• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Luaran Perilaku Berbagi-Pengetahuan pada Insan Intelektual: Studi pada Dosen PTS di Wilayah Kopertis 6

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Luaran Perilaku Berbagi-Pengetahuan pada Insan Intelektual: Studi pada Dosen PTS di Wilayah Kopertis 6"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

24 BAB II

TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL PENELITIAN

(2)

25 Gambar 2.1

Alur Uraian Bab Telaah Pustaka dan Pengembangan Model Penelitian

2.1 Teori Utama

2.1.2 Teori Perilaku Terencana

2.1.3 Teori Motivasi

2.1.4 Teori Disonansi Kognitif

2.1.5 Teori Pertukaran Sosial

2.2 Pengetahuan

2.3.1 Luaran Perilaku Berbagi-Pengetahuan

2.3 Konseptualisasi Peubah Penelitian

2.3.2 Perilaku Berbagi-Pengetahuan

2.3.3 Kesediaan Berbagi-Pengetahuan

2.3.4 Faktor yang Menjelaskan Kesediaan Berbagi-Pengetahuan

2.4 Pengembangan Proposisi Penelitian

2.5 Pengembangan Model Penelitian 2.1.1 Organisasi

(3)

26

2.1 Teori Utama (Grand Theory): I and Me Theory

(4)

27 2.2 Pengetahuan

Davenport dan Prusak (Andrawina et al. 2008, h. 159) mendefinisikan pengetahuan sebagai:

“a fluid mix of framed experience, values, contextual information, and expert insight that provides a framework for evaluating and incorporating new experiences and information. It originates and is applied in the minds of knowers. In organizations, it often becomes embedded not only in documents or repositories but also in organizational routines, processes, practices, and norms”.

Sementara Nonaka & Takeuchi (1995) mengkategorikan pengetahuan menjadi implicit (tacit) dan explicit knowledge. Implicit atau tacit knowledge

terdiri atas model-model mental, kepercayaan, melekat pada individu. Sementara

explicit knowledge merupakan pengetahuan yang dapat dikodifikasi dan ditransmisikan dalam sebuah bahasa yang sistematis dan formal. Di antaranya dalam bentuk dokumen, pangkalan data, web, surel, grafik, dan lain-lain.

(5)

28 Gambar 2.2 Posisi Pengetahuan

Sumber : Fleming, Neil (1996)

Berdasarkan Gambar 2.1 di atas dapat dijelaskan bahwa awalnya bermula dari data (angka-angka dan fakta) yang memiliki dua dimensi yaitu dimensi tingkat pemahaman dan kebebasannya. Data adalah tahapan di mana dimensi pemahaman dan kebebasannya masih sangat rendah dan terbatas. Tahapan berikutnya adalah informasi. Informasi telah mampu menjelaskan tentang hubungan-hubungan suatu pemahaman. Tahapan selanjutnya adalah pengetahuan, di mana pada tingkat pengetahuan, telah mampu menjelaskan bentuk-bentuk suatu pemahaman dari suatu obyek, sedangkan tingkat berikutnya adalah kearifan pada tingkatan kearifan ini telah memiliki prinsip-prinsip tentang suatu pemahaman.

Pendekatan lain mengenai definisi pengetahuan disampaikan oleh Quinn (1998) yang mendefinisikan pengetahuan ke dalam empat aras operasional sebagai berikut:

Dat a Kont eks Kebebasan

Pemaham an

I nformasi

Pengetahuan

Kebijaksanaan

Pemaham an Hubungan

Pemaham an Pola

(6)

29 1. Know what atau cognitiveknowledge

Merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan, pembelajaran, dan kualifikasi formal. Aras ini sangat penting bagi perusahaan namun umumnya masih kurang mencukupi bagi keberhasilan komersial.

2. Know how – merupakan aras aplikasi praktis

Pada aras ini, apa yang telah didapat pada aras 1 diterjemahkan dalam pelaksanaan. Tahap ini merupakan area di mana pengetahuan menambahkan nilai dalam suatu organisasi melalui kemampuan untuk menerjemahkan pengetahuan yang bersifat teoritis menjadi eksekusi yang efektif.

3. Know why disebut juga system understanding

Merupakan pengetahuan terdalam dari jaringan kaitan sebab akibat yang ada pada suatu disiplin ilmu. Aras ini memungkinkan profesional untuk berpindah dari pelaksanaan kerja ke pemecahan masalah yang lebih besar dan kompleks, dan menciptakan solusi baru bagi permasalahan yang baru.

4. Care why – tahap lanjutan dari kreativitas termotivasi diri (self motivated creativity)

Merupakan aras di mana inovasi radikal dapat terjadi melalui lompatan imajinatif dan pemikiran lateral.

2.3 Konseptualisasi Peubah Penelitian

(7)

30

variable) yang telah diteliti oleh peneliti-peneliti terdahulu. Enam peubah lainnya merupakan peubah terpilih yang dikonseptualisasikan pada penelitian ini. Untuk dapat mengkonseptualisasikan peubah-peubah tersebut, digunakan pijakan beberapa teori utama.

1. Organisasi Pembelajaran (Learning Organization)

Organisasi pembelajaran meneliti pengembangan model normatif dan metodologi untuk meningkatkan proses pembelajaran (Easterby-Smith & Araujo 1999). Konsep mengenai organisasi pembelajaran berusaha menjawab pertanyaan mengenai "how should an organization learn?" (Tsang 1997). Terdapat tiga karakteristik organisasi pembelajaran yang dijelaskan oleh Ortenblad (2001). Pertama, organisasi pembelajaran merupakan suatu bentuk organisasi. Kedua, membentuk karakter sebuah organisasi pembelajar memerlukan suatu usaha. Ketiga, organisasi pembelajaran lebih banyak berkembang dari literatur. Lebih lanjut, Ortenbald (2001) juga menjelaskan pada organisasi pembelajaran, pembelajaran dilakukan pada tingkat individu, kelompok dan organisasi serta lokasi pengetahuan dipandang berada dalam individu dan memori organisasi.

2. Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)

(8)

31

Perilaku Terencana Ajzen (1991) adalah niatan (intention) individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu (yang juga ada di Teori Tindakan Berasalan). Niatan diasumsikan untuk menangkap faktor-faktor bersifat motivasi yang memengaruhi suatu perilaku sebagai indikasi dari bagaimana kerasnya individu tersebut berusaha, dan seberapa besar upaya yang akan dia gunakan untuk melakukan perilaku tertentu. Artinya, semakin kuat niatan untuk bersinggungan dengan suatu perilaku, maka akan semakin mungkin perilaku tersebut dilakukan. Namun, niatan suatu perilaku dapat mengungkapkan suatu perilaku hanya jika perilaku yang dimaksudkan dibawah kendali kehendak (volitional control). Kendali kehendak artinya seseorang dapat memutuskan sendiri apakah dia akan melakukan perilaku tersebut atau tidak. Walaupun pada kenyataannya beberapa perilaku dapat memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut dengan baik, perilaku tersebut umumnya tergantung paling tidak pada beberapa faktor-faktor tidak bersifat motivasi, seperti tersedianya kesempatan dan sumber daya yang dibutuhkan (contoh: waktu, uang, keterampilan, kemampuan bekerja sama). Secara kolektif faktor-faktor tersebut merepresentasikan kontrol individu sebenarnya atas perilaku. Selanjutnya bahwa seorang individu memiliki kesempatan dan sumber daya yang dibutuhkan dan bermaksud untuk melakukan perilaku tersebut, maka individu tersebut harus mampu melakukannya dengan sukses.

(9)

32

pengharapan yang menyenangkan maupun tidak terhadap perilaku tersebut. Prediktor kedua adalah faktor sosial yang disebut norma subjektif (subjective norm) yang menunjukkan tekanan sosial terpersepsi untuk melakukan perilaku tersebut atau tidak. Prediktor ketiga adalah kontrol keperilakuan terpersepsi (perceived behavioral control) yang menunjukkan kemudahan atau kesulitan terpersepsi untuk melakukan perilaku tersebut dan diasumsikan untuk menggambarkan pengalaman masa lalu seperti halnya kesukaran dan halangan yang dapat diantisipasi. Henle et al. (2010) menjelaskan ketiga komponen Teori Perilaku Terencana yang dikembangkan oleh Ajzen (1991) sebagai berikut:

a. Sikap

(10)

33 b. Norma Subjektif

Norma subjektif meliputi norma-norma sosial, keluarga, atau kelompok seperti halnya penjiwaan moral yang merepresentasikan tingkatan yang penting dan menghargai orang lain yang mempertimbangkan atau memperingatkan suatu perilaku tertentu (Ajzen, 1991). Norma subjektif juga dapat diartikan sebagai tekanan sosial untuk melakukan atau menahan diri terhadap perilaku tertentu. Komponen ini merupakan fungsi dari keyakinan normatif (normative beliefs), yang ditentukan oleh tingkatan di mana suatu perilaku diterima oleh orang lain (referents’ behavioral expectation) dan tingkatan dimana seseorang termotivasi untuk mengikuti opini-opini dari referensi tersebut (motivation to comply).

c. Kontrol Keperilakuan Terpersepsi

(11)

34

Gambar 2.3

Rerangka Pemikiran Teori Perilaku Terencana

Sumber: Ajzen, 1991

Pada konteks studi ini, Teori Perilaku Terencana digunakan untuk menjelaskan peubah kesediaan berbagi-pengetahuan dalam menjelaskan perilaku berbagi-pengetahuan. Namun, mengacu pada masalah penelitian yang dirumuskan maka Teori Perilaku Terencana tidak cukup lagi untuk dapat menjelaskan keseluruhan model yang akan dikembangkan dalam studi ini. Diperlukan teori sebagai pijakan konstruk luaran yang dapat dijelaskan oleh perilaku berbagi-pengetahuan. Teori ini diperlukan untuk menjelaskan bahwa ketika individu melakukan suatu perilaku tertentu maka akan ada harapan atau tujuan dari melakukan perilaku tertentu tersebut.

3. Teori Penetapan Tujuan Berkelanjutan (Sustainable Goal Setting Theory) Studi ini menggunakan Teori Penetapan Tujuan Berkelanjutan (Sustainable Goal Setting Theory) untuk menjelaskan pengaruh perilaku pengetahuan terhadap peubah luaran dari perilaku berbagi-pengetahuan yang dikembangkan dalam studi ini. Teori Penetapan Tujuan Berkelanjutan didasarkan pada Teori Kebajikan Aristotelian (Aristotelian

Sikap

Norma Subjektif

Kontrol Keperilakuan Terpersepsi

(12)

35

Virtue Theory) (Aristoteles 1962) khususnya kebajikan utama yang meliputi kehati-hatian, kesederhanaan, keadilan, dan keberanian (Aquinas 1948) dan gagasan bahwa tujuan hidup adalah untuk memaksimalkan seluruh kesejahteraan (kebahagiaan, eudaemonia) di masyarakat.

Teori Penetapan Tujuan menyatakan bahwa tujuan memiliki pengaruh luas pada perilaku karyawan dan kinerja dalam organisasi dan praktek manajemen (Locke & Latham 2002). Hampir setiap organisasi modern memiliki beberapa bentuk penetapan tujuan dalam operasi. Program seperti manajemen berdasarkan sasaran (Management by Objectives/MBO), praktik kerja berkinerja tinggi (High Performance Works Practices/HPWPs), sistem informasi manajemen (Management Information System/MIS),

benchmarking, sasaran melar (stretch target), serta sistem pemikiran dan perencanaan strategis, termasuk pengembangan tujuan tertentu.

Secara praktis, alasan untuk mengembangkan Teori Penetapan Tujuan Berkelanjutan adalah untuk menjelaskan mengapa beberapa orang yang dibandingkan dengan orang lain yang lebih terlibat dalam pekerjaan mereka merasa lebih puas, unggul dalam kinerja kontekstual serta kinerja tugas, dan memberikan kontribusi pada jangka pendek dan jangka panjang kelangsungan hidup organisasi dan masyarakat (Neubert & Dyck 2015).

(13)

36

masa depan. Individu tidak hanya ingin menjadi produktif dan efisien dalam organisasi (pumpunan pendekatan konvensional), tetapi mereka juga ingin memiliki hubungan yang memuaskan, meningkatkan komunitas mereka, mempromosikan keadilan sosial dan kesejahteraan ekologi (Giacalone 2004). Aspek berikutnya yang dikaji dalam Teori Penetapan Tujuan Berkelanjutan adalah Atribut Tujuan Yang Efektif (Attribute of Effective Goals). Pendekatan Berkelanjutan didasarkan pada asumsi bahwa individu menginginkan hasil yang melampaui kisaran kinerja jangka pendek seperti membantu orang lain, berkontribusi terhadap pembelajaran dan pertumbuhan anggota keorganisasian, meningkatkan keberlanjutan ekologi praktik bisnis, atau meningkatkan kesejahteraan anggota masyarakat (Neubert & Dyck 2015). Selain itu, dalam kondisi yang tepat, penetapan tujuan dapat menjadi teknik yang kuat untuk memotivasi anggota keorganisasian.

4. Teori Utama yang Menjelaskan Pengaruh Peubah Bebas terhadap Perilaku Berbagi-Pengetahuan

a. Teori Motivasi

(14)

37

(terendah-tertinggi), yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.

Teori motivasi lain adalah Teori Dua Faktor (Two-Factor Theory) yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg (1966) merupakan rerangka kerja lain untuk memahami implikasi bersifat motivasi dari lingkungan kerja. Ada dua faktor di dalam teori ini yaitu : faktor-faktor higienis (sumber ketidakpuasan karyawan) dan faktor-faktor pemuas (sumber kepuasan karyawan). Teori Herzberg ini meyakini bahwa kepuasan kerja memotivasi pada kinerja yang lebih baik.

(15)

38

Mengacu pada uraian mengenai teori motivasi dapat disimpulkan bahwa teori motivasi dapat dikembangkan dalam praktek untuk mengelola perilaku pegiat pengetahuan (Herzberg 1966). Teori motivasi berguna dalam memahami faktor-faktor motivasi perilaku berbagi-pengetahuan. Individu dapat berbagi-pengetahuan untuk menjaga pekerjaan mereka, mendukung hubungan individu dengan orang lain, meningkatkan reputasi, status dan kekuasaan, dan untuk memperkuat pengetahuan dan kemampuan individu itu sendiri.

b. Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory)

Teori disonansi kognitif oleh Festinger (1957) memumpun pada proses psikologis penting dari individu, khususnya pada hubungan antara kognisi yang membentuk unsur-unsur pengetahuan bahwa individu memiliki perilaku, sikap, persepsi, keyakinan dan lingkungan. Kognitif mengacu pada pikiran, sikap, keyakinan dan perilaku yang disadari oleh individu. Disonansi mengacu pada keadaan yang tidak menyenangkan dari ketegangan atau gairah. Ketika mengalami disonansi, seorang individu akan mencoba untuk mengurangi atau melarikan diri dari perasaan tidak nyaman ini dengan mengubah perilaku atau sikap. Teori disonansi kognitif yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan ketika individu memiliki dua kognisi bertentangan: untuk berbagi atau tidak berbagi-pengetahuan.

(16)

39

evaluasi disonansi kognitif dapat mengurangi tingkat kepercayaan seseorang dan menahan kesediaan berbagi (Bordia, Irmer & Abusah 2006). Hal ini karena adanya ketakutan bahwa pengetahuan atau gagasan seseorang dapat dievaluasi atau dikritik, bahwa perilaku berbagi-pengetahuan individu dihambat. Evaluasi disonansi kognitif dimungkinkan sebagai hasil dari persepsi, bahwa pengetahuan yang dibagi tidak penad atau tidak berharga bagi orang lain dalam hal kualitas dan manfaat, dan akan menarik penilaian dan kritik dari orang lain (Wang & Noe 2010). Menurut Fostinger (1957), disonansi kognitif juga timbul ketika ada ketidakruntutan antara apakah individu sudah tahu atau percaya akan informasi baru yang diterima. Kemungkinan besar, individu menolak untuk menerima pengetahuan baru yang masuk, yang mungkin mengharuskan individu untuk membuang pengetahuan yang sudah ada.

(17)

40

c. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory/SET)

Teori Pertukaran Sosial dikembangkan pada akhir 1950-an, dengan pendukung utama adalah Homans (1961). Homans mengusulkan bahwa pertukaran antara orang-orang adalah bentuk dasar perilaku, dan selalu didasarkan pada prinsip-prinsip biaya dan manfaat. Selanjutnya, Homans memasukkan konsep teori dari psikologi, seperti harapan dan imbalan. Tidak seperti Homans, Blau (1964) mencoba menjembatani kesenjangan antara manusia dan masyarakat. Blau memperkenalkan konsep imbalan sosial untuk menjelaskan perilaku pertukaran sosial. Imbalan intrinsik, ekstrinsik, dan konsep-konsep kekuasaan dan kriteria diperkenalkan untuk membantu menjelaskan fenomena sosial yang lebih luas.

(18)

41

positif terhadap berbagi-pengetahuan, dan oleh karena itu secara positif berhubungan dengan niat dan perilaku berbagi pengetahuan.

Sejak pertukaran sosial menjadi kegiatan yang rumit, berbagai proyek-proyek penelitian mengenai berbagi-pengetahuan telah menyoroti aspek-aspek yang berbeda. Beberapa peneliti telah menggunakan SET untuk meneliti bagaimana kepercayaan dan keadilan/kewajaran sebagai dua komponen kunci dalam hubungan antar pribadi (Organ 1990, Robinson 1996) yang berhubungan dengan berbagi-pengetahuan. Penelitian mengenai kepercayaan dan keadilan penting karena berbagi-pengetahuan melibatkan aktivitas memberikan berbagi-pengetahuan kepada orang lain atau secara kolektif dengan harapan timbal balik (Wu et al. 2009). Chua (2003) menekankan timbal balik dalam berbagi pengetahuan, sedangkan Constant, Kiesler & Sproull (1994) menekankan kepentingan dan kontek. Ada juga peneliti yang telah menggunakan SET untuk menganalisis bagaimana perilaku berbagi-pengetahuan dapat dihargai lebih efektif (Bartol & Srivastava 2002). SET memungkinkan untuk memahami hubungan usaha-imbalan dan rasa keadilan di tempat kerja.

(19)

42 Tabel 2.1

Konseptualisasi Peubah Penelitian dan Pijakan Teori Utama

Aras Peubah

Gayut Pemerekan Diri

Bebas Kebergairahan

Pembelajar

Interaksional

Gayut Pengayaan

Kognitif Bersama

Bebas Kerekatan Sosial

Emosional

Keorganisasian

Gayut Organisasi-Cerdas

Pemoderasi Iklim Pembelajar

Sumber: Dikembangkan untuk Disertasi ini, 2017

Tabel 2.1 di atas memberikan gambaran bagaimana studi ini mengkonseptualisasikan peubah-peubah terpilih pada aras individu, aras interaksional, dan aras keroganisasian yang akan diteliti dalam penelitian ini. Penjelasan studi ini dalam mengkonseptualisasikan peubah terpilih dengan menggunakan teori utama akan diuraikan secara terperinci di bawah ini:

2.3.1 Luaran Perilaku Berbagi-Pengetahuan

(20)

43

berbagi-pengetahuan terdapat aktivitas mendonasikan pengetahuan dan menerima pengetahuan. Interaksi yang terjadi pada kedua aktivitas tersebut akan menghasilkan sinergi pengetahuan. Sinergi antara persediaan pengetahuan yang dimiliki oleh individu dan perilaku berbagi-pengetahuan akan menghasilkan suatu pemahaman baru.

Tindakan dan interaksi individu juga diperlukan untuk menciptakan pengetahuan keorganisasian. Di sinilah pentingnya berbagi-pengetahuan yang dilakukan oleh individu dalam organisasi. Berbagi informasi, praktek yang efektif, wawasan, pengalaman, preferensi, dan hal-hal yang termuat dalam berbagi-pengetahuan memungkinkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Andrawina

et al. 2008). Berbagi-pengetahuan juga dapat meningkatkan kinerja perusahaan yang diukur dalam bentuk kapasitas daya serap dan kemampuan inovasi (Liao, Fei & Chen 2007).

Tidak hanya pemahaman baru dan kinerja perusahaan, luaran dari perilaku berbagi-pengetahuan tacit dapat membuat pekerjaan berjalan lancar, meningkatkan kualitas kerja dan seringkali mencirikan penguasaan atas kompetensi pengetahuan atau profesi individu (Haldin-Herrgard 2000). Selain itu, berbagi-pengetahuan tacit akan dapat meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan, peningkatan kualitas layanan pelanggan dan produksi, serta peningkatan ketepatan kinerja (Brockmann & Anthony 1998).

(21)

44

meningkatkan dan mempertahankan keunggulan kompetitif organisasi (Barney 1991, Grant 1996, Liu & Phillips 2011). Choi, Lee & Yoo (2010) juga menunjukkan bahwa berbagi-pengetahuan di antara anggota kelompok dapat mempertahankan produktivitas kelompok dan organisasi.

Pada berbagi-pengetahuan terjadi kegiatan pertukaran pengetahuan yang lebih baik. Berbagi-pengetahuan yang dilakukan oleh individu di dalam organisasi, secara efektif dapat mengurangi waktu yang dihabiskan untuk memecahkan masalah serta dapat meningkatkan kualitas kerja antar anggota organisasi (Dave & Koskela 2009). Selain itu, perilaku berbagi-pengetahuan dapat memengaruhi dan membentuk keterampilan, sikap, dan kegiatan anggota dalam mencapai tujuan organisasi (Collins & Clark 2003).

Luaran-luaran dari perilaku berbagi-pengetahuan telah banyak diuraikan pada studi-studi terdahulu. Namun, belum diuji secara empiris dan belum dijelaskan secara tegas luaran perilaku berbagi-pengetahuan pada aras individual, interaksional dan keorganisasian. Berangkat dari hal tersebut maka studi ini mengembangkan tiga aras konstruk luaran yang diduga dapat dijelaskan oleh perilaku berbagi-pengetahuan pada aras individual, interaksional, dan keorganisasian. Ketiga konstruk luaran yang dikonseptualisasikan tersebut adalah sebagai berikut:

1 Peubah Gayut pada Aras Individual – Pemerekan Diri

(22)

45

tersebut secara sekaligus sedang menambah pengetahuan baru yang terkadang belum terpikirkan olehnya. Jika pengetahuan yang sudah dimiliki tetap disimpan, maka pengetahuan tersebut mungkin akan dapat bertambah, namun tidak akan berkembang. Berbagi-pengetahuan memungkinkan individu untuk memfasihkan pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya yang bila tidak dibagikan kepada orang lain kemungkinan pengetahuan tersebut akan dilupakan.

Konsep mengenai peubah luaran perilaku berbagi-pengetahuan dibangun melalui kajian empiris yang kemudian “dikawinkan” dengan teori-teori yang relevan. Pembenaran (justifikasi) empiris yang digunakan dalam studi ini bahwa pengetahuan selalu terkait dengan setiap manusia sebab setiap manusia yang hidup akan selalu menemui problematika. Problematika tersebut harus dipecahkan dengan pengetahuan yang dimiliki atau dengan apa yang telah diketahui. Sesuai dengan dasar dan sifat manusia yang selalu ingin tahu, maka manusia selalu bergumul dengan pencarian pengetahuan. Adalah menjadi kewajiban pula untuk mengamalkan pengetahuan yang telah dimiliki dan dipelajari sehingga pengetahuan yang telah dimiliki dan dipelajari tersebut dapat memberikan manfaat.

(23)

46

berusaha ”melupakan” dirinya, dengan semata-mata ingin memberi manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain, atau dengan kata lain melakukan kebaikan dengan ikhlas. Teori Moral Ethics dari Aristoteles juga menjelaskan bahwa tujuan kehidupan adalah kebahagiaan di mana kebahagiaan identik dengan kebaikan.

(24)

47 Gambar 2.4

State of The Art Peubah Pemerekan Diri

Sumber: Dikembangkan untuk Penelitian ini, 2017

2 Peubah Gayut pada Aras Interaksional – Pengayaan Kognitif Bersama Berbagi-pengetahuan merupakan interaksi sosial yang melibatkan pertukaran pengetahuan, pengalaman dan keahlian karyawan dalam organisasi agar dapat bekerja lebih baik, cepat dan efisien. Berbagi-pengetahuan juga dapat dipahami sebagai perilaku di mana seseorang secara sukarela menyediakan akses terhadap orang lain mengenai pengetahuan dan pengalamannya (Bock & Kim, 2002). Nonaka (2004) dan Yang & Farn (2006) juga menyatakan bahwa berbagi-pengetahuan tacit terjadi karena adanya dorongan interaksi sosial. Dalam penelitian ini, perspektif hubungan sosial digunakan untuk mengkaji perilaku akuisisi dan berbagi-pengetahuan

(25)

48

Dalam berinteraksi sosial, terdapat nilai, norma, dan keyakinan yang perlu diperhatikan. Nilai merupakan unsur yang mendasari jalannya organisasi guna menuntun individu untuk melakukan tindakan dan bersosialisasi. Kepercayaan atau keyakinan juga dapat memengaruhi tindakan individu. Adanya keyakinan yang kuat dari individu bahwa berbagi-pengetahuan dapat meningkatkan inovasi tentunya akan membantu individu untuk mewujudkannya. Begitu pula dengan norma yang mengarahkan individu dalam organisasi untuk bertindak menjalankan tugasnya. Pada saat berbagi-pengetahuan menjadi sebuah norma yang diberlakukan dalam organisasi tentunya akan memengaruhi tindakan individu dalam memaknai berbagi-pengetahuan itu sendiri.

(26)

49

telah diuraikan, maka studi ini mengkonseptualisasikan sebuah peubah pada aras interaksional yang dijelaskan oleh perilaku berbagi-pengetahuan, yaitu peubah pengayaan kognitif bersama.

Gambar 2.5

State of The Art Peubah Pengayaan Kognitif Bersama

Sumber: Dikembangkan untuk Studi ini, 2017

3 Peubah Gayut pada Aras Keorganisasian – Organisasi-Cerdas

Secara konseptual, berdasarkan pada asumsi bahwa suatu organisasi berfungsi sebagai penyimpanan dan penciptaan pengetahuan adalah isu kunci untuk meningkatkan dan memperkaya pengetahuan, menegaskan bahwa sifat penciptaan pengetahuan keorganisasian terletak pada kemampuan organisasi untuk mengintegrasikan pengetahuan yang menetap pada berbagai aras organisasi. Oleh karenanya, teori keorganisasian menyatakan bahwa penciptaan pengetahuan perlu mempertimbangkan tingkat individu,

Lorange, P (1996) Cho, N., G.Z Li & C.J Su (2007)

Kontribusi pengetahuan individu ke dalam pengetahuan

organisasi

Kontribusi individu terhadap kumpulan pengetahuan kolektif

perusahaan.

(27)

50

kelompok, dan keorganisasian (Nonaka, 1994; Nonaka & Takeuchi, 1995; Nonaka, Toyama & Konno, 2000; Takeuchi & Nonaka, 2004).

Perguruan Tinggi (PT) sebagai penghimpun pengetahuan memiliki peran mendukung konsep ekonomi berbasis pengetahuan. Oosterlinck et al. (2000) menyatakan bahwa elemen-elemen pengelolaan pengetahuan yang mencakup penciptaan pengetahuan (knowledge creation), pengalihan pengetahuan (knowledge transfer), dan penyebaran pengetahuan (knowledge dissemination) harus dapat dilakukan oleh PT. Lebih lanjut Oosterlinck menyatakan bahwa ketiga elemen tersebut memiliki peran dalam penciptaan daya saing PT. Senada dengan pendapat Oosterlinck, Beijerse (2000) menyatakan bahwa manajemen pengetahuan dianggap sebagai tindakan untuk meningkatkan cara-cara di mana perusahaan-perusahaan menghadapi lingkungan dengan ketidakstabilan tinggi dapat memobilisasi basis pengetahuan (atau mendaya-ungkit aset pengetahuan) dalam rangka memastikan inovasi yang kontinu.

(28)

51

medium bagi proses difusi dan transmisi pengetahuan yang dapat mengubah cara berpikir, cara bertindak dan kultur bekerja.

(29)

52

Gambar 2.6

State of The Art Peubah Organisasi Cerdas

Sumber: Dikembangkan untuk Studi ini, 2017 2.3.2 Perilaku Berbagi-Pengetahuan (Knowlege Sharing Behavior)

Menurut Skinner (1958) perilaku merupakan tanggapan atau reaksi seseorang terhadap rangsangan dari luar (stimulus). Perilaku dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1 Perilaku tertutup (covert behaviour). Perilaku tertutup terjadi bila tanggapan terhadap rangsangan tersebut masih belum bisa diamati orang lain (dari luar)

(30)

53

secara jelas. Tanggapan seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, dan sikap terhadap rangsangan yang bersangkutan. Bentuk perilaku tidak teramati atau perilaku samarapabila rangsangan tersebut terjadi dalam diri sendiri, dan sulit diamati dari luar (orang lain) yang disebut dengan pengetahuan dan sikap.

2 Perilaku terbuka (Overt behaviour). Apabila rangsangan tersebut dalam bentuk tindakan yang dapat diamati dari luar (orang lain) yang disebut praktek yang diamati orang lain dari luar atau perilaku teramati.

Menurut Notoatmojo (1997) perilaku adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Pendapat di atas disimpulkan bahwa perilaku (aktivitas) yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi akibat dari adanya rangsangan yang mengenai individu tersebut.

Menurut Notoatmojo (1997) perilaku dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1. Perilaku pasif adalah rangsangan internal, yaitu yang terjadi dalam diri manusia dan yang tidak secara langsung dapat terlihat orang lain (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap)

2. Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati secara langsung (melakukan tindakan)

(31)

54

secara bergantian. Demikian pula dalam studi yang dilakukan oleh Jabbary & Madhoshi (2014) berbagi-pengetahuan dan alih-pengetahuan dianggap sebagai konsep yang sama. Gharibeh (2011) menyatakan bahwa di dalam alih-pengetahuan diperlukan kesediaan kelompok atau individu untuk bekerja dengan orang lain dan berbagi-pengetahuan agar diperoleh manfaat bersama.

Berbagi-pengetahuan berbeda dari pengalihan-pengetahuan dan pertukaran-pengetahuan. Berbagi-pengetahuan melibatkan kedua belah pihak yang melakukan berbagi-pengetahuan, yaitu sumber pengetahuan serta akuisisi dan penerapan pengetahuan oleh penerima pengetahuan. Alih-pengetahuan biasanya digunakan untuk menggambarkan pergerakan pengetahuan antara unit yang berbeda, divisi, atau organisasi ketimbang individu (Szulanski, Cappetta, & Jensen 2004). Pertukaran-pengetahuan menurut Cabrera, Collins, & Salgado (2006) mencakup berbagi-pengetahuan (individu memberikan pengetahuan kepada orang lain) dan pencarian pengetahuan (individu mencari pengetahuan dari orang lain). Mengacu pada uraian tersebut, maka konsep yang digunakan pada penelitian ini adalah perilaku berbagi-pengetahuan.

(32)

55

knowledge) dan mendapatkan (getting) atau mengumpulkan pengetahuan (collecting knowledge). Menyumbangkan pengetahuan yaitu perilaku mengomunikasikan modal intelektual (intellectual capital) yang dimiliki seseorang kepada yang lainnya dan mengumpulkan pengetahuan yaitu perilaku individu untuk berkonsultasi dengan individu lainnya mengenai modal intelektual yang dimiliki. Kedua perilaku ini memiliki sifat yang berbeda dan dapat memberi pengaruh yang berbeda.

(33)

56

Menurut Yang (2007), berbagi-pengetahuan terdiri dari jaringan tertutup dan jaringan terbuka. Jaringan tertutup merupakan aktivitas berbagi dari orang ke orang dan jaringan terbuka adalah berbagi melalui pusat penyimpanan terbuka. Dalam model berbagi tertutup, individu memiliki kebebasan untuk menentukan modus berbagi dan memilih pasangan untuk berbagi. Jenis interaksi memungkinkan sentuhan yang lebih pribadi dan lebih diarahkan terhadap yang diharapkan. Banyak faktor yang akan menjelaskan keberhasilan kegiatan berbagi dalam model ini, termasuk hubungan pribadi dan kepercayaan.

Di sisi lain, berbagi dalam jaringan terbuka mengacu pada berbagi-pengetahuan di antara anggota kelompok melalui sistem manajemen berbagi-pengetahuan (knowledge management system), biasanya berupa sistem pangkalan data terpusat. Hal ini melibatkan beberapa individu untuk berbagi kekayaan pengetahuan dalam beberapa sistem. Kekayaan pengetahuan yang sudah dibagikan akan menjadi kekayaan publik (Muller, Spiliopoulou, & Lenz 2005). Berbagi dalam jaringan terbuka diadopsi secara luas oleh organisasi.

(34)

57

mungkin tidak memainkan peran besar dalam memprediksi perilaku seperti yang diduga sebelumnya. Dalam meta-analisis melalui intervensi Webb & Sheeran yang berusaha untuk mengubah niatan dan perubahan perilaku yang terukur menemukan bahwa pengaruh perubahan niatan dari medium hingga besar (d = 0,66) dapat memprediksi perubahan perilaku yang kecil hingga medium (d = 0,36).

Hasil tersebut menunjukkan bahwa perubahan pada perilaku tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh perubahan niatan, artinya diperlukan faktor tambahan yang harus diperhitungkan. Secara khusus, Webb dan Sheeran menyarankan bahwa penelitian mengenai perubahan perilaku masa depan harus menyelidiki proses yang tidak beralasan (nonreasoned), yang dituangkan dalam

Prototype Willingness Model (PWM). Bagaimana pun juga tidak semua perilaku didasarkan pada rencana atau tujuan. Pengembangan PWM berguna untuk membantu memahami dan memprediksi terjadinya perilaku yang dapat dianggap tidak beralasan dan tidak rasional (Gerrard et al. 2002, Gibbons, Gerrard, & Lane 2003).

(35)

58

alternatif dari BI. Litchfield & White (2006) dalam studinya telah membandingkan efektifitas sikap dan norma subjektif dalam menjelaskan niatan keperilakuan (behavioral intention) dan kesediaan keperilakuan (behavioral willingness). Hasilnya menunjukkan bahwa baik sikap maupun norma subjektif terbukti memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap niatan keperilakuan dan kesediaan keperilakuan (behavioral willingness). Namun, sikap maupun norma subjektif dapat memberikan penjelasan yang lebih besar terhadap kesediaan keperilakuan ketimbang terhadap niatan keperilakuan. Demikian pula dengan studi yang dilakukan oleh Pomery et al. (2009) juga menunjukkan bahwa BW dapat menjadi peubah bebas kognisi yang dapat memprediksi terjadinya perilaku tertentu.

Berbagi-pengetahuan terjadi ketika pemilik informasi bersedia mengontribusikan pengetahuannya kepada pencari pengetahuan ketika diminta (Constant, Kiesler & Sproull 1994, Jarvenpaa & Staples 2001, Ford & Staples 2008, Li 2009). Yang (2001) juga menyatakan bahwa berbagi-pengetahuan terjadi ketika seorang individu bersedia untuk membantu serta belajar dari orang lain dalam pengembangan kompetensi baru. Temuan ini memperkuat pembenaran bahwa berbagi-pengetahuan dapat menjadi faktor bebas yang lebih tepat dari perilaku berbagi-pengetahuan.

(36)

59

(37)

60

Bagian yang benar-benar sulit adalah meyakinkan individu untuk berbagi apa yang mereka ketahui dan bukan menimbun pengetahuan untuk melindungi posisi individu dalam organisasi (McWilliams & Stepanek 1998). Individu perlu dimotivasi agar rela berbagi-pengetahuan, sehingga memberikan kontribusi bagi keberhasilan tim dan organisasi. Dalam situasi ini, individu percaya melalui berbagi-pengetahuan, individu dapat membantu organisasi secara keseluruhan memenuhi tujuan bisnis dan bukan untuk kepentingan indvidu itu sendiri (Gurteen 1999).

Beberapa kondisi yang membuat individu mau belajar dan berbagi-pengetahuan mereka adalah ketika (Skyrme 2000): (a) individu memahami dan mendukung tujuan kerja atau strategi, (b) individu memahami bagaimana pekerjaan yang dilakukan memberikan nilai tambah bagi tujuan organisasi, (c) individu tahu dan peduli satu sama lain dan merasa terhubung secara pribadi kepada para pemimpin mereka, dan (d) individu merasa dihormati dan dipercaya. Dengan demikian, keberhasilan berbagi-pengetahuan jelas terletak pada kesediaan individu untuk berbagi (Frick 1998).

2.3.4 Faktor yang Menjelaskan Kesediaan Berbagi-Pengetahuan

(38)

61

manusia atau individu, faktor keorganisasian, dan faktor teknologi. Chen & Hew (2015) juga mengelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu faktor individu, faktor sosial, dan faktor organisasi.

Tabel 2.2

Pengelompokkan Faktor-Faktor yang Menjelaskan Kesediaan Berbagi-Pengetahuan

Peneliti Faktor Penjelas

Individu Kerganisasian Teknologi Sosial

Riege (2005) √ √ √

Mooradian, Renzl & Matzler (2006) √ √ √

Jana & Das (2007) √ √ √

Jain, Sandhu & Sidhu (2007) √ √ √

Casali (2009) √ √ √

Vargas-Hernandez (2010) √ √ √

Aris (2013) √ √ √

Kukko (2013) √ √ √

Chen & Hew (2015) √ √ √

Sumber: Disarikan dari Berbagai Jurnal untuk Penelitian ini, 2017

(39)

62

teknologi pada perilaku berbagi-pengetahuan tidak akan dieksplorasi dalam penelitian ini.

1. Faktor Individu

(40)

63 Tabel 2.3

Rangkuman Penelusuran Dari Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Faktor Individu Yang Menjelaskan Peubah Berbagi-Pengetahuan

Peubah Peneliti

Keterampilan dan kemampuan Cho, Li & Shu (2007) Kepercayaan pribadi Cho, Li & Su (2007)

Kecakapan diri Cho, Li, & Su (2007), Iqbal et al. (2011), Omar et al. (2013), Mallasi & Ainin (2015)

Kesadaran Ismail & Yusof (2010)

Kepribadian De Vries et al. (2006), Mooradian et al. (2006), Cabrera et al. (2006) Teh, Yong & Chong (2007), Cho, Li & Su (2007), Wang & Yang (2007), Matzler et al. (2008), Ferguson et al. (2010), Ismail & Yusof (2010), Wang, Noe & Wang (2011), Matzler & Müller (2011),

Sikap Cheng, Ho & Lau (2009), Iqbal et al. (2011) Reputasi Cho, Li & Su (2007), Cheng, Ho & Lau (2009),

Mallasi & Ainin (2015) Kerendahan hati Mallasi & Ainin (2015) Keberagamaan Mallasi & Ainin (2015) Kebahagiaan membantu orang

lain

Mallasi & Ainin (2015)

Kecakapan diri Cho, Li, & Su (2007), Iqbal et al. (2011), Omar et al. (2013), Mallasi & Ainin (2015)

Sumber: Disarikan dari Berbagai Jurnal untuk Penelitian ini, 2017

(41)

64 2. Faktor Interaksional

Berbagi-pengetahuan pada dasarnya adalah sebuah proses interaksi sosial di mana pengetahuan dipertukarkan. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektifitas berbagi-pengetahuan (Yiu & Law 2012). Studi ini telah memetakan beberapa peubah interaksional yang telah diteliti kemampuannya dalam menjelaskan perilaku berbagi-pengetahuan seperti yang disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.4

Rangkuman Penelusuran Dari Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Faktor Interaksional Yang Menjelaskan Peubah Berbagi-Pengetahuan

Peubah Peneliti

Ketimbal balikan Wasko & Faraj (2005), Hew & Hara (2007), Cho, Li & Su (2007), Lin, Hung & Chen (2009), Chen & Hung (2010)

Kepercayaan Chiu et al. (2006), Lin, Hung, & Chen (2009), Chen & Hung (2010), Wang & Wei (2011), Shu & Chuang (2011), Liu & Li (2012), Omar et al. (2013), Mallasi & Ainin (2015)

Interaksi sosial dan kolaborasi tim

Iqbal et al. (2011)

Rasa kecocokan Lin et al. (2009), Chen & Hung (2010), Hung & Cheng (2013)

Sumber: Disarikan dari Berbagai Jurnal untuk Penelitian ini, 2017

(42)

65 3. Faktor Keorganisasian

Menghilangkan perilaku menimbun pengetahuan merupakan hal yang tidak mudah. Individu perlu memiliki inspirasi untuk berbagi-pengetahuan, dan organisasi harus menciptakan budaya dan iklim keorganisasian yang sehat berdasarkan kolaborasi, kerjasama, keadilan, keterbukaan dan kepemimpinan yang mendukung (Yiu & Law 2012). Berikut ini peubah-peubah pada aras keorganisasian yang dapat menjelaskan perilaku berbagi-pengetahuan yang telah dipetakan dalam studi ini.

Tabel 2.5

Rangkuman Penelusuran Dari Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Faktor Keorganisasian Yang Menjelaskan Peubah Berbagi-Pengetahuan

Peubah Peneliti

Budaya keorganisasian Cheng, Ho & Lau (2009) Sistem manajemen Cheng, Ho & Lau (2009)

Sistem penghargaan Cho, Li & Su (2007), Cheng, Ho & Lau (2009), Iqbal et al. (2011)

Sumber: Disarikan dari Berbagai Jurnal untuk Penelitian ini, 2017

(43)

66

1. Peubah Bebas pada Aras Individual – Kebergairahan-Pembelajar (Passionate Learner)

Penelitian-penelitian terdahulu telah mengidentifikasi dan menguji berbagai peubah-peubah yang diduga dapat menjelaskan kesediaan berbagi-pengetahuan dengan hasil yang belum konklusif. Profesi dosen sebagai tenaga pendidik profesional dan sebagai ilmuwan yang tugas utamanya adalah untuk berbagi-pengetahuan tidak saja memerlukan modal intelektual, spiritual, emosional, dan kinestetis. Lebih dari itu, profesi dosen memerlukan keterlibatan kerja, keterikatan kerja, keterlarutan kerja dan totalitas kerja yang dimotori oleh semangat, dedikasi, penyerapan, dan kebergairahan yang tinggi (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma dan Bakker 2002). Semangat mengacu pada ketahanan mental dan tingkat energi yang tinggi pada tanggung jawab pekerjaan dengan senantiasa berupaya dan tekun. Dedikasi mengacu pada inspirasi, antusiasme, dan kebanggaan pada profesi/pekerjaan. Penyerapan mengacu pada fokus atau konsentrasi pada tanggung jawab pekerjaan (Salanova dan Schaufeli 2008). Kebergairahan oleh Baum & Locke (2004) mengacu pada sebuah perasaan cinta, emosi, keterikatan, dan kerinduan yang tulus terhadap pekerjaan. Kesemua karakteristik tersebut dikonseptualisasikan dalam peubah kegairahan-pembelajar.

(44)

67

yang efektif dan meningkatkan potensi belajar individu maupun mahasiswa. Kebergairahan-pembelajar juga dapat mengarah pada kreativitas. Oleh karena itu, dosen dengan kebergairahan-pembelajar akan memiliki kemampuan untuk berpikir dan menghasilkan gagasan baru dengan cara yang mudah.

Vallerand et al. (2003) menyatakan bahwa kebergairahan dipumpunkan pada kegiatan di mana individu menginvestasikan waktu dan energi untuk menemukan suatu hal yang penting. Peneliti lain berpendapat bahwa kebergairahan (passionate) diaktifkan oleh tujuan emosional penting yang mengontrol dan memandu keinginan, pikiran, rencana, dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu, terlepas dari biaya dan hambatan eksternal (Frijda 2005).

(45)

68

Gambar 2.7

State of The Art Peubah Kebergairahan Pembelajar

Sumber: Dikembangkan untuk Disertasi ini, 2017

2. Peubah Bebas pada Aras Interaksional - Kerekatan Sosial-Emosional Interaksi sosial dan pengetahuan adalah dua kebutuhan penting di lembaga pendidikan tinggi, sehingga perilaku berbagi-pengetahuan melibatkan proses interaksi sosial dan pertukaran pengetahuan. Studi ini mengembangkan peubah kerekatan sosial-emosional sebagai peubah yang diasumsikan dapat menjelaskan kesediaan perilaku berbagi-pengetahuan pada aras bersifat interaksi. Terdapat dua dasar teori yang digunakan dalam membentuk peubah kerekatan sosial-emosional, yaitu teori kecerdasan emosional dan teori kerekatan.

(46)

69

Kecerdasan emosional merupakan satu perangkat kemampuan yang terkait dengan pengelolaan emosi dan informasi emosional (Cote et al. 2010). Kecerdasan emosional digambarkan sebagai kombinasi kebutuhan, motif dan nilai-nilai nyata untuk mengelola sikap individu yang terkait dengan hubungan manusia dan menentukan keberhasilan di tempat kerja (Gulluce & Iscan 2010). Kecerdasan emosional juga dapat membantu dalam mengelola hubungan, pemahaman emosi, pemotivasian dan memimpin orang lain (Chopra & Kanji 2010).

Luu (2014) menyatakan bahwa kecerdasan emosional dapat mengaktifkan perilaku dan tindakan sebagai dasar kognisi dan perilaku. Tingkat kecerdasan emosional yang tinggi dapat membantu tidak hanya untuk mengelola emosi diri sendiri tetapi juga untuk mengelola emosi orang lain. Van der Hoof et al. (2012) menyatakan bahwa ketika muncul egoisme atau kesombongan atau ketika memiliki efisiensi diri yang rendah untuk belajar dari orang lain, maka reaksi berbagi-pengetahuan pun menjadi rendah.

Secara sosial, manusia dengan segala keunikan dan keanekaragamannya dituntut untuk hidup dalam kebersamaan. Manusia tidak akan mampu hidup sendiri tanpa kebersamaan karena pada dasarnya ia memiliki ketergantungan kepada orang lain. Adanya rasa ketergantungan inilah yang kemudian menjadikan manusia mendapatkan julukan sebagai makhluk sosial.

(47)

70

individu memiliki kecerdasan emosional yang baik. Kapasitas individu dalam mengenali emosi, mengelola emosi, dan memotivasi menjadikan individu mengerti sinyal-sinyal sosial dari orang lain, dan memahami tindakan apa yang seharusnya dilakukan

Abzari et al. (2014) telah mengidentifikasi bahwa kompetensi sosial dan emosional memiliki dampak pada perilaku berbagi-pengetahuan karyawan. Kompetensi kecerdasan emosional telah terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku berbagi-pengetahuan. Kecerdasan emosional memediasi lapisan kognitif dan perilaku individu dan individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan berpikir dan bertindak lebih sosial, terutama dalam kasus berbagi-pengetahuan (Kessel, Kratzer & Schultz 2012). Studi Arakelian, Maymand & Hosseini (2013) menemukan bahwa tiga dimensi kecerdasan emosional, yaitu kesadaran diri, kesadaran sosial dan manajemen keterhubungan terbukti memiliki kaitan yang positif dengan berbagi-pengetahuan.

(48)

71

antusiasme terhadap apa yang ia kerjakan dan mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompoknya. Kerekatan-sosial-emosional memungkinkan individu sukarela menerima tanggung jawab atas aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kewajibannya. Semua hal tersebut menjadi indikasi adanya kesatuan, keeratan, dan saling menarik dari anggota kelompok.

(49)

72 Gambar 2.8

State of The Art Peubah Kerekatan Sosial-Emosional

Sumber: Dikembangkan untuk Penelitian ini, 2017

3. Peubah Bebas pada Aras Keorganisasian – Iklim Pembelajar

Pembelajaran keorganisasian merupakan wadah untuk membangun masyarakat yang dewasa, yaitu kelompok manusia yang memiliki potensi yang beranekaragam dan mampu melakukan kerjasama-cerdas, sehingga mampu melaksanakan proses berbagi visi, berbagi model mental, dan berbagi-pengetahuan, untuk disinergikan dan ditransformasikan menjadi modal maya keorganisasian. Tanpa mekanisme pembelajaran keorganisasian, maka organisasi tidak akan mampu menjaga keruntutan pertumbuhan dan perkembangannya.

Kerekatan-sosial-emosional Van der Hoof et al. (2012) Egoisme atau kesombongan atau ketika memiliki efisiensi diri yang rendah untuk belajar dari orang lain, maka reaksi

berbagi-pengetahuan pun kelompok untuk sama rasa dan

(50)

73

Litwin & Stringer (1971), mendefinisikan iklim pembelajar sebagai karakteristik yang relatif stabil dalam lingkungan internal keorganisasian, yang dialami oleh anggotanya, memengaruhi perilaku anggota, dan dapat digambarkan dalam hal nilai-nilai kelompok tertentu dalam organisasi. Selanjutnya, iklim pembelajar memiliki karakteristik yang menjaga hubungan dengan lingkungan kerja dan memiliki daya tahan tertentu terlepas dari perubahan karena situasi kritis.

(51)

74

pembelajar. Iklim pembelajar yang dibangun oleh organisasi tersebut dapat memperkuat kesediaan individu untuk berbagi-pengetahuan.

Gambar 2.9

State of The Art Peubah Iklim Pembelajar

Sumber: Dikembangkan untuk Penelitian ini, 2017

2.4 Pengembangan Proposisi Penelitian

2.4.1 Keterkaitan Kebergairahan-Pembelajar terhadap Kesediaan dan Perilaku Berbagi-Pengetahuan

Belakangan, studi mengenai kebergairahan merupakan elemen penting dalam keterlibatan dan ketekunan karyawan yang efektif dan ketekunan merupkan tema yang paling sering diangkat (Ho, Wong, & Lee 2011, Perrewe, Hochwarter, Ferris, McAllister, & Harris 2014). Kebergairahan tidak dapat dibuat. Kebergairahan (passion) sudah ada dalam diri setiap individu (O’Doherty 2007, Tucker 2014). Pandangan bahwa kebergairahan tidak hanya masalah filosofis atau psikologis namun juga terkait dengan masalah bisnis mendorong peningkatan

(52)

75

minat pada studi mengenai kebergairahan (Tucker 2014). Lebih lanjut Tucker mencatat, banyak perusahaan yang tidak memiliki karyawan dengan kebergairahan (passion) kerja. Hanya terdapat 29% dari pekerja di US yang memiliki keterlibatan pada pekerjaan sedangkan sisanya adalah karyawan yang tidak memiliki keterlibatan pada pekerjaan sebagai dampak dari tidak adanya kebergairahan kerja.

P1: Kebergairahan-pembelajar memengaruhi secara positif kesediaan berbagi-pengetahuan

P2: Kebergairahan-pembelajar memengaruhi secara positif perilaku berbagi-pengetahuan

2.4.2 Keterkaitan Kerekatan-Sosial-Emosional terhadap Kesediaan dan Perilaku Berbagi-Pengetahuan

(53)

76

dan kolaborasi tim (Iqbal et al. 2011), dan rasa kecocokan (Lin et al. 2009, Chen & Hung 2010, Hung & Cheng 2013) yang telah diteliti dengan pendekatan kuantitatif dan dengan hasil yang masih belum konklusif.

Keterhubungan antar individu berkaitan dengan teori keeratan. Kerekatan dapat mengarah pada kekuatan interaksi dari anggota suatu kelompok. Adanya kerekatan dapat ditunjukkan dari keramahan antar anggota kelompok di mana antar anggota kelompok tersebut akan senang untuk bersama-sama. Kerekatan-sosial-emosional yang dimiliki anggota kelompok memungkinkan terjadinya penyampaian pendapat dan saran secara bebas. Kerekatan-sosial-emosional dapat membuat anggota kelompok memiliki antusiasme terhadap apa yang ia kerjakan dan mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompoknya. Kerekatan-sosial-emosional memungkinkan individu sukarela menerima tanggung jawab atas aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kewajibannya. Semua hal tersebut menjadi indikasi adanya kesatuan, keeratan, dan saling menarik dari anggota kelompok.

Keberadaan kerekatan-sosial-emosional memungkinkan antarmanusia disatukan dalam suatu penyatuan. Studi Shin & Park (2011) menyatakan bahwa suatu kelompok atau hubungan interpersonal diperlukan adanya kerekatan. Kerekatan-sosial-emosional antar sesama anggota kelompok menurut Ramdhani & Martono (1996) dapat mendorong anggota kelompok untuk sama rasa dan sama-sama meningkatkan kemajuan kelompoknya.

(54)

77

proses interaksi sosial dan pertukaran pengetahuan. Kerekatan-sosial-emosional yang diteliti dalam penelitian ini menggunakan pendekatan teori tentang kecerdasan emosional. Menurut Benson, Ploeg & Brown (2010), kecerdasan emosional meliputi proses pengelolaan perubahan sosial dan lingkungan pribadi untuk mengatasi situasi, memecahkan masalah dan membuat keputusan segera, realistis dan lentur. Kecerdasan emosional merupakan satu perangkat kemampuan yang terkait dengan pengelolaan emosi dan informasi emosional (Cote et al. 2010).

Gulluce & Iscan (2010) menggambarkan kecerdasan emosional sebagai kombinasi kebutuhan, motif dan nilai-nilai nyata untuk mengelola sikap individu yang terkait dengan manusia hubungan dan menentukan keberhasilan di tempat kerja. Chopra & Kanji (2010) berpendapat bahwa kecerdasan emosional dapat membantu dalam mengelola hubungan, pemahaman emosi, pemotivasian dan memimpin orang lain.

Kecerdasan emosional dapat mengaktifkan perilaku dan tindakan sebagai dasar kognisi dan perilaku (Luu 2014). Tingkat kecerdasan emosional yang tinggi dapat membantu tidak hanya untuk mengelola emosi diri sendiri tetapi juga untuk mengelola emosi orang lain. Ketika muncul egoisme atau kesombongan atau ketika memiliki efisiensi diri yang rendah untuk belajar dari orang lain maka reaksi berbagi-pengetahuan pun menjadi rendah (Van der Hoof, Schouten & Simonovski 2012) menyatakan bahwa.

(55)

78

P3: Kerekatan-sosial-emosional memengaruhi secara positif kesediaan berbagi-pengetahuan

P4: Kerekatan-sosial-emosional memengaruhi secara positif perilaku berbagi-pengetahuan

2.4.3 Keterkaitan Kesediaan Berbagi-Pengetahuan terhadap Perilaku Berbagi-Pengetahuan

Keberhasilan perusahaan ditentukan oleh kemampuan perusahaan untuk mengelola aset pengetahuan (Morling & Yakhlef 1999) di mana perilaku individu menjadi kunci keberhasilan strategi manajemen pengetahuan (Bollinger & Smith 2001). Di sinilah pentingnya perilaku para karyawan dalam melakukan berbagi-pengetahuan.

Kesediaan diasumsikan sebagai faktor bersifat motivasi yang memengaruhi suatu perilaku sebagai indikasi dari bagaimana kerasnya individu tersebut berusaha dan seberapa besar upaya yang akan digunakan untuk melakukan perilaku tertentu. Semakin kuat kesediaan untuk bersinggungan dengan suatu perilaku maka, akan semakin mungkin perilaku tersebut dilakukan.

(56)

79

perilaku berbagi-pengetahuan yang lebih tinggi pula. Akan tetapi, model penelitian konseptual dan hipotesis yang diajukan belum diuji secara empiris.

Ayalew, Bekele, & Straub (2013) mengajukan sebuah model penelitian di mana minat berbagi-pengetahuan sebagai peubah yang menjelaskan perilaku pengetahuan. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa minat berbagi-pengetahuan secara statistik terbukti berpengaruh positif signifikan dalam menjelaskan terjadinya perilaku berbagi-pengetahuan. Demikian pula dengan studi yang dilakukan oleh Othman & Skaik (2014) dan Kumari & Takahashi (2014) dan Shanshan (2014) juga menunjukkan bahwa minat berbagi-pengetahuan terbukti mempengaruhi perilaku berbagi-pengetahuan.

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan proposisi yang dikembangkan adalah sebagai berikut:

P5: Kesediaan berbagi-pengetahuan memengaruhi secara positif perilaku berbagi-pengetahuan

2.4.4 Keterkaitan Kesediaan dan Perilaku Berbagi-Pengetahuan dengan Iklim Pembelajar sebagai Pemoderasi

(57)

80

peran faktor keorganisasian dalam keterkaitan kesediaan terhadap perilaku berbagi-pengetahuan adalah untuk memperkuat (atau memperlemah).

Aspek pertama adalah kepemimpinan tidak hanya mengetahui bagaimana memimpin orang lain, tetapi juga mengetahui bagaimana untuk melayani (Greenleaf 2002). Pemimpin dapat mempengaruhi kebergairahan bawahan untuk bekerja lebih keras, berjuang untuk keunggulan, dan untuk memastikan tujuan dan sasaran dapat runtut. Selain faktor kepemimpinan, kebergairahan juga memerlukan kelenturan (Liu, Chen & Yao 2012). Kelenturan berkaitan dengan bagaimana individu tidak diatur dengan “seperangkat aturan” yang ketat dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Memiliki kelenturan untuk menyelesaikan pekerjaan dapat membangkitkan kebergairahan dalam bekerja (Craemer 2014). Aspek selanjutnya adalah penghormatan (respect). Ketika pekerjaan seorang karyawan diterima dengan baik, atau bahkan dikoreksi secara konstruktif, hal ini akan membantu kebergairahan karyawan terhadap apa yang telah dilakukan. Sebagai manusia dengan perasaan, ketika seseorang selalu dikritik dan tidak dihargai atau dihormati, bahkan ketika karyawan menikmati pekerjaan mereka, maka kebergairahan untuk bekerja menjadi berkurang karena kurangnya rasa hormat.

(58)

81

keorganisasian. Tanpa mekanisme pembelajaran keorganisasian, maka organisasi tidak akan mampu menjaga keruntutan pertumbuhan dan perkembangannya.

Litwin & Stringer (1971), mendefinisikan iklim keorganisasian (organizational climate) sebagai karakteristik yang relatif stabil dalam lingkungan internal keorganisasian, yang dialami oleh anggotanya, memengaruhi perilaku anggota, dan dapat digambarkan sebagai nilai-nilai kelompok tertentu dalam organisasi. Selanjutnya, iklim keorganisasian memiliki karakteristik yang menjaga hubungan dengan lingkungan kerja dan memiliki daya tahan tertentu terlepas dari perubahan karena situasi kritis.

Berangkat dari uraian di atas, studi ini mengkonseptualisasikan sebuah peubah keorganisasian, yaitu iklim pembelajar. Iklim pembelajar yang diteliti dalam penelitian ini merupakan kegiatan-kegiatan yang difasilitasi oleh mekanisme formal keorganisasian, seperti program penelitian dan pengembangan serta kegiatan manajemen sumber daya manusia. Menurut Daghfous (2004), apabila organisasi mengharapkan peningkatan kemampuan individu untuk menyerap pengetahuan, maka organisasi harus menginvestasikan upaya pengembangan kemampuan yang salah satunya melalui pelatihan. Minbaeva et al.

(59)

82

pengetahuan. Uraian-uraian tersebut menegaskan bahwa program penelitian dan pengembangan serta kegiatan manajemen sumber daya manusia yang tercakup dalam mekanisme formal keorganisasian dapat menciptakan iklim pembelajar. Iklim pembelajar yang dibangun oleh organisasi tersebut dapat memperkuat kesediaan individu untuk berbagi-pengetahuan.

Adapun proposisi yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

P6: Iklim pembelajar memoderasi pengaruh kesediaan terhadap perilaku berbagi-pengetahuan

2.4.5 Keterkaitan Perilaku Berbagi-Pengetahuan terhadap Pemerekan Diri, Pengayaan Kognitif Bersama dan Organisasi-Cerdas

Melakukan berbagi-pengetahuan berarti individu tersebut secara sekaligus sedang menambah pengetahuan baru yang terkadang belum terpikirkan olehnya. Jika pengetahuan yang sudah dimiliki tetap disimpan, maka pengetahuan tersebut mungkin akan dapat bertambah namun tidak akan berkembang. Berbagi-pengetahuan secara tidak langsung telah memfasihkan Berbagi-pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya yang bila tidak dibagikan kepada orang lain kemungkinan pengetahuan tersebut akan dilupakan. Ketika individu dapat berbagi-pengetahuan kepada orang lain dengan tulus, maka akan timbul perasaan puas, senang dan rasa gembira.

(60)

83

baik/nyaman. Perilaku berbagi-pengetahuan merupakan wujud kebaikan karena adanya perasaan keterhubungan sosial yang tinggi sebagai sifat dasar manusia, sebagai mahluk sosial akan merangsang bagian otak tertentu yang disebut sistem

mesombolic yang memicu timbulnya perasaan penghargaan terhadap diri sendiri yang secara bersamaan pula dapat menimbulkan efek meningkatnya rasa percaya diri.

Berbanding lurus dengan kebaikan yang diberikan melalui perilaku berbagi-pengetahuan maka akan meningkatkan persahabatan. Kebaikan yang diwujudkan dalam perilaku berbagi-pengetahuan akan memberikan manfaat ketentraman batin bagi seseorang yang memberikan kebaikan tersebut. Kebaikan melalui perilaku berbagi-pengetahuan yang dilihat oleh orang lain akan dapat merangsang perasaan positif yang mendorong penerima kebaikan untuk menularkan kembali kebaikan tersebut kepada orang lain. Muatan kebaikan yang terkandung dalam perilaku berbagi-pengetahuan tersebut akan membangun pemerekan pribadi (personal branding) yang positif.

(61)

84

pengayaan pengetahuan yang saling menguntungkan (mutual cognitive enrichment).

Tidak berhenti pada tataran individu dan interaksional saja, perilaku berbagi-pengetahuan juga berdampak pada luaran di tataran keorganisasian yang pada studi ini dikonsepkan sebagai organisasi-cerdas. Konsep ini dikembangkan atas dasar bahwa untuk dapat bertahan, organisasi harus “pintar” (Absah 2008) dan untuk menjadi pintar, organisasi perlu terus memperbarui pengetahuannya melalui perilaku berbagi-pengetahuan individu yang kemudian diakuisisi menjadi pengetahuan keorganisasian. Organisasi-cerdas adalah organisasi yang menolak stabilitas namun berupaya terus menerus melakukan evaluasi diri serta terus memperbaiki penguasaan pengetahuan untuk mempertahankan konsistensi pertumbuhan dan perkembangan. Penguasaan pengetahuan pada organisasi-cerdas dilakukan melalui proses pembelajaran pada tingkat individu, kelompok dan keorganisasian yang ditransformasi menjadi pengetahuan keorganisasian melalui berbagi-pengetahuan

P7: Perilaku berbagi-pengetahuan memengaruhi secara positif terhadap pemerekan pribadi

P8: Perilaku berbagi-pengetahuan memengaruhi secara positif terhadap pengayaan kognitif bersama

(62)

85 2.5 Model Penelitian

Gambar 2.10 Model Penelitian

Sumber: Dibangun untuk Penelitian ini, 2017

(63)

86

Gambar 2.4 di atas merupakan penggambaran model penelitian yang dikembangkan dan akan diuji pada studi ini. Peubah gayut yang diteliti dalam studi ini dikelompokkan dalam tiga kategori. Pemerekan diri merupakan peubah gayut terpilih yang mewakili aras individu, aras interaksional diwakili oleh peubah pengayaan kognitif bersama dan peubah organisasi-cerdas merupakan peubah terpilih pada aras keorganisasian. Peubah pemerekan diri, pengayaan kognitif bersama, dan organisasi-cerdas merupakan peubah yang dikembangkan atas dasar asumsi bahwa teori perilaku terencana tidak lagi memadai karena hanya menjelaskan pada peubah perilaku. Oleh sebab itu, studi ini menggunakan Teori Penetapan Tujuan Berkelanjutan sebagai dasar untuk mengembangkan peubah pemerekan diri, pengayaan kognitif bersama, dan organisasi-cerdas.

(64)

87

Gambar

Gambar 2.1 Alur Uraian Bab Telaah Pustaka dan Pengembangan Model Penelitian
Gambar 2.2 Posisi Pengetahuan
Rerangka Pemikiran Teori Perilaku TerencanaGambar 2.3
Tabel 2.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada ordo squamata terdapat 1 famili dari viperidae yang ditemukan pada gunung Permisan pada ketinggian sekitar 100m di batang pohon mati, lalu pada famili scincidae

hasil analisa kandungan pengawet dari 10 merk kecap yang diteliti dengan menggunakan metode penelitian yang dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah

Untuk dapat menciptakan suasana kerja yang menyenangkan maka pekerjaan yang diberikan harus menarik, penuh tantangan dan tidak bersifat rutin.Pekerjaan yang

Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui tingkat keterlaksanaan Program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada tahapan 1) masukan (antecedents), 2) proses (transactions), 3)

• Pendampingan dengan wali kelas siswa yang mengikuti Peantren Kilat, pembacaan Asmaul Husna dan Sayyidul istighfar dilajutkan dengan games. • Persiapan pesantren kilat

Tanda Laseque kontralateral (contralateral Laseque sign) dilakukan dengan cara yang sama, namun bila tungkai yang tidak nyeri diangkat akan menimbulkan suatu respons yang positif

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kekuatan geser pelekatan resin komposit packable dengan intermediate layer resin komposit flowable menggunakan

Sebaliknya, Mambotaran dan Mantawe tidak menerima jika Mananapi mengambil sebagian daging dan ikan yang setiap hari mereka kirim kepada Mawini.. Mereka ingin membuat