11
BAB II
Identitas, Kepribadian dan Warna
2. Teori Identitas
2.1. Konsep Identitas
Secara epistimologi, kata identitas berasal dara kata idendity, yang berarti kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan
yang mirip satu sama lain. Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik;
kesatuan dan kesinambungan yang mengintegrasikan semua gambaran diri baik yang diterima dari orang lain maupun yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat dibuatnya dalam hubungan
dengan diri sendiri dan orang lain.1 Adapun pengertian identitas menurut Erik H. Erikson, menurutnya identitas sebagai “psikososial” dikatakan demikian karena manusia menghadapi satu proses yang berakar dan berlangsung di dalam lapisan inti jiwa perorangan, tetapi sekaligus menyangkut pula inti
pusat kebudayaan masyarakatnya.
Identitas bukanlah sekedar penjumlahan segala pengalaman atau identifikasi masa kanak-kanak, tetapi agaknya semacam proses sintesis
terhadap segala sesuatu yang merupakan kekhasan pribadi seseorang di dalam konteks masyarakatnya. Secara ilmiah, identitas merupakan satu proses, sebuah sintesis ego yang sebagian besar berlangsung secara tidak sadar dan
1
12
yang mengintegrasikan berbagai macam diri atau aspek diri si individu ke
dalam bentuk kesatuan baru dan ke dalam perspektif diri sentral yang baru seraya menentukan sendiri orientasi diri dengan kembali mensintesiskan sisa
identifikasi efektif serta konsep diri dari masa anak-anak. Secara kodrati proses identitas bersifat psikososial yang berarti pribadi membentuk identitasnya seturut cita-cita serta identitas bersama kelompoknya.2 Serta
identitas menurut Erikson merupakan proses yang berlangsung seumur hidup.3 Selain Erikson adapun seorang peneliti kotemporer yang sangat
tertarik dengan psikologi identitas yakni Jonathan Cheek, dia mengatakan identitas lebih akurat dikonseptualisasikan sebagai sebuah konstruk personal
dan internal atau sebagai sebuah konstruk yang terdefenisi secara sosial dan eksternal. Untuk beberapa individu bagian paling penting dari “self” mungkin
adalah tentang siapa mereka dalam hubungannya dengan orang lain atau lebih
populernya memiliki banyak teman. Tetapi bagi individu lainnya, peran sosial mungkin dinilai kurang penting dan “self” sangat baik dideskripsikan secara
introspektif.4
Identitas adalah sifat dan karakteristik yang dibentuk dari hubungan sosial, peran, dan juga kelompok sosial. Keanggotaan yang menentukan
identitas tentang siapa seseorang dapat difokuskan pada masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Identitas juga merupakan sikap seseorang dalam
2
Creamers Agus, Jati Diri, Kebudayaan dan Sejarah (Maumere: Ledalero, 2001), 20-21.
3
Howard Friedman dan Miriam Schustack, Kepribadian teori klasik dan riset modern edisi ketiga, jilid 1 (Jakarta: Erlangga, 2006), 156.
4
13
memberi makna bagi orang lain yang mampu membentuk suatu konsep diri.
Hal ini digambarkan dalam pemikiran ketika orang tersebut memikirkan dirinya sendiri.5 Dalam kaitan identitas diri dan konsep diri, seseorang mampu
untuk mengenal dirinya sendiri melalui citra diri dan perasaan diri. Dan itu dibuktikan melalui pancaindra seseorang.
2.2. Konsep Identitas Perempuan
Pada umumnya Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Secara kodrati laki-laki dan perempuan berbeda jenis kelaminnya beserta
segenap kemampuannya jika dilihat dari sifat biologisnya.6 Kata perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai.7 Erik Erikson berpendapat bahwa identitas sebagai “psikososial” dikatakan demikian karena manusia
menghadapi satu proses yang berakar dan berlangsung di dalam lapisan inti jiwa perorangan, tetapi sekaligus menyangkut pula inti pusat kebudayaan
masyarakatnya. Hal inilah yang membentuk atau mengkonstruksi sehingga lahir juga perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam diri perempuan dianggap bertangungjawab penuh di ruang domestic, berperan dalam urusan
kerumahtanggaan atau peran-peran reproduksi sebaliknya laki-laki dalam rana
publik.8 Menyambung dari itu perempuan dipandang mengalami “kolonisasi ganda” karena keberadaannya sebagai subyek yang dikuasai (colonial subject)
5
Mark R Leary and June P Tangney, Handbook of Congress Cataloging (United States of Amerika: Library of Congress Catalogging, 2012) 69.
6
Subhan Zaitunah, Kodrat Perempuan, (Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara, 2004), 07.
7
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Ulumul Qur’an, No 3, Vol VI, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1995) 113.
8
14
dan diskriminasi umum yang dialami sebagai subyek perempuan dalam budaya patriarkhal. Dalam “kolonisasi ganda” ini, peran dan identitas
perempuan cenderung direduksi pada tubuh seksualitas dan fungsi reproduksi
masyarakat.9
2.3. Identitas Perempuan Indonesia
Perempuan dalam berbagai masyarakat di Indonesia, menurut
pandangan sejarah memainkan banyak peran. Untuk mengetahui hal itu dibawah ini menjelaskan tentang pengertian perempuan dalam suatu
masyarakat bersosial. Istilah perempuan dalam masyarakat. sendiri menunjuk kepada salah satu dari dua jenis kelamin manusia. Dalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the other sex (jenis kelamin yang lain), yang sangat
menentukan mode representasi sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi yang mencul kemudian menunjukan bahwa perempuan menjadi
the second sex atau juga sering disebut “ warga kelas dua”, yang
keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.10 Secara teologis perempuan sebagai manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah serta
yang juga sama dengan manusia lainnya yakni laki-laki.
Pengertian perempuan dalam pendekatan sosiologis berarti berbicara
tentang status perempuan dalam sosiologis yang bersifat tradisional. Status perempuan seringkali dianalisis dalam hubungannya dengan “kedudukannya”
9
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas, (Yogyakarta: Kanisius Anggota IKAPI, 2004) 22.
10
15
di dalam masyarakat yaitu fungsi mereka dalam keluarga sebagai suatu
institusi yang paling fundamental. Jika perempuan tetap berada pada kedudukan mereka di dalam institusi keluarga dengan memainkan peran sosial
mereka sebagai ibu atau istri, maka mereka membantu mengintregasikan keluarga sebagai unit. Hal ini menyeimbangkan unit tersebut dalam unit keluarga, sementara laki-laki membuka hubungan antara keluarga dan
organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan kedudukan (status) adalah kumpulan hak-hak dan kewajiban tertentu yang
dimiliki oleh seseorang dalam menghadapi atau berinteraksi sedangkan yang dimaksudkan dengan peranan adalah tingkah laku yang diwujudkan sesuai
dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban suatu kedudukan tertentu.11 Dalam hal ekonomi pada masa orde baru, negara memberi kesempatan dan legitimasi kepada kaum perempuan untuk sepenuhnya bergiat di berbagai sektor ekonomi. “peran ganda” lahir pada saat itu. Konsep tersebut menggambarkan
ideologi gender yang dipakai negara yakni perluasan peran perempuan dari hanya berorientasi rumah tangga dan keluarga (tradisonal) ke bidang lain di
luar rumah tangga (modern) yang memberi sumbangan besar pada ekonomi keluarga dan negara tanpa harus menanggalkan peran alamiah sebagai ibu dan
istri.12
11
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), 110.
12
16
Belenky dkk memberikan pemahaman mengenai perempuan yang
dilihat dalam 5 tahapan/ kategori epistimologis perspektif perempuan yakni:
Tahap pertama kebisuan perempuan adalah silent knower, yang bersifat
pasif, reaktif dan tunduk pada sosok otoritas yang dalam pandangannya berkuasa dan dominan. Sosok otoritas diterima sebagai sumber kebenaran walaupun sosok tersebut jarang menjelaskan mengapa sesuatu dianggap
benar. Perempuan pada tahap ini belum mengenal kekuatan kata-kata sebagai sarana untuk menyatakan atau mengembangkan pendapat dan
belum mampu mengambil pelajaran dari pengalaman sendiri.
Tahap kedua perempuan mulai menyadari kemampuannya untuk belajar dan menerima pengetahuan yang diberikan orang lain dan oleh karenaitu
disebut received knower. Dalam tahapp ini kata-kata menjadi sangat penting dalam proses penyerapan pengetahuan. Perempuan juga telah mulai menemukan kekuatan “suara” (voice) dan pikirannya lewat
persahabatannya dengan teman.
Tahap ketiga perempuan telah menjadi subjective knower artinya bahwa
perempuan subsubyektivitis mengamati kejadian sehari-hari dalam kehidupannya yang menjadi sumber utama perolehan pengetahuannya dan
17
Tahap keempat perempuan menjadi rendah hati dalam arti dia bersedia menerima pengetahuan “prosedural” dan mulai menyadari perlunya
berkompromi dengan otoritas.
Tahapan terakhir perempuan telah sadar semua pengetahuan berupa
konstruksi artinya mulai mencari sesuatu yang otentik dan unik, sesuatu
yang di luar yang telah ditentukan atau diberikan.13
Pendekatan sosiologis yang dipakai dalam mengkaji tentang perempuan berarti berbicara tentang status perempuan dalam sosiologis yang
bersifat tradisional. Status perempuan seringkali dianalisis dalam hubungan dengan “kedudukannya” di dalam masyarakat, yaitu fungsi mereka dalam
keluarga sebagai sebuah institusi yang paling fundamental. Menurut beberapa
tokoh funsionalis seperti Durkheim (1897), Spencer (1851), dan Comte (1877), sifat-sifat alamiah perempuan yang inheren menciptakan suatu
pembagian kerja, hirarki otoritas laki-laki dan struktur moralitas. Sifat-sifat alamiah tersebut menempatkan kaum perempuan di bawah kontrol logis kaum laki-laki dalam suatu keluarga patriarkat dan struktur sosial. Oleh karena itu
dianggap sebagai suatu bentuk evolusi alamiah kaum perempuan itu sendiri serta meningkatkan fungsi-fungsi masyarakat.14 Kemudian menurut Weber,
untuk analisis mengenai perempuan di dalam masyarakat, hal itu merupakan perkembangan penting, karena status atau posisi seseorang pada suatu tatanan
13
Hidayana Irwan M, Benih Bertumbuh, (Yogyakarta: Kelompok Perempuan Pejuang Perempuan Tertindas, 2000) 538-541
14
18
sosial berhubungan dengan kekuasaan. Status perempuan di dalam masyarakat
kini dapat dianalisis dalam hubungannya dengan kerugian mereka, baik dalam kekuasaan ekonomi dan sosial maupun dalam pembentukan prestise sosial
yang dikaitkan pada jenis kelamin dan peran-peran pekerjaan.
2.4. Identitas Perempuan Timor
Identitas perempuan dalam masyarakat meto atau masyarakat Timor
dapat ditemukan khususnya dalam pembagian peran sosialnya dalam ike suti dan suni-auni yang sudah dibahas dalam Bab I bahwa secara garis besar
Ike-suti adalah benda kembar yang berguna bagi setiap perempuan dewasa suku
meto/timor dalam proses pembuatan tenunan. Dua benda ini masing-masing adalah alat pemintal benang. Sedangkan suni-auni adalah benda kembar yang
berguna bagi setiap laki-laki meto yakni parang dan tombak yang dipakai untuk berkebun dan berburu. Dua perkakas di atas menunjukan pandangan
dan keyakinan iman masyarakat suku meto mengenai kesetaraan gender, etos kerja, kepekaan ekologis serta pandangan mengenai hidup sesudah mati.15 Menenun yang dikerjakan oleh para perempuan Timor menghasilkan kain
tenunan yang di dalamnya tergambar motif-motif pada kain tenunan. Motif dalam kain tenunan memiliki makna dan nilai bagi kehidupan bermasyarakat.
Dari tangan-tangan perempuan menghasilkan suatu karya yang sangat indah, bukan saja itu menenun menghasilkan sebuah identitas dalam sebuah struktur sosial masyarakat, identitas diri, pengenalan akan Allah dan juga sebagai
15
19
penopang bagi kehidupan.16 Jika dikatakan identitas umumnya dimengerti
sebagai suatu kesadaran akan kesatuan, kesinambungan pribadi dan juga suatu kesatuan yang unik dalam masyarakat, maka pekerjaan menenun yang
dilakukan oleh para perempuan Timor merupakan suatu kesatuan yang unik yang ada dalam diri perempuan karena dapat menceritakan identitasnya.
2.5. Identitas Perempuan dalam Alkitab
Dalam Kejadian 3:21 ini terjadi satu titik balik dari cerita penciptaan. Di mana Allah telah menciptakan segala sesuatu yang ada dari yang tidak ada.
Secara khusus menciptakan manusia untuk menjadi wakilNya di dunia, manusia merupakan ciptaan Allah yang paling mulia dan tidak sama dengan makhluk-makhluk lain artinya manusia mempunyai kekhususan.17 Manusia
berbeda dengan ciptaan yang lainnya, manusia diberikan akal budi yang membentuk gagasan-gagasan dari konsep-konsep akalnya yang mampu
membayangkan dirinya sendiri terlepas dari lingkungannya.18
Dalam Kejadian 2:18 mengungkapkan kodrat manusia yang kesepian dan tidak sepenuhnya puas. Sekalipun banyak sekali yang telah dilakukan
untuk dirinya, dia sadar bahwa ada kekurangan. Sang Khalik belum selesai. Dia sudah berencana untuk menyediakan seorang teman yang akan memenuhi
kerinduan hati manusia. Karena manusia diciptakan untuk bersekutu dan
16
Jes A, Therik 1994, Nusa Tenun Tangan- Nusa Tenggara Timur, (Kupang: Bappeda Propinsi NTT, 2003), 11.
17
Th Kobong, Iman dan Kebudayaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997) 01.
18
20
berteman, maka dia hanya dapat menikmati hidup sepenuhnya apabila dia
dapat berbagi kasih, kepercayaan dan pengabdian dalam lingkungan intim hubungan keluarga. Allah memungkinkan manusia memiliki seorang
penolong. Secara harafiah, penolong yang sepadan atau seorang yang sepadan dengan. Perempuan itu akan menjadi orang yang dapat ikut berbagi tanggung jawab dengan laki-laki, menanggapi sifat laki-laki dengan
pengertian dan kasih, serta bekerja sama sepenuhnya dengan laki-laki itu dalam melaksanakan rencana Allah.19
2.6. Teori Kepribadian
2.6.1. Konsep Kepribadian
a. Gordon W Allport
Istilah kepribadian berasal dari kata Latin persona yang artinya topeng. Kepribadian yang lain berjangkauan dari konsep yang populistik
sifatnya yaitu kepribadian memampukan seseorang menjadi efektif secara sosial (seorang individu bisa dilihat memiliki kepribadian mengagumkan atau menakutkan atau tidak punya kepribadian sama sekali).20 Dalam
bukunya Personality: A Psychological Interpretation (1937) Allport memperkenalkan sebuah pendekatan yang khas Amerika bagi studi
tentang Kepribadian. Teori awal Allport dipengaruhi oleh psikologi Gestalt yang ditemuinya saat belajar di Jerman dan oleh kecenderungan
19
Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison, Tafsiran Alkitab: The Wycliffe Bible Commentary, (Jawa Timur: Gandum Mas, 2011) 33.
20
21
humanistiknya yang kuat yang berkembang sejak awal hidupnya.
Psikologi Gestalt menekankan keseluruhan dan saling berkaitnya pengalaman sadar yang tentunya sama sekali tidak mengindahkan pikiran
bawah sadar. 21
Kepribadian merupakan sesuatu yang terorganisasi dan terpola. Akan tetapi, organisasi ini selalu dapat berubah sehingga digunakan kata “dinamis”. Kepribadian bukan merupakan organisasi yang statis, namun
terus menerus berkembang dan berubah. Kata lain yang digunakan oleh
Allport dalam defenisi yang mengimplikasikan tindakan adalah
menentukan, yang memberikan gagasan bahwa kepribadian adalah sesuatu
dan melakukan sesuatu. Dengan kata lain, kepribadian tidak hanya sekedar topeng yang kita kenakan ataupun hanya sekedar perilaku. Kepribadian merujuk pada individu di balik tampilan luarnya, manusia di balik
tindakannya.
Defenisi komperhensif Allport atas kepribadian memberikan gagasan bahwa manusia adalah produk dan proses, manusia mempunyai
struktur terorganisasi, sementara pada saat yang bermanfaat mereka memproses kemampuan untuk berubah. Kesimpulannya bahwa
kepribadian mencakup sistem fisik dan psikologis meliputi perilaku yang terlihat, pikiran yang tidak terlihat dan tidak hanya merupakan sesuatu, tetapi melakukan sesuatu. Kepribadian adalah substansi dan perubahan,
21
22
produk dan proses serta struktur dan perkembangan.22 Pada akhirnya
bahwa dalam teori Allport mengenai kepribadian berhubungan erat dengan kenyataan bahwa obyek yang dibahas memang merupakan
manusia yang kompleks, unik (setiap orang mempunyai kekhususan tertentu yang membedakannya dari setiap orang lain), dan mempunyai kemampuan untuk berubah. Namun ada dasar umum dari teori
kepribadian bahwa kepribadian seseorang merupakan hasil dari faktor
herediter (faktor keturunan) dan faktor lingkungan.23
b. Costa dan McCrae.
Kajian sifat manusia yang dikemukakan oleh Allport dilanjutkan oleh Costa dan McCrae. Seperti kebanyakan peneliti faktor lainnya,
membangun taksonomi yang terelaborasi mengenai sifat dari kepribadian. Akan tetapi mereka tidak menggunakan klasifikasi tersebut untuk
menghasilkan hipotesis yang dapat diuji, melainkan hanya menggunakan teknik analisis faktor untuk menguji stabilitas dan struktur kepribadian. Dalam masa tersebut Costa dan McCrae awalnya hanya berfokus pada dua
dimensi utama yaitu neurotisme dan ekstraversi. Sampai tahun 1983, Costa dan McCrae masih berargumentasi mengenai model tiga faktor
kepribadian. Baru pada tahun 1985, mereka mulai melaporkan studi pada lima kepribadian yakni neurotisme, ekstraversi, keterbukaan, keramahan
22
Jess Feist dan Gregory J Feist, Teori Kepribadian, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010) 85-86.
23
23
dan kesadaran. Lima (5) faktor yang ditemukan oleh Costa dan McCrae
bisa dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel Model Kepribadian menurut McCrae dan Costa24
Jenis
24
Ramah
Toleran
Bersahabat
Bermusuhan
Kritis
Lekas marah
Kesadaran Teliti
Bekerja keras
Teratur
Tepat waktu
Ambisius
Gigih
Ceroboh
Malas
Tidak Teratur
Lambat
Tidak punya tujuan
Mudah menyerah
Ket tabel: skor tinggi adalah bagian yang kuat dalam jenis kepribadian, sebaliknya skor rendah menggambarkan bagian yang lemah dari kelima jenis kepribadian.
Dari tabel di atas menjelaskan Neurotisme dan Ekstraversi yang
merupakan dua sifat kepribadian yang sangat kuat dan terjadi di mana-mana. Kemudian keterbukaan pada pengalaman membedakan antara orang-orang yang memilih keragaman dengan orang-orang yang
mempunyai suatu kebutuhan atas akhir yang sempurna serta yang tetap merasa nyaman dengan asosiasi mereka terhadap hal-hal dan orang-orang
yang tidak asing. Skala keramahan membedakan orang-orang yang berhati lembut dengan mereka yang kejam. Faktor yang kelima yakni
kesadaran mendeskripsikan orang-orang yang teratur dan memiliki
25
2.7. Kepribadian perempuan yang ditinjau dari aspek sosial, budaya dan
keluarga
Menurut sejarah, pada banyak komunitas anak laki-laki telah
menerima hak-hak istimewa dalam keluarga dan kesempatan-kesempatan yang tidak diperoleh oleh anak perempuan. Perbedaan dalam cara memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan berbeda satu sama lain.
Mereka terbiasa dengan perbedaan dalam perkembangan sebagai laki-laki dan perempuan.25 Perempuan lebih mengkhususkan diri dalam mengurus rumah
tangga. Hal tersebut merupakan pemisahan ilmiah. Biologi telah menentukan bahwa seorang perempuan melahirkan dan karena itu merasakan tanggung jawab besar untuk mendidik dan membesarkan anak-anak.26 Berbicara
mengenai kepribadian perempuan dalam gambaran stereotip (beberapa perilaku) yang ada mengenai perempuan bahwa sifat-sifat khasnya berupa
pasrah, penurut, sabar, setia, tulus, berbakti pada orang tua, maupun suami dan lain sebagainya.27 Adapun sifat perempuan lebih terikat pada komunikasi dan kemudian pemecahan sebuah masalah, dikatakan demikian karena dalam
diri seorang perempuan memiliki miliaran sambungan neuron antara pusat perasaan dan pembicaraan. Dalam arti dia mempunyai suatu jalan bebas
hambatan yang menghubungkan perasaannya dan pembicaraannya.28
25
Daniel Cervone dan Lawrence A Pervin, Kepribadian, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011) 25
26
Gray Jhon, Mars and Venus Together Forever, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005) 02.
27
Brouwer M. A. W, dkk, Kepribadian dan…, 109.
28
26
Perilaku-perilaku ini terbentuk dari lingkungan dan itu mempengaruhi setiap
kehidupannya.
Pembentukan kepribadian perempuan yang dibentuk oleh aspek sosial
digambarkan pada pola perilaku yang mana hal tersebut dapat berkembang sebagai suatu hasil dari keanggotaan dalam suatu kelas sosial dalam budaya tersebut. Banyak aspek dari kepribadian seorang individu hanya dapat
dipahami dengan mengacu kepada kelompok tempat orang tersebut berada. Kelompok sosial seseorang baik kelas bawah ataupun kelas atas, kelas pekerja
atau profesional memiliki tingkat kepentingan masing-masing. Dalam hal ini misalnya dalam tradisi orang Jawa selalu manaruh hormat pada yang tertinggi atau kaum bangsawan dan itu muncul dalam berbagai perilaku sosial mereka,
hal itu pula nampak pada karya-karya perempuan dalam mereka membatik bahwa motif dan warna mencerminkan perilaku sosial. Faktor sosial dalam
menentukan status dari para individu, tugas-tugas yang mereka emban dan hak-hak istimewa yang mereka nikmati adalah beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana para individu memandang diri mereka dan
bagaimana mereka memandang anggota dari kelas sosial lain sebagaimana mereka mencari uang dan menghabiskannya.29
Salah satu hal terpenting di antara penentu lingkungan terhadap kepribadian perempuan adalah pengalaman-pengalaman individual sebagai suatu hasil dari keanggotaan mereka pada suatu budaya tertentu. Setiap kultur
29
27
memiliki pola institusionalisasi dan sanksi tertentu mengenai perilaku yang
dipelajari, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Praktik-praktik kebudayaan ini yang pada gilirannya sering kali merefleksikan kepercayaan
religius dan filosofi yang mendalam, memberikan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan penting mengenai sifat alamiah seseorang, peran seseorang dalam suatu komunitas dan nilai serta prinsip-prinsip yang paling penting dalam
kehidupan. Sebagai hasilnya, para anggota dari suatu budaya tertentu dapat berbagi karakteristik kepribadian yang ada.30 Hal ini Nampak misalnya dalam
aktifitas perempuan di Jawa dalam ia membatik, motif-motif yang ada dalam kain batik berhubungan dengan kepercayaan terhadap nenek moyang dan
tokoh-tokoh yang dipercayai dalam perwayangan.
Di luar kesamaan yang ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan seperti keanggotaan pada budaya atau kelas sosial yang sama, faktor-faktor
lingkungan mendorong munculnya variasi dalam pemfungsian kepribadian dari anggota suatu budaya atau kelas tertentu. Salah satu faktor lingkungan yang paling penting adalah keluarga. Orang tua dapat bersikap hangat dan
mencintai, kasar atau menolak, protektif dan posesif atau peka terhadap kebutuhan sang anak untuk memiliki kebebasan dan otonomi. Setiap pola
perilaku orangtua mempengaruhi perkembangan kepribadian dari sang anak. Kepribadian seseorang dalam keluarga adalah berbeda-beda dan karena itu
dalam hal ini berbicara mengenai kepribadian perempuan dalam keluarga
30
28
pada umumnya bahwa perempuan itu memiliki kelembutan hati, kasih sayang
dan juga naluri untuk menjaga serta merawat dalam hal apapun. Serta kaum perempuan lebih beradaptasi dengan perannya sebagai pengasuh dan telah
belajar untuk mengatasi perasaan dan menyelesaikan masalah terutama dengan jalan berbicara dan berbagi rasa dengan orang-orang lain dalam keluarga dan lingkungannya.31 Peranan perempuan dalam keluarga sangatlah
dominan. Sebagai ibu dalam rumah tangga ia sebagai ratu yang menata masa depan anak-anaknya. Akan menjadi apa seorang anak itu tergantung dari
peranan seorang perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki kepribadian yang mengharuskan dia terlibat secara langsung untuk mengurus
keluarganya serta dia juga memiliki kemampuan naluri yang sangat luar biasa.32
Kepribadian perempuan dibentuk dari ketiga aspek di atas, namun
seiring perkembangan zaman dan juga kreatifitas yang banyak bermunculan kepribadian perempuan juga bisa dilihat dari aspek-aspek yang lain dan salah satunya melalui warna. Warna dalam sebuah kain tenunan sebenarnya juga
menggambarkan kepribadian serta identitas. Oleh karena itu, di bawah ini penulis akan menjelaskan beberapa konsep mengenai warna, cara
membuatnya sampai pada makna warna itu sendiri.
31
Jhon, Mars and…, 93.
32
29
2.8. Warna
Pekerjaan menenun menghasilkan selembar kain tenunan yang di dalamnya terdapat motif-motif yang tidak terlepas dari unsur penting yakni
warna-warna dasar dari kain tenunan. Dikatakan demikian karena para perempuan bisa berekspresi dalam memberi warna pada kain tenunan itu juga dikarenakan dalam percobaan ilmiah yang menunjukan bahwa kaum
perempuan lebih memperlihatkan keunggulan apabila menyangkut keterampilan-keterampilan pada otak sebelah kirinya.33 Pemakaian warna
dalam kain tenunan juga berhubungan dengan gejolak emosi batin dari si penenun dan juga si pemakai. Misalnya dalam pembuatan sebuah sarung atau selimut warna yang digunakan adalah warna merah, kuning dan hijau yang
bahan-bahannya diambil dari tumbuhan-tumbuhan lokal yang ditanam. Warna tersebut mau menggambarkan kondisi batin yang senang bagi si penenun
dengan corak warna-warna yang terang tersebut. Sedangkan dari si pemakai misalnya dalam acara adat seperti kematian si pemakai lebih memilih warna gelap atau hitam dibandingkan warna terang. Oleh karena itu, warna juga
mencerminkan kepribadian. Perlu diketahui juga bahwa warna-warna dasar dari kain tenunan orang Timor berbeda dengan warna dasar kain tenunan di
suku-suku lain seperti Rote, Sabu, Alor dan lainnya (suku-suku yang ada di Nusa Tenggara Timur).
33
30
2.8.1. Konsep Warna
Pengertian warna dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang
dikenainya. Adapun dalam berbagai warna yakni biru, hijau, merah, putih dan lain sebagainya. Dalam dunia ilmu pengetahuan persepsi mengenai “warna”
selalu dihubungkan dengan penglihatan. Seseorang bisa saja melihat dalam
suasana remang-remang tetapi tidak dapat membedakan warna dengan jelas. Hanya bila intensitas cahaya menentukan warna yang ia lihat. Karena itu
tingkat intensitas cahaya menentukan persepsi manusia tentang warna. Selain cahaya, otak juga merupakan faktor lain yang sangat penting dalam membangun rangsangan bagi seorang manusia untuk menarik kesimpulan
tentang warna yang ia lihat.
Hakekat dari warna menurut Aristoteles yang berpendapat bahwa
semua warna itu adalah hasil dari percampuran antara warna hitam dan putih. Pandangan ini tetap kuat sampai dengan tahun 1666 waktu Sir Isaac Newton membuat percobaan dengan menggunakan lensa prima. Cahaya putih yang keluar dari prisma itu menghasilkan aneka warna yang ia sebut “konfigurasi”.
31
dengan studi mengenai rumah, tiang rumah dan berbagai artefak budaya
lainnya.34
Pemakaian warna alami dalam setiap kain tenunan lebih eksklusif
dibandingkan dengan warna sintesis karena warna alam mampu bertahan lama dan memiliki kualitas warna yang baik dibandingkan warna sintesis. Ketika memahami keindahan selembar kain tenunan bagi para perempuan perlu
diperhatikan beberapa hal antara lain bahan pewarna alam, kualitas warna, daya serap pada kain dan cuaca. Kombinasi faktor-faktor ini dalam pembuatan
tenunan memerlukan waktu yang sangat lama. Contoh-contoh pewarna alami yakni akar mengkudu untuk warna merah, kunyit untuk warna kuning, tanaman pohon (taum) untuk warna hitam dan kebanyakan untuk warna
diambil dari warna kapas yang dibersikan kemudian diolah menjadi benang. 35
2.8.2. Merakit Warna
Perempuan suku meto atau Timor dahulu hanya mengenal satu bahan dasar yakni kapas yang dipintal menjadi benang untuk pembuatan setiap kain tenunan.36 Proses pembuatan menjadi benang yakni kapas yang diambil dari
kebun dipilih yang sudah matang kemudian dijemur di panas matahari. Kapas yang dijemur itu ditaruh di atas tikar untuk dipisahkan bijinya, agar serat
benang teratur dan tidak memakan tempat. Setelah dibersihkan kapas ditaruh
34
Therik Tom dan Lintje Pellu, Ibadah, Liturgi dan Kontekstualisasi, (Kupang: Artha Wacana Press, 2000) 10.
35
Iriani Ade, Studi Groundded Theory di UKM Batik Sragen, (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2015) 69-71.
36
32
sebanyak mungkin di atas tikar dan dipukul dengan tali atau busur untuk
memperoleh kapas yang mudah diputar menjadi benang. Proses dalam membuat warna dalam selembar kain tenunan tidak terlepas dari warna dasar
kapas yakni putih yang telah dipintal menjadi benang. Adapun warna-warna lain yang digunakan oleh para perempuan Timor yang diambil dari alam. Misalnya warna hitam menggunakan daun tarum (taum) yang direndam dalam
air selama satu malam kemudian tiriskan dan untuk menghasilkan warna hitam yang baik mereka mencampurkan dengan kapur sirih. Untuk warna
merah, menggunakan kulit atau akar pohon mengkudu yang dicampur dengan kapur sirih kemudian ditumbuk sampai halus. Kemudian hasilnya direndam
selama 1-2 hari untuk kemudian diwarnai pada bagian kain yang dikhususkan untuk warna merah. Untuk warna biru bahan yang digunakan adalah daun tarum, kapur sirih, abu dan buah pohon kemiri. Daun tarum yang cukup tua
direndam dalam periuk tanah sampai hancur dan membusuk.37
Proses pembuatan warna tidak terlepas dari keunggulan para perempuan menyangkut keterampilan-keterampilan yang ada pada otak kirinya seperti yang dijelaskan dalam bukunya Jhon Gray “Mars dan Venus”.
Keunggulan para perempuan dalam mengekspresikan keterampilannya dilihat
dari pemilihan warna yang cocok untuk sebuah kain tenunan. Kesabaran dalam memilih warna itu juga membutuhkan proses, di mana perempuan
harus bersabar dalam hal ia mencari dan mengambil bahan-bahan alam serta
37
33
pada tahap ia meraciknya menjadi sebuah warna pada benang. Waktu yang
lama dalam proses pewarnaan itulah yang menghasilkan warna yang baik dan karena itu kesabaran sangatlah dibutuhkan oleh seorang perempuan. Adapun
hal lain dalam kaitannya dengan keunggulan dari perempuan yakni ketelitian dan kepekaan bahwa dalam pewarnaan kain tenunan ukuran-ukuran yang digunakan harus sesuai dengan jarak yang ditentukan agar terlihat rapi dan
indah. Hal ini mau mengatakan bahwa perempuan memiliki pola perhitungan rasional yang baik dan karena itu menjadi tolak ukur dalam menentukan
warna. Dalam hal kepekaan para perempuan memiliki kemampuan dalam mencampur bahan-bahan pewarna alam seperti yang dijelaskan di atas dan
adapun daya imajinasi perempuan yang sangat tinggi ketika dia menentukan warna dalam motif-motif kain tenunan.
2.8.3. Makna Warna
Pemakaian warna tertentu dalam kehidupan sehari-hari telah disosialisasikan dengan suatu sifat dari seseorang, benda, atau pun peristiwa. Secara alami merah diasosiasikan dengan darah, kuning dengan energi, putih
dengan kesucian, keemasan dengan perayaan dan pesta, ungu muda dengan martabat dan gengsi, hijau dengan pertumbuhan, biru terang dengan
pengharapan, biru tua, ungu tua dan hitam dengan kekecewaan dan dukacita sedangkan warna tanah diasosiasikan dengan pemakaman. Adapun makna warna dalam selembar kain tenunan terukir iman dan kepercayaan masyarakat
34
motif itu menggambarkan pesan-pesan spiritual tentang hidup dan mati,
berkat, anugerah, kerukunan, status sosial, identitas dan lain sebagainya.38 Misalnya pemakaian warna merah pada kain Molo (suku di Timor) dengan
motif kepala burung itu menggambarkan bahwa si pemakai adalah seorang dari keturunan raja dan karena itu kaum bangsawan atau rakyat biasa tidak boleh menggunakannya. Serta dalam tenunan dulu pemakaian warna hitam
lebih kepada hal-hal yang bersifat ghaib, gelap dan juga jarang orang memakainya dalam setiap acara adat. Oleh karena itu warna hitam lebih
khusus digunakan misalnya pada acara-acara kematian. Dari semua hal di atas perempuan mampu menceritakan pesan-pesan dan makna yang terkandung
dalam kain tenunan.
Sebagaimana dalam pengertian di atas bahwa dalam ilmu Antropologi studi mengenai “warna” dilihat sebagai salah satu pendekatan untuk
memahami sistem klasifikasi sosial. Dalam hubungannya dengan itu banyak kelompok etnik yang tersebar di Indonesia memahami makna warna dalam hubungannya dengan kosmologi yang dianut dalam masyarakat tersebut. Bagi
orang Tetun di pulau Timor pemahaman mengenai warna berhubungan erat dengan mitos asal mula atau rai lien (bahasa tanah). Wehali sebagai tempat
asal suku-suku Timor menjadi semacam “tempat leluhur” bagi suku-suku di Timor. Pengagungan leluhur menyebabkan lokasi Wehali menjadi lokasi
sakral. Kesakralan ini digambarkan sebagai yang gelap (kukun). Progenetriks
38
35
mereka adalah seorang wanita dan karena itu wanita diklasifikasikan sebagai
lambang dari sakral. Sarung hitam yang dikenakan wanita Wehali dianggap sebagai simbol kesakralan itu. Sebaliknya laki-laki diasosiasikan dengan
warna putih. Dalam upacara adat pakaian sakral seorang laki-laki adalah sarung tenunan warna putih. Adapun tenunan dengan warna merah yang dipakai baik laki-laki dan perempuan dalam pesta adat yang bermakna
kemakmuran yang Nampak dalam berbagai ungkapan ritual yang memasangkan merah dengan emas, merah dengan barang berharga, yang
dihormati atau merah dengan kekuasaan atau keberanian. Mengenai warna kuning dan hijau terungkap dalam ritus panen jagung (hamiis). Jagung yang sudah siap dipanen “masak” (tesak) dan yang belum siap dipanen berada
dalam status mentah. Kuning-hijau dan mentah merupakan suatu keadaan
transisi dan karena itu ia tidak dikategorikan sebagai yang penting dan berarti.
Warna lebih banyak dideskripsikan dalam hubungannya dengan keadaan alam atau benda tertentu. Warna biru dan ungu berasal dari sejenis kerang laut yang banyak terdapat di laut tengah. Kerang ini dianggap sebagai
makanan yang lezat dan karena itu ia dijual dengan harga mahal. Rupanya karena itu ia dianggap sebagai warna kerajaan. Dalam Yehezkiel 23: 6 ungu
tua merupakan warna pakaian bangsawan Asyur. 39 Adapun dalam contoh lain di abad ke-16 gereja-gereja Revormasi pada umumnya menolak warna-warni
sebagai tambahan dalam ibadah dimana ada semangat Calvinis dan Puritan
39
36
disitu pakaian-pakaian tambahan dan kain-kain warna dicabut.
Pendeta-pendeta hanya menggunakan gaun/toga berwarna hitamyang menutupi baju biasa. Di antara kaum Protestan, aliran Lutheran dan Anglikanlah yang
banyak meneruskan tradisi jubah warna-warni. Sampai sekarang gereja-gereja tertentu di lingkungan Calvinis masih tetap memegang tradisi memakai gaun hitam sebagai satu-satunya pakaian liturgis. Sementara di gereja-gereja
Calvinis lainnya seperti beberapa gereja Revormasi di Indonesia, keterbukaan terhadap penggunaan warna-warna dalam liturgi semakin dilihat sebagai salah
satu kebutuhan dalam rangka pemakaian symbol-simbol ibadah. Pada dasarnya pemakaian warna liturgis dalam gereja-gereja berkembang dari
pemakaian warna sejak tahun 1970, setelah Paus Pius V mengadakan refomasi dalam perayaan Misa.40
40