilihan langsung dibenarkan dan dibenarkan dalam hukum islam

karena beberapa alasan, yaitu: yang pertama, berdasarkan pada asas

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil, yang tidak bertentangan dengan sistem Pemilu

dalam Islam yang berasaskan musyawarah, kesamaan, kebebasan dan

keadilan, yang kedua, sistem pemilihan langsung oleh rakyat dalam

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2003 sangat mengedepankan sistem

demokrasi yang berkedaulatan rakyat sebagaimana Islam sangat

menjunjung tinggi prinsip-prinsip pemilihan dalam Islam yang berasaskan

musyawarah, persamaan, kebebasan dan keadilan, dan yang ketiga adalah

sistem pemilihan yang seperti ini merupakan salah satu implementasi

untuk mencegah terjadinya berbagai manipulasi suara dan aspirasi rakyat

oleh para elit untuk kepentingan golongan dan pribadi, begitu juga Islam

sangat mengedepankan kemashlahatan bagi umat dan Negara.11

2.Skripsi yang ditulis oleh Faisal Noor Arifin pada tahun 2014 yang

berjudul “Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

11

Norizal, “Tinjauan hokum Islam terhadap Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003”, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004).

(20)

12

Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pemilihan calon Presiden dan calon

anggota Legislatif serentak” skripsi ini membahas tentang diadakannya

pemilu serentak yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal

ini dikarenakan pemilu tahun 2014 sudah melakukan persiapannya

sehingga jika pemilu serentak dilakukan pada tahun 2014 akan

mengganggu persiapan yang sudah berjalan dapat terganggu atau

terhambat karena kehilangan dasar hukum, dan belom adanya

Undang-Undang yang mengatur tentang pemilu serentak. Islam memandang

bahwa umat adalah sumber kedaulatan suatu Negara, oleh sebab itu

Negara harus memperhatikan nasib rakyatnya. Dalam hal yang harus

dipenuhi oleh Negara untuk kepentingan masyarakat, penggabungan

pemilu ini sangat efisien karena Negara dapat menghemat pengeluaran

belanja Negara, Tujuan dasar dari pengeluaran keuangan Negara adalah

untuk memberikannya kepada yang berhak. Semua rakyat dan warga

Negara berhak mendapatkan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia

(hurriyah alsyakhsiyyah), dengan penggabungan pemilu ini masyarakat

berkesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala Negara.12

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

12

Faisal Noor Arifin “Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pemilihan Calon Presiden dan CAlon anggota Legislatif serentak”, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).

(21)

13

1. Untuk mengetahui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah.

2. Untuk mengetahui tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam

Pemilihan Kepala Daerah

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini penulis harapkan mempunyai beberapa manfaat baik

secara teoritis maupun praktis:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk

pengembangan ilmu pengetahuan serta memperkaya khazanah

intelektual dan pengetahuan tentang calon tunggal dalam Pemilihan

Kepala Daerah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

100/PUU-XIII/2015 menurut Fiqh Siyasah.

2. Secara praktis, memberikan pandangan dan pedoman argumentasi

hukum yang diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi

penegakan hukum dan profesionalitas politisi, demi terciptanya iklim

yang adil dan kondusif yang bermanfaat bagi masyarakat supaya

terciptanya keadilan dan kemaslahatan dalam penegakan hukum

Indonesia, sesuai dengan unsur-unsur hukum yaitu kepastian, keadilan,

(22)

14

G. Definisi Operasional

Pemilihan kepala daerah: pemilihan kepala daerah secara langsung oleh

penduduk daerah administratif setempat yang

memenuhi syarat.

Putusan Mahkamah Konstitusi: yaitu putusan langsung memperoleh

kekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

Fiqh Siya>sah: sebagai acuan dalam menganalisis putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang

calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Darah.

Selain itu Fiqh Siyasah adalah ilmu hukum

dalam bidang Syari’ah yang diimplementasikan

dengan mengatur serta membuat keputusan

berupa Qa>nun atau Peraturan Daerah yang

dilaksanakan sesuai substansi syari’ah dengan

membawa kemashlahatan umat dan dilaksanakan

oleh pemimpin.13

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian kualitatif

dengan jenis penelitian deskriptif analitis dan pengumpulan data melalui

metode penelitian pustaka (library research).

13

H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah

(Jakarta: Kencana, 2009), 29-30.

(23)

15

1. Data yang Dikumpulkan

a. Data mengenai Pemilihan Kepala daerah yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

c. Data mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomer

100/PUU-XIII/2015.

2. Sumber Data

Untuk memudahkan mengidentifikasi sumber data, maka

dalam hal sumber penelitian, akan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Sumber data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

sumbernya yaitu dokumentasi resmi yang kemudian diolah oleh

peneliti. Adapun sumber data primer berasal dari:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali

(24)

16

3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XII/2015

tentang pemilihan calon tunggal dalam Pemilihan Kepala

Daerah.

b. Sumber Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang secara tidak langsung

memberikan informasi data kepada pengumpul data. Misalnya,

melalui orang lain atau dokumen. Dalam Penelitian ini, data

sekunder tersebut adalah:

1) Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasrkan

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dalam sistem Pemilu

Menurut UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,

2006).

2) J. Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2009).

3) Elvi Juliansyah, Pilkada Penyelenggaraan Pemilihan Kepala

Daerah Dan Wakil KepalaDaerah, (Bandung: Mandar Maju,

2007).

4) Sayuti Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran Sejarah Dan

(25)

17

5) H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemashlahatan

Umat dalam Rambu-rambu Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009).

6) Sri Warjiyati, “Calon Perseorngan dalam Pemilihan Umum

Kepala Daerah”, al-Daulah, nomor 1, (April, 2014).

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan hal yang sangat penting dalam

proses penelitian, sebab untuk memperoleh hasil penelitian yang baik

sangat ditentukan oleh kualitas data yang diperoleh dalam suatu

penelitian. Kualitas data, sangatlah dipengaruhi oleh siapa narasumber,

bagaimana dan dengan cara apa data-data itu dikumpulkan.

Dalam hal ini, teknik pengumpulan data yang akan peneliti

lakukan yaitu kepustakaan karena persoalan penelitian tersebut hanya

bisa dijawab lewat penelitian pustaka dan sebaiknya tidak mungkin

mengharapkan datanya dari penelitian lapangan. Oleh karena itu

penelitian ini akan menggunakan studi kepustakaan untuk menjawab

persoalan yang akan peneliti lakukan. Setidaknya ada empat ciri studi

kepustakaan14 yaitu sebagai berikut:

a. Peneliti berhadapan langsung dengan teks, bukannya dengan

pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa

kejadian, orang atau benda benda lain.

b. Data pustaka siap pakai.

14

Zainan Mustafa, Mengurai Variabel Hingga Instrumentasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 92.

(26)

18

c. Data pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang bukan data

orisinil dari tangan pertama di lapangan.

d. Kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

4. Teknik Pengumpulan Data

Tahapan pengolahan data dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa data yang diperoleh berdasarkan aspek

kelengkapan bacaan, kejelasan makna, kesesuaian data satu dengan

yang lainnya dan keseragaman dalam klasifikasi.

b. Organizing, yaitu menyusun data yang diperoleh dengan

sistematika untuk memaparkan apa yang direncanakan

sebelumnya.

c. Analizing, yaitu tahapan menganalisis sejumlah data yang masih

mentah menjadi informasi yang dapat diinterpretasikan,

penguraian suatu pokok atas bebagai penelaahan untuk

memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman.

5. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang

dimaksudkan untuk memperoleh data yang sedetail mungkin dalam hal

pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal dalam tinjauan Fiqh

(27)

19

Data yang dikumpulkan disusun secara sistematis kemudian

dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yaitu dengan

melakukan pembacaan, penafsiran, dan analisis terhadap

sumber-sumber data yang diperoleh yang berkaitan dengan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam

Pemilihan Kepala Daerah. Sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai

dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Penelitian ini juga

menggunakan metode deskriptif yang dimaksudkan untuk memperoleh

data yang detail.

I. Sistematika Pembahasan

Memberikan gambaran yang lebih jelas pada pembahasan skripsi

ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan isi uraian pembahasannya.

Adapun sistematika pembahasan pada skripsi ini terdiri dari 5 (Lima) bab

dengan pembahasan sebagai berikut:

Bab Pertama, berisi uraian pendahuluan yang berisi gambaran

umum yang berfungsi sebagai pengantar dalam memahami pembahasan bab

berikutnya. Bab ini memuat pola dasar penulisan skripsi, untuk apa dan

mengapa penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu, pada Bab I ini pada

dasarnya memuat sistematika pembahasan yang meliputi: latar belakang

(28)

20

penelitian, definisi operasional, metodologi penelitian, dan sistematika

pembahasan.15

Bab Kedua, memuat landasan teori yang berisi pembahasan

tentang Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Daerah, Asas dan tujuan

Pemilihan Kepala Daerah, Kedudukan Bakal Calon, Pemilihan Kepala

Daerah Calon Tunggal Menurut Fiqh Siyasah.

Bab Ketiga, memuat pembahasan yang berisi Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang Calon Tunggal Dalam

Pemilihan Kepala Daerah, yang meliputi Ruang Lingkup Pemilihan Kepala

Daerah, Asas dan tujuan Pemilihan Kepala Daerah, Kedudukan Bakal

Calon, Pemilihan Kepala Daerah Calon Tunggal Menurut putusan

Mahkamah Konstitusi.

Bab Keempat, berisi analisis Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 100/PUU-XIII/2015 dan analisis tentang Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 ditinjau dari Fiqh Siya>sah.

Bab Kelima, merupakan bab penutup yang berisi tentang

kesimpulan hasil penelitian penulis.

15

Bahdin Nur Tanjung, Pedoman Penulisan Kaya Ilmiyah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 56.

(29)

21

BAB II

CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH MENURUT

FIQH SIYASAH

A. Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Daerah

Menurut Rabi’ negara atau kota (al-Dawlat aw al-Madi>nat)

berdasarkan kenyataan sosial, bahwa manusia jenis makhluk yang saling

memerlukan sesamanya untuk mencukupi segala kebutuhannya. Tidak

mungkin seorang diri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada

bantuan atau berdampingan dari dan dengan orang lain. Karena itu, satu sama

lain saling membutuhkan untuk mendapat kebutuhan hidup, dan untuk

memperolehny memerlukan kerjasama, mendorong mereka berkumpul

disuatu tempat, agar mereka bisa saling tolong-menolong dan memberi.

Proses itulah, menurut Rabi’, yang membawa terbentuknya kota-kota, dan

akhirnya menjadi negara. tabiat manusia yang demikian, baginya, karena

ciptaan Allah.

Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dengan tabiat yang

cenderung untuk berkumpul dan tidak mampu seorang diri memenuhi segala

kebutuhanya tanpa bantuan orang lain. Ketika manusia berkumpul di

kota-kota dan mereka bergaul, dan karena mereka terdiri dari berbagai

(30)

22

dan perselisihan. Karena itu Allah menurunkan peraturan-peraturan

dan kewajiban-kewajiban bagi mereka sebagai pedoman yang harus mereka

patuhi, dan mengangkat seorang pemimpin bagi mereka yang bertugas

memelihara peraturan-peraturan itu dan untuk mengurus urusan-urusan

mereka, menghilangkan penganiyaan dan perselisihan yang dapat merusak

keutuhan mereka.1

Menurut al-Mawardi dan Ibn Khaldun Kebutuhan manusia tidak

hanya berkumpul dan bekerjasama. Mereka juga membutuhkan seorang

pemimpin yang memiliki kekuasaan untuk mengatur segala urusan yang

berkaitan dengan kehidupan mereka. Kebutuhan akan seorang pemimpin.

Makhluk sosial yang menurut tabiatnya memerlukan kerjasama untuk

memenuhi kebutuhan hidup mereka, lahir dan batin. Proses inilah, menurut

mereka yang menjadi akar dan faktor terbentuknya kumpulan atau

masyarakat manusia disuatu tempat tertentu, yang kemudian menjelma

menjadi negara.2

Sebenarnya terdapat hubungan sangat erat antara kepemimpinan

dengan negara dalam pandangan Islam. Arti seorang pemimpin bagi Islam, ia

adalah pejabat yang bertanggung jawab tentang penegakan perintah-perintah

Islam dan pencegah larangan-larangan-Nya. Dalam pandangan Islam

orientasi seorang pemimpin terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat

1 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siya>sah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo,

1997), 218.

2 Ibid., 219.

(31)

23

yang dipimpin dalam suatu negara. Dalam hal ini Islam tidak

membeda-bedakan antara kepemimpinan negara dengan kepemimpinan

masyarakat.3 Menurut al-Mawardi, Ima>mah dibutuhkan untuk menggantikan

kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.

Dalam pandangan Islam antara fungsi religious dan fungsi politik imam atau

khalifah tidak dapat dipisah-pisahkan, antara keduanya terdapat hubungan

timbal balik yang erat sekali.

Dan adapun kepala daerah yang menguasai wilayah tertentu melalui

jalan damai mempunyai tugas tertentu dan wewenang yang terbatas. Cara

pengangkatannya ialah seorang imam menyerahkan kewenangan untuk

menangani satu daerah atau wilayah beserta penduduknya kepada seseorang

yang diangkat sebagai kepala daerah. Melihat tugas-tugasnya yang terbatas

maka dapat dikatakan bahwa kepala daerah memiliki wewenang yang luas,

tetapi dengan tugas terbatas.4

B. Asas dan tujuan Pemilihan Kepala Daerah

Kebutuhan manusia akan seorang pemimpin sangatlah besar, dan

hal ini pula yang mendasari diciptakannya manusia ialah sebagai khali<fah}

dimuka bumi, seperti dijelaskan dalam alQuran sebagai berikut:

3http;//santrigusdur.com/2015/06/negara-dan-kepemimpinan-dalam-islam/diakses pada 16

Agustus 2016.

4 Imam Mawardi, Ahkmam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Qisthi

Press, 2015), 59.

(32)

24

Artinya: Dia-lah yang menjadikan kamu khali<fah-khali<fah di muka

bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya

sendiri, dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan

menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang

kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”. (QS.

Fatir: 39).5

Mayoritas ulama abad pertengahan dan pakar politik Islam sepakat

bahwa mengangkat Pemimpin merupakan kewajiban bagi umat Islam dalam

komunitasnya. Secara implisit Allah SWT banyak menyinggung dalam

beberapa ayat alquran tentang pentingnya mengangkat seorang pemimpin.

Terdapat banyak sekali ayat-ayat di dalam alquran bernuansa politik.

Ayat-ayat tersebut merupakan indikator keniscayaan mengangkat seorang

Pemimpin. Selain itu ayat-ayat tersebut menunjukkan betapa urgen dan

signifikannya kedudukan Pemimpin baik yang berhubungan dengan dunia

maupun yang berhubungan dengan agama. Dalam konsep negara Islam,

syari’at telah menggariskan pentingnya mengangkat seorang pemimpin.

Secara eksplisit Allah menegaskan dalam alquran:

.

5 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), 439.

(33)

25

Artinya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para

malaikat sesungguhnya Aku (Allah) handak menjadikan khalifah di muka

bumi.” (Qs. al-Baqarah: 30).6

Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia telah diberi tugas dan

amanat untuk memelihara tata kehidupan di muka bumi. Agar keteraturan

dan keseimbangan dalam kehidupan tetap berfungsi efektif bagi kepentingan,

tujuan dan misi keberadaan manusia (ibadah dan khilafah), maka dituntut

adanya keseriusan manusia untuk melakukan penataan secara teratur dan

seimbang.

Agar cita-cita tersebut dapat terwujud, maka menjadi suatu

kewajiban bagi masyarakat (umat) untuk mengangkat seorang pemimpin

yang berfungsi sebagai pengatur dan pengontrol aturan, kepentingan, hak dan

kewajiban baik secara personal maupun kolektif.

Dalam surat yang lain Allah berfirman:

ه

.

Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah

(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara

6 Ibid., 13.

(34)

26

manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia

akan menyesatkan kau dari jalan Allah”. (QS. Shaad: 26).7

Ayat di atas menunjukkan bahwa keberadaan seorang pemimpin

sangat dibutuhkan untuk menciptakan perdamaian dan menegakkan keadilah

dimuka bumi.

Ada beberapa pendapat tokoh yang menyatakan bahwa pentingnya

mengangkat pemimpin dalam kehidupan bersosial. Salah satunya seperti

yang di paparkan oleh Ibnu Taymiyyah dengan mengatakan, Kesejahteraan

umat manusia tidak dapat diwujudkan kecuali di dalam suatu tata sosial di

mana setiap orang tergantung pada yang lainnya, dan oleh karena itu

masyarakat memerlukan seseorang untuk mengatur mereka.8 Ibnu Taymiyah

melanjutkan, seluruh manusia di atas bumi, baik mereka yang beragama

samawi maupun bukan, bahkan yang tidak beragama sekalipun, mematuhi

raja-raja di dalam masalah yang mendatangkan kesejahteraan kepada mereka

di atas dunia ini.9 Kemuadian Ibnu Taymiyyah menambahkan, Allah telah

membuat manfaat agama dan manfaat-manfaat dunia tergantung kepada para

pimpinan, tidak peduli apakah imamah tersebut merupakan salah satu asas

agama ataupun tidak.10

7 Ibid., 736.

8 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siya>sah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran..., 240.

9 Ibid., 241.

10 Ibid., 242.

(35)

27

C. Kedudukan Bakal Calon

Di dalam Islam, gubernur tidak dipilih oleh rakyat. Tetapi diangkat

oleh kepala negara (kha>lifah). Imam al Mawardi dalam kitabnya, al-Ah}kamas}

Sulth}aniyah}, membagi gubernur menjadi dua. Pertama, gubernur yang

diangkat dengan kewenangan khusus (imarah} ‘alaas}-sh}alat}). Kedua, gubernur

dengan kewenangan secara umum mencakup seluruh perkara (imarah}

alaas}-sh}alat} wal kh}araj<). Menurut Al Mawardi, syarat untuk menjadi

gubernur tidak jauh berbeda dengan syarat yang ditetapkan untuk menjadi

wakil kha li<fah (muawin tafwidh).

Sementara Muawin syaratnya sama dengan syarat menjadi

Khali<fah. Jadi secara umum syarat menjadi gubernur sama dengan syarat

menjadi kepala negara.

Perbedaannya hanya pada kekuasaan gubernur lebih sempit

dibandingkan kekuasaan (muawin tafwidh). Baik Gubernur Umum maupun

Gubernur Khusus keduanya tidak boleh dijabat oleh orang kafir dan budak

(bukan orang merdeka).11 Pengakatan Gubernur Provinsi harus dikaji dengan

baik, Jika khali<fah yang mengangkatnya maka menteri t}afwi>d}h}i mempunyai

hak mengawasinya dan memantaunya, menteri t}afwi<d}h}i tidak boleh

memecatnya atau memutasinya dari provinsi satu ke provinsi yang lain.

11 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam

Syariat Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2006), 52.

(36)

28

Menurut Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya, Nidh}amul Hukmi} fi}l

Isla<m, setidaknya ada tujuh syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon

gubernur.12 Yaitu, harus laki-laki, harus merdeka karena kenyataannya

seorang budak tidak memiliki wewenang terhadap dirinya sendiri maka

bagaimana mungkin dia bisa menjadi penguasa atas orang lain atau menjadi

hakim, harus muslim, baligh, berakal, adil, dan Harus mampu melaksanakan

tugas-tugas pemerintahan yang diberikan kepadanya. Dalam kewenangan

dan kedudukan Gubernur Menurut Fiqh Siya>sah Gubernur mempunyai tugas

dan otoritas tertentu, pengangkatnya ialah khali<fah menyerahkan

kepemimpinan suatu provinsi dan pengayoman seluruh rakyat yang ada

didalamnya kepada seseorang, otoritasnya luas namun tugasnya terbatas.

Tugas-tugasnya adalah sebagai berikut:

1. Mengelola pasukan, meningkatkan kemampuan mereka dalam semua

aspek, dan menentukan gaji mereka. Jika khali<fah teleh menetapkan gaji

mereka maka penetapan gaji oleh khali<fah itu yang berlaku.

2. Memutuskan hukum, mengangkat jaksa dan hakim.Menarik pajak,

memungut sedekah, mengangkat petugas pajak dan petugas sedekah,

serta menentukan siapa saja yang berhak menerima sedekah.

3. Melindungi agama, mempertahankan tanah suci, dan menjaga agama

dari upaya modifikasi dan konversi.

12 Suara Islam.com, di akses pada 16 Agustus 2016.

(37)

29

4. Menegakkan hudud (hukuman) dalam hak-hak Allah dan hak-hak

manusia.

5. Menjadi imam dalam shalaat jum’at dan shalat berjamaah, ia sendiri

yang menjadi imamnya atau mewakilkan kepada orang lain.

6. Memberikan kemudahan kepada warganya yang hendak melakukan

ibadah haji dan orang-orang yang tidak termasuk warganya hingga

mereka bisa menunaikan ibadah haji dengan lancar.

Jika provinsinya berbatasan dengan daerah musuh maka ada

tugas-tugas kedelapan, yaitu memerangi musuh-musuh yang ada disekitar

wilayahnya, membagi rampasan perang kepada para tentara, dan mengambil

seperlimanya untuk dibagikan orang-orang yang berhak menerimanya.13

Jika menteri t}afwi<d}h}i (plenipotentiary) yang mengangkat Gubernur

Provinsi maka ada dua kemungkinan, yaitu:

a. Menteri t}afwi<d}h}i tidak dibenarkan memecat Gubernur Provinsi tersebut,

atau memutasinya dari Provinsi ke Provinsi lainnya kecuali atas izin atau

interuksi dari khali<fah. Jika menteri t}afwi<d}h}i dipecat dari jabatannya

Gubernur Provinsi tetap menjabat sebagai Gubernur Provinsi.

b. Menteri t}afwi<d}h}i dalam kapasitasnya sebagai wakil khali<fah

mengangkat Gubernur Provinsi tersebut. Dalam hal ini menteri t}afwi<d}h}i

13 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam

Syariat Islam..., 53.

(38)

30

dibenarkan memecat Gubernur Provinsi tersebut dan menggantinya

berdasarkan ijtihad dan pemikirannya untuk mencari yang terbaik.14

c. Gubernur Provinsi dibenarkan mengangkat menteri tanfi<dh}i (pelaksana)

untuk dirinya dengan atau tanpa persetujuan khali<fah. Ia tidak

dibenarkan mengangkat menteri t}afwi<d}h}i untuk dirinya kecuali atas

persetujuan dan interuksi dari khali<fah, karena menteri tanfi<dh}i sifatnya

hanya sebagai pembantu, sedang menteri t}afwi<d}h}i itu mempunyai

otoritas luas.

D. Pemilihan Kepala Daerah Calon Tunggal Menurut Fiqh Siyasah

Pengangkatan pejabat untuk mengurusi perkara kaum muslimin ini

mutlak harus dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan seleksi seselektif

mungkin kepada orang-orang yang hendak memangku jabatan tersebut.

Seperti pejabat-pejabat teras daerah setingkat gubernur, kepala pengadilan,

kepala keamanan mulai dari panglima tertinggi sampai panglima terendah,

dan juga dibidang keuangan, seperti badan pengawas keuangan, menteri

keuangan, serta penarikan pajak dan zakat yang dimiliki oleh kaum muslimin.

Selain itu dalam surat al-Syura ayat 38 juga dijelaskan tentang anjuran untuk

bermusyawarah dalam hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan umat

Islam secara umum dan menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya.

14 Ibid

(39)

31

Kehati-hatian dan selektif dalam memilih pejabat juga dilakukan

oleh Umar bin Khathab yang pernah mengatakan “barang siapa yang

mengangkat seseorang untuk peerkara kaum muslimin maka ia angkat orang

tersebut karena cinta dan unsur kekerabatan maka ia telah berkhianat kepada

Allah, Rasul dan kaum muslimin”.15

Umat Islam haruslah selektif dalam memilih seorang pemimpin,

jangan sekali-kali kaum muslimin menyerahkan jabatan kepada orang yang

meminta jabatan, bahkan orang seperti ini tertolak untuk menduduki suatu

jabatan.

Abu Bakar mencalonkan Umar sebagai penggantinya, hal ini

digunakan Faqih untuk membenarkan bay’ah}} oleh satu atau beberapa anggota

ah}l al-ikh}t}iar, dan membenarkan tindakan imam yang sedang berkuasa

mencalonkan penggantinya. Ketika karya-karya fiqih mulai ditulis,

dinasti-dinasti yang turun-temurun telah menguasai sebagian besar negeri

muslim. Dengan membela prinsip pilihan rakyat sebagai satu alternatif maka

teolog dan faqih sunni mengalami dilemma, teori tentang pilihan rakyat

sudah tidak dipakai lagi, dan dinasti telah menjadi penguasa.16

Alasan bahwa bentuk pemerintahan merupakan sebuah ijtihad,

dinasti telah diterima oleh kaum muslimin termasuk ulama terkemuka demi

15 Ibnu Taimiyah, Siya>sah syar’iyah: Etika Politik Islam, penerjemah: Rofi’ Munawar, (Surabaya:

risalah gusti, 1999), 4.

16 Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam, penerjemah: Ena Hadi, (Bandung:

Mizan, 1996), 97.

(40)

32

kepentingan umat. Dalam konteks inilah pergeseran dari ah}lul h}a>ll wal ‘aqd}i

ke ah}l asy-syawkah} sebagaimana dipakai al-Ghazali dan ibnu taimiyah dapat

dipahami.17

Al-Mawardi beranggapan bahwa prinsip pencalonan imam akan

penggantinya telah diterima melalui konsensus dan kepemimpnan adalah

sudah menjadi hak kaum muslimin secara umum.18

Apabila berkaca pada masa lalu khususnya dalam hal memilih

pemimpin pada masa Khulafaur Rasyidin, maka akan ditemukan

perbedaan-perbedaan dalam memilih Pemimpin ataupun Khali<fah ataupun

Amirul Mukminin. Perbedaan ini terjadi sebagai salah satu akibat langsung

dari tidak adanya aturan yang jelas dalam memilih dan mengangkat pimpinan

baik dalam alQuran maupun dalam al-Hadis Rasulullah SAW. Pada masa

Rasulullah SAW, karena yang menjadi pemimpin itu adalah beliau sendiri

dengan pengangkatan sebagai Rasul dari Allah SWT, maka tidak ada yang

protes di antara kaum muslimin. Akan tetapi karena Nabi Muhammad SAW

sendiri tidak menentukan siapa penggantinya sebagai pimpinan ummat Islam

dan bagaimana tata cara pemilihannya. maka terjadilah perbedaan di

kalangan ummat Islam. Jika Imam mengangkat Gubernur untuk salah suatu

17 Ibid.

18 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam

Syariat Islam..., 10.

(41)

33

provinsi maka jabatannya terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan

khusus.19 Jabatan bersifat umum terbagi menjadi dua bagian:

1. Pengangkatan dengan akad atas dasar sukarela.

2. Penguasaan atas dasar akad atas dasar terpaksa.

Gubernur karena pengangkatan dengan akad atas dasar sukarela

(gubernur must}akfi) mempunyai tugas tertentu dan otoritas tertentu pula.

Pengangkatanya ialah imam (khali<fah) menyerahkan kepemimpinan satu

provinsi dan pengayoman seluruh rakyat yang ada didalamnya kepada

seseorang. Untuk pemerintahan di daerah khali<fah Abu Bakar untuk

meneruskan pola Nabi yang mengangkat para gubernur sebagai kepala

pemerintahan, mereka bertanggung jawab kepada khali<fah namun diberikan

keleluasaan untuk mengangkat para stafnya, pemerintah daerah memiliki

otoritas dan otonomi terbatas sebagai kepala daerah kekuasaan mereka

menyatu antara yang bersifat duniawi dengan yang bernuansa agama.

Artinya para kepala daerah tersebut memegang peranan sebagai pemimpin

agama dan pelaksana pemerintahan.20

Dapat dikatakan bahwa masa Abu Bakar adalah batu ujian pertama

bagi umat Islam untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam setelah

19 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam

Syariat Islam..., 52.

20 Muhammad Iqbal, Fiqh Siya>sah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2001), 52.

(42)

34

Nabi wafat. Abu Bakar dinilai berhasil membangun sebuah sistim yang

bersih, etis serta mengikutsertakan partisipasi segenap warganya.

Sebagaimana dilukiskan Nurcholish Madjid menilai bahwa

masyarakat pada masa Abu Bakr khususnya dan masyarakat Islam klasik

umumnya, merupakan masyarakat yang terlalu modern untuk masa dan

tempatnya. Ia modern dalam hal tingkat komitmen, keterlibatan dan

partisipasinya yang tinggi yang diharapkan dari semua lapisan masyarakat. Ia

juga modern dalam hal keterbukaan posisi kepemimpinan terhadap

kemampuan yang dinilai menurut ukuran-ukuran universal dan dilambangkan

dalam usaha untuk melembagakan kepemimpinan puncak yang tidak bersifat

warisan.21

Pada masa khali<fah Umar Ibn al-Khathtab gubernur diangkat

dengan mempunyai otoritas dan otonomi yang luas, mereka menjalankan

tugas dan fungsi sebagai pembantu khali<fah. Dalam hal rekrutmen pejabat

khali<fah Umar terkenal sangat selektif dan mementingkan profesionalitas

dan kemampuan dalam bidangtugasnya. Disamping itu aspirasi masyarakat

setempat yang berkembang juga didengar oleh Umar, dengan demikian Umar

menjauhkan dari kebijaksanaan nepotisme dan main drop-dropan dari atas

untuk menentukan pejabat, dalam sebuah kasus Umar pernah memecat

21 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), 114.

(43)

35

Ammar ibn Yasir sebagai gubernur kuffah karena arus bawah merasa tidak

puas atas kepemimpinannya.22

Pada masa khali<fah Utsman ibn Affan pada dasarnya garis kebijakan

yang akan dilaksanakan Utsman mengacu pada kebijakan khali<fah Abu Bakr

dan Umar. Utsman juga melakukan perluasaan wilayah Islam, untuk

penguasa-penguasa di daerah Utsman juga mengangkat wakil sebagai

gubernur untuk memimpin daerah. Dalam bidang politik, banyak sejarawan

menilai Utsman melakukan praktik nepotisme, ia mengangkat

pejabat-pejabat yang berasal dari kalangan keluarganya meskipun tidak layak

untuk memegang jabatan tersebut. Awal praktik nepotisme ini adalah

pemecatan Al-Mughirah ibn Abi Syu’bah sebagai gubernur kufah dan

digantikan oleh Sa’d ibn al-Ash saudara sepupu Utsman. Namun Sa’d hanya

setahun memimpin karena digantikan oleh Al-Walid ibn Uqbah yang juga

masih saudara seibu khali<fah. Ternyata Walid ini berperangai buruk dan tidak

mencerminkan teladan seorang pejabat.23

Kebijaksanaan seperti ini menimbulkan implikasi yang luas

dikalangan umat Islam, pengangkatan gubernur berdasarkan nepotisme

menimbulkan lahirnya gerakan oposisi. Tokoh sahabat yang terkenal sebagai

pengkritik kebijaksanaan Usman adalah Abu Dzar al-Ghifari, dia menentang

22 Muhammad Iqbal, Fiqh Siya>sah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam..., 58.

23 Ibid., 71.

(44)

36

Usman terutama karena nepotisme dan kesenjangan ekonomi yang terjadi

dalam pemerintahannya.24

Pada masa khali>fah Ali ibn Abi Thalib hal pertama yang dilakukan

adalah memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat Utsman

sebelumnya dan menarik kembali untuk Negara tanah yang telah dibagi-bagi

Usman kebada kerabatnya. Ali mengangkat Usman ibn Junaif menjadi

gubernur bashrah menggantikan Abdullah ibn Amir, Umar ibn Shihab

gubernur kufah menggantikan Sa’d ib Al-ash, Ubaidillah ibn Abbas gubernur

Yaman, Qais ibn Sa’d gubernur Mesir, Abdullah ibn Sa’d ibn Abi Sarh dan

Sahl ibn Junaif gubernur Syam. Gubernur-gubernur baru tidak dengan mulus

menggantikan pejabat lama, meskipun sebagian besar mereka diterima di

daerah, tidak jarang pula ada yang menolaknya, bahkan serta merta

Mu’awiyah gubernur Syam masa Utsman mengusir Sahl.25

Dalam masalah Thalhah dan Zubair, Mughirah menasehati Ali agar

menjadikan mereka berdua sebagai gubernur Kufah dan Bashrah namun Ali

mengabaikan usulan ini sehingga membuat Thalhah dan Zubeir kecewa dan

berakhir dengan tragedi perang berunta. Meskipun demikian, menurut

Nurcholish Madjid pemerintahan Ali merupakan contoh komitmen yang kuat

24 Ibid., 73.

25 Ibid., 77.

(45)

37

kepada keadilan sosial dan kerakyatan, disamping kesungguhan di ilmu

pengetahuan.26

26 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., 14.

(46)

BAB III

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015

TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA

DAERAH

A. Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Daerah

Dari semua interaksi Pemohon1 dengan pemangku kepentingan

Pemilihan Kepala Daerah, utamanya pada proses dan tahapan Pemilihan

Kepala Daerah Serentak 9 Desember 2015, ditemukan berbagai hal-hal yang

merugikan warga Negara, kehidupan berbangsa dan bernegara, serta

utamanya Sistem Politik dan Sistem Demokrasi yang sedang dikembangkan.

Diantaranya:

1. Partai politik dan gabungan partai politik tidak mau mengusulkan

pasangan calon dengan tujuan (setidaknya potensial) agar Pemilihan

Kepala Daerah di daerah tertentu tidak dapat terlaksana dan ditunda ke

pemilihan serentak selanjutnya.

2. Partai politik dan gabungan partai politik tidak mau mengusulkan

pasangan calon semata karena merasa akan menghabiskan sumber

1

Pemohon adalah Effendi Gazali, Ph.D., MPS ID, M.Si (lahir di Padang, Sumatera Barat, Indonesia, 5 Desember 1966; umur 47 tahun) adalah tokoh Indonesia yang terkenal dengan acara yang digagasnya yaitu Republik Mimpi yang merupakan parodi dari Indonesia dan para presidennya. Effendi sekarang ini merupakan salah satu staf pengajar program pascasarjana ilmu komunikasi Universitas Indonesia. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Effendi_Gazali, di unduh pada 21 Juli 2016)

(47)

38

daya, biaya, energi, waktu, dan sebagainya, secara sia-sia karena demikian

3. Kuatnya elektabilitas Petahana (yang umumnya disimpulkan dari

temuan survei ataupun realitas media).

4. Begitu sulit dan rumitnya pemenuhan persyaratan bagi calon

perseorangan pada Pemilihan Kepala Daerah mengakibatkan harapan

untuk tercapainya formula “setidaknya dua pasangan calon” juga

sulit tercapai.

5. Sampai saat permohonan Pengujian Undang-Undang ini didaftarkan,

masih terdapat 7 daerah yang Pemilihan Kepala Daerahnya tertunda

hingga Februari 2017, karena hanya terdapat satu pasangan calon

mendaftar ke KPUD, yakni: Kota Surabaya (Jawa Timur), Kabupaten

Pacitan (Jawa Timur), Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten

Tasikmalaya (Jawa Barat), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), kota

Mataram (Nusa Tenggara Barat), dan Kabupaten Timor Tengah Utara

(Nusa Tenggara Timur).

6. Walau sedang diupayakan juga perpanjangan masa pendaftaran calon di

daerah-daerah ini, namun pada saat yang sama perlu pula dicatat 83

daerah dengan hanya dua pasangan calon terdaftar di KPUD. Jika dalam

tahapan selanjutnya terdapat satu pasangan calon yang karena satu dan

lain hal tidak dapat atau tidak memenuhi syarat untuk maju, maka

Pemilihan Kepala Daerah di sebagian daerah ini pun berpotensi tertunda

(48)

39

Pada saat Perbaikan ini disampaikan memang telah terjadi

perubahan komposisi daerah dengan Calon Kepala Daerah Tunggal, dimana

7 daerah berkurang menjadi hanya 4, namun terdapat pertambahan 3 daerah

lain yang dibuka kembali pendaftaran Pasangan Calonnya karena hanya

menyisakan Calon Tunggal.

Walau dipermukaan dilakukan upaya memperpanjang masa

pendaftaran pasangan calon di daerah-daerah yang hanya memiliki satu

pasangan calon terdaftar di KPUD, namun sesungguhnya terdapat juga

masalah substansial yang amat perlu diteliti secara mendalam dan hati-hati,

yaitu dipersiapkannya calon boneka oleh sekelompok pasangan calon dalam

rangka menghindari ketentuan mengenai setidaknya terdapat dua pasangan

calon pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak 9 Desember. Hal tersebut

dapat dicapai dengan berusaha mendapatkan dukungan (sebagian di

antaranya dengan cara transaksional) dari sebagian besar partai politik

sehingga pasangan calon lawan terkuat tidak dapat maju, lalu kelebihan

persyaratan dari dukungan partai politik yang didapatnya diberikan pada

pasangan calon boneka. Strategi ini jelas membuatnya akan terpilih secara

aman. Bahkan dari aspek biaya (pendekatan transaksional), juga diasumsikan

lebih ringan. Mereka hanya membayar di depan dengan pendekatan

transaksional pada partai-partai politik, lalu tidak akan terlibat dalam

kompetisi dan biaya yang sungguh-sungguh pada masa selanjutnya

(kampanye dan seterusnya hingga hari pemungutan suara), karena

(49)

40

fenomena bagaimana pasangan calon yang mengatur secara teliti agar lawan

terkuatnya tidak mendapatkan tiket dari partai-partai politik, dan jauh

sebelumnya mereka telah mempersiapkan calon boneka yang maju lewat

jalur perseorangan (untuk memenuhi persyaratan sedikitnya terdapat dua

pasangan calon). dan secara khusus sejak 1 Maret 2015 hingga saat ini dalam

rangka Pemilihan Kepala Daerah Serentak 9 Desember 2015, telah

menemukan fenomena calon tunggal yang beriringan dengan calon boneka

yang sangat bertentangan dengan UUD 1945 dan sangat merugikan hak

memilih warga negara dan hak-hak warga negara mendapatkan

pembangunan yang berkesinambungan.

Dalam hal ini Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia

yang disebut dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yang telah

berusia 17 tahun dan/atau sudah kawin sehingga mempunyai hak untuk

memilih; serta merupakan warga negara Indonesia yang selalu aktif

melaksanakan hak pilih dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Pemohon juga berpotensi segera mengalami kerugian konstitusionalnya pada

Pemilihan Kepala Daerah untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,

dengan potensi ancaman pasal-pasal UU 8/2015 yang diuji ini. Bahkan

secara umum kerugian potensial ini bisa dialami seluruh daerah di Indonesia.

Dan yang paling utama, serta jarang diperhatikan oleh pemangku

kepentingan UU 8/2015 adalah bahwa Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 telah

menyatakan “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk

(50)

41

Republik”, dengan demikian semua diskriminasi terhadap warga negara di

daerah manapun yang mengakibatkan kerugian konstitusional warga negara

serta ketidaksinambungan pembangunan di daerah tersebut, pada dasarnya

akan mengakibatkan kerugian yang saling berkaitan dengan seluruh Negara

Kesatuan dan Warga Negara Republik Indonesia. Atau setidaknya, dapat

dikatakan bahwa: Rakyat atau Warga Negara di daerah tertentu yang

Pilkadanya mengalami penundaan, tidak terpenuhi hak-nya untuk dipimpin

oleh Kepala Daerah yang dipilihnya, yang memiliki legitimasi yang sah,

yang sudah diketahui visi dan misinya, sama seperti daerah-daerah lain di

seluruh NKRI. Hal ini secara nyata dapat diasumsikan sebagai "terdapatnya

potensi ketidaksinambungan pembangunan di daerah tersebut".

B. Asas dan tujuan Pemilihan Kepala Daerah

Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,

selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

(51)

42

Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya

disebut UUD 1945). Pasal 10 ayat (1)2 Putusan Mahkamah Konstitusi

bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh

kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang

dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and

binding).

Permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang, in casu

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678, selanjutnya disebut UU

8/2015) terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah

berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Kedudukan Hukum (Legal

Standing) Pemohon.

Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang

dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD

2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

(52)

43

1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya

suatu Undang-Undang, yaitu:

1. Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama).

2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.

3. Badan hukum publik atau privat.

4. Lembaga negara.3

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang

terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:

a. Kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.

b. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; serta putusan-putusan selanjutnya Mahkamah telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

1) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945.

2) Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

3) Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

3

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015, 35.

Referensi

Dokumen terkait

Mekanisme pencucian timah pada kapal keruk Bemban dimulai dari bucket lalu umpan ditumpahkan ke saringan putar untuk memisahkan material halus. bertimah

79 Dari tabel dapat dilihat bahwa jumlah genera fitoplankton yang ditemukan di muara sungai Babon Semarang pada pagi hari untuk stasiun I sebanyak 16 genera, stasiun II

2). Akronim sebagai salah satu dari tiga gejala perkembangan bahasa yang sedang melanda bahasa Indonesia sering terhambat, bahkan menyumbat jaringan komunikasi

唐今天缺席的原因(A5). Jawaban tersebut tidaklah tepat karena kode soal A4 memiliki arti kamu harus memahami suamimu, sehingga kata yang tepat adalah dengan “理 解

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Bagi masyarakat Desa Sumbermulyo kecamatan Pesanggaran kabupaten Banyuwangi Upacara Baritan merupakan warisan leluhur

Pesantren Tradisional dalam hal pemenuhan kebutuhan media informasi lebih mempertimbangkan asas manfaat dan juga tingkat kebutuhan santri, artinya pesantren akan

Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh Gaya Kepemimpinan Partisipatif terhadap Disiplin Kerja Karyawan di unit Personnel Administration Kantor

Pertanggungjawaban hukum terhadap anggota Kepolisian yang melakukan salah tangkap atau eror in persona dapat ditempuh melalui sidang displin Polri sesuai dengan Peraturan