• Tidak ada hasil yang ditemukan

gusti5yahoo.com ABSTRAK - Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Menuju Swasembada Pangan Berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "gusti5yahoo.com ABSTRAK - Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Menuju Swasembada Pangan Berkelanjutan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MENUJU SWASEMBADA PANGAN BERKELANJUTAN

H. Gusti R Sadimantara1 dan Muhidin1 1

Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo gusti5@yahoo.com

ABSTRAK

Padi merupakan komoditi strategis yang dapat memberikan dampak yang serius pada bidang sosial, ekonomi, maupun politik di Indonesia. Pengadaan padi nasional harus betul-betul diperhatikan agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan. Peningkatan produktivitas padi guna mewujudkan swasembada pangan secara berkelanjutan, dapat dilakukan melalui: (1) pendekatan teknis/lingkungan (biotik, abiotik, dan manajemen); (2) perbaikan karakter tanaman (pemuliaan konvensional, bioteknologi/rekayasa genetik); (3) pemanfaatan sumber daya (varietas) lokal secara maksimal; (4) penambahan luasan lahan pertanian baru; dan (5) pendekatan sosial budaya. Produksi pangan tergantung dari berbagai faktor, seperti iklim, tanah, tanaman, sarana produksi, manajemen dan insentif bagi para petani dalam memproduksi komoditas pangan. Rendahnya laju peningkatan produksi pangan diduga disebabkan oleh: (1) produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2) peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Upaya-upaya terpadu secara terkonsentrasi pada peningkatan produksi padi nasional yang terencana mulai

―presisi‖ di sektor hulu – proses (on farm) dan hilirnya perlu dilakukan dengan penekanan pada: peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi bio/hayati organik, perluasan areal pertanian pangan (padi) dan optimalisasi pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya, kebijakan tataniaga beras dan pembatasan impor beras, pemberian kredit produksi dan subsidi bagi petani padi, serta pembatasan konversi lahan pertanian pangan menjadi lahan non-pertanian.

Kata kunci : Berkelanjutan, produktivitas padi, swasembada pangan, teknologi budidaya

PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat berperan dalam perekonomian nasional melalui sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan ekspor, penyediaan tenaga kerja dan penyediaan pangan nasional. Sektor pertanian juga memiliki kontribusi dalam memperkuat keterkaitan antar industri, konsumsi dan investasi.

Padi adalah sumber makanan pokok bagi hampir seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, padi merupakan komoditi strategis yang dapat memberikan dampak yang serius pada bidang sosial, ekonomi, maupun politik di Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, pengadaan padi nasional harus betul-betul diperhatikan agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan.

(2)

BPS (2008), menyebutkan bahwa hingga tahun 2025 dibutuhkan penambahan baku sawah seluas 2,66 juta Hektar. Sehingga untuk mencapai angka luasan tersebut, mulai tahun 2013 yang lalu mestinya dibutuhkan perluasan sawah seluas 205.000 ha/tahun. Dalam perkembangan perluasan areal sawah baru, produktivitas akan dapat terlihat maksimal dalam jangka dua sampai tiga tahun kedepan. Namun untuk lahan sawah yang baru ini masih di bawah standar, asumsi untuk produktivitas pada kisaran 2,5 ton sampai 3 ton per hektar. Sedangkan untuk peningkatan produktivitas padi tidak hanya bergantung pada lahan, tetapi juga ketersediaan air, kesuburan lahan, dukungan penyuluh, dukungan modal, dan sarana produksi.

Upaya memacu pertumbuhan produksi pangan (padi) dengan membuka areal lahan pertanian baru yang dapat digunakan untuk pertanian produktif adalah potensi lahan pasang surut dan lahan lebak, serta lahan kering yang sebagian besar belum tergarap secara optimal dengan disertai penerapan teknologi produktivitas. Selama ini andalan produksi padi nasional berfokus pada lahan sawah irigasi terutama di pulau Jawa, sedangkan sumbangan lahan kering atau padi gogo yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia masih sangat terbatas. Data terbaru, menyebutkan Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan. Keadaan ini merupakan prospek untuk pengembangan padi lahan kering yaitu padi gogo terutama padi gogo lokal. Kontribusi padi gogo terhadap produksi padi nasional masih relatif rendah, sehingga pengembangannya masih terus diupayakan. Produktivitas padi gogo pada tahun 2011 sebesar 3,091 ton ha-1, jauh lebih rendah dibanding dengan produktivitas padi sawah yang mencapai 5.179 ton ha1. Hal tersebut dikarenakan masih rendahnya mutu benih yang digunakan (Deptan, 2012).

Terkait dengan masalah krisis pangan dunia saat ini dan swasembada pangan di Indonesia, beberapa komponen utama yang sangat menentukan juga adalah (a) tingkat produksi pangan, (b) besarnya konsumsi, dan (c) tekanan pertambahan penduduk. Pada dasarnya, inti dari masalah pangan saat ini adalah karena terjadinya kelebihan permintaan, sementara itu pada waktu yang bersamaan, akses terhadap pangan terbatas akibat suplai atau stok di pasar yang terbatas atau akibat daya beli yang rendah.

PERMASALAHAN PRODUKSI PANGAN

Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2) peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor tersebut memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Laju pertumbuhan produksi pangan (padi) yang tidak mampu mengimbangi laju pertambahan penduduk sehingga terjadinya pelandaian produksi pada daerah-daerah sentra produksi. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan untuk peningkatan produksi guna mewujudkan swasembada pangan dan ketahanan pangan nasional.

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI MENUJU SWASEMBADA PANGAN BERKELANJUTAN

(3)

berdampak pada rendahnya produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani dan daya saing di pasaran terus menurun. Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan yang diusahakan menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya pangannya, sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi nasional.

Salah satu indikator kerawanan pangan adalah ketersediaan pangan yang merupakan fungsi dari produksi pangan. Hingga saat ini produksi bahan pangan kita masih rendah bahkan terus menurun dari tahun ke tahun. Rata-rata produktivitas tanaman pangan nasional masih rendah, yaitu Rata-rata produktivitas padi adalah 4.4 ton ha-1 (Purba dan Las, 2002), jagung 3.2 ton ha-1 dan kedelai 1.19 ton ha-1. Jika dibanding dengan negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke 29, Australia memiliki produktivitas rata-rata 9.5 ton ha-1, Jepang 6.65 ton ha-1 dan Cina 6.35 ton ha-1 (FAO, 1993).

Pada sisi produksi, faktor dominan rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a) penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b) tingkat kesuburan lahan yang terus menurun, (c) eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal. Terkait dengan produksi bahan pangan, permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi hingga saat ini adalah meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, terutama pertanian tanaman pangan, belum optimalnya pemanfaatan lahan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia pertanian, masih terbatasnya akses petani terhadap sumberdaya produktif dan infrastruktur pertanian. Keterbatasan permodalan juga membatasi berkembangnya pengolahan hasil dan penerapan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, kualitas dan nilai tambah dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas tanaman pangan, khususnya padi.

Pada sisi konsumsi, terdapat kecenderungan meningkatnya konsumsi bahan pangan pokok beras per kapita (konsumsi per kapita 135 kg per tahun) dari tahun ke tahun. Sementara diversifikasi bahan pangan sumber karbohidrat lain seperti ubi, jagung dan tepung-tepungan, tidak mengalami peningkatan yang signifikan bahkan cenderung menurun. Penurunan ini terjadi akibat pola pangan tunggal yang masih bergantung kepada beras dan belum berhasilnya kampanye diversifikasi bahan pangan.

Tantangan terbesar untuk dapat mengatasi itu semua, khususnya di Indonesia adalah masih lemahnya kelembagaan petani dan kelembagaan pendukung pertanian, dimana dalam kenyataannya kurang mendukung keberlanjutan dan efektifitas upaya peningkatan produktivitas pertanian. Kelemahan ini juga kurang mendukung peningkatan efisiensi usaha, nilai tambah dan upaya-upaya untuk meningkatkan posisi tawar petani dalam rangka peningkatan daya saing komoditas pertanian, yang dapat menghambat peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani termasuk masyarakat perdesaan pada umumnya. Selanjutnya, ketergantungan sektor pertanian terhadap sektor lain dan adanya otonomi daerah juga menuntut koordinasi lintas sektor dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang lebih baik dalam upaya pemenuhan ketersediaan pangan.

Berdasarkan uraian di atas, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan produktivitas padi guna mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan, dapat dilakukan melalui:

1. Pendekatan Secara Teknis

Secara teknis peningkatan produktivitas tanaman dapat dilakukan secara biotik, abiotik dan manajemen. Secara biotik peningkatan produktivitas dilakukan dengan memanfaatkan komponen-komponen biotik (mikroorganisme), misalnya penggunaan jamur, bakteri, virus, dan lain-lain dalam menekan hambatan-hambatan yang membatasi produksi tanaman padi. Menurut Yuwono (2006) terdapat beberapa mikroba tanah yang menguntungkan tanaman, dapat dikategorikan sebagai biofertilizer atau pupuk hayati.

Secara garis besar fungsi menguntungkan pendekatan peningkatan produktivitas secara biotik karena komponen mikroorganisme tersebut dapat berperan sebagai: (a) penyedia hara, (b) peningkat ketersediaan hara, (c) pengontrol organisme pengganggu tanaman, (d) pengurai bahan organik dan pembentuk humus, (e) pemantap agregat tanah, dan (f) perombak persenyawaan agrokimia.

(4)

sistem pertanian akan membawa pengaruh yang positif baik bagi ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman, lingkungan edapik, maupun upaya pengendalian beberapa jenis penyakit. Dengan penggunaan mikroorganisme tersebut akan dapat diperoleh pertumbuhan dan produksi tanaman yang optimal dan hasil panen yang lebih sehat. Mikroorganisme yang bermanfaat dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut sering disebut sebagai biofertilizer atau pupuk hayati.

Pendekatan abiotik secara umum berkaitan dengan komponen fisik atau kimia, dimana keduanya dapat mempengaruhi pola fisiologis secara positif atau secara negatif. Faktor-faktor fisik dimaksud, meliputi kondisi cuaca/iklim (radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, angin, curah hujan, evapotranspirasi), sedangkan komponen kimia meliputi unsur hara tanah, pH tanah, ketersediaan air tanah. Keberadaan dua faktor tersebut di lingkungan tumbuh tanaman padi dapat meningkatkan produktivitas tanaman bila sesuai dengan keinginan atau persyaratan tumbuh tanaman. Oleh karena itu, dalam sistem budidaya tanaman agar menghasilkan produksi yang maksimal harus diupayakan komponen abiotik berada pada kondisi yang optimal sesuai yang dipersyaratkan tanaman, karena bila tidak maka inilah yang akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan serta membatasi produksi tanaman.

Peningkatan Produktivitas lahan dan tanaman dapat dicapai dengan pengelolaan atau sistem manajemen yang baik dan handal, melalui intensifikasi pertanian, diversifikasi produksi pangan, kontinuitas produksi pangan, sustainabilitas produksi pangan, ekstensifikasi pertanian, penggunaan kredit usaha pertanian. Masing-masing alternatif tersebut, harus mengaplikasikan prinsip-prinsip keteraturan yang efisien dan efektif khususnya dalam penerapan teknik budidaya yang dipersyaratkan mulai dari persiapan benih, sampai panen dan pasca panen. Dengan demikian, kualitas sumber daya manusia yang menjadi pengelola dan pelaksana di lapangan sangat menentukan, termasuk ada tidaknya kelembagaan petani.

Intensifikasi pertanian merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil pertanian tanpa menambah areal lahan pertanian, melalui penggunaan bibit unggul, pemupukan, irigasi yang baik, mencegah gangguan hama dsb. Intensifikasi pertanian juga dapat dimaknai sebagai usaha peningkatan produktivitas tenaga kerja dan sumberdaya alam serta upaya peningkatan keunggulan daya saing dengan penerapan iptek dan sarana produksi yang efisien.

Diversifikasi produksi pangan adalah upaya memproduksi bahan pangan lebih dari satu jenis bahan pangan. Indikator diversifikasi pertanian yang lazim digunakan adalah: (1) multiple cropping index (MCI) yang menunjukkan derajat intensitas tanam, (2) harvest diversity index (HDI) yang merefleksikan derajat diversifikasi pemanfaatan lahan, dan (3) diversity index (DI) yang menunjukkan derajat diversifikasi pendapatan. Semakin tinggi nilai ketiga indikator tersebut, makin tinggi derajat diversifikasi pertanian di tingkat wilayah dan di tingkat usaha tani.

Kontinuitas produksi pangan merupakan suatu strategi dimana lahan tidak pernah diberokan (fallow system), artinya bahwa petani terus melakukan penanaman secara bergilir sehingga produksi bahan pangan berlangsung terus menerus. Apabila musim kemarau tiba, petani melakukan pergiliran tanaman. Pola pergiliran tanaman mempunyai fungsi penting untuk memutuskan siklus perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman, selain juga untuk menekan terjadinya erosi dan mencegah terkurasnya unsur hara dari dalam tanah. Pergiliran tanaman diperlukan juga untuk mempertahankan dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kesuburan tanah.

Sustainabilitas produksi pangan yaitu suatu strategis penyediaan bahan pangan yang melaksanakan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan, meliputi komponen-komponen fisik, biologi dan sosio-ekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian. Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input). Konsep ini mengandung makna bahwa sistem pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal.

(5)

lain dengan (1) memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut termasuk di kawasan pasang surut. 2) mengoptimalkan lahan tidur dan lahan tidak produktif terutama di luar pulau Jawa.

2. Perbaikan Karakter Tanaman (Pemuliaan Konvensional, Bioteknologi)

Peningkatan produktivitas tanaman padi melalui perbaikan karakter tanaman dapat dilakukan melalui pemuliaan konvensional dan biotektologi/rekayasa genetik. Pada umumnya benih ataupun bibit, sebagai produk akhir dari suatu program pemuliaan tanaman memiliki karakteristik keunggulan tertentu, mempunyai peranan yang vital sebagai penentu batas-batas produktivitas dan dalam menjamin keberhasilan budidaya tanaman.

Teknik persilangan yang diikuti dengan proses seleksi dalam pemuliaan tanaman konvensional merupakan teknik yang paling banyak dipakai dalam inovasi perakitan kultivar unggul baru, selanjutnya diikuti oleh kultivar introduksi, teknik induksi mutasi dan mutasi spontan yang juga menghasilkan beberapa kultivar baru.

Upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta preferensi masyarakat. Beberapa varietas unggul baru telah dilepas untuk dibudidayakan oleh petani. Galur-galur hasil persilangan padi gogo dan padi sawah sedang dalam pengujian yang ditujukan untuk mendapatkan varietas padi produksi tinggi dan toleran kekeringan (Sadimantara, et.al., 2014). Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, varietas yang dirakit pun terus berkembang.

Padi Tipe Baru (New Plant Type, NPT), juga diharapkan dapat memacu peningkatan produksi padi.Potensi hasil varietas padi tipe baru mencapai 30 – 50% lebih tinggi daripada varietas unggul yang telah ada, pada kondisi lingkungan yang ideal.Keunggulan tersebut dapat ditingkatkan dengan memanfaatkannya sebagai bahan dalam perakitan varietas hibrida. Varietas hibrida yang dihasilkan diharapkan memiliki produktivitas 15% lebih tinggi daripada NPT asalnya. Keunggulan tersebut memberi harapan bahwa pelandaian peningkatan produktivitas padi dapat teratasi.Upaya pemuliaan tanaman padi telah secara nyata meningkatkan produksi padi.

Menerapkan bioteknologi atau rekayasa genetik dalam upaya peningkatan produksi bahan pangan merupakan salah pendekatan yang sudah banyak terbukti, bahwa tanaman hasil bioteknologi memiliki produktivitas yang tinggi dan menguntungkan bagi petani, diantaranya dengan mengurangi biaya produksi, energi dan bahan kimia. Produk rekayasa genetik memiliki beberapa keuntungan diantaranya: meningkatkan tingkat nutrisi bahan pangan. Gen tertentu dapat ditambahkan dalam susunan gen padi sehingga padi tersebut setelah dipanen dapat memproduksi beta-carotene yang dapat diubah oleh metabolisme tubuh manusia menjadi vitamin A. Padi yang

dihasilkan dengan teknologi rekayasa genetika yang bernama ‗golden rice‘ ini berpotensi untuk mengurangi kekurangn vitamin A sebagai penyebab utama kebutaan dan faktor yang cukup signifikan terhadap kematian anak-anak di dunia, toleran terhadap cekaman lingkungan. Disamping itu, padi transgenik lainnya yang telah ada adalah Bt rice yang tahan terhadap hama penggerek batang, varietas dengan kandungan Fe pada beras yang tinggi, serta upaya memodifikikasi fotosintesis dari C3 menjadi C4.

Sejak 1996, lebih dari 10 jenis tanaman biotek pangan dan serat, seperti jagung, padi, kacang kedelai dan kapas, hingga buah-buahan dan sayuran seperti pepaya, terong, dan yang terbaru kentang, telah disahkan dan diperdagangkan di seluruh dunia. Karakteristik yang ditawarkan tanaman ini berpengaruh terhadap manfaat yang diberikan kepada para konsumen dan laju produksi untuk para petani, termasuk toleransi kekeringan,res istensi terhadap hama dan penyakit, toleransi herbisida, dan nutrisi dan kualitas makanan yang meningkat. Tanaman biotek berkontribusi terhadap sistem produksi tanaman yang lebih berkesinambungan dan memberikan ketahanan terhadap tantangan perubahan iklim (climate change).

Mengacu pada laporan tersebut, Amerika Serikat terus memimpin produksi hingga 73,1 juta hektar. Dengan kenaikan hingga tiga juta hektar - tingkat pertumbuhan sebesar empat persen - dibandingkan tahun 2013, AS mencatatkan peningkatan tahunan tertinggi, melampui Brasil, yang mencatatkan peningkatan tahunan tertinggi selama lima tahun terakhir.

(6)

Informasi provisional global selama periode 1996 hingga 2013 menunjukkan kalau tanaman bioteknologi meningkatkan produksi senilai 133 miliar dolar Amerika; selama periode 1996 hingga 2012, penggunaan pestisida turun drastis sehingga menghemat penggunan bahan-bahan aktif hingga sekitar 500 kg. Pada tahun 2013 saja, tanaman biotek berhasil menurunkan kadar emisi karbondioksida yang setara dengan menghapus keberadaan mobil hingga 12,4 juta unit dari jalanan selama satu tahun.

Temuan-temuan tersebut sesuai dengan hasil meta analisis ketat dari dua ekonom Jerman, Klumper & Qaim (2014), yang menyimpulkan kalau teknologi modifikasi genetis (GM), rata-rata, telah menekan penggunaan pestisida kimia hingga 37 persen, meningkatkan hasil panen hingga 22 persen, dan meningkatkan pendapatan petani hingga 68 persen selama 20 tahun, mulai dari tahun 1995 hingga tahun 2014.

Menurut Brooks dan Barfoot, jika 441 juta pangan, pakan, dan serat tanaman biotek dari tahun 1996 hingga 2013 tidak diproduksi, maka akan terdapat 132 juta hektar lahan tanaman konvensional yang harus memproduksi jumlah pangan dengan tonase yang sama. Kebutuhan jumlah lahan yang lebih besar ini bisa saja menyebabkan dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan lingkungan karena kebutuhan lahan tanaman yang lebih besar.

3. Pemanfaatan Sumber Daya (Varietas) Lokal Secara Maksimal

Upaya peningkatan produktivitas padi menuju swasembada pangan melalui pengembangan padi gogo lokal berdaya hasil dan bermutu tinggi tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya upaya sinergi dengan program pengembangan yang lain. Aplikasi teknologi inovatif dapat mempercepat dan mempermudah peningkatan produksi padi dan swasembada pangan. Beberapa aplikasi teknologi inovatif yang dapat dilakukan antara lain melalui penerapan bioteknologi secara bijak, perbaikan sistem irigasi dan teknologi produksi yang efisien. Penerapan bioteknologi dapat mempercepat proses pembentukan varietas padi gogo berdaya hasil dan bermutu tinggi.

Produksi padi di lahan kering akan optimal ketika air tersedia. Penyediaan air dapat dilakukan melalui perbaikan sistem irigasi sehingga air dapat tersedia sepanjang tahun, terutama pada lahan sawah. Hasil tinggi merupakan interaksi antara varietas dan lingkungan. Perbaikan lingkungan dapat dilakukan ketika teknologi produksi berjalan efisien. Teknologi produksi yang efisien menyebabkan tanaman tumbuh optimal sehingga varietas dapat mencapai angka potensi hasilnya.

Hal lain yang sangat penting dalam mewujudkan swasembada pangan adalah ―dukungan‖ pemerintah berupa kebijakan yang sangat kokoh dan konsisten memihak petani seperti pemberian insentif, proteksi dan subsidi yang tepat sasaran, seperti yang telah dilakukan pemerintah di negara-negara maju. Pemerintah tidak boleh membiarkan petani berhadapan langsung dengan pasar global. Di samping itu, kemudahan akses petani terhadap saprodi, stabilitas harga dan jaminan pemasaran juga menjadi hal yang penting diperhatikan. Program-program konvensional seperti penurunan laju pertambahan penduduk dan diversifikasi sumber bahan pangan perlu direvitalisasi bersamaan dengan pemberdayaan kelembagaan pertanian.

Petani memerlukan proteksi atau perlindungan dari pemerintah diantaranya dengan jalan mengurangi, mencegah atau bahkan menutup masuknya beras dari luar negeri. Ini akan membuka peluang pasar untuk beras dalam negeri. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh petani dengan jalan meningkatkan luas penanaman padi gogo yang memiliki kualitas hasil tinggi dan memiliki harga tinggi yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani perdesaan dan memperkokoh ketahanan dan kedaulatan pangan.

Harga sarana produksi (saprodi) yang tinggi di tingkat eceran memberatkan petani terutama petani lahan kering. Pemberian subsidi terhadap saprodi menyebabkan petani dapat memperoleh saprodi dan mampu mengaplikasikan teknologi produksi yang efisien. Ketika teknologi produksi yang efisien dapat diaplikasikan oleh petani maka produktivitas padi gogo akan meningkat, dampaknya produksi padi gogo akan meningkat, sehingga swasembada yang direncanakan dapat tercapai secara berkelanjutan.

(7)

jika tidak dapat dipasarkan. Oleh karena itu kebijakan pemerintah juga harus menyangkut kemudahan akses petani terhadap saprodi dan jaminan pemasaran.

Sebuah terobosan telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dengan membentuk Konsorsium Padi dan Kedelai yang melibatkan lembaga yang bergerak di bidang pertanian. Kegiatan utama konsorsium adalah percepatan uji multilokasi untuk percepatan pelepasan varietas, termasuk varietas padi gogo. Hasil dari kegiatan ini salah satunya adalah pelepasan varietas. Dengan dilepasnya suatu varietas maka diharapkan petani akan mempunyai pilihan untuk menanam varietas yang disukainya.

4. Penambahan Luasan Lahan Pertanian Baru

Dari sisi perluasan areal lahan tanaman padi ini upaya yang dapat ditempuh adalah: (1) memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut termasuk di kawasan pasang surut (Alihamsyah, dkk, 2002) (2) mengoptimalkan lahan tidur dan lahan tidak produktif. Kedua pilihan tersebut mutlak harus dibarengi dengan menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian besar lahan tersebut tidak subur untuk tanaman pangan.

Luas lahan pasang surut dan Lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto, E.,2002). Memanfaatkan lahan lebak dan Pasang Surut dipandang sebagai peluang terobosan untuk memacu produksi meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah. Menjadikan lahan lebak dan pasang surut untuk usaha pertanian harus didukung dengan teknologi dan infrastruktur yang memadai sehingga luasan lahan ini dapat menjadi pendukung dan buffer untuk peningkatan produksi dan swasembada pangan.

Lahan kering di Indonesia sebesar 11 juta hektar yang sebagian besar berupa lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK petani. Namun, banyak pula lahan tidur yang terlantar. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa dari kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Masyarakat sekitar hutan dengan desakan ekonomi dan tuntutan lapangan kerja tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan lahan-lahan kritis dan lahan kering untuk usaha tani pangan seperti padi ladang, jagung dan kedelai serta kacang tanah. Secara alamiah hal ini membantu penambahan luas lahan pertanian pangan, meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah, seperti jagung 2,5 – 3,5 ton/ha dan padi ladang 1,5 ton/ha dan kedelai 0,6 – 1,1 ton/ha, tetapi pemanfaatannya berdampak positif bagi peningkatan produksi pangan.

5. Pendekatan Secara Sosial Budaya

Pendekatan secara sosial budaya merupakan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menanggulangi krisis pangan melalui upaya-upaya sosial atau tindakan-tindakan yang bermotifkan sosial ekonomi. Dalam hubungan dengan sistem produksi tanaman, pendekatan sosial budaya seperti pendidikan petani, kelembagaan, ketersediaan biaya produksi, kemudahan petani memperoleh kredit dll, sangat menentukan keberlangsungannya atau keberlanjutan usahatani yang dikembangkan.

KESIMPULAN

Upaya-upaya terpadu secara terkonsentrasi pada peningkatan produksi padi nasional yang

(8)

pangan nasional harus ditunjang dengan kesiapan dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat dan infrastrukturnya yang dijadikan sebagai kebijakan dalam swasembada dan ketahanan pangan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah T., M. Sarwani dan I. Ar-Riza. 2002. Komponen Utama Teknologi Optimalisasi lahan Pasang Surut Sebagai Sumber Pertumbuhan Produksi Padi Masa Depan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002. Ananto Eko. 2002. Pengembangan Pertanian Lahan rawa Pasang Surut Mendukung Peningkatan Produksi Pangan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia 2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Brookes G and Barfoot P., 2012. Global Impact of Biotech Crops: Environmental Effects, 1996-2010, GM Crops 3: 2 April-June 2012, p 1-9. Available on the worldwide web at www.landesbioscience.com/journal/gmcrops

Barichello, Rick, 2000. Evaluating Government Policy for Food Security: Indonesia. University of British Columbia. Berlin.

FAO. 1993. Rice In human Nutrition. Food and Nutrition Series. FAO, Rome .

FAO. 1997. Roma : Report of the World Food Summit, 13-17 November 1996 (Part One).

Gurdev S. khush. 2002. Food Security By Design: Improving The Rice Plant in Partnership With NARS. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Hasanuddin dan Gonggo, B.M. 2004. Pemanfaatan Mikrobia Pelarut Fosfat dan Mikoriza Untuk Perbaikan Fosfor Tersedia, Serapan Fosfor Tanah Ultisol dan Hasil Jagung (Pada Ultisol). Jurnal-jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. http://tumoutou.net/654_5644/.hasanuddin dangonggohtm. [Diakses pada tanggal 21 Desember 2007].

Internasional Conference of Nutrition [ICN]. 1992. [Nutrition on the world map. The UN International Conference on Nutrition. http://www. nlm.nih.gov/. April 2012.

Klümper W, Qaim M., 2014. A Meta-Analysis of the Impacts of Genetically Modified Crops. PLoS ONE 9(11): e111629. doi:10.1371/journal.

OECD & FAO (2007),‖OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016‖, October, Paris/Roma: Sekretariat Organisation for Economic Cooperation and Development/Food and Agricultural Organisation.

Purba S. dan Las I. 2002, Regionalisasi Opsi Strategi Peningkatan Produksi Beras. Makalah disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2005. Teknologi Pengelolaan Lahan

Kering. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Puslitbangtanak. 2005. Satu Abad Kiprah Lembaga Penelitian Tanah Indonesia 1905-2005. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.

Sadimantara, G.R., Muhidin, and E. Cahyono. 2014. Genetic Analysis on Some Agro-morphological Characters of Hybrid Progenies from Cultivated Paddy Rice and Local Upland Rice. J. Advanced Studies in Biology 6 (1): 7 – 18.

Santosa, D. 2008. ‖Krisis Pangan 2008‖, Kompas, Opini, 15 Maret, hal. 6.

Sastrapradja, S.D dan E.A. Widjaja. 2010. Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan. LIPI.

Referensi

Dokumen terkait

Berikut adalah pencatatan data durasi dari proses restore yang telah diurutkan dari tercepat sampai dengan terlama yang dapat dilihat pada Tabel 5.6.. Grafik Durasi Restore yang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada siswa kelas IV SD 1 Gulang dapat disimpulkan bahwa model Think Pairs Share berbantuan media Pop-Up Book

Apabila HDMF mengakui kerugian pada saat penjualan kembali kendaraan bermotor tersebut, maka hal ini tidak menunjukkan keakuratan pencatatan pada tahun tersebut apabila

Permendikbud 53 Tahun 2015 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dan Satuan Permendikbud 53 Tahun 2015 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dan

Riset Manajemen Dan Akuntansi Volume10 Nomor 2 Edisi November 2019 4 Konsep pelayanan prima yaitu memberikan pelayanan minimal sesuai dengan standar pelayanan yakni cepat,

Biaya yang dimaksud adalah biaya yang dikeluarkan dalam sehari untuk melakukan perjalanan pergi dan pulang ke/dari tempat kegiatan. Biaya yang dikeluarkan responden

Kesulitan belajar yang menyebabkan terjadinya kesalahan tahap II yang dilakukan siswa kelas VII G SMP Muhammadiyah 5 Surakarta dalam menyelesaikan soal matematika

Faktor – faktor yang berperan tidak akuntabilitas dalam pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat berdasarkan indeks presepsi responden dapat penulis urutkan