TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015
TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA
DAERAH
SKRIPSI
Oleh :
Rofiatul Adafiyah
NIM. C03212026
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Program Studi Siyasah Jinayah
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian dengan judul “Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon
tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah”
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan yaitu: Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah, dan Bagaimana tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Untuk menjawab permasalahan diatas, maka dalam mengumpulkan data penelitian ini menggunakan studi penelitian kepustakaan (Library research), yaitu salah satu bentuk penelitian yang terfokus terhadap sumber-sumber data yang diperoleh berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU/-XIII/2015 dalam perspektif fiqh siyasah sebagai suatu objek studi. Selanjutnya sumber-sumber disusun secara deskriptif yang dimaksudkan untuk memperoleh data yang sedetail mungkin. Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan disusun secara sistematis kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yaitu melakukan pembacaan, penafsiran, dan analisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah untuk dapat melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak pada tanggal 9 Desesmber 2015 sangatlah tepat, karena tidak ada diskriminasi yang menimbulkan atas hak konstitusional warga ngara dalam hak pilih dan memilij yang tidak dapat melaksanakan pemilihan serentak dikarenakan kurang persyaratan paling sedikit dua pasangan calon yang diatur dalam Undang-Undang nomer 8 tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... iii
PENGESAHAN ... iv
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9
C. Rumusan Masalah ... 10
I. Sistematika Pembahasan ... 19
BAB II CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH MENURUT FIQH SIYASAH ... 21
A. Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Derah ... 21
B. Asas dan Tujuan Pemilihan Kepala Daerah> ... 23
C. Kedudukan Bakal Calon ... 26
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015 TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA
DAERAH ... . 37
A. Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Daerah ... 37
B. Asas dan Tujuan Pemilihan Kepala Daerah ... 41
C. Kedudukan Bakal Calon ... 55
D. Pemilihan Kepala Daerah Calon Tunggal Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi ... 61
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH MENURUT FIQH SIYASAH ... 67
A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Tunggal Dalam Pemilihan Kepala Daerah ... 67
B. Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Calon Tunggal Dalam Pemilihan Kepala Daerah ... 80
BAB V KESIMPULAN ... 84
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu instrumen untuk
memenuhi desentralisasi politik dimana dimungkinkan terjadinya transfer
lokus kekuasaan dari pusat ke daerah. Pemilihan kepala daerah sebagaimana
pemilu nasional merupakan sarana untuk memilih dan mengganti
pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui pemilihan kepala daerah,
rakyat secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus
memberikan legitimasi kepada siapa yang berhak dan mampu untuk
memerintah. Melalui pemilihan kepala daerah perwujudan kedaulatan
rakyat dapat ditegakkan. Pemilihan kepala daerah dengan kata lain
merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk
menentukan masa depan pemerintahan yang absah. Kepala daerah dan wakil
kepala daerah adalah kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara
demokratis. Pemilihan secara demokratis yang dimaksud adalah pemilihan
yang dilakukan oleh rakyat secara langsung yang persyaratan dan tata
caranya di dalam peraturan perundang-undangan.1
1
Sri Warjiyati, “Calon Perseorngan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah”, al-Daulah, nomor 1, (April, 2014), 113.
2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
secara tegas menyatakan kepala daerah dipilih secara demokratis, ketentuan
ini terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara
demokratis”. Undang-Undang memandang bahwa pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah secara demokratis dapat dilakukan melalui dua
cara, pertama; pemilihan oleh DPRD, kedua; pemilihan secara lagsung oleh
rakyat.2 Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana
perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara
yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila
dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai
integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. 3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penyempurnaan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
2
Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undan-Undang Nomor 32 tahun 2004 dalam system Pemilu menurut UUD 1945, (Jakarta, Prestasi Publisher, 2006), 7.
3
J.kaloh, kepemimpinnan Kepala Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 20.
3
penyelenggaraan pemilihan umum. Oleh karena itu, diperlukan satu
undang-undang yang mengatur penyelenggara pemilihan umum terutama dalam
pemilihan Kepala Daerah, maka untuk mengatur tentang pemerintahan
daerah dibuatlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Satu hal yang paling berubah secara signifikan
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah. Hal ini
dapat diwujudkan dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.4
Dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
disebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Dengan demikian dalam
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada dasarnya
merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih
demokratis (kedaulatan rakyat), transparan, dan bertanggung jawab.5
Dalam Pelaksanaan Pemilihan kepala daerah hakekatnya sama
seperti tahap pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Menurut Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tahap
pelaksanaan Kepala Daerah meliputi: penetapan daftar pemilih, pendaftaran
dan penetapan calon Kepala Daerah/ wakil Kepala Daerah, kampanye,
pemungutan suara, perhitungan suara, dasn penetapan pasangan calon
4
Elvi Juliansyah, Pilkada Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
(Bandung: Mandar Maju, 2007), 50.
5
Ibid., 51.
4
Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah terpilih, pengesahan, dan
Pelantikan.6
Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era baru ketika
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 digantikan dengan Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014. Era baru penyelenggaraan pemerintahan daerah
dapat dilihat dari perbedaan yuridis maupun filosofis. Perbedaan yuridis
tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur
dalam undang-undang sebelumnya, sedangkan perbedaan filosofis terlihat
dari makna dan orientasi yang secara tersurat terkandung dalam pasal-pasal
yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang sebelumnya. Perbedaan
secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang
mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Dalam pasal 62 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa “ketentuan mengenai pemilihan
kepala daerah diatur dengan undang-undang”. Perihal pemilihan kepala
daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang
perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dalam hal ini di beberapa daerah pemilihan kepala daerah dengan
calon tunggal tidak dapat melaksanakan pemilihan secara serentak namun,
6
Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah…, 124.
5
dalam Putusan Mahkamah Konstutusi menyatakan bahwa dalam beberapa
pasal Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup ”menetapakan 1
(satu) pasangan calon gubernur dan calon Wakil Gubernur, 1 (satu)
pasangan calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan calon
Walikota dan calon Wakil Walikota, dalam hal hanya terdapat 1 (satu)
pasangan calon gubernur dan calon Wakil Gubernur, 1 (satu) pasangan calon
Bupati dan calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan calon Walikota dan
calon Wakil Walikota”. Dari berbagai pertimbangan dalam beberapa pasal
Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang dilakukan uji materi yang mana hal
ini dalam kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam ketentuan Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 Jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi sebagaimana telah
diubah Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK), menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
6
menyatakan bertentangan dengan semangat UUD 1945 jika Pemilihan
Kepala Daerah tidak dilaksanakan dan ditunda sampai Pemilihan berikutnya
sebab hal itu merugikan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak
untuk dipilih dan memilih, hanya karena tidak terpenuhinya syarat paling
sedikit adanya dua pasangan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala
daerah meskipun sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh. Dengan kata
lain demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara,
Pemilihan kepala daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat
satu pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah walaupun
sebelumnya telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan
paling sedikit dua pasangan calon.
Sementara itu dalam pemerintahan Islam khali<fah dibantu oleh
para, wali yang bisa disebut sebagai gubernur untuk mengurusi wilayah atau
propinsi, wali diangkat oleh khali<fah untuk mengurusi wilayah dengan
menerapkan konsep sentralisasi. Wali diangkat oleh khali<fah bukan dalam
artian pelimpahan seluruh wewenang seluas-luasnya seperti yang terjadi
pada konsep otonomi daerah di Indonesia. Kewenangan wali diatur oleh
khali<fah, bisa jadi wali diangkat hanya untuk mengurusi urusan masyarakat
kecuali urusan harta (al ima>rah ‘ala> as}-s}a>lah}), atau mengurusi masalah harta
saja atau mengurusi kedua-duanya (al ima>rah ‘ala> as}-s}ha>l ah}wa al-khara<j).
7
Pada masa Rasulullah Muhammad SAW, kekuasaan berada
ditangan Rasulullah. Kekuasaan memerintah, legislasi hukum,
implementasi, eksekusi, urusan kemiliteran dan lain sebagainya. Kekuasaan
Rasul atas umat Islam dibimbing langsung oleh Allah SWT dengan
wahyunya dan Rasulullah adalah maksum sehingga terpelihara dari
kesalahan.
Sebagai kepala pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa
sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar
manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. 7 Rasulullah
mengangkat Abu Bakar dan Umar Bin Khattab sebagai wazi}r dan
mengangkat beberapa sahabat lain sebagai pemimpin wilayah islam
diantaranya, Muaz Bin Jabal sebagai qadhi{ sekaligus Wali} di Yaman.
Periode Umar identik dengan masa keemasan perluasan wilayah
Islam. Wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arab, Palestina,
Syria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Dalam wilayah Islam yang
sangat luas itu, ‘Umar merasa tidak mungkin bisa menjalankan roda
pemerintahan secara langsung dari Madinah sebagai ibukota negara. Karena
itu, dia segera membagi wilayah yang luas itu menjadi delapan propinsi.
Yaitu: Makah, Madinah, Syria, Jazirah, Bashrah, kufah, Mesir dan
Palestina, yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur sebagai
wakil khali<fah di tingkat daerah. Tiap propinsi memiliki ibukota serta
7
Novita Nahdiyah’s blog.htm/30/10/2011/ mengarungi sejarah keemasan daulah Islam hingga keruntuhannya/diakses 16 Agustus 2016.
8
dibagi menjadi beberapa kabupaten ( iqli>m ) yang masing-masing dikepalai
oleh seorang ami>r.8
Dalam sejarah pemerintahan mulai dari zaman khalifah Abu Bakar,
Umar, Ustman dan Ali dapat dikatakan bahwa untuk memipin negara
bagian atau provinsi maka gubernur diangkat langsung oleh khalifah yang
sedang menjabat dan gubernur yang diangkat tersebut berasal dari kalangan
sahabat Nabi yang sudah mengikuti Nabi sejak awal terbentuknya
pemerintahan Islam di Madinah, ini dikarenakan keadaan umat muslim
disaat itu yang masih memerlukan pembinaan terhadap pemahaman Islam
secara menyeluruh. Sampai kepada zaman dinasti Umayyah dan Abbasiyah
pun gubernur negara bagian dipilih dan diangkat oleh khalifah.
Pada zaman dinasti Umayyah mengubah gaya kepemimpinannya
dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa
peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun, begitu juga
pada zaman dinasti Abbasiyah yang dipilih dan diangkat oleh khalifah,
namun dalam pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.9
8
Muhammad Adib, bulletin amanah online 10 Agustus 2012, Administrasi Pemerintahan Umar, diakses 16 Agustus 2016.
9
Suyuti PulunganFiqih Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999), 160.
9
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas tedapat beberapa
masalah yang dapat diidentifikasi dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan
Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XII/2015 tentang Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah” yaitu:
1. Mekanisme pemilihan calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah
2. Pelaksanaan serentak Pemilihan Kepala Daerah dalam putusan
Mahkamah Konstitusi
3. Kedudukan/Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan uji
Materi
Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan
dikaji dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis
membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang
Calon Tunggal Dalam Pemilihan Kepala Daerah Menurut Fiqh Siyasah
2. Pemilihan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Kepala Daerah dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 menurut
10
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok
masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015
tentang calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah?
2. Bagaimana tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam
Pemilihan Kepala Daerah?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah dilakukan diseputar masalah yang diteliti, sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang sedang dilakukan ini tidak dapat merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang ada.10
1.Setelah penulis menelusuri kajian sebelumnya, penulis menemukan
skripsi yang membahas kajian yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yakni: Skripsi yang ditulis oleh
Norizal pada tahun 2004 yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dalam
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2003”. Adapun skripsi ini membahas
10
Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknik Penulisan Skripsi, (Surabaya: Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), 8
11
tentang sistem pemilihan presiden dan wakilnya dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003. Sistem pemilihan presiden dan wakil presiden
dilakukan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, artinya
melalui proses tahap-tahapan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2003 secara tertib, teratur dan konsekuen. Selain itu, sistem
pemilihan langsung dibenarkan dan dibenarkan dalam hukum islam
karena beberapa alasan, yaitu: yang pertama, berdasarkan pada asas
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil, yang tidak bertentangan dengan sistem Pemilu
dalam Islam yang berasaskan musyawarah, kesamaan, kebebasan dan
keadilan, yang kedua, sistem pemilihan langsung oleh rakyat dalam
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2003 sangat mengedepankan sistem
demokrasi yang berkedaulatan rakyat sebagaimana Islam sangat
menjunjung tinggi prinsip-prinsip pemilihan dalam Islam yang berasaskan
musyawarah, persamaan, kebebasan dan keadilan, dan yang ketiga adalah
sistem pemilihan yang seperti ini merupakan salah satu implementasi
untuk mencegah terjadinya berbagai manipulasi suara dan aspirasi rakyat
oleh para elit untuk kepentingan golongan dan pribadi, begitu juga Islam
sangat mengedepankan kemashlahatan bagi umat dan Negara.11
2.Skripsi yang ditulis oleh Faisal Noor Arifin pada tahun 2014 yang
berjudul “Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
11
Norizal, “Tinjauan hokum Islam terhadap Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003”, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004).
12
Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pemilihan calon Presiden dan calon
anggota Legislatif serentak” skripsi ini membahas tentang diadakannya
pemilu serentak yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal
ini dikarenakan pemilu tahun 2014 sudah melakukan persiapannya
sehingga jika pemilu serentak dilakukan pada tahun 2014 akan
mengganggu persiapan yang sudah berjalan dapat terganggu atau
terhambat karena kehilangan dasar hukum, dan belom adanya
Undang-Undang yang mengatur tentang pemilu serentak. Islam memandang
bahwa umat adalah sumber kedaulatan suatu Negara, oleh sebab itu
Negara harus memperhatikan nasib rakyatnya. Dalam hal yang harus
dipenuhi oleh Negara untuk kepentingan masyarakat, penggabungan
pemilu ini sangat efisien karena Negara dapat menghemat pengeluaran
belanja Negara, Tujuan dasar dari pengeluaran keuangan Negara adalah
untuk memberikannya kepada yang berhak. Semua rakyat dan warga
Negara berhak mendapatkan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
(hurriyah alsyakhsiyyah), dengan penggabungan pemilu ini masyarakat
berkesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala Negara.12
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
12
Faisal Noor Arifin “Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pemilihan Calon Presiden dan CAlon anggota Legislatif serentak”, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).
13
1. Untuk mengetahui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah.
2. Untuk mengetahui tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam
Pemilihan Kepala Daerah
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian ini penulis harapkan mempunyai beberapa manfaat baik
secara teoritis maupun praktis:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan serta memperkaya khazanah
intelektual dan pengetahuan tentang calon tunggal dalam Pemilihan
Kepala Daerah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XIII/2015 menurut Fiqh Siyasah.
2. Secara praktis, memberikan pandangan dan pedoman argumentasi
hukum yang diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi
penegakan hukum dan profesionalitas politisi, demi terciptanya iklim
yang adil dan kondusif yang bermanfaat bagi masyarakat supaya
terciptanya keadilan dan kemaslahatan dalam penegakan hukum
Indonesia, sesuai dengan unsur-unsur hukum yaitu kepastian, keadilan,
14
G. Definisi Operasional
Pemilihan kepala daerah: pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
penduduk daerah administratif setempat yang
memenuhi syarat.
Putusan Mahkamah Konstitusi: yaitu putusan langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
Fiqh Siya>sah: sebagai acuan dalam menganalisis putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang
calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Darah.
Selain itu Fiqh Siyasah adalah ilmu hukum
dalam bidang Syari’ah yang diimplementasikan
dengan mengatur serta membuat keputusan
berupa Qa>nun atau Peraturan Daerah yang
dilaksanakan sesuai substansi syari’ah dengan
membawa kemashlahatan umat dan dilaksanakan
oleh pemimpin.13
H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian kualitatif
dengan jenis penelitian deskriptif analitis dan pengumpulan data melalui
metode penelitian pustaka (library research).
13
H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah
(Jakarta: Kencana, 2009), 29-30.
15
1. Data yang Dikumpulkan
a. Data mengenai Pemilihan Kepala daerah yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
c. Data mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomer
100/PUU-XIII/2015.
2. Sumber Data
Untuk memudahkan mengidentifikasi sumber data, maka
dalam hal sumber penelitian, akan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Sumber data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
sumbernya yaitu dokumentasi resmi yang kemudian diolah oleh
peneliti. Adapun sumber data primer berasal dari:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
16
3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XII/2015
tentang pemilihan calon tunggal dalam Pemilihan Kepala
Daerah.
b. Sumber Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang secara tidak langsung
memberikan informasi data kepada pengumpul data. Misalnya,
melalui orang lain atau dokumen. Dalam Penelitian ini, data
sekunder tersebut adalah:
1) Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasrkan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dalam sistem Pemilu
Menurut UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,
2006).
2) J. Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009).
3) Elvi Juliansyah, Pilkada Penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah Dan Wakil KepalaDaerah, (Bandung: Mandar Maju,
2007).
4) Sayuti Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran Sejarah Dan
17
5) H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemashlahatan
Umat dalam Rambu-rambu Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009).
6) Sri Warjiyati, “Calon Perseorngan dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah”, al-Daulah, nomor 1, (April, 2014).
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal yang sangat penting dalam
proses penelitian, sebab untuk memperoleh hasil penelitian yang baik
sangat ditentukan oleh kualitas data yang diperoleh dalam suatu
penelitian. Kualitas data, sangatlah dipengaruhi oleh siapa narasumber,
bagaimana dan dengan cara apa data-data itu dikumpulkan.
Dalam hal ini, teknik pengumpulan data yang akan peneliti
lakukan yaitu kepustakaan karena persoalan penelitian tersebut hanya
bisa dijawab lewat penelitian pustaka dan sebaiknya tidak mungkin
mengharapkan datanya dari penelitian lapangan. Oleh karena itu
penelitian ini akan menggunakan studi kepustakaan untuk menjawab
persoalan yang akan peneliti lakukan. Setidaknya ada empat ciri studi
kepustakaan14 yaitu sebagai berikut:
a. Peneliti berhadapan langsung dengan teks, bukannya dengan
pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa
kejadian, orang atau benda benda lain.
b. Data pustaka siap pakai.
14
Zainan Mustafa, Mengurai Variabel Hingga Instrumentasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 92.
18
c. Data pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang bukan data
orisinil dari tangan pertama di lapangan.
d. Kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
4. Teknik Pengumpulan Data
Tahapan pengolahan data dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa data yang diperoleh berdasarkan aspek
kelengkapan bacaan, kejelasan makna, kesesuaian data satu dengan
yang lainnya dan keseragaman dalam klasifikasi.
b. Organizing, yaitu menyusun data yang diperoleh dengan
sistematika untuk memaparkan apa yang direncanakan
sebelumnya.
c. Analizing, yaitu tahapan menganalisis sejumlah data yang masih
mentah menjadi informasi yang dapat diinterpretasikan,
penguraian suatu pokok atas bebagai penelaahan untuk
memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang
dimaksudkan untuk memperoleh data yang sedetail mungkin dalam hal
pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal dalam tinjauan Fiqh
19
Data yang dikumpulkan disusun secara sistematis kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yaitu dengan
melakukan pembacaan, penafsiran, dan analisis terhadap
sumber-sumber data yang diperoleh yang berkaitan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam
Pemilihan Kepala Daerah. Sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai
dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Penelitian ini juga
menggunakan metode deskriptif yang dimaksudkan untuk memperoleh
data yang detail.
I. Sistematika Pembahasan
Memberikan gambaran yang lebih jelas pada pembahasan skripsi
ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan isi uraian pembahasannya.
Adapun sistematika pembahasan pada skripsi ini terdiri dari 5 (Lima) bab
dengan pembahasan sebagai berikut:
Bab Pertama, berisi uraian pendahuluan yang berisi gambaran
umum yang berfungsi sebagai pengantar dalam memahami pembahasan bab
berikutnya. Bab ini memuat pola dasar penulisan skripsi, untuk apa dan
mengapa penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu, pada Bab I ini pada
dasarnya memuat sistematika pembahasan yang meliputi: latar belakang
20
penelitian, definisi operasional, metodologi penelitian, dan sistematika
pembahasan.15
Bab Kedua, memuat landasan teori yang berisi pembahasan
tentang Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Daerah, Asas dan tujuan
Pemilihan Kepala Daerah, Kedudukan Bakal Calon, Pemilihan Kepala
Daerah Calon Tunggal Menurut Fiqh Siyasah.
Bab Ketiga, memuat pembahasan yang berisi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang Calon Tunggal Dalam
Pemilihan Kepala Daerah, yang meliputi Ruang Lingkup Pemilihan Kepala
Daerah, Asas dan tujuan Pemilihan Kepala Daerah, Kedudukan Bakal
Calon, Pemilihan Kepala Daerah Calon Tunggal Menurut putusan
Mahkamah Konstitusi.
Bab Keempat, berisi analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 100/PUU-XIII/2015 dan analisis tentang Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 ditinjau dari Fiqh Siya>sah.
Bab Kelima, merupakan bab penutup yang berisi tentang
kesimpulan hasil penelitian penulis.
15
Bahdin Nur Tanjung, Pedoman Penulisan Kaya Ilmiyah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 56.
21
BAB II
CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH MENURUT
FIQH SIYASAH
A. Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Daerah
Menurut Rabi’ negara atau kota (al-Dawlat aw al-Madi>nat)
berdasarkan kenyataan sosial, bahwa manusia jenis makhluk yang saling
memerlukan sesamanya untuk mencukupi segala kebutuhannya. Tidak
mungkin seorang diri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada
bantuan atau berdampingan dari dan dengan orang lain. Karena itu, satu sama
lain saling membutuhkan untuk mendapat kebutuhan hidup, dan untuk
memperolehny memerlukan kerjasama, mendorong mereka berkumpul
disuatu tempat, agar mereka bisa saling tolong-menolong dan memberi.
Proses itulah, menurut Rabi’, yang membawa terbentuknya kota-kota, dan
akhirnya menjadi negara. tabiat manusia yang demikian, baginya, karena
ciptaan Allah.
Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dengan tabiat yang
cenderung untuk berkumpul dan tidak mampu seorang diri memenuhi segala
kebutuhanya tanpa bantuan orang lain. Ketika manusia berkumpul di
kota-kota dan mereka bergaul, dan karena mereka terdiri dari berbagai
22
dan perselisihan. Karena itu Allah menurunkan peraturan-peraturan
dan kewajiban-kewajiban bagi mereka sebagai pedoman yang harus mereka
patuhi, dan mengangkat seorang pemimpin bagi mereka yang bertugas
memelihara peraturan-peraturan itu dan untuk mengurus urusan-urusan
mereka, menghilangkan penganiyaan dan perselisihan yang dapat merusak
keutuhan mereka.1
Menurut al-Mawardi dan Ibn Khaldun Kebutuhan manusia tidak
hanya berkumpul dan bekerjasama. Mereka juga membutuhkan seorang
pemimpin yang memiliki kekuasaan untuk mengatur segala urusan yang
berkaitan dengan kehidupan mereka. Kebutuhan akan seorang pemimpin.
Makhluk sosial yang menurut tabiatnya memerlukan kerjasama untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka, lahir dan batin. Proses inilah, menurut
mereka yang menjadi akar dan faktor terbentuknya kumpulan atau
masyarakat manusia disuatu tempat tertentu, yang kemudian menjelma
menjadi negara.2
Sebenarnya terdapat hubungan sangat erat antara kepemimpinan
dengan negara dalam pandangan Islam. Arti seorang pemimpin bagi Islam, ia
adalah pejabat yang bertanggung jawab tentang penegakan perintah-perintah
Islam dan pencegah larangan-larangan-Nya. Dalam pandangan Islam
orientasi seorang pemimpin terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat
1 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siya>sah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo,
1997), 218.
2 Ibid., 219.
23
yang dipimpin dalam suatu negara. Dalam hal ini Islam tidak
membeda-bedakan antara kepemimpinan negara dengan kepemimpinan
masyarakat.3 Menurut al-Mawardi, Ima>mah dibutuhkan untuk menggantikan
kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.
Dalam pandangan Islam antara fungsi religious dan fungsi politik imam atau
khalifah tidak dapat dipisah-pisahkan, antara keduanya terdapat hubungan
timbal balik yang erat sekali.
Dan adapun kepala daerah yang menguasai wilayah tertentu melalui
jalan damai mempunyai tugas tertentu dan wewenang yang terbatas. Cara
pengangkatannya ialah seorang imam menyerahkan kewenangan untuk
menangani satu daerah atau wilayah beserta penduduknya kepada seseorang
yang diangkat sebagai kepala daerah. Melihat tugas-tugasnya yang terbatas
maka dapat dikatakan bahwa kepala daerah memiliki wewenang yang luas,
tetapi dengan tugas terbatas.4
B. Asas dan tujuan Pemilihan Kepala Daerah
Kebutuhan manusia akan seorang pemimpin sangatlah besar, dan
hal ini pula yang mendasari diciptakannya manusia ialah sebagai khali<fah}
dimuka bumi, seperti dijelaskan dalam alQuran sebagai berikut:
3http;//santrigusdur.com/2015/06/negara-dan-kepemimpinan-dalam-islam/diakses pada 16
Agustus 2016.
4 Imam Mawardi, Ahkmam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Qisthi
Press, 2015), 59.
24
Artinya: Dia-lah yang menjadikan kamu khali<fah-khali<fah di muka
bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya
sendiri, dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang
kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”. (QS.
Fatir: 39).5
Mayoritas ulama abad pertengahan dan pakar politik Islam sepakat
bahwa mengangkat Pemimpin merupakan kewajiban bagi umat Islam dalam
komunitasnya. Secara implisit Allah SWT banyak menyinggung dalam
beberapa ayat alquran tentang pentingnya mengangkat seorang pemimpin.
Terdapat banyak sekali ayat-ayat di dalam alquran bernuansa politik.
Ayat-ayat tersebut merupakan indikator keniscayaan mengangkat seorang
Pemimpin. Selain itu ayat-ayat tersebut menunjukkan betapa urgen dan
signifikannya kedudukan Pemimpin baik yang berhubungan dengan dunia
maupun yang berhubungan dengan agama. Dalam konsep negara Islam,
syari’at telah menggariskan pentingnya mengangkat seorang pemimpin.
Secara eksplisit Allah menegaskan dalam alquran:
.
5 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), 439.
25
Artinya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para
malaikat sesungguhnya Aku (Allah) handak menjadikan khalifah di muka
bumi.” (Qs. al-Baqarah: 30).6
Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia telah diberi tugas dan
amanat untuk memelihara tata kehidupan di muka bumi. Agar keteraturan
dan keseimbangan dalam kehidupan tetap berfungsi efektif bagi kepentingan,
tujuan dan misi keberadaan manusia (ibadah dan khilafah), maka dituntut
adanya keseriusan manusia untuk melakukan penataan secara teratur dan
seimbang.
Agar cita-cita tersebut dapat terwujud, maka menjadi suatu
kewajiban bagi masyarakat (umat) untuk mengangkat seorang pemimpin
yang berfungsi sebagai pengatur dan pengontrol aturan, kepentingan, hak dan
kewajiban baik secara personal maupun kolektif.
Dalam surat yang lain Allah berfirman:
ه
.
Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
6 Ibid., 13.
26
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kau dari jalan Allah”. (QS. Shaad: 26).7
Ayat di atas menunjukkan bahwa keberadaan seorang pemimpin
sangat dibutuhkan untuk menciptakan perdamaian dan menegakkan keadilah
dimuka bumi.
Ada beberapa pendapat tokoh yang menyatakan bahwa pentingnya
mengangkat pemimpin dalam kehidupan bersosial. Salah satunya seperti
yang di paparkan oleh Ibnu Taymiyyah dengan mengatakan, Kesejahteraan
umat manusia tidak dapat diwujudkan kecuali di dalam suatu tata sosial di
mana setiap orang tergantung pada yang lainnya, dan oleh karena itu
masyarakat memerlukan seseorang untuk mengatur mereka.8 Ibnu Taymiyah
melanjutkan, seluruh manusia di atas bumi, baik mereka yang beragama
samawi maupun bukan, bahkan yang tidak beragama sekalipun, mematuhi
raja-raja di dalam masalah yang mendatangkan kesejahteraan kepada mereka
di atas dunia ini.9 Kemuadian Ibnu Taymiyyah menambahkan, Allah telah
membuat manfaat agama dan manfaat-manfaat dunia tergantung kepada para
pimpinan, tidak peduli apakah imamah tersebut merupakan salah satu asas
agama ataupun tidak.10
7 Ibid., 736.
8 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siya>sah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran..., 240.
9 Ibid., 241.
10 Ibid., 242.
27
C. Kedudukan Bakal Calon
Di dalam Islam, gubernur tidak dipilih oleh rakyat. Tetapi diangkat
oleh kepala negara (kha>lifah). Imam al Mawardi dalam kitabnya, al-Ah}kamas}
Sulth}aniyah}, membagi gubernur menjadi dua. Pertama, gubernur yang
diangkat dengan kewenangan khusus (imarah} ‘alaas}-sh}alat}). Kedua, gubernur
dengan kewenangan secara umum mencakup seluruh perkara (imarah}
alaas}-sh}alat} wal kh}araj<). Menurut Al Mawardi, syarat untuk menjadi
gubernur tidak jauh berbeda dengan syarat yang ditetapkan untuk menjadi
wakil kha li<fah (muawin tafwidh).
Sementara Muawin syaratnya sama dengan syarat menjadi
Khali<fah. Jadi secara umum syarat menjadi gubernur sama dengan syarat
menjadi kepala negara.
Perbedaannya hanya pada kekuasaan gubernur lebih sempit
dibandingkan kekuasaan (muawin tafwidh). Baik Gubernur Umum maupun
Gubernur Khusus keduanya tidak boleh dijabat oleh orang kafir dan budak
(bukan orang merdeka).11 Pengakatan Gubernur Provinsi harus dikaji dengan
baik, Jika khali<fah yang mengangkatnya maka menteri t}afwi>d}h}i mempunyai
hak mengawasinya dan memantaunya, menteri t}afwi<d}h}i tidak boleh
memecatnya atau memutasinya dari provinsi satu ke provinsi yang lain.
11 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam
Syariat Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2006), 52.
28
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya, Nidh}amul Hukmi} fi}l
Isla<m, setidaknya ada tujuh syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon
gubernur.12 Yaitu, harus laki-laki, harus merdeka karena kenyataannya
seorang budak tidak memiliki wewenang terhadap dirinya sendiri maka
bagaimana mungkin dia bisa menjadi penguasa atas orang lain atau menjadi
hakim, harus muslim, baligh, berakal, adil, dan Harus mampu melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan yang diberikan kepadanya. Dalam kewenangan
dan kedudukan Gubernur Menurut Fiqh Siya>sah Gubernur mempunyai tugas
dan otoritas tertentu, pengangkatnya ialah khali<fah menyerahkan
kepemimpinan suatu provinsi dan pengayoman seluruh rakyat yang ada
didalamnya kepada seseorang, otoritasnya luas namun tugasnya terbatas.
Tugas-tugasnya adalah sebagai berikut:
1. Mengelola pasukan, meningkatkan kemampuan mereka dalam semua
aspek, dan menentukan gaji mereka. Jika khali<fah teleh menetapkan gaji
mereka maka penetapan gaji oleh khali<fah itu yang berlaku.
2. Memutuskan hukum, mengangkat jaksa dan hakim.Menarik pajak,
memungut sedekah, mengangkat petugas pajak dan petugas sedekah,
serta menentukan siapa saja yang berhak menerima sedekah.
3. Melindungi agama, mempertahankan tanah suci, dan menjaga agama
dari upaya modifikasi dan konversi.
12 Suara Islam.com, di akses pada 16 Agustus 2016.
29
4. Menegakkan hudud (hukuman) dalam hak-hak Allah dan hak-hak
manusia.
5. Menjadi imam dalam shalaat jum’at dan shalat berjamaah, ia sendiri
yang menjadi imamnya atau mewakilkan kepada orang lain.
6. Memberikan kemudahan kepada warganya yang hendak melakukan
ibadah haji dan orang-orang yang tidak termasuk warganya hingga
mereka bisa menunaikan ibadah haji dengan lancar.
Jika provinsinya berbatasan dengan daerah musuh maka ada
tugas-tugas kedelapan, yaitu memerangi musuh-musuh yang ada disekitar
wilayahnya, membagi rampasan perang kepada para tentara, dan mengambil
seperlimanya untuk dibagikan orang-orang yang berhak menerimanya.13
Jika menteri t}afwi<d}h}i (plenipotentiary) yang mengangkat Gubernur
Provinsi maka ada dua kemungkinan, yaitu:
a. Menteri t}afwi<d}h}i tidak dibenarkan memecat Gubernur Provinsi tersebut,
atau memutasinya dari Provinsi ke Provinsi lainnya kecuali atas izin atau
interuksi dari khali<fah. Jika menteri t}afwi<d}h}i dipecat dari jabatannya
Gubernur Provinsi tetap menjabat sebagai Gubernur Provinsi.
b. Menteri t}afwi<d}h}i dalam kapasitasnya sebagai wakil khali<fah
mengangkat Gubernur Provinsi tersebut. Dalam hal ini menteri t}afwi<d}h}i
13 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam
Syariat Islam..., 53.
30
dibenarkan memecat Gubernur Provinsi tersebut dan menggantinya
berdasarkan ijtihad dan pemikirannya untuk mencari yang terbaik.14
c. Gubernur Provinsi dibenarkan mengangkat menteri tanfi<dh}i (pelaksana)
untuk dirinya dengan atau tanpa persetujuan khali<fah. Ia tidak
dibenarkan mengangkat menteri t}afwi<d}h}i untuk dirinya kecuali atas
persetujuan dan interuksi dari khali<fah, karena menteri tanfi<dh}i sifatnya
hanya sebagai pembantu, sedang menteri t}afwi<d}h}i itu mempunyai
otoritas luas.
D. Pemilihan Kepala Daerah Calon Tunggal Menurut Fiqh Siyasah
Pengangkatan pejabat untuk mengurusi perkara kaum muslimin ini
mutlak harus dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan seleksi seselektif
mungkin kepada orang-orang yang hendak memangku jabatan tersebut.
Seperti pejabat-pejabat teras daerah setingkat gubernur, kepala pengadilan,
kepala keamanan mulai dari panglima tertinggi sampai panglima terendah,
dan juga dibidang keuangan, seperti badan pengawas keuangan, menteri
keuangan, serta penarikan pajak dan zakat yang dimiliki oleh kaum muslimin.
Selain itu dalam surat al-Syura ayat 38 juga dijelaskan tentang anjuran untuk
bermusyawarah dalam hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan umat
Islam secara umum dan menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya.
14 Ibid
31
Kehati-hatian dan selektif dalam memilih pejabat juga dilakukan
oleh Umar bin Khathab yang pernah mengatakan “barang siapa yang
mengangkat seseorang untuk peerkara kaum muslimin maka ia angkat orang
tersebut karena cinta dan unsur kekerabatan maka ia telah berkhianat kepada
Allah, Rasul dan kaum muslimin”.15
Umat Islam haruslah selektif dalam memilih seorang pemimpin,
jangan sekali-kali kaum muslimin menyerahkan jabatan kepada orang yang
meminta jabatan, bahkan orang seperti ini tertolak untuk menduduki suatu
jabatan.
Abu Bakar mencalonkan Umar sebagai penggantinya, hal ini
digunakan Faqih untuk membenarkan bay’ah}} oleh satu atau beberapa anggota
ah}l al-ikh}t}iar, dan membenarkan tindakan imam yang sedang berkuasa
mencalonkan penggantinya. Ketika karya-karya fiqih mulai ditulis,
dinasti-dinasti yang turun-temurun telah menguasai sebagian besar negeri
muslim. Dengan membela prinsip pilihan rakyat sebagai satu alternatif maka
teolog dan faqih sunni mengalami dilemma, teori tentang pilihan rakyat
sudah tidak dipakai lagi, dan dinasti telah menjadi penguasa.16
Alasan bahwa bentuk pemerintahan merupakan sebuah ijtihad,
dinasti telah diterima oleh kaum muslimin termasuk ulama terkemuka demi
15 Ibnu Taimiyah, Siya>sah syar’iyah: Etika Politik Islam, penerjemah: Rofi’ Munawar, (Surabaya:
risalah gusti, 1999), 4.
16 Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam, penerjemah: Ena Hadi, (Bandung:
Mizan, 1996), 97.
32
kepentingan umat. Dalam konteks inilah pergeseran dari ah}lul h}a>ll wal ‘aqd}i
ke ah}l asy-syawkah} sebagaimana dipakai al-Ghazali dan ibnu taimiyah dapat
dipahami.17
Al-Mawardi beranggapan bahwa prinsip pencalonan imam akan
penggantinya telah diterima melalui konsensus dan kepemimpnan adalah
sudah menjadi hak kaum muslimin secara umum.18
Apabila berkaca pada masa lalu khususnya dalam hal memilih
pemimpin pada masa Khulafaur Rasyidin, maka akan ditemukan
perbedaan-perbedaan dalam memilih Pemimpin ataupun Khali<fah ataupun
Amirul Mukminin. Perbedaan ini terjadi sebagai salah satu akibat langsung
dari tidak adanya aturan yang jelas dalam memilih dan mengangkat pimpinan
baik dalam alQuran maupun dalam al-Hadis Rasulullah SAW. Pada masa
Rasulullah SAW, karena yang menjadi pemimpin itu adalah beliau sendiri
dengan pengangkatan sebagai Rasul dari Allah SWT, maka tidak ada yang
protes di antara kaum muslimin. Akan tetapi karena Nabi Muhammad SAW
sendiri tidak menentukan siapa penggantinya sebagai pimpinan ummat Islam
dan bagaimana tata cara pemilihannya. maka terjadilah perbedaan di
kalangan ummat Islam. Jika Imam mengangkat Gubernur untuk salah suatu
17 Ibid.
18 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam
Syariat Islam..., 10.
33
provinsi maka jabatannya terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan
khusus.19 Jabatan bersifat umum terbagi menjadi dua bagian:
1. Pengangkatan dengan akad atas dasar sukarela.
2. Penguasaan atas dasar akad atas dasar terpaksa.
Gubernur karena pengangkatan dengan akad atas dasar sukarela
(gubernur must}akfi) mempunyai tugas tertentu dan otoritas tertentu pula.
Pengangkatanya ialah imam (khali<fah) menyerahkan kepemimpinan satu
provinsi dan pengayoman seluruh rakyat yang ada didalamnya kepada
seseorang. Untuk pemerintahan di daerah khali<fah Abu Bakar untuk
meneruskan pola Nabi yang mengangkat para gubernur sebagai kepala
pemerintahan, mereka bertanggung jawab kepada khali<fah namun diberikan
keleluasaan untuk mengangkat para stafnya, pemerintah daerah memiliki
otoritas dan otonomi terbatas sebagai kepala daerah kekuasaan mereka
menyatu antara yang bersifat duniawi dengan yang bernuansa agama.
Artinya para kepala daerah tersebut memegang peranan sebagai pemimpin
agama dan pelaksana pemerintahan.20
Dapat dikatakan bahwa masa Abu Bakar adalah batu ujian pertama
bagi umat Islam untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam setelah
19 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam
Syariat Islam..., 52.
20 Muhammad Iqbal, Fiqh Siya>sah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), 52.
34
Nabi wafat. Abu Bakar dinilai berhasil membangun sebuah sistim yang
bersih, etis serta mengikutsertakan partisipasi segenap warganya.
Sebagaimana dilukiskan Nurcholish Madjid menilai bahwa
masyarakat pada masa Abu Bakr khususnya dan masyarakat Islam klasik
umumnya, merupakan masyarakat yang terlalu modern untuk masa dan
tempatnya. Ia modern dalam hal tingkat komitmen, keterlibatan dan
partisipasinya yang tinggi yang diharapkan dari semua lapisan masyarakat. Ia
juga modern dalam hal keterbukaan posisi kepemimpinan terhadap
kemampuan yang dinilai menurut ukuran-ukuran universal dan dilambangkan
dalam usaha untuk melembagakan kepemimpinan puncak yang tidak bersifat
warisan.21
Pada masa khali<fah Umar Ibn al-Khathtab gubernur diangkat
dengan mempunyai otoritas dan otonomi yang luas, mereka menjalankan
tugas dan fungsi sebagai pembantu khali<fah. Dalam hal rekrutmen pejabat
khali<fah Umar terkenal sangat selektif dan mementingkan profesionalitas
dan kemampuan dalam bidangtugasnya. Disamping itu aspirasi masyarakat
setempat yang berkembang juga didengar oleh Umar, dengan demikian Umar
menjauhkan dari kebijaksanaan nepotisme dan main drop-dropan dari atas
untuk menentukan pejabat, dalam sebuah kasus Umar pernah memecat
21 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), 114.
35
Ammar ibn Yasir sebagai gubernur kuffah karena arus bawah merasa tidak
puas atas kepemimpinannya.22
Pada masa khali<fah Utsman ibn Affan pada dasarnya garis kebijakan
yang akan dilaksanakan Utsman mengacu pada kebijakan khali<fah Abu Bakr
dan Umar. Utsman juga melakukan perluasaan wilayah Islam, untuk
penguasa-penguasa di daerah Utsman juga mengangkat wakil sebagai
gubernur untuk memimpin daerah. Dalam bidang politik, banyak sejarawan
menilai Utsman melakukan praktik nepotisme, ia mengangkat
pejabat-pejabat yang berasal dari kalangan keluarganya meskipun tidak layak
untuk memegang jabatan tersebut. Awal praktik nepotisme ini adalah
pemecatan Al-Mughirah ibn Abi Syu’bah sebagai gubernur kufah dan
digantikan oleh Sa’d ibn al-Ash saudara sepupu Utsman. Namun Sa’d hanya
setahun memimpin karena digantikan oleh Al-Walid ibn Uqbah yang juga
masih saudara seibu khali<fah. Ternyata Walid ini berperangai buruk dan tidak
mencerminkan teladan seorang pejabat.23
Kebijaksanaan seperti ini menimbulkan implikasi yang luas
dikalangan umat Islam, pengangkatan gubernur berdasarkan nepotisme
menimbulkan lahirnya gerakan oposisi. Tokoh sahabat yang terkenal sebagai
pengkritik kebijaksanaan Usman adalah Abu Dzar al-Ghifari, dia menentang
22 Muhammad Iqbal, Fiqh Siya>sah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam..., 58.
23 Ibid., 71.
36
Usman terutama karena nepotisme dan kesenjangan ekonomi yang terjadi
dalam pemerintahannya.24
Pada masa khali>fah Ali ibn Abi Thalib hal pertama yang dilakukan
adalah memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat Utsman
sebelumnya dan menarik kembali untuk Negara tanah yang telah dibagi-bagi
Usman kebada kerabatnya. Ali mengangkat Usman ibn Junaif menjadi
gubernur bashrah menggantikan Abdullah ibn Amir, Umar ibn Shihab
gubernur kufah menggantikan Sa’d ib Al-ash, Ubaidillah ibn Abbas gubernur
Yaman, Qais ibn Sa’d gubernur Mesir, Abdullah ibn Sa’d ibn Abi Sarh dan
Sahl ibn Junaif gubernur Syam. Gubernur-gubernur baru tidak dengan mulus
menggantikan pejabat lama, meskipun sebagian besar mereka diterima di
daerah, tidak jarang pula ada yang menolaknya, bahkan serta merta
Mu’awiyah gubernur Syam masa Utsman mengusir Sahl.25
Dalam masalah Thalhah dan Zubair, Mughirah menasehati Ali agar
menjadikan mereka berdua sebagai gubernur Kufah dan Bashrah namun Ali
mengabaikan usulan ini sehingga membuat Thalhah dan Zubeir kecewa dan
berakhir dengan tragedi perang berunta. Meskipun demikian, menurut
Nurcholish Madjid pemerintahan Ali merupakan contoh komitmen yang kuat
24 Ibid., 73.
25 Ibid., 77.
37
kepada keadilan sosial dan kerakyatan, disamping kesungguhan di ilmu
pengetahuan.26
26 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., 14.
BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015
TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA
DAERAH
A. Ruang Lingkup Pemilihan Kepala Daerah
Dari semua interaksi Pemohon1 dengan pemangku kepentingan
Pemilihan Kepala Daerah, utamanya pada proses dan tahapan Pemilihan
Kepala Daerah Serentak 9 Desember 2015, ditemukan berbagai hal-hal yang
merugikan warga Negara, kehidupan berbangsa dan bernegara, serta
utamanya Sistem Politik dan Sistem Demokrasi yang sedang dikembangkan.
Diantaranya:
1. Partai politik dan gabungan partai politik tidak mau mengusulkan
pasangan calon dengan tujuan (setidaknya potensial) agar Pemilihan
Kepala Daerah di daerah tertentu tidak dapat terlaksana dan ditunda ke
pemilihan serentak selanjutnya.
2. Partai politik dan gabungan partai politik tidak mau mengusulkan
pasangan calon semata karena merasa akan menghabiskan sumber
1
Pemohon adalah Effendi Gazali, Ph.D., MPS ID, M.Si (lahir di Padang, Sumatera Barat, Indonesia, 5 Desember 1966; umur 47 tahun) adalah tokoh Indonesia yang terkenal dengan acara yang digagasnya yaitu Republik Mimpi yang merupakan parodi dari Indonesia dan para presidennya. Effendi sekarang ini merupakan salah satu staf pengajar program pascasarjana ilmu komunikasi Universitas Indonesia. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Effendi_Gazali, di unduh pada 21 Juli 2016)
38
daya, biaya, energi, waktu, dan sebagainya, secara sia-sia karena demikian
3. Kuatnya elektabilitas Petahana (yang umumnya disimpulkan dari
temuan survei ataupun realitas media).
4. Begitu sulit dan rumitnya pemenuhan persyaratan bagi calon
perseorangan pada Pemilihan Kepala Daerah mengakibatkan harapan
untuk tercapainya formula “setidaknya dua pasangan calon” juga
sulit tercapai.
5. Sampai saat permohonan Pengujian Undang-Undang ini didaftarkan,
masih terdapat 7 daerah yang Pemilihan Kepala Daerahnya tertunda
hingga Februari 2017, karena hanya terdapat satu pasangan calon
mendaftar ke KPUD, yakni: Kota Surabaya (Jawa Timur), Kabupaten
Pacitan (Jawa Timur), Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten
Tasikmalaya (Jawa Barat), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), kota
Mataram (Nusa Tenggara Barat), dan Kabupaten Timor Tengah Utara
(Nusa Tenggara Timur).
6. Walau sedang diupayakan juga perpanjangan masa pendaftaran calon di
daerah-daerah ini, namun pada saat yang sama perlu pula dicatat 83
daerah dengan hanya dua pasangan calon terdaftar di KPUD. Jika dalam
tahapan selanjutnya terdapat satu pasangan calon yang karena satu dan
lain hal tidak dapat atau tidak memenuhi syarat untuk maju, maka
Pemilihan Kepala Daerah di sebagian daerah ini pun berpotensi tertunda
39
Pada saat Perbaikan ini disampaikan memang telah terjadi
perubahan komposisi daerah dengan Calon Kepala Daerah Tunggal, dimana
7 daerah berkurang menjadi hanya 4, namun terdapat pertambahan 3 daerah
lain yang dibuka kembali pendaftaran Pasangan Calonnya karena hanya
menyisakan Calon Tunggal.
Walau dipermukaan dilakukan upaya memperpanjang masa
pendaftaran pasangan calon di daerah-daerah yang hanya memiliki satu
pasangan calon terdaftar di KPUD, namun sesungguhnya terdapat juga
masalah substansial yang amat perlu diteliti secara mendalam dan hati-hati,
yaitu dipersiapkannya calon boneka oleh sekelompok pasangan calon dalam
rangka menghindari ketentuan mengenai setidaknya terdapat dua pasangan
calon pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak 9 Desember. Hal tersebut
dapat dicapai dengan berusaha mendapatkan dukungan (sebagian di
antaranya dengan cara transaksional) dari sebagian besar partai politik
sehingga pasangan calon lawan terkuat tidak dapat maju, lalu kelebihan
persyaratan dari dukungan partai politik yang didapatnya diberikan pada
pasangan calon boneka. Strategi ini jelas membuatnya akan terpilih secara
aman. Bahkan dari aspek biaya (pendekatan transaksional), juga diasumsikan
lebih ringan. Mereka hanya membayar di depan dengan pendekatan
transaksional pada partai-partai politik, lalu tidak akan terlibat dalam
kompetisi dan biaya yang sungguh-sungguh pada masa selanjutnya
(kampanye dan seterusnya hingga hari pemungutan suara), karena
40
fenomena bagaimana pasangan calon yang mengatur secara teliti agar lawan
terkuatnya tidak mendapatkan tiket dari partai-partai politik, dan jauh
sebelumnya mereka telah mempersiapkan calon boneka yang maju lewat
jalur perseorangan (untuk memenuhi persyaratan sedikitnya terdapat dua
pasangan calon). dan secara khusus sejak 1 Maret 2015 hingga saat ini dalam
rangka Pemilihan Kepala Daerah Serentak 9 Desember 2015, telah
menemukan fenomena calon tunggal yang beriringan dengan calon boneka
yang sangat bertentangan dengan UUD 1945 dan sangat merugikan hak
memilih warga negara dan hak-hak warga negara mendapatkan
pembangunan yang berkesinambungan.
Dalam hal ini Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia
yang disebut dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yang telah
berusia 17 tahun dan/atau sudah kawin sehingga mempunyai hak untuk
memilih; serta merupakan warga negara Indonesia yang selalu aktif
melaksanakan hak pilih dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Pemohon juga berpotensi segera mengalami kerugian konstitusionalnya pada
Pemilihan Kepala Daerah untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
dengan potensi ancaman pasal-pasal UU 8/2015 yang diuji ini. Bahkan
secara umum kerugian potensial ini bisa dialami seluruh daerah di Indonesia.
Dan yang paling utama, serta jarang diperhatikan oleh pemangku
kepentingan UU 8/2015 adalah bahwa Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 telah
menyatakan “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk
41
Republik”, dengan demikian semua diskriminasi terhadap warga negara di
daerah manapun yang mengakibatkan kerugian konstitusional warga negara
serta ketidaksinambungan pembangunan di daerah tersebut, pada dasarnya
akan mengakibatkan kerugian yang saling berkaitan dengan seluruh Negara
Kesatuan dan Warga Negara Republik Indonesia. Atau setidaknya, dapat
dikatakan bahwa: Rakyat atau Warga Negara di daerah tertentu yang
Pilkadanya mengalami penundaan, tidak terpenuhi hak-nya untuk dipimpin
oleh Kepala Daerah yang dipilihnya, yang memiliki legitimasi yang sah,
yang sudah diketahui visi dan misinya, sama seperti daerah-daerah lain di
seluruh NKRI. Hal ini secara nyata dapat diasumsikan sebagai "terdapatnya
potensi ketidaksinambungan pembangunan di daerah tersebut".
B. Asas dan tujuan Pemilihan Kepala Daerah
Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
42
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945). Pasal 10 ayat (1)2 Putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and
binding).
Permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang, in casu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678, selanjutnya disebut UU
8/2015) terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah
berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Kedudukan Hukum (Legal
Standing) Pemohon.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang
dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
43
1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya
suatu Undang-Undang, yaitu:
1. Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama).
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
3. Badan hukum publik atau privat.
4. Lembaga negara.3
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. Kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.
b. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; serta putusan-putusan selanjutnya Mahkamah telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
1) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945.
2) Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
3) Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
3
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015, 35.