• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN SENSITIVITAS ANTARA LINEZOLID DAN VANCOMYCIN TERHADAP Staphylococcus aureus SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBANDINGAN SENSITIVITAS ANTARA LINEZOLID DAN VANCOMYCIN TERHADAP Staphylococcus aureus SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN SENSITIVITAS ANTARA LINEZOLID DAN VANCOMYCIN TERHADAP Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif bagian dari flora normal manusia yang dapat ditemukan hampir di seluruh tubuh (Grundmann et al., 2002). Staphylococcus aureus sebenarnya merupakan flora normal yang terdapat pada kulit dan dalam hidung pada 20-30% manusia sehat (Modric, 2008). Namun, bakteri ini bisa berubah menjadi patogen utama yang berbahaya pada manusia karena mampu menginfeksi hampir di semua jaringan dan sistem organ (Noviana, 2004; Wickner dan Schekman, 2005). Staphylococcus aureus mampu menyebabkan beragam penyakit yang mempunyai rentang gejala mulai dari infeksi pada luka yang terlokalisir, sampai dengan infeksi sistemik yang mengancam jiwa (Madjid dan Handojo, 1999). Staphylococcus aureus juga merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi nosokomial yang dapat menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak (Isbandrio, 1999). Masalah ini mulai menjadi perhatian sejak terjadi pandemi tahun 1940-1950 hingga pada tahun 1990-1996 menyebabkan infeksi nasokomial sebesar 34% (Weinstein, 1998).

(3)

resistensi terhadap obat golongan tersebut, yang biasa disebut Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus, MRSA (Prakash, 2007). Resistensi terjadi akibat adanya perubahan sifat pada protein pengikat β-laktam di membran selnya (Jawetz et al., 2002. Isbandrio (1999) menyebutkan bahwa hampir 30% Staphylococcus aureus yang diisolasi dari infeksi nasokomial merupakan strain MRSA.

Vancomycin adalah obat golongan glikopeptida. Vancomycin merupakan obat pilihan kedua jika penderita alergi atau terjadi resistensi terhadap antibiotika golongan β-laktam (Setiabudy, 2005). Vancomycin juga

menjadi obat standard yang efektif digunakan untuk mengendalikan MRSA (Isbandrio, 1999; Heggers et al., 2002). Namun, vancomycin mempunyai beberapa kelemahan, antara lain : 1) Penggunaan vancomycin dalam waktu yang lama mempunyai berbagai efek samping yang berat, antara lain : ke-rusakan organ vestibuler dan organ cochlear, hilangnya pendengaran, tinnitus, kerusakan nefron pada ginjal (Miralles et al., 1990). 2) Rendahnya penetrasi vancomycin ke paru-paru pada penderita pneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Chan, 2008). 3) Penggunaan vancomycin secara terus

menerus, telah memicu timbulnya Vancomycin Intermediate S. aureus (VISA). Kelemahan-kelemahan ini memacu kalangan medis mencari antibiotik alternatif lainnya guna memperkaya ragam pilihan antibiotik untuk pencegahan terjadinya resistensi.

(4)

linezolid mempunyai aktivitas anti MSSA (Methicillin Susceptible S. aureus)

dan MRSA secara In vitro (Heggers et al., 2002; Shorr et al., 2005). Linezolid mempunyai beberapa keunggulan di bandingkan vancomycin. Keunggulan linezolid di antaranya tergambar pada kemampuannya mencapai jaringan pada level yang bagus untuk melawan infeksi, baik pada pemberian sistemik maupun peroral (Heggers et al., 2002). Linezolid diyakini dapat menjadi alternatif pengobatan bakterimia selain vancomycin. Linezolid juga

mempunyai efek samping yang relatif lebih aman (Shorr et al., 2005).

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba melakukan penelitian untuk membandingkan sensitivitas antara linezolid dan vancomycin terhadap Staphylococcus aureus secara In vitro. Hal ini penting untuk memberi dasar yang lebih obyektif bagi pemilihan antibiotik sebagai alternatif pengobatan infeksi Staphylococcus aureus secara rasional berdasarkan besarnya kemanfaatan dan kerugian. Sehingga akan bermanfaat untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien akibat infeksi Staphylococcus aureus. Pada akhirnya akan meningkatan efisiensi dalam hal ekonomi dan

waktu penyembuhan.

B. Rumusan Masalah

(5)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan sensitivitas antara linezolid dan vancomycin terhadap bakteri Staphylococcus aureus isolat RSUD dr. Moewardi Surakarta secara In vitro.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian tentang infeksi Staphylococcus aureus di RSUD dr. Moewardi Surakarta selanjutnya.

2. Aplikatif

(6)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Staphylococcus aureus

a. Klasifikasi

Domain : Bacteria Kingdom : Eubacteria Filum : Firmicutes Kelas : Cocci Orde : Bacillales Famili : Staphyloccaceae Genus : Staphyloccus

Kelas : Staphylococcus aureus (Wikipedia, 2009). b. Morfologi

Staphylococcus aureus merupakan kuman komensal manusia, dapat hidup pada manusia sehat tanpa menimbulkan infeksi (American College of Physician, 2006). Kuman ini dapat ditemukan pada kulit dan membran mukosa. Membran mukosa nasofaring anterior adalah tempat utama kolonisasi kuman. Tempat kolonisasi lain adalah vagina, kulit yang mengalami lesi, dan perineum (Parsonnet, 2005).

(7)

(Brooks et al., 2007). Staphylococcus aureus bersifat fakultatif anaerobik, dalam mikroskop elektron tampak sebagai koloni yang besar, bulat, dan berwarna kuning keemasan (Wikipedia, 2009), pigmen kuning keemasan ini merupakan perlindungan terhadap efek antibiotik dan sinar matahari (Tortora et al., 1995). Koloni Staphylococcus aureus mempunyai diameter 0,5 sampai 1,5 µm (Parsonnet, 2005). Pada pembiakan dengan piring agar darah, sering tampak adanya zona hemolisis (Wikipedia, 2009).

Spesies ini dapat dibedakan dengan spesies Staphylococcus lain dengan tes koagulase. Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase, protein mirip enzim mengandung oksalat atau sitrat yang dapat menggumpalkan plasma. Staphylococcus aureus bersifat koagulase positif, sedangkan spesies lain bersifat koagulase negatif (Wikipedia, 2009). Spesies ini memfermentasikan manitol, yang membedakannya dengan S. epidermidis (Warsa, 1993). Staphylococcus aureus juga bersifat katalase positif, yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Sifat ini membedakannya dengan Enterococcus dan Streptococcus (Wikipedia, 2009).

c. Biakan

(8)

terbaik untuk mengahasilkan pigmen adalah suhu ruangan, 20-25°C, (Brooks et al., 2007).

d. Sifat Pertumbuhan

Staphylococcus memproduksi katalase, yang membedakan-nya dengan Streptococcus. Staphylococcus memfermentasikan banyak karbohidrat secara lambat, menghasilkan asam laktat tapi tidak menghasilkan gas. Staphylococcus relatif resisten terhadap pengering-an, panas dan NaCl 9% tetapi mudah dihambat bahan kimia tertentu seperti heksaklorofen 3% (Brooks et al., 2007).

e. Habitat

Staphylococcus aureus merupakan flora normal yang terdapat pada kulit dan dalam hidung pada 20-30% manusia sehat (Modric, 2008). Staphylococcus aureus juga terdapat di dalam traktus genito-urinarius dan di trakus gastrointestinalis (Migula, 2008). Kuman ini dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun hewan (Dellit, 2007).

f. Temuan Klinis

(9)

memproduksi toksin dan berkembang biak di dalam jaringan serta menyebabkan peradangan (Jawetz et al., 2002).

Toksin dan enzim yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus antara lain :

1. Enterotoksin

Enterotoksin menyebabkan gejala seperti keracunan makanan yaitu muntah yang prominen dan diare yang tidak berdarah. Toksin ini bekerja sebgai superantigen dengan traktus digestivus yang menstimulasi pengeluaran sebagian besar interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-2 (IL-2) dari makrofagdan sel T helper secara berangsur-angsur. Enterotoksin bersifat tahan terhadap panas dan biasanya tidak inaktif dengan perebusan. Enterotoksin juga tahan terhadap asam lambung dan enzim lain di lambung dan jejunum. Terdapat 6 tipe immunologi dari enterotoksin, yaitu A-F. 2. Toksin Sindrom Syok Toksin

(10)

3. Ekfoliasin

Ekfoliasin menyebabkan sindrom luka bakar pada anak-anak. Toksin ini bersifat epidermolitik dan bekerja sebagai protease yang merusak desmoglein pada desmosom yang menyebabkan pemisahan epidermis dari lapisan sel granuler (Jawetz dan Levinson, 2003).

Manifestasi klinis yang disebabkan oleh peradangan Staphylococcus aureus antara lain :

a. Infeksi kulit, seperti: impetigo, furunkel, karbunkel, paronychia, selulitis, folikulitis, dll.

b. Septikemia dapat berasal dari berbagai lokasi lesi, khususnya infeksi luka atau hasil dari penyalahgunaan narkoba.

c. Endokarditis.

d. Osteomyelitis dan arthritis. e. Pneumonia.

f. Abses

Manifestasi yang disebabkan oleh toksin :

a. Toxic shock syndrome, ditandai adanya demam hipotensi, rash, dll. b. Scalded Skin Syndrome

c. Keracunan makanan (Jawetz et al., 2002).

(11)

2. Resistensi

Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh anti mikroba, sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup (Setiabudy, 2005). Resistensi dapat terjadi karena adanya kekeliruan dalam pemilihan jenis antibiotika, waktu dan lama pemberian. Resistensi dapat pula terjadi akibat penggunaan antibiotika secara irasional, yang meliputi:

a. Pemakaian antibiotika pada kondisi-kondisi yang sebenarnya tidak memerlukan terapi antibiotika, misalnya pada infeksi viral saluran pernafasan atas, diare akut nonspesifik, antibiotika profilaksi pada tindakan-tindakan bedah yang bersih (aseptik).

b. Pemakaian satu jenis antibiotika tanpa memandang jenis infeksi dan kuman penyebabnya. Di puskesmas antibiotika tetrasiklin diberikan pada kurang lebih 70% kasus dengan berbagai macam diagnosis (2). c. Pemakaian antibiotika dengan dosis yang tidak mencukupi misalnya

pemberian selama 3 hari, tanpa melihat efek terapi yang terjadi.

d. Pemberian antibiotika secara berlebihan pada kasus-kasus infeksi nonbakterial ringan dengan alasan untuk mencegah komplikasi karena kondisi malnutrisi.

(12)

Adapun mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat resisten terhadap obat antibiotik antara lain :

a. Bakteri memproduksi enzim yang menghancurkan obat aktif. Contoh: Staphylococcus yang resisten terhadap penicillin G menghasilkan β -laktamase yang menghancurkan obat. β-laktamase lain dihasilkan

oleh bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif resisten terhadap amioglikosida.

b. Mikroorganisme mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Contoh: tetrasiklin menumpuk pada bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten. Resistensi terhadap polimiksin juga dikaitkan dengan perubahan permeabilitas terhadap obat. Streptococcus juga mempunyai sawar permeabilitas alami terhadap aminoglikosida. c. Mikroorganisme menyebabkan perubahan struktural untuk obat.

Contoh: organism resisten eritromisin mempunyai reseptor yang berubah pada subunit 50S ribosom, disebabkan oleh metilasi RNA 23S ribosom. Resistensi terhadap beberapa penicillin dan cephalosporin mungkin diakibatkan oleh hilangnya PBP.

(13)

e. Mikroorganisme menyebabkan perubahan enzim yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tetapi kurang dipengaruhi oleh obat. Contoh : pada bakteri yang resisten primetoprim, asam dihidrofolat reduktase dihambat kurang efisien daripada yang bakteri yang rentan trimetroprim (Brooks et al., 2007).

3. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

(14)

4. Antibiotika

Antibiotika adalah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia (Setiabudy, 2005). Antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal, membunuh bakteri secara langsung, dan bakteriostatik, menghambat pertumbuhan bakteri tetapi tidak membunuhnya, (Jawetz et al., 2002). Antibiotik ialah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan oleh organisme hidup, termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik dan dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono, 1995).

Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Setiabudy, 2005). Obat antimokroba yang ideal memperlihatkan toksisitas yang selektif. Dalam banyak hal toksisitas selektif bersifat relatif daripada absolut, berarti bahwa suatu obat dapat merusak parasit dalam konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh inang (Katzung, 2004).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi dalam lima kelompok :

a. Mengganggu metabolisme sel mikroba. b. Menghambat sintesis dinding sel mikroba.

(15)

d. Menghambat sintesis protein sel mikroba.

e. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba (Setiabudy, 2005).

Pemberian antibiotika untuk mengatasi penyakit infeksi harus didasari informasi terkini tentang pola kuman dan kepekaannya terhadap berbagai antibiotika. Dibutuhkan pengobatan antibiotika yang tepat untuk mempercepat masa penyembuhan dan mencegah keadaan yang fatal. Adapun prinsip-prinsip pemilihan dan pemakaian antibiotika yang tepat meliputi langkah-langkah berikut:

a. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini bisa dikerjakan secara klinis ataupun pemeriksaan-pemeriksaan tambahan lain yang diperlukan. b. Kemungkinan kuman penyebabnya, dipertimbangkan dengan perkiraan

ilmiah berdasarkan pengalaman setempat yang layak dipercaya atau epidemiologi setempat atau dari informasi-informasi ilmiah lain.

c. Apakah antibiotika benar-benar diperlukan. Sebagian infeksi mungkin tidak memerlukan terapi antibiotika misalnya infeksi virus saluran pernafasan atas, keracunan makanan karena kontaminasi kuman-kuman enterik. Jika tidak perlu antibiotika, terapi alternatif apa yang dapat diberikan.

d. Jika diperlukan antibiotika, pemilihan antibiotika yang sesuai berdasarkan :

1) spektrum antikuman,

(16)

3) sifat farmakokinetika,

4) ada tidaknya kontra indikasi pada pasien, 5) ada tidaknya interaksi yang merugikan,

6) bukti akan adanya manfaat klinik dari masing-masing antibiotika untuk infeksi yang bersangkutan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dipercaya.

e. Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifat-sifat kinetika masing-masing antibiotika dan fungsi fisiologis sistem tubuh (misalnya fungsi ginjal, fungsi hepar dan lain-lain).

f. Evaluasi efek obat. Apakah obat bermanfaat, kapan dinilai, kapan harus diganti atau dihentikan? Adakah efek samping yang terjadi? (Santoso, 1990)

Uji aktivitas antimikroba secara umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu : metode difusi dan metode dilusi.

a. Metode difusi

(17)

untuk menetapkan kerentanan mikroorganisme terhadap zat kemotera-peutik (levinson, 2006).

b. Metode dilusi

Sejumlah obat antimikroba tertentu dicampurkan pada pembenihan bakteri yang cair atau padat. Kemudian pembenihan tersebut ditanami dengan bakteri yang diperiksa dan dieram. Titer obat ialah jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri yang diperiksa. Teknik pengenceran tabung menetapkan jumlah terkecil zat kemoterapeutik yang dibutuhkan untuk menghambat organisme invitro. Jumlah tersebut sebagai konsentrasi hambatan minimum atau Minimal Inhibitory Consentrations (MICs) (levinson, 2006).

Di antara banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas invitro, yang berikut harus diperhatikan secara nyata mempengaruhi hasil-hasil tersebut, yaitu : (1) pH lingkungan, (2) komponen-komponen pembenihan, (3) stabilisasi obat, (4) besarnya inokulum, (5) masa pengeraman, (6) aktivitas metabolik organisme (Brooks et al., 2007).

5. Vancomycin

(18)

besar kuman gram positif termasuk spesies Streptococci, Corynebacteria, Clostridia, Listeria, dan Bacillus (Anaizi, 2002).

Vancomycin membunuh bakteri dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri (Anaizi, 2002). Penghambatan sintesis dinding sel bakteri ini dilakukan melalui proses inhibisi penggabungan subunit N-acetylmuramic acid (NAM) dengan N-acetylglucosamine (NAG) dalam pembentukan matrik peptidoglycan. Peptidoglycan ini adalah komponen utama pembentuk struktur dinding sel bakteri gram positif (Wikipedia, 2010). Hal ini juga mengakibatkan kerusakan membran sel bakteri dan mengganggu sintesis RNA bakteri (Anaizi, 2002).

Indikasi utama Vancomycin ialah septikemia dan endokarditis yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, atau Enterococcus bila pasien alergi terhadap penicillin atau cephalosporin. Vancomycin merupakan obat terpilih untuk infeksi oleh kuman MRSA dan colitis oleh Clostridium difficille akibat penggunaan antibiotik (Setiabudy, 2005).

(19)

menstimulasi pembentukan platelet-reactive antibodies pada tubuh pasien, sehingga terjadi trombositopenia, petechie, hemorrhage, ecchymoses, dan wet purpura (Wikipedia, 2010).

6. Linezolid

Linezolid adalah antimikroba dari golongan Oxazoladinone, suatu kelas antibiotik sintetis jenis baru. Agen ini aktif terhadap bakteri gram positif, antara lain : Staphylococcus, Streptococcus, Enterococcus, Coccus anaerob gram positif, serta bakteri gram negatif seperti Coryne-bacteria dan Listeria monocytogenes (Jawetz et al., 2002). Linezolid dapat juga digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif yang resisten terhadap beberapa jenis antimikroba yang lain, seperti : Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan Staphylococcus epidermidis, serta Penicillin-Resistant Pneumococci (PRE), (Wikipedia, 2010; Jawetz et al., 2002). Kemampuan ini menjadikan linezolid sebagai obat harapan terakhir untuk membasmi bakteri yang resisten (Wikipedia, 2010).

(20)

ribosom 23S pada subunit 50S (Katzung, 2004). Linezolid diperkirakan tidak akan menimbulkan resistensi silang dengan agen antibiotik yang sudah tersedia (Sader, 2001). Linezolid mempunyai bioavailabilitas oral yang tinggi dan waktu paruh sekitar 4-6 jam (Katzung, 2004).

Indikasi utama linezolid adalah untuk infeksi pada kulit, jaringan lunak, dan pneumonia. Pada penggunaan untuk masa yang singkat, linezolid termasuk obat yang relatif aman. Antimikroba ini dapat digunakan untuk pasien di segala usia dan untuk pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal. Efek samping pada penggunaan dalam masa yang singkat relatif ringan, di antaranya : sakit kepala, diare, dan mual-mual. Pada penggunaan jangka panjang (lebih dari dua minggu), linezolid dapat menyebabkan supresi sumsum tulang belakang, trombositoenia, neuropati saraf perifer, kerusakan nervus opticus, dan asidosis laktat (Wikipedia, 2010).

7. Kultur in vitro

(21)

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan garis :

1. Menyebabkan

2. Menghambat

Penurunan afinitas pengikatan semua antibiotik jenis

β-laktam oleh dinding sel Staphylococcus aureus

1. Timbulnya pandemi superbug

2. Penyakit sulit disembuhkan, sehingga menambah penderitaan pasien 3. Terjadi infeksi nosokomial

4. Masa pengobatan dan perawatan semakin lama 5. Biaya pengobatan dan perawatan meningkat 6. kematian

Resistensi Staphylococcus aureus terhadap

antimikroba golongan β-laktamase meningkat Staphylococcus aureus

Infeksi Staphylococcus aureus

Perubahan sifat-sifat protein Staphylococcus aureus terutama pada PBP, PBP2a, atau PBP2

1. Mengurangi terjadinya resistensi

Staphylococcus aureus terhadap antimikroba 2. Biaya pengobatan menurun

3. Mencegah pandemi superbug

4. Penyakit cepat disembuhkan 5. Harapan hidup dapat ditingkatkan

Pemilihan antimikroba yang optimal

(22)

C. Hipotesis

(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitan ini bersifat eksperimental laboratorium dengan metode post test only.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Laboratorium Mikrobiologi RSUD dr. Moewardi Surakarta ·Identifikasi Staphylococcus aureus

Berdasarkan sampel yang diambil dari RSUD dr. Moewardi Surakarta pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Januari 2010.

2. Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UNS

·Uji sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap antibiotik Linezolid 30µg, Vancomycin 30µg dan cefoxitin 30µg.

Berdasarkan sampel yang diambil dari RSUD dr. Moewardi Surakarta pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Januari 2010.

C. Subjek Penelitian

(24)

D. Teknik Sampling

Sampel yang digunakan berasal dari isolat kuman yang diambil dari bulan Oktober 2009 sampai dengan Januari 2010 dengan cara insidental sampling. Sampel berupa isolat kuman Staphylococcus aureus yang diambil dari sputum, pus, urine, sekret telinga, sekret hidung, dan darah pasien rawat inap RSUD dr. Moewardi Surakarta.

Sampel yang diambil sebanyak 30 buah (Rule of Thumb).

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : antibiotika linezolid dan vancomycin

2. Variabel Terikat: sensitivitas antibiotik yang ditunjukkan oleh besarnya diameter zona hambatan cakram antibiotik.

3. Variabel luar :

a. Terkendali : farmakologis obat

b. Tak terkendali: lingkungan, pola kuman, frekuensi dan jenis antibiotika lain yang sudah diberikan pada pasien.

F. Definisi Operasional Variabel

1. Jenis antibiotik yang akan dibandingkan sensitivitasnya adalah vancomycin 30 µg dan linezolid 30 µg.

(25)

3. Staphylococcus aureus yang digunakan sebagai sampel adalah Staphylococcus aureus yang didapat dari RSUD dr. Moewardi Surakarta, yang diambil dari sputum, pus, urine, sekret telinga, sekret hidung, dan darah pasien rawat inap RSUD dr. Moewardi Surakarta. Sampel diidentifikasi dengan metode biokimia dan koloni (Media MSA, Uji katalase, Uji koagulase).

G. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian

a. Piring petri sedang (diameter 10cm) b. Tabung perbenihan

c. Mikroskop binokuler d. Object glass

e. Deck glass f.Inkubator g. Oshe kolong h. Kapas lidi steril i.Gelas ukur

j.Tabung Erlenmeyer k. Power supply (Consort) l.Glass plate

(26)

o. Lemari pendingin p. Freezer

q. Sarung tangan (glove) r.Masker

s. Jas laboratorium 2. Bahan Penelitian

a. Kultur dan identifikasi Staphylococcus aureus 1) Media nutrien agar cair

2) Media agar darah plate 3) Media Vogel Johnson plate 4) Media MSA (Manitol Salt Agar)

5) Larutan NaCl 0,9% dan H2O2 3% (Uji Katalase)

6) Larutan NaCl 0,9% dan larutan plasma sitrat (Uji Koagulase) 7) Media nutrien agar miring

(27)

H. Desain Penelitian

Uji sensitivitas antibiotik

(linezolid 30µg, vancomycin 30µg, dan cefoxitin 30µg)

Isolasi dengan nutrient cair

Identifikasi dengan metode biokimia dan koloni (Media MSA, Uji katalase, Uji koagulase)

Positif

Suburkan dengan media nutrien cair

Ukur diameter zona hambatan antibiotik yang terjadi Staphylococcus aureus pada sputum pus, urine,

(28)

I. Cara Kerja

1. Kultur dan identifikasi Staphylococcus aureus

a. Ambil koloni kuman dari pasien yang mendapat terapi antibiotik, dengan menggunakan kapas swab kedalam media nutrien agar cair, inkubasi 37oC.

b. Pindahkan pada media agar darah plate, amati koloni yang terbentuk. c. Pindahkan koloni Staphylococcus aureus; dengan oshe ke media MSA,

bila media berubah warna menjadi merah, lanjutkan dengan uji katalase dan uji koagulase.

d. Uji katalase

1) Pijarkan oshe pada lampu spiritus, biarkan agak dingin, ambil 2-3 oshe larutan NaCl 0,9%, letakkan pada kaca objek.

2) Pijarkan oshe pada lampu spiritus, biarkan agak dingin, ambil 2-3 oshe koloni Staphylococcus aureus, campurkan pada larutan NaCl tadi.

3) Teteskan larutan H2O2 3% 1-2 tetes pada campuran kuman dan larutan NaCl.

4) Amati hasilnya. e. Uji koagulase

1) Pijarkan oshe pada lampu spiritus, biarkan agak dingin, ambil 2-3 oshe larutan NaCl 0,9%, letakkan pada kaca objek.

(29)

NaCl tadi.

3) Teteskan larutan plasma sitrat 1 oshe, campur dengan emulsi NaCl dan kuman pada kaca objek.

4) Amati hasilnya.

f. Pindahkan koloni kuman yang telah diidentifikasi Staphylococcus aureus ke media nutrien agar miring untuk ditumbuhkan.

2. Uji sensitivitas vancomycin 30µg, linezolid 30µg, dan cefoxitin 30µg a. Pijarkan oshe pada lampu spiritus, biarkan agak dingin, ambil 2-3 oshe

koloni Staphylococcus aureus.

b. Pindahkan ke Media Mueller Hinton Agar yang sudah ditambah dengan larutan NaCl 0,9%.

c. Cakram vancomycin 30µg, linezolid 30µg, dan cefoxitin 30µg diletakkan dengan jarak terpencar pada media tersebut.

d. Setelah itu inkubasi pada suhu 37oC selama 24 sampai 48 jam. e. Hasil dilihat, diukur diameter zona hambatan yang terjadi.

(30)

J. Teknik Analisis Data

Statistik yang digunakan adalah statistik nonparametrik dengan analisis multivariat. Analisis multivariat yang digunakan ialah uji wilcoxon. Data terbagi dalam dua kelompok, dengan masing-masing kelompok terdiri dari tiga kategori. Data menggunakan skala variabel kategorik yang berpasangan.

(31)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian

Sampel Staphylococcus aureus dalam penelitian ini berjumlah tiga puluh isolat kuman yang diambil dari sputum, pus, urine, sekret telinga, sekret hidung, dan darah pasien rawat inap di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Sampel diambil pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Januari 2010. Proses idenifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi RSUD dr. Moewardi Surakarta, kemudian diuji sensitivitasnya terhadap linezolid 30 µg, cefoxitin 30 µg, dan vancomycin 30 µg di Laboratorium Mikrobiologi FK UNS. Berikut ini data responden yang menjadi sampel penelitian ini.

Tabel 1. Sebaran Responden Menurut Umur Pasien

Umur (tahun) Frekuensi (orang) Persentase (%) 0-19 tahun, 37 % berumur 40-59 tahun, dan > 60 tahun sebanyak 13 %.

(32)

Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (orang) Persentase (%) Pria

Berdasarkan data tabel 2, persentase responden wanita lebih banyak daripada jumlah responden pria yaitu 63 % sedangkan responden pria hanya 37 %.

Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Asal Sampel yang Digunakan

Asal Sampel Jumlah (sampel) Persentase (%)

Sputum

Pada tabel 3 yang menunjukkan sebaran responden berdasarkan asal sampel, didapatkan jenis spesimen terbanyak yang diambil adalah pus sebanyak 56 %. Kemudian darah sebanyak 13 %, sekret telinga sebanyak 10 %, sekret hidung 7 %, urine 7 %, dan sputum sebanyak 7 %.

Hasil pengukuran diameter zona hambatan menunjukkan besaran diameter yang berbeda di antara ketiga antibiotik yang digunakan. Masing-masing antibiotik mempunyai spesifikasi yang berbeda dalam pengelompok-kan derajat sensitivitasnya. Nilai derajat sensitivitas masing-masing antibiotik dan besarnya diameter zona hambatan masing-masing antibiotik pada tiap

Sumber : Data Primer, 2010

(33)

sampel, tersaji pada lampiran 2 dan lampiran 3. Adapun rangkuman klasifikasi sampel yang resisten, intermediet, maupun sensitif terhadap linezolid, vancomycin, dan cefoxitin disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 4. Sampel Berdasarkan Kriteria Klasifikasi Diameter Zona Hambatan Tiap-Tiap Antibiotik

Jumlah sampel Antibiotik

Resisten Intermediet Sensitif Total

Linezolid 0 0 30 30

Vancomycin 3 10 17 30

Cefoxitin 4 0 26 30

B. Analisis Data

Data hasil penelitian berupa diameter zona hambatan yang terkelompokkan dalam kategori sensitif, resisten, dan intermediet, dianalisis dengan Uji Wilcoxon. Pengujian dilakukan menggunakan program SPSS for Windows Release 16. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. Adapun rangkuman uji statistik tersebut, tersaji dalam tabel berikut.

Tabel 5. Hasil Analisis Uji Wilcoxon antar Kelompok

Kelompok yang Dibandingkan α=0.05 Pvalue

linezolid dengan cefoxitin

Sumber : Data Primer, 2010 Keterangan : S = Signifikan

(34)

Ulasan singkat tabel 5.

1. Kelompok linezolid dengan cefoxitin

Ada perbedaan yang signifikan antara kelompok linezolid dengan cefoxitin dengan p < 0.05. Artinya kelompok ini secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna.

2. Kelompok vancomycin dengan cefoxitin

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok vancomycin dengan cefoxitin dengan p > 0.05. Artinya kelompok ini secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.

3. Kelompok linezolid dengan vancomycin

(35)

BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan kuman Staphylococcus aureus sebagai sampel perlakuan. Sampel diidentifikasi sebagai Staphylococcus aureus melalui tiga tahap uji biokimia, yaitu : uji MSA (Manitol Salt Agar), uji koagulase, dan uji katalase (National Committee for Clinical Laboratory Standards, 2004). Pada pengujian dengan MSA, jika media MSA tersebut berubah warna dari merah menjadi kuning maka dilanjutkan dengan uji koagulase dan uji katalase. Jika pada uji koagulase terdapat gumpalan pada kaca objek dalam waktu 5 detik dan uji katalse terdapat gelembung gas kurang dari 20 detik, berarti uji koagulase dan uji katalase positif. Hal ini berarti sampel teridentifikasi sebagai Staphylococcus aureus. Kemudian sampel digunakan untuk menguji besarnya daya antibakteri linezolid, vancomycin, dan cefoxitin.

(36)

Cefoxitin merupakan antibiotik golongan cephalosporin generasi kedua. Cefoxitin termasuk dalam klasifikasi antibiotik penghasil β-laktam. Dalam

penelitian ini, cefoxitin digunakan sebagai pembanding terhadap kedua antibiotik yang diuji, linezolid dan vancomycin. Selain itu, cefoxitin juga digunakan untuk mengidentifikasi adanya kuman MRSA. Kuman Staphylococcus aureus dinyatakan sebagai MRSA jika terbukti resisten terhadap cefoxitin (Yasliani S. et al., 2009). Menurut tabel Minimal Inhibitation Consentrations (MICs), cefoxitin 30 µg dinyatakan sensitif bila diameter zona hambatan ≥ 18 mm, intermediet jika zona hambatnya antara 15-17 mm, dan resisten jika ≤ 14 mm (Clincal and Laboratory Standard Institute, 2006). Hasil percobaan menunjukkan ada 4 sampel yang dikategorikan resisten terhadap cefoxitin. Sedangkan sebanyak 26 sampel dinyatakan sensitif.

Vancomycin dipilih karena saat ini vancomycin menjadi obat pilihan kedua setelah β-laktam. Selain itu vancomycin juga telah dibuktikan

keefektifannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Menurut tabel Minimal Inhibitation Consentrations (MICs), vancomycin 30 µg dinyatakan sensitif bila diameter zona hambatan ≥ 14 mm, intermediet jika zona hambatnya antara 15-16 mm, dan resisten ≥ 17 mm (Clincal and Laboratory Standard Institute, 2006). Data yang tersaji dalam tabel 4 menunjukkan adanya 3 sampel yang dinyatakan resisten terhadap vancomycin 30 µg, 10 sampel intermediet, dan 17 sampel dinyatakan sensitif.

(37)

dipasarkan sejak tahun 2000 (Gemmell, 2001). Sebagai obat baru, linezolid masih memerlukan pengujian lebih lanjut terhadap tingkat keefektiannya dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Linezolid dikabarkan aktif menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Trial-trial klinis dengan linezolid di seluruh dunia telah melaporkan aktivitas terhadap infeksi Staphylococcus aureus (Yasliani et al., 2009).

Penelitian ini menggunakan cakram linezolid 30 µg. Menurut tabel Minimal Inhibitation Consentrations (MICs), linezolid 30 µg dinyatakan sensitif bila diameter zona hambatan ≥ 20 mm, intermediet jika zona hambatnya antara 21-22 mm, dan resisten ≥ 23 mm (Clincal and Laboratory Standard Institute, 2006). Data yang tersaji pada tabel 4 menunjukkan bahwa semua sampel yang berjumlah 30 buah dinyatakan sensitif terhadap antibiotik tersebut.

Data yang diperoleh pada penelitian ini merupakan data yang berpasangan. Ciri-ciri yang paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda. Walaupun menggunakan individu yang sama, peneliti tetap memperoleh 2 macam data sampel, yaitu data dari perlakuan pertama dan data dari perlakuan kedua. Dalam penelitian ini, dari satu kuman Staphylococcus aureus didapati tiga data. Yaitu data diameter zona hambat oleh linezolid 30 µg, vancomycin 30 µg, dan cefoxitin 30 µg.

(38)

Sehingga data berupa data berpasangan dengan skala kategorik. Untuk menguji keabsahan hipotesis, digunakan uji hipotesis nonparametrik berpasangan dua kelompok dengan tiga kategorik. Terdapat 2 uji hipotesis yang paling valid untuk kasus ini, yaitu uji Wilcoxon dan uji Marginal Homogeneity (Dahlan, 2008). Dengan tingkat validitas yang sama, penulis memilih uji Wilcoxon (α=0.05) untuk

membuktikan kebenaran hipotesis penelitian ini.

Data dalam tabel 4 menunjukkan bahwa linezolid, vancomycin, dan cefoxitin mempunyai besar sensitivitas yang berbeda. Adapun besarnya kemakaan perbedaan tersebut telah diuji dengan uji Wilcoxon dan tersaji dalam tabel 5. Uji Wilcoxon dilakukan dalam tiga tahap. Tahap yang pertama dengan membanding-kan signifimembanding-kansi perbedaan sensitivitas antara linezolid dengan cefoxitin. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada perbedaan derajat sensitivitas yang signifikan antara linezolid dengan cefoxitin.

(39)

Tahap yang kedua menganalisis perbedaan derajat sensitivitas antara vancomycin dengan cefoxitin. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan sensitivitas antara vancomycin dan cefoxitin secara statistik. Dalam tabel 4 ditemukan perbedaan jumlah sampel yang sensitif terhadap vancomycin dan cefoxitin. Nilai signifikansi perbedaan tersebut disajikan dalam tabel 5, yaitu sebesar 0.215. Hal ini menunjukkan bahwa nilai p > 0.05 sehingga secara statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan sensitivitas yang signifikan antara vancomycin dengan cefoxitin. Dengan kata lain, sensitivitas vancomycin terhadap Staphylococcus aureus sama banyak dengan cefoxitin.

Uji Wilcoxon tahap terakhir dilakukan pembandingan derajat sensitivitas linezolid dengan vancomycin. Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran hipotesis yang ditulis pada bab II. Data pada tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sampel yang sensitif terhadap linezolid 30 µg dan vancomycin 30 µg. 100% sampel sebanyak 30 buah dinyatakan sensitiv terhadap linezolid 30 µg. Sedangkan untuk vancomycin 30 µg, 10% sampel (3 buah) dinyatakan resisten, 33.33% sampel (10 buah) dinyatakan intermediet, dan 56.67% sampel (17 buah) dinyatakan sensitif. Nilai kemaknaan perbedaan tersebut disajikan dalam tabel 5, menunjukkan nilai p sebesar 0.001. Sehingga nilai p < 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan sensitivitas yang bermakna antara linezolid dan vancomycin. Dengan kata lain, hipotesis diterima dan dapat dibuktikan kebenarannya secara statistik.

(40)
(41)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian tentang perbandingan sensitivitas antara linezolid dan vancomycin terhadap bakteri Staphylococcus aureus secara In vitro, maka dapat diambil simpulan bahwa :

1. Linezolid, vancomycin, dan cefoxitin mempunyai daya antibakteri yang dibuktikan dengan adanya zona hambatan pada biakan Staphylococcus aureus pada media Mueller Hinton Agar.

2. Banyaknya sampel yang sensitif terhadap antibiotik yang diuji berbeda-beda. Urutan antibiotik dari jumlah sampel terbanyak yang sensitif pada uji sensitivitas ini adalah linezolid 30 µg, cefoxitin 30 µg, dan vancomycin 30 µg.

3. Terdapat perbedaan sensitivitas yang signifikan antara linezolid dengan cefoxitin.

4. Terdapat perbedaan sensitivitas yang tidak signifikan antara vancomycin dengan cefoxitin.

5. Terdapat perbedaan sensitivitas yang signifikan antara linezolid dan vancomycin.

(42)

B.Saran

Setelah dilakukan penelitian tentang perbandingan sensitivitas antara linezolid dan vancomycin terhadap bakteri Staphylococcus aureus secara In vitro, maka penulis menganjurkan :

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perbandingan efektivitas terapi antara linezolid dan vancomycin secara in vivo.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Anaizi, Nasr. 2002. Vancomycin.University of Rochester Medical Center. 2: 1-4. American College of Physician. 2006. Changing pattern of Community-Acquired

Skin and Soft Tissue Infection with Antibiotic-Resistant Staphylococcus

aureus.

http://www.annals.org/cgi/content/full/144/5/1 (11 Maret 2009).

Brooks, Geo F. et al. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnik, & Adelberg. Jakarta: EGC.

Chambers H.F. 1997. Methicillin resistance in staphylococci: molecular and biochemical basis and clinical implications. Clin. Microbiol. Rev. 10:791– 781.

Chan, Wai Ming. 2008. Any Better Guns For Nosocomial MRSA Pneumonia. The Hong Kong Medical Diary. 13(12) : 20-21.

Clinical and Laboratory Standard Institute. 2006. Performance Standards for Antimicrobial susceptibility Testing, Sixteenth Informational Supplement. CLSI. 26 (3) : 44-51

Dahlan, M. Sopiyudin. 2008. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika. Hal : 141-154

Dellit, Timothy H. et al. 2007. Guidelines for Evaluation & Management of Community-Associated Methicillinresistant Staphylococcus Aureus Skin

and Soft Tissue Infections in Outpatient Settings.

http://www.publichealthgrandrounds.unc.edu/antimicrob_resist (9 Februari 2009)

Gemmel, Curtis G. et al. 2001. Susceptibility of a variety of clinical isolates to linezolid: a European inter-country comparison. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 48 : 47-52

(44)

Grundmann H., Tami A., Hori S., Halwani M., dan Slack R. 2002. Nottingham Staphylococcus aureus population study: prevalence of MRSA among elderly people in the community. BMJ 324: 1366–1365.

Harnita dan Radji. 2010. Analisis Hayati

http://books.google.co.id/books?id=ac3xoxKVzWIC&pg=PA4&lpg=PA4 &dq=%22zona+hambatan+antibiotik%22&source=bl&ots=Vh4lrtaOvO& sig=KPH_aLvRiN9wZPmerLfhqa3fuS0&hl=id&ei=NjDqS57bCsu-rAfp2qSZCg&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=10&ved=0CEA C6AEwCQ#v=onepage&q&f=false. (5 April 2010).

Hawley, R., 2003. Microbiology dan Penyakit Infeksi. Jakarta: Hipokrates

Heggers, John P. et al. 2002. Is Linezolid an Alternative to Vancomycin in the Treatment of Burns?. University of Texas Medical Branch, Galveston. 06(43) : 1-8.

Isbandrio, Bambang. 1999. Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA): Tantangan bagi Rumah Sakit. Media Medika Indonesiana. 34 : 105-110.

Ito T., Ma X. X., Takeuchi F., Okuma K., Yuzawa H., dan Hiramatsu K. 2004. Novel type V staphylococcal cassette chromosome mec driven by a novel cassette chromosome recombinase, ccrC. Antimicrob. Agents Chemother. 48: 2637–2651.

Jawetz, Ernest dan W. Levinson. 2002. Medical Microbiology & Immunology. Singapore : Mc Graw Hill.

Katzung, Bertram G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. P : 53.

Levinson, W. 2006. Review of Medical Microbiology and Immunology. Department of Microbiology and Immunology. University of California San Fransisco. Mc-Graw Hill companies Inc, United States.

Majid, Abdul. 2005. Efek Antibakteri Ekstrak Andrographis paniculata Ness dalam serum Rattus norvegicus terhadap Staphylococcus aureus dan

MRSA in vitro. Universitas Airlangga. Surabaya.

(45)

http://www.mediamedika.net/archives/121 (12 Mei 2010). Migula, Castellani dan Chalmers. 2008. Staphylococcus aureus.

http://www.wikipedia.com (15 April 2009)

Miralles, R. et al. 1990. Pain-Another Adverse Reaction To Vancomycin. Chest. 97 : 1504a-1504.

Modric, Jan. 2008. Lab Test for Staph, Staph Culture, Staph Infections, Staphylococcus aureus, Virulence Factors of S. aureus.

http://www.healthhipe.com (5 mei 2009).

National Committee for Clinical Laboratory Standards. 2004. Cefoxitin Resistance for the Detection of MRSA Performance Standard for Antimicrobial Susceptibility Testing Fourteenth Informational Supplement. NCCLS: M100-S14

Noviana, Hera. 2004. Monitoring Resistensi Methicillin-Resistant S. Aureus (MRSA) Terhadap Golongan Quinolople Di Rumah Sakit Atma Jaya, Jakarta. Majalah Kedokteran Atma Jaya. 3(2) : 113.

Parsonnet, W. A., Deresiewicz, R. L. 2005. Staphylococcal infection. In : Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson. 2005. Harrison’s Principle of Internal Medicine vol 1. Mc Graw Hill. USA.

Prakash, M., K. Rajasekar dan N. Karmegam. 2007. Prevalence of Methicillin Resistant Staphylococcus aureus in Clinical Samples Collected from Kanchipuram Town, Tamil Nadu, South India. INSInet Publication. 3(12) : 1705-1709.

Potoski, Brian A. et al. 2002. Clinical Failures of Linezolid and Implications for the Clinical Microbiology Laboratory. Ohio State University Medical Center. 8(12) : 1519-1520.

Sader, Helio S. 2001. Antimicrobial Activity of Linezolid Against Gram-Positive Cocci Isolated in Brazil. The Brazilian Journal of Infectious Diseases. 5(4) : 171-176.

(46)

Setiabudy. 2005. Antimikroba Lain. Dalam : Sulistia Gan Gunawan (eds). Farmakologi Dan Terapi. Departemen Farmakologi dan TerapeutikFKUI. Jakarta : Departemen Farmakologi dan TerapeutikFKUI. Pp : 728-729. Shorr, Andrew F. et al. 2005. Linezolid versus vancomycin for Staphylococcus

aureus bacteraemia : pooled analysis of randomized studies. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 56 : 923–929.

Strohl, W. A., et al., 2001. Lippincott’s Illustrated review:Microbiology. Lippincott’s Willians & Wilkins. Philadelphia. P: 138

Tortora G.J., Funke B.R., dan Case C.L. 1995. Microbiology an Introduction 5th Edition. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Warsa, Usman Khatib. 1993. Kokus Positif Gram. Dalam : Bagian Mikrobiologi

FKUI. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara. Pp : 103-110. Wickner W. dan Schekman R. 2005. Protein translocation across biological

membranes. Science 310: 1456–1452.

Weinstein A. R. 1998. Nosocomial Infection Update.

http:cdc.thegenes.gov/ncomial/vol4no3/weinstein.htm.(24 Januari 2009). Widman, F. K. 1993. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemerriksaan Laboratorium

(Clinical Interpretation Of Laboratory Test). Jakarta: EGC Wikipedia. 2009. Staphylococcus aureus

http://en.wikipedia.org/wiki/ Staphylococcus_aureus. (11 Februari 2009). Wikipedia. 2010. Vancomycin

http://en.wikipedia.org/wiki/ Vancomycin. (10 April 2010). Wikipedia. 2010. Linezolid

http://en.wikipedia.org/wiki/ Linezolid. (11 April 2010).

Gambar

Tabel 1. Sebaran Responden Menurut Umur Pasien
Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5. Hasil Analisis Uji Wilcoxon antar Kelompok

Referensi

Dokumen terkait

CSF di dalam infeksi poliovirus pada umumnya terdapat peningkatan jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama adalah sel limfositnya.. Polio adalah

Dari pengakuan tersebut, konselor menanyakan apa yang membuat klien kurang maksimal dan diperoleh hasil bahwa klien belum mampu menentukan prioritas selama

Menindaklanjuti kesepakatan terkait dengan kegiatan pengabdian masyarakat yang sudah kami sampaikan kemarin, maka Program Studi Ilmu Komunikasi (Prodi. IK) Fakultas Ilmu

Pengukuran produktivitas dilakukan guna mengetahui kemampuan atau tingkat pencapaian target yang dimiliki oleh setiap pelaku usaha, dalam hal ini penilaian

Khalayak merupakan sekumpulan orang dalam jumlah yang besar dan luas, bersifat heterogen, dan tidak saling mengenal satu sama lain. Khalayak dalam penelitian ini adalah

Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan hasil penelitian bahwa pengaruh penerapan

Kajian pengaruh kebijakan, rencana, dan program (KRP) pembangunan bidang Cipta Karya di Kota Sibolga dilakukan dengan melakukan pembobotan besaran pengaruh keterkaitan yang