• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM

Hukum pernikahan beda agama, atau biasa juga dikenal dengan pernikahan lintas agama. Selalu menjadi polemik yang cukup kontroversial dalam masyarakat, khususnya negara yang memiliki berbagai macam penduduk dengan agama yang berbeda-beda. Indonesia merupakan negara mayoritas muslim terbanyak di seluruh dunia, namun tetap saja sering muncul pertanyaan menyangkut perihal pernikahan. Bolehkah seorang muslim menikahi seorang yang non muslim jika boleh, bagaimana islam menyikapi hal tersebut? Mari kita lihat dari dua sudut pandang pada hukum pernikahan berbeda agama ini terlebih dahulu. Pernikahan beda agama, dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan pasangan yang

menikah, yaitu:

seorang laki-laki muslim menikahi perempuan dan sebaliknya, seorang muslim perempuan yang menikahi seorang laki-laki yang non muslim, pembagian ini dilakukan karena hukum di antaranya masing-masing berbeda. Bagaimanakah hukumnya dalam islam?

Hukum seorang laki-laki muslim menikahi perempuan non muslim (beda agama)

(2)

agama samawi atau ahli kitab disini yaitu orang-orang (non muslim) yang telah diturunkan padanya kitab sebelum al quran. Dalam hal ini para ulama sepakat dengan agama Injil dan Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang sumbernya sama. Untuk hal seperti ini pernikahannya diperbolehkan dalam islam. Adapun dasar dari penetapan hukum pernikahan ini, yaitu mengacu pada al quran, Surat Al Maidah(5):5, “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya

dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”

2. Lelaki muslim menikah dengan perempuan bukan ahli kitab. Yang dimaksud dengan non muslim yang bukan ahli kitab disini yaitu kebalikan dari agama samawi (langit), yaitu agama ardhiy (bumi). Agama Ardhiy (bumi), yaitu agama yang kitabnya bukan diturunkan dari Allah swt, melainkan dibuat di bumi oleh manusia itu sendiri. Untuk kasus yang seperti ini, maka diakatakan haram. Adapun dasar hukumnya yaitu al quran al Baqarah(2):222 “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim.

Dari al quran al Baqarah(2):221 sudah jelas tertulis bahwa: "...Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)

sebelum mereka beriman..."

Pernikahan seorang muslim perempuan sudah menjadi hal mutlak diharamkan dalam islam, jika seorang perempuan tetap memaksakan diri untuk menikahi lelaki yang tidak segama dengannya, maka apapun yang mereka lakukan selama bersama sebagai suami istri dianggap

sebagai perbuatan zina.

Kesimpulannya:

(3)

muslim yang bukan agama samawi, maka hukumnya haram. Sedangkan bagi perempuan muslim diharamkan baginya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak seiman.

(4)

Ustadz Ahmad Yani: Tidak Sah Menikah Beda Agama

JAKARTA (voa-islam.com) - Dalam Islam, pernikahan merupakan salah satu pelaksanaan dari syariat Islam, menjalankan sunnah nabi dan sebagai tahap awal pembentukan keluarga Islami untuk selanjutnya membentuk masyarakat yang Islami. Dengan demikian, pernikahan tidak semata-mata mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang wanita, tapi memiliki tujuan jangka panjang, tidak hanya di dunia ini saja, tapi sampai ke akhirat nanti.

“Karena visi besar pernikahan begitu agung, maka diperlukan lelaki dan wanita yang kelak menjadi suami dan isteri yang satu visi dengannya. Karena itu, ketika seseorang masih memiliki komitmen keislaman, rasanya tidak mungkin ia menikah dengan non muslim, sebab dalam Islam, jangankan memilih non muslim, memilih yang muslim saja harus yang shaleh atau shalehah.” Demikian dikatakan Ketua Lembaga Dakwah Khairu Ummah, Drs. H. Ahmad Yani kepada voa-islam di Jakarta.

Rasulullah saw bersabda: Wanita dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, kemuliaannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah karena agamanya maka engkau akan beruntung.“ ( HR Bukhari dan Muslim ).

Berdasarkan hadits tersebut, faktor yang amat mendasar dalam Islam adalah aqidah atau tauhid (yakni mengakui Allah swt sebagai Tuhan, beriman dan taat kepada-Nya). Bila seseorang menikah dengan orang kafir, musyrik atau non muslim, bagaimana hal ini bisa berjalan menurut syariat Islam. Sebab, tidak mungkin ada titik temu antara akidah tauhid murni dan akidah musyrik, penyembah berhala, atau yang tidak mempercayai adanya Tuhan sama sekali. Karena itu, Allah swt tidak membenarkan adanya pernikahan antara muslim dan non muslim sehingga bila itu tetap dilakukan menjadi tidak sah.

Allah swt berfirman: “Dan, janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan, janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.“ ( QS al-Baqarah [2]: 221) .

Namun muncul pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan dibolehkannya menikah dengan wanita ahli kitab? Allah swt berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak ( pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.“ (QS al-Maidah [5]: 5).

(5)

harus memperhatikan syarat-syarat yang mesti dipenuhi agar ia dapat menikahi. Ia harus perempuan baik-baik yang menjaga kehormatannya bukan perempuan yang memerangi dan memusuhi Islam dan tidak ada fitnah.

Dalam konteks sekarang, kata Ahmad Yani, menjadi perdebatan besar apakah orang kristen yang sekarang benar-benar ahli kitab yang tidak kafir kepada Allah swt, ataukah mereka itu memang kafir dari kalangan ahli kitab. Maka, agar selamat dan demi kehati-hatian, lebih baik seorang Muslim tidak menikahi perempuan ahli kitab karena sulitnya untuk memenuhi syarat-syaratnya dan karena banyaknya mudarat yang akan timbul karena perkawinan beda keyakinan tersebut. Karena itu, Rasulullah saw dalam hadits di atas menekankan menikahi Muslimah saja yang baik agamanya dan shalihah.

“Karena itu, pernikahan orang yang berbeda agama haram hukumnya dan tidak sah. Hal itu juga sesuai dengan fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional II pada 1980 yang mengharamkan pernikahan beda agama karena mafsadah (keburukan) nya lebih besar dari manfaatnya.”

Bila orang kafir mau menikah dengan orang Islam, hendaknya didahului dengan masuk Islam terlebih dahulu, maka nikahnya sah yang memang dilakukan secara Islam, namun bila ternyata ia murtad, pernikahannya itupun menjadi batal demi hukum, sebagaimana anak yang murtad tidak mendapat hak waris dari ayah muslim yang meninggal. Begitu juga suami yang wafat otomatis pernikahannya menjadi cerai dan sang janda boleh menikah dengan lelaki lain sesudah habis masa iddahnya, meskipun suaminya tidak menceraikannya. Wallahu a’lam bish shawab

(6)

Hukum Nikah Beda Agama oleh Abdul Moqsith Ghazali

Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule

Amerika menikah dengan perempuan Batak.

Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule

Amerika menikah dengan perempuan Batak.

Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan. Globalisasi meniscayakan perjumpaan tak hanya terjadi antar orang-orang yang satu agama, melainkan juga yang beda agama. Tunas cinta bisa bersemi di kantor-kantor modern yang dihuni para karyawan beragam agama. Ruang-ruang publik seperti mall, kafe, dan lain-lain membuat perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekat primordial agama terus lumer dan luluh diterjang media sosial seperti facebook dan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi agar anaknya hanya bergaul dengan yang segama.

Mengahadapi kenyataan itu, para agamawan memiliki pandangan berbeda. Ada yang bersikukuh bahwa pernikahan beda agama tak direstusi Tuhan. Sebab, agama dirinya adalah terang, sementara agama orang lain adalah gelap. Terang dan gelap tak mungkin dipersatukan dalam satu ikatan perkawinan. Para agamawan yang galau ini coba menepiskan fakta, dan terus merujuk Sabda bahwa nikah beda agama adalah haram. Menurut mereka, bukan hukum Tuhan yang harus disesuaikan dengan kenyataan, tapi kenyataan lah yang harus ditundukkan pada kehendak harafiah teks Qur’an. Analogi yang sering disampaikan, bukan kepala yang harus dicocokkan dengan ukuran kopiah, tapi peci lah yang mesti mengikuti besar-kecilnya kepala.

(7)

memandang agama orang lain sebagai gelap”, tandas mereka. Dengan demikian, menurut mereka, agama harus terus ditafsirkan untuk diadaptasikan dengan kondisi zaman yang selalu berubah.

Agumen Teologis Islam

Tentang nikah beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalam tiga kelompok. Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya adalah al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 221) yang mengharamkan orang Islam menikah dengan laki-laki dan perempuan musyrik. Juga, QS al-Mumtahanah [60]: 10 yang melarang orang Islam menikah dengan orang kafir. Sementara QS, al-Ma’idah ayat 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, menurut kelompok ini, sudah dibatalkan dua ayat sebelumnya itu. Secara statistik, menurut mereka, tak mungkin dua ayat yang mengharamkan bisa dikalahkan oleh satu ayat yang menghalalkan nikah beda agama. Bagi mereka, kata ”musyrik”, ”kafir” dan ”Ahli Kitab” adalah sinonim (satu makna), sehingga yang satu bisa membatalkan yang lain.

Ulama pertama ini pun mengacu pada tindakan Umar ibn Khattab. Ibn Katsir menceritakan bahwa ketika QS, al-Mumtahanah: 10 turun, Umar ibn Khattab langsung menceraikan dua isterinya yang masih kafir, yaitu Binti Abi Umayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwal dari Khuza’ah. Umar pernah hendak mencambuk orang yang menikah dengan Ahli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang yang menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam lain, sehingga perempuan-perempuan Islam tak menjadi pilihan laki-laki Islam. Namun, kemarahan Umar tak mengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan Ahli Kitab. Dikisahkan, Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yang bersangkutan menceraikan istrinya yang Ahli Kitab itu. Khudzaifah bertanya kepada Umar, ”apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab haram?”. Umar menjawab, ”tidak. Saya hanya khawatir”. Menurut saya, jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidak-setujuan Umar itu tak didasarkan secara sungguh-sungguh pada teks al-Qur’an, melainkan

pada kehati-hatian dan kewaspadaan.

(8)

Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, Makhul, Hasan,

al-Dhahhak, Zaid bin

Aslam, dan Rabi’ bin Anas. Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas pada orang Watsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di dalamnya orang-orang Ahli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat Nabi yang melakukan nikah beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Menurut Ibnu Qudamah, Hudzaifah menikah dengan perempuan Majusi. Sementara menurut Muhammad Rasyid Ridla, Khudzaifah menikah bukan dengan perempuan Majusi, melainkan dengan perempuan Yahudi Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama kedua yang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya; perempuan muslimah menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tak ada beda antara pernikahan laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab dan pernikahan perempuan muslimah-laki-laki Ahli Kitab. Menurut kelompok terakhir ini, tak ada teks dalam al-Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tidak adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan

muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab.

Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab hanya akan melahirkan generasi non-muslim tak terbukti dalam kenyataan. Berbagai penelitian tentang pasangan nikah beda agama justru menunjukkan bahwa jika seorang ibu beragama Islam, 70 % lebih agama anak mengikuti agama si ibu. Temuan penelitian ini tak mengejutkan bagi saya. Sebab, peranan ibu dalam keluarga memang amat sentral, termasuk dalam soal agama. Tentang agama apa yang dianut oleh seorang anak biasanya tak jauh dari agama si ibu, bukan agama si ayah. Dengan demikian, tak keliru sebuah pepatah Arab berkata, ”ibu adalah sekolah pertama” (al-umm hiya al-madrasah al-ula). Apa yang dikemukakan ulama ketiga itu biasanya diacukan pada alasan kesejarahan. Alkisah, Zainab binti Muhammad SAW menikah dengan Abu al-Ash. Pernikahan tak dilakukan berdasarkan syariat Islam karena ia dilangsungkan sebelum Islam. Namun, yang menarik, setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi, Abu al-Ash pun tak segera masuk Islam. Ia tetap memilih menjadi orang musyrik, seperti umumnya penduduk Mekah saat itu. Bahkan, ketika Nabi Muhammad dan umat Islam lain hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama sang istri (Zainab puteri Nabi) masih bertahan di Mekah. Alih-alih ikut hijrah, Abu al-Ash justru bersekongkol dengan orang-orang kafir Musyrik Mekah memeperangi umat Islam. Dikisahkan bahwa Abu al-Ash pernah ditangkap di Madinah atas keterlibatannya dalam perang Badar dan Uhud. Ia kemudian diminta uang tebusan dan Nabi meminta agar Zainab

dihijrahkan ke Madinah.

(9)

mengisyaratkan bahwa pernikahan Zainab dan Abu al-Ash yang dilangsungkan sebelum Islam adalah sah sehingga tak perlu ada pernikahan baru. Pernikahan Zainab dengan Abu al-Ash ini melahirkan dua orang anak, yaitu Umamah dan Ali. Jika Ali meninggal dalam usia belia, maka Umamah kelak menikah dengan Ali ibn Abi Thalib setelah istrinya (Fathimah binti Muhammad SAW) meninggal dunia. Ketika Ali ibn Abi Thalib meninggal, Umamah menikah dengan al-Mughirah bin Naufal bin al-Harits ibn Abd al-Muththalib. Nabi juga pernah mengawinkan anak perempuannya, Ruqayyah dengan Utbah ibn Abi Lahab. Setelah Islam datang, Nabi tak meminta sang puteri untuk berpisah dengan Utbah. Perceraian terjadi bukan atas kehendak Ruqayyah atau Nabi Muhammad, melainkan atas perintah ayahanda Utbah, yaitu Abu Lahab. Abu Lahab, musuh bebuyutan Islam, yang keberatan jika anak laki-lakinya menikah dengan Ruqayyah yang beragama Islam. Dengan perkataan lain, seandainya Abu Lahab tak menyuruh Utbah menceraikan Ruqayyah, niscaya pernikahan itu akan tetap berlangsung sekalipun si suami Musyrik dan si perempuan beragama Islam seperti yang dialami Zainab binti al-Rasul Muhammad SAW.

Bagaimana di Indonesia?

Fakta historis tersebut tampaknya tak mengubah pendirian sejumlah ulama Indonesia untuk melarang pernikahan antara orang Islam dan bukan Islam. Pernikahan beda agama dalam pandangan mereka adalah haram. Per tanggal 1 Juni 1980, MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang haramnya pernikahan tersebut. Banyak ulama yang khawatir, seorang istri yang Islam akan tunduk dan ikut agama si suami yang bukan Islam. Sebagian ulama di Indonesia mewaspadai kemungkinan tendensi politis dari kalangan non-Islam untuk menaklukkan umat Islam melalui pernikahan beda agama. Bagi saya, kekhawatiran ini terlampau jauh, karena banyak pernikahan beda agama yang berlangsung lama dan bertahan dengan agamanya masing-masing.

(10)

Ini karena negara melalui KHI telah ikut terlibat dalam penentuan calon pasangan bagi warga negara yang mau menikah. Para aktivis HAM berkata bahwa negara tak boleh mengintervensi dan merampas hak privat setiap warga negara, termasuk dalam soal menentukan suami atau istri. Negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan suatu pernikahan bukan menentukan pasangan dalam pernikahan. []

(11)

Pernikahan beda agama semakin lama menjadi gejala yang semakin umum di dalam kehidupan masyarakat di negeri ini … Dengan semakin banyak dan semakin diterimanya pernikahan beda agama di negara yang konon katanya merupakan negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia … dan adanya fakta bahwa terjadi pro kontra di dalam kalangan umat Islam sendiri dalam menyikapi masalah pernikahan beda agama ini … maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah … apakah ajaran Islam mengatur tentang pernikahan beda agama ini … ? … Dan jika ada … bagaimana aturannya … ??? … Hal ini yang akan akan dibahas di dalam tulisan berikut ini …

Sebagai umat yang mengaku beragama Islam … beriman kepada Allah … dan juga beriman kepada kitab suci Al Qur'an … maka sudah selayaknya Al Qur'an yang dijadikan sebagai referensi utama … Sebelum membahas lebih jauh … berikut saya kutip ayat-ayat Al Qur'an yang membahas tentang pernikahan beda agama ini … :

QS. 2:221

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mumin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mumin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mumin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Dalam ayat di atas jelas … bahwa haram hukumnya bagi seorang yang mengaku beriman kepada Allah itu menikah dengan orang-orang dari golongan musyrik … tidak ada pengecualian … Secara sederhana dapat dikatakan bahwa … yang dimaksud sebagai golongan orang-orang musyrik adalah … orang-orang non-muslim yang tidak termasuk ke dalam golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) …

(12)

larangan menikah dengan golongan musyrikin … ? … Benarkah demikian … ? … Jawabannya dapat dilihat pada QS 5:5 yang terjemahannya begini … :

QS. 5:5

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.

Namun sebelum membahas QS 5:5 … ada baiknya juga kita mengetahui bagaimana pandangan para ulama tentang yang dimaksud sebagai golongan musyrikin terkait dengan QS 2:221 … Dalam persoalan ini … para ulama mempunyai pandangan yang berbeda … Sebagian di antara mereka mengharamkan semua pernikahan beda agama … termasuk juga dengan umat Yahudi atau Nasrani … Argumen yang digunakan adalah bahwa umat Yahudi dan Nasrani dapat digolongkan sebagai musyrik … karena aqidah Ketuhanan sudah berbeda (dengan menganggap Uzair dan Yesus sebagai Tuhan/anak Tuhan) … Di sisi lain … sebagian ulama berpendapat bahwa umat Yahudi dan Nasrani masih tetap digolongkan sebagai ahli kitab meskipun mereka termasuk kafir dan aqidah Ketuhanan ajarannya sudah tidak sama lagi dengan aqidah Islam … Para ulama yang mempunyai pandangan seperti ini berpedoman pada ayat ini … :

QS. 98:1

Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata

(13)

menikahi wanita dari kalangan ahli kitab … dan tidak ada perbedaan pandangan mengenai haramnya menikahkan seorang wanita muslimah dengan laki-laki dari kalangan ahli kitab … Jika pada kelompok ulama yang disebutkan pertama dasar argumennya adalah QS 2:221 dengan menganggap bahwa umat Yahudi dan Nasrani itu juga termasuk golongan musyrik karena aqidah Ketuhanannya sudah berbeda …

maka kelompok ulama yang disebutkan belakangan berpandangan bahwa QS 5:5 hanya berbicara tentang bolehnya laki-laki muslim menikahi wanita dari kalangan ahli kitab … dan sama sekali tidak menyinggung hal yang sebaliknya … Seandainya pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki dari kalangan ahli kitab itu diperbolehkan … maka tentunya ayat tersebut akan menegaskannya … sebagaimana QS 2:221 menegaskan larangannya menikah dan menikahkan laki-laki dan wanita muslim dengan orang-orang musyrik … Pandangan mana yang akan diambil … terserah saja … Namun yang jelas … sebagai umat muslim … sebaiknya diperhatikan juga dampaknya bagi kehidupan keluarga … karena kita diwajibkan menjaga keluarga kita dari api neraka … :

QS. 66:6

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Salah satu bentuk usaha menjaga keluarga dari siksa api neraka adalah … dengan melakukan upaya sungguh-sungguh agar tidak ada anggota keluarga yang meninggal dalam keadaan bukan Islam … Biar bagaimana pun … menikah dengan wanita yang tidak seiman akan meningkatkan kemungkinan lahirnya keturunannya yang mengikuti agama yang dibawa ibunya yang non-muslim … padahal Allah telah memperingatkan kepada orang yang mau beriman kepada-Nya bahwa jangan sekali-sekali mati melainkan dalam keadaan beragama Islam … Mungkin ayat-ayat yang saya kutip di bawah ini bisa menjadi gambarannya … :

(14)

Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

QS. 3:102

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

QS. 39:22

Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya (untuk) menerima agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.

Jika itu sampai terjadi … bagaimana pertanggung-jawaban kita kepada Allah nantinya … ??? … Jangan hanya karena ada kisah yang menunjukkan bahwa Nabi dan/atau sahabat Nabi pun pernah menikah dengan wanita yang beragama Yahudi dan/atau Nasrani … maka secara tergesa-gesa itu dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan pernikahan beda agama … Nabi dan sahabat Nabi itu jelas mempunyai level keimanan yang berbeda dengan kita … Keimanan dan komitmen mereka dalam menjalankan ajaran Islam telah teruji … dan tidak akan goyah keimanannya kepada Allah hanya karena istri yang berbeda agama … Nah … bagaimana dengan kita … ? … Dengan alasan toleransi atau untuk menyenangkan hati istri dan keluarga istri saja … bisa jadi malah suami yang mestinya membimbing istrinya … malah ikut-ikutan berpartisipasi ketika sang istri tercinta merayakan atau melakukan kegiatan ritual agamanya … Dengan kondisi seperti itu … tentu mendidik anak agar mau menjadikan Islam sebagai agama dan pedoman hidupnya akan menjadi lebih sulit … iya kan … ??? …

(15)

nanti agar menjadi Islam … sebaiknya dipertimbangkan dengan penuh perhitungan

Sumber: Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Ajaran Islam - Yafi Blog http://yafi20.blogspot.com/2012/07/hukum-pernikahan-beda-agama-dalam.html#ixzz2VV708zd8

Pernikahan Beda Agama dalam Islam

Perkawinan Beda Agama dalam Islam

Pernikahan Beda Agama dalam Islam Secara umum, Allah melarang perkawinan campur antar dua orang yang berbeda agama sebagaimana tersurat dalam QS 2:221

Oleh A. Fatih Syuhud

Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot

Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

Perkawinan merupakan salah satu institusi sosial yang dianggap sangat penting dalam Islam. Melalui perkawinan keberlanjutan generasi akan berjalan. Dan lewat lembaga perkawinan pendidikan dan penanaman keimanan Islam terhadap generasi muda akan ditanamkan. Oleh karena itu, Al-Quran dan hadits Nabi membuat petunjuk yang sangat jelas bagaimana sebuah perkawinan itu hendaknya dilakukan. Salah satu yang terpenting adalah bahwa seorang pria muslim hendaknya memilih calon pasangan yang seiman dan seagama. Tujuannya adalah untuk mencapai kesamaan dalam banyak hal termasuk dalam mendidik anak-anak kelak. Namun demikian, dalam kondisi tertentu Islam membolehkan seorang laki-laki muslim

menikahi wanita non-muslim.

(16)

Secara umum, Allah melarang perkawinan campur antar dua orang yang berbeda agama. Dalam QS 2:221 Allah berfirman “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [1]

Namun dalam ayat lain Allah membuat suatu pengecualian di mana Islam mengijinkan seorang laki-laki muslim menikahi wanita Yahudi atau Nasrani yang salihah menurut standar agamanya. Dalam QS Al Maidah 5:5 Allah berfirman: “(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.”[2] Orang Nasrani dan Yahudi dikecualikan dari orang musyrik yang lain karena masih ada kesamaan kedua agama tersebut dengan Islam.

Al Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al Baghawi saat menafsiri QS 5:5 menerangkan kesepakatan ulama atas bolehnya pria muslim menikahi wanita Yahudi dan Nasrani walaupun terjadi ikhtilaf atau perbedaan pendapat tentang apakah kebolehan tersebut khusus wanita nonmuslim yang shalihah saja atau umum.[3] Namun demikian, perlu diingat bahwa anak-anak hasil perkawinan campur harus dididik secara Islam. Dan bahwa wanita nonmuslim yang boleh dinikah hanyalah yang beragama Nasrani atau Yahudi sedang wanita nonmuslim yang lain tidak boleh dinikah sebagaimana dengan tegas disebutkan dalam QS 2:221.

Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi (Imam Nawawi), salah satu ulama paling otoritatif dalam fiqih madzhab Syafi’i, dalam kitab Raudhatut Talibin (Kitab NIkah) VII/136 membagi non-muslim menjadi 3 (tiga) dan perbedaan hukum terhadap ketiganya dalam soal nikah sebagai berikut:

(17)

Yahudi dan Nasrani. Adapun mereka yang menganut agama dan berpedoman pada kitab nabi-nabi yang lain seperti kitab nabi-nabi Sith, Idris, Ibrahim, Daud, maka tidak halal menikahi mereka menurut pendapat yang sahih.

Kedua, orang kafir yang tidak memiliki kitab yaitu penyembah berhala, matahari, bintang, dll maka tidak boleh menikahi mereka.

Ketiga, nonmuslim yang tidak punya kitab. Tapi mempunyai keserupaan dengan kitab seperti kaum Majusi. Ada dua pendapat tentang boleh tidaknya menikahi wanitanya. Yang sahih haram menikahi mereka.

Pernyataan dari Imam Nawawi di atas jelas menegaskan bolehnya menikahi wanita Nasrani dan Yahudi tanpa syarat apapun. Artinya, baik wanita Nasrani yang dulu atau yang sekarang. Baik kitabnya masih asli atau tidak.

Perlu juga diketahui, bahwa kitab Yahudi dan Nasrani sudah tidak asli lagi sejak dahulu jauh sebelum turunnya Al-Qur’an. Hal itu disebut secara terang benderang dalam Al-Quran. Lihat misalnya QS Al-Baqarah 2:79; Ali Imran 3:71, 78, 79, 187, ; An-Nisa’ 4:44, 46; Al-Maidah 5:13, 41.

Wanita Muslimah dengan Laki-laki Non-Muslim

Berbeda dengan pria muslim yang boleh menikahi wanita nonmuslim, wanita muslimah dilarang menikahi laki-laki nonmuslim secara mutlak apapun agamanya baik Yahudi, Nasrani apalagi pemeluk agama yang selain kedua agama samawi tersebut. Hal itu jelas tersurat dalam QS 2:221 dan menurut Al-Baghawi larangan wanita muslimah menikahi laki-laki nonmuslim adalah ijmak (kesepakatan) seluruh ulama.[4] Dengan demikian maka apabila terjadi perkawinan campur semacam itu, hukumnya tidak sah.

Alasan pelarangan tidak dijelaskan secara detail di dalam Al-Quran kecuali bahwa hal itu akan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi keluarga. Di samping itu, dalam Islam maupun dalam agama lain suami adalah pemimpin rumah tangga sehingga apabila kendali rumah tangga diserahkan kepada nonmuslim, maka tentunya seluruh keluarga, anak dan istri, akan mengikuti kendali suami. Itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa kawin beda agama itu dibolehkan bagi pria muslim, tidak bagi wanita muslimah.

Wali Nikah Wanita Non-Muslim

Dalam Islam salah satu hal yang sangat prinsip dalam perkawinan adalah adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan. Dalam perkawinan antar agama, maka wali nikah yang berhak menikahkan mempelai adalah sama dengan wali nikah yang muslim yaitu ayah, kakek dan saudara kandung atau seayah, keponakan, paman, dan seterusnya sebagaimana disebut dalam urutan laki-laki kerabat yang berhak menjadi wali nikah.[5]

(18)

Dalam hal perkawinan antar sesama muslim namun wali nikahnya nonmuslim, maka hak menikahkan berpindah ke wali hakim karena orang kafir tidak berhak menikahkan kerabatnya yang muslim.[7] Al Mawardi mengungkapkan argumennya mengapa laki-laki non-muslim tidak boleh menjadi wali nikah perempuan muslimah sbb:

karena berpotensi memiliki resiko sosial yang dapat mengancam keutuhan, keharmonisan dan kesinambungan rumah tangga. Karena, Islam lebih menyukai terjalinnya sebuah pernikahan berdasarkan pada kesamaan iman. []

[7] Al Mawardi dalam Al Hawi al Kabir fi Fiqhi Madzhabil Imam as-Syafi’I mengatakan: ا

ةرفاكل ايلو ملسملا لو ةملسمل ايلو رفاكلا نوكي لف

(19)
(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku, agama, dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Salah satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat sekarang ini ialah dimana kita sering jumpai terjadinya perlangsungan pernikahan beda agama. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakat yaitu berupa perkawinan campuran. Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan dikemudian hari. Oleh karena itu, kemudian hal itu banyak mendapat tantangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di Negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.

Dengan adanya berbagai perbedaan pandangan perkawinan beda agama ini, maka tim penyusun makalah ini tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hokum Islam. Hal ini dikarenakan tidak dapat kita pungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut agama Islam sehingga sudah barang tentu hokum Islam diperhitungkan sebagai salah satu sistem hukum yang banyak hidup di tengah masyarakat Indonesia. Dengan begitu hukum Islam dapat menjadi salah satu tolak ukur dalam menilai masalah perkawinan beda agama ini.

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

1. Konsep dan Pengertian Nikah Beda Agama

Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang mengartikannya “perjanjian” (al-Aqdu). Secara terminology pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja”.

(21)

Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah “Aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita”. Dengan aqad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan haram (zina). Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah “Aqad yang menjamin diperbolehkan persetubuhan”. Sedang menurut mazhab Hambali adalah “Aqad yang di dalamnya terdapat lafazh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”.1

Menikah dengan pasangan yang se-agama tentu tidak akan susah-susah mengurus segala sesuatu mulai dari restu keluaga, juga dalam berhubungan dengan pemuka agama yang menikahkan hingga pegawai pencatat nikah. Akan tetapi ceritanya akan lain kalau Anda sudah berketetapan hati untuk menikah dengan seseorang yang merupakan pasangan hidup anda. Bukan sekedar karena sudah bilang mencintai, tapi juga niat tulus untuk berbuat baik dan membangun keluarga bersama dalam sebuah ikatan. Tetapi niat baik itu akan terbentur tembok agama dan juga birokrasi hukum.

Pernikahan beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama lain. Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai didalam kehidupan bermasyarakat.2

Persoalan nikah beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum. Sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan antara penganut agama bersangkutan dengan penganut agama lain adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan.3

2. Hukum pernikahan beda agama

Ketika membicarakan tentang orang-orang yang boleh dan haram untuk dinikahi, maka kita tidak bisa melepaskan pembicaraan lebih jauh mengenai hukum menikah dengan ahli kitab, kita harus memberi batasan terlebih dahulu apa yang dimaksud ahli kitab, karena banyak orang yang mengira bahwa setiap non muslim atau orang kafir itu adalah ahli kitab.

Ada banyak pendapat mengenai siapa ahli kitab. Jika kita mengacu pada beberapa ayat al-Qur’an yang menyebutkan ahli kitab biasanya ayat tersebut menunjuk pada komunikasi nasrani dan yahudi. Akan tetapi Imam Syafi’i membatasi pengertian ahli kitab hanya kepada orang-orang yahudi dan nasrani dari keturunan Bani Israil.

(22)

Sementara itu, setelah meneliti beberapa pendapat ulama, Quraish shihab dalam bukunya wawasan al-Qur’an mengemukakan kecenderungannya memahami ahli kitab sebagai semua penganut agama yahudi dan nasrani, kapanpun, dimanapun dan dari keturunan siapapun mereka. Pendapat ini berdasarkan pada penggunaan al-Qur’an terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan tersebut (yahudi dan nasrani). Pendapat Quraish Shihab di atas termasuk pendapat yang moderat dan banyak dipegang para ulama’. Maka pengertian ahli kitab lebih menunjuk kepada pengertian komunitas yahudi dan nasrani pada umumnya.

Adapun hukum pernikahan beda agama, yaitu: 1. Muslimah menikah dengan laki-laki lain

Permpuan muslimah tidak boleh nikah dengan laki-laki lain, baik dia itu ahli kitab ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Seperti firman Allah:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Q.S. al-Baqarah: 221)4

Selain hukum pernikahan beda agama di atas, para tokoh Islam juga berpendapat mengenai hukum nikah beda agama, antara lain:

1. Menurut Sayid Sabiq, mengatakan bahwa ulama’ fiqih sepakat mengharamkan perkawinan perempuan muslim dengan pria non muslim dari golongan manapun. 2. Menurut Ali ash-Shabuni dalam Q.S. al-Mumthahanah ayat 10, mengandung

kemutlakan yang mencakup juga ahli kitab dan non muslim lainnya termasuk murtad dari Islam.

3. Menurut Maulana Muhammad Ali, mengatakan bahwa al-Qur’an sebenarnya tidak menyebutkan secara tegas larangan perkawinan wanita muslim dengan pria non muslim.

4. Menurut Mahmoud Muhammad Toha, berpendapat bahwa larangan pengharaman perkawinan model ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan.

5. Menurut Zainun Kamal, berpendapat bahwa wanita muslim boleh menikah dengan pria non muslim manapun selain pria kafir musyrik quraisy.5

2. Lelaki muslim menikah dengan perempuan non muslim

Pernikahan seorang lelaki muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:

(23)

Jika wanita haram menikah dengan laki-laki non muslim termasuk laki-laki ahli kitab, tidak demikian halnya dengan laki-laki muslim. Para lelaki muslim hukumnya mubah menikahi perempuan dari komunitas ahli kitab, yaitu komunitas yahudi dan nasrani. Diluar dua komunitas ini laki-laki muslim pun haram menikahinya. Firman Allah

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (Q.S. al-Maidah : 5)6

Menurut Yusuf al-Qardlawi berpendapat tentang bolehnya seorang lelaki muslim menikah dengan perempuan kitabiyah, sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa syarat yang wajib diperhatikan, yaitu:

1. Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran Samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama Samawi.

2. Wanita kitabiyah yang muhshanah.

3. Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum muslimin.

4. Dibalik perkawinan dengan kitabiyah itu tiak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan (keluar dari agama Islam). Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan “tidak bahaya dan tidak membahayakan”.

Walaupun hukumnya mubah, mesti diperhatikan bahwa ada beberapa keburukan yang akan terjadi manakala seorang lelaki muslim menikah dengan wanita non muslim, antara lain:

(24)

2. Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka benar-benar menjadi kenyataan.

3. Perkawinan dengan non muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika lelaki muslim dan wanita kitabiyah berbeda tanah air, bahasa, dan budaya.

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab:

1. Menurut pendapat jumhur ulama’ baik hanafi, maliki, syafi’i, maupun hambali, seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) Negara Islam (ahli dzimmah). Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi:

“Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”(Al-Maidah: 5)

2. Golongan syiah imamiyah dan syiah zaidiyah berpendapat bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab. Golongan ini melandaskan pendapatnya pada dalil:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. (al-Baqarah: 221)

Golongan ini berpendapat bahwa wanita-wanita ahli kitab itu termasuk kafir, karena wanita-wanita ahli kitab itu telah musyrik (menyekutukan Allah). Firman Allah:

(25)

Kemudian dikalangan jumhur ulama’ yang memperbolehkan kawin dengan ahli kitab, juga berpendapat:

1. Sebagian mazhab hanafi, maliki, syafi’i dan hambali mengatakan bahwa hukum perkawinan itu makruh.

2. Menurut pendapat sebagian mazhab maliki, ibnu qasim, khalil, mengatakan bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat.

3. Az-Zarkasyi (mazhab syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunnahkan, apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam. Sebagai contohnya adalah perkawinan Usman bin Affan dengan Nailah, sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini. Sebagian mazhab syafi’i pun ada yang berpendapat demikian.7

2. Lelaki muslim menikah dengan perempuan non ahli kitab.

Dalam hal ini banyak ulama’ yang melarang dengan dasar Q.S. al-Baqarah ayat 221:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (Q.S. al-Baqarah: 221)

Ayat tersebut secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan kaum musyrik.8

Selain hukum pernikahan beda agama di atas, para tokoh Islam juga berpendapat mengenai hukum nikah beda agama, antara lain:

1. Menurut Ibnu Umar, berpendapat bahwa hukum perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab adalah haram.

2. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal, melarang perkawinan pria muslim dengan wanita musyrik dan membolehkan dengan wanita yahudi dan nasrani. Sekalipun ahli kitab tersebut meyakini trinitas tidak menjadi persoalan karena yang terpenting mereka mempunyai kitab samawi dan tetap berstatus sebagai ahli kitab.

(26)

musyrik Arab. Dengan demikian kebolehannya bukan hanya menikah dengan perempuan yahudi dan nasrani saja, melainkan juga dengan wanita-wanita manapun, baik majusi, shabiah, hindu, budha, orang-orang china dan jepang sekalipun. Karena menurutnya mereka itu termasuk ahli kitab yang berisi tauhid sampai sekarang.9

Perkawinan pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab terbagi kepada: 1. Perkawinan dengan wanita musyrik

Agama Islam tidak memperkenankan pri muslim kawin dengan wanita musyrik, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 221. Ayat tersebut dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik. Demikian pendapat para ulama’ menegaskan demikian.

2. Perkawinan dengan wanita majusi

Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi (penyembah api), sebab mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian pendapat jumhur ulama dan yang dimaksud ahli kitab adalah yahudi dan nashara. 3. Perkawinan dengan wanita shabi’ah

Shabi’ah adalah satu golongan dalam agama nasrani: shabi’ah dinisbatkan kepada Shab paman Nabi Nuh as. Ada pula yang berpendapat, dinamakan Shabi’ah, karena berpindah dari satu agama kepada agama lain. 4. Perkawinan dengan wanita penyembah berhala

Para ulama’ telah sepakat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita penyembah berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena mereka termasuk orang-orang kafir.10

SIMPULAN

Sebagaimana ajaran yang paripurna, Islam telah memberikan aturan yang jelas mengenai pernikahan. Karena pernikahan merupakan ritual penting yang tidak hanya menyangkut masalah fiqih. Pernikahan ternyata juga menyangkut masalah sosial, budaya dan politik yang lebih kompleks. Seorang muslim harus memandang perkawinan dari perspektif yang komprehensif. Apalagi jika menyangkut perkawinan dengan non muslim.

Adapun hukum pernikahan beda agama jika disimpulkan yaitu:

 Suami Islam, istri ahli kitab = boleh.

 Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram.  Suami ahli kitab, istri Islam = haram.

(27)

Meskipun seorang laki-laki muslim boleh menikahi dengan ahli kitab tetapi bukan berarti dia bebas memilih perempuan ahli kitab yang diinginkannya. Ada beberapa ketentuan yang wajib diperhatikan atau dijaga ketika seorang lelaki muslim mengawini seorang wanita ahli kitab. Meskipun menikahi wanita-wanita ahli kitab diperbolehkan agama tetapi karena banyak madhorot yang ditimbulkannya maka sudah seharusnya seorang laki-laki muslim lebih memilih perempuan muslimah ketimbang wanita ahli kitab.

DAFTAR PUSTAKA

Baso, Ahmad & Ahmad Nurcholis (editors). 2005. Pernikahan Beda Agama; Kesaksian, Argumen Keagamaan & Analisis Kebijakan. Jakarta: Komnas HAM.

Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Katsir, Ibnu. 1997. Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 1/582. Riyadh: Dar Thayyibah.

Yusuf Qardlawi, Syekh Muhammad. 1976. Halal dan Haram dalam Islam. Bangil: PT. Bina Ilmu.

Raja 1987.blogspot.com/…/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html.

1 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 1-2.

2 Raja 1987.blogspot.com/…/ kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.htm

3Ahmad Baso & Ahmad Nurcholis (editors). Pernikahan Beda Agama; Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan (Jakarta: Komnas HAM, 2005), hlm.7.

4Syekh Muhammad Yusuf Qardlawi, Halal dan Haram dalam Islam (Bangil: PT. Bina Ilmu, 1976), hlm.252.

5 Raja 1987.blogspot.com/…/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html 6 Isson Khairul, Menikah dengan Ahli Kitab (Anggun, 2008), hlm. 82. 7 M. Ali Hasan, Loc.Cit., hlm. 11-13.

(28)

Referensi

Dokumen terkait

da’i, materi dakwah, strategi dakwah, metode dakwah dan media dakwah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif daskriptif, dengan mengambil latar Di Kelurahan Kota

cabang ilmu dan/atau rumpun ilmu yang dibina program studi yang akan diakreditasi diperlukan kajian yang komprehensif mencakup jumlah program studi yang masuk dalam cabang

Refleksi ini dilakukan bersama dengan observer. Observer yang dimaksud adalah rekan guru yang mengajar di SMK NU 1 Adiwerna. Melalui refleksi ini peneliti dapat melihat

Menurut Utama (2004), baik tidaknya pelaksanaan good corporate governance di dalam perusahaan salah satu diantaranya dipengaruhi oleh mekanisme disclosure informasi

2 Gary Dessler, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Prenhallindo, 1997) h.. memungkinkan organisasi memperoleh, memelihara dan memperkerjakan sejumlah orang yang

Efisiensi operasional saluran tataniaga karet melalui pasar lelang di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan saluran tataniaga karet tradisional (perantara para

Struktur Organisasi Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bulungan KEPALA DINAS JABATAN FUNGSIONAL SEKRETARIAT SUB BAGIAN PROGRAM DAN KEUANGAN SUB BAGIAN UMUM DAN KEPEGAWAIAN

1) Jawaban untuk pertanyaan nomor satu ini berhubungan dengan dasar- dasar mikroekonomi yang diketahui memiliki fokus pembelajarn pada perilaku individu termasuk