• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembanga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembanga"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

S

istem

I

novasi

D

aerah:

(2)
(3)

Mohamad Ariin

Dudi Hidayat

Setiowiji Handoyo

Sri Mulatsih

Prakoso Bhairawa Putera

Dini Oktaviyanti

Galuh Syahbana Indraprahasta

S

istem

I

novasi

D

aerah:

(4)

Penulis: Mohamad Ariin Dudi Hidayat Setiowiji Handoyo Sri Mulatsih

Prakoso Bhairawa Putera Dini Oktaviyanti

Galuh Syahbana Indraprahasta Copyright © 2013 IPB Press

Penyunting bahasa : Galuh Syahbana Indraprahasta dan Nia Januarini Penata letak : Noval Tensai

Desainer sampul : Sani Etyarsah

Korektor : Dwi M Nastiti

PT Penerbit IPB Press

Kampus IPB Taman Kencana Bogor

Cetakan Pertama : Mei 2013

Dicetak oleh Percetakan IPB

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit - Anggota IKAPI

(5)

K

ata

P

engantar

Buku ini merupakan hasil penulisan kembali dari penelitian mengenai Penguatan Inovasi Teknologi dalam Rangka Mendukung Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Penguatan inovasi yang berorientasi pada spesialisasi kewilayahan menjadi kunci keberhasilan pengembangan riset dan aplikasinya. Seiring dengan itu, pergeseran paradigma pembangunan dari yang bersifat sentralistik top-down menjadi desentralisasi bottom-up telah menempatkan daerah sebagai salah satu ujung tombak pembangunan nasional. Untuk itu perlu dipetakan kegiatan inovasi teknologi yang dilakukan oleh UKM, khususnya industri makanan dan minuman dalam rangka mendukung PEL. Lokus kegiatan ini adalah Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, dan Kota Salatiga. Keempat daerah tersebut dipilih karena memiliki potensi daerah yang dapat dikembangkan untuk mendukung ekonomi lokal dari hasil inovasi teknologi. Fokus kegiatannya meliputi a) Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT), industri berbahan baku ketela; b) Agaricus Sido Makmur Sentosa (ASIMAS), industri berbahan baku jamur; c) Bangkit Cassava Mandiri (BCM), industri berbahan baku singkong; dan d) UKM Sehati, industri berbahan baku kedelai.

Industri yang dikelola oleh SPAT dan ASIMAS dalam mengembangkan produk dari hasil inovasinya, tercermin dari tiga indikator inovasi yang baik, yaitu (i) perusahaan ini mampu mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam meningkatkan eisiensi dan efektivitas produksi, termasuk menggunakan teknologi dalam pembibitan; (ii) keinovatifan perusahaan yang ditandai dari terbukanya manajemen terhadap ide-ide baru terkait dengan peningkatan kualitas produk, terutama ide-ide varian produk dan pengemasan; dan (iii) kapasitas berinovasi dari perusahaan ini terlihat sangat baik, tidak hanya dari bagaimana perusahaan memaksimalkan produksi setiap tahunnya tetapi juga mampu menghasilkan berbagai varian dari produk.

(6)

vi

serta teknologi packaging-nya masih rendah. Untuk kasus UKM Sehati dalam pengembangan usaha tidak terlepas dari adanya keterbukaan pemilik untuk selalu mencari berbagai informasi berkaitan dengan pengelolaan UKM yang baik dan berusaha untuk terus mencoba menerapkan ide-ide kreatif yang muncul ke dalam berbagai bentuk inovasi, mulai dari inovasi proses, inovasi produk, dan inovasi pemasaran. Berbagai bentuk inovasi tersebut pada akhirnya berperan dalam memajukan UKM yang ia kelola dan turut mengangkat pengembangan ekonomi lokal, minimal di sekitar tempat UKM Sehati berada.

Akhirnya tim penulis yang merupakan peneliti dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberikan dana kegiatan ini melalui Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Tak lupa tim penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyampaikan pemikirannya serta memberikan masukan dalam penyusunan akhir buku ini.

Jakarta, Januari 2013

(7)

Hal

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Gambar ...xv

Prolog ... xvii

B

ab 1 Strategi Pengembangan Ekonomi Wilayah

dengan Pendekatan Sistem Inovasi Daerah

(SIDa): Hambatan dan Prospek

...1

1.1 Pendahuluan ... 1

1.2 Konsep Sistem Inovasi dalam

Diskursus Ekonomi Wilayah ... 2

1.3 Pokok-pokok Konsep Sistem Inovasi ... 4

1.3.1 Pengertian SINas ... 5

1.3.2 Dasar Pemikiran Perlunya Konsep SINas ... 6

1.3.3 Konsep SINas bagi Negara Berkembang ... 8

1.4 Isu-isu Penting dan Permasalahan dalam

Pengembangan SIDa di Indonesia ... 11

1.5 Interaksi antara Praktik Inovasi, Kebijakan Inovasi,

dan Teori Inovasi ... 15

1.6 Penutup ... 19

Daftar Pustaka ... 19

(8)

viii

B

ab 2 Kajian Potensi Sumber Daya Lokal dalam

Pengembangan Inovasi Daerah

...23

2.1 Pendahuluan ... 23

2.2 Konsep Sistem Inovasi Daerah ... 25

2.3 Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi ... 27

2.4 Kebijakan Inovasi dan Kebijakan Daerah ... 28

2.5 Potensi Daerah ... 30

2.5.1 Kota Salatiga ... 31

2.5.2 Kabupaten Trenggalek ... 33

2.5.3 Kabupaten Malang ... 36

2.5.4 Kabupaten Pasuruan ... 39

2.6 Penutup ... 41

Daftar Pustaka ... 42

B

ab 3 Potensi Pengembangan Singkong sebagai

Pengganti Tepung Terigu: Kasus di

Kabupaten Trenggalek

...45

3.1 Awal Mula Pengembangan Mocaf

di Trenggalek ... 45

3.2 Mocaf dan Potensi Kemandirian Bangsa ... 48

3.3 Konsep Pengembangan Mocaf

di Kabupaten Trenggalek ... 53

3.4 Inovasi dan Pengembangan Ekonomi Lokal ... 55

3.5 Potensi Keberlanjutan Mocaf

di Kabupaten Trenggalek ... 60

3.6 Penutup ... 65

(9)

Daftar Isi

ix

B

ab 4 Peran Inovasi Teknologi dan Potensi

Unggulan Daerah dalam Pengembangan

UKM Sehati Salatiga

...67

4.1 Pendahuluan ... 67

4.2 Inovasi Teknologi dan Potensi Keunggulan Daerah

sebagai Faktor Pendorong Pengembangan

Ekonomi Lokal ... 74

4.3 Perkembangan UKM Sehati, Salatiga

di Bidang Makanan Olahan ... 76

4.4 Model Peran Inovasi Teknologi

dan Potensi Unggulan Daerah dalam Mendukung

Pengembangan UKM Sehati, Salatiga ... 80

4.4.1 Potensi Unggulan Daerah ... 81

4.4.2 Inovasi Teknologi... 83

4.4.3 Kebijakan Pemerintah ... 88

4.5 Penutup ... 91

Daftar Pustaka ... 91

B

ab 5 Kinerja Bisnis Agaricus Sido Makmur

Sentosa dalam Penguatan Inovasi

Teknologi Mendukung Pengembangan

Ekonomi Lokal

...93

5.1 Pendahuluan ... 93

5.2 Proil Wilayah Lawang-Malang (Jawa Timur) ... 95

5.3 Perspektif Sejarah Pembentukan

Agaricus Sido Makmur Sentosa ... 99

5.4 Kegiatan Usaha dan Produksi... 101

(10)

x

5.6 Pola Hubungan Kinerja

Bisnis-Inovasi-Mendukung Ekonomi Lokal ... 108

5.7 Penutup ... 113

Daftar Pustaka ... 114

B

ab 6 SPAT dan Kontribusinya untuk

Pengembangan Ekonomi Lokal

...117

6.1 Otonomi Daerah, Pengembangan Ekonomi Lokal,

dan SPAT ... 117

6.2 SPAT dan Aktivitasnya ... 121

6.2.1 Sejarah ... 121

6.2.2 Kelembagaan ... 122

6.2.3 Produk SPAT ... 124

6.3 Inovasi dan Pengembangan Ekonomi Lokal ... 126

6.3.1 Pengembangan Inovasi ... 126

6.3.2 Pengembangan Ekonomi Lokal... 128

6.3.3 Tantangan Pengembangan Inovasi dalam Mendukung PEL ... 130

6.4 Kesimpulan ... 131

Daftar Pustaka ... 131

B

ab 7 Penerapan Teknologi Pascapanen (Studi

Kasus: Penerapan Teknologi Pascapanen

di Kabupaten Malang)

...133

7.1 Pendahuluan ... 133

7.2 CV Agrindo Cipta Mandiri ... 141

7.2.1 Inovasi Teknologi... 142

7.2.2 Kompleksitas Aset Khusus ... 144

(11)

Daftar Isi

xi

7.3 CV Inovasi Anak Negeri (Susu Listrik) ... 146

7.3.1 Inovasi Teknologi... 148

7.3.2 Kompleksitas Aset Khusus ... 150

7.3.3 Diferensiasi Produk... 150

7.4 Dampak Inovasi Teknologi Pascapanen terhadap

Pengembangan Ekonomi Lokal

dan Permasalahannya ... 151

7.5 Penutup ... 155

7.5.1 Kesimpulan ... 155

7.5.2 Saran ... 156

Daftar Pustaka ... 156

B

ab 8 Inovasi Teknologi Industri Makanan

dan Minuman untuk Mendukung

Pengembangan Ekonomi Lokal

...159

8.1 Pendahuluan ... 159

8.2 Kompleksitas Alat Khusus ... 163

8.3 Inovasi Teknologi di Industri Makanan

dan Minuman ... 164

8.4 Inovasi Teknologi dan Potensi Daerah

sebagai Faktor Pendorong Pengembangan

Ekonomi Lokal ... 171

8.4.1 Sumber Daya Alam ... 174

8.4.2 Inovasi Teknologi... 174

8.4.3 Kompleksitas Aset Khusus ... 175

8.4.4 Diferensiasi Produk... 175

8.4.5 Kebijakan Pemerintah ... 176

8.5 Penutup ... 178

(12)

xii

(13)

Bab VI

SPAT dan Kontribusinya untuk

Pengembangan Ekonomi Lokal

Galuh Syahbana Indraprahasta

6.1 Otonomi Daerah, Pengembangan

Ekonomi Lokal, dan SPAT

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Nomor 24 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 telah memberikan landasan legal bagi terwujudnya otonomi daerah di Indonesia. Desentralisasi kewenangan yang terjadi dalam otonomi daerah bermakna pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam membangun daerahnya masing-masing. Konsekuensi dari perubahan sistem pemerintahan (dari sentralistik menjadi desentralistik) ini tidaklah seragam: beberapa dampak positif bermunculan dan dapat diambil sebagai pembelajaran yang baik, begitupun dengan beberapa konsekuensi negatif yang perlu menjadi perhatian bersama. Salah satu konsekuensi negatif dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah banyak daerah bertindak seolah mereka adalah kerajaan-kerajaan kecil (Firman 2010).

Desentralisasi kewenangan dalam konteks otonomi daerah bermakna daerah mempunyai peran yang lebih besar dalam mengembangkan potensi ekonomi daerahnya. Daerah diharapkan dapat memanfaatkan potensi lokal yang ada untuk dapat dikembangkan lebih lanjut, sehingga akan berdampak positif terhadap daerah maupun masyarakatnya. Pengembangan ekonomi lokal atau biasa disingkat dengan PEL1 menjadi sangat relevan untuk dapat

1 Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) dalam Bahasa Inggris secara akademik sering kali

(14)

118

dijadikan pendekatan pengembangan ekonomi daerah. Carroll and Blair (2012) mengungkapkan bahwa PEL merupakan salah satu topik bahasan utama (centerpiece) yang telah berlangsung lama dan produktif antara para ekonom dan geografer. PEL sangat menekankan pada pemanfaatan potensi lokal di suatu daerah tertentu yang kemudian pemanfaatan potensi tersebut dapat meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi daerah serta kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut (Swinburn et al. 2006; Zaaijer dan Sara 1993

dalam Nel 2001). Adapun deinisi PEL dari lembaga internasional seperti dari World Bank dan UN-Habitat adalah sebagai berikut.

World Bank: “Local Economic Development (LED) is the process by which public, business and nongovernmental sector partners work collectively to create better conditions for economic growth and employment generation. he aim is to improve the quality of life for all” (2003, p 7).

UN-HABITAT: “Local economic development (LED) is a participatory process where local people from all sectors work together to stimulate local commercial activity resulting in a resilient and sustainable economy. It is a tool to help create decent jobs and improve the quality of life for everyone, including the poor and marginalized” (Trousdale 2003, p 1).

PEL seharusnya berjalan lebih mudah seiring dengan otoritas pemerintah daerah yang lebih besar dalam mengelola daerahnya. Namun keadaan seperti ini tidak membuat isu pembangunan daerah sudah terselesaikan. Hal ini terkait dengan bagaimana transformasi keorganisasian pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya terjadi. Ada 3 bentuk organisasi peran pemerintah daerah yang berkembang dalam kaitannya dengan PEL (Valler 1996).

1. Enabling authority. Pemerintah daerah dipandang sebagai pihak yang mampu (enable) menyediakan pelayanan, bukan sebagai pihak yang langsung mengoperasikan keseluruhan penyediaan pelayanan.

2. Post-Fordist. Pemerintah daerah lebih banyak terlibat dalam PEL, mulai munculnya kerja sama pemerintah-swasta (public-private partnership) dan munculnya pergeseran dari pemerintah (government) menjadi pemerintahan/tata kelola (governance).

3. Local governance entrepreneurialism. Pemerintah daerah dan sektor swasta mempunyai hubungan dan koalisi yang menguntungkan dalam bentuk kerja sama pemerintah-swasta (public-private partnership).

(15)

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

119

Pilihan bentuk organisasi pemerintah daerah, terutama dalam mendukung PEL untuk Indonesia tidak bisa disamaratakan. Karakteristik geograis, ekonomi, sosial-budaya yang berbeda membuat pola-pola pengelolaan daerah berbeda. Satu hal yang tampaknya lebih menjadi prioritas untuk diperhatikan adalah bagaimana otonomi daerah dapat menjadi wadah bagi setiap pemangku kepentingandi daerah, termasuk sektor swasta untuk lebih leluasa dalam mengembangkan usahanya sehingga berdampak positif terhadap pembangunan daerah. Terkait dengan hal tersebut, Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT) yang merupakan salah satu aktor bisnis di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur mampu melihat potensi lokal untuk dapat dikembangkan menjadi produk yang bernilai guna sehingga tidak hanya menghasilkan keuntungan bagi usahanya, tetapi juga berdampak positif terhadap PEL di Kabupaten Pasuruan.

SPAT atau yang dalam 2–3 tahun terakhir juga dikenal dengan nama lain “Repoeblik Telo” mencoba memanfaatkan ubi jalar (atau telo dalam Bahasa Jawa) yang banyak tersedia untuk dikembangkan. Menurut Unggul Abinowo (Direktur dan founder SPAT)2, hanya komoditas ubi jalar (telo) yang keberadaannya masih tersedia di Indonesia dan tidak perlu mengimpor. Tidak seperti kedelai yang sudah menjadi makanan sehari-hari (terutama dalam bentuk produk tempe, tahu, kecap, dan beberapa produk lainnya), tetapi masih saja perlu untuk mengimpor. Oleh karena itu, Unggul Abinowo ingin mencoba memanfaatkan potensi lokal asli untuk dapat diolah dengan proses yang dapat meningkatkan nilai tambah produk ini. Lebih lanjut lagi, ia mengemukakan bahwa selama ini ubi jalar (telo) dianggap sebagai makanan rendahan. Hal inilah yang membuatnya ingin mengangkat level makanan dari level rendahan menjadi lebih bermartabat.

Berbicara ubi jalar berarti berbicara potensi pertanian di Kabupaten Pasuruan. Sektor pertanian di Kabupaten Pasuruan relatif masih mempunyai peran dominan dalam membentuk struktur PDRB. Pada tahun 2011 diketahui bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDRB (harga konstan 2000) sebesar 24,95%. Kabupaten Pasuruan sendiri mempunyai struktur PDRB yang cukup berimbang antarsektornya, yaitu dengan kontribusi sektor industri pengolahan sebesar 31,96% dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20,17%. Untuk sektor pertanian, subsektor tanaman pangan memberikan kontribusi sebesar 17,87% dari PDRB. Adapun untuk sektor industri pengolahan, subsektor industri makanan, minuman, dan

2 Wawancara mendalam dengan Unggul Abinowo pada tanggal 31 Juli 2012 di SPAT,

(16)

120

tembakau membentuk 18,06% PDRB. Secara sekilas dapat terlihat bahwa ada keterkaitan antara sumber daya lokal (potensi pertanian tanaman pangan) dan kemampuan pembentukan nilai tambah (industri makanan dan minuman).

Secara struktur kependudukan, mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian (28,10%). Proporsi ini sama dengan persentase pengangguran di Kabupaten Pasuruan sebesar 28,10%. Angka ini relatif tinggi dan perlu mendapatkan perhatian lebih dari para pemangku kepentingan daerah. Sektor industri pengolahan serta jasa lainnya menempati urutan kedua sebagai penyedia lapangan pekerjaan utama di Kabupaten Pasuruan dengan persentase masing-masing 10,53% dan 10,07% (Tabel 6.1). Struktur ekonomi dan ketenagakerjaan tersebut menunjukkan sektor pertanian di Kabupaten Pasuruan menjadi sumber daya lokal yang dapat dikembangkan lebih lanjut.

Tabel 6.1 Struktur lapangan pekerjaan Kabupaten Pasuruan

No Lapangan Pekerjaan Tenaga Kerja

(17)

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

121

mana SPAT berada merupakan kecamatan dengan luas panen ubi jalar terluas (tahun 2010), yaitu sebesar 150 ha (59,52%) dari total 252 ha. Tentunya SPAT mampu menjadikan komoditas ubi jalar yang sudah ada dan sengaja ditanam di Kabupaten Pasuruan, khususnya Kecamatan Purwodadi menjadi lebih bernilai ekonomis.

Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, lokasi SPAT berada adalah daerah di mana tenaga kerjanya banyak bergerak di sektor pertanian. Pada tahun 2010, terdapat 16.568 orang yang bekerja di sektor pertanian dari total 37.808 tenaga kerja. Tenaga kerja sektor industri pengolahan menempati urutan kedua terbanyak dengan jumlah 11.843 orang. Adapun tenaga kerja terkecil pada sektor keuangan dan lembaga keuangan dengan jumlah 70 orang serta sektor hotel dan restoran dengan jumlah 77 orang. Secara penggunaan lahan, Kecamatan Purwodadi didominasi oleh lahan pertanian yang mempunyai luas 110.922 ha adalah luas pertanian bukan sawah dan 13.033 ha adalah luas pertanian sawah. Adapun sisanya yaitu 15.034 ha adalah luas lahan bukan pertanian (termasuk hutan negara dan rawa-rawa). Secara lebih detail, luas tegal/kebun (termasuk lahan pertanian bukan sawah) mendominasi Kecamatan Purwodadi, seluas 48.237 ha. Luas perkebunan menempati posisi kedua dengan luas 36.786 ha.

(18)

122

pertanian) sangat kuat bagi minat Unggul di bidang pertanian. Usahanya terus berkembang saat Unggul menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya tahun 1980-an. Saat menjadi mahasiswa, Unggul mulai merintis usaha budi daya pertanian di Desa Parerejo, Kabupaten Pasuruan. Beragam tanaman pangan dan hortikultura yang dia budidayakan, seperti padi, jagung, ubi jalar, jeruk, tomat, melon, dan sayur-sayuran. Saat kuliah, Unggul sudah mempunyai kendaraan dan supir pribadi serta sudah mengelola 22 ha lahan dengan status sewa.

Periode 1990-an, Unggul semakin mengembangkan bisnisinya antara lain dengan merintis usaha peternakan bebek dan sapi, pembangunan pabrik, mengadakan magang serta pelatihan bagi petani, kelompok tani, LSM, dinas pemerintah, dan lembaga lainnya. Beberapa prestasi/jabatan yang diperoleh antara lain kursus singkat agribisnis di Australia Barat tahun 1991, Ketua Litbang Asosiasi Pupuk Cair tahun 1993, Pemuda Pelopor tahun 1996, Ketua Brigade Pemuda Pelopor Pembangunan Desa (BP3D) tahun 1997, Sekjen KTNA Nasional tahun 1999.

Secara kelembagaan formal, SPAT berdiri tanggal 16 April 1999 yang diresmikan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga dan ditandai dengan peresmian Terminal Agribisnis di Desa Simping, Kabupaten Pasuruan. Sebelum diresmikan, SPAT pernah menjadi Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) oleh Menteri Pertanian tahun 1998. SPAT kembali terpilih sebagai P4S pada tahun 2003. Sejak tahun 2000, SPAT mempunyai struktur organisasi seperti saat ini, yaitu yang terbagai dalam 6 divisi.

6.2.2 Kelembagaan

SPAT seperti namanya mencoba untuk mengembangkan bisnisnya secara terpadu. Hal ini tercermin dari visi yang diemban, yaitu “Menjadi industri terkemuka di bidang agribisnis dengan model usaha pertanian terpadu yang eisien, tangguh, modern, berkelanjutan, dan berdimensi kerakyatan”. Visi ini kemudian diwujudkan dalam misi “Pemberdayaan segenap potensi sumber daya alam dan manusia”. Visi dan misi SPAT kemudian diturunkan dalam 6 tujuan utama, yaitu:

1. menghasilkan produk agribisnis yang mempunyai daya saing tinggi;

2. menyejahterakan petani; 3. menyejahterakan UKM;

(19)

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

123

5. rebuilding image produk lokal; dan

6. berperan serta dalam pengembangan ekonomi daerah.

Sistem agribisnis terpadu mempunyai lini kegiatan dari hulu, usaha tani, dan hilir. Subsistem hulu mempunyai aktivitas terkait dengan produksi dan budi daya komoditas tertentu. Subsistem usaha tani mempunyai aktivitas terkait dengan pengolahan ataupun peningkatan nilai tambah produk pascapanen. Adapun subsistem hilir mempunyai aktivitas seputar pemasaran produk. Dalam beberapa kondisi, hasil dari subsistem hulu bisa saja langsung didistribusikan ke subsistem hilir (pemasaran) atau dengan proses penambahan nilai melalui proses sederhana, seperti pemilahan kualitas (sorting-grading) maupun pembungkusan (packaging).

Untuk menjamin terselenggaranya sistem agribisnis terpadu, SPAT mempunyai 6 divisi yang berfungsi sebagai sistem penunjang.

1. Divisi data & informasi

2. Divisi pendidikan & latihan 3. Divisi teknologi tepat guna

4. Divisi kajian strategi pembangunan desa 5. Divisi investasi & pembiayaan

6. Divisi terminal agribisnis

(20)

124

Selain kerangka kerja yang telah diterangkan di atas, SPAT mempunyai 3 prinsip strategi bisnis.

1. Kompetisi. Menciptakan produk-produk yang kompetitif dan diminati konsumen.

2. Koneksi. Memperluas jaringan dengan pihak luar yang memiliki kesepahaman dalam pembangunan pertanian.

3. Kolaborasi. Melaksanakan kerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki visi dan misi sama untuk mencapai tujuan bersama.

Lebih detail mengenai kolaborasi, SPAT mengembangkan kerja sama dalam 3 aspek, yaitu riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta kualitas pasar dan pertumbuhan pasar. Adapun aktor-aktor untuk setiap bidang kerja sama adalah sebagai berikut.

1. Riset dan pengembangan: universitas, lembaga penelitian, dan pengembangan.

2. Pendidikan dan pelatihan: kelompok tani, UKM, bank, sekolah, lembaga pemerintah.

3. Kualitas pasar dan pertumbuhan pasar: sertiikasi mutu (HACPP dan halal), ITF-net, SIRIM Malaysia, UKM, bank.

6.2.3 Produk SPAT

Sistem agribisnis terpadu ini juga membuat jenis produk SPAT bervariasi. Ubi jalar (telo) adalah produk pertama yang dikembangkan dan menjadi

trademark tersendiri bagi SPAT. Perkembangan lebih lanjut, membuat SPAT tidak hanya berkembang pada pengolahan ubi jalar (telo), tetapi juga merambah pada komoditas serta produk lainnya. Dengan beragam produk yang ada, SPAT tetap memberikan penekanan bahwa produk pengolahan pertanian tetap menjadi produk utama di mana ubi jalar (telo) menjadi ciri khas. Produk pengolahan pertanian ini dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu produk makanan, herbal, dan olahan hasil ubi jalar (telo). Produk makanan utamanya berupa keripik buah dan sayur yang saat ini terdiri atas 9 jenis produk; produk herbal berupa minuman instan (9 jenis produk) dan ekstrak buah (3 jenis produk); serta adapun produk olahan ubi jalar (telo) terdiri atas 40 jenis produk (terbanyak di antara jenis produk olahan makanan lainnya).

(21)

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

125

bagus untuk tepung. Ada beberapa alasan ilmiah yang dijadikan SPAT untuk mengembangkan ubi jalar (telo).

1. Peringkat 1 dari 58 jenis sayuran (Nutrition Action Health Letter, USA)

2. Kandungan Vit A 4 kali lebih banyak daripada wortel (World Health Organization)

3. Mengandung betacarotene (Dr. Sanjay Gupta in www.cnn.com) 4. Kandungan gula relatif sedikit (www.cnn.com)

5. Memiliki kandungan antioksidan (Jack. D. Osman, Towson University)

6. Kandungan Glycemix Index Carbohydrate (LGI, 54) yang rendah (Dr. dr Elvina Karyadi, M.Sc., Pusat Gizi UI Indonesia)

7. Kolesterol rendah (Dr. Robert Cordell, Wake Forest School of Medicine, USA)

8. Memiliki serat yang baik untuk pencernaan (World Health Organization)

Beberapa variasi produk dari ubi jalar (telo) antara lain hamburger telo,

hotdog telo, jus telo, tepung telo, mi telo, nugget telo, pizza telo, dan kukis (cookies) telo. Variasi produk ini ada yang langsung dikembangkan dari telo seperti jus telo, ada juga yang perlu dikombinasikan dengan bahan-bahan lainnya seperti pizza, hotdog, dan sebagainya (Gambar 6.2).

Gambar 6.2 Beberapa produk SPAT (a) hotdog, (b) jus, (c) tepung, (d) mi

(a) (b)

(22)

126

Dari 90 varian produk telo, bakpia telo dan bakpao telo menjadi produk yang paling favorit. Kedua produk ini juga merupakan produk awal yang dikembangkan oleh SPAT. Untuk banyak produk unggulan seperti bakpia dan bakpao, SPAT memperhatikan kualitas kemasan menjadi semenarik mungkin dengan warna dominan ungu yang menjadi ciri khasnya (Gambar 6.3).

Gambar 6.3 Produk unggulan SPAT (a) bakpia telo, (b) bakpao telo

6.3 Inovasi dan Pengembangan Ekonomi

Lokal

6.3.1 Pengembangan Inovasi

Inovasi merupakan keharusan bagi setiap perusahaan untuk terus berkembang dan bersaing, termasuk SPAT. Inovasi yang dilakukan tentunya harus mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai ekonomi bisnis SPAT. Pengembangan inovasi yang dilakukan oleh SPAT berkisar pada inovasi produk yang kemudian menghasilkan produk yang lebih beragam (diferensiasi produk) serta inovasi teknologi yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan beragam.

Di SPAT tidak ada bagian ataupun divisi khusus yang menangani penelitian dan pengembangan. Semua orang yang terlibat di SPAT, terutama bagian produksi dan pemasaran merupakan aktor utama dari inovasi produk. Inovasi produk yang dikembangkan di SPAT tidak selalu merupakan produk baru, tetapi juga dapat terinspirasi dari produk-produk yang dihasilkan oleh

(23)

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

127

para pesaingnya. Tentunya produk-produk yang dihasilkan harus mempunyai ciri khas, sehingga tidak terkesan hanya meng-copy dari produk-produk pesaingnya. Dengan posisinya yang juga “merangkap” sebagai inovator jenis produk, orang-orang yang bekerja di bagian produksi dan pemasaran dituntut untuk bisa berpikir kreatif dan jeli dalam membaca perkembangan yang ada. Untuk menjaga kualitas dari bagian produksi ini, sarjana teknologi pangan ditempatkan sebagai pimpinannya. Adapun di bawah divisi kerjanya, ada beberapa pekerja yang mempunyai latar belakang tata boga dengan lulusan rata-rata dari sekolah menengah kejuruan (SMK). Status sarjana teknologi pangan sebagai pimpinan dapat menjadi salah satu sumber dari inovasi produk, oleh karena itu pendidikan sarjana banyak melatih proses dan pola berpikir yang baru. Bagian ini juga tentunya turut berperan dalam menciptakan pembaruan-pembaruan dalam komposisi bahan untuk membuat suatu produk tertentu. Jika bagian pemasaran dapat memberi masukan mengenai produk-produk baru apa yang mungkin dapat dikembangkan dan diterima pasar, bagian produksi perlu menerjemahkannya dalam konteks rasionalitas pembuatan dan komposisi bahan untuk menghasilkan produk-produk tersebut.

Untuk memproduksi suatu produk makanan tertentu dibutuhkan teknologi dan permesinan, sehingga produk yang dihasilkan dapat diproduksi massal dengan kualitas terjamin. Divisi teknologi tepat guna (TTG) hadir di SPAT khususnya untuk mendukung hal ini. Beberapa teknologi masih dibeli dari luar karena pertimbangan eisiensi dan kemampuan pembuatan; beberapa sudah dibuat sendiri baik untuk keperluan produksi SPAT maupun sebagai pesanan dari aktor usaha lainnya. Sebagai contoh, mesin vacuum frying yang sudah diekspor ke Malaysia dan India, mesin granulasi pupuk untuk PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang Cikampek, dan PT Pupuk Kaltim Bontang.

(24)

128

Pembahasan tersebut memberikan gambaran bahwa inovasi produk maupun teknologi pembuatan dan pengembangan produk di SPAT relatif baik dan saling mendukung. Inovasi teknologi yang dikembangkan di SPAT lebih bersifat teknologi tepat guna yang bisa langsung diaplikasikan. Beberapa produk mesin yang dihasilkan oleh SPAT, yang kemudian digunakan oleh pihak luar menjadi salah satu indikasi bahwa inovasi teknologi tepat guna yang ada di SPAT telah berjalan dengan baik dan menjadi produk bisnis tersendiri.

6.3.2 Pengembangan Ekonomi Lokal

Pengembangan ekonomi lokal mengandung arti bahwa potensi yang dikembangkan berdasarkan keadaan lokal serta dapat memberikan dampak yang positif terhadap meningkatnya aktivitas sosial ekonomi lokal. Filosoi SPAT yang memanfaatkan ubi jalar (telo) sebagai sumber daya lokal menjadi salah satu ciri bahwa PEL terjadi pada kasus ini. Selain sumber daya yang tersedia, rasa dari ubi jalar (telo) sudah familiar bagi sebagian besar masyarakat. Selain itu, budi daya ubi jalar (telo) tidak memerlukan keahlian yang sangat rumit. Untuk mengetahui dampak dari pengembangan SPAT terhadap ekonomi lokal dapat dilihat dari kontribusinya dalam menghidupkan petani dan usaha kecil menengah (UKM) maupun tenaga kerja secara umum.

Ada 7 kelompok petani yang dilibatkan, khususnya dalam penyediaan ubi jalar (telo) dalam wadah kerja sama berbentuk inti-plasma. SPAT berfungsi sebagai inti, sedangkan para petani berfungsi sebagai plasma. Konsep inti-plasma yang diterapkan di SPAT tidak seperti kebanyakan praktik pada kasus perkebunan besar (estate) karena harga pembelian pada kasus SPAT disesuaikan dengan harga pasar. Sebagai contoh lainnya adalah terkait dengan pembelian pupuk untuk budi daya ubi jalar (telo). Prinsip dari pengembangan komoditas di SPAT adalah organik. SPAT menyediakan pupuk organik yang dapat digunakan/dibeli oleh para petani, tetapi SPAT juga memberikan kebebasan kepada petani untuk membeli pupuk dari tempat lain dengan syarat pupuk tersebut organik.

(25)

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

129

produk bakpia dan bakpao telo merupakan 2 produk unggulan SPAT. Ada 9 jenis klasiikasi jenis produk dari 368 UKM yang bermitra dengan SPAT, di mana banyak yang bergerak di aneka keripik (sejumlah 123 UKM). Adapun produk dengan jumlah UKM terkecil adalah makanan siap saji (9 UKM) dan minuman fermentasi (8 UKM). Lebih detail mengenai diversiikasi produk per UKM disajikan pada Tabel 6.2 berikut ini.

Tabel 6.2 Klasiikasi UKM pangan terminal SPAT

No Jenis UKM

UKM dan petani mitra yang terlibat dengan SPAT tidak hanya berasal dari Kabupaten Pasuruan. Beberapa mitra berasal dari wilayah sekitar dalam Provinsi Jawa Timur, seperti Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Jember, Kota Surabaya, Kota Madiun, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar, Kota Batu, Kabupaten Trenggalek, dan Kota Mojokerto. Keragaman mitra ini menunjukkan keahlian SPAT dalam bidang yang saat ini menjadi lini bisnis utamanya.

Selain terkait dengan penciptaan lapangan kerja bagi petani dan UKM, SPAT juga mempunyai tenaga kerja di pabrik sejumlah 120 orang dan pemasaran 50 orang. Upaya SPAT untuk terus mengembangkan produk tentunya menjadi pengungkit (trigger) bagi terciptanya lapangan kerja baru secara langsung. Beberapa usaha lainnya seperti wisata agribisnis, tempat penginapan (cottage), budi daya tanaman hias, buah, sayuran, beras hitam, dan beras merah tentunya secara langsung akan menyerap tenaga kerja baru.

(26)

130

Pasuruan, tetapi juga beberapa wilayah lainnya di luar Jawa. Pengembangan ekonomi melalui Program Dana Abadi Umat yang bekerja sama dengan NU Kabupaten Pasuruan juga menjadi potensi menciptakan akses permodalan yang lebih baik bagi petani dan pelaku usaha kecil. Dapat dikatakan bahwa dampak ekonomi yang dihasilkan dari aktivitas SPAT tidak hanya berdampak untuk Kabupaten Pasuruan semata, tetapi juga sudah menjangkau luar daerah (beyond administrative boundary).

6.3.3 Tantangan Pengembangan Inovasi dalam

Mendukung PEL

Keberadaan SPAT beserta aktivitasnya menunjukkan gejala positif, baik secara bisnis maupun dalam meningkatkan perekonomian daerah. Inovasi khususnya dalam produk dan teknologi tepat guna mempunyai relevansi yang baik terhadap peningkatan kualitas ekonomi lokal. Keterbukaannya untuk menjadi wadah bagi pengembangan produk dari perguruan tinggi serta lembaga penelitian dan pengembangan menjadi indikasi kuat jika SPAT terbuka untuk menerima inovasi dari sumber eksternal. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan produk melalui beragam pelatihan yang diikuti serta standarisasi produk juga menjadi penguat yang sangat baik terhadap penciptaan sumber daya manusia yang inovatif serta kualitas produk yang mampu berdaya saig secara bisnis.

Berkembangnya bisnis SPAT beserta jaringan yang dibentuknya tentunya memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan daerah. Namun, dukungan Pemerintah Kabupaten Pasuruan dirasa hampir tidak ada3. SPAT dengan nama yang sudah besar dan reputasi yang baik seharusnya dapat menjadi pemicu bagi Pemerintah Daerah untuk turut memfasilitasi terciptanya bisnis dan aktivitas ekonomi yang lebih besar dan dapat memberikan kontribusi positif untuk ekonomi daerah.

Jika merujuk pada klasiikasi organisasi pemerintah daerah menurut Valler (1996), tampaknya peran pemerintah daerah belum mencapai bentuk

post-fordist maupun local governance entrepreneurialism. Justru SPAT-lah yang cenderung berfungsi sebagai localgovernance entrepreneurialism dengan melakukan beragam inisiasi dalam fasilitasi, pendampingan, pelatihan, serta kerja sama dengan UKM, petani, dan pelaku bisnis lainnya baik di Kabupaten Pasuruan maupun di luar daerah dalam meningkatkan kualitas dan aktivitas bisnis. Kondisi yang terjadi pada SPAT dan Kabupaten Pasuruan sebenarnya

3 Wawancara mendalam dengan Direktur SPAT pada tanggal 31 Juli 2012 di SPAT, Kabupaten

(27)

SPAT dan Kontribusinya untuk Pengembangan Ekonomi Lokal

131

sejalan dengan pendapat Stohr (1993) yang mengidentiikasi aspek “inisiatif” dan “kewirausahaan (entrepreneurship)” sebagai dua konsep kunci PEL. Dalam perspektif inilah dapat dikatakan bahwa SPAT telah berperan sebagai inisiator dan penggiat PEL di Kabupaten Pasuruan.

Kondisi tersebut terjadi karena SPAT mempunyai komitmen yang besar dalam pengembangan ekonomi masyarakat yang diiringi dengan kualiikasi bisnis dan terus terasah. Sementara pemerintah daerah tampaknya perlu lebih meningkatkan jiwa dan pemahaman tentang dunia usaha, sehingga dapat lebih memahami kebutuhan pengembangan ekonomi lokal. Upaya pemerintah daerah dengan mengajak SPAT untuk ikut serta dalam pameran bisnis perlu membayar stand sendiri agar mencerminkan tingkat keseriusan yang kurang. Sektor bisnis yang berkembang di suatu daerah seharusnya menjadi bagian dari aktor daerah, bukan menjadi ladang dari aktivitas rent-seeking

(pendapatan daerah dan sponsor kegiatan). Pergeseran government menjadi

governance memberikan penekanan bahwa pemerintah daerah bukanlah satu-satunya aktor yang dapat bertindak sebagai pengelola daerah.

6.4 Penutup

Pengembangan inovasi terutama produk dan teknologi tepat guna serta ekonomi lokal yang dilakukan oleh SPAT berjalan dengan cukup baik. Komitmen SPAT dalam mengembangkan ekonomi lokal, yang tidak hanya sekadar berorientasi bisnis telah mampu menciptakan jaringan bisnis UKM yang baik. Keterbukaannya terhadap produk perguruan tinggi serta lembaga penelitian dan pengembangan membuatnya semakin berkembang. Pengembangan ekonomi lokal akan lebih mempunyai dampak yang masif jika pemerintah daerah mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator ekonomi yang baik, bukan sekadar sebagai pihak yang mengambil keuntungan (orientasi peningkatan pendapatan daerah) jika suatu aktivitas bisnis tumbuh di wilayahnya.

Daftar Pustaka

BPS. 2012. Kabupaten Pasuruan dalam Angka. Pasuruan: BPS. BPS.2011. Kecamatan Purwodadi dalam Angka. Pasuruan: BPS.

Carroll MC, Blair JP. 2012. Local economic development and the academy.

(28)

132

Firman T. 2010. Multi local-government under Indonesia’s decentralization reform: he case of Kertamantul (he Greater Yogyakarta). Habitat International. 32 (4): 400–405.

Nel E. 2001. Local economic development: A review and assessment of its current status in South Africa. Urban Studies. 8 (2): 277–293.

SPAT. 2012. Proil Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT). Tidak Dipublikasikan.

Stohr WB. 1990. Global Challenge and Local Response. (ed). London: Mansell Publishing Limited.

Swinburn G, Soraya G, Murphy F. 2006. Local Economic Development. A Primer. Developing and Implementing Local Economic Development Strategies and Action Plans. Washington DC: World Bank Publication. Trousdale W. 2003. Strategic Planning for Local Economic Development. he

Manual. Volume I: Concepts & Process. UN-Habitat and Ecoplan International, Inc.

Valler D. 1996. Locality, local economic strategy, and private sector involvement: case studies in Norwich and Cardif. Political Geography.

15 (5): 383–403.

Gambar

Tabel 6.1 Struktur lapangan pekerjaan Kabupaten Pasuruan
Gambar 6.1 Kerangka kerja SPAT
Gambar 6.2 Beberapa produk SPAT (a) hotdog, (b) jus, (c) tepung, (d) mi125
Gambar 6.3 Produk unggulan SPAT (a) bakpia telo, (b) bakpao telo
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang hendak d1capai dari permasalahan tersebut adalah untuk mengkaji dan menganalisa dasar pertimbangan sehingga pam pihak membuat perjanj1an pemberian kuasa

Perencanaan desain pencahayaan dimulai dengan menggali kebutuhan ruang berdasarkan aktifitas sampai dengan mendesain kembali untuk memperbaiki kondisi pencahayaan

• Nilai maksimum untuk percepatan gerakan heave dok apung terjadi pada saat kondisi dok apung kosong dengan perceparan sebesar 0.208 m/s 2 , sehingga masuk dalam kategori

Dari hasil uji reliabilitas yang dilakukan di Kelurahan Bandarharjo pada 20 responden yang dihitung dengan menggunakan program Komputer SPSS menunjukan bahwa nilai uji

Karena al-Qur’a > n berupa teks suci yang tertulis, terbaca, dan bermakna, maka ilmu-ilmu al-Qur’a > n yang dikembangkan untuk Ilmu Dakwah juga diklasifikasikan menjadi

Pantai Mutun yang setiap tahun nya selalu ramai pengunjung dari berbagai daerah provinsi lampung dan dari luar kota lampung,pantai mutun yang sudah berdiri cukup lama

Sebagai media pembelajaran berbasis cetakan kalender memiliki banyak kelebihan karena kalender merupakan media pembelajaran yang efektif dan efisien dari segi biaya

Sejauh ini, kehadiran KHI diharapkan menjadi pedoman dan acuan bagi setiap Pengadilan Agama dalam wilayah hukum Indonesia untuk menyelesaikan perkara-perkara yang