• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi Konflik Kawasan Hutan musim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Refleksi Konflik Kawasan Hutan musim "

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

Maambiak Rambuik d

alam Tapuang, Mambunuah Ula’

dalam

Baniah

‖ :

Refleksi Konflik Kawasan Hutan

(Studi Kasus Nagari Guguk Malalo dan Nagari Kambang)1

Oleh;

Nurul Firmansyah

………...kami sepakat bila hutan yang ada di nagari guguk malalo di lindungi karena hutan sangat berguna bagi kami untuk penyediaan air danau singkarak dan

mencegah galodoh, namun kami tidak ingin ada hutan lindung (status hutan negara) di

nagari kami. kami tidak mau anak cucu dan Kemenakan kami di masa depan menuntut

kepada kami, karena meyerahkan ulayat kami, biarlah hutan di nagari guguk malalo di

lindungi oleh kami...

(Datuk Nan Kayo / Ketua KAN Nagari Guguk Malalo)

1. Pendahuluan.

Beragam respon masyarakat Nagari Kambang di Kabupaten Pesisir Selatan dan Nagari Guguk Malalo di Kabupaten tanah datar, Sumatera Barat dalam melihat ketidakjelasan status hak ulayat mereka atas kawasan hutan, dan umumnya respon-respon tersebut adalah ungkapan kekecewaan atas kebijakan pengelolaan hutan yang tidak

mengakomodir hak mereka sebagai masyarakat adat (hak ulayat) atas hutan. Oleh masyarakat nagari Kambang dan Guguk Malalo, hutan bukan hanya sebagai kesatuan ekosistem yang bernilai ekonomis, namun juga bagian dari ulayat yang lahir seiring dengan keberadaan masyarakat nagari tersebut. Hutan bagi masyarakat nagari bukan

1

(2)

2 hanya di nilai dari aspek ekonomi belaka, namun juga bernilai sosial dan kultural. Oleh masyarakat nagari; hutan merupakan warisan nenek moyang yang harus dijaga untuk keberlangsungan tali kekerabatan (generasi berikutnya) dan keberlangsungan ikatan sosial (sako pusako).

Oleh kebijakan kehutanan; hak masyarakat adat atas hutan (hak ulayat) sebenarnya telah

―dirampas‖ sejak berlakunya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok

kehutanan (UU KKPK), dimana diputusnya penguasaan ulayat atas hutan oleh

masyarakat adat dengan penguasaan negara secara langsung (hutan negara). Oleh UU KKPK hanya mengenal hutan rakyat sebagai hutan yang berada di atas hak milik (vide pasal 2 UU KKPK), sedangkan hutan adat (hutan yang berada di atas hak ulayat) dengan sistem penguasaan bersifat komunal tidak dikenal lagi dalam UU ini. 2 Secara politik hukum; kebijakan ini tidak terlepas dari kebutuhan akan sumber daya alam Sejak tahun 1967 oleh investasi skala besar, baik itu yang didukung oleh pemilik modal asing dan atau domestik (konglomerasi) sebagai salah satu modal utama pembangunan rezim orde baru.3 Berbagai kebijakan sumber daya alam yang dilahirkan oleh DPR RI dan

Pemerintah di masa itu secara in concreto menafikan hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alamnya, tidak terkecuali pada sektor kehutanan. 4

Walaupun Reformasi merupakan koreksi dari rezim Orde Baru, kenyataannya; belum mampu memberikan perlindungan hukum yang kuat terhadap hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alamnya terutama hutan. Kebijakan kehutanan Nasional terkini (UU no.41 tahun 1999 tentang Kehutanan / UUK) tidaklah begitu jauh dengan kebijakan kehutanan di masa ORBA (UUKPK). UUK belum akuntabel dalam mengakui hak-hak masyarakat adat atas hutan yang kemudian berakibat pada reduksi tata kelola hutan berbasis masyarakat adat (masyarakat Nagari), terutama pada;kaburnya pengakuan yuridis tentang hutan adat atas hutan Negara (vide pasal 5, UUK) dan bersaratnya

2

Asep Yunan Firdaus, dkk, Mengelola hutan dengan memenjarakan manusia, HuMa, SWAMI, Samdhana Institute, 2007, hal 8, Jakarta.

3 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat sebuah Himpunan

Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, Komnas Ham, Jakarta, 2006, hal 14.

4

(3)

3 pengakuan masyarakat adat serta hak-haknya dalam pengelolaan hutan (vide pasal 67, UUK).

Pada tataran praktis; masyarakat nagari yang tetap kukuh pada hak ulayat atas hutannya disatu sisi, dan pemerintah dengan kebijakan kehutanannya pada sisi lain, bertemu pada titik persinggungan. Persinggungan tersebut adalah hubungan konfliktuil atas;

penguasaan (tenurial), sistem hukum/nilai maupun tata kelola hutan. Oleh sebab itu; untuk memahami lebih konflik tersebut, maka; makalah ini mencoba mengurai secara sederhana konflik tenurial masyarakat nagari kambang dan guguk malalo dilihat dari penunjukan kawasan hutan yang diyakini sebagai awal dari persinggungan /konflik tenurial tersebut. Walaupun potret konflik ini bersifat mikro (sebatas nagari kambang dan nagari guguk malalo)5 namun minimal, kita bisa mencoba menarik secara makro

(propinsi Sumatera Barat) permasalahan tenurial, terutama yang berhubungan dengan penunjukan kawasan hutan di sumatera barat, karena;

a. Walaupun nagari dianggap sebagai republik mini, namun karakteristik nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai kesamaan; seperti; kekerabatan (suku dan kaum), penguasaan komunal atas ulayat, pewarisan, struktur adat (bodi chaniago, koto piliang, lareh nan panjang) dan hubungannya dengan pola penguasaan dan pengelolaan ulayat.

b. Dalam hal konflik tenurial antara nagari dengan pemerintah mempunyai karakteristik yang sama, yaitu; 1) Konflik tersebut lahir dari kebijakan yang tidak akuntebel bagi hak-hak masyarakat adat, 2) pada konteks penunjukan kawasan dilakukan secara sepihak, tanpa mengikut sertakan penguasa ulayat (ninik mamak) dan masyarakat nagari /tidak partisipatif.

c. Dampak-dampak konflik turunan dari konflik diatas, baik itu bagi; nagari, pemerintah, maupun terhadap hutan (ekologi) bisa dilihat benang merahnya.

5

(4)

4

2. Hak Ulayat sebagai Sistem Tenurial yang di anut Masyarakat Nagari.

Oleh ridell (1987) memaknai sistem tenurial sebagai sekumpulan atau serangkaian hak-hak. “tenure System is bundle of rights”, artinya adalah sekumpulan atau serangkaian hak untuk memanfaatkan sumber-sumber agraria yang terdapat dalam suatu masyarakat yang secara bersamaan juga memunculkan sejumlah batasan-batasan tertentu dalam proses pemanfaatan itu.6 Setiap sistem tenurial, masing-masing hak mempunyai tiga komponen, yaitu7:

1. Subjek hak, yaitu pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. Subjek hak bisa berupa individu, rumah tangga, kelompok, komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi, bahkan lembaga politik setingkat negara.

2. Objek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang yang tumbuh diatas tanah, barang-barang tambang yang berada didalam tanah, perairan, makhluk hidup dalam perairan, atau pada wilayah udara. Objek hak bisa dalam bentuk total dan parsial, misalnya orang yang mempunyai pohon sagu tertentu belum tentu mempunyai hak atas tanah diamana pohon sagu itu berdiri.

3. jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Adapun jenis hak-hak tersebut adalah, hak milik, hak sewa, dan hak pakai, dan lain-lain.

Dari jenis hak yang muncul dalam suatu masyarakat menjadi penting membedakan antara kepemilikan (pemegang hak milik atas objek hak), dan kepenguasaan

(pemegang hak untuk mengatur pengelolahan atau peruntukan dari suatu objek hak).8

Sistem tenurial bila dilihat dari perspektif teori sistem digambarkan sebagai;

6 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM (2000) ―Sumber Daya Alam untuk Rakyat, sebuah modul

lokakarya penelitian hukum kritis-partisipatif bagi pendamping hukum rakyat.‖, halaman 127, Jakarta. 7

Ibid.

8 Dalam sistem tenurial juga ditentukan siapa yang memiliki hak untuk menggunakan sumber-sumber daya tertentu dan

(5)

5

1. Sistem penguasaan lahan (Land tenure System).

Pokok bahasannya biasanya dimulai dengan mengidentifikasi jenis-jenis hak yang terdapat pada setiap kawasan tertentu, seperti hak milik, erfpacht, hak pakai, gadai, bagi hasil, sewa menyewa, pinjam pakai. Dalam konsepsi land tenure juga mencakup

kedudukan buruh tani. karena itu penelahaannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapannya itu dapat dapat berlangsung.

2. Sistem penguasaan tumbuh-tumbuhan (Trees Tenure).

Selain istilah Land Tenure, ada juga istilah Trees Tenure (sistem Penguasaan tumbuh-tumbuhan). sistem penguasaan tumbuh-tumbuhan adalah sebundel hak-hak terdapat hasil atau produk yang berkait dengan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh diatas sebidang tanah, artinya hak-hak yang muncul terhadap tumbuh-tumbuhan tersebut tidak harus adanya hak-hak tertentu pada sebidang tanah. Misalnya; hak untuk memungut hasil sagu dari pohon sagu yang tumbuh di sebidang tanah adalah hak orang yang berbeda dengan

orang yang memiliki bidang tanah tempat pohon sagu tersebut hidup/tumbuh. Hal tersebut bisa terjadi, sangat bergantung pada proses sosial (kesepakatan/konsensus) yang terjadi dalam komunitas tersebut.9

Bersamaan dengan ditemukannya sistem tenurial berbasis masyarakat mengenuka pula istilah customary tenure system/regime dan atau indigenious tenurial system dan atau sistem penguasaan tanah berbasiskan adat, yang dalam konteks Indonesia dikemukakan oleh; C. Van Vollenhoven dan W. Marsden dengan istilah beschikkingsrecht yang kemudian disebut dengan hak ulayat.

(6)

6 Sistem Tenurial atau hak ulayat atas hutan di dua nagari kambang dan guguk malalo di pengaruhi oleh sistem kelarasan yang kemudian membentuk struktur kelembagaan adat dari masing-masing nagari tersebut. Kelembagaan adat di dua nagari site tidak bisa terlepas dari proses sejarah pembentukan nagari, dan dinamika-dinamikanya. Berikut ini akan digambarkan struktur kelembagaan adat dan hubungannya dengan penguasaan hak ulayat atas hutan dalam bentuk matrik;

1. Nagari Guguk Malalo

no Tingkat kekerabatan Hutan dalam status

ulayat

Struktur adat Pola penguasaan

1 Kaum Hutan ulayat kaum Tungganai  Dikuasai oleh suatu kaum

tertentu.

2 Suku Hutan ulayat suku Panghulu suku  Dikuasai oleh suatu suku

tertentu.

 Pengaturan pengelolaan atas

persetujuan panghulu suku

sebagai pemimpin suku

3 Nagari Hutan ulayat nagari 

Panghulu-panghulu suku

yang ada di

nagari

 Panghulu pucuk

 Di kuasai oleh suku-suku

yang ada di nagari.

 Pengaturan pengelolaan atas

persetujuan

panghulu-panghulu suku yang ada di

nagari dan memperhatikan

pertimbangan panghulu

pucuk.

2. Nagari Kambang.

no Tingkat kekerabatan Hutan dalam status

ulayat

(7)

7

 Dikuasai oleh suatu kaum

tertentu.

 Dikuasai oleh suatu suku

tertentu.

 Pengaturan pengelolaan

atas persetujuan panghulu

pucuak suku sebagai

pemimpin suku

3 Nagari Hutan ulayat nagari  Panghulu-panghulu

pucuak suku yang

ada di nagari (ikek

ampek)

 Rajo(Adat)

 Di kuasai oleh suku-suku

yang ada di nagari.

 Pengaturan pengelolaan

atas persetujuan Rajo adat

atas pertimbangan

panghulu-panghulu suku

yang ada di nagari (ikek

ampek).

Dua tabel diatas memperlihatkan perbedaan corak kelembagaan adat yang dipengaruhi oleh sistem kelarasan (sistem struktur adat Minangkabau). Namun secara umum, terdapat persamaan dalam sistem penguasaan ulayat atas hutan di dua nagari tersebut, yaitu ;

1. Hak ulayat adalah hak bawaan diturunkan berdasarkan garis keturunan matrilineal. 2. penguasaan ulayat bersifat komunal, dibagi atas beberapa suku, suku di bagi atas

(8)

8 kemudian diatur oleh ninik mamak masing-masing tingkatan tingkat kekerabatan tersebut.

3. ulayat nagari adalah penguasaan bersama anak nagari atau penguasaan bersama suku-suku yang ada di nagari.

4. Hak ulayat oleh masyarakat nagari muncul dari perjalanan sejarah masyarakat nagari.

Selain kesamaan sistem penguasaan ulayat. Kedua nagari ini mempunyai landasan yang sama dalam menentukan tata ruang Ulayat, yang kemudian melahirkan pola pengelolaan ulayat berdasarkan tata ruang tersebut. Dasar yang sama tersebut adalah landasan Asas

―kepatutan‖ dalam merancang Tata ruang pengelolaan Ulayat. Seperti penentuan

persawahan di tentukan dengan kepatutannya sebagai daerah yang dialiri air/atau sungai.

Dalam bahasa adatnya adalah; ―Dataran yang bisa dialiri air dijadikan sawah, lereng

dijadikan Parak atau Ladang.‖Sehingga di kalangan masyarakat nagari di kenal dengan istilah Ulayat Keras, yaitu ulayat yang tidak dialiri air atau sungai yang biasanya berada pada lereng-lereng bukit, seperti kawasan pinggiran hutan, parak atau kebun. Selain itu di kenal juga istilah Ulayat Lunak, yaitu kawasan yang dialiri air atau sungai, sehingga kawasan tersebut di peruntukkan untuk pertanian, persawahan dan pemukiman masyarakat.

Penentuan kawasan berdasarkan asas kepatutan ini juga berlaku dalam menentukan kawasan hutan ulayat. Penentuan kawasan hutan ulayat oleh masyarakat memperhatikan daerah aliran sungai (daerah tangkapan air). Untuk kawasan hutan yang berada pada hulu sungai atau sumber-sumber mata air di jadikan kawasan hutan larangan, kemudian begitu juga dalam penentuan kawasan hutan simpanan,dan Ulahan disesuaikan dengan kondisi aliran sungai tersebut, sehingga dalam menentukan kawasan hutan secara tradisional di landasi dengan kepatutannya berdasarkan kondisi alam. Secara spesifik berikut terdapat beberapa poin pola-pola pengelolaan sumber daya alam atau hutan berdasarkan sistem ulayat, Pola pengelolaan tersebut adalah;

(9)

9 berada di tangan kaum perempuan, walaupun kewenangan mengatur pada niniak mamak, tidak secara otomatis ninik mamak tersebut menguasai sekaligus memiliki ulayat tersebut.

2. Pengelolahan sumber daya alam atau hutan dilakukan secara komunal, dengan peran struktur adat (ninik mamak) sebagai pengatur pengelolahan hutan.

3. Pengelolahan sumber daya alam atau hutan di lakukan secara berkelanjutan

(sustainable), karena ulayat bukan hanya di pandang sebagai warisan ninik moyang, namun juga warisan anak kemenakan pada generasi berikutnya.

4. Sumber daya alam atau hutan bukan hanya di pandang sebagai sumber daya alam yang bersifat ekonomis, namun juga bersifat sosiologis dan kultural, karena ulayat berhubungan dengan identitas nagari, suku, dan kaum itu sendiri. Konsep adat yang menggambarkan hal tersebut terlihat dari pengaturan tentang sako pusako.

5. Pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari berperspektif ekologis, karena asas kepatutan sebagai dasar utama pengelolaan hutan mengharmonisasikan alam dengan manusia, dan manusia dengan manusia lainnya, yang kemudian masyarakat nagari membegi peruntukkan kawasan hutan secara tradisional menjadi; hutan Larangan, hutan simpanan dan hutan olahan.

3. Konflik Tenurial di Nagari Kambang dan Nagari Guguk Malalo

Perhatian Departemen kehutanan terhadap masalah tenurial cukup besar, hal ini terlihat pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan tahun 2006-2025 (RPJP

kehutanan 2006-2025). RPJP kehutanan 2006-2025 sendiri merupakan sebuah dokumen legal yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.27/menhut-II/2006 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan, tahun 2006-2025. Dalam RPJP Kehutanan 2006-2025 ini, isu tenurial adalah bagian dari isu strategis

(10)

10 alam hayati, kemiskinan, sumber daya manusia sektor kehutanan, penelitian dan

pengembangan, dan kejahatan di bidang kehutanan.10

Dalam upaya membangun sektor kehutanan yang merupakan bagian dari pembangunan nasional, maka dalam konteks tenurial, RPJP kehutanan 2006-2025 melihat bahwa; kontroversi tentang pengakuan hak kepemilikan oleh masyarakat hukum adat atas hutan menjadi perhatian dan masih berlangsung sampai saat ini, terutama yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat di dalam kawasan hutan. Selain Dephut juga menyadari bahwa terdapat kekosongan pengaturan tentang jaminan hak tenurial masyarakat adat, yang sebenarnya pemerintah dimandatkan untuk melahirkan PP tentang hutan adat (mandatkan tersebut terdapat dalam pasal 67 UUK) yang sampai saat ini belum kunjung lahir.

Untuk melihat bagaimana sebenarnya konflik tenurial masyarakat adat di kawasan hutan, tidak bisa dipisahkan dengan aras kebijakan kehutanan. Baik itu Kebijakan kehutanan nasional (UUK), aturan pelaksananya, dan kebijakan pengeloaan hutan di daerah. Selain itu kebijakan pemerintahan desa (UU no. 5 tahun 1974 dan UU no. 5 tahun 1979) juga memberikan pengaruh cukup besar terhadap konflik tenurial tersebut.

Pelemahan hak ulayat atas hutan diawali dari kaburnya legalitas kawasan hutan, yang akhirnya berpengaruh besar pada penguasaan hutan negara atas hutan adat, terutama sejak lahirnya UU KKPK yang berlanjut sampai hari ini (berlakunya; UUK). Oleh UU KKPK menegaskan bahwa hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya di kuasai oleh negara sebagai penafsiran atas Hak Menguasai Negara (HMN).

Selanjutnya HMN tersebut oleh UU KKPK memberikan wewenang untuk; 1)

menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukkan, penyedian dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara, 2) mengatur pengurusan hutan dalam arti yang luas, 3) menentukan dan mengatur

10

(11)

11 hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan (vide pasal 5).

Berdasarkan HMN, kemudian UU KKPK memberi kewenangan kepada menteri untuk membagi hutan berdasarkan pemiliknya, yaitu; 1) hutan negara; kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak bebani hak milik, dan 2) hutan milik; hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (vide pasal 2).11 Poin penting lainnya adalah kawasan hutan merupakan wilayah-wilayah tertentu yang oleh menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap (vide ketentuan umum UU KKPK), ketentuan tersebut menjadikan hak ulayat tercerabut dan atau kabut oleh hutan negara, terutama melalui penetapan kawasan hutan, karena kawasan hutan merupakan bagian dari domein hutan negara. UU KKPK sebenarnya tidak jauh berbeda dengan UUK (undang-undang kehutanan baru), dalam UUK kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap (vide pasal 1 angka 3 UUK), sementara itu berdasarkan status, pemerintah menetapkan hutan sebagai;

1) hutan negara dan 2) hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah dan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Tidak ada perbedaan antara UU KKPK dengan UUK, hanya saja dalam pembagian hutan menurut UU KKPK berdasarkan kepemilikannya, sedangkan UUK di bagi atas statusnya. Namun yang terpenting dalam UUK; di

akomodirnya keberadaan hutan adat dalam ruang hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat.12

Penetapan kawasan hutan di masa UU KKPK dilakukan oleh menteri dengan didasari oleh rencana umum pengukuhan hutan yang memuat tujuan, perincian dan urgensi pengukuhan kawasan hutan itu untuk selanjutnya di gunakan sebagai dasar

pertimbangkan dalam menetapkan; hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, dan /atau hutan wisata (vide pasal 7). Penetapan kawasan hutan kemudian diatur dalam PP Nomor 33 tahun 1970 tentang Perencanaan hutan.13 PP ini menentukan bahwa rencana

11 Hutan milik ini lazim disebut dengan hutan rakyat. 12

Asep Yunan Firdaus, dkk, log cit, hal 25..

13

(12)

12 pengukuhan termasuk dalam ruang lingkup perencanaan hutan yang terdiri; 1) rencana umum, 2) rencana pengukuhan hutan, 3) rencana penatagunaan hutan dan 4) rencana penataan hutan. Dalam PP menggariskan bahwa rencana yang memuat kegiatan-kegiatan pemancangan dan penataan batas untuk memperoleh kepastian hukum mengenai status dan batas kawasan hutan.

Berdasarkan rencana pengukuhan hutan, menteri pertanian menunjuk wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan untuk melaksanakan pengukuhan hutan, menteri pertanian membentuk Panitia Tata Batas. Wilayah yang dikukuhkan tersebut yang kemudian menjadi kawasan hutan, dan dalam hal perubahan batas kawasan hutan yang telah ditetapkan dengan berita acara tata batas, harus dilakukan dengan surat keputusan menteri pertanian.14

PP Nomor 33 tahun 1970, menurut Fay (2005) memberi kewenangan kepada menteri pertanian (yang pada waktu itu menginduki Dirjen Kehutanan) menetapkan manakah yang menjadi kawasan hutan negara dan yang bukan. Pada sekitar tahun 1980’an hampir 75% dari keseluruhan tanah di wilayah indonesia di tunjuk menjadi kawasan hutan. Proses tersebut dilaksanakan oleh Departemen sebagai tata guna hutan dengan

kesepakatan (TGHK).15 Ternyata tingkat kesepakatan atau penerimaan antar para pihak tidak setinggi yang dibayangkan semula oleh Dephut, pemerintah daerah sering kali menentang batas yang berhubungan dengan pilihan-pilihan pembangunan, yang di batasi oleh fungsi hutan.16

Dalam UUK penetapan kawasan hutan sama dengan UU KKPK, yaitu bagian dari ruang lingkup kegiatan perencanaan kehutanan, yang meliputi; 1) inventarisasi hutan, 2) pengukuhan kawasan hutan, 3) penatagunaan kawasan hutan, 4) penyusunan rencana kehutanan. Berdasarkan invnetarisasi hutan pemerintah menyelenggakan pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan memperhatikan RTRW, adapun pengukuhan kawasan hutan meliputi proses; 1) penunjukan kawasan hutan, 2) penataan batas kawasan

14

Ibid.

(13)

13 hutan, 3) pemetaan kawasan hutan, 3) penetapan kawasan hutan (vide pasal 14-15). Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pengukuhan kawasan hutan dalam UUK, Dephut mengeluarkan Kepmen kehutanan no. 32/kpts-II/2001 tentang kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan. SK menteri ini mencabut kepmen kehutanan no.399/kpts-II/1990 jo No.634/kpts II/ 1996 tentang pedoman pengukuhan hutan dan kepmen no. 400/kpts-II/1990 jo. No. 635/kpts II/1996 tentang panitia tata batas. SK menteri tersebut menentukan bahwa ruang lingkup pengukuhan kawasan hutan, meliputi; a) penunjukan kawasan hutan, 2) penataan batas kawasan hutan (yang terdiri dari; proyeksi batas, inventarisasi pihak-pihak ke-tiga, pemancangan tanda batas sementara, pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif), 3) pemetaan kawasan hutan, 4) penetapan kawasan hutan.

Antara tahun 1999 dan tahun 2001 berbagai kompromi dicapai melalui Perencanaan Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan saat ini bisa dikatakan bahwa kawasan hutan dari sinkronisasi TGHK dan RTRWP. Namun terdapat juga ketidak sinkronan antara TGHK versi Badan Planologi Dephut, yang menyebutkan bahwa tahun 1991 luas

kawasan hutan lebih kurang 143.970.615 Ha, sedangkan hasil paduserasi TGHK-RTRWP tahun 1999 yaitu; 120.355.104 Ha.17 Selain itu, yang paling penting adalah; Konsekuensi pengukuhan kawasan hutan, terutama pada penetapan kawasan hutan, baik di masa UU KKPK maupun di masa UUK menimbulkan pencabutan dan atau pengkaburan hak ulayat atas hutan dari masyarakat nagari. Untuk Nagari Kambang kabupaten pesisir selatan, penetapan kawasan hutan melalui Surat Menteri Pertanian No.736/ Mentan/X/ 1982, 14 Oktober 1982 menetapkan Taman Nasional Kerinci Seblat seluas 1.484.660 hektar. Yang kemudian di rubah melalui Surat Keputusan No. 901/Kpts-II/1999 tentang penetapan kawasan TNKS di empat propinsi dengan luas 1.375.349 ha. Dalam proses tersebut di temukan bahwa pada tahap penataan batas kawasan hutan, yaitu; di saat pal batas definitif yang dilakukan pada tahun 1992-2000 —dengan penanggung jawab Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan— terjadi berbagai penyimpangan yang cenderung merugikan masyarakat di sekitar kawasan. Akibatnya, meski pemancangan pal batas dianggap

17

(14)

14 selesai tahun 1999, muncul berbagai persoalan. Ada kasus pal batas tidak ditemukan karena hilang, dihilangkan, atau tidak dipasang sama sekali.

Penataan batas kawasan hutan melibatkan pemerintah daerah, namun menurut

masyarakat nagari kambang; penataan batas yang dilakukan pada tahun 1993 tersebut sama sekali tidak mengikutsertakan pemangku adat (ninik mamak) dalam penataan batas tersebut. Perda no.13 tahun 1983 tentang Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara jelas menyebutkan bahwa KAN adalah perwakilan dari masyarakat hukum adat, yang unsurnya terdiri dari para ninik mamak di nagari. Namun pada kenyataannya KAN tidak di ikutsertakan dalam menentukan batas TNKS dengan ulayat masyarakat nagari. Penataan batas hanya melibatkan kepala desa sebagai kepala pemerintahan terendah18 sehingga kepentingan nagari sebagai kesatuan masyarakat di pinggirkan, hal tersebut yang mendorong Sutan Khulifah sebagai Rajo Adat Nagari Kambang pada masa itu, tidak mau menandatangani Berita Acara Penataan batas.

Kondisi diatas di juga dialami oleh masyarakat nagari Guguk Malalo Kabupaten Tanah

Datar, dimana menurut masyarakat; pada tahun sekitar 1980’an yaitu dimasa nagari

guguk malalo masih sebagai kesatuan masyarakat hukum dan bukan bentuk pemerintahan terendah; di bagi atas dua desa, yaitu; desa baiang dan desa guguk, dilakukan penataan batas kawasan hutan lindung, namun pemancangan batas di tolak oleh masyarakat nagari dengan mencabut pal batas hutan lindung. Kemudian pada tahun 200019 kembali lagi pemerintah melakukan penataan batas hutan lindung, namun sekali lagi oleh masyarakat nagari menolak penataan batas tersebut dan bahkan menghukum secara adat petugas yang melakukan pemancangan hutan lindung.

Baik di nagari kambang dan Guguk malalo, masyarakat menghargai batas hutan register tahun 1921-1926, yang mengakomodasi kepentingan mereka, atau lazim disebut dengan Boschwijn. Penataan batas, bukan hanya kesalahan teknis di lapangan, seperti; tidak

18

Disaat penataan batas kawasan TNKS; nagari kambang masih berupa kesatuan masyarakat hukum adat (belum menjadi nagari seperti saat ini) dan pemerintahan terendahnya berada di pemerintahan desa yang berjumlah 18 desa dalam wilayah nagari.

19

(15)

15 konsistennya penentuan tapal batas dengan titik koordinat yang telah ditentukan,

sehingga mengakibatkan lahan masyarakat dan bahkan perumahan masyarakat masuk pada wilayah kawasan hutan, namun juga kekhawatiran masyarakat nagari atas

penentuan batas kawasan hutan dengan eksistensi hak ulayat mereka atas hutan. Oleh Dt. Nan Kayo (Ketua KAN Nagari Kambang) menyatakan; ....kami sepakat bila hutan yang ada di nagari guguk malalo di lindungi karena hutan sangat berguna bagi kami untuk

penyediaan air danau singkarak dan mencegah galodoh, namun kami tidak ingin ada

hutan lindung di nagari kami. Kami tidak mau anak cucu dan Kemenakan kami di masa

depan menuntut kepada kami, karena meyerahkan ulayat kami, biarlah hutan di nagari

guguk malalo di lindungi oleh kami... dari pernyataan tersebut terlihat bahwa

masyarakat nagari pada intinya tidak mempermasalahkan fungsi hutannya, karena fungsi hutan sendiri mempengaruhi kepentingan kehidupan mereka, baik itu kepentingan atas hutan, maupun kepentingan ekologi, oleh sebab itulah masyarakat memperuntukkan hutan berdasarkan kearifan tradisional mereka, menjadi hutan larangan, hutan simpanan dan hutan olahan20. Namun penentuan kawasan hutan mengkhawatirkan mereka, karena; beralihnya status hutan yang dulunya hutan ulayat menjadi hutan negara. Alasan

penolakan bukan hanya semata-mata alasan ekonomi, namun jauh dari pada itu, alasan sosial kultural adalah alasan utama.

Pertanggungjawaban pemangku adat (ninik mamak) atas mandat yang di berikan untuk menguasai ulayat (hutan) dari anak kemenakan adalah begitu penting, baik bagi generasi sekarang, maupun bagi generasi berikutnya. Selain itu, antara struktur kelembagaan adat

20Hutan larangan,adalah hutan yang disepakati untuk tidak dikelola atau dilarang untuk di kelola, baik itu pemanfaatan

kayu secara langsung, maupun untuk dibuka menjadi lokasi parak dan ladang. Larangan ini ditujukan sebagai bentuk perlindungan terhadap daerah sekitarnya. Di nagari Kambang hutan larangan ditujukan untuk menjaga fungsi penyerapan air agar kestabilan debit Batang Kambang terjaga. Demikian juga di Nagari Malalo yang ditujukan untuk menjaga daerah tangkapan air sungai dan danau. Hutan larangan diposisikan sebagai Zero Growth20 karena fungsinya yang sangat vital. Namun, bukan berarti hutan larangan tidak bisa di manfaatkan. Di Nagari Kambang anak kamanakan diizinkan untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu, seperti buah jernang dan madu. 1) Hutan Larangan

(16)

16 dengan ulayat adalah satu paket atau yang dikenal dengan Sako Posako, artinya; antara subjek dan objek atas penguasaan hutan (ulayat) tidak bisa dipisahkan, sehingga bila ulayat dirampas, maka legitimasi struktur adat di nagari akan hilang, dan tentunya juga menggerogoti eksistensi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Namun yang menarik adalah,; baik itu masyarakat nagari guguk malalo maupun nagari kambang tidak pernah menolak keberadaan negara republik Indonesia atau pemerintah (pusat dan daerah) terpisah dari nagari. Mereka menerima nagari sebagai bagian integral negara dan atau pemerintah (sistem pemerintahan terendah), namun kekecewaan muncul di saat hak ulayat atas hutan, tata kelola hutan berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal (hukum adat) tidak diakui dan dihargai oleh pemerintah (pusat dan daerah) atau negara. Pernyataan Dt. Nan Kayo (Ketua KAN Nagari Gugukmalalo) perlu kita renungi bersama, beliau

menyatakan; ...dalam melihat konflik ulayat dengan hutan lindung, hendaknya seperti Maambiak Rambuik Dalam Tapuang, Mambunuah Ula’ Dalam Baniah, yaitu dengan mengatur melalui perna yang mengukuhkan bahwa hukum adat adalah hukum yang

berlaku atas hutan di nagari guguk malalo... Artinya ini menunjukkan fleksibilitas masyarakat nagari atas negara dan atau hukum negara, sehingga nagari sebenarnya ingin sekali terintegrasi dalam negara kesatuan dan yang penting oleh mereka adalah;

pengakuan dan perlindungan hak ulayat mereka atas hutan.

4. Dampak Turunan

(17)

17 pendidikan masyarakat, proses pengalihan profesi lama (memungut hasil hutan) dengan profesi baru seperti; nelayan tidak mampu dilakukan oleh masyarakat, walaupun

kambang berada di tepi pantai, karakteristik masyarakat koto pulai misalnya lebih berorientasi darat (bertani dan memungut hasil hutan) berbeda dengan masyarakat yang ada di sekitar pantai sehingga hal ini baik sadar maupun tidak sadar menciptakan proses pemiskinan.

Tidak jauh berbeda dengan nagari kambang, nagari guguk malalo mengalami hal serupa. Dalam pemanfaatan manau misalnya; sekitar 150 an kepala keluarga memanfaatkan manau untuk dijual langsung, maupun sebagai bahan baku kerajinan. Dengan

diberlakukannya, Perda kabupaten tanah datar No.18 tahun 2003 tentang pemanfaatan hasil hutan ikutan, yang mengikuti logika UUK dimana tidak dikenal hutan adat (ulayat) dan tata kelola hutan oleh masyarakat nagari, membuat otoritas Pemda (bupati) atas penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan (perizinan) begitu dominan, disamping tidak dikenalnya institusi nagari dalam pemanfaatan hasil hutan non kayu (hanya mengenal koperasi), disamping itu perda ini juga memberlakukan ancaman pidana (pelanggaran), tak pelak lagi kebijakan tersebut membatasi masyarakat nagari guguk malalo dalam mengelola manau.

Disamping dampak diatas, dampak lainnya adalah hilangnya kontrol masyarakat nagari atas hutannya. Dengan hilangnya kontrol masyarakat nagari atas hutan, mengakibatkan aktifitas pembalakan kayu diluar kuasa masyarakat nagari. Pada kawasan TNKS

misalnya; terjadi pengancaman kepada aparat pemerintah nagari oleh oknum aparat keamanan yang memanfaatkan penduduk setempat karena melarang aktifitas pembalakan kayu. Otoritas nagari dan atau pemangku adat atas hutan semakin lama semakin

menghilang, tentunya pengurusan hutan ( terutama; pengamanan hutan) tidaklah sanggup dilakukan hanya oleh dinas kehutanan dan atau kepolisian, partisipasi masyarakat sangat diharapkan.

(18)

18 Nagari guguk malalo misalnya; sejak diberlakukannya sistem pemerintahan desa, yang kemudian dilakukan pemecahan-pemacahan jorong menjadi desa, salah satunya; asam pulau yang dulunya merupakan bagian dari nagari guguk malalo dipisahkan dan menjadi desa tersendiri di wilayah administrasi kabupaten padang pariaman. Sejak pemerintahan nagari diberlakukan kembali, asam pulau tidak masuk bagian dari nagari guguk malalo, namun bagian dari nagari anduring kabupaten padang pariaman. permasalahan terjadi dikala batas nagari secara adat dengan administrasi pemerintahan tidak disepakati secara jelas, sehingga saat ini batas nagari yang notabene mempunyai hasil hutan kayu menurut versi masyarakat dimanfaatkan oleh oknum masyarakat asam pulau. Hal ini

mengkhawatirkan nagari guguk malalo, karena; kayu dibalak tersebut berada di wilayah ulayat nagari malalo, dan para pemangku adat tidak kuasa melarang aktifitas tersebut, disisi lain kekhawatiran masyarakat akan dampak pembalakan kayu adalah bencana longsor yang akan menimpa nagari malalo.

Rentetan dampak lainnya adalah; Pertama, lunturnya pola pengelolaan komunal dan pengelolaan berdasarkan nilai-nilai adat, Kedua munculnya sikap pragmatisme yang cenderung destruktif oleh beberapa oknum masyarakat dalam memanfaatkan hutan akibat kekecewaan dan lunturnya pola pengelolaan hutan berdasarkan nilai adat (kearifan lokal),

Ketiga, ketimpangan ekonomi dalam pemanfaatan hutan, Keempat, ancaman

kriminalisasi terhadap masyarakat adat, dan Kelima, Potensi konflik horizontal antar masyarakat adat, serta Keenam, ancaman bencana ekologis.

Dari sisi pemerintah dampak yang muncul adalah; Pertama, Minim dukungan

(19)

19 rehabilitasi maupun untuk penanggulangan bencana ekologis. Selain itu dampak juga berakibat bagi hutan, yaitu; deforestasi akibat lemahnya pengawasan dan pragmatisme masyarakat yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum pemerintah dan atau pengusaha nakal untuk memanfaatkan hutan (pembalakan kayu) secara destruktif.

5. Kesimpulan

1. Nagari adalah masyarakat hukum adat sekaligus sistem pemerintahan terendah berdasarkan hak asal usul.

2. Hak ulayat atas hutan oleh masyarakat nagari adalah hak bawaan yang telah ada sejak masyarakat nagari tersebut terbentuk, namun kebijakan kehutanan (nasional dan daerah) belum akuntebel dalam perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat (nagari) atas hutan.

3. Proses pengukuhan kawasan hutan belum partisipatif sehingga melahirkan konflik-konflik di lapangan.

4. Konflik tersebut merupakan konflik tenurial antara masyarakat nagari dengan pemerintah, yang kemudian melahirkan berbagai dampak turunan bagi masyarakat nagari, pemerintah dan hutan itu sendiri.

5. kebijakan pemerintahan desa di masa ORBA ternyata masih meninggalkan dampak terhadap tenurial (hak ulayat atas hutan) masyarakat nagari terutama yang

berhubungan dengan batas antar nagari.

6. Rekomendasi

1. Perlunya komunikasi antar pihak untuk mencoba membangun kesepahaman antar pemangku kepentingan, terutama antara nagari dengan pemerintah yang

(20)

20 2. Perlunya inventarisasi ulang kawasan hutan, terutama yang berhubungan dengan

hak-hak yang melekat (hak ulayat) di dalam kawasan hutan.

3. Perlunya kebijakan daerah untuk mengakui dan melindungi hak ulayat atas hutan oleh masyarakat hukum adat, yang sebenarnya telah disinggung oleh Perda Propinsi No.9/2000 yang kemudian dirubah dengan Perda No. 2/2007 tentang Pemerintahan Nagari yang kemudian diikuti oleh pemerintah kabupaten di Sumatera Barat. 4. Perlunya merancang Program pengelolaan hutan berbasis nagari, yang substansinya

bukan hanya pada aspek pemanfaatan, namun juga mendorong pola-pola kearifan lokal yang ada di masing-masing nagari.

(21)

21

Daftar Pustaka.

Acquaye, Ebenezer, ”Principles and Issues”, dalam land tenure and rural productivity

in the pacific island,

Departemen Kehutanan, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006-2005, Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta, 2006.

Firdaus, Asep Yunan, dkk, Mengelola hutan dengan memenjarakan manusia, HuMa, SWAMI, Samdhana Institute, 2007.

Firmansyah, Nurul, Naldi Gantika, Muhammad Ali, Dinamika Hutan Nagari Di Tengah Jaring-Jaring Hukum Negara, HuMa – Qbar, Jakarta, 2007.

Firmansyah, Nurul. Laporan Penelitian; Dampak Kebijakan Kehutanan Terhadap Tenurial Masyarakat Nagari di Nagari Kambang (kab, Pessel), Nagari Guguk

Malalo (kab, Tanah Datar), HuMa – Qbar, Dalam Proses Pencetakan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat sebuah Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional

Masyarakat Hukum Adat Sedunia, Komnas Ham, Jakarta, 2006.

Kurniawarman, Kajian Hukum tentang peluang dan kendala bagi kebijakan daerah dalam penguatan tenurial adat, sebuah Makalah dalam Diskusi Publik

Menegaskan tenurial masyarakat adat/ nagari atas hutan, diselenggarakan oleh Qbar dan HuMa, Padang, 2007.

(22)

22 Lembaga Study dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Sumber daya alam untuk rakyat,

sebuah modul lokakarya penelitian hukum kritis-partisipatif bagi pendamping

hukum rakyat, Jakarta, 2000.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum waktu pensiun itu, semuanya harus bekerja, tetapi sesudah pensiun malah semuanya terjamin, ya itu yang menyebabkan saya ingat bahwa orang lain tidak pernah makan roti

Dilihat dari kemudahan untuk melepaskan atom hidrogen maka adanya gugus substituen pendonor elektron pada posisi para dapat meningkatkan aktivitas antioksidan sedangkan gugus

Salah satu fenomena baru dari keragaman Islam yang kini muncul secara relatif meluas di Indonesia ialah gerakan yang memperjuangkan penerapan syari’at Islam

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut; (1) Bagaimanakah menentukan kelelahan pramugraha pada saat beraktivitas

Ilmu psikologi merupakan ilmu yang secara mendalam mempelajari perilaku manusia serta proses mental yang melatarbelakangi perilaku tersebut.. Berbagai pendekatan dan

e) MyCard memberikan keleluasaan/izin kepada Pemprov OKI Jakarta dalam hal penggunaan data yang dimilikinya, penggunaan data analitik yang diperoleh dari system Mycard

Fungsi transfer daya paling besar pada serat optik ring resonator FORR jenis dua input searah. Pengaplikasian serat optik ring resonator FORR sebagai fiber optik

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh plasmodium ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles sp betina yang mengandung plasmodium. Pemukiman masyarakat