• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUPUK ORGANIK DAN PUPUK HAYATI ORGANIC F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PUPUK ORGANIK DAN PUPUK HAYATI ORGANIC F"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PUPUK ORGANIK DAN

PUPUK HAYATI

ORGANIC FERTILIZER AND BIOFERTILIZER

Editor:

R.D.M. Simanungkalit, Didi Ardi Suriadikarta, Rasti Saraswati,

Diah Setyorini, dan Wiwik Hartatik

Balai Besar

Litbang

Sumberdaya Lahan Pertanian

(2)

Penanggungjawab:

Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Wakil:

Kepala Balai Penelitian Tanah

Editor:

R.D.M. Simanungkalit Didi Ardi Suriadikarta Rasti Saraswati Diah Setyorini Wiwik Hartatik

Redaksi Pelaksana:

Herry Sastramihardja Sri Erita Aprillani Farida Manalu

Setting/Lay Out:

Didi Supardi

Penerbit:

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Jl. Ir. H. Juanda No.98 Bogor 16123 Jawa Barat

Telp. 0251-336757, Fax: 062-0251-321608 E_mail: soil_ri@indo.net

ISBN 978-979-9474-57-5

Penulisan dan pencetakan buku ini dibiayai DIPA TA 2006 Satker Balai Penelitian Tanah, Bogor

(3)

KATA PENGANTAR

Pupuk organik sudah lama dikenal para petani, jauh sebelum Revolusi Hijau berlangsung di Indonesia pada tahun 1960-an. Sedangkan pupuk hayati dikenal para petani sejak proyek intensifikasi kedelai pada tahun 1980-an. Namun sejak Revolusi Hijau petani mulai banyak menggunakan pupuk buatan karena praktis penggunaannya dan sebagian besar varietas unggul memang membutuhkan hara makro (NPK) yang tinggi dan harus cepat tersedia. Bangkitnya kesadaran sebagian masyarakat akhir-akhir ini akan dampak penggunaan pupuk buatan terhadap lingkungan dan terjadinya penurunan kesuburan tanah mendorong dan mengharuskan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati.

Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Sedangkan pupuk hayati merupakan inokulan berbahan aktif organisme hidup yang berfungsi untuk menambat hara tertentu atau memfasilitasi tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman.

Buku ini memuat 13 bab topik bahasan mengenai pupuk organik dan pupuk hayati yang ditulis oleh para peneliti Balai Penelitian Tanah. Dengan diterbitkannya buku ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi para pengguna sebagai salah satu acuan tentang perkembangan dan peranan pupuk organik dan pupuk hayati bagi pengembangan pertanian di Indonesia.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Penelitian Tanah dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian buku ini.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Kepala,

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

1. PENDAHULUAN

Didi Ardi Suriadikarta dan R.D.M. Simanungkalit ... 1

2. KOMPOS

Diah Setyorini, Rasti Saraswati, dan Ea Kosman Anwar ... 11

3. PUPUK HIJAU

Achmad Rachman, Ai Dariah, dan Djoko Santoso ... 41

4. PUPUK KANDANG

Wiwik Hartatik dan L.R. Widowati ... 59

5. PUPUK LIMBAH INDUSTRI

Ea Kosman Anwar dan Husein Suganda ... 83

6. BAKTERI PENAMBAT NITROGEN

R.D.M. Simanungkalit, Rasti Saraswati, Ratih Dewi Hastuti, dan Edi Husen ... 113

7. MIKROORGANISME PELARUT FOSFAT

Rohani Cinta Badia Ginting, Rasti Saraswati, dan Edi Husen ... 141

8. CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULER

R.D.M. Simanungkalit ... 159

9. RIZOBAKTERI PEMACU TUMBUH TANAMAN

Edi Husen, Rasti Saraswati, dan Ratih Dewi Hastuti ... 191

10. ORGANISME PEROMBAK BAHAN ORGANIK

Rasti Saraswati, Edi Santosa, dan Erny Yuniarti ... 211

11. BAKU MUTU PUPUK ORGANIK

Didi Ardi Suriadikarta dan Diah Setyorini ... 231

12. BAKU MUTU PUPUK HAYATI DAN SISTEM PENGAWASANNYA

R.D.M. Simanungkalit, Edi Husen, dan Rasti Saraswati ... 245

13. PROSPEK PUPUK ORGANIK DAN HAYATI

R.D.M. Simanungkalit ... 265

(5)

Pupuk Organik dan Pupuk Hayati

1 . PENDAHULUAN

Didi Ardi Suriadikarta dan R.D.M. Simanungkalit

Summary

Introduction. This chapter includes some understanding on

organic fertilizer and biofertilizer. Organic fertilizer is defined as fertilizer containing a large part or all of the materials which is of plant and or animal origin through decomposition. Organic matter is used to supply organic fertilizer to improve chemical, physical as well as biological characteristics of the soil. The most important characteristic of organic fertilizer is indicated by its content of organic carbon, rather than its nutrient composition. Low content of organic matter will be classified as a soil ameliorant. It consists of either synthetic or natural, either in the form of organic or mineral. Compost, green manure, animal manure, and plant residues such as rice straw, corn stover, sugarcane bagasse and coconut coir dust, agriculture-based industrial waste and municipal waste can be used as a source of organic fertilizer. Organic matter-decomposing microorganisms cover not only microfauna but also macrofauna such as soil worms. The application of organic fertilizer has been practiced in Indonesia since very long before Green Revolution. Biofertilizer is defined as inoculant containing active material of living microorganisms which functions to fix a particular nutrient and facilitate the availability of soil nutrients to plants. Facilitating the availability of nutrient can be carried out by increasing access to soil nutrients by arbuscular mycorrhizal fungi, phosphate solubilization by phosphate-solubilizing microorganisms, as well decomposition by fungi, actinomycetes or soil worms. Many research findings indicate that most agricultural lands have been degraded and their productivity has been decreasing. Organic fertilizers and biofertilizers can play a great role to improve the fertility of the soil.

(6)

Suriadikarta dan Simanungkalit

pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik maka diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Pembenah tanah atau soil ameliorant menurut SK Mentan adalah bahan-bahan sintesis atau alami, organik atau mineral.

Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini adalah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas.

(7)

Pupuk Organik dan Pupuk Hayati

simbiosis berlangsung dengan kelompok tanaman tertentu atau dengan kebanyakan tanaman, sedangkan nonsimbiotis berlangsung melalui penyerapan hara hasil pelarutan oleh kelompok mikroba pelarut fosfat, dan hasil perombakan bahan organik oleh kelompok organisme perombak. Kelompok mikroba simbiotis ini terutama meliputi bakteri bintil akar dan cendawan mikoriza. Penambatan N2 secara simbiotis dengan tanaman kehutanan yang bukan legum oleh aktinomisetes genus Frankia di luar cakupan buku ini. Kelompok cendawan mikoriza yang tergolong ektomikoriza juga di luar cakupan baku ini, karena kelompok ini hanya bersimbiosis dengan berbagai tanaman kehutanan. Kelompok endomikoriza yang akan dicakup dalam buku ini juga hanya cendawan mikoriza vesikuler-abuskuler, yang banyak mengkolonisasi tanaman-tanaman pertanian.

Kelompok organisme perombak bahan organik tidak hanya mikrofauna tetapi ada juga makrofauna (cacing tanah). Pembuatan vermikompos melibatkan cacing tanah untuk merombak berbagai limbah seperti limbah pertanian, limbah dapur, limbah pasar, limbah ternak, dan limbah industri yang berbasis pertanian. Kelompok organisme perombak ini dikelompokkan sebagai bioaktivator perombak bahan organik.

(8)

Suriadikarta dan Simanungkalit

dimiliki oleh strain atau strain-strain tertentu dalam suatu spesies, atau kondisi lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh.

Subha Rao (1982) menganggap sebenarnya pemakaian inokulan mikroba lebih tepat dari istilah pupuk hayati. Ia sendiri mendefinisikan pupuk hayati sebagai preparasi yang mengandung sel-sel dari strain-strain efektif mikroba penambat nitrogen, pelarut fosfat atau selulolitik yang digunakan pada biji, tanah atau tempat pengomposan dengan tujuan meningkatkan jumlah mikroba tersebut dan mempercepat proses mikrobial tertentu untuk menambah banyak ketersediaan hara dalam bentuk tersedia yang dapat diasimilasi tanaman.

FNCA Biofertilizer Project Group (2006) mengusulkan definisi pupuk hayati sebagai substans yang mengandung mikroorganisme hidup yang mengkolonisasi rizosfir atau bagian dalam tanaman dan memacu pertumbuhan dengan jalan meningkatkan pasokan ketersediaan hara primer dan/atau stimulus pertumbuhan tanaman target, bila dipakai pada benih, permukaan tanaman, atau tanah. Pengertian pupuk hayati pada buku ini lebih luas daripada istilah yang dikemukakan oleh Subha Rao (1982) dan FNCA Biofertilizer Project Group (2006). Mereka hanya membatasi istilah pupuk hayati pada mikroba, sedangkan istilah yang dipakai pada buku ini selain melibatkan mikroba juga makrofauna seperti cacing tanah. Bila inokulan hanya mengandung pupuk hayati mikroba, inokulan tersebut dapat juga disebut pupuk mikroba (microbial fertilizer)

Mikroorganisme dalam pupuk mikroba yang digunakan dalam bentuk inokulan dapat mengandung hanya satu strain tertentu atau monostrain tetapi dapat pula mengandung lebih dari satu strain atau multistrain. Strain-strain pada inokulan multistrain dapat berasal dari satu kelompok inokulasi silang (cross-inoculation) atau lebih. Pada mulanya hanya dikenal inokulan yang hanya mengandung satu kelompok fungsional mikroba (pupuk hayati tunggal), tetapi perkembangan teknologi inokulan telah memungkinkan memproduksi inokulan yang mengandung lebih dari satu kelompok fungsional mikroba. Inokulan-inokulan komersial saat ini mengandung lebih dari suatu spesies atau lebih dari satu kelompok fungsional mikroba. Karena itu Simanungkalit dan Saraswati (1993) memperkenalkan istilah pupuk hayati majemuk untuk pertama kali bagi pupuk hayati yang mengandung lebih dari satu kelompok fungsional.

Sejarah perkembangan pupuk organik dan hayati

(9)

Pupuk Organik dan Pupuk Hayati

tanah terdapat pada kebudayaan tua manusia di negeri-negeri yang terletak di daerah aliran sungai-sungai Nil, Euphrat, Indus, di Cina, Amerika Latin, dan sebagainya (Honcamp, 1931). Lahan-lahan pertanian yang terletak di sekitar aliran-aliran sungai tersebut sangat subur karena menerima endapan lumpur yang kaya hara melalui banjir yang terjadi setiap tahun.

Di Indonesia sebenarnya pupuk organik itu sudah lama dikenal para petani. Mereka bahkan hanya mengenal pupuk organik sebelum Revolusi Hijau turut melanda pertanian di Indonesia. Setelah Revolusi Hijau kebanyakan petani lebih suka menggunakan pupuk buatan karena praktis menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari pupuk organik, harganyapun relatif murah karena di subsidi, dan mudah diperoleh. Kebanyakan petani sudah sangat tergantung kepada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan produksi pertanian, ketika terjadi kelangkaan pupuk dan harga pupuk naik karena subsidi pupuk dicabut.

Tumbuhnya kesadaran akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan pada sebagian kecil petani telah membuat mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik. Pertanian jenis ini mengandalkan kebutuhan hara melalui pupuk organik dan masukan-masukan alami lainnya.

Penggunaan pupuk hayati untuk membantu tanaman memperbaiki nutrisinya sudah lama dikenal. Pupuk hayati pertama yang dikomersialkan adalah rhizobia, yang oleh dua orang ilmuwan Jerman, F. Nobbe dan L. Hiltner, proses menginokulasi benih dengan biakan nutrisinya dipatenkan. Inokulan ini dipasarkan dengan nama Nitragin, yang sudah sejak lama diproduksi di Amerika Serikat.

(10)

Suriadikarta dan Simanungkalit

Di Indonesia sendiri pembuatan inokulan rhizobia dalam bentuk biakan murni rhizobia pada agar miring telah mulai sejak tahun 1938 (Toxopeus, 1938), tapi hanya untuk keperluan penelitian. Sedangkan dalam skala komersial pembuatan inokulan rhizobia mulai di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta sejak tahun 1981 untuk memenuhi keperluan petani transmigran (Jutono, 1982). Pada waktu itu inokulan diberikan kepada petani sebagai salah satu komponen dalam paket yang diberikan dalam proyek intensifikasi kedelai. Penyediaan inokulan dalam proyek ini berdasarkan pesanan pemerintah kepada produsen inokulan, yang tadinya hanya satu produsen saja menjadi tiga produsen. Inokulan tidak tersedia di pasar bebas, tetapi hanya berdasarkan pesanan. Karena persaingan yang tidak sehat dalam memenuhi pesanan pemerintah ini, dan baru berproduksi kalau ada proyek, mengakibatkan ada produsen inokulan yang terpaksa menghentikan produksi inokulannya, pada hal mutu inokulannya sangat baik. Perkembangan penggunaan inokulan selanjutnya tidak menggembirakan. Baru setelah dicabutnya subsidi pupuk dan tumbuhnya kesadaran terhadap dampak lingkungan yang dapat disebabkan pupuk buatan, membangkitkan kembali perhatian terhadap penggunaan pupuk hayati.

Peranan pupuk organik dan pupuk hayati dalam keberlanjutan produksi dan kelestarian lingkungan

Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah, yaitu <2%, bahkan pada banyak lahan sawah intensif di Jawa kandungannya <1%. Padahal untuk memperoleh produk-tivitas optimal dibutuhkan C-organik >2,5%. Di lain pihak, sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat melimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.

Bahan/pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi.

(11)

Pupuk Organik dan Pupuk Hayati

yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah.

Bahan dasar pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman umumnya sedikit mengandung bahan berbahaya. Namun penggunaan pupuk kandang, limbah industri dan limbah kota sebagai bahan dasar kompos/pupuk organik cukup mengkhawatirkan karena banyak mengandung bahan berbahaya seperti misalnya logam berat dan asam-asam organik yang dapat mencemari lingkungan. Selama proses pengomposan, beberapa bahan berbahaya ini justru terkonsentrasi dalam produk akhir pupuk. Untuk itu diperlukan seleksi bahan dasar kompos yang mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3).

Bahan/pupuk organik dapat berperan sebagai “pengikat” butiran primer menjadi butir sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini besar pengaruhnya pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air, aerasi tanah, dan suhu tanah. Bahan organik dengan C/N tinggi seperti jerami atau sekam lebih besar pengaruhnya pada perbaikan sifat-sifat fisik tanah dibanding dengan bahan organik yang terdekomposisi seperti kompos. Pupuk organik/bahan organik memiliki fungsi kimia yang penting seperti: (1) penyediaan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe, meskipun jumlahnya relatif sedikit. Penggunaan bahan organik dapat mencegah kahat unsur mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang seimbang; (2) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah; dan (3) dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn.

Pertanian konvensional yang telah dipraktekkan di Indonesia sejak Revolusi Hijau telah banyak mempengaruhi keberadaan berbagai mikroba berguna dalam tanah. Mikroba-mikroba ini mempunyai peranan penting dalam membantu tersedianya berbagai hara yang berguna bagi tanaman. Praktek inokulasi merupakan suatu cara untuk memberikan atau menambahkan berbagai mikroba pupuk hayati hasil skrining yang lebih unggul ke dalam tanah.

Bahan organik juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekali gus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba

(12)

Suriadikarta dan Simanungkalit

organik/pupuk hayati dan pupuk anorganik dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan. Hanya dengan cara ini keberlanjutan produksi tanaman dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan. Sistem pertanian yang disebut sebagai LEISA (low external input and sustainable agriculture) menggunakan kombinasi pupuk organik dan anorganik yang berlandaskan konsep good agricultural practices perlu dilakukan agar degredasi lahan dapat dikurangi dalam rangka memelihara kelestarian lingkungan.

Pemanfaatan pupuk organik dan pupuk hayati untuk meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pertanian perlu dipromosikan dan digalakkan. Program-program pengembangan pertanian yang mengintegrasikan ternak dan tanaman (crop-livestock) serta penggunaan tanaman legum baik berupa tanaman lorong (alley cropping) maupun tanaman penutup tanah (cover crop) sebagai pupuk hijau maupun kompos perlu diintensifkan.

Penggunaan pupuk organik dan hayati

Data tentang penggunaan pupuk organik dan hayati sampai sekarang sulit diperoleh. Penyebabnya antara lain: 1). karena kebanyakan pupuk organik dan pupuk hayati diproduksi oleh pengusaha kecil dan menengah, 2). pupuk organik banyak diproduksi in situ untuk digunakan sendiri, dan 3). jumlah penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati masih sangat terbatas. Pupuk organik komersial yang kebanyakan diproduksi ex situ dipakai untuk tanaman hias pot di kota-kota besar. Baru pada tahun-tahun terakhir ini perusahaan pupuk BUMN Pupuk Sriwijaya sudah mulai memproduksi pupuk organik. Penggunaan pupuk organik yang diproduksi secara in situ dilakukan pada tingkat usaha tani dengan menggunakan limbah pertanian/limbah ternak yang ada di usaha tani yang bersangkutan. Beberapa perusahaan pertanian/perkebunan seperti kelapa sawit, nanas, jamur merang mengolah limbahnya menjadi kompos untuk kebutuhan sendiri.

Penggunaan pupuk hayati pernah terdata dengan baik beberapa waktu, yaitu ketika pupuk hayati (inokulan rhizobia) merupakan salah satu komponen paket produksi untuk proyek intensifikasi kedelai pemerintah. Pemerintah mengadakan kontrak pesanan inokulan untuk seluruh areal intensifikasi kedelai. Karena adanya sistem kontrak ini beberapa pabrik inokulan berdiri karena dengan sistem ini produksi inokulan mereka terjamin pembelinya.

(13)

Pupuk Organik dan Pupuk Hayati

musim tanam tahun 1997/1998, jenis inokulan lain (pupuk hayati majemuk Rhizoplus) sebanyak 41.348,75 kg digunakan untuk menginokulasi 330.790 ha kedelai di 26 provinsi (Saraswati et al., 1998).

Perkembangan penggunaan inokulan Legin tiap tahun sejak tahun 1981-1995 tidak menunjukkan tendensi meningkat seperti diperlihatkan pada Tabel 1.

Pencanangan “Go organic 2010” oleh Departemen Pertanian diharapkan akan menunjang perkembangan pupuk organik dan hayati di Indonesia. Selain itu juga mulai dilaksanakannya sistem pertanaman padi SRI oleh para petani mendorong mulai dproduksinya kompos in situ oleh para petani.

Tabel 1. Penggunaan inokulan Legin

Tahun Jumlah Tahun Jumlah

T t

1981 7,5 1989 < 1,0 1982 6,1 1990 < 1,0

1983 10,1 1991 15,0 1984 20,1 1992 15,0 1985 17,1 1993 <1,0

1986 24,7 1994 < 1,0 1987 13,0 1995 >2,0* 1988 < 1,0

* perkiraan

DAFTAR PUSTAKA

Cattelan, A.J., P.G. Hartel, and J.J. Fuhrmann. 1999. Screening for plant growth-promoting rhizobacteria to promote early soybean growth. Soil Sci.Soc.Am.J. 63: 1.670-1.680.

FNCA Biofertilizer Project Group. 2006. Biofertilizer Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA). Japan Atomic Industrial Forum, Tokyo.

Glick, B.R. 1995. The enhancement of plant growth by free-living bacteria. Can. J. Microbial. 4: 109-117.

(14)

Suriadikarta dan Simanungkalit

Jutono. 1982. The application of Rhizobium-inoculant on soybean in Indonesia. Ilmu Pert. (Agric. Sci.) 3(5): 215-222.

Kloepper, J.W. 1993. Plant growth-promoting rhizobacteria as biological control agents. p. 255-274. In F.Blaine Metting, Jr. (Ed.). Soil Microbiology Ecology, Applications in Agricultural and Environmental Management. Marcel Dekker, Inc., New York.

Kloepper, J.W., R.M. Zablotowicz, E.M. Tipping, and R. Lifshitz. 1991. Plant growth promotion mediated by bacterial rhizosphere colonizers. p. 315-326. In D.L. Keister and P.B. Cregan (Eds.). The Rhizosphere and Plant Growth. Kluwer Academic Pub., Dordrecht.

Macdonald, 1989. An overview of crop inoculation, p. 1-9. In R.Campbell and R.M. Macdonald (Eds.). Microbial Inoculation of Crop Plants. IRL Press, Oxford.

Saraswati, R., D.H. Goenadi, D.S. Damardjati, N. Sunarlim, R.D.M. Simanungkalit, dan Djumali Suparyani. 1998. Pengembangan Rhizo-plus untuk Meningkatkan Produksi, Efisiensi Pemupukan Menunjang Keberlanjutan Sistem Produksi Kedelai, Laporan Akhir Penelitian Riset Unggulan Kemitraan I Tahun (1995/1996-1997-1998). Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan.

Sebayang, K. dan D.A. Sihombing 1987. The technology impact on soybean yield in Indonesia. pp. 37-48. In J.W.T. Bottema, F. Dauphin, and G. Gijsbers (Eds.). Soybean Research and Development in Indonesia. CGPRT Centre, Bogor.

Simanungkalit, R.D.M and R. Saraswati 1993. Application of biotechnology on biofertilizer production in Indonesia. pp. 45-57. In S. Manuwoto, S. Sularso, and K. Syamsu (Eds.). Proc. Seminar on Biotechnology: Sustainable Agriculture and Alternative Solution for Food Crisis. PAU-Bioteknologi IPB, Bogor.

Subba Rao, N.S. 1982. Biofertilizer in Agriculture. Oxford and IBH Publishing Co., New Delhi.

Gambar

Tabel 1. Penggunaan inokulan Legin

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan dari pembelajaran menggunakan metode show and tell terhadap keterampilan berbicara anak usia dini

Merak 2 No.80 Ling.XIV Perum Sri Gunting. Alamat Orang Tua

(1997:22) Ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbol yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah

Begitu pula nantinya bagi penghuni dalam hal ini anak jalanan, akan dapat melanjutkan dakwah di kemudian hari pada kehidupan luar dari bekal mereka selama berada di rumah

Pinang Mas 5 Kelurahan Utama Kecamatan Cimahi Selatan saksi Tona Wikarsona (dilakukan penuntutan terpisah) bersama saksi Anhar Yulianto (dilakukan penuntutan terpisah) dan

Kelemahan pembelajaran kontekstual diantaranya: (1) guru lebih intensif dalam membimbing. Pada model pembelajaran kontekstual guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivis Gerakan Mahasiswa cenderung mengalami peningkatan hidup secara eksistensial yaitu memiliki perilaku fleksibel dalam menangani suatu

Diperoleh hasil penelitian yaitu semakin besar kecepatan angin maka daya input, laju aliran massa udara, daya output, dan efisiensi akan semakin besar; semakin besar