• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI DAN REPRODUKSI SIMBOLIK TRADISI DALAM PERTUNJUKAN TEATER REMAJA DI KOTA SOLO Oleh Isa Ansari, M.Hum (Jurusan Pedalangan, Program Studi Seni Teater) Abstrak - KONSTRUKSI DAN REPRODUKSI SIMBOLIK TRADISI DALAM PERTUNJUKAN TEATER REMAJA DI KOTA SOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONSTRUKSI DAN REPRODUKSI SIMBOLIK TRADISI DALAM PERTUNJUKAN TEATER REMAJA DI KOTA SOLO Oleh Isa Ansari, M.Hum (Jurusan Pedalangan, Program Studi Seni Teater) Abstrak - KONSTRUKSI DAN REPRODUKSI SIMBOLIK TRADISI DALAM PERTUNJUKAN TEATER REMAJA DI KOTA SOL"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

1

KONSTRUKSI DAN REPRODUKSI SIMBOLIK TRADISI DALAM PERTUNJUKAN TEATER REMAJA DI KOTA SOLO

Oleh Isa Ansari, M.Hum

(Jurusan Pedalangan, Program Studi Seni Teater)

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan proses reproduksi dan konstruksi Tradisi Jawa oleh kelompok teater remaja di Kota Solo. Berdasarkan pada survey yang dilakukan terdapat 15 kelompok teater remaja di Kota Solo yang berada di sekolah menengah atas. Kelompok tersebut menggunakan tradisi sebagai materi pertunjukan dengan memanfaatkan disposisi mental dan ketubuhan yang telah menubuh di dalam diri mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan cultural reproduction yang berkembang dikalangan ilmuan social dan budaya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara wawancara, survey, mengambil foto, dan kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa rekonstruksi dan reproduksi tradisi Jawa melalui disposisi mental dan ketubuhan menghasilkan negosiasi dan transformasi sebagi bentuk konstruksi tradisi. Adapun reproduksi digunakan untuk mereproduksi identitas kejawaan mereka. Akhirnya, penelitian ini menunjukkan bahwa teater sebagai arena dimana banyak kepentingan yang berkontestasi untuk mendapatkan perhatian dan dukungan dari penonton.

Key Word : Konstruksi, Reproduksi, dan Tradisi Jawa

A. Pendahuluan

Secara umum setidaknya ada tiga gejala kebudayaan yang terjadi di Kota

Solo. Pertama adalah globalisasi yang dimainkan oleh kekuatan pasar sebagaimana

yang telah disampaikan diatas. Gejala ini ditandai dengan berdirinya berbagai

pusat-pusat perbelanjaan baik yang secara vulgar menyebut sebagai pusat-pusat perbenlanjaan

modern ataupun yang kamuflase menyebut sebagai pusat perbelanjaan tradisional.

Penanda lainnya adalah fashion, informasi dan teknilogi yang pada dasarnya

merupakan ekspansi dari produk global. Gejala kedua adalah citra solo sebagai kota

budaya, bahkan jauh lebih dalam dari hal tersebut yakni sebagai ruh atau spirit dari

budaya Jawa. Oleh karenanya kita banyak menemukan berbagai aktifitas, ornamen,

(2)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Perkembangan budaya tidak terlepas dari peran lembaga pendidikan

formal ataupun non formal, pasar, pemerintah dan kraton yang awalnya sebagai

pusat produksi kebudayaan (Abdullah, 2006 :41-42 ; Kuntowijoyo, 2006 : 6; Kayam, 2001 : 69 ; Williams, 1981) keempat institusi tersebut mempunyai

otoritas yang kuat dalam menumbuh kembangkan kebudayaan. Otoritas

tersebut dapat kita pilah menjadi dua yakni otoritas produktif dan otoritas

reproduktif. Kraton pada dasarnya merupakan kekuatan otoritas produktif,

karena disinilah budaya diproduksi dan disosialisasikan kepada rakyatnya. Salah

satu contohnya adalah wayang kulit, kraton sangat berperan dalam menentukan

pakem-pakem berupa etika dan estetika pedalangan, selain juga abdi-abdi

penguasa dan pujangga kraton yang menghasilkan berbagai lakon dan menjadi

rujukan para dalang. Begitu juga dengan wayang orang yang merupakan

kesenian kraton (Sumardjo, 1997:33-35). Adapun negara dan lembaga

pendidikan, di satu sisi keduanya menjadi otoritas produktif karena keduanya

berusaha menjaga ke“asli“an suatu kebudayaan (tradisi) dan menerapkan

nilai-nilai tradisi sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain

keduanya terikat dengan fungsi masing-masing yang berorientasi pada

perubahan.

Sedangkan pasar yang berorientasi pada ekonomi menjadikan budaya

sebagai komoditas. Untuk mencapai tujuan tersebut, budaya tidak lagi di

produksi, melainkan di reproduksi yang mengikuti keinginan dan kepentingan

konsumen. Dalam konteks ini tradisi terutama kesenian yang merupakan produk

(3)

2 bawa sebagaimana yang ditunjukkan oleh Clark (2008) dan Stange (2001) dalam

dunia politik, Anderson (2008) dalam konteks psikologis dan sosial, dan Niels

Mulder dalam dunia batin orang Jawa.

Proses introduksi, integrasi dan ekspansi pasar sebagai wujud dari

globalisasi (Abdullah,2006:16-19) merubah cara pandang masyarakat terhadap

tradisi terutama yang terkait dengan aspek nilai, norma, dan dogma. Tradisi

bukan lagi sesuatu yang diwariskan secara generis yang mempunyai kekuatan

spiritual dan ikatan sosial yang kuat, namun merupakan hasil negosiasi dari

berbagai otoritas yang berkepentingan terhadap tradisi.

Secara umum setidaknya ada tiga gejala kebudayaan yang terjadi di Kota

Solo. Pertama adalah globalisasi yang dimainkan oleh kekuatan pasar

sebagaimana yang telah disampaikan diatas. Gejala ini ditandai dengan

berdirinya berbagai pusat-pusat perbelanjaan baik yang secara vulgar menyebut

sebagai pusat perbenlanjaan modern ataupun yang kamuflase menyebut sebagai

pusat perbelanjaan tradisional. Penanda lainnya adalah fashion, informasi dan

teknilogi yang pada dasarnya merupakan ekspansi dari produk global. Gejala

kedua adalah citra solo sebagai kota budaya, bahkan jauh lebih dalam dari hal

tersebut yakni sebagai ruh atau spirit dari budaya Jawa. Oleh karenanya kita

banyak menemukan berbagai aktifitas, ornamen, tulisan yang berbasis pada

budaya (baca: tradisi) Jawa

Gejala yang ketiga adalah keberadaan kelompok-kelompok teater

remaja yang saat ini mengalami perkembagan yang cukup signifikan. Hal ini

ditandai dengan banyaknya kelompok teater remaja yang berdiri di

sekolah-sekolah menengah atas di Kota Solo seperti, di SMA N 7, SMA Santo Joesep, SMA

Batik 2, SMA N 8, dan SMA N 1. Berkembangnya kelompok teater remaja ini

tentunya membawa warna tersendiri terhadap kehidupan teater di Kota Solo,

terutama ketika Solo mencitrakan diri sebagai kota budaya dan sebagai spirit

(4)

3 Interaksi antara tradisi yang terformulasikan dalam slogan “Solo the

Spirit of Java” dengan ekspresi kesenian remaja di Kota Solo yang berbasis teater

modern menjadi fokus penelitian ini. Penulis berasumsi bahwa proses interaksi

tersebut mengarah pada reproduksi dan konstruksi tradisi Jawa dalam ekspresi

seni teater remaja. Reproduksi dan konstruksi yang terjadi terhadap tradisi

secara umum dapat diartikan sebagai jawaban dari ketakutan sebagian

masyarakat terhadap eksistensi tradisi dalam ruang sosial baru saat ini. Karena

dalam ruang sosial baru yang serba cepat dan instan sebagai konsekwensi dari

laju perkembangan transportasi dan informasi memunculkan beberapa implikasi terhadap masyarakat. Pertama adalah munculnya ide-ide kreatif untuk

mengembangkan kebudayaan yang dimilikinya sebagai bentuk ekspresi

kebudayaan, terutama adalah terkait dengan tradisi. Kedua, terkait dengan

pemberian makna terhadap tindakan-tindakan individu ataupun simbol yang

menjadi identitas suatu kebudayaan (Abdullah, 2006:42).

Terdapat tiga persoalan yang menjadi fokus penelitian ini Pertama

adalah terkait dengan konsepsi masyarakat, terutama adalah para remaja yang

menjadi pelaku teater mengenai tradisi. Konsep dasar ini penting untuk

diketengahkan karena berangkat dari hal tersebutlah kemudian mereka

mengekspresikannya dipanggung atau dalam proses berteater. Kedua adalah

terfokus pada pengalaman-pengalaman individu terhadap tradisi. Karena

pengalaman ini menjadi model untuk aktifitas berteater mereka. Dengan kata

lain bahwa pengalaman ini menjadi referensi yang ada pada diri mereka untuk

mewujudkan ekspresi berteater. Ketiga adalah pada tataran bentuk atau

perwujudan dari konstruksi dan reproduksi tradisi baik pada saat proses

(5)

4

BAB II. Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai teater di Indonesia masih terasa cukup langka, terutama

terkait dengan teater rakyat yang ada di nusantara. Hal ini akan semakin sulit

kita temui jika dispesifikkan pada perspektif tertentu, seperti yang akan penulis

lakukan yakni melihat teater dalam kajian reproduksi dan konstruksi budaya.

Beberapa buku yang penulis dapatkan lebih banyak terfokus pada teater dalam

pengertian yang sangat umum.

Arthur S. Nalan dalam Teater Egaliter (2006) mengupas secara kritis

teater rakyat yang ada di bagian barat pulau Jawa (Jawa Barat). Dari perspektif

yang digunakan buku ini memang tidak menyebutkan secara spesifik, namun dari

kajian yang dilakukan buku ini ingin mengungkapkan hidden culture dalam

pertunjukan-pertunjukan teater rakyat di Jawa Barat. Berangkat dari

pemahaman total theatre dan intimate theatre, Arthur S. Nalan menunjukkan

unsur terpenting dalam teater tradisi khususnya di Jawa Barat yakni satu

kesatuan antara musik, suara dan gerak, dan kedekatan antara pemain dan

penonton menjadi identitas gelobal teater tradisi di Indonesia.

Perkembangan Teater dan Drama Indonesia karya Jakob Sumardjo (1997)

memberikan gambaran yang luas mengenai bentuk-bentuk teater di Indonesia.

Secara garis besar dia membagi dua perkembangan teater di Indonesia yakni

teater tradisi yang dikelompokkan menjadi teater tradisi yang berbasis kraton

dan teater tradisi yang berbasis rakyat. Kemudian adalah teater modern yang

perintisan awalnya berasal dari teater bangsawan yang berkembang di Penang

Malaysia. Di Indonesia teater modern ini dimulai dengan berkembangnya Komedi

Stamboel pada tahun 1891.

Terkait dengan teater tradisi, buku Mengenal Teater Tradisional di

Indonesia (2007) karya A Kasim Achmad memberikan gambaran umum

(6)

5 bagian, yakni "Pendahuluan", "Asal Mula Teater Tradisional", "Wayang sebagai

Teater Tutur dengan Peragaan, Ciri, Fungsi", "Penyajian Pementasan Teater

Tradisional", dan terakhir "Teater Tradisional dari Berbagai Daerah". Kurangnya

pengenalan masyarakat terhadap kekayaan dan keragaman teater tradisional di

Indonesia, serta kurangnya buku-buku tentang keragaman teater tradisional

menjadi alasan Kasim untuk mengumpulkan tulisan-tulisannya tentang teater

tradisional dari berbagai daerah.

Terkait dengan objek material penelitian ini, penulis belum menemukan

referensi yang pas baik dari sisi obyek material ataupun obyke formalnya. Tentu saja hal ini menjadi peluang bagi peneliti teater yang lain untuk melakukan

penelitian ataupun kajian-kajian yang terfokus pada teater remaja.

Namun jika kita melihat obyek formal teater secara umum, maka

terdapat beberapa kajian yang mengerah pada perspektif reproduksi dan

konstruksi terutama terkait dengan dunia pewayangan yang juga merupakan

bagian dari teater. Pertama adalah kajian wayang yang melihat sisi perubahan

bentuk dan makna yang dilakukan oleh Umar Kayam berjudul Kelir Tanpa Batas

(2001). Buku tersebut walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan pendekatan

reproduksi kebudayaan, namun dari bahasan yang diuraikan pada setiap bab

menunjukkan adanya reproduksi makna dan bentuk pertunjukan wayang yang

dilakukan oleh para dalang. Bentuk reproduksi tersebut dapat dilihat dengan

mencairnya batas-batas formal estetika wayang, seperti kaburnya batas gaya

yogyakarta, Solo, banyumas dan Jawa Timur.

Kedua adalah Paul Stange seorang antropolog dari Murdoch University

menulis sebuah buku yang berjudul Politik Perhatian, Rasa Dalam Kebudayaan

Jawa (2001). Dua bab dalam buku tersebut menguraikan tentang penggunaan

simbol wayang yang lekat dengan masyarakat Jawa dan penggunaan

simbol-simbol tokoh dalam pewayangan guna mistifikasi kekuasaan politik, terutama

(7)

6 dan bentuk reproduksi, namun hal tersebut dapat kita fahami dari uraian yang

menunjukkan pada upaya reeksistensi wayang dalam dunia politik.

Ketiga, Wayang Mbeling Sastra Indonesia Menjelang Akhir Orde baru

terbit tahun 2008 merupakan disertasi dari Marshall Alexander Clark secara

detail menggambarkan peran wayang dalam kancah Politik. Wayang yang

menurutnya sebagai medium komunikasi sosiopolitis yang diperankan oleh dua

kelompok yang saling bersebrangan. Penguasa (Soekarno dan Soeharto)

menjadikan wayang sebagai propaganda politik untuk mensosialisasikan

berbagai kebijakan dan untuk menjangkarkan kekuasaan mereka di masyarakat. Di sisi lain budayawan dan seniman kritis juga memanfaatkan wayang sebagai

medium perlawanan atas ketidaksetujuan mereka terhadap penguasa.

Keempat, Kuwato dalam tesis S2 nya yang berjudul Pertunjukan Wayang

Kulit Di Jawa Tengah Suatu Alternatif Pembaharuan (Suatu studi kasus)

menguraikan tentang wayang Pantab (wayang dua layar). Berdasarkan analisis

yang dilakukkannya terhadap pertunjukkan wayang dua layar dengan dalang

Djoko Hadiwijoyo dan Purbo Asmoro dengan cerita Kumbakarna Gugur yang

digelar di Halaman kantor Pemerintah Daerah TK I Jawa Tengah di Semarang

cenderung bermuatan politis. Menurutnya wayang Pantab dijadikan sebagai

propaganda politik serta pemasyarakatan program pemerintah Orde Baru.

Singkatnya bahwa wayang Pantab selain sebagai hiburan adalah juga untuk

legitimasi politik kekuasaan khususnya Golongan Karya sebagai partai

pemerintah yang berkuasa pada saat itu.

Tulisan Paul Stange, Marshall Alexander Clark dan Kuwato juga dapat

dilihat dalam konteks rekonstruksi, karena terkait erat dengan bagaimana

kekuasaan dimapankan. Dalam beberapa hal, konstruksi dan reproduksi menjadi

dua bahasan yang kait mengkait.

Berangkat dari paparan pustaka diatas, dunia seni pertunjukan teater

belum secara maksimal dieksplorasi dalam penelitian yang dilakukan. Terutama

(8)

7 adalah salah satu gejala kebudayaan yang mengambil banyak perhatian kalangan

muda. Apa yang diuraikan dalam hasil penelitian ini pada dasarnya adalah

uraian-uraian dasar terkait dengan keberadaan teater remaja dalam interaksinya

dengan tradisi.

BAB III Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini meliputi :

1. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan

ekspresi kesenian kelompok teater remaja di Kota Solo.

2. Mengetahui tekstur pertunjukan teater remaja.

3. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan konstruksi tradisi dalam pertunjukan

teater remaja

Manfaat Penelitian

Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi

Prodi Teater dalam membangun pemahaman-pemahaman strategis untuk

pembinaan kelompok-kelompok teater remaja di Kota Solo. Bagi mahasiswa,

dosen dan seluruh civitas akademika ISI Surakarta, hasil penelitian ini dapat

dimanfaatkan untuk pengembangan keilmuan terutama dalam bidang

antropologi budaya dan perubahan sosial.

BAB III. Metode Penelitian

A.Pendekatan dan Lokasi Penelitian

Perubahan dalam upaya eksistensi inilah yang dibaca sebagai reproduksi.

(9)

8 mendefinisikannya sebagai suatu proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai

budaya yang masih eksis dari generasi ke generasi. Reproduksi kebudayaan

merujuk pada mekanisme untuk keberlangsungan dan eksistensi dari

pengalaman-pengalaman budaya terdahulu (Bilton, 1996). Hal ini berarti bahwa

disatu sisi bentuk tradisi masih dipertahankan, namun disisi lain

kebutuhan-kebutuhan saat ini juga diakomodir. Raymond Williams menegaskan hal tersebut

di dalam bukunya yang berjudul Culture, menurutnya reproduksi diperlukan

sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaan. Reproduksi menurutnya

adalah a copy atau making a copy. Kata a copy (salinan/tiruan), seperti proses mekanik atau elektronik yang menghasilkan sesuatu sebagaimana wujud aslinya.

Adapun making a copy seperti yang terjadi dalam proses biologi yang bertujuan

untuk membuat suatu organisme baru, dimana proses berlangsung lama dan

terkadang terjadi perubahan pada bentuk fisik dan intrinsiknya (Williams,

1981:185). Dari kedua pengertian etimologis tersebut, reproduksi pada dasarnya

adalah suatu upaya untuk mempertahankan suatu bentuk.

Dalam ranah budaya, yang terjadi adalah making a copy dimana

perubahan yang terjadi dalam waktu yang lama dan mengikuti kebutuhan

komunitas yang lebih besar sebagaimana yang dikemukakan oleh Barucha diatas,

sehingga terkadang hal tersebut tidak disadari oleh pendukung kebudayaan

tersebut. Reproduksi di sini dapat terjadi pada bentuk fisik, simbol ataupun

makna yang menjadi bagian integral dari suatu kebudayaan.

Secara terminologis reproduksi kebudayaan diartikan sebagai suatu

proses aktif yang menegaskan keberadaan suatu kebudayaan dalam ruang sosial

yang berbeda, sehingga mengharuskannya untuk melakukan adaptasi bagi

kelompok yang memilki latar belakang yang berbeda (Abdullah, 2006 : 41).

Proses aktif di sini adalah keterlibatan secara intent dari budaya asal (tradisi)

dalam ruang sosial yang berbeda tersebut, selain itu dalam proses tersebut,

budaya tradisi melakukan proses negosiasi untuk tetap mempertahankan tradisi

(10)

9 Proses reproduksi yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah proses

yang dilakukan oleh lembaga-lembaga non formal yakni kelompok teater remaja.

Kelompok teater remaja adalah kelompok-kelompok teater yang berada di

sekolah-sekolah menengah atas yang ada di Kota Solo. Penulis tertarik untuk

melihat hal ini karena, ada kecenderungan dikalangan remaja untuk menjauh

dari tradisi yang mereka anggap out of date dan terlalu njelimet.

Dalam penelitian ini reproduksi tersebut dilihat sebagai gejala

kebudayaan, sehingga pendekatan yang sangat memungkinkan untuk

menjelaskan gejala kebudayaan tersebut adalah pendekatan antropologi budaya dengan menggunakan perspektif cultural reproduction (reproduksi kebudayaan).

Dalam memahami gejala kebudayaan, perspektif cultural reproduction

beranggapan bahwa kebudayaan yang hadir saat ini adalah kebudayaan yang

dihasilkan dari proses negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan dengan

kepentingannya masing-masing (Friedman, 1995).

Adapun tradisi yang menjadi fokus penelitian ini adalah tradisi

masyarakat Jawa dalam pengertian yang umum, baik dari segi pitutur, bentuk

pertunjukan ataupun makna-makna yang coba dihadirkan. Dalam konteks

kelompok teater remaja, reproduksi tradisi ini akan dilihat dalam suasana, musik,

spactacle, dialog dan nilai yang dikonstruksi. Oleh karena itu terkadang mereka

memberikan tafsir sendiri atas cerita dari tokoh-tokoh dalam naskah. Begitu juga

dengan masyarakat pendukung kebudayaan mereka memberikan tafsir sendiri

atas simbol-simbol tokoh dalam naskah atau pertunjukan.

Penelitian ini dilakukan di kota Solo yang beberapa tahun terakhir ini

cukup marak dengan kemunculan kelompok-kelompok teater remaja.

Kelompok-kelompok teater remaja ini berada di sekolah-sekolah menengah atas

baik yang negeri atau swasta. Berdasarkan survey yang dilakukan setidaknya

(11)

10 B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini berupa, dokumen, data lapangan yang

didapatkan dari para informan dan pertunjukan teater. Dokumen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah hasil-hasil penelitian terdahulu yang

sesuai dengan tema penelitian ini dan rekaman pertunjukan. Informan terdiri

dari beberapa unsur, pertama dari unsur pelatih, alumni, siswa yang masih aktif

di kelompok teater tersebut. Sumber data juga di dapatkan melalui menyaksikan

langsung pertunjukan teater.

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara. Pertama adalah

dengan studi pustaka yang digunakan untuk mengetahui perkembangan teater,

dan konsep-konsep umum mengenai teater. Di samping itu juga untuk

membandingkan hasil-hasil penelitian terdahulu guna memperkuat data yang

telah didapatkan dari penelitian ini. Kedua adalah teknik Indepth interview atau

wawancara mendalam (Fontana dan Frey, 1994 : 365-366). Wawancara

mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden ini ditujukan untuk

mengetahui pemahaman mengenai persamaan dan perbedaan,

pengklasifikasian, menangkap berbagai istilah-istilah yang dipakai oleh pendukung kebudayaan terkait dengan masalah simbol dan konsepsi yang

mereka gunakan. Untuk mendapatkan data yang detail dan jelas dilakukan

wawancara secara berulang kepada informan atau respoden yang sama dan

didukung dengan alat rekam suara. Ketiga adalah dengan observasi berperan

pasif (Spradley, 1980) yang didukung dengan rekam audio visual yang digunakan

untuk mengamati berbagai peristiwa di masyarakat dan peristiwa dalam suatu

pertunjukan teater.

D.Validitas Data

Untuk menjaga keabsahan data, penelitian ini menggunakan teknik

(12)

11 sumber data artinya, pengumpulan data sejenis melalui berbagai sumber data

yang berbeda. Misalnya data mengenai simbol dalam pertunjukan dapat digali

melalui beberapa unsur informan atau responden yang berbeda, seperti

kalangan seniman, budayawan, birokrat, dan pedagang. Trianggulasi metode,

artinya mengumpulkan data sejenis melalui berbagai metode, seperti data

mengenai simbol dapat diperoleh dengan metode wawancara, observasi dan

dokumen. Review informant, artinya simpulan sementara hasil penelitian

kemudian dimintakan koreksinya kepada informan kunci. Hal ini digunakan

untuk merevisi agar informasi yang diperoleh benar-benar sesuai dengan konteksnya.

E. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini mengikuti apa yang telah dilakukan oleh

Bogdan dan Biklen (1982). Menurutnya ada beberapa proses dalam teknik

analisis lapangan. Pertama, mengambil keputusan untuk mempersempit studi.

Kedua, memutuskan jenis studi yang hendak diselesaikan. Ketiga, membuat

pertanyaan-pertanyaan analitis. Keempat, merencanakan sesi pengumpulan data

berdasarkan temuan pada pengamatan sebelumnya. Kelima, membuat komentar

amatan mengenai gagasan yang muncul dalam, fikiran. Keenam, menyusun

memo mengenai hal yang telah berhasil dipelajari. Untuk analisis datanya

dilakukan model analisis interaktif dari Miles dan Huberman (1984). Menurutnya

ada tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan

simpulan atau verifikasi, yang ketiganya dilakukan dalam bentuk interaktif

dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus. Di sini peneliti bergerak

diantara ketiga komponen tersebut selama proses pengumpulan data penelitian

(13)

12

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Pertunjukan Tradisi di Kota Solo

Kota Solo mencitrakan dirinya sebagai kota budaya dengan slogan ‘Solo

the Spirit of Java” yang terpampang diberbagai tempat di Kota Solo. “Solo The

Spirit of Java” secara umum mengandung arti bahwa “Solo merupakan jiwanya

Jawa”. Dari segi kebahasaan slogan ini dapat diartikan dalam dua hal. Pertama

adalah bahwa kata spirit merujuk pada dunia transendental yang berkaitan

dengan kepercayaan dan keyakinan. Dengan kata lain, kata “spirit” terkait

dengan mentalitas, mistik, dan magis, dengan kata lain spirit mempunyai arti

yang berhubungan dengan keyakinan dalam konteks agama terutama dalam

pandangan orang Jawa. Kedua, di dalam tubuh manusia spirit merujuk pada

sesuatu yang abstrak yang letaknya di dada, seperti pada saat kita menyebut

kata spirit tangan kita selalu menunjuk pada bagian dada yang dikorelasikan

dengan hati atau jantung. Oleh karenanya dalam anggapan umum spirit menjadi

penentu keberlangsungan hidup. Karena spirit di satu sisi digunakan sebagai

motivasi untuk mencapai sesuatu, di sisi lain spirit diartikan jiwa yang

menggerakan tubuh kita. Dari sini dapat kita fahami bahwa slogan tersebut

berupaya mendudukan bahwa Solo sebagai ruh atau jiwa kebudayaan Jawa.

Salah satu manifestasi dari slogan tersebut adalah sebagaimana yang

terlambang dari huruf “O” pertama pada tulisan “SOLO” dari slogan tersebut.

Huruf “O” ini diambil dari bentuk dasar motif batik kota Solo yang juga dikenal sebagai salah satu kota batik di pulau Jawa. Bentuk dasar motif batik ini

(14)

13 parang kusumo, sido asih, sidho luhur, Semen rante, sawat, meru,nogo, burung

dan modang. Motif-motif batik ini menjiwai kehidupan dalam konteks kosmologi

orang Jawa. Namun lebih dari hal tersebut, “Solo the Spirit of Java” ingin

menunjukkan pada dunia bahwa Solo merupakan kota seni dan budaya. Tentu

saja konteks seni dan budaya harus difahami secara lebih luas dengan

mengedepankan tradisi sebagai inspirasi atau bahan dasar dari produk seni dan

budaya tersebut.

Solo dengan jumlah penduduk sekitar 545.653 pada tahun 2012

mempunyai tingkat keberagamaan etnis yang cukup tinggi yang. Namun, kebudayaan di Kota Solo dipengaruhi oleh 3 kelompok etnis, yakni keturunan

Cina, Keturunan Arab dan Jawa. Ketiga kelompok suku bangsa tersebut, sebagian

terpusat dibeberapa tempat di Solo. Etnis Cina sebagian besar terpusat di

daerah-daerah pertokoan, seperti disekitar pasar Gedhe, sepanjang jalan Slamet

Riyadi, dan Kec. Banjar Sari secara umum. Kelompok etnis keturunan Arab

tersebar di daerah Pasar Kliwon, baluwarti, dan gajahan. Adapun etnis Jawa

tersebar diberbagai tempat di Kota Solo.

Keberagaman etnis tersebut tentunya memunculkan keberagamaan

bentuk ekspresi kesenian yang berbasis tradisi. Hal yang menarik dari aktifitas

kesenian tersebut adalah keterlibatan masyarakat Solo dalam aktiftas kesenian

walaupun berbeda suku bangsanya. Dengan kata lain bahwa aktifitas kesenian

tersebut menembus batas-batas budaya. Keterlibatan suku bangsa yang berbeda

ini baik aktif ataupun tidak. Seperti pada pelaksanaan cap go meh yang

melibatkan suku bangsa Jawa sebagai pengiring ataupun pemain barongsai.

Begitu juga pada pelaksanaan Solo Batik Carnaval yang melibatkan kelompok

sukubangsa lain yang ada di Solo.

Dalam konteks seni dan budaya inilah, pertunjukan menjadi kata kunci

untuk memahami Solo sebagai kota budaya. Karena pertunjukan merefleksikan

berbagai hal yang terkait dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan dunia

(15)

14 dilontarkan oleh Victor Turner sebagaimana yang dikutip oleh Lono Simatupang

diatas kita dapat memahami pentingnya pertunjukan dalam pencitraan Solo Kota

Budaya. Hal ini menunjukkan bahwa carnaval, wayang orang, Ketoprak Sriwedari

atau Ketoprak Balekambang, wayang kulit, dan berbagai pertunjukan lainnya

merefleksikan sisitem budaya yang ada di Solo. Bahkan dalam perihal yang

sangat spesifik yakni individu dari masyarakat Solo. Hal ini dapat dilihat dari

unsur tekstur pertunjukan, seperti dialog yang menggunakan bahasa Jawa,

kalaupun menggunakan bahasa Indonesia, terdapat penekanan-penekanan

khusus pada konsonan-konsonan, sehingga rasa yang muncul dari dialog tersebut dominan Jawa. Hal ini semakin diperkuat dengan alur cerita yang

terfokus pada sejarah kehidupan kekuasaan Mataram, atau cerita-cerita raja-raja

Jawa terdahulu. Tokoh yang digunakan adalah juga tokoh yang dikenal dalam

sejarah masyarakat Jawa. Spactacle yang dihadirkan juga sangat Jawa sentris,

seperti kostum pemain, asesoris yang digunakan, artistik terutama musik yang

menjadi pendukung suasana menggunakan alat-alat musik gamelan.

Ragam pertunjukan yang dihadirkan di Kota Solo menarik masa secara

massive untuk hadir di suatu tempat. Kondisi ini tentunya semakin

mempermudah untuk membangun citra Solo sebagai Kota budaya, atau secara

lebih spesifik Solo sebagai Kota Pertunjukan. Statement ini diperkuat dengan

antusiasme dan partisipasi masyarakat ketika berlangsungnya pertunjukan. Pada

perayaan karnaval wayang dalam rangka memperingati hari jadi Kota Solo

misalnya, masyarakat dari berbagai lapisan, golongan, agama dan status sosial

ikut terlibat sebagai peserta karnaval. Sebagian yang lain tumpah ruah

disepanjang Jalan Slamet Riyadi untuk menyaksikan arak arakan karnaval

wayang.

Begitu juga dengan pertunjukan teater memberikan gaya tarik tersendiri

bagi keompok-kelompok tertentu yang secara emosional ataupun pragmatis

terkait dengan teater. Salah satunya disini adalah kalangan remaja yang

(16)

15 menengah pertama, sampai dengan perguruan tinggi. Kelompok-kelompok ini

secara aktif melakukan pertunjukan yang diselenggarakan diberbagai tempat di

Kota Solo. Salah satu fenomena yang menarik dari teater remaja ini adalah

kehadiran “suporter” yang ikut menyemarakan pertunjukan. Peneliti katakan

demikian karena layaknya suporter suatu pertandingan, mereka terkadang

menyoraki pemain baik karena lucu, ataupun karena mereka kenal dekat dnegan

pemain tersebut. Mereka bertepuk tangan pada saat akan dimulainya

pertunjukan dan diakhir pertunjukan, selain itu mereka terkadang juga bertepuk

tangan ketika ada dialog-dialog yang menyinggung/ menyindir suatu kasus nasional. Mereka tertawa lepas ketika ada adegan-adegan yang lucu, bahkan tak

jarang mereka juga meneriakkan yel-yel kelompok teater tersbeut atau nama

sekolahnya, terutama pada saat festival teater. Bedanya dengan suporter dalam

pertandingan adalah mereka tidak membawa alat musik untuk menyemangati

kelompok mereka dan tidak gaduh pada saat berlangsungnya pertunjukan.

Seturut dengan yang disampaikan Irwan Abdullah dalam bukunya

Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (2006 :47-50) bahwa pertemuan antara

citra yang dibangun oleh pemerintah Kota Solo dengan tradisi yang berkembang

di masyarakat Solo membentuk dua hal yakni adanya konsumsi simbolis yang

berlebih dan kedua adanya transformasi estetis dalam pertunjukan. Pertama

adalah konsumsi simbolis yang berlebih mengarahkan masyarakat sebagai

pembentuk sekaligus pengguna tradisi lebih menekankan pada nilai-nilai simbolis

dibandingkan dengan kegunaan dan fungsi tradisi. Untuk mendukung hal

tersebut, maka berbagai varian pertunjukan yang berbasis tradisi hadirkan.

Tradisi hanya difahami sebagai bentuk (formal) sebagaimana ketoprak, wayang

orang, wayang kulit, dan karnaval. Untuk itulah dalam kebijakan politik

kebudayaan spectacle menjadi hal utama yang dihadirkan karena dapat secara

langsung mengidentifikasi bentuk dari tradisi. Lebih khusus lagi tradisi dalam

(17)

16 Kedua, adalah transformasi estetis. Penguatan-penguatan pada bentuk

(formal) menggeser spirit tradisi yang seharusnya menjadi cabang kedua dari

tradisi1

Sebelum mendiskusikan lebih jauh mengenai Solo sebagai kota budaya,

terlebih dahulu perlu dijelaskan disini konsep pertunjukan yang dimaksud dalam (Simatupang, 2013:). Penggeseran spirit dari tradisi ini dikarenakan

dominasi kekuatan ekonomi dalam konteks wisata ataupun industri kreatif. Oleh

karenanya penghadiran bentuk-bentuk simbolis tradisi dalam pertunjukan lebih

menekankan pada aspek keindahan bentuk.

Pada konteks ini peneliti melihat ada proses negosiasi simbol dan makna

(Abdullah, 2006) dari suatu pertunjukan yang berbasis tradisi. Proses negosiasi

ini memadukan kepentingan-kepentingan pengguna seni pertunjukan dengan kesenian tradisi yang berkembang dimasyarakat. Kecenderungan yang terjadi

dari proses negosiasi ini adalah dipertahankannya bentuk-bentuk formal dari

tradisi. Karena bentuk formal ini terindra sehingga sangat mudah untuk

mengidentifikasi ketradisian suatu pertunjukan. Sedangkan spirit yang intangible

berganti sesuai dengan kepentingan pengguna seni pertunjukan. Negosiasi

simbol dan makna ini juga dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi tradisi dalam

ruang sosial baru yang akan terus berubah. Karena memang tidak ada tradisi

yang stagnan atau bertahan tanpa ada perubahan (Simatupang 2013: 160;

Linnekin, 1983:241).

Secara umum paparan singkat diatas menjelaskan bahwa pertemuan

antara citra yang dibangun oleh kota Solo sebagai kota budaya yang berbasis

tradisi dengan kreatifitas masyarakat adalah ruang reproduksi dan rekonstruksi

tradisi Jawa. Dalam proses rekonstruksi dan reproduksi ini terjadi negosiasi

simbol dan makna. Simbol yang dihadirkan tidak lagi simbol sebagaimana bentuk

melalui pertunjukan inilah Terkait dengan penelitian yang dilakukan ruang-ruang

pertunjukan inilah yang menjadi media reproduksi kesenian tradisi.

1

(18)

17 tulisan ini. Karena di masyarakat pertunjukan terkadang dimaknai secara

arbitrair (semena-mena : meminjam istilah dari kalangan strukturalis). Segala

sesuatu yang disaksikan oleh masyarakat terkadang didefinisikan sebagai

pertunjukan. Berangkat dari hal tersebut, bagi peneliti perlu kiranya memberi

batasan konsepsional terkait dengan pertunjukan yang dimaksud dalam tulisa ini.

Secara umum seni pertunjukan mempunyai kesejajaran kata dengan

performace art dalam bahasa Inggris. Sebutan seni pertunjukan juga disetarakan

dengan pergelaran dalam bahasa Indonesia. Seturut dengan konsepsi yang

diuraikan oleh Lono Simatupang dalam bukunya yang berjudul Pergelaran

Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya mensyaratkan tiga hal untuk suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai pergelaran (Simatupang, 2013:64-67). Karena

menurutnya peristiwa keseharian yang biasa kita alami tidak seluruhnya

merupakan suatu pergelaran atau pertunjukan.

Syarat pertama adalah adanya kesengajaan untuk dipertontonkan,

dipergelarkan atau dipertunjukkan. Kesengajaan atau kehendak untuk

dipertontonkan ini tentu saja sudah melalui suatu proses persiapan, dengan kata

lain bahwa peristiwa tersebut tidak muncul secara tiba-tiba. Dia mencontohkan

seperti pada peristiwa kebakaran atau tabrakan, orang beramai-ramai

mendatangi tempat kejadian dengan tujuan untuk menyaksikan peristiwa

tersebut. Namun, petugas yang berwenang (polisi, pemadam kebakaran)

meminta orang-orang tersebut untuk tidak mendekat atau membubarkan

kerumunan dengan mengatakan bahwa hal itu bukan tontonan atau bukan

pertunjukan. “Bukan tontonan”, statement ini cukup beralasan karena sang

pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut tidak mempunyai

keinginan agar peristiwa tersebut ditonton.

Syarat kedua adalah ketidakbiasaan (extraordinariness), hadirnya

penonton dalam suatu peristiwa atau terhadap suatu pertunjukan karena hal

tersebut di luar dari kebiasaan. Orang-orang berdesakan untuk melihat peristiwa

(19)

18 kehadiran kita atau penonton dalam suatu pertunjukan dikarenakan pertunjukan

itu sendiri bukanlah hal yang biasa. Menurut Lono Simatupang, hal yang tidak

biasa dalam pergelaran dihadirkan melalui waktu, ruang, suara, cahaya, gerak,

ucapan, benda, dan hal-hal lain yang diatur sedemikian rupa untuk dihadirkan

dalam peristiwa pergelaran.

Untuk memahami hal yang extraordinary dalam pertunjukan ini peneliti

mengutip dari apa yang disampaikan oleh Eugenio Barba dalam The Paper Canoe

A Guide to Theatre Anthropology (1995: 15-16) yang membagi tiga aktifitas

dalam daily technique, extra daily technique, dan virtuosic technique. Daily technique adalah gerak tubuh keseharian yang dikondisikan oleh budaya, status

sosial dan profesi. Adapun dalam dunia teater gerak tubuh yang dihadirkan

adalah gerak tubuh diluar keseharian (extra-daily technique). Virtuosic technique

merupakan gerak tubuh yang menunjukkan kehebatan atau keterampilan yang

tidak dapat dilakukan oleh orang lain, seperti yang kita lihat dalam atraksi-atraksi

akrobat.

Ketiga adalah pertemuan maksud atau tujuan penyaji pertunjukan

dengan harapan penonton untuk mendapatkan sesuatu yang tidak biasa

(extraordinary). Pertemuan maksud dan harapan ini adalah proses interaksi

antara penonton dengan penyaji yang dimediasi oleh pertunjukan yang

dihadirkan. Dalam proses interaksi ini penonton menggunakan pengalaman

sehari-harinya dalam upaya mengidentifikasi setiap detail yang dihadirkan pada

suatu pertunjukan. Oleh karenanya ekspresi dalam bentuk ketawa, sedih, dan

marah dari penonton merupakan respon terhadap pertunjukan.

Dalam pertunjukan teater kesengajaan untuk melakukan pertunjukan

dipersiapan sedemikian rupa oleh sutradara dan pemain, serta crew yang

terlibat. Secara umum terjadinya suatu pertunjukan teater melalui beberapa

tahapan yang dimulai dengan memilih dan menganalisa naskah oleh sutradara,

melakukan casting dalam rangka menentukan pemain, selanjutnya reading,

(20)

19 costum dan tata cahaya untuk pertunjukan. Setelah semua proses ini dilalui,

maka pertunjukan layak untuk dilakukan.

Tahapan-tahapan ini merupakan proses untuk mempersiapkan

pertunjukan. Hal ini menunjukkan kesengajaan suatu pertunjukan dilakukan

dalam waktu yang cukup panjang. Proses ini juga dimaksudkan untuk

memunculkan ketidakbiasaan (extraordinary) dari aktifitas keseharian baik pada

gerak-gerak dramatik, tata cahaya ataupun tata pentas/ kostum. Karena di dalam

proses ini terjadi sharing antara pemain dan sutradara serta crew yang terlibat

dalam suatu pertunjukan. Berangkat dari tetiga syarat pertunjukan sebagaimana yang telah peneliti sampaikan diatas maka, dapat disimpulkan secara sederhana

bahwa aktifitas kebudayaan dan kesenian yang diselenggarakan oleh Pemerintah

Kota Solo dapat disebut sebagai pertunjukan ataupun pergelaran. Oleh

karenanya ada yang membagi seni pertunjukan menjadi seni teater, seni

musik,,dan seni tari.

Untuk melihat lebih jauh pertunjukan di Kota Solo, bab ini diawali dengan

pemahaman awal mengenai pergelaran, selanjutnya diuraikan bentuk

pertunjukan di kota Solo yang dibagi ke dalam dua kategori yakni pertunjukan

yang menggunakan proschenium dan pertunjukan yang tidak menggunakan

proschenium. Kategorisasi yang berbasis pada obyek material pertunjukan ini

pada dasarnya adalah upaya untuk mempermudah memahami pertunjukan di

Kota Solo. karena berangkat dari dua kategori inilah

B. Klasifikasi Pertunjukan Budaya 1. Pertunjukan dipanggung

Panggung adalah ruang yang menjadi frame suatu peristiwa teater

dimainkan. Dalam dunia teater panggung bagi seorang sutradara adalah kanvas

besar yang siap untuk diberi berbagai warna dan bentuk. Adapun bagi seorang

pemeran atau aktor selain suara dan tubuhnya panggung adalah wadah untuk

(21)

20 untuk menghadirkan sesuatu yang berada diluar kebiasaan baik melalui asesoris

yang digunakan, bentuk panggung ataupun gerak dan suara yang lahir dari

tubuh. Panggung yang dikalangan teater dikenal dengan sebutan proscenium

merupakan pembatas daerah pandang penonton yang lebih terfokus pada arah

depan. Oleh karena itu pertunjukan diatas panggung harus memberikan layanan

yang memuaskan bagi penonton.

Pengkategorian bentuk-bentuk pertunjukan ini lebih berdasarkan pada

ruang dimana pertunjukan tersebut dilakukan. Secara umum penggunaan

panggung pada beberapa pertunjukan lebih didasari oleh fikiran-fikiran praktis yakni agar dapat dilihat oleh audiens, seperti SIPA (Solo International

Performande Arts) dan SIEM (Solo International Ethnic Music). Selain itu

masyarakat juga mengidentifikasikan bahwa pertunjukan di panggung adalah

pertunjukan yang dijual, karena untuk dapat menikmati pertunjukan tersebut,

seseorang harus mempunyai tiket baik didapatkan dengan cara membeli

ataupun karena diundang untuk menyaksikan suatu pertunjukan. Hal ini

tentunya sangat berbeda dengan pertunjukan yang diselenggarakan tanpa

menggunakan panggung, dimana masyarakat dapat dengan mudah untuk

mengakses pertunjukan tersebut dengan tanpa menggunakan tiket.

Dari wawancara yang dilakukan, setidaknya ada 5 pertunjukan yang

dipertunjukan di atas panggung yakni SIPA, SIEM, Ketoprak Sriwedari, Ketoprak

Balaikambang, Wayang Orang Sriwedari, Wayang Orang Balaikambang. Terkait

dengan SIPA (Solo International Performance Arts) dan SIEM (Solo International

Ethnis Music) adalah kegiatan yang diselenggarakan satu tahun sekali yang

dikelola oleh pemerintah Kota Solo.Dua kegiatan tersebut menampilkan berbagai

bentuk pertunjukan terutama vokal dan musik, tari, musik instrumen dan lain

sebagainya. Namun yang manarik dari pertunjukan ini adalah kesenian tradisi

yang menjadi material utama dari pertunjukan tersebut baik alat musik, syair,

(22)

21 Selanjutnya adalah ketoprak yang merupakan teater tradisional yang

embrio awalnya merupakan permainan orang-orang desa dengan menabuh

lesung secara berirama dan telah ada pada tahun 1887 (Sumarjo, 2004:60-62).

Sebagaimana teater tradisional pada umumnya, ketoprak juga tidak membuat

batas yang tegas antara pemain dengan penonton, beberapa narasumber

menyebutkan bahwa batas yang digunakan adalah sebuah tikar (jw. kloso). Para

pemain beraksi diatas kloso dan penonton berada di bagian luar pinggir kloso.

Dalam konteks saat ini sejarah kemunculan dan perkembangan ketoprak tidak

lagi menjadi referensi generis pelaku dan penikmat kesenian ketoprak. Teater tradisional ketoprak sebagai kesenian tradisi masyarakat Jawa muncul dalam

ruang yang berbeda. Tidak hanya dari segi asesoris yang ditampilkan namun yang

paling fundamental adalah kehadiran panggung yang berjarak dengan penonton

dan dengan ruang antara yang cukup lebar seperti ruang-ruang pertunjukan di

Sriwedari dan Balekambang. Dasar ini yang mereka gunakan untuk

mengidentifikasi bahwa ketoprak dikategorikan sebagai pertunjukan diatas

panggung.

Terkait dengan Wayang Orang, masyarakat secara jeli membedakan

antara pertunjukan yang dilaksanakan di atas panggung dengan pertunjukan

yang tidak menggunakan panggung. Dua tempat yang disebutkan di atas,

Sriwedari dan Balekambang, merupakan gedung pertunjukan yang menggunakan

panggung. Selain itu masyarakat juga menyebut Wayang Orang Mangkunegaran

yang tidak menggunakan panggung yang membedakannya dengan Wayang

Orang Sriwedari dan Wayang Orang Balekambang.

Pak Sarwono warga Solo yang tinggal di Dukuh Kuyudan Makamhaji

menuturkan bahwa ada perbedaan rasa ketika menyaksikan pertunjukan

Wayang Orang di Mangkunegaran dengan di Sriwedari. Menurutnya menonton

pertunjukan wayang orang di Mangkunegaran membuat dia merasa dekat

dengan para pemain dan merasa terlibat dalam pertunjukan tersebut. Namun

(23)

22 benar-benar menjadi penonton. Hal yang sama juga dirasakan oleh Pak Seno

yang tinggal di Mangkuyudan, Solo. Dia berpendapat bahwa pertunjukan wayang

orang ataupun ketoprak yang ada di Sriwedari sudah kehilangan “rasa” dari

pertunjukan.

Geertz (1991: 47) melihat konsep rasa bagi orang Jawa adalah hal

fundamental untuk melihat dan korespondensi untuk kebenaran, keindahan, dan

kebaikan adalah juga cara untuk mengalami sesuatu. Geertz (1991:61) membagi

rasa menurut orang Jawa dalam dua arti pokok yakni rasa yang berarti feeling

“perasaan” dan berarti meaning “ makna”. Rasa sebagaimana yang dialami oleh Pak Sarwono dan Pak Seno di atas merupakan rasa dalam artian makna yakni

rasa yang berarti “makna terakhir” atau makna terdalam yang dicapai orang

Jawa. Pada konteks ini kita memahami bahwa rasa menjadi standar ukur estetis

untuk menilai keindahan dari gerak tubuh suatu pertunjukan.

Perbedaan rasa yang dialami oleh penonton suatu pertunjukan terjadi

karena adanya penjarakan antara penonton dengan pemain. Panggung yang

dihadirkan dalam ruang memediasi rasa pertunjukan tersebut. Dari sini kita

dapat memahami bagaimana masyarakat membuat klasifikasi pertunjukan yang

didasarkan pada kedekatan rasa antara penonton dengan pemain suatu

pertunjukan. Panggung memediasi penjarakan rasa antara penonton dengan

pemain. Semakin jauh jarak panggung dengan penonton maka akan semakin

jauh juga jarak antara rasa dengan penonton.

2. Pertunjukan Tanpa Proscenium

Pertunjukan tanpa proscenium (panggung) adalah pertunjukan yang

dilakukan di jalan utama kota Solo yakni Jalan Slamet Riyadi dan pertunjukan di

arena terbuka tanpa menggunakan panggung (stage). Pertunjukan-pertunjukan

ini biasanya melibatkan masyarakat secara massive dengan kemudahan untuk

mengakses pertunjukan tersebut. Hal umum yang dapat kita lihat dari

(24)

23 pertunjukan atau pemain, sehingga terkadang kita tidak melihat batas yang tegas

yang membedakan antar keduanya selain masalah kostum.

Pertunjukan ini dilakukan dalam bentuk karnaval. Karnaval budaya

berbasis pada tradisi yang dianggap sebagai adi luhung, tradisi ageng menurut

Umar Kayam (2001: 34) atau tradisi alus dalam istilah Clifford Geertz

(1981:350-386). Tradisi tersebut adalah seni tradisi keraton, tradisi para priyai yang mapan,

teratur, mengikuti pakem, establish, struktural, dan tertata (Ansari, 2010:26).

Tradisi ageng yang dikarnavalkan ini adalah karnaval wayang (Solo Wayang

Carnival) dan karnaval batik (Solo Batik Carnival). Dua bentuk karnaval inilah yang secara singkat diulas dalam tulisan ini.

Pertama adalah festival wayang yang diselenggarakan bertepatan dengan

ulang tahun kota Solo, yakni pada bulan Februari. Festival yang diselenggarakan

pada tahun 2013 ini adalah festival yang kedua. Solo Wayang Carnival diikuti

oleh berbagai kelompok kesenian masyarakat, lembaga pendidikan, karang

taruna dan instansi pemerintah. Mereka menampilkan berbagai tokoh dan

bentuk wayang seperti wayang kulit, wayang wong dan wayang beber.

Peserta karnaval melakukan long march di sepanjang Jalan Slamet Riyadi

yang merupakan jalan utama di Kota Solo dan sesekali menari ataupun bergerak

sesuai dengan kostum tokoh wayang yang mereka gunakan. Mereka berjalan

beriringan tanpa membentuk formasi dan dengan baris yang kurang teratur.

Beberapa dari peserta tersebut membawa boneka wayang kulit dengan berbagai

macam tokoh dalam pewayangan, sebagian yang lain memakai kostum wayang

orang seperti Hanoman, Dewi Shinta, punakawan, Burisrawa, Arjuna dan lain

sebagainya. Diantara peserta juga ada yang berpakaian seperti wali songo dan

tokoh-tokoh yang menyejarah di tanah Jawa. Hal yang menjadi gaya tarik dari

karnaval tersebut adalah ketika walikota Solo Joko Widodo karnaval tahun 2012

menggunakan kostum tokoh Arjuna dan FX. Hadi Rudiyatmo pada karnaval tahun

(25)

24 dan masyarakat berebut mencari posisi yang bagus untuk mendokumentasikan

kedua pemimpin tersebut.

Dalam konteks ini kita melihat bahwa ada relasi yang kuat antara tradisi

dan penguasa. Negara dalam hal ini Wali Kota Solo mereproduksi bentuk-bentuk

kekuasaan Jawa (Moedjanto, 1987) dengan mengambil posisi sebagai cucu

lampah perjalanan tradisi Jawa. Dalam konsep kebudayaan Jawa sesuatu yang

bisa dianggap menjadi cucu lampah haruslah berkharisma dan sakral. Oleh

karenanya pemosisian walikota Solo sebagai cucu lampah masyarakat Solo dan

budaya yang menjadi identitasnya ingin mengambil sifat-sifat kharismatis dan sakral tersebut. Hal ini diperkuat dengan kostum yang mereka gunakan baik

Arjuna ataupun Wrekudara yang menjadi tokoh sentral Pandawa dalam

kebudayaan Jawa. Sebagaimana pandangan umum masyarakat Jawa yang lebih

banyak mengenal Wrekudara dan Arjuna dibandingkan tiga tokoh Pandawa

lainnya (Yudistira, Nakula, dan Sadewa).

Dalam konteks sosial masyarakat yang terus berubah, tradisi dibawah

arahan negara tentunya mempunyai orientasi yang berbeda ketika dikawal oleh

masyarakat pendukung kesenian tersebut. Masyarakat tradisi masih melihat

kesenian sebagai model dari keseharian aktifitas yang meraka lakukan. Karena

menurut mereka nilai-nilai luhur yang menjadi pegangan dalam kesenian masih

terekam baik dalam setiap pertunjukan. Hal ini tentunya akan berbeda ketika

negara mengambil alih peran-peran tersebut, nilai dan keindahan yang menjadi

orientasi estetis kesenian diukur dari seberapa besar tingkat kehadiran

masyarakat dalam pertunjukan tersebut dan seberapa besar pula imbal balik

yang didapat dari pertunjukan tersebut, baik secara ekonomi ataupun politik.

Secara umum, karnaval tersebut seolah-olah ingin menegaskan kekuatan

tradisi dalam kehidupan masyarakat Jawa yang hingga saat ini masih eksis

bahkan diakui oleh dunia melalui UNESCO yang menetapkan wayang sebagai

warisan budaya dunia. Dalam konteks ini, pertunjukan wayang kulit yang semula

(26)

25 memamerkan bentuk dan wujud wayang. Tidak ada dalang yang menjadi peraga

wayang dan tidak ada lakon yang mengatur keluar dan masuknya wayang dalam

adegan-adegan. Namun antusiasme warga jauh lebih besar dibandingkan dalam

suatu pertunjukan wayang. Jalan Slamet Riyadi yang menjadi rute long march

sepanjang kurang lebih 3 km dipadati oleh masyarakat yang menyaksikan

iring-iringan karnaval. Tidak hanya itu mereka juga berebut mencari tempat terdepan

agar dapat melihat secara jelas iring-iringan karnaval. Mereka mengabadikan

moment-moment yang mereka anggap unik bahkan banyak dari penonton rela

mengantri untuk berfoto bersama peserta karnaval yang sebagian besar menggunakan kostum tokoh dalam pewayangan.

Keterlibatan penonton secara aktif dalam karnaval tersebut,

menunjukkan bahwa karnaval menjadi hiburan bagi masyarakat kota Solo dan

sekitarnya. Bentuk partisipasi mereka terhadap pentunjukan ini adalah

keterlibatan mereka dalam membagun cerita-cerita dari tokoh wayang di

visualisasikan baik melalui kulit wayang kulit, ataupun melalui orang, wayang

orang.

Wayang dalam suatu pertunjukan dipangggung berjarak dengan

penonton. Dalang dalam lakonnya membangun cerita-cerita kayangan mengenai

kehidupan penguasa-penguasa dalam epos Ramayana dan Mahabharata. Untuk

menunjukkan keterlibatannya, penonton mengidentifikasi kediriannya dengan

peristiwa atau tokoh dalam lakon pewayangan yang dimainkan dalang (Ansari,

2010:27). Namun pada saat karnaval interaksi timbal balik terjadi antara wayang

yang diperankan oleh para penari atau pemain yang berkostum wayang dengan

penonton. Hubungan mereka terasa amat cair, lebur bersama karena tidak ada

garis pemisah antara penonton dengan peserta karnaval. Penonton dapat

memegang dan berfoto bersama dengan visualisasi tokoh-tokoh wayang. Hal-hal

seperti ini menunjukkan adanya keintiman budaya antar pendukung kebudayaan

(27)

26 Keintiman budaya (intimate culture) ini terjadi karena adanya komunikasi

yang baik antara penonton dengan pertunjukan. Untuk memahami keintiman

budaya dalam pertunjukan teater daerah, Artur S. Nalan menunjukkan dua

elemen yang harus difahami yakni tempat pertunjukan dan lakon (Nalan,

2006:78-81). Karnaval yang menggunakan jalan umum sebagai tempat

pertunjukan tentu saja menjadi media komunikasi yang baik antar penonton

ataupun penonton dengan pertunjukan. Komunikasi antara penonton terjadi

dalam ruang yang sangat kompleks. Karena pada saat berlangsunnya karnaval

masyarakat dari berbagai lapisan sosial dan golongan membaur membentuk kesamaan rasa untuk menyaksikan pertunjukan. Dalam wilayah berfikir teater

tradisi fenomena tersebut merupakan spirit tradisi yang berkembang

dimasyarakat (Nalan, 2006: 74-75). Dalam konteks hubungan penonton dengan

pertunjukan disini kita melihat bahwa kesediaan masyarakat berbagi ruang

(dalam hal ini Jalan Slamet Riyadi) untuk pertunjukan karnaval adalah salah satu

bentuk keintiman budaya (pertunjukan). Hal ini semakin diperkuat dengan

kehadiran mereka sebagai penyaksi dari pertujukan. Mereka hadir jauh sebelum

acara dimulai dan sabar menunggu iring-iringan karnaval berjalan dihadapan

mereka. Hadirnya wayang diruang publik dalam konteks yang berbeda ini

membangun keintiman masyarakat pendukung kebudayaan (Jawa) dengan

wayang. Disini mereka sangat ingin memegang, mendokumentasikan, dan

memainkan wayang.

Elemen kedua adalah lakon. Dalam pertunjukan-pertunjukan teater

tradisi lakon sangat terkait erat dengan legenda, folklor, dan nyayian-nyayian

masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Oleh karenanya lakon menjadi

sangat dekat sekali dengan kehidupan masyarakatnya. Personifikasi-personifikasi

tokoh-tokoh dalam lakon dan alur cerita yang dimainkan dalam suatu

pertunjukan menjadi cara masyarakat untuk mengidentikkan diri mereka dengan

salah satu tokoh ataupun peristiwa dalam pertunjukan kesenian (Peacock,

(28)

27 Pada saat berlangsunnya karnaval wayang di Solo, penonton membuat

lakon sesuai dengan tokoh yang mereka idolakan dan sama sekali tidak terkait

dengan proses karnaval ataupun ulang tahun Kota Solo. Seperti Pak Yono yang

mengidolakan tokoh Arjuna, dia membuat ceritanya sendiri tentang Arjuna yang

bagus, wicaksono, sekti. Berbeda halnya dengan Pak Pono (Supono) lelaki

setengah baya berumur 46 tahun ini mengidolakan Burisrawa yang menurutnya

adalah tokoh arif walaupun dia berujud butha (raksasa).

Kedua adalah Solo Batik Carnival (SBC) yang merupakan agenda tahunan

Pemerintah Kota Solo sejak tahun 2008. Berbeda dengan karnaval wayang, Solo Batik Carnival ini menunjukkan kreatifitas dalam mendesain batik sehingga dapat

diterima oleh khalayak ramai. Batik yang menjadi bahan dasar kostum berpadu

dengan berbagai warna dan bahan dasar yang berbeda dalam desain yang

kontemporer.

Batik yang berada pada ruang publik, merakyat, keseharian, dan

tradisional dalam tradisi Jawa berpadu dengan catwalk yang glamor, elitis, privat

karena hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu, dan modern. Perpaduan

kedua produk budaya ini membentuk suatu ruang sosial budaya yang

menunjukkan adanya keintiman budaya. Di sini kita melihat adanya negosiasi

ruang yang melibatkan beberapa kontestan seperti desainer, pemerintah dan

perajin batik serta masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Mereka

bersama-sama merekonstruksi simbol dan makna batik dalam konteks kekinian.

Hal ini dapat kita fahami dari tema SBC pada tahun 2013 yakni earth to earth

yang membagi kostum dalam empat anasir yaitu air, api, udara, dan tanah. Air

direpresentasikan dengan warna putih, api dengan warna merah, udara dengan

warna biru langit dan tanah dengan warna-warna gelap. Warna-warna tanah

inilah yang mengindentitaskan jenis batik Solo yakni batik dengan warna gelap

yang disebut dengan batik soga.

SBC tersebut menegaskan kemampuan tradisi melakukan negosiasi

(29)

28 mana jarik (kain batik yang digunakan sebagai penutup bagian pinggang hingga

mata kaki) yang tujuannya adalah untuk membatasi gerak penggunanya agar

bersikap alus (representasi dari budaya adi luhung) dan memperhitungkan setiap

langkah kaki, sehingga mereka yang menggunakan jarik terlihat lebih anggun

untuk kalangan wanita, dan berwibawa jika yang menggunakan kalangan pria.

Batik yang bermakna lamban baik dalam proses ataupun penggunaannya selaras

dengan semboyan masyarakat Jawa alon-alon waton kelakon dapat bernegosiasi

dengan dunia fashion yang cenderung cepat dan glamor.

Sebaliknya dunia fashion juga membuka ruang bagi berkembangnya tradisi dalam konteks kekinian. Peragaan busana yang biasanya dirancang oleh

designer-designer terdidik dan berpengalaman, pada pelaksanaan solo Batik

Carnival ini busana-busana tersebut dirancang dan dikerjakan oleh masyarakat

dan kalangan pelajar yang sebagian besar bukan dari kalangan designer. Catwalk

yang biasanya berada di ruang-ruang eksklusif seperti hotel dan pusat-pusat

perbelanjaan (mall) dengan penonton dari kalangan ekonomi menengah ke atas

dan dengan penampilan yang tak kalah fashionable nya dengan model yang

berlengak-lenggok di catwalk. Pada pelaksanaan karnaval, para model tersebut

harus berbagi ruang dengan penonton dan berjalan diatas aspel sepanjang

kurang lebih 3 km yang sudah dibasahi guna mengurangi panasnya aspel yang

terkena sinar matahari. Tubuh mereka disengat oleh sinar matahari yang mulai

meredup dan disaksikan oleh ribuan pasang mata yang berpenampilan apa

adanya. Para model tersebut berlenggak lenggok dengan senyum lebar dan

selalu bersedia untuk diajak foto bersama.

Dari sini tampak jelas proses tawar menawar budaya yang

mempertemukan tradisi dan modernitas dalam suatu ruang yang bernama

karnaval. Tradisi dalam hal ini batik membuka ruang-ruang kesakralannya. Di sini

kita melihat bahwa batik yang menjadi ikon kota Solo karena perbedaan corak

warna dan motif dengan daerah lain di Jawa Tengah yang berada dalam ruang

(30)

29 (performance). Batik sebagai wujud dari budaya adi luhung masyarakat Jawa

(Solo) mengalami konstruksi simbol dan makna. Solo sebagai salah satu sentra

batik di Pulau Jawa

Dua bentuk karnaval yang diselenggarakan oleh pemerintah Kota Solo tersebut merupakan rekonstruksi tradisi dengan melakukan negosiasi simbol dan makna. Proses rekonstruksi tersebut ingin meletakkan tradisi yang lokal ke dalam dunia global. Hal ini dapat kita fahami dari nama yang berbahasa asing (Inggris) Solo Batik Carnival, bukan Karnaval Batik Solo yang berbahasa Indonesia. Oleh karenanya makna batik yang melekat pada setiap corak dan motif batik yang digambar dikain tersebut dapat dinegosiasikan dengan kepentingan-kepentingan wisata, dan ekonomi kreatif. Masyarakat Solo sebagai pendukung kebudayaan secara tidak langsung melegitimasi proses rekonstruksi dengan pengabadian setiap moment dalam festival melalui lensa kamera.

Begitu juga yang terjadi dengan wayang. Ruang sakral dan ritual yang menjadi unsur utama dalam jagad pewayangan bernegosiasi dengan jalanan tempat berbagai ekpresi dipentaskan. Proses negosiasi ini melahirkan makna-makna baru yang dikonstruksi oleh penonton yang berada di sepanjang jalan Slamet Riyadi, konstruksi makna ini disesuaikan dengan latar belakang kehidupan mereka sebagai mana yang telah disampaikan diatas.

C. Konsep Tradisi

“Solo kota budaya”, “Solo the spirit of Java” adalah slogan yang mencitrakan Kota Solo sebagai ruhnya kebudayaan Jawa. Hal ini tentu saja berbasis pada tradisi yang berkembang di Jawa khususnya Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Uraian singkat dalam sub bab ini bermaksud menjelaskan konsepsi masyarakat mengenai tradisi, terutama disini adalah remaja yang aktif dalam kelompok teater.

Dilihat dari akar katanya tradisi berasal dari bahasa Latin tradere yang

berarti menyampaikan, meneruskan untuk sesuatu yang terjadi pada masa

lampau. Edward Shils mendefinisikan tradisi sebagai segala sesuatu yang

(31)

30 masa lampau ke saat ini. Bentuk-bentuk yang diwariskan tersebut dapat berupa

obyek material, kepercayaan mengenai sesuatu, gambaran mengenai seseorang

atau peristiwa, bisa juga dalam bentuk lembaga ataupun kebudayaan (Shils,

1981:12). Dia menambahkan bahwa proses transmisi tersebut setidaknya telah

berlangsung minimal selama tiga generasi, sehingga hal tersebut bisa dikatakan

sebagai tradisi (Shils, 1981:15).

Dalam konteks seni tradisi terdapat dua dimensi yang diwariskan secara

lintas generasi. Pertama adalah dimensi formal (kebentukan) atau dimensi artistik yakni element kebentukan serta elemet teknik yang diterapkan untuk

mencapai bentuk tersebut (Simatupang, 2013:233). Seperti dalam wayang wong,

gerak-gerak tari yang digunakan beragam jenis, diantaranya gagah dan alus.

Teknik-teknik dasar yang membentuk gerak gagah dan alus serta aspek

kebentukannya inilah yang menjadi dimensi formal dari wayang wong. Kedua

adalah dimensi estetis atau dimensi nilai yakni pemaknaan dan penilaian yang

diberikan orang terhadap bentuk dan teknik tersebut. Pemaknaan ini bisa

dilatarbekangi oleh politik ekonomi sosial ataupun budaya (Simatupang,

2013:223).

Memahami tradisi (kesenian) dalam dua dimensi tersebut diatas, maka

sangat memungkinkan bagi tradisi tersebut untuk mengalami perubahan baik

pengurangan ataupun penambahan sesuai dengan konteks zamannya yang

berkembang. Oleh karena dalam konsep kebudayaan termasuk tradisi

didalamnya bahwa perubahan adalah suatu keniscayaan. Karena menurut

Jocelyn S. Linnekin (1983:241) yang melihat tradisi sebagai model dari kehidupan

masa lalu yang secara sadar digunakan oleh masyarakat untuk mengkonstruksi

identitas mereka. Proses konstruksi identitas ini tentu terkait erat dengan kondisi

dan situasi zaman. Oleh karenanya Linnekin menegaskan bahwa otentisitas dari

warisan tradisi merupakan sesuatu yang dibuat-buat (illusory). Karena

(32)

31 bentukan dari unsur-unsur yang berbeda pada masa awalnya. Dia mencontohkan

seperti penggunaan alat musik ukulele dan dan gitar klasik yang sangat

dibutuhkan sebagai iringan dalam setiap pesta sebagaimana ikan salmon yang

menjadi syarat untuk makanan. Ternyata gitar dan ukulele tersebut dibawa oleh

para imigran portugis pada awal abad ke 19 (Emerson dalam Linnekin,

1983:242).

Berbagai pemahaman mengenai tradisi diatas menjadi batasan besar

dalam melihat tradisi dalam konteks penelitian ini. Untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik terhadap tradisi, di sini peneliti mengklasifikasi

konsepsi pelaku teater baik pelatih ataupun anggota kelompok teater remaja

terhadap tradisi. Konsepsi mereka terhadap tradisi tersebut dilatar belakangi

oleh keterlibatan mereka terhadap aktifitas yang mereka anggap tradisi atau

pada sesuatu yang dekat dengan mereka. Berdasarkan dari hasil wawancara

yang dilakukan terhadap para pelaku teater remaja setidaknya ada tiga konsepsi

mengenai tradisi yang mereka utarakan.

Pertama adalah bahwa tradisi adalah upacara yang dimaksudkan untuk

merayakan ataupun memperingati sesuatu. Dalam konteks tertentu mereka

menyebutnya dengan ritual. Contoh yang mereka berikan adalah ritual satu suro,

upacara grebeg, dan upacara mantenan. Mereka berargument bahwa upacara

dan ritual tersebut diwariskan secara turun temurun dan sudah berlangsung

cukup lama. Standar ukur lain yang mereka gunakan untuk menyebut sesuatu

yang dikatakan sebagai tradisi adalah bahwa upacara dan ritual tersebut berasal

dari kraton. Mereka tidak bisa memberikan alasan historis mengenai upacara

pengantin yang berasal dari keraton, namun mereka memberikan alasan secara

rasional. Sebagaimana asumsi yang digunakan oleh masyarakat bahwa pengantin

pria dan wanita ibarat raja dan ratu. Konsepsi ini muncul karena ritual dan

(33)

32 pengetahuan mereka, bahkan beberapa dari mereka yang diwawancarai ikut

terlibat dalam kegiatan upacara dan ritual tersebut.

Kedua adalah tradisi sebagai pertunjukan. Mereka yang mengkonsepsikan

seperti ini karena keterlibatan mereka dalam pertunjukan yang berbasis tradisi

tersebut. Fadholi misalnya siswa SMA Negeri 4 Surakarta yang sering terlibat

dalam karnaval budaya dan beberapa melihat pertunjukan ketoprak di Sriwedari.

Begitu juga dengan Didik Sugiyarta yang menjadi pelatih teater dan

menyutradarai beberapa pertunjukan teater remaja juga memahami tradisi sebagai pertunjukan. Karena menurutnya dari pertunjukan inilah berbagai

macam bentuk makna disampaikan kepada penonton dan masyarakat secara

umum. Selain itu menurutnya bahwa pertunjukan mengekspresikan berbagai hal

terkait dengan tradisi dan aktifitas kehidupan masyarakatnya.

Ketiga tradisi sebagai warisan leluhur. Konsepsi yang ketiga ini lebih

kompleks dari kedua konsepsi diatas. Karena menurut mereka yang

mendefinisikan dalam konteks tersebut, tradisi adalah segala sesuatu yang

diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Konsep ini

mempunyai kesamaan dengan definisi yang disampaikan kepada Edward Shils

diatas. Konsep lain yang semakna dengan konsepsi ini adalah bahwa tradisi

merupakan simbol pada zamannya. Pemahaman seperti ini pada dasarnya

dilontarkan oleh pelatih teater yang mempelajari secara akademik

konsep-konsep tradisi, seperti yang disampaikan oleh Yogi Swara Manitis Aji yang

merupakan pelatih kelompok teater Citra Mandiri SMA 2 Surakarta dan SMA

Kristen Kalam Kudus.

Ketiga konsep mengenai tradisi tersebut tidak terlepas dari adanya

realitas, pengalaman dan ekspresi yang merupakan satu kesatuan pembentuk

aktivitas kesenian. Menurut Bruner sebagaimana yang dikutib oleh Lono

Simatupang (2013:9) terdapat penjarakan antara ketiga hal tersebut. Realitas

(34)

33 dengan tradisi baik pertunjukan, ritual, dan upacara ataupun yang intangible

seperti adat istiadat, nilai dan norma dalam masyarakat. Namun kesamaan

terhadap realitas yang dialami ini menimbulkan bentuk pengalaman yang

berbeda-beda dari setiap individu. Hal ini dikarenakan alam fikir, emosi, rasa dan

kondisi fisik serta posisinya yang membawa peristiwa yang sama tersebut pada

pengalaman yang unik dan membekas. Dari sinilah ekspresi itu muncul sebagai

artikuasi dari pengalaman (Simatupang, 2013:9). Berangkat dari paparan Bruner

yang dikutib oleh Lono Simatupang di atas. kita dapat memahami munculnya

perbedaan konsep mengenai tradisi dari pelaku teater remaja di Solo. Karena memang pada dasarnya klasifikasi konsep tersebut berdasarnya pada

pengalaman mereka berinteraksi dengan tradisi.

Batasan tradisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah segala sesuatu

yang mengidentifikasikan kebudayaan suatu daerah dalam hal ini adalah Jawa.

Batasan ini sejalan dengan apa yang dikonsepsikan oleh Linnekin mengenai

tradisi. Oleh karenanya tradisi dapat berupa dialog dengan menggunakan bahasa

daerah, asesoris atau ornament yang digunakan, cerita, adat istiadat dan lain

sebagainya. Bentuk-bentuk inilah yang akan dilihat dalam pertunjukan dan

proses berteater kalangan remaja di kelompok-kelompok teater mereka.

D.Teater Remaja di Kota Solo

1. Pertunjukan Teater Remaja

Sebagai kota pertunjukan Kota Solo juga dibanjiri dengan berbagai bentuk

pertunjukan teater yang bisanya bertempat di Teater Arena Taman Budaya Jawa

Tengah (TBJT), Teater Besar atau Teater Kecil Institut Seni Indonesia Surakarta,

atau di sanggar-sanggar teater. Bahkan saat pelaksanaan MTI (Mimbar Teater

Indonesia) pada tanggal 22-27 September 2013 karya Arifin C. Noer dipentaskan

selama sepekan penuh. Menurut Hanindawan, penanggung jawab Teater Arena

TBJT dalam sebulan setidaknya terdapat 4 kali pertunjukan teater. Hal ini belum

(35)

34 teater. Adapun untuk pertunjukan teater remaja memang tidak setiap minggu

dipertunjukan, namun setidaknya dalam satu bulan selalu saja ada kelompok

teater remaja yang mementaskan pertunjukan.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa teater

remaja yang menjadi fokus penelitian ini adalah kelompok teater remaja yang

terdapat di sekolah-sekolah menengah atas (SMA atau SMK sederajat). Secara

resmi peneliti tidak atau belum menemukan data statistik yang merinci jumlah

teater remaja di kota Solo. Keberadaan kelompok teater remaja yang menjadi kegiatan ekstra kurikuler (Ekskul) tidak harus terdaftar di dinas pendidikan dan

kebudayaan ataupun department terkait lainnya. Namun dari survey yang

dilakukan setidaknya terdapat 15 kelompok teater remaja di Kota Solo yakni,

SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4, SMAN 5, SMAN 6, SMAN 7, SMAN 8, SMAN

9, SMA BATIK, SMA Santo Joesef, SMA K Kalam Kudus dan lain-lain.

Kelompok-kelompok teater remaja ini secara rutin melakukan latihan satu atau dua hari

dalam satu minggu yang didampingi oleh seorang pelatih.

Terkait dengan penggunaan panggung atau tidak, pertunjukan teater

remaja dapat berlangsung di atas panggung atau tanpa panggung. Hal ini

tentunya disesuaikan dengan kebutuhan di dalam naskah. Seperti pada saat

pertunjukan Sajang Ada Orang Lain karya Utuy Tatang Sontani oleh alumni

teater SMA 8. Pertunjukan yang disutradarai oleh Yogi Swara Manitis Aji ini

dilaksanakan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah dengan menggunakan

level untuk membentuk panggung. Begitu juga pada saat pertunjukan Mencari

Taman karya Norca Adi Massardi yang diselenggarakan di Teater Besar ISI

Surakarta yang merupakan pentas gabungan 4 SMA dan 1 SMP. Namun

terkadang pertunjukan dilakukan tidak menggunakan panggung seperti pada

lakon MOMATI (Motor Mabur Tibo) yang digelar di aula SMA 4 Surakarta, setting

yang mereka gunakan juga cukup sederhana yakni, sebuah HIK (nama tempat

(36)

35 Penggunaan panggung atau tidak dalam suatu pertunjukan lebih

didasarkan pada interpretasi sutradara terhadap naskah dan juga kebutuhan dari

naskah yang dimainkan. Namun secara umum penggunaan panggung dalam

suatu pertunjukan teater lebih karenakan sebagai batas ruang pertunjukan dan

juga agar dapat dilihat oleh penonton secara jelas. Pak Didik Sugiyarta

berargumen bahwa panggung merupakan ruang untuk berekspresi, panggung

ibarat singgasana bagi seorang pemain, sehingga ada kebanggan ketika seorang

pemain berdiri dipanggung untuk memainkan suatu pertunjukan. Hal ini yang

senada juga disampaikan oleh Yogi Swara Manitis Aji yang menganggap panggung adalah ruang sakral yang harus rawat dan digunakan untuk

tujuan-tujuan yang mulia (pertunjukan).

Hal yang menarik dan menjadi fokus penelitian ini adalah bahwa

pertunjukan-pertunjukan yang mereka tampilkan terkadang menampilkan

bentuk-bentuk tradisi yang berkembang di masyarakat Jawa. Tradisi yang mereka

tampilkan tersebut memang tidak secara utuh, tetapi dihadirkan sebagai

asesoris, seperti wayang kulit, HIK, tokoh-tokoh yang menggunakan pakain batik

atau lurik. Bisa juga dalam bentuk permainan, seperti dolanan cuplak-cuplak

suwong. Dalam bentuk lagu, gundul-gundul pacul, suwe ora jame, anoman

obong, ataupun dialog yang menggunakan bahasa Jawa, biasanya dalam adegan

lawakan. Namun ada juga yang mementaskan satu naskah utuh yang terkait

langsung dengan tradisi sebagaimana yang mereka konsepkan. Seperti Pasar

Gedhe yang bercerita tentang terbakarnya Pasar Ghede dan mengambil setting

di Kota Solo. Selanjutnya adalah naskah S(a)ujarah yang berbahasa Jawa

bercerita tentang Aji Saka.

Tradisi atau tidak nya suatu pertunjukan ataupun bagian-bagain dari

pertunjukan sangat disesuaikan dengan konsepsi mereka mengenai tradisi yang

akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya. Secara keseluruhan pementasan atau

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, hasil yang diperoleh dengan melakukan uji komputasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi algoritme metode Newton, Aturan Trapesium,

Konsep – konsep ilmu seperti misalnya masyarakat akan mengambarkan bagaimana suatu individu atau kelompok – kelompok dalam masyarakat untuk membentuk suatu sistem dalam membangun

Definisi malpraktek dalam dunia kedokteran adalah kelalaian profesional karena tindakan atau kealpaan oleh pihak penyedia jasa kesehatan, sehingga perawatan yang

Dalam melakukan perubahan di sekolah, kepala sekolah (1) mengelola sekolah dengan pola kepemimpinan yang demokrasi, (2) memberikan kepercayaan kepada bawahan dengan tidak

Sedangkan analisis data pada dalam penelitian ini dengan mengumpulkan data yang berisisi uraian, paparan tentang suatu obyek sebagaimana adanya dari hasil penelitian

Agar dapat terarah dan fokus, maka diperlukan pedoman standar operasional prosedur yang memuat arah dan strategi peningkatan mutu pendidikan khususnya bidang ekonomi,

1855 15071754010313 RESTON DAKHI Akuntansi Sudah Masuk Klarifikasi: Datang ke Sekertariat dengan membawa semua dokumen asli paling lambat 5 Agustus 2015.