• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chapter II Perbedaan Intercultural Sensitivity siswa SMA Sekolah Heterogen (Multicultural) dan Sekolah Homogen (Monocultural)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Chapter II Perbedaan Intercultural Sensitivity siswa SMA Sekolah Heterogen (Multicultural) dan Sekolah Homogen (Monocultural)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Intercultural Sensitivity

1. Pengertian Intercultural Sensitivity

Kajian terhadap konsep yang menyerupai intercultural sensitivity tidak hanya dapat dilakukan dengan perspektif ilmu psikologi, melainkan juga dari perspektif disiplin ilmu lainnya seperti antropologi, komunikasi, hubungan internasional dan sosiologi. Oleh sebab itulah dalam penelitian-penelitian ilmiah, lazim ditemukan beragam pengertian dan cara pengkategorian berbeda yang disematkan pada intercultural sensitivity.

(2)

yang pandangannya termasuk ke dalam tipe ini antara lain Bhawuk dan Brislin (1992) serta Bennett (1998, 2004).

Studi mengenai kepekaan interpersonal dilakukan oleh Bronfenbrener, Harding, dan Gallwey (1958) adalah salah satu studi awal yang membahas mengenai konsep sensitivitas ini. Mereka mencetuskan bahwa kepekaan secara umum dan kepekaan terhadap perbedaan individu adalah dua jenis kemampuan utama dalam persepsi sosial. Kepekaan terhadap orang lain secara umum adalah "semacam kepekaan terhadap norma sosial satu kelompok sendiri" (McClelland, 1958, hal. 241), dan sensitivitas interpersonal adalah kemampuan untuk membedakan bagaimana orang lain berbeda dalam perilaku, persepsi atau perasaan (Bronfenbrener , et al., 1958). Konsep kepekaan interpersonal ini secara lebih luas hampir sama dengan konsepIntercultural Sensitivity.

Hart Dan Burks (1972) Dan Hart, Carlson, dan Eadie (1980) juga mengatakan bahwa Intercultural Sensitivity sebagai pola pikir yang diterapkan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari sehingga orang-orang yang sensitif harus mampu menerima kompleksitas pribadi, menghindari kekakuan komunikasi, sadar dalam interaksi, menghargai ide-ide yang dipertukarkan, dan memiliki toleransi. Dan elemen-elemen ini tampaknya tertanam dalam dimensi kognitif, afektif, dan perilaku interaksi antarbudaya.

(3)

16 Bennett (1984) memahami Intercultural Sensitivity sebagai proses perkembangan di mana seseorang memiliki kemampuan mengubah diri secara afektif, kognitif, dan perilaku dari tahap etnosentris ketahap ethnorelative. Rute proses transformasi ini dapat terpisah menjadi enam tahap yaitu:

(1) Penolakan -di mana salah satunya menyangkal perbedaan budaya dengan orang-orang lain

(2) Pertahanan - di mana salah satunya berupaya untuk melindungi cara pandangnya dengan melawan ancaman yang dirasakan.

(3) Minimisasi - di mana salah satu berupaya untuk melindungi inti dari satu pandangan secara umum dengan menyembunyikan perbedaan dalam bayangan kesamaan budaya.

(4) Penerimaan - di mana seseorang mulai menerima adanya perbedaan perilaku yang didasari oleh perbedaan budaya.

(5) Adaptasi - di mana seseorang menjadi empatik terhadap perbedaan budaya dan menjadi bicultural atau multikultural, dan

(6) Integrasi - di mana seseorang mampu menerapkan ethnorelativism identitas sendiri dan dapat memahami perbedaan sebagai aspek penting dan menyenangkan dari semua kehidupan.

(4)

sebuah alat untuk mengukur Intercultural Sensitivity dari perspektif individualisme vs kolektivisme. Mereka mengembangkan pengukuran Intercultural Sensitivity yang berdasarkan unsur-unsur dimensi afektif, kognitif, dan perilaku. Unsur-unsur yang digunakan antara lain:

(1) Pemahaman tentang cara berperilaku seseorang yang berbeda,

(2) Keterbukaan pikiran mengenai adanya perbedaan dan

(3) Tingkat fleksibilitas perilaku yang ditunjukkan dalam budaya baru.

Konsep yang lebih sederhana dikembangkan Chen dalam The Concept of Intercultural Sensitivity (1997) telah mendefinisikan "Intercultural Sensitivity" merupakan kemampuan individu untuk mengembangkan emosi positif terhadap pemahaman dan menghargai perbedaan budaya sehingga menampilkan perilaku yang tepat dan efektif dalam komunikasi antarbudaya. Dalam studinya Chen (1997) juga mengidentifikasi bahwa Interaction Engagement, Respect for Cultural Differences, Interaction Confidence, Interaction Enjoyment, Interaction

(5)

18 2. Komponen Intercultural Sensitivity

Chen dan Starosta (2000 ) berpendapat bahwa sensitivitas antar budaya

merupakan salah satu faktor penting dalam komunikasi antar budaya yang terdiri dari lima kemampuan yang menjadi komponen pembentuk Intercultural

Sensitivity, komponen tersebut antara lain: a) Interaction Engagement.

Interaction Engangement merupakan keterlibatan interaksi yang menyangkut tentang perasaan peserta dalam proses komunikasi antarbudaya.

b) Respect for Cultural Differences

Dalam hal ini Respect for Cultural Differences mengacu pada bagaimana

peserta mengarahkan atau mentolerir perbedaan budaya yang ada pada rekan-rekan mereka .

c) Interaction Confidence

Interaction Confidence ini mengacu pada tingkat kepercayaan dari seseorang selama interaksi antarbudaya berlangsung.

d) Interaction Enjoyment

Dalam interaksi yang terjadi, hal ini mengacu pada kenikmatan berinteraksi yang berhubungan dengan reaksi peserta komunikasi antar

budaya.

e) Interaction Attentiveness

(6)

Studi yang dilakukan oleh Chen dan Starosta ' s (2000) mengindikasikan bahwa individu dengan sensitivitas antar budaya yang berkembang dengan

baikakan menjadi lebih perhatian , lebih mampu bersosialisasi dengan baik, memiliki hubungan interpersonal yang baik sehingga dapat menyesuaikan

perilaku mereka , dapat menunjukkan harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi, lebih empatik , dan lebih efektif dalam interaksi antarbudaya .

B. Sekolah Homogen (Monokultural)

Grendi Hendrastomo mengatakandalam “Homogenisasi pendidikan: Potret Eksklusifitas Pendidikan Modern” (2012) bahwa sekolah homogenmerupakan suatu sekolah yang memiliki ciri kesamaan karakteristik peserta didik baik secara persamaan ekonomi,golongan,agama,maupun etnisitas.

Grendi Hendrastomo (2012) berkesimpulan bahwa homogenitas pendidikan tampak nyata dalam pendidikan,ditengah banyaknya sekolah yang menawarkan keragaman,sekolah homogen menciptakan suatu pandangan sama yang memunculkan realitas yang tidak sesuai dengan keadaan di dalam lingkungan nyata di tengah masyarakat yang cenderung heterogen. Pendidikan homogen ini dianggap berbahaya karena tidak membiasakan siswa dengan lingkungan dengan tantangan yang beragam.

(7)

20 eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap kemajemukan. Aris Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa pada sekolah yang berbasis homogen (monokultural) akan cenderung memiliki budaya yang sama didalam lingkungan sekolah dan akan menciptakan budaya yang homogen di lingkungan sekolah dan dalam diri para siswa dan siswi.

Homogenitas pendidikan kemudian diartikan sebagai keseragaman, harmonisasi yang “dipaksakan”, kesamaan, kesebandingan, sesuatu hal yang

dibuat sama dan seragam dalam dunia pendidikan, termasuk didalamnya kesamaan status sosial, kesamaan agama, hingga etnis para peserta didiknya. Homogenitas disini secara tidak langsung sama artinya dengan diskriminasi terhadap siswa yang berbeda dalam hal status sosial, agama atau etnis. Anwar Effendi (2012)

C. Sekolah Heterogen (Multikultural)

Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai “pendidikan tentang keberagaman budaya yang ada didalam lingkungan

masyarakat tertentu atau bahkan lingkungan umum secara keselurahan”. Dimana

(8)

(Hilliard 1992). Banks (1993) menyatakan bahwa pengertian pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengekplorasi perbedaan sebagai keniscayaan, kemudian memberi apresiasi perbedaan itu dengan semangat egaliter dan toleran.

Multikulturalisme dipahami sebagai konsep yang berkaitan dengan aspek sosial, politik,ekonomi, dan budaya. Aspek-aspek tersebut memberikan relasi baru dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis dan terintegrasi. Secara sederhana, multikulturalisme didefinisikan sebagai suatu pemahaman dalam peningkatan drajat manusia dan kemanusiaannya yang mencakup, keyakinan, keberagamaan, kebersamaan dalam perbedaaan yang sederajat,kesukubangsaan, kebersamaan perolehan pendidikan, dsb (Yuni Widia Bella dalam jurnal Studi Deskriptif SekolahMulticultural Di SMA Sultan Iskandar Muda)

(9)

22 Menurut James A. Banks (1997) pendidikan multikultural adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.

Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik, dan lain-lain. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan cultural dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan kosep, nilai, dankeyakinan serta sikap (Lawrence J. Saha, 1997:348).

(10)

D. Perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa-siswi sekolah yang

homogen (monokultural) dengan sekolah yang heterogen

(multikultural)

Sekolah berbasis pendidikan homogen (monokultural) merupakan sekolah yang memiliki karakteristik yang sama pada peserta didiknya baik dalam hal suku, agama,ras,golongan maupun etnisitas (Grendi Hendrastomo 2012). Aris Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa sekolah negeri atau swasta yang berbasis Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah-sekolah bagi anak-anak keturunan China. Kondisi dan realitas ini melahirkan segregasi yang membentuk sikap eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap kemajemukan.

(11)

24 masyarakat yang memiliki berbagai macam karakteristik identitas, sepertiagama, sosial, budaya dan bahasa. Dengan memahami konsep multikulturalisme ini maka akan terciptalah rasa toleransi dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama yang berbedadengan kita.

Uraian diatas menunjukkan bahwa pendidikan berbasis homogen (monokultural) cenderung melemahkan kesadaran akan pentingnya nilai kebersamaan, sikap toleransi,dan perilaku yang mampu menghargai, memahami, serta peka terhadap potensi kemajemukan, pluralitas bangsa, dalam bidang etnik, agama, dan budaya yang ada. Sementara pendidikan berbasis heterogen (multikultural) diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan dan persamaan antar budaya yang berkaitan dengan kosep, nilai, keyakinan serta sikap yang ada (Lawrence J. Saha, 1997). Menurut Ekstrand, L.H. dalam Saha, Lawrence J. 1997, kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan tentang pendidikan menjadi suatu alat yang memainkan peranan penting dalam pembelajaran tentang kemajemukan perbedaan dan persamaan antar budaya yang dikaitkan dengan konsep, nilai,keyakinan dan sikap ini akan diajarkan, dipelajari, diarahkan dan diwujudkan didalam proses pendidikan.

(12)

Confidence, Interaction Enjoyment, Interaction Attentivenesssebagai komponen dasar Intercultural Sensitivity. Zhao (2002) mendefinisikan Intercultural Sensitivity sebagai kemampuan kunci untuk hidup dan bekerja sama secara efektif dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.

Intercultural Sensitivity merupakan suatu kemampuan mengembangkan emosi positif terhadap pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan budaya sehingga dapat memunculkan prilaku yang tepat dan efektif dalam komunikasi antar budaya. Dengan Intercultural Sensitivity ini kita dapat menjadi masyarakat yang multikuturalisme,menikmati perbedaan, hidup rukun berdampingan dan bekerja sama secara efektif dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan Intercultural Sensitivity pada sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen (multicultural)

E. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan pemaparan diatas, maka hipotesa yang di ajukan dalam penelitian ini adalah “ Ada Perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa

Referensi

Dokumen terkait

Analisis korelasi pula menunjukkan bahawa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara empat aspek pengajaran Sejarah dengan pencapaian murid dalam mata pelajaran Sejarah

Seleksi administrasi dilakukan terhadap pelamar yang telah melakukan pendaftaran secara online (melalui portal nasional dan portal Kementerian Kehutanan) serta menyampaikan

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. © Heni Winarto (2014) Universitas

Tujuan kegiatan pengabdian pada masyarakat ini adalah untuk membimbing guru matematika SMA/SMK Muhammadiyah dalam melakukan kegiatan penelitian dan penulisan karya ilmiah.

Ambang Laut adalah bagian dasar laut dangkal yang memisahkan dua buah laut yang

Metode yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan dengan mengacu pada kerangka pemecahan masalah adalah sebagai berikut: (1) Berkomunikasi dengan Kepala Desa

hal, yaitu: 1) Sampah dapat didaur ulang menjadi barang kerajinan tangan yang lebih bermanfaat. 2) Sebanyak tiga barang kerajinan tangan dapat dibuat dari sampah anorganik

Sebagai gambaran, kita bisa melihat bagaimana wajah sang idola, penampilan dia di video tersebut, cerita dalam video musik tersebut (pelibatan musisi dalam pertunjukan