• Tidak ada hasil yang ditemukan

SMARTPHONE DALAM AKTIVITAS BELAJAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SMARTPHONE DALAM AKTIVITAS BELAJAR"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SMARTPHONE

DALAM AKTIVITAS BELAJAR

SISWA MELALUI

SCHOOL-WIDE POSITIVE

BEHAVIOR SUPPORT

Nur Erlinasari

SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta e-mail: erlina_bkiuin08@yahoo.com

Abstrak

Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini ialah untuk mengarahkan siswa agar dapat menggunakan smartphone secara tepat guna dan tepat waktu melalui School-Wide Positive Behavior Support (SWPB). Penelitian dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta dengan metode Penelitian Tindakan Kelas menggunakan desain Spiral

Self-Reflective yang terdiri dari tahap perencanaan, tahap tindakan, dan tahap refleksi selama

2 siklus. SWPB dilaksanakan dalam bentuk layanan konseling kelompok dan konseling invidual dimana para siswa yang menerima layanan dipilih secara purposif. Pengumpulan data selama siklus berlangsung dikumpulkan melalui teknik observasi, pengisian angket, dan wawancara. Melalui proses layanan konseling kelompok dan konseling individual dengan prinsip SWPB siswa berhasil mengelola diri untuk tidak menggunakan smartphone selama KBM dan disimpulkan bahwa siswa dapat menggunakan smartphonesesuai kontrak belajar.

Kata kunci: konseling individual;konseling kelompok; penggunaan smartphone;

(2)

PENDAHULUAN

Ponsel pintar atau smartphone

merupakan kebutuhan yang signifikan

bagi masyarakat di era ini, bahkan sudah banyak digunakan dalam pembelajaran oleh guru maupun siswa. Lee (2014: 20) melakukan penelitian pada 314 siswa menengah atas dan mendapatkan bahwa 84% memiliki smartphone. Ponsel dapat dimanfaatkan untuk mengunduh sumber belajar (Miranda, et al., 2011: 81). Juga dapat mengatasi hambatan-hambatan belajar yang terjadi di era sebelumnya, dimana model perangkat seperti smartphone

memberikan inovasi, membantu siswa, guru, dan orang tua memperoleh akses belajar dengan mudah (West, 2013: 1). Saat ini pun hampir seluruh sekolah dan guru di sekolah menengah atas memperbolehkan siswa mereka untuk membawa ponsel dan smartphone ke dalam lingkungan sekolah bahkan ke dalam kelas karena persepsi para guru sudah mulai berkembang mengenai

smartphone, bahwa fitur-fitur yang tersedia dalam ponsel saat ini dapat membantu siswa dalam menyelesaikan tugas sekolah (O’Bannon & Thomas, 2014: 15).

Namun penggunaan smartphone

di sekolah bertahap menimbulkan d a m p a k - d a m p a k y a n g t i d a k diharapakan. Letaknya bukan pada bagaimana ponsel pintar tersebut dapat bekerja atau dioperasikan, namun pada kesiapan, kedewasaan, dan kebijaksanaan pengguna smartphone

di kalangan siswa. Para siswa di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta membawa ponsel ke sekolah, terutama

pada kelas XI IPA 7 menggunakannya selama aktivitas belajar di kelas; bermain game, menggunakan headset, dan membuka media sosial. Sebanyak 18 (dari total 33 siswa kelas XI IPA 7 Muhammadiyah 1 Yogyakarta) siswa menjelaskan mengapa para siswa menggunakan smartphone bersamaan dengan KBM, yakni faktor utamanya k a r e n a b o s a n , t i d a k m e m a h a m i penjelasan guru, dan lebih senang membaca materi dari website karena lebih mudah dipahami. Para siswa lebih suka mencari materi di internet karena lebih lengkap dibandingkan materi dalam buku.

Masalah penggunaan smartphone

yang tidak tepat guna dan tidak tepat waktu tentunya perlu mendapatkan solusi dan dukungan dari segenap pimpinan dan para guru di sekolah. Untuk menciptakan dukungan dari seluruh pihak maka School-Wide Positive Behavior Support (SWPB) dapat menjadi alternatif. SWPB merupakan strategi untuk menangani permasalahan tingkah laku melalui

(3)

(Horner, Sugai & Anderson, 2010: 5; Coffey & Horner, 2012: 407; Bliese, 2013: 131).

P a d a A g u s t u s 2 0 0 9 t e r c a t a t lebih dari 1000 sekolah di Amerika mengadopsi SWPBS (Bradshaw, Koth, Thornton & Leaf, 2009: 100) dengan tiga tahapan impelementasi, yaitu primary intervention, secondary intervention, dan tertiary intervention dimana setiap tahapannya mengandung penerapakan

yang spesifik dan mengandung sistem

yang digunakan untuk mengarahkan i m p l e m e n t a s i ( S a i l o r, D u n l a p , Sugai & Horner, 2009: 44). SWPBS seringkali digunakan untuk mengatasi permasalahan kedisiplinan belajar siswa di sekolah untuk meningkatkan kedisiplinan siswa (Jovilette, et al, 2014: 63). Dan ditujukan untuk meningkatkan perilaku sosial dan

school-level academic achievement

(Gage, et al, 2013: 17).

Kecanggihan teknologi juga dapat diintegrasikan dalam menerapkan SWPBS. Seperti yang dilakukan oleh Bromley (2012: 340) yaitu menerapkan

classroom reading dengan pemanfaatan

smartphone. Sementara Miranda, et al (2011: 89) menjelaskan bahwa penggunan e-reader di kalangan siswa berhasil meningkatkan kemampuan membaca siswa walau pun melalui proses yang tidak singkat. Tillmann, et al (2012: 157) mengemukakan bahwa kecanggihan teknologi ponsel yang eksis di era digital ini telah menggantikan era kertas, maka para guru perlu untuk melakukan inovasi pengarajan menggunakan metode yang dekat dekat trend smartphone

untuk memperluas kefektifan mengajar.

Studi di Korea Selatan menunjukkan b a h w a p e n g g u n a a n s m a r t p h o n e

dalam pembelajaran berdampak pada peningkatan prestasi belajar siswa (Hur & Oh, 2012: 295).

Secara empiris primary prevention

dari SWPBS berhasil digunakan dan menunjukkan hasil yang diinginkan dalam jengka waktu 4-6 hari untuk siswa (Bradshaw, et al, 2009: 152). Demikian Bradshaw, Mitchell & Leaf (2010: 140) mengemukakan hasil bahwa SWPBS yang dioperasionalkan di sekolah secara konsisten menunjukkan penurunan angka layanan konseling karena para siswa mendapatkan prestasi akademik yang lebih baik. Implementasi SWPBS pada tahapan dasar berhubungan dengan berkurangnya perilaku bermasalah siswa dalam hal kedisiplinan, disrupsi, dan akademik dan meningkatkan sistem keamanan sekolah bagi siswa (Nelson, Hurley, Synhorst & Epstein, 2008: 29). Pengguna SWPBS di sekolah telah meningkatkan outcome akademik siswa, di mana SWPBS difokuskan pada keterhubungan antara perilaku bermasalah dengan performa akademik siswa (McIntosh, Flannery, Sugai, Braun & Cochrane, 2008: 66; McIntosh, Bennet, & Price, 2011: 46).

Mengacu pada fokus permasalahan b a h w a s i s w a m e n g g u n a k a n

(4)

smartphone secara tepat guna dan tepat waktu dalam KBM melalui School-Wide Positive Behavior Support.

Penelitian ini menggunakan jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan desain Spiral Self-Reflective

yang terdiri dari tahap perencanaan, tahap tindakan, dan tahap refleksi. Terdapat dua siklus dalam model ini yaitu:

Tabel 1. Spiral Self-Reflective

Siklus I 1. Perencanaan tindakan 2. Pelaksanaan tindakan 3. Merefleksikan proses dan

hasil tindakan 4. Perencanaan ulang Siklus II 1. Pelaksanaan tindakan

berdasarkan hasil refleksi dan perencanaan ulang 2. Merefleksikan

pelaksanaan siklus II 3. Menyusun hasil

pelaksanaan kedua siklus

Dalam kedua siklus model spiral

self-reflective ini peneliti menggunakan

school-wide positive behavior support

sebagai tindakan pembelajaran dalam ranah layanan bimbingan dan konseling untuk mengatasi masalah siswa yang telah teridentifikasi sebelumnya. Responden penelitian ialah 7 siswa yang dipilih secara purposif melalui pertimbangan: (1) responden merupakan siswa XI IPA 7 SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta; (2) responden selalu mengulangi penggunaan smartphone

bersamaan dengan jam pelajaran. Peneliti bersama satu tenaga observer melakukan pengamatan selama PTK berlangsung. Objek yang akan diobservasi yaitu: (1) materi

layanan (pembelajaran); (2) aplikasi teknik positive behavior dalam kelas; (3) fokus pengamatan siswa dalam kelas; (4) perubahan pola kebiasaan penggunaan smartphone dalam kelas; (5) komunikasi antara siswa dan guru BK; dan (6) kegiatan yang dilakukan dalam kelas.

Angket semi tersusun dan semi terbuka digunakan untuk mengumpulkan data mengenai sudut pandang siswa terkait dengan bagaimana school-wide positive behavior dapat membantu siswa mengatasi masalah belajar, bagaimana perubahan sikap belajar siswa dengan memperbaiki kebiasaan penggunaan

smartphone, dan bagaimana respon siswa terhadap dukungan semua guru mata pelajaran di dalam kelas.

Wawancara dipersiapkan untuk para siswa yang tidak dapat mengatasi gangguan penggunaan smartphone

meskipun telah mengikuti sesi konseling kelompok. Wawancara sekaligus dilakukan dalam sesi konseling individual untuk lebih lanjut mengetahui hambatan dan faktor terberat bagi siswa dalam mengembangkan sikap dan motivasi belajar di dalam kelas terkait dengan penggunaan smartphone.

(5)

kepada siswa terkait dan dari guru mata pelajaran; (d) menganalisa semua jenis data yang diperoleh dari 3 jenis data di awal; dan (e) menyusun rancangan

school-wide positive behavior support

yang sesuai dengan hasil diagnosis gangguan penggunaan smartphone

dalam kelas.

Kegiatan dalam tahap perencanaan berupa: (1) membuat rencana pelayanan BK dalam kerangka school-wide positive behavior sesuai dengan hasil

need assessment siswa; (2) menyiapkan lembar observasi dan angket semi terstruktur sebagai alat pengumpul data selama tindakan berlangsung; (3) mensosialisasikan bentuk layanan

positive behavior pada para guru, tujuan dari layanan dan manfaatnya bagi siswa; (4) menjalin kerjasama dengan para guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan rancangan layanan positive behavior; (5) menempatkan seluruh subjek p e n e l i t i a n y a n g t e r i d e n t i f i k a s i menggunakan smartphone dalam kelas untuk mendapatkan konseling kelompok; (6) mengatur pertemuan konseling individual bagi subjek yang memiliki masalah lebih krusial dalam penggunaan smartphone beserta dampaknya terhadap kegiatan dan motivasi belajar.

Tahapan observasi ini berisi kegiatan: (a) mengisi lembar observasi mengenai aktivitas pemberian school-wide positive behavior support dalam seting konseling kelompok; (b) mengamati bentuk dukungan guru terhadap penerapan positive behavior; (c) dan mencatat hal-hal penting yang terjadi selama pemberian layanan

positive behavior diberikan pada siswa.

Data observasi kemudian dijadikan materi untuk melakukan organisasi dan analisis data guna menyusun dan

menyimpulkan hasil penelitian. Refleksi

pada siklus PTK pertama dilakukan untuk mengorganisir dan menganalisa data dari tindakan pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya dalam siklus pertama dan kesimpulannya untuk melakukan perbaikan pada pembelajaran siklus 2. Sebelum memasuki tindakan siklus kedua, peneliti menyusun kembali rencana tindakan pembelajaran untuk siklus 2 berdasarkan data-data

yang telah disimpulkan dalam refleksi siklus 1, dan refleksi siklus tindakan

pembelajaran kedua dilakukan setelah mengobservasi tindakan siklus 2. Siklus kedua merupakan siklus PTK terakhir yang memberikan data akhir mengenai hasil penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus 1

Pertemuan Pertama

(6)

Tabel 2. Bentuk Kolaborasi Guru BK dan Guru Mapel

No Tahapan Kolaborasi 1 a. Sosialisasi SWPB

b. Konsekuensi dari pelanggaran kontrak belajar

c. Smartphone siswa yang telah disita kemudian diserahkan pada guru BK

d. Siswa yang ponselnya disita mendapatkan layanan sebelum mendapatkan ponselnya kembali 2 a. G u r u B K d a n g u r u m a p e l

mendiskusikan materi yang akan disajikan dengan memanfaatkan smartphone

b. G u r u m a t a p e l a j a r a n men y elan g g ar ak a n ak tiv ita s pelajaran dengan memanfaatkan smartphone sebagai sumber belajar berkaitan dengan materi yang dibahas dan tugas yang harus dikerjakan siswa dalam kelas

Guru menerapkan kontrak belajar dengan siswa untuk materi pelajaran yang tidak perlu menggunakan dan tidak diperkenankan menggunakan

smartphone selama aktivitas belajar. Guru dan para siswa menyepakati bahwa dalam materi pelajaran tertentu guru menyampaikan bahwa tidak satu pun dari siswa yang diperkenankan menggunakan ponsel pintar baik untuk mencari materi, mendengarkan musik, membalas pesan di ponsel atau media sosial, dan bermain game. Konsekuensinya jika ada siswa yang melanggar maka guru mata pelajaran berhak menyita smartphone siswa yang bersangkutan untuk sementara waktu dan menyerahkannya pada guru BK, maka untuk mendapatkan ponsel kembali siswa akan perlu menemui

guru BK dan mendapatkan layanan dari guru BK.

Setelah membuat kontrak belajar b e r k e n a a n d e n g a n p e n g g u n a a n

smartphone selama dalam kelas, siswa diberi waktu untuk membaca materi dalam buku teks secara mandiri, k e m u d i a n s i s w a m e n d e n g a r k a n penjelasan guru, dan bertanya mengenai hal-hal yang tidak dipahami dari materi pelajaran. Sebagian besar siswa sudah terlihat tidak menggunakan

s m a r t p h o n e s e l a m a g u r u t i d a k menginstruksikan siswa untuk mencari sumber belajar dari internet. Siswa menyimpansmartphonedi dalam tas dan saku seragam. Dari keseluruhan observasi, ada siswa tertentu yang menggunakan smartphone untuk media sosial dan bermain game dengan cara sembunyi-sembunyi, memegang

smartphone di bawah meja agar tidak terlihat oleh guru.

Kontrak belajar ini berjalan efektif bagi sebagian besar siswa, namun masih ada beberapa siswa yang menggunakan ponsel secara sembunyi-sembunyi seperti memposisikan ponsel di bawah laci meja dan menyembunyikan

earphone di balik kerudung untuk mendengarkan musik.

Pertemuan Kedua

G u r u m a t a p e l a j a r a n m u l a i mendesain metode mengajar dengan tidak hanya mendeskripsikan materi (terutama pelajaran ilmu sosial), namun bagaimana mengarahkan para siswa untuk memanfaatkan smartphone dalam kelas. Fokus dalam strategi kedua ini ialah pada bagaimana smartphone

(7)

sebagai referensi kedua setelah buku teks.

Pada mata pelajaran PPKn, guru membimbing siswa untuk mengunduh buku elektronik yang relevan dengan mata pelajaran. Terdapat dua materi pelajaran, masing-masing dalam pertemuan yang berbeda. Pertama, siswa ditugaskan untuk membuat opini. Untuk menguatkan opini siswa dipersilakan untuk mengutip dari buku teks maupun artikel dari internet. Pada materi kedua guru menjelaskan pembahasan terlebih dahulu. Selama proses pembelajaran tersebut siswa memanfaatkan smartphone untuk memperoleh referensi mengenai tugas yang diberikan. Siswa sangat terbantu dengan smartphone sebagai sumber belajar dalam mengerjakan tugas.

SWPB yang dilaksanakan secara kolaboratif dengan guru mata pelajaran berhasil diterapkan dalam KBM di kelas, terutama dalam mengarahkan siswa untuk menggunakan smartphone

secara tepat guna dan tepat waktu. Berikut pendapat siswa mengenai

smartphone sebagai media belajar.

15%

80% 5%

Penting untuk semua pelajaran

Penting untuk pelajaran tertentu

Tidak penting sama sekali

Gambar 1. Opini Siswa Mengenai Pemanfaatan Smartphone dalam

Pembelajaran

Sebanyak 80% siswa berpendapat bahwa smartphone dapat bermanfaat

dalam proses belajar namun harus d i s e s u a i k a n d e n g a n m a t e r i d a n tidak semua pelajaran memerlukan

smartphone sebagai media. Sebaliknya 1 5 % s i s w a m e n g a t a k a n b a h w a pelajaran apa pun dapat memanfaatkan

smartphone sebagai media belajar karena semua materi dapat dicari melalui internet. Sementara 5% siswa berkeyakinan bahwa smartphone justru menganggu aktivitas belajar di kelas dan lebih baik tidak menggunakannya dalam pembelajaran.

S e b a g i a n b e s a r s i s w a h a n y a m e n g g u n a k a n p o n s e l n y a s e s u a i instruksi guru mata pelajaran saat guru mewajibkan siswa mengerjakan tugas dalam kelas dan harus diselesaikan saat itu juga, maka dalam metode belajar yang demikian siswa mencari materi dan referensi dari internet. Namun demikian, masih terdapat beberapa siswa yang menggunakan smartphone selain

untuk keperluan aktifitas belajar. Maka

sejumlah 7 siswa tersebut mendapatkan layanan konseling kelompok.

L a y a n a n k o n s e l i n g s e c a r a kolaboratif dalam kerangka SWPB dilakukan agar guru juga mengambil peran dalam mengarahkan siswa untuk menggunakan smartphone. Siswa bukan sepenuhnya dilarang menggunakan

smartphone dalam kelas, melainkan bagaimana dan untuk apa smartphone

digunakan selama KBM.

(8)

teknologi (Horner, Sugai & Anderson, 2010: 5; Coffey & Horner, 2012: 407; Bliese, 2013: 131).

Pertemuan Ketiga

K o n s e l i n g k e l o m p o k h a n y a diberikan pada siswa yang melanggar kontrak belajar yang telah disepakati oleh siswa dan guru mata pelajaran. Sejumlah 7 siswa di kelas XI IPA 7 didapati selalu menggunakan smartphone untuk selain keperluan belajar, terlebih saat

smartphonesedang tidak dibutuhkan sebagai media belajar. Konseling kelompok yang diberikan menekankan pada: (1) positive behavior, yakni pada bagaimana siswa bisa mengendalikan keinginannya untuk menggunakan

smartphone yang dapat mengganggu pemahaman terhadap materi pelajaran; dan (2) peer group utilization, yakni memanfaatkan dukungan antara teman sebaya dalam konseling kelompok untuk saling mengungkapkan ekspresi emosi dan pikiran, saling mendukung untuk tidak menggunakan smartphone dalam kelas saat guru tidak memperbolehkan, dan saling berbagi solusi. Teknik kedua dalam konseling kelompok ini juga dapat membentuk dinamika kelompok dalam proses konseling.

Konselor

Konseli Positive behavior

Peer-group Utilization

Guru mata pelajaran

Gambar 2. Model Konseling Kelompok Menggunakan

School-Wide Positive Behavior

Selama sesi konseling kelompok, konselor menekankan pada positif behavior, yakni bagaimana agar siswa dapat mengontrol diri sendiri agar tidak selalu ingin menggunakan smartphone

selama tidak dibutuhkan dalam aktivitas belajar dalam kelas. Dalam hal ini konselor mengajarkan coping skill

pada siswa. Coping skill yang diajarkan berupaself-talk dan self-evaluation

meliputi: (1) memposisikan prioritas antara pelajaran dan smartphone; (2) menimbang secara rasional kerugian yang didapatkan diri sendiri jika menggunakan smartphone dalam kelas; (3) menilai perilaku lampau mengenai apa yang terjadi pada diri sendiri saat menggunakan smartphone selama pembelajaran berlangsung; dan (4) membuat komitmen pada diri sendiri agar tidak menggunakan smartphone

kembali saat pelajaran berlangsung. Dalam proses konseling, konselor tidak hanya memposisikan diri sebagai pemberi layanan, namun mengarahkan siswa untuk memanfaatkan kelompok. Pemanfaaan kelompok antar teman sebaya, di sini siswa saling berbicara satu sama lain dengan dipimpin oleh konselor, siswa secara bergantian mengungkapkan alasan mengapa siswa menggunakan smartphone selama pelajaran berlangsung. Berdasarkan keterangan siswa, faktor dominan ialah karena siswa merasa jenuh dengan mata pelajaran yang disampaikan secara deskriptif menggunakan metode ceramah dan selebihnya penugasan.

(9)

tersebut tepat atau tidak, terakhir siswa saling memberi masukan mengenai solusi dari permasalahan dan memiliki k o m i t m e n u n t u k b e r s a m a - s a m a mengubah perilaku belajar ke arah yang lebih positif.

Penerapan konseling kelompok ini memperhatikan kriteria dalam SWPB yaitu: disesuaikan dengan kondisi

siswa, mendapatkan data yang spesifik

mengenai perilaku siswa yang akan mendapatkan layanan, target layanan yang ingin dicapai disesuaikan dengan kelas yang siswa tempati, populasi target memiliki perilaku tertentu yang diarahkan pada perbaikan perilaku, pelayanan didukung oleh kepala sekolah dan para guru, fokus pada penanganan perilaku bermasalah, dan terdapat teori konseptual sebagai landasan untuk menerapkan analisis behavioral.

Guru BK mengkomunikasikan hasil layanan konseling kelompok yang telah diberikan pada siswa kepada guru mata pelajaran dan meminta kerjasama dari guru mata pelajaran untuk turut serta mengamati apakah ada perubahasan perilaku di dalam kelas pada ke-7 siswa pasca konseling kelompok. Hasil pengamatan guru mata pelajaran menjadi evaluasi bagi guru BK untuk memutuskan intervensi selanjutnya jika

belum ada perubahan yang signifikan.

Akhirnya didapatkan hasil bahwa 5 dari 7 siswa menunjukkan perubahan p o s i t i f ; s i s w a m a m p u m e n g a t u r diri sendiri dalam menggunakan

smartphone; siswa-siswa tersebut tidak lagi menggunakan ponselnya kecuali diperbolehkan oleh guru mata pelajaran. Layanan konseling kelompok menunjukkan adanya integrasi antara

perilaku siswa dan kegiatan belajar sehingga meningkatkan perilaku dan pembelajaran yang lebih baik.

S e m e n t a r a 2 s i s w a l a i n n y a menunjukkan tidak adanya perubahan perilaku penggunaan smartphone

dalam kelas. Kedua siswa tersebut dalam konseling kelompok menyatakan bahwa tidak memiliki minat terhadap mata pelajaran, nilai hasil belajar rata-rata, tidak antusias terhadap mata pelajaran apa pun, dan selalu menggunakan smartphone selama pelajaran berlangsung di hampir setiap mata pelajaran.

Siklus 2

Pertemuan Pertama

K e d u a s i s w a s e c a r a t i d a k bersamaan mendapatkan layanan konseling individual. Pada siswa dan siswi tersebut, guru BK menekankan pada perubahan perilaku dengan mulai mengenali minat terhadap mata pelajaran, mengganti arah penggunaan

(10)

Tabel 3.Proses Konseling Individual

Konseli Tahapan Konseling

Siswa AL

a. Membangun rasa kepercay-aan dan keterbukkepercay-aan siswa

b. Mengidentifikasi

faktor-faktor eksternal dan internal c. Mencari tahu minat belajar

siswa

d. Berkolaborasi dengan guru e. Melatih siswa untuk

melakukan coping skill f. Komitmen untuk

menerap-kan coping skill Siswa

NA

a. Mendalami faktor penye-bab mengapa siswa tidak memiliki minat terhadap KBM

b. Mengidentifikasi faktor

lingkungan dan dukungan orang tua

c. Menganalisa pelajaran apa yang sedikit diminati oleh siswa

d. Siswa mendapatkan latihan coping skill berkaitan de-ngan penggunaan smart-phone yang menganggu aktivitas belajar dalam kelas

e. Siswa membuat komitmen untuk menerapkan coping skilldan mengembangkan minat belajar

Melalui konseling individual, siswa mulai memahami faktor yang mempengaruhi sikap belajar dan minat siswa terhadap mata pelajaran. Melalui komunikasi yang lebih intensif siswa bersedia menjelaskan mengenai alasan-alasan mengapa tidak memiliki minat terhadap aktivitas belajar dalam kelas sehingga menggunakan smartphone

dalam kelas. Dalam sesi pertama ini siswa merencanakan tahapan penyelesaian masalah mulai dari faktor

internal, yaitu mengenali minat terhadap mata pelajaran dan menerapkan coping skill yang telah diajarkan untuk berusaha tidak memprioritaskan smartphone

dalam kelas.

Pertemuan Kedua

Kedua siswa sebagai konseli dalam konseling individual telah menerapkan

coping skill berupa self-talk dan self-understanding yang sebelumnya telah dipraktekkan pada sesi pertama. Namun siswa masih mengalami kendala untuk tidak menggunakan smartphone

selama aktivitas belajar, terutama dalam penggunaan sosial media. Untuk itu, pada pertemuan kedua, kedua siswa mendapatkan intervensi-intervensi berupa:

Tabel 4.Konseling Individual Sesi 2

Tahapan Konseling 1. Mengenali faktor eskternal

2. Merubah letak penyimpanan dan pengaturan smartphone saat dalam kelas

3. Siswa mempertimbangkan dampak penggunaan smartphone materi pelajaran dan pada prestasi belajar 4. Mempertimbangkan

konsekuensi-k o n s e konsekuensi-k u e n s i l a i n n y a y a n g d p a t merugikan diri sendiri

5. Menumbuhkan rasa malu karena permasalahan yang siswa perbuat 6. Berkomitmen pada diri sendiri untuk

merealisasikan perencanaan yang dibuat dalam konseling individual 7. Meminta pantauan guru kelas terutama

(11)

Kegiatan yang dilakukan oleh konselor dan konseli lebih memfokuskan pada bagaimana mengurangi kebiasaan menggunakan smartphone yang tidak dibutuhkan dalam aktivitas belajar dalam kelas. Dalam realisasinya dalam kelas siswa AL terlihat seperti siswa lainnya yang mengikuti pembelajaran s e b a i k m u n g k i n , m e l e t a k k a n

smartphone dalam tas, merubah seting

notifikasi sosial media sehingga tidak

mengetahui saat ada pesan, dan siswa AL tidak terlihat bermalas-malasan selama KBM.

S e m e n t a r a s i s w a N A j u g a melakukan hal yang sama dan tidak lagi membolos keluar dari kelas saat KBM. Siswa NA tetap meletakkan

smartphone dalam saku seragam namun

tidak memakai notifikasi apa pun pada

sosial media sehingga tetap fokus pada materi pelajaran yang disajikan guru hingga KBM berakhir. Self-talk

dilakukan sebelum memulai KBM dan sangat membantu siswa untuk mengarahkan diri lebih fokus dan serius pada pelajaran.

S i s w a A L d a n N A b e r h a s i l m e n e r a p k a n c o p i n g s k i l l d a n menjalankan komitmen yang telah dibuat dalam konseling sesi ke-2 berkaitan dengan tempat menyimpan

dan pengaturan notifikasi smartphone

sehingga faktor eksternal penyebab masalah tersebut dapat teratasi. Hasil observasi menunjukkan bahwa siswa tidak menggunakan smartphone selama proses KBM berlangsung sesuai dengan komitmen dalam konseling dan kontrak belajar dengan guru yang memang sudah disepakati bersama.

Dalam konseling individual coping

skill merupakan hal yang penting untuk dibekali pada siswa sehingga siswa memiliki kepekaan dalam memahami masalah dan tahu bagaimana mengatasi masalah secara mandiri sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Hasil yang dicapai dalam siklus 2 ini sejalan dengan peneraparan SWPB oleh peneliti terdahulu yang menunjukkan bahwa SWPB menurunkan angka layanan konseling (Bradshaw, Mitchell & Leaf, 2010: 140), berkurangnya masalah kedisiplinan, disrupsi, dan akademik (Nelson, Hurley, Synhorst & Epstein, 2008: 29), dan dapat mengatasi perilaku

bermasalah yang signifikan (McIntosh,

Bennet, & Price, 2011: 46).

PENUTUP

SWPB dapat mengarahkan siswa untuk menggunakan smartphone

secara tepat guna dan tepat waktu. Pada siklus 1 SWPB dilaksanakan dalam bentuk konseling kelompok yang berfokus pada positive behavior dan memanfaatkan dinamika peer-goup. Melalui konseling kelompok ini siswa berhasil mengendalikan perilakunya d a l a m p e n g g u n a a n s m a r t p h o n e

dan saling mendukung untuk tidak menggunakan smartphone dalam kelas. Layanan konseling individual pada siklus 2 membantu siswa dalam memahami masalah yang ditimbulkan oleh penggunaan smartphone terhadap pembelajaran, mengetahui faktor penyebab internal maupun eksternal, m e n e n t u k a n s o l u s i d a n s t r a t e g i pemecahan masalah, menerapkan

(12)

kebiasaan yang memicu siswa untuk selalu ingin menggunakan smartphone

dalam kelas. Di akhir siklus seluruh responden dapat mengarahkan perilaku p e n g g u n a a n s m a r t p h o n e u n t u k kebutuhan belajar selama KBM sesuai

aktifitas dan kontrak belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Bliese, J. 2013. The Effects of School-Wide Positive Behavior Supports.

Dissertation. Baker University: Graduate Department and Faculty of The School of Education. Bradshaw, C., Debnam K., Koth, C.,

& Leaf, P. 2009. Preleminery Validation of The Implementation Phases Inventory for Assessing Fidelity of School-Wide Positive Behavior Supports. Journal of Positive Behavior Interventions. 11(3), p. 145-160.

Bradshaw, C., Koth, T., & Leaf. 2009. Altering School Climate Through School-wide Positive Behavioral Interventions and Supports: Findings from a Group-Randomized Effectiveness Trial.

Prevention Science. Vol.10, p.100-115.

Bradshaw, C., Mitchell, M., & Leaf, P. 2010. Examining the Effects of School-wide Positive Behavioral Interventions and Supports (PBIS) on Student Outcomes: Results from a Randomized Controlled Effectiveness Trial in Elementary Schools. Journal of Positive Behavior Interventions. Vol. 12, No. 3, p.133-148.

McIntosh, K., Flannery, K. B., Sugai, Ge., Braun, D., & Cochrane, K. 2008. Relathionships Between A c a d e m i c s a n d P r o b l e m B e h a v i o r i n t h e Tr a n s i t i o n From Middle School to High School. Journal of Positive Behavior Interventions. DOI: 10.1177/1098300708318961. Bromley, K. 2012. Using Smartphones

to Suplement Classroom Reading.

T h e R e a d i n g Te a c h e r. Vo l . 66(4), p.340-344. DOI: 10.1002/ TRTR.01130.

Coffey, J.H., & Horner, R.H. 2012. The Sustainability of Schoolwide Positive Behavior Interventions and Supports. Exceptional Children. Vol 78, No. 4, p.407-422. DOI: 10.1177/001440291207800402. Gage, N. A., Sugai, G., Lewis,

T.J., & Brzozowy, S. 2013. A c a d e m i c A c h i e v e m e n t a n d S c h o o l - Wi d e P o s i t i v e Behavior Supports. Journal of Disability Policy Studies. DOI: 10.1177/1044207313505647. Horner, R.H., Sugai, G., & Anderson,

C . M . 2 0 1 0 . E x a m i n i n g t h e Evidence Base for School-Wide Positive Behavior Support. Focus on Exceptional Children. ISSN. 0015-511X. Vol. 42, Number 8, p.2-16.

(13)

3, p.295-312.

Jovilette, K., et al. 2014. School-Wide Positive Behavior Interventions and Supports in Residental School for Students With Emotional and Behavioral Disorder: First Years of Implementation and Maintenance F o l l o w - U p F o c u s G r o u p s .

Residental Treatment for Children & Youth. Vol. 31(1), p.63-79. DOI: 10.1080/0886571X.20.

L e e , E . B . 2 0 1 4 . F a c e b o o k U s e and Texting Among African A m e r i c a n a n d H i s p a n i c Te e n a g e r s : A n I m p l i c a t i o n for Academic Performance.

Journal of Black Studies. DOI: 10.1177/0021934713519819. Mc.Intosh, K., Bennet, J.L., & Price,

K. 2011. Evaluation of Social a n d A c a d e m i c E f f e c t s o f School-Wide Positive Behavior Support in a Canadian School District. Exceptional Education International. ISSN. 1918-5227. Vol. 21(1), p.46-60.

Miranda, T., et al. 2011. Reluctant R e a d e r s i n M i d d l e S c h o o l : Successful Engagement With Text Using the E-Reader. International Journal of Applied Science amd Technology. Vol. 1, No. 6, p.81-89.

Nelson, J.R., Hurley, K., Synhorst, L., & Epstein, M. 2008. The Nebraska Three-Tiered Behavioral Prevention Model Case Study.

School-wide Prevention Models: Lesson Learned in Elementary School. New York; Guilford. O’Bannon, B., & Thomas, K. 2014.

Teacher Perceptions of Using Mobile Phones in the Classroom: Age Matters!. Computers & Education. Vol 45, p.15-25. DOI: 10.1016/j.compedu.2014.01.006. Sailor, W., Dunlap, G., Sugai, G &

Horner, R. 2009. Handbook of Positive Behavior Supports. New York: Springer.

Tillmann, N., et al. 2012. The Future of Teaching Programming is on Mobile Devices. ITiCSE ’12 Proceeding of the 17th ACM

Annual Conference on Innovation and Technology in Computer Science Education. ISBN: 978-1-4503-1246-2, p.156-161. DOI: 10.1145.2325296.2325336. West, D.M. 2013. Mobile Learning:

(14)

Gambar

Tabel 1. Spiral Self-Reflective
Tabel 2. Bentuk Kolaborasi Guru BK
Gambar 2. Model Konseling
Tabel 3.Proses Konseling Individual

Referensi

Dokumen terkait

Karena email yang digunakan adalah email pribadi perusahaan tidak dapat masuk ke email

Pada ketiga album tersebut terdapat juga beberapa lagu berbahasa Inggris 12 lagu, agar tidak meluas maka peneliti membatasinya hanya pada penggunaan gaya bahasa dan pengimajian

yang diangkat oleh peneliti, yaitu “ Peranan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.. Tahun 1993-2006 (Kajian Mengenai Upaya Penyelesaian Pelanggaran

Sementara itu, dengan kisaran ukuran lebar karapas antara 51,75"160,17 mm CW di S1 dan rajungan yang berukuran <Lm 50 tertangkap dengan jumlah masing-masing 34% dan 22%

Dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Pasal 94 ayat 2 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomer 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Nomer 1

Berdasarkan hasil implementasi aplikasi informasi dan pemesanan tiket travel berbasis android di Syahputra Tour & Travel, maka dapat diambil kesimpulan sebagai bahwa

Dalam penelitian ini akan menganalisis pengaruh dari kualitas pesan, daya tarik iklan, dan frekuensi penayangan terhadap efektivitas iklan televisi.. Penelitian ini

Berdasarkan analisis data ditemukan kesalahan pemakaian bahasa media luar ruang ini meliputi pemakaian tanda baca khususnya tanda titik (.), tanda koma (,), tanda hubung (-),