• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH Sejarah Nusantara dalam tulisan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH Sejarah Nusantara dalam tulisan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH

Sejarah Nusantara dalam tulisan ini dimaknai sebagai catatan mengenai rangkaian peristiwa yang terjadi di kepulauan antara Benua Asia dan Benua Australia sebelum berdirinya Republik Indonesia.

Daftar isi

 1 Latar belakang

 2 Zaman prasejarah

 3 Periode protosejarah

o 3.1 Kerajaan Hindu/Buddha

o 3.2 Kerajaan Islam

 4 Zaman kolonial

o 4.1 Kedatangan Portugis

o 4.2 Zaman VOC

o 4.3 Zaman Perang Dunia II dan setelahnya

 5 Lihat pula

 6 Referensi

 7 Pranala luar

Latar belakang

(2)

Dua bagian ini bergerak mendekat akibat pergerakan lempengnya, sehingga di saat Zaman Es terakhir telah terbentuk selat besar di antara Paparan Sunda di barat dan Paparan Sahul di timur. Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya mengisi ruang di antara dua bagian benua yang berseberangan. Kepulauan antara ini oleh para ahli biologi sekarang disebut sebagai Wallacea, suatu kawasan yang memiliki distribusi fauna yang unik. Situasi geologi dan geografi ini berimplikasi pada aspek topografi, iklim, kesuburan tanah, sebaran makhluk hidup (khususnya tumbuhan dan hewan), serta migrasi manusia di wilayah ini.

Bagian pertemuan Lempeng Eurasia di barat, Lempeng Indo-Australia di selatan, dan Lempeng Pasifik di timur laut menjadi daerah vulkanik aktif yang memberi kekayaan mineral bagi tanah di sekitarnya sehingga sangat baik bagi pertanian, namun juga rawan gempa bumi. Pertemuan lempeng benua ini juga mengangkat sebagian dasar laut ke atas mengakibatkan adanya formasi perbukitan karst yang kaya gua di sejumlah tempat. Fosil-fosil hewan laut ditemukan di kawasan ini.

Nusantara terletak di daerah tropika, yang berarti memiliki laut hangat dan mendapat penyinaran cahaya matahari terus-menerus sepanjang tahun dengan intensitas tinggi. Situasi ini mendorong terbentuknya ekosistem yang kaya keanekaragaman makhluk hidup, baik tumbuhan maupun hewan. Lautnya hangat dan menjadi titik pertemuan dua samudera besar. Selat di antara dua bagian benua (Wallacea) merupakan bagian dari arus laut dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik yang kaya sumberdaya laut. Terumbu karang di wilayah ini merupakan tempat dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi. Kekayaan alam di darat dan laut mewarnai kultur awal masyarakat penghuninya. Banyak di antara penduduk asli yang hidup mengandalkan pada kekayaan laut dan membuat mereka memahami navigasi pelayaran dasar, dan kelak membantu dalam penghunian wilayah Pasifik (Oseania).

Benua Australia dan perairan Samudera Hindia dan Pasifik di sisi lain memberikan faktor variasi iklim tahunan yang penting. Nusantara dipengaruhi oleh sistem muson dengan akibat banyak tempat yang mengalami perbedaan ketersediaan air dalam setahun. Sebagian besar wilayah mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Bagi pelaut dikenal angin barat (terjadi pada musim penghujan) dan angin timur. Pada era perdagangan antarpulau yang mengandalkan kapal berlayar, pola angin ini sangat penting dalam penjadwalan perdagangan.

(3)

namun kemudian bertemu. Wilayah bagian Paparan Sunda, yang selalu tidak jauh dari ekuator, memiliki fauna tipe Eurasia, sedangkan wilayah bagian Paparan Sahul di timur memiliki fauna tipe Australia. Kawasan Wallacea membentuk "jembatan" bagi percampuran dua tipe ini, namun karena agak terisolasi ia memiliki tipe yang khas. Hal ini disadari oleh sejumlah sarjana dari abad ke-19, seperti Alfred Wallace, Max Carl Wilhelm Weber, dan Richard Lydecker. Berbeda dengan fauna, sebaran flora (tumbuhan) di wilayah ini lebih tercampur, bahkan membentuk suatu provinsi flora yang khas, berbeda dari tipe di India dan Asia Timur maupun kawasan kering Australia, yang dinamakan oleh botaniwan sebagai Malesia. Migrasi manusia kemudian mendorong persebaran flora di daerah ini lebih jauh dan juga masuknya tumbuhan dan hewan asing dari daratan Eurasia, Amerika, dan Afrika pada masa sejarah.

Zaman prasejarah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nusantara pada periode prasejarah

Fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di beberapa tapak di Jawa menunjukkan kemungkinan kontinuitas populasi mulai dari 1,7 juta tahun (Sangiran) hingga 50.000 tahun yang lalu (Ngandong). Rentang waktu yang panjang menunjukkan perubahan fitur yang berakibat pada dua subspesies berbeda (H. erectus paleojavanicus yang lebih tua daripada H. erectus soloensis). Swisher (1996) mengajukan tesis bahwa hingga 50.000 tahun yang lalu mereka telah hidup sezaman dengan manusia modern H. sapiens. [1]

Migrasi H. sapiens (manusia modern) masuk ke wilayah Nusantara diperkirakan terjadi pada rentang waktu antara 70 000 dan 60 000 tahun yang lalu. Masyarakat berfenotipe Austrolomelanesoid, yang kelak menjadi moyang beberapa suku pribumi di Semenanjung Malaya (Semang), Filipina (Negrito), Aborigin Australia, Papua, dan Melanesia, memasuki kawasan Paparan Sunda. Mereka kemudian bergerak ke timur. Gua Niah di Sarawak memiliki sisa kerangka tertua yang mewakili masyarakat ini (berumur sekitar 60 sampai 50 ribu tahun). Sisa-sisa tengkorak ditemukan pula di gua-gua daerah karst di Jawa (Pegunungan Sewu). Mereka adalah pendukung kultur Paleolitikum yang belum mengenal budidaya tanaman atau beternak dan hidup meramu (hunt and gathering).

(4)

Selanjutnya kira-kira 2500 tahun sebelum Masehi, terjadi migrasi oleh penutur bahasa Austronesia dari Taiwan ke Filipina, kemudian ke selatan dan Indonesia, dan ke timur ke Pasifik. Mereka adalah nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara.

Orang Austronesia ini paham cara bertani, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Mereka juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (raja kecil). Kedatangan imigran dari India pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka sistem tata pemerintahan yang lebih maju (kerajaan).

Periode protosejarah

Bas-relief (relief dalam) pada Candi Borobudur, menunjukkan kapal/perahu bercadik khas Nusantara yang digunakan pedagang dari wilayah ini. Perhatikan pula arsitektur rumah panggung di sisi kiri, yang banyak dijumpai di berbagai tempat di Nusantara.

(5)
(6)

 Kesultanan Banten

 Kesultanan Bima

 Kesultanan Bulungan

 Kesultanan Buton

 Kesultanan Cirebon

 Kesultanan Lingga-Riau

 Kesultanan Deli

 Kesultanan Dompu

 Kesultanan Demak

 Kesultanan Kalinyamat

 Kesultanan Gowa

 Kesultanan Jambi

 Kesultanan Kota Pinang

 Kesultanan Kutai

 Kesultanan Langkat

 Kesultanan Pajang

 Kesultanan Mataram

 Kesultanan Kartasura

(7)

 Kesultanan Inderapura

 Kerajaan Sungai Pagu

 Kesultanan Palembang

 Kesultanan Pontianak

 Kesultanan Samawa

 Kesultanan Sambas

 Kesultanan Serdang

 Kesultanan Siak Sri Inderapura

 Kerajaan Tanjungpura

 Kerajaan Iha

 Kerajaan Tanah Hitu

 Kesultanan Ternate

 Kesultanan Tidore

 Kesultanan Buton

 Kerajaan Sumedang Larang

 Kasunanan Surakarta

 Kasultanan Yogyakarta

 Mangkunagaran

(8)

 Kesultanan Malaka

 Kerajaan Pasai

 Kesultanan Banjarmasin

 Kerajaan Linge

 Kesultanan Perlak

 Kesultanan Pasir

 Kesultanan Kotawaringin

 Kerajaan Pagatan

 Kerajaan Tidung

 Kesultanan Sambaliung

 Kesultanan Gunung Tabur

 Kesultanan Mempawah

 Kesultanan Kubu

Zaman kolonial

Kedatangan Portugis

(9)

Pada awal abad ke-16, pelabuhan-pelabuhan perdagangan penting di pantai utara Pulau Jawa sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak, termasuk dua pelabuhan Kerajaan Sunda yaitu Banten dan Cirebon. Khawatir peran pelabuhan Sunda Kelapa semakin lemah, raja Sunda, Sri Baduga (Prabu Siliwangi) mencari bantuan untuk menjamin kelangsungan pelabuhan utama kerajaannya itu. Pilihan jatuh ke Portugis, penguasa Malaka. Dengan demikian, pada tahun 1512 dan 1521, Sri Baduga mengutus putra mahkota, Surawisesa, ke Malaka untuk meminta Portugis menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, serta memberi hak membangun benteng di Sunda Kelapa.[3]

Pada tahun 1522, pihak Portugis siap membentuk koalisi dengan Sunda untuk memperoleh akses perdagangan lada yang menguntungkan. Tahun tersebut bertepatan dengan diselesaikan penjelajahan dunia oleh Magellan.

Komandan benteng Malaka pada saat itu adalah Jorge de Albuquerque. Tahun itu pula dia mengirim sebuah kapal, São Sebastião, di bawah komandan Kapten Enrique Leme, ke Sunda Kelapa disertai dengan barang-barang berharga untuk dipersembahkan kepada raja Sunda. Dua sumber tertulis menggambarkan akhir dari perjanjian tersebut secara terperinci. Yang pertama adalah dokumen asli Portugis yang berasal dari tahun 1522 yang berisi naskah perjanjian dan tandatangan para saksi, dan yang kedua adalah laporan kejadian yang disampaikan oleh João de Barros dalam bukunya "Da Asia", yang dicetak tidak lama sebelum tahun 1777/78.

Menurut sumber-sumber sejarah ini, raja Sunda menyambut hangat kedatangan orang Portugis. Saat itu Prabu Surawisesa telah naik tahta menggantikan ayahandanya dan Barros memanggilnya "raja Samio". Raja Sunda sepakat dengan perjanjian persahabatan dengan raja Portugal dan memutuskan untuk memberikan tanah di mulut Ciliwung sebagai tempat berlabuh kapal-kapal Portugis. Selain itu, raja Sunda berjanji jika pembangunan benteng sudah dimulai maka beliau akan menyumbangkan seribu karung lada kepada Portugis. Dokumen kontrak tersebut dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal; keduanya ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522.

(10)

Sunda tidak menandatangani dokumen, mereka melegalisasinya dengan adat istiadat melalui "selamatan". Sekarang, satu salinan perjanjian ini tersimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Pada hari penandatangan perjanjian tersebut, beberapa bangsawan Kerajaan Sunda bersama Enrique Leme dan rombongannya pergi ke tanah yang akan menjadi tempat benteng pertahanan di mulut Ci Liwung. Mereka mendirikan prasasti, yang disebut Luso-Sundanese padrão, di daerah yang sekarang menjadi Kelurahan Tugu di Jakarta Utara. Adalah merupakan kebiasaan bangsa Portugis untuk mendirikan padrão saat mereka menemukan tanah baru. Padrão tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Portugis gagal untuk memenuhi janjinya untuk kembali ke Sunda Kalapa pada tahun berikutnya untuk membangun benteng dikarenakan adanya masalah di Goa/India.

Perjanjian inilah yang memicu serangan tentara Kesultanan Demak ke Sunda Kelapa pada tahun 1527 dan berhasil mengusir orang Portugis dari Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Tanggal ini di kemudian hari dijadikan hari berdirinya Jakarta.

Gagal menguasai pulau Jawa, bangsa Portugis mengalihkan perhatian ke arah timur yaitu ke Maluku. Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan para pemimpin lokal, bangsa Portugis mendirikan pelabuhan dagang, benteng, dan misi-misi di Indonesia bagian timur termasuk pulau-pulau Ternate, Ambon, dan Solor. Namun, minat kegiatan misionaris bangsa Portugis terjadi pada pertengahan abad ke-16, setelah usaha penaklukan militer di kepulauan ini berhenti dan minat mereka beralih kepada Jepang, Makao dan Cina; serta gula di Brasil.

Kehadiran Portugis di Indonesia terbatas pada Solor, Flores dan Timor Portugis setelah mereka mengalami kekalahan dalam tahun 1575 di Ternate[4], dan setelah penaklukan Belanda atas Ambon, Maluku Utara dan Banda.[5] Pengaruh kedatangan bangsa Portugis terhadap budaya Indonesia antara lain: sejumlah nama marga Portugis pada masyarakat keturunan Portugis di Tugu, Jakarta Utara, musik keroncong, dan nama keluarga di Indonesia bagian timur seperti da Costa, Dias, de Fretes, Gonsalves, Queljo, dll. Dalam bahasa Indonesia juga terdapat sejumlah kata pinjaman dari bahasa Portugis, seperti sinyo, nona, kemeja, jendela, sabun, keju, dll.

(11)

Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VOC yang merupakan perserikatan dagang Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham.

Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara.

VOC terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland), Enkhuizen, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini berkumpul sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan delegasi ke dalam tujuh belas sesuai dengan proporsi modal yang mereka bayarkan; delegasi Amsterdam berjumlah delapan.

Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda.

Sejarah nama Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Untuk artikel tentang nama orang-orang Indonesia, lihat Nama Indonesia

(12)

dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax

sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih

sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

(13)

Ki Hajar Dewantara, salah satu pribumi yang pertama kali menggunakan nama Indonesia ketika mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau.

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian

Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")),

yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):

"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".

(14)

untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):

"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim

yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"

Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian

(1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

(15)

pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")..

Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1]

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,

"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische

Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama

(16)

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)".

Referensi

Dokumen terkait

Hambatan dalam penyelesaian konflik sosial yang timbul dari pemasangan tapal batas Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang berbasis Hukum Kearifan Lokal

Selanjutnya anda diminta untuk mengembangkan pengalaman belajar pembentukan perkembangan berpikir C2 danC3 peserta didik dari mata pelajaran yang anda ampu

Sebagai akibat hukumnya sanksi-nya bila pelaku usaha tetap mencantumkan klausula eksonerasi dalam karcis parkir yang mereka buat, maka Pasal 18 ayat 3 menetapkan, “Setiap klausula

HUBUNGAN LATAR BELAKANG SOSIAL EKONOMI DAN MOTIVASI BELAJAR WARGA BELAJAR Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.. tahap penelitian yaitu

Berdasarkan hasil analisa data warehouse dan penerapan association rule mining dengan asumsi setiap dim kontraktor, biasanya produk yang dibeli cenderung tetap di masa

PT Krakatau Steel Tbk telah menerima pasokan slab baja perdana dari PT Krakatau Posco (KS Posco), usaha patungan dengan Posco Korea, yang merupakan bagian dari

bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas, perlu diwujudkan adanya suatu Sistem Informasi Ekspor Impor Operasional secara terpadu, efektif dan efisien antara Direktorat Jenderal