• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

B. Analisis Data

Data hasil penelitian berupa diameter zona hambatan yang terkelompokkan dalam kategori sensitif, resisten, dan intermediet, dianalisis dengan Uji Wilcoxon. Pengujian dilakukan menggunakan program SPSS for Windows Release 16. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. Adapun rangkuman uji statistik tersebut, tersaji dalam tabel berikut.

Tabel 5. Hasil Analisis Uji Wilcoxon antar Kelompok

Kelompok yang Dibandingkan α=0.05 Pvalue

linezolid dengan cefoxitin vancomycin dengan cefoxitin linezolid dengan vancomycin

0.046 0.215 0.001 S NS S Sumber : Data Primer, 2010

Keterangan : S = Signifikan NS = Nonsignifikan

Ulasan singkat tabel 5.

1. Kelompok linezolid dengan cefoxitin

Ada perbedaan yang signifikan antara kelompok linezolid dengan cefoxitin dengan p < 0.05. Artinya kelompok ini secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna.

2. Kelompok vancomycin dengan cefoxitin

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok vancomycin dengan cefoxitin dengan p > 0.05. Artinya kelompok ini secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.

3. Kelompok linezolid dengan vancomycin

Ada perbedaan yang signifikan antara kelompok linezolid dengan vancomycin dengan p < 0.05. Artinya kelompok ini secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna.

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan kuman Staphylococcus aureus sebagai sampel perlakuan. Sampel diidentifikasi sebagai Staphylococcus aureus melalui tiga tahap uji biokimia, yaitu : uji MSA (Manitol Salt Agar), uji koagulase, dan uji katalase (National Committee for Clinical Laboratory Standards, 2004). Pada pengujian dengan MSA, jika media MSA tersebut berubah warna dari merah menjadi kuning maka dilanjutkan dengan uji koagulase dan uji katalase. Jika pada uji koagulase terdapat gumpalan pada kaca objek dalam waktu 5 detik dan uji katalse terdapat gelembung gas kurang dari 20 detik, berarti uji koagulase dan uji katalase positif. Hal ini berarti sampel teridentifikasi sebagai Staphylococcus aureus. Kemudian sampel digunakan untuk menguji besarnya daya antibakteri linezolid, vancomycin, dan cefoxitin.

Berdasarkan tingkat kepekaannya terhadap kuman, suatu antibiotik dikelompokkan menjadi tiga kategori, mulai dari yang paling peka yaitu : sensitif, intermediet, dan resisten. Pembagian kategori ini merujuk pada diameter zona hambatan pertumbuhan biakan kuman oleh suatu antibiotik. Tiap kategori mempunyai rentang nilai besar diameter zona hambatan yang berbeda untuk tiap antibiotik. Adapun rentang nilai besar diameter zona hambat pada masing-masing kategori pada antibiotik cefoxitin, vancomycin, dan linezolid dapat dilihat pada lampiran.

Cefoxitin merupakan antibiotik golongan cephalosporin generasi kedua. Cefoxitin termasuk dalam klasifikasi antibiotik penghasil β-laktam. Dalam penelitian ini, cefoxitin digunakan sebagai pembanding terhadap kedua antibiotik yang diuji, linezolid dan vancomycin. Selain itu, cefoxitin juga digunakan untuk mengidentifikasi adanya kuman MRSA. Kuman Staphylococcus aureus dinyatakan sebagai MRSA jika terbukti resisten terhadap cefoxitin (Yasliani S. et al., 2009). Menurut tabel Minimal Inhibitation Consentrations (MICs), cefoxitin 30 µg dinyatakan sensitif bila diameter zona hambatan ≥ 18 mm, intermediet jika zona hambatnya antara 15-17 mm, dan resisten jika ≤ 14 mm (Clincal and Laboratory Standard Institute, 2006). Hasil percobaan menunjukkan ada 4 sampel yang dikategorikan resisten terhadap cefoxitin. Sedangkan sebanyak 26 sampel dinyatakan sensitif.

Vancomycin dipilih karena saat ini vancomycin menjadi obat pilihan kedua setelah β-laktam. Selain itu vancomycin juga telah dibuktikan keefektifannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Menurut tabel Minimal Inhibitation Consentrations (MICs), vancomycin 30 µg dinyatakan sensitif bila diameter zona hambatan ≥ 14 mm, intermediet jika zona hambatnya antara 15-16 mm, dan resisten ≥ 17 mm (Clincal and Laboratory Standard Institute, 2006). Data yang tersaji dalam tabel 4 menunjukkan adanya 3 sampel yang dinyatakan resisten terhadap vancomycin 30 µg, 10 sampel intermediet, dan 17 sampel dinyatakan sensitif.

Linezolid merupakan antibiotik baru yang digolongkan dalam kelompok Oxazoladinone. Linezolid ditemukan pada era tahun 1990an dan baru mulai

dipasarkan sejak tahun 2000 (Gemmell, 2001). Sebagai obat baru, linezolid masih memerlukan pengujian lebih lanjut terhadap tingkat keefektiannya dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Linezolid dikabarkan aktif menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Trial-trial klinis dengan linezolid di seluruh dunia telah melaporkan aktivitas terhadap infeksi Staphylococcus aureus (Yasliani et al., 2009).

Penelitian ini menggunakan cakram linezolid 30 µg. Menurut tabel Minimal Inhibitation Consentrations (MICs), linezolid 30 µg dinyatakan sensitif bila diameter zona hambatan ≥ 20 mm, intermediet jika zona hambatnya antara 21-22 mm, dan resisten ≥ 23 mm (Clincal and Laboratory Standard Institute, 2006). Data yang tersaji pada tabel 4 menunjukkan bahwa semua sampel yang berjumlah 30 buah dinyatakan sensitif terhadap antibiotik tersebut.

Data yang diperoleh pada penelitian ini merupakan data yang berpasangan. Ciri-ciri yang paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda. Walaupun menggunakan individu yang sama, peneliti tetap memperoleh 2 macam data sampel, yaitu data dari perlakuan pertama dan data dari perlakuan kedua. Dalam penelitian ini, dari satu kuman Staphylococcus aureus didapati tiga data. Yaitu data diameter zona hambat oleh linezolid 30 µg, vancomycin 30 µg, dan cefoxitin 30 µg.

Data yang didapat berskala kategorik. Ciri-cirinya adalah data terbagi dalam kategori yang tidak sederajat atau bertingkat. Dalam penelitian ini data digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu : sensitif, intermediet, dan resisten.

Sehingga data berupa data berpasangan dengan skala kategorik. Untuk menguji keabsahan hipotesis, digunakan uji hipotesis nonparametrik berpasangan dua kelompok dengan tiga kategorik. Terdapat 2 uji hipotesis yang paling valid untuk kasus ini, yaitu uji Wilcoxon dan uji Marginal Homogeneity (Dahlan, 2008). Dengan tingkat validitas yang sama, penulis memilih uji Wilcoxon (α=0.05) untuk membuktikan kebenaran hipotesis penelitian ini.

Data dalam tabel 4 menunjukkan bahwa linezolid, vancomycin, dan cefoxitin mempunyai besar sensitivitas yang berbeda. Adapun besarnya kemakaan perbedaan tersebut telah diuji dengan uji Wilcoxon dan tersaji dalam tabel 5. Uji Wilcoxon dilakukan dalam tiga tahap. Tahap yang pertama dengan membanding-kan signifimembanding-kansi perbedaan sensitivitas antara linezolid dengan cefoxitin. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada perbedaan derajat sensitivitas yang signifikan antara linezolid dengan cefoxitin.

Data menunjukkan, bahwa terdapat perbedaan derajat sensitivitas antara kedua antibiotik tersebut. Sampel yang sensitif terhadap linezolid lebih banyak daripada cefoxitin. 100% sampel (30 buah) dinyatakan masih sensitif terhadap linezolid. Sedangkan untuk linezolid, 86.67% sampel (26 buah) dinyatakan sensitif sedangkan 13.33% sampel (4 buah) dinyatakan resisten. Nilai kemaknaan pada uji Wilcoxon antara linezolid dengan cefoxitin mununjukkan nilai p sebesar 0.046. Hal ini berarti bahwa nilai p < 0.05. Sehingga dapat dinyatakan bahwa sensitivitas linezolid terhadap Staphylococcus aureus, berbeda secara signifikan dibandingkan dengan cefoxitin. Sampel lebih banyak yang sensitif terhadap linezolid daripada cefoxitin.

Tahap yang kedua menganalisis perbedaan derajat sensitivitas antara vancomycin dengan cefoxitin. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan sensitivitas antara vancomycin dan cefoxitin secara statistik. Dalam tabel 4 ditemukan perbedaan jumlah sampel yang sensitif terhadap vancomycin dan cefoxitin. Nilai signifikansi perbedaan tersebut disajikan dalam tabel 5, yaitu sebesar 0.215. Hal ini menunjukkan bahwa nilai p > 0.05 sehingga secara statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan sensitivitas yang signifikan antara vancomycin dengan cefoxitin. Dengan kata lain, sensitivitas vancomycin terhadap Staphylococcus aureus sama banyak dengan cefoxitin.

Uji Wilcoxon tahap terakhir dilakukan pembandingan derajat sensitivitas linezolid dengan vancomycin. Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran hipotesis yang ditulis pada bab II. Data pada tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sampel yang sensitif terhadap linezolid 30 µg dan vancomycin 30 µg. 100% sampel sebanyak 30 buah dinyatakan sensitiv terhadap linezolid 30 µg. Sedangkan untuk vancomycin 30 µg, 10% sampel (3 buah) dinyatakan resisten, 33.33% sampel (10 buah) dinyatakan intermediet, dan 56.67% sampel (17 buah) dinyatakan sensitif. Nilai kemaknaan perbedaan tersebut disajikan dalam tabel 5, menunjukkan nilai p sebesar 0.001. Sehingga nilai p < 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan sensitivitas yang bermakna antara linezolid dan vancomycin. Dengan kata lain, hipotesis diterima dan dapat dibuktikan kebenarannya secara statistik.

Pada penelitian ini dijumpai empat buah sampel yang diidentifikasi sebagai MRSA. Yaitu sampel dengan kode 165P (berasal dari pus), 269D (berasal

dari darah), 264D (berasal dari darah), dan 267ST (berasal dari sekret telinga). Pada tabel dalam lampiran 3 didapati bahwa keempat sampel tersebut resisten terhadap antibiotik cefoxitin. Namun, tiga di antaranya masih sensitif terhadap linezolid dan vancomycin. Sedangkan 1 sampel (165P) dinyatakan resisten terhadap cefoxitin 30 µg dan vancomycin 30 µg, tetapi masih sensitif terhadap linezolid 30 µg. Sehingga muncul dugaan bahwa linezolid mempunyai sensitivitas yang lebih besar terhadap MRSA dibandingkan dengan vancomycin, obat standard untuk MRSA. Akan tetapi, dikarenakan jumlah sampel yang belum mencukupi, dugaan tersebut belum dapat dibuktikan kebenarannya secara statistik.

BAB VI

Dokumen terkait