1
KONSTRUKSI DAN REPRODUKSI SIMBOLIK TRADISI DALAM PERTUNJUKAN TEATER REMAJA DI KOTA SOLO
Oleh Isa Ansari, M.Hum
(Jurusan Pedalangan, Program Studi Seni Teater)
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan proses reproduksi dan konstruksi Tradisi Jawa oleh kelompok teater remaja di Kota Solo. Berdasarkan pada survey yang dilakukan terdapat 15 kelompok teater remaja di Kota Solo yang berada di sekolah menengah atas. Kelompok tersebut menggunakan tradisi sebagai materi pertunjukan dengan memanfaatkan disposisi mental dan ketubuhan yang telah menubuh di dalam diri mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan cultural reproduction yang berkembang dikalangan ilmuan social dan budaya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara wawancara, survey, mengambil foto, dan kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa rekonstruksi dan reproduksi tradisi Jawa melalui disposisi mental dan ketubuhan menghasilkan negosiasi dan transformasi sebagi bentuk konstruksi tradisi. Adapun reproduksi digunakan untuk mereproduksi identitas kejawaan mereka. Akhirnya, penelitian ini menunjukkan bahwa teater sebagai arena dimana banyak kepentingan yang berkontestasi untuk mendapatkan perhatian dan dukungan dari penonton.
Key Word : Konstruksi, Reproduksi, dan Tradisi Jawa
A. Pendahuluan
Secara umum setidaknya ada tiga gejala kebudayaan yang terjadi di Kota
Solo. Pertama adalah globalisasi yang dimainkan oleh kekuatan pasar sebagaimana
yang telah disampaikan diatas. Gejala ini ditandai dengan berdirinya berbagai
pusat-pusat perbelanjaan baik yang secara vulgar menyebut sebagai pusat-pusat perbenlanjaan
modern ataupun yang kamuflase menyebut sebagai pusat perbelanjaan tradisional.
Penanda lainnya adalah fashion, informasi dan teknilogi yang pada dasarnya
merupakan ekspansi dari produk global. Gejala kedua adalah citra solo sebagai kota
budaya, bahkan jauh lebih dalam dari hal tersebut yakni sebagai ruh atau spirit dari
budaya Jawa. Oleh karenanya kita banyak menemukan berbagai aktifitas, ornamen,
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Perkembangan budaya tidak terlepas dari peran lembaga pendidikan
formal ataupun non formal, pasar, pemerintah dan kraton yang awalnya sebagai
pusat produksi kebudayaan (Abdullah, 2006 :41-42 ; Kuntowijoyo, 2006 : 6; Kayam, 2001 : 69 ; Williams, 1981) keempat institusi tersebut mempunyai
otoritas yang kuat dalam menumbuh kembangkan kebudayaan. Otoritas
tersebut dapat kita pilah menjadi dua yakni otoritas produktif dan otoritas
reproduktif. Kraton pada dasarnya merupakan kekuatan otoritas produktif,
karena disinilah budaya diproduksi dan disosialisasikan kepada rakyatnya. Salah
satu contohnya adalah wayang kulit, kraton sangat berperan dalam menentukan
pakem-pakem berupa etika dan estetika pedalangan, selain juga abdi-abdi
penguasa dan pujangga kraton yang menghasilkan berbagai lakon dan menjadi
rujukan para dalang. Begitu juga dengan wayang orang yang merupakan
kesenian kraton (Sumardjo, 1997:33-35). Adapun negara dan lembaga
pendidikan, di satu sisi keduanya menjadi otoritas produktif karena keduanya
berusaha menjaga ke“asli“an suatu kebudayaan (tradisi) dan menerapkan
nilai-nilai tradisi sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain
keduanya terikat dengan fungsi masing-masing yang berorientasi pada
perubahan.
Sedangkan pasar yang berorientasi pada ekonomi menjadikan budaya
sebagai komoditas. Untuk mencapai tujuan tersebut, budaya tidak lagi di
produksi, melainkan di reproduksi yang mengikuti keinginan dan kepentingan
konsumen. Dalam konteks ini tradisi terutama kesenian yang merupakan produk
2 bawa sebagaimana yang ditunjukkan oleh Clark (2008) dan Stange (2001) dalam
dunia politik, Anderson (2008) dalam konteks psikologis dan sosial, dan Niels
Mulder dalam dunia batin orang Jawa.
Proses introduksi, integrasi dan ekspansi pasar sebagai wujud dari
globalisasi (Abdullah,2006:16-19) merubah cara pandang masyarakat terhadap
tradisi terutama yang terkait dengan aspek nilai, norma, dan dogma. Tradisi
bukan lagi sesuatu yang diwariskan secara generis yang mempunyai kekuatan
spiritual dan ikatan sosial yang kuat, namun merupakan hasil negosiasi dari
berbagai otoritas yang berkepentingan terhadap tradisi.
Secara umum setidaknya ada tiga gejala kebudayaan yang terjadi di Kota
Solo. Pertama adalah globalisasi yang dimainkan oleh kekuatan pasar
sebagaimana yang telah disampaikan diatas. Gejala ini ditandai dengan
berdirinya berbagai pusat-pusat perbelanjaan baik yang secara vulgar menyebut
sebagai pusat perbenlanjaan modern ataupun yang kamuflase menyebut sebagai
pusat perbelanjaan tradisional. Penanda lainnya adalah fashion, informasi dan
teknilogi yang pada dasarnya merupakan ekspansi dari produk global. Gejala
kedua adalah citra solo sebagai kota budaya, bahkan jauh lebih dalam dari hal
tersebut yakni sebagai ruh atau spirit dari budaya Jawa. Oleh karenanya kita
banyak menemukan berbagai aktifitas, ornamen, tulisan yang berbasis pada
budaya (baca: tradisi) Jawa
Gejala yang ketiga adalah keberadaan kelompok-kelompok teater
remaja yang saat ini mengalami perkembagan yang cukup signifikan. Hal ini
ditandai dengan banyaknya kelompok teater remaja yang berdiri di
sekolah-sekolah menengah atas di Kota Solo seperti, di SMA N 7, SMA Santo Joesep, SMA
Batik 2, SMA N 8, dan SMA N 1. Berkembangnya kelompok teater remaja ini
tentunya membawa warna tersendiri terhadap kehidupan teater di Kota Solo,
terutama ketika Solo mencitrakan diri sebagai kota budaya dan sebagai spirit
3 Interaksi antara tradisi yang terformulasikan dalam slogan “Solo the
Spirit of Java” dengan ekspresi kesenian remaja di Kota Solo yang berbasis teater
modern menjadi fokus penelitian ini. Penulis berasumsi bahwa proses interaksi
tersebut mengarah pada reproduksi dan konstruksi tradisi Jawa dalam ekspresi
seni teater remaja. Reproduksi dan konstruksi yang terjadi terhadap tradisi
secara umum dapat diartikan sebagai jawaban dari ketakutan sebagian
masyarakat terhadap eksistensi tradisi dalam ruang sosial baru saat ini. Karena
dalam ruang sosial baru yang serba cepat dan instan sebagai konsekwensi dari
laju perkembangan transportasi dan informasi memunculkan beberapa implikasi terhadap masyarakat. Pertama adalah munculnya ide-ide kreatif untuk
mengembangkan kebudayaan yang dimilikinya sebagai bentuk ekspresi
kebudayaan, terutama adalah terkait dengan tradisi. Kedua, terkait dengan
pemberian makna terhadap tindakan-tindakan individu ataupun simbol yang
menjadi identitas suatu kebudayaan (Abdullah, 2006:42).
Terdapat tiga persoalan yang menjadi fokus penelitian ini Pertama
adalah terkait dengan konsepsi masyarakat, terutama adalah para remaja yang
menjadi pelaku teater mengenai tradisi. Konsep dasar ini penting untuk
diketengahkan karena berangkat dari hal tersebutlah kemudian mereka
mengekspresikannya dipanggung atau dalam proses berteater. Kedua adalah
terfokus pada pengalaman-pengalaman individu terhadap tradisi. Karena
pengalaman ini menjadi model untuk aktifitas berteater mereka. Dengan kata
lain bahwa pengalaman ini menjadi referensi yang ada pada diri mereka untuk
mewujudkan ekspresi berteater. Ketiga adalah pada tataran bentuk atau
perwujudan dari konstruksi dan reproduksi tradisi baik pada saat proses
4
BAB II. Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai teater di Indonesia masih terasa cukup langka, terutama
terkait dengan teater rakyat yang ada di nusantara. Hal ini akan semakin sulit
kita temui jika dispesifikkan pada perspektif tertentu, seperti yang akan penulis
lakukan yakni melihat teater dalam kajian reproduksi dan konstruksi budaya.
Beberapa buku yang penulis dapatkan lebih banyak terfokus pada teater dalam
pengertian yang sangat umum.
Arthur S. Nalan dalam Teater Egaliter (2006) mengupas secara kritis
teater rakyat yang ada di bagian barat pulau Jawa (Jawa Barat). Dari perspektif
yang digunakan buku ini memang tidak menyebutkan secara spesifik, namun dari
kajian yang dilakukan buku ini ingin mengungkapkan hidden culture dalam
pertunjukan-pertunjukan teater rakyat di Jawa Barat. Berangkat dari
pemahaman total theatre dan intimate theatre, Arthur S. Nalan menunjukkan
unsur terpenting dalam teater tradisi khususnya di Jawa Barat yakni satu
kesatuan antara musik, suara dan gerak, dan kedekatan antara pemain dan
penonton menjadi identitas gelobal teater tradisi di Indonesia.
Perkembangan Teater dan Drama Indonesia karya Jakob Sumardjo (1997)
memberikan gambaran yang luas mengenai bentuk-bentuk teater di Indonesia.
Secara garis besar dia membagi dua perkembangan teater di Indonesia yakni
teater tradisi yang dikelompokkan menjadi teater tradisi yang berbasis kraton
dan teater tradisi yang berbasis rakyat. Kemudian adalah teater modern yang
perintisan awalnya berasal dari teater bangsawan yang berkembang di Penang
Malaysia. Di Indonesia teater modern ini dimulai dengan berkembangnya Komedi
Stamboel pada tahun 1891.
Terkait dengan teater tradisi, buku Mengenal Teater Tradisional di
Indonesia (2007) karya A Kasim Achmad memberikan gambaran umum
5 bagian, yakni "Pendahuluan", "Asal Mula Teater Tradisional", "Wayang sebagai
Teater Tutur dengan Peragaan, Ciri, Fungsi", "Penyajian Pementasan Teater
Tradisional", dan terakhir "Teater Tradisional dari Berbagai Daerah". Kurangnya
pengenalan masyarakat terhadap kekayaan dan keragaman teater tradisional di
Indonesia, serta kurangnya buku-buku tentang keragaman teater tradisional
menjadi alasan Kasim untuk mengumpulkan tulisan-tulisannya tentang teater
tradisional dari berbagai daerah.
Terkait dengan objek material penelitian ini, penulis belum menemukan
referensi yang pas baik dari sisi obyek material ataupun obyke formalnya. Tentu saja hal ini menjadi peluang bagi peneliti teater yang lain untuk melakukan
penelitian ataupun kajian-kajian yang terfokus pada teater remaja.
Namun jika kita melihat obyek formal teater secara umum, maka
terdapat beberapa kajian yang mengerah pada perspektif reproduksi dan
konstruksi terutama terkait dengan dunia pewayangan yang juga merupakan
bagian dari teater. Pertama adalah kajian wayang yang melihat sisi perubahan
bentuk dan makna yang dilakukan oleh Umar Kayam berjudul Kelir Tanpa Batas
(2001). Buku tersebut walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan pendekatan
reproduksi kebudayaan, namun dari bahasan yang diuraikan pada setiap bab
menunjukkan adanya reproduksi makna dan bentuk pertunjukan wayang yang
dilakukan oleh para dalang. Bentuk reproduksi tersebut dapat dilihat dengan
mencairnya batas-batas formal estetika wayang, seperti kaburnya batas gaya
yogyakarta, Solo, banyumas dan Jawa Timur.
Kedua adalah Paul Stange seorang antropolog dari Murdoch University
menulis sebuah buku yang berjudul Politik Perhatian, Rasa Dalam Kebudayaan
Jawa (2001). Dua bab dalam buku tersebut menguraikan tentang penggunaan
simbol wayang yang lekat dengan masyarakat Jawa dan penggunaan
simbol-simbol tokoh dalam pewayangan guna mistifikasi kekuasaan politik, terutama
6 dan bentuk reproduksi, namun hal tersebut dapat kita fahami dari uraian yang
menunjukkan pada upaya reeksistensi wayang dalam dunia politik.
Ketiga, Wayang Mbeling Sastra Indonesia Menjelang Akhir Orde baru
terbit tahun 2008 merupakan disertasi dari Marshall Alexander Clark secara
detail menggambarkan peran wayang dalam kancah Politik. Wayang yang
menurutnya sebagai medium komunikasi sosiopolitis yang diperankan oleh dua
kelompok yang saling bersebrangan. Penguasa (Soekarno dan Soeharto)
menjadikan wayang sebagai propaganda politik untuk mensosialisasikan
berbagai kebijakan dan untuk menjangkarkan kekuasaan mereka di masyarakat. Di sisi lain budayawan dan seniman kritis juga memanfaatkan wayang sebagai
medium perlawanan atas ketidaksetujuan mereka terhadap penguasa.
Keempat, Kuwato dalam tesis S2 nya yang berjudul Pertunjukan Wayang
Kulit Di Jawa Tengah Suatu Alternatif Pembaharuan (Suatu studi kasus)
menguraikan tentang wayang Pantab (wayang dua layar). Berdasarkan analisis
yang dilakukkannya terhadap pertunjukkan wayang dua layar dengan dalang
Djoko Hadiwijoyo dan Purbo Asmoro dengan cerita Kumbakarna Gugur yang
digelar di Halaman kantor Pemerintah Daerah TK I Jawa Tengah di Semarang
cenderung bermuatan politis. Menurutnya wayang Pantab dijadikan sebagai
propaganda politik serta pemasyarakatan program pemerintah Orde Baru.
Singkatnya bahwa wayang Pantab selain sebagai hiburan adalah juga untuk
legitimasi politik kekuasaan khususnya Golongan Karya sebagai partai
pemerintah yang berkuasa pada saat itu.
Tulisan Paul Stange, Marshall Alexander Clark dan Kuwato juga dapat
dilihat dalam konteks rekonstruksi, karena terkait erat dengan bagaimana
kekuasaan dimapankan. Dalam beberapa hal, konstruksi dan reproduksi menjadi
dua bahasan yang kait mengkait.
Berangkat dari paparan pustaka diatas, dunia seni pertunjukan teater
belum secara maksimal dieksplorasi dalam penelitian yang dilakukan. Terutama
7 adalah salah satu gejala kebudayaan yang mengambil banyak perhatian kalangan
muda. Apa yang diuraikan dalam hasil penelitian ini pada dasarnya adalah
uraian-uraian dasar terkait dengan keberadaan teater remaja dalam interaksinya
dengan tradisi.
BAB III Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi :
1. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan
ekspresi kesenian kelompok teater remaja di Kota Solo.
2. Mengetahui tekstur pertunjukan teater remaja.
3. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan konstruksi tradisi dalam pertunjukan
teater remaja
Manfaat Penelitian
Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi
Prodi Teater dalam membangun pemahaman-pemahaman strategis untuk
pembinaan kelompok-kelompok teater remaja di Kota Solo. Bagi mahasiswa,
dosen dan seluruh civitas akademika ISI Surakarta, hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan keilmuan terutama dalam bidang
antropologi budaya dan perubahan sosial.
BAB III. Metode Penelitian
A.Pendekatan dan Lokasi Penelitian
Perubahan dalam upaya eksistensi inilah yang dibaca sebagai reproduksi.
8 mendefinisikannya sebagai suatu proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai
budaya yang masih eksis dari generasi ke generasi. Reproduksi kebudayaan
merujuk pada mekanisme untuk keberlangsungan dan eksistensi dari
pengalaman-pengalaman budaya terdahulu (Bilton, 1996). Hal ini berarti bahwa
disatu sisi bentuk tradisi masih dipertahankan, namun disisi lain
kebutuhan-kebutuhan saat ini juga diakomodir. Raymond Williams menegaskan hal tersebut
di dalam bukunya yang berjudul Culture, menurutnya reproduksi diperlukan
sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaan. Reproduksi menurutnya
adalah a copy atau making a copy. Kata a copy (salinan/tiruan), seperti proses mekanik atau elektronik yang menghasilkan sesuatu sebagaimana wujud aslinya.
Adapun making a copy seperti yang terjadi dalam proses biologi yang bertujuan
untuk membuat suatu organisme baru, dimana proses berlangsung lama dan
terkadang terjadi perubahan pada bentuk fisik dan intrinsiknya (Williams,
1981:185). Dari kedua pengertian etimologis tersebut, reproduksi pada dasarnya
adalah suatu upaya untuk mempertahankan suatu bentuk.
Dalam ranah budaya, yang terjadi adalah making a copy dimana
perubahan yang terjadi dalam waktu yang lama dan mengikuti kebutuhan
komunitas yang lebih besar sebagaimana yang dikemukakan oleh Barucha diatas,
sehingga terkadang hal tersebut tidak disadari oleh pendukung kebudayaan
tersebut. Reproduksi di sini dapat terjadi pada bentuk fisik, simbol ataupun
makna yang menjadi bagian integral dari suatu kebudayaan.
Secara terminologis reproduksi kebudayaan diartikan sebagai suatu
proses aktif yang menegaskan keberadaan suatu kebudayaan dalam ruang sosial
yang berbeda, sehingga mengharuskannya untuk melakukan adaptasi bagi
kelompok yang memilki latar belakang yang berbeda (Abdullah, 2006 : 41).
Proses aktif di sini adalah keterlibatan secara intent dari budaya asal (tradisi)
dalam ruang sosial yang berbeda tersebut, selain itu dalam proses tersebut,
budaya tradisi melakukan proses negosiasi untuk tetap mempertahankan tradisi
9 Proses reproduksi yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah proses
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga non formal yakni kelompok teater remaja.
Kelompok teater remaja adalah kelompok-kelompok teater yang berada di
sekolah-sekolah menengah atas yang ada di Kota Solo. Penulis tertarik untuk
melihat hal ini karena, ada kecenderungan dikalangan remaja untuk menjauh
dari tradisi yang mereka anggap out of date dan terlalu njelimet.
Dalam penelitian ini reproduksi tersebut dilihat sebagai gejala
kebudayaan, sehingga pendekatan yang sangat memungkinkan untuk
menjelaskan gejala kebudayaan tersebut adalah pendekatan antropologi budaya dengan menggunakan perspektif cultural reproduction (reproduksi kebudayaan).
Dalam memahami gejala kebudayaan, perspektif cultural reproduction
beranggapan bahwa kebudayaan yang hadir saat ini adalah kebudayaan yang
dihasilkan dari proses negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan dengan
kepentingannya masing-masing (Friedman, 1995).
Adapun tradisi yang menjadi fokus penelitian ini adalah tradisi
masyarakat Jawa dalam pengertian yang umum, baik dari segi pitutur, bentuk
pertunjukan ataupun makna-makna yang coba dihadirkan. Dalam konteks
kelompok teater remaja, reproduksi tradisi ini akan dilihat dalam suasana, musik,
spactacle, dialog dan nilai yang dikonstruksi. Oleh karena itu terkadang mereka
memberikan tafsir sendiri atas cerita dari tokoh-tokoh dalam naskah. Begitu juga
dengan masyarakat pendukung kebudayaan mereka memberikan tafsir sendiri
atas simbol-simbol tokoh dalam naskah atau pertunjukan.
Penelitian ini dilakukan di kota Solo yang beberapa tahun terakhir ini
cukup marak dengan kemunculan kelompok-kelompok teater remaja.
Kelompok-kelompok teater remaja ini berada di sekolah-sekolah menengah atas
baik yang negeri atau swasta. Berdasarkan survey yang dilakukan setidaknya
10 B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berupa, dokumen, data lapangan yang
didapatkan dari para informan dan pertunjukan teater. Dokumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah hasil-hasil penelitian terdahulu yang
sesuai dengan tema penelitian ini dan rekaman pertunjukan. Informan terdiri
dari beberapa unsur, pertama dari unsur pelatih, alumni, siswa yang masih aktif
di kelompok teater tersebut. Sumber data juga di dapatkan melalui menyaksikan
langsung pertunjukan teater.
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara. Pertama adalah
dengan studi pustaka yang digunakan untuk mengetahui perkembangan teater,
dan konsep-konsep umum mengenai teater. Di samping itu juga untuk
membandingkan hasil-hasil penelitian terdahulu guna memperkuat data yang
telah didapatkan dari penelitian ini. Kedua adalah teknik Indepth interview atau
wawancara mendalam (Fontana dan Frey, 1994 : 365-366). Wawancara
mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden ini ditujukan untuk
mengetahui pemahaman mengenai persamaan dan perbedaan,
pengklasifikasian, menangkap berbagai istilah-istilah yang dipakai oleh pendukung kebudayaan terkait dengan masalah simbol dan konsepsi yang
mereka gunakan. Untuk mendapatkan data yang detail dan jelas dilakukan
wawancara secara berulang kepada informan atau respoden yang sama dan
didukung dengan alat rekam suara. Ketiga adalah dengan observasi berperan
pasif (Spradley, 1980) yang didukung dengan rekam audio visual yang digunakan
untuk mengamati berbagai peristiwa di masyarakat dan peristiwa dalam suatu
pertunjukan teater.
D.Validitas Data
Untuk menjaga keabsahan data, penelitian ini menggunakan teknik
11 sumber data artinya, pengumpulan data sejenis melalui berbagai sumber data
yang berbeda. Misalnya data mengenai simbol dalam pertunjukan dapat digali
melalui beberapa unsur informan atau responden yang berbeda, seperti
kalangan seniman, budayawan, birokrat, dan pedagang. Trianggulasi metode,
artinya mengumpulkan data sejenis melalui berbagai metode, seperti data
mengenai simbol dapat diperoleh dengan metode wawancara, observasi dan
dokumen. Review informant, artinya simpulan sementara hasil penelitian
kemudian dimintakan koreksinya kepada informan kunci. Hal ini digunakan
untuk merevisi agar informasi yang diperoleh benar-benar sesuai dengan konteksnya.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini mengikuti apa yang telah dilakukan oleh
Bogdan dan Biklen (1982). Menurutnya ada beberapa proses dalam teknik
analisis lapangan. Pertama, mengambil keputusan untuk mempersempit studi.
Kedua, memutuskan jenis studi yang hendak diselesaikan. Ketiga, membuat
pertanyaan-pertanyaan analitis. Keempat, merencanakan sesi pengumpulan data
berdasarkan temuan pada pengamatan sebelumnya. Kelima, membuat komentar
amatan mengenai gagasan yang muncul dalam, fikiran. Keenam, menyusun
memo mengenai hal yang telah berhasil dipelajari. Untuk analisis datanya
dilakukan model analisis interaktif dari Miles dan Huberman (1984). Menurutnya
ada tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan
simpulan atau verifikasi, yang ketiganya dilakukan dalam bentuk interaktif
dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus. Di sini peneliti bergerak
diantara ketiga komponen tersebut selama proses pengumpulan data penelitian
12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Pertunjukan Tradisi di Kota Solo
Kota Solo mencitrakan dirinya sebagai kota budaya dengan slogan ‘Solo
the Spirit of Java” yang terpampang diberbagai tempat di Kota Solo. “Solo The
Spirit of Java” secara umum mengandung arti bahwa “Solo merupakan jiwanya
Jawa”. Dari segi kebahasaan slogan ini dapat diartikan dalam dua hal. Pertama
adalah bahwa kata spirit merujuk pada dunia transendental yang berkaitan
dengan kepercayaan dan keyakinan. Dengan kata lain, kata “spirit” terkait
dengan mentalitas, mistik, dan magis, dengan kata lain spirit mempunyai arti
yang berhubungan dengan keyakinan dalam konteks agama terutama dalam
pandangan orang Jawa. Kedua, di dalam tubuh manusia spirit merujuk pada
sesuatu yang abstrak yang letaknya di dada, seperti pada saat kita menyebut
kata spirit tangan kita selalu menunjuk pada bagian dada yang dikorelasikan
dengan hati atau jantung. Oleh karenanya dalam anggapan umum spirit menjadi
penentu keberlangsungan hidup. Karena spirit di satu sisi digunakan sebagai
motivasi untuk mencapai sesuatu, di sisi lain spirit diartikan jiwa yang
menggerakan tubuh kita. Dari sini dapat kita fahami bahwa slogan tersebut
berupaya mendudukan bahwa Solo sebagai ruh atau jiwa kebudayaan Jawa.
Salah satu manifestasi dari slogan tersebut adalah sebagaimana yang
terlambang dari huruf “O” pertama pada tulisan “SOLO” dari slogan tersebut.
Huruf “O” ini diambil dari bentuk dasar motif batik kota Solo yang juga dikenal sebagai salah satu kota batik di pulau Jawa. Bentuk dasar motif batik ini
13 parang kusumo, sido asih, sidho luhur, Semen rante, sawat, meru,nogo, burung
dan modang. Motif-motif batik ini menjiwai kehidupan dalam konteks kosmologi
orang Jawa. Namun lebih dari hal tersebut, “Solo the Spirit of Java” ingin
menunjukkan pada dunia bahwa Solo merupakan kota seni dan budaya. Tentu
saja konteks seni dan budaya harus difahami secara lebih luas dengan
mengedepankan tradisi sebagai inspirasi atau bahan dasar dari produk seni dan
budaya tersebut.
Solo dengan jumlah penduduk sekitar 545.653 pada tahun 2012
mempunyai tingkat keberagamaan etnis yang cukup tinggi yang. Namun, kebudayaan di Kota Solo dipengaruhi oleh 3 kelompok etnis, yakni keturunan
Cina, Keturunan Arab dan Jawa. Ketiga kelompok suku bangsa tersebut, sebagian
terpusat dibeberapa tempat di Solo. Etnis Cina sebagian besar terpusat di
daerah-daerah pertokoan, seperti disekitar pasar Gedhe, sepanjang jalan Slamet
Riyadi, dan Kec. Banjar Sari secara umum. Kelompok etnis keturunan Arab
tersebar di daerah Pasar Kliwon, baluwarti, dan gajahan. Adapun etnis Jawa
tersebar diberbagai tempat di Kota Solo.
Keberagaman etnis tersebut tentunya memunculkan keberagamaan
bentuk ekspresi kesenian yang berbasis tradisi. Hal yang menarik dari aktifitas
kesenian tersebut adalah keterlibatan masyarakat Solo dalam aktiftas kesenian
walaupun berbeda suku bangsanya. Dengan kata lain bahwa aktifitas kesenian
tersebut menembus batas-batas budaya. Keterlibatan suku bangsa yang berbeda
ini baik aktif ataupun tidak. Seperti pada pelaksanaan cap go meh yang
melibatkan suku bangsa Jawa sebagai pengiring ataupun pemain barongsai.
Begitu juga pada pelaksanaan Solo Batik Carnaval yang melibatkan kelompok
sukubangsa lain yang ada di Solo.
Dalam konteks seni dan budaya inilah, pertunjukan menjadi kata kunci
untuk memahami Solo sebagai kota budaya. Karena pertunjukan merefleksikan
berbagai hal yang terkait dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan dunia
14 dilontarkan oleh Victor Turner sebagaimana yang dikutip oleh Lono Simatupang
diatas kita dapat memahami pentingnya pertunjukan dalam pencitraan Solo Kota
Budaya. Hal ini menunjukkan bahwa carnaval, wayang orang, Ketoprak Sriwedari
atau Ketoprak Balekambang, wayang kulit, dan berbagai pertunjukan lainnya
merefleksikan sisitem budaya yang ada di Solo. Bahkan dalam perihal yang
sangat spesifik yakni individu dari masyarakat Solo. Hal ini dapat dilihat dari
unsur tekstur pertunjukan, seperti dialog yang menggunakan bahasa Jawa,
kalaupun menggunakan bahasa Indonesia, terdapat penekanan-penekanan
khusus pada konsonan-konsonan, sehingga rasa yang muncul dari dialog tersebut dominan Jawa. Hal ini semakin diperkuat dengan alur cerita yang
terfokus pada sejarah kehidupan kekuasaan Mataram, atau cerita-cerita raja-raja
Jawa terdahulu. Tokoh yang digunakan adalah juga tokoh yang dikenal dalam
sejarah masyarakat Jawa. Spactacle yang dihadirkan juga sangat Jawa sentris,
seperti kostum pemain, asesoris yang digunakan, artistik terutama musik yang
menjadi pendukung suasana menggunakan alat-alat musik gamelan.
Ragam pertunjukan yang dihadirkan di Kota Solo menarik masa secara
massive untuk hadir di suatu tempat. Kondisi ini tentunya semakin
mempermudah untuk membangun citra Solo sebagai Kota budaya, atau secara
lebih spesifik Solo sebagai Kota Pertunjukan. Statement ini diperkuat dengan
antusiasme dan partisipasi masyarakat ketika berlangsungnya pertunjukan. Pada
perayaan karnaval wayang dalam rangka memperingati hari jadi Kota Solo
misalnya, masyarakat dari berbagai lapisan, golongan, agama dan status sosial
ikut terlibat sebagai peserta karnaval. Sebagian yang lain tumpah ruah
disepanjang Jalan Slamet Riyadi untuk menyaksikan arak arakan karnaval
wayang.
Begitu juga dengan pertunjukan teater memberikan gaya tarik tersendiri
bagi keompok-kelompok tertentu yang secara emosional ataupun pragmatis
terkait dengan teater. Salah satunya disini adalah kalangan remaja yang
15 menengah pertama, sampai dengan perguruan tinggi. Kelompok-kelompok ini
secara aktif melakukan pertunjukan yang diselenggarakan diberbagai tempat di
Kota Solo. Salah satu fenomena yang menarik dari teater remaja ini adalah
kehadiran “suporter” yang ikut menyemarakan pertunjukan. Peneliti katakan
demikian karena layaknya suporter suatu pertandingan, mereka terkadang
menyoraki pemain baik karena lucu, ataupun karena mereka kenal dekat dnegan
pemain tersebut. Mereka bertepuk tangan pada saat akan dimulainya
pertunjukan dan diakhir pertunjukan, selain itu mereka terkadang juga bertepuk
tangan ketika ada dialog-dialog yang menyinggung/ menyindir suatu kasus nasional. Mereka tertawa lepas ketika ada adegan-adegan yang lucu, bahkan tak
jarang mereka juga meneriakkan yel-yel kelompok teater tersbeut atau nama
sekolahnya, terutama pada saat festival teater. Bedanya dengan suporter dalam
pertandingan adalah mereka tidak membawa alat musik untuk menyemangati
kelompok mereka dan tidak gaduh pada saat berlangsungnya pertunjukan.
Seturut dengan yang disampaikan Irwan Abdullah dalam bukunya
Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (2006 :47-50) bahwa pertemuan antara
citra yang dibangun oleh pemerintah Kota Solo dengan tradisi yang berkembang
di masyarakat Solo membentuk dua hal yakni adanya konsumsi simbolis yang
berlebih dan kedua adanya transformasi estetis dalam pertunjukan. Pertama
adalah konsumsi simbolis yang berlebih mengarahkan masyarakat sebagai
pembentuk sekaligus pengguna tradisi lebih menekankan pada nilai-nilai simbolis
dibandingkan dengan kegunaan dan fungsi tradisi. Untuk mendukung hal
tersebut, maka berbagai varian pertunjukan yang berbasis tradisi hadirkan.
Tradisi hanya difahami sebagai bentuk (formal) sebagaimana ketoprak, wayang
orang, wayang kulit, dan karnaval. Untuk itulah dalam kebijakan politik
kebudayaan spectacle menjadi hal utama yang dihadirkan karena dapat secara
langsung mengidentifikasi bentuk dari tradisi. Lebih khusus lagi tradisi dalam
16 Kedua, adalah transformasi estetis. Penguatan-penguatan pada bentuk
(formal) menggeser spirit tradisi yang seharusnya menjadi cabang kedua dari
tradisi1
Sebelum mendiskusikan lebih jauh mengenai Solo sebagai kota budaya,
terlebih dahulu perlu dijelaskan disini konsep pertunjukan yang dimaksud dalam (Simatupang, 2013:). Penggeseran spirit dari tradisi ini dikarenakan
dominasi kekuatan ekonomi dalam konteks wisata ataupun industri kreatif. Oleh
karenanya penghadiran bentuk-bentuk simbolis tradisi dalam pertunjukan lebih
menekankan pada aspek keindahan bentuk.
Pada konteks ini peneliti melihat ada proses negosiasi simbol dan makna
(Abdullah, 2006) dari suatu pertunjukan yang berbasis tradisi. Proses negosiasi
ini memadukan kepentingan-kepentingan pengguna seni pertunjukan dengan kesenian tradisi yang berkembang dimasyarakat. Kecenderungan yang terjadi
dari proses negosiasi ini adalah dipertahankannya bentuk-bentuk formal dari
tradisi. Karena bentuk formal ini terindra sehingga sangat mudah untuk
mengidentifikasi ketradisian suatu pertunjukan. Sedangkan spirit yang intangible
berganti sesuai dengan kepentingan pengguna seni pertunjukan. Negosiasi
simbol dan makna ini juga dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi tradisi dalam
ruang sosial baru yang akan terus berubah. Karena memang tidak ada tradisi
yang stagnan atau bertahan tanpa ada perubahan (Simatupang 2013: 160;
Linnekin, 1983:241).
Secara umum paparan singkat diatas menjelaskan bahwa pertemuan
antara citra yang dibangun oleh kota Solo sebagai kota budaya yang berbasis
tradisi dengan kreatifitas masyarakat adalah ruang reproduksi dan rekonstruksi
tradisi Jawa. Dalam proses rekonstruksi dan reproduksi ini terjadi negosiasi
simbol dan makna. Simbol yang dihadirkan tidak lagi simbol sebagaimana bentuk
melalui pertunjukan inilah Terkait dengan penelitian yang dilakukan ruang-ruang
pertunjukan inilah yang menjadi media reproduksi kesenian tradisi.
1
17 tulisan ini. Karena di masyarakat pertunjukan terkadang dimaknai secara
arbitrair (semena-mena : meminjam istilah dari kalangan strukturalis). Segala
sesuatu yang disaksikan oleh masyarakat terkadang didefinisikan sebagai
pertunjukan. Berangkat dari hal tersebut, bagi peneliti perlu kiranya memberi
batasan konsepsional terkait dengan pertunjukan yang dimaksud dalam tulisa ini.
Secara umum seni pertunjukan mempunyai kesejajaran kata dengan
performace art dalam bahasa Inggris. Sebutan seni pertunjukan juga disetarakan
dengan pergelaran dalam bahasa Indonesia. Seturut dengan konsepsi yang
diuraikan oleh Lono Simatupang dalam bukunya yang berjudul Pergelaran
Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya mensyaratkan tiga hal untuk suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai pergelaran (Simatupang, 2013:64-67). Karena
menurutnya peristiwa keseharian yang biasa kita alami tidak seluruhnya
merupakan suatu pergelaran atau pertunjukan.
Syarat pertama adalah adanya kesengajaan untuk dipertontonkan,
dipergelarkan atau dipertunjukkan. Kesengajaan atau kehendak untuk
dipertontonkan ini tentu saja sudah melalui suatu proses persiapan, dengan kata
lain bahwa peristiwa tersebut tidak muncul secara tiba-tiba. Dia mencontohkan
seperti pada peristiwa kebakaran atau tabrakan, orang beramai-ramai
mendatangi tempat kejadian dengan tujuan untuk menyaksikan peristiwa
tersebut. Namun, petugas yang berwenang (polisi, pemadam kebakaran)
meminta orang-orang tersebut untuk tidak mendekat atau membubarkan
kerumunan dengan mengatakan bahwa hal itu bukan tontonan atau bukan
pertunjukan. “Bukan tontonan”, statement ini cukup beralasan karena sang
pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut tidak mempunyai
keinginan agar peristiwa tersebut ditonton.
Syarat kedua adalah ketidakbiasaan (extraordinariness), hadirnya
penonton dalam suatu peristiwa atau terhadap suatu pertunjukan karena hal
tersebut di luar dari kebiasaan. Orang-orang berdesakan untuk melihat peristiwa
18 kehadiran kita atau penonton dalam suatu pertunjukan dikarenakan pertunjukan
itu sendiri bukanlah hal yang biasa. Menurut Lono Simatupang, hal yang tidak
biasa dalam pergelaran dihadirkan melalui waktu, ruang, suara, cahaya, gerak,
ucapan, benda, dan hal-hal lain yang diatur sedemikian rupa untuk dihadirkan
dalam peristiwa pergelaran.
Untuk memahami hal yang extraordinary dalam pertunjukan ini peneliti
mengutip dari apa yang disampaikan oleh Eugenio Barba dalam The Paper Canoe
A Guide to Theatre Anthropology (1995: 15-16) yang membagi tiga aktifitas
dalam daily technique, extra daily technique, dan virtuosic technique. Daily technique adalah gerak tubuh keseharian yang dikondisikan oleh budaya, status
sosial dan profesi. Adapun dalam dunia teater gerak tubuh yang dihadirkan
adalah gerak tubuh diluar keseharian (extra-daily technique). Virtuosic technique
merupakan gerak tubuh yang menunjukkan kehebatan atau keterampilan yang
tidak dapat dilakukan oleh orang lain, seperti yang kita lihat dalam atraksi-atraksi
akrobat.
Ketiga adalah pertemuan maksud atau tujuan penyaji pertunjukan
dengan harapan penonton untuk mendapatkan sesuatu yang tidak biasa
(extraordinary). Pertemuan maksud dan harapan ini adalah proses interaksi
antara penonton dengan penyaji yang dimediasi oleh pertunjukan yang
dihadirkan. Dalam proses interaksi ini penonton menggunakan pengalaman
sehari-harinya dalam upaya mengidentifikasi setiap detail yang dihadirkan pada
suatu pertunjukan. Oleh karenanya ekspresi dalam bentuk ketawa, sedih, dan
marah dari penonton merupakan respon terhadap pertunjukan.
Dalam pertunjukan teater kesengajaan untuk melakukan pertunjukan
dipersiapan sedemikian rupa oleh sutradara dan pemain, serta crew yang
terlibat. Secara umum terjadinya suatu pertunjukan teater melalui beberapa
tahapan yang dimulai dengan memilih dan menganalisa naskah oleh sutradara,
melakukan casting dalam rangka menentukan pemain, selanjutnya reading,
19 costum dan tata cahaya untuk pertunjukan. Setelah semua proses ini dilalui,
maka pertunjukan layak untuk dilakukan.
Tahapan-tahapan ini merupakan proses untuk mempersiapkan
pertunjukan. Hal ini menunjukkan kesengajaan suatu pertunjukan dilakukan
dalam waktu yang cukup panjang. Proses ini juga dimaksudkan untuk
memunculkan ketidakbiasaan (extraordinary) dari aktifitas keseharian baik pada
gerak-gerak dramatik, tata cahaya ataupun tata pentas/ kostum. Karena di dalam
proses ini terjadi sharing antara pemain dan sutradara serta crew yang terlibat
dalam suatu pertunjukan. Berangkat dari tetiga syarat pertunjukan sebagaimana yang telah peneliti sampaikan diatas maka, dapat disimpulkan secara sederhana
bahwa aktifitas kebudayaan dan kesenian yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Kota Solo dapat disebut sebagai pertunjukan ataupun pergelaran. Oleh
karenanya ada yang membagi seni pertunjukan menjadi seni teater, seni
musik,,dan seni tari.
Untuk melihat lebih jauh pertunjukan di Kota Solo, bab ini diawali dengan
pemahaman awal mengenai pergelaran, selanjutnya diuraikan bentuk
pertunjukan di kota Solo yang dibagi ke dalam dua kategori yakni pertunjukan
yang menggunakan proschenium dan pertunjukan yang tidak menggunakan
proschenium. Kategorisasi yang berbasis pada obyek material pertunjukan ini
pada dasarnya adalah upaya untuk mempermudah memahami pertunjukan di
Kota Solo. karena berangkat dari dua kategori inilah
B. Klasifikasi Pertunjukan Budaya 1. Pertunjukan dipanggung
Panggung adalah ruang yang menjadi frame suatu peristiwa teater
dimainkan. Dalam dunia teater panggung bagi seorang sutradara adalah kanvas
besar yang siap untuk diberi berbagai warna dan bentuk. Adapun bagi seorang
pemeran atau aktor selain suara dan tubuhnya panggung adalah wadah untuk
20 untuk menghadirkan sesuatu yang berada diluar kebiasaan baik melalui asesoris
yang digunakan, bentuk panggung ataupun gerak dan suara yang lahir dari
tubuh. Panggung yang dikalangan teater dikenal dengan sebutan proscenium
merupakan pembatas daerah pandang penonton yang lebih terfokus pada arah
depan. Oleh karena itu pertunjukan diatas panggung harus memberikan layanan
yang memuaskan bagi penonton.
Pengkategorian bentuk-bentuk pertunjukan ini lebih berdasarkan pada
ruang dimana pertunjukan tersebut dilakukan. Secara umum penggunaan
panggung pada beberapa pertunjukan lebih didasari oleh fikiran-fikiran praktis yakni agar dapat dilihat oleh audiens, seperti SIPA (Solo International
Performande Arts) dan SIEM (Solo International Ethnic Music). Selain itu
masyarakat juga mengidentifikasikan bahwa pertunjukan di panggung adalah
pertunjukan yang dijual, karena untuk dapat menikmati pertunjukan tersebut,
seseorang harus mempunyai tiket baik didapatkan dengan cara membeli
ataupun karena diundang untuk menyaksikan suatu pertunjukan. Hal ini
tentunya sangat berbeda dengan pertunjukan yang diselenggarakan tanpa
menggunakan panggung, dimana masyarakat dapat dengan mudah untuk
mengakses pertunjukan tersebut dengan tanpa menggunakan tiket.
Dari wawancara yang dilakukan, setidaknya ada 5 pertunjukan yang
dipertunjukan di atas panggung yakni SIPA, SIEM, Ketoprak Sriwedari, Ketoprak
Balaikambang, Wayang Orang Sriwedari, Wayang Orang Balaikambang. Terkait
dengan SIPA (Solo International Performance Arts) dan SIEM (Solo International
Ethnis Music) adalah kegiatan yang diselenggarakan satu tahun sekali yang
dikelola oleh pemerintah Kota Solo.Dua kegiatan tersebut menampilkan berbagai
bentuk pertunjukan terutama vokal dan musik, tari, musik instrumen dan lain
sebagainya. Namun yang manarik dari pertunjukan ini adalah kesenian tradisi
yang menjadi material utama dari pertunjukan tersebut baik alat musik, syair,
21 Selanjutnya adalah ketoprak yang merupakan teater tradisional yang
embrio awalnya merupakan permainan orang-orang desa dengan menabuh
lesung secara berirama dan telah ada pada tahun 1887 (Sumarjo, 2004:60-62).
Sebagaimana teater tradisional pada umumnya, ketoprak juga tidak membuat
batas yang tegas antara pemain dengan penonton, beberapa narasumber
menyebutkan bahwa batas yang digunakan adalah sebuah tikar (jw. kloso). Para
pemain beraksi diatas kloso dan penonton berada di bagian luar pinggir kloso.
Dalam konteks saat ini sejarah kemunculan dan perkembangan ketoprak tidak
lagi menjadi referensi generis pelaku dan penikmat kesenian ketoprak. Teater tradisional ketoprak sebagai kesenian tradisi masyarakat Jawa muncul dalam
ruang yang berbeda. Tidak hanya dari segi asesoris yang ditampilkan namun yang
paling fundamental adalah kehadiran panggung yang berjarak dengan penonton
dan dengan ruang antara yang cukup lebar seperti ruang-ruang pertunjukan di
Sriwedari dan Balekambang. Dasar ini yang mereka gunakan untuk
mengidentifikasi bahwa ketoprak dikategorikan sebagai pertunjukan diatas
panggung.
Terkait dengan Wayang Orang, masyarakat secara jeli membedakan
antara pertunjukan yang dilaksanakan di atas panggung dengan pertunjukan
yang tidak menggunakan panggung. Dua tempat yang disebutkan di atas,
Sriwedari dan Balekambang, merupakan gedung pertunjukan yang menggunakan
panggung. Selain itu masyarakat juga menyebut Wayang Orang Mangkunegaran
yang tidak menggunakan panggung yang membedakannya dengan Wayang
Orang Sriwedari dan Wayang Orang Balekambang.
Pak Sarwono warga Solo yang tinggal di Dukuh Kuyudan Makamhaji
menuturkan bahwa ada perbedaan rasa ketika menyaksikan pertunjukan
Wayang Orang di Mangkunegaran dengan di Sriwedari. Menurutnya menonton
pertunjukan wayang orang di Mangkunegaran membuat dia merasa dekat
dengan para pemain dan merasa terlibat dalam pertunjukan tersebut. Namun
22 benar-benar menjadi penonton. Hal yang sama juga dirasakan oleh Pak Seno
yang tinggal di Mangkuyudan, Solo. Dia berpendapat bahwa pertunjukan wayang
orang ataupun ketoprak yang ada di Sriwedari sudah kehilangan “rasa” dari
pertunjukan.
Geertz (1991: 47) melihat konsep rasa bagi orang Jawa adalah hal
fundamental untuk melihat dan korespondensi untuk kebenaran, keindahan, dan
kebaikan adalah juga cara untuk mengalami sesuatu. Geertz (1991:61) membagi
rasa menurut orang Jawa dalam dua arti pokok yakni rasa yang berarti feeling
“perasaan” dan berarti meaning “ makna”. Rasa sebagaimana yang dialami oleh Pak Sarwono dan Pak Seno di atas merupakan rasa dalam artian makna yakni
rasa yang berarti “makna terakhir” atau makna terdalam yang dicapai orang
Jawa. Pada konteks ini kita memahami bahwa rasa menjadi standar ukur estetis
untuk menilai keindahan dari gerak tubuh suatu pertunjukan.
Perbedaan rasa yang dialami oleh penonton suatu pertunjukan terjadi
karena adanya penjarakan antara penonton dengan pemain. Panggung yang
dihadirkan dalam ruang memediasi rasa pertunjukan tersebut. Dari sini kita
dapat memahami bagaimana masyarakat membuat klasifikasi pertunjukan yang
didasarkan pada kedekatan rasa antara penonton dengan pemain suatu
pertunjukan. Panggung memediasi penjarakan rasa antara penonton dengan
pemain. Semakin jauh jarak panggung dengan penonton maka akan semakin
jauh juga jarak antara rasa dengan penonton.
2. Pertunjukan Tanpa Proscenium
Pertunjukan tanpa proscenium (panggung) adalah pertunjukan yang
dilakukan di jalan utama kota Solo yakni Jalan Slamet Riyadi dan pertunjukan di
arena terbuka tanpa menggunakan panggung (stage). Pertunjukan-pertunjukan
ini biasanya melibatkan masyarakat secara massive dengan kemudahan untuk
mengakses pertunjukan tersebut. Hal umum yang dapat kita lihat dari
23 pertunjukan atau pemain, sehingga terkadang kita tidak melihat batas yang tegas
yang membedakan antar keduanya selain masalah kostum.
Pertunjukan ini dilakukan dalam bentuk karnaval. Karnaval budaya
berbasis pada tradisi yang dianggap sebagai adi luhung, tradisi ageng menurut
Umar Kayam (2001: 34) atau tradisi alus dalam istilah Clifford Geertz
(1981:350-386). Tradisi tersebut adalah seni tradisi keraton, tradisi para priyai yang mapan,
teratur, mengikuti pakem, establish, struktural, dan tertata (Ansari, 2010:26).
Tradisi ageng yang dikarnavalkan ini adalah karnaval wayang (Solo Wayang
Carnival) dan karnaval batik (Solo Batik Carnival). Dua bentuk karnaval inilah yang secara singkat diulas dalam tulisan ini.
Pertama adalah festival wayang yang diselenggarakan bertepatan dengan
ulang tahun kota Solo, yakni pada bulan Februari. Festival yang diselenggarakan
pada tahun 2013 ini adalah festival yang kedua. Solo Wayang Carnival diikuti
oleh berbagai kelompok kesenian masyarakat, lembaga pendidikan, karang
taruna dan instansi pemerintah. Mereka menampilkan berbagai tokoh dan
bentuk wayang seperti wayang kulit, wayang wong dan wayang beber.
Peserta karnaval melakukan long march di sepanjang Jalan Slamet Riyadi
yang merupakan jalan utama di Kota Solo dan sesekali menari ataupun bergerak
sesuai dengan kostum tokoh wayang yang mereka gunakan. Mereka berjalan
beriringan tanpa membentuk formasi dan dengan baris yang kurang teratur.
Beberapa dari peserta tersebut membawa boneka wayang kulit dengan berbagai
macam tokoh dalam pewayangan, sebagian yang lain memakai kostum wayang
orang seperti Hanoman, Dewi Shinta, punakawan, Burisrawa, Arjuna dan lain
sebagainya. Diantara peserta juga ada yang berpakaian seperti wali songo dan
tokoh-tokoh yang menyejarah di tanah Jawa. Hal yang menjadi gaya tarik dari
karnaval tersebut adalah ketika walikota Solo Joko Widodo karnaval tahun 2012
menggunakan kostum tokoh Arjuna dan FX. Hadi Rudiyatmo pada karnaval tahun
24 dan masyarakat berebut mencari posisi yang bagus untuk mendokumentasikan
kedua pemimpin tersebut.
Dalam konteks ini kita melihat bahwa ada relasi yang kuat antara tradisi
dan penguasa. Negara dalam hal ini Wali Kota Solo mereproduksi bentuk-bentuk
kekuasaan Jawa (Moedjanto, 1987) dengan mengambil posisi sebagai cucu
lampah perjalanan tradisi Jawa. Dalam konsep kebudayaan Jawa sesuatu yang
bisa dianggap menjadi cucu lampah haruslah berkharisma dan sakral. Oleh
karenanya pemosisian walikota Solo sebagai cucu lampah masyarakat Solo dan
budaya yang menjadi identitasnya ingin mengambil sifat-sifat kharismatis dan sakral tersebut. Hal ini diperkuat dengan kostum yang mereka gunakan baik
Arjuna ataupun Wrekudara yang menjadi tokoh sentral Pandawa dalam
kebudayaan Jawa. Sebagaimana pandangan umum masyarakat Jawa yang lebih
banyak mengenal Wrekudara dan Arjuna dibandingkan tiga tokoh Pandawa
lainnya (Yudistira, Nakula, dan Sadewa).
Dalam konteks sosial masyarakat yang terus berubah, tradisi dibawah
arahan negara tentunya mempunyai orientasi yang berbeda ketika dikawal oleh
masyarakat pendukung kesenian tersebut. Masyarakat tradisi masih melihat
kesenian sebagai model dari keseharian aktifitas yang meraka lakukan. Karena
menurut mereka nilai-nilai luhur yang menjadi pegangan dalam kesenian masih
terekam baik dalam setiap pertunjukan. Hal ini tentunya akan berbeda ketika
negara mengambil alih peran-peran tersebut, nilai dan keindahan yang menjadi
orientasi estetis kesenian diukur dari seberapa besar tingkat kehadiran
masyarakat dalam pertunjukan tersebut dan seberapa besar pula imbal balik
yang didapat dari pertunjukan tersebut, baik secara ekonomi ataupun politik.
Secara umum, karnaval tersebut seolah-olah ingin menegaskan kekuatan
tradisi dalam kehidupan masyarakat Jawa yang hingga saat ini masih eksis
bahkan diakui oleh dunia melalui UNESCO yang menetapkan wayang sebagai
warisan budaya dunia. Dalam konteks ini, pertunjukan wayang kulit yang semula
25 memamerkan bentuk dan wujud wayang. Tidak ada dalang yang menjadi peraga
wayang dan tidak ada lakon yang mengatur keluar dan masuknya wayang dalam
adegan-adegan. Namun antusiasme warga jauh lebih besar dibandingkan dalam
suatu pertunjukan wayang. Jalan Slamet Riyadi yang menjadi rute long march
sepanjang kurang lebih 3 km dipadati oleh masyarakat yang menyaksikan
iring-iringan karnaval. Tidak hanya itu mereka juga berebut mencari tempat terdepan
agar dapat melihat secara jelas iring-iringan karnaval. Mereka mengabadikan
moment-moment yang mereka anggap unik bahkan banyak dari penonton rela
mengantri untuk berfoto bersama peserta karnaval yang sebagian besar menggunakan kostum tokoh dalam pewayangan.
Keterlibatan penonton secara aktif dalam karnaval tersebut,
menunjukkan bahwa karnaval menjadi hiburan bagi masyarakat kota Solo dan
sekitarnya. Bentuk partisipasi mereka terhadap pentunjukan ini adalah
keterlibatan mereka dalam membagun cerita-cerita dari tokoh wayang di
visualisasikan baik melalui kulit wayang kulit, ataupun melalui orang, wayang
orang.
Wayang dalam suatu pertunjukan dipangggung berjarak dengan
penonton. Dalang dalam lakonnya membangun cerita-cerita kayangan mengenai
kehidupan penguasa-penguasa dalam epos Ramayana dan Mahabharata. Untuk
menunjukkan keterlibatannya, penonton mengidentifikasi kediriannya dengan
peristiwa atau tokoh dalam lakon pewayangan yang dimainkan dalang (Ansari,
2010:27). Namun pada saat karnaval interaksi timbal balik terjadi antara wayang
yang diperankan oleh para penari atau pemain yang berkostum wayang dengan
penonton. Hubungan mereka terasa amat cair, lebur bersama karena tidak ada
garis pemisah antara penonton dengan peserta karnaval. Penonton dapat
memegang dan berfoto bersama dengan visualisasi tokoh-tokoh wayang. Hal-hal
seperti ini menunjukkan adanya keintiman budaya antar pendukung kebudayaan
26 Keintiman budaya (intimate culture) ini terjadi karena adanya komunikasi
yang baik antara penonton dengan pertunjukan. Untuk memahami keintiman
budaya dalam pertunjukan teater daerah, Artur S. Nalan menunjukkan dua
elemen yang harus difahami yakni tempat pertunjukan dan lakon (Nalan,
2006:78-81). Karnaval yang menggunakan jalan umum sebagai tempat
pertunjukan tentu saja menjadi media komunikasi yang baik antar penonton
ataupun penonton dengan pertunjukan. Komunikasi antara penonton terjadi
dalam ruang yang sangat kompleks. Karena pada saat berlangsunnya karnaval
masyarakat dari berbagai lapisan sosial dan golongan membaur membentuk kesamaan rasa untuk menyaksikan pertunjukan. Dalam wilayah berfikir teater
tradisi fenomena tersebut merupakan spirit tradisi yang berkembang
dimasyarakat (Nalan, 2006: 74-75). Dalam konteks hubungan penonton dengan
pertunjukan disini kita melihat bahwa kesediaan masyarakat berbagi ruang
(dalam hal ini Jalan Slamet Riyadi) untuk pertunjukan karnaval adalah salah satu
bentuk keintiman budaya (pertunjukan). Hal ini semakin diperkuat dengan
kehadiran mereka sebagai penyaksi dari pertujukan. Mereka hadir jauh sebelum
acara dimulai dan sabar menunggu iring-iringan karnaval berjalan dihadapan
mereka. Hadirnya wayang diruang publik dalam konteks yang berbeda ini
membangun keintiman masyarakat pendukung kebudayaan (Jawa) dengan
wayang. Disini mereka sangat ingin memegang, mendokumentasikan, dan
memainkan wayang.
Elemen kedua adalah lakon. Dalam pertunjukan-pertunjukan teater
tradisi lakon sangat terkait erat dengan legenda, folklor, dan nyayian-nyayian
masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Oleh karenanya lakon menjadi
sangat dekat sekali dengan kehidupan masyarakatnya. Personifikasi-personifikasi
tokoh-tokoh dalam lakon dan alur cerita yang dimainkan dalam suatu
pertunjukan menjadi cara masyarakat untuk mengidentikkan diri mereka dengan
salah satu tokoh ataupun peristiwa dalam pertunjukan kesenian (Peacock,
27 Pada saat berlangsunnya karnaval wayang di Solo, penonton membuat
lakon sesuai dengan tokoh yang mereka idolakan dan sama sekali tidak terkait
dengan proses karnaval ataupun ulang tahun Kota Solo. Seperti Pak Yono yang
mengidolakan tokoh Arjuna, dia membuat ceritanya sendiri tentang Arjuna yang
bagus, wicaksono, sekti. Berbeda halnya dengan Pak Pono (Supono) lelaki
setengah baya berumur 46 tahun ini mengidolakan Burisrawa yang menurutnya
adalah tokoh arif walaupun dia berujud butha (raksasa).
Kedua adalah Solo Batik Carnival (SBC) yang merupakan agenda tahunan
Pemerintah Kota Solo sejak tahun 2008. Berbeda dengan karnaval wayang, Solo Batik Carnival ini menunjukkan kreatifitas dalam mendesain batik sehingga dapat
diterima oleh khalayak ramai. Batik yang menjadi bahan dasar kostum berpadu
dengan berbagai warna dan bahan dasar yang berbeda dalam desain yang
kontemporer.
Batik yang berada pada ruang publik, merakyat, keseharian, dan
tradisional dalam tradisi Jawa berpadu dengan catwalk yang glamor, elitis, privat
karena hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu, dan modern. Perpaduan
kedua produk budaya ini membentuk suatu ruang sosial budaya yang
menunjukkan adanya keintiman budaya. Di sini kita melihat adanya negosiasi
ruang yang melibatkan beberapa kontestan seperti desainer, pemerintah dan
perajin batik serta masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Mereka
bersama-sama merekonstruksi simbol dan makna batik dalam konteks kekinian.
Hal ini dapat kita fahami dari tema SBC pada tahun 2013 yakni earth to earth
yang membagi kostum dalam empat anasir yaitu air, api, udara, dan tanah. Air
direpresentasikan dengan warna putih, api dengan warna merah, udara dengan
warna biru langit dan tanah dengan warna-warna gelap. Warna-warna tanah
inilah yang mengindentitaskan jenis batik Solo yakni batik dengan warna gelap
yang disebut dengan batik soga.
SBC tersebut menegaskan kemampuan tradisi melakukan negosiasi
28 mana jarik (kain batik yang digunakan sebagai penutup bagian pinggang hingga
mata kaki) yang tujuannya adalah untuk membatasi gerak penggunanya agar
bersikap alus (representasi dari budaya adi luhung) dan memperhitungkan setiap
langkah kaki, sehingga mereka yang menggunakan jarik terlihat lebih anggun
untuk kalangan wanita, dan berwibawa jika yang menggunakan kalangan pria.
Batik yang bermakna lamban baik dalam proses ataupun penggunaannya selaras
dengan semboyan masyarakat Jawa alon-alon waton kelakon dapat bernegosiasi
dengan dunia fashion yang cenderung cepat dan glamor.
Sebaliknya dunia fashion juga membuka ruang bagi berkembangnya tradisi dalam konteks kekinian. Peragaan busana yang biasanya dirancang oleh
designer-designer terdidik dan berpengalaman, pada pelaksanaan solo Batik
Carnival ini busana-busana tersebut dirancang dan dikerjakan oleh masyarakat
dan kalangan pelajar yang sebagian besar bukan dari kalangan designer. Catwalk
yang biasanya berada di ruang-ruang eksklusif seperti hotel dan pusat-pusat
perbelanjaan (mall) dengan penonton dari kalangan ekonomi menengah ke atas
dan dengan penampilan yang tak kalah fashionable nya dengan model yang
berlengak-lenggok di catwalk. Pada pelaksanaan karnaval, para model tersebut
harus berbagi ruang dengan penonton dan berjalan diatas aspel sepanjang
kurang lebih 3 km yang sudah dibasahi guna mengurangi panasnya aspel yang
terkena sinar matahari. Tubuh mereka disengat oleh sinar matahari yang mulai
meredup dan disaksikan oleh ribuan pasang mata yang berpenampilan apa
adanya. Para model tersebut berlenggak lenggok dengan senyum lebar dan
selalu bersedia untuk diajak foto bersama.
Dari sini tampak jelas proses tawar menawar budaya yang
mempertemukan tradisi dan modernitas dalam suatu ruang yang bernama
karnaval. Tradisi dalam hal ini batik membuka ruang-ruang kesakralannya. Di sini
kita melihat bahwa batik yang menjadi ikon kota Solo karena perbedaan corak
warna dan motif dengan daerah lain di Jawa Tengah yang berada dalam ruang
29 (performance). Batik sebagai wujud dari budaya adi luhung masyarakat Jawa
(Solo) mengalami konstruksi simbol dan makna. Solo sebagai salah satu sentra
batik di Pulau Jawa
Dua bentuk karnaval yang diselenggarakan oleh pemerintah Kota Solo tersebut merupakan rekonstruksi tradisi dengan melakukan negosiasi simbol dan makna. Proses rekonstruksi tersebut ingin meletakkan tradisi yang lokal ke dalam dunia global. Hal ini dapat kita fahami dari nama yang berbahasa asing (Inggris) Solo Batik Carnival, bukan Karnaval Batik Solo yang berbahasa Indonesia. Oleh karenanya makna batik yang melekat pada setiap corak dan motif batik yang digambar dikain tersebut dapat dinegosiasikan dengan kepentingan-kepentingan wisata, dan ekonomi kreatif. Masyarakat Solo sebagai pendukung kebudayaan secara tidak langsung melegitimasi proses rekonstruksi dengan pengabadian setiap moment dalam festival melalui lensa kamera.
Begitu juga yang terjadi dengan wayang. Ruang sakral dan ritual yang menjadi unsur utama dalam jagad pewayangan bernegosiasi dengan jalanan tempat berbagai ekpresi dipentaskan. Proses negosiasi ini melahirkan makna-makna baru yang dikonstruksi oleh penonton yang berada di sepanjang jalan Slamet Riyadi, konstruksi makna ini disesuaikan dengan latar belakang kehidupan mereka sebagai mana yang telah disampaikan diatas.
C. Konsep Tradisi
“Solo kota budaya”, “Solo the spirit of Java” adalah slogan yang mencitrakan Kota Solo sebagai ruhnya kebudayaan Jawa. Hal ini tentu saja berbasis pada tradisi yang berkembang di Jawa khususnya Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Uraian singkat dalam sub bab ini bermaksud menjelaskan konsepsi masyarakat mengenai tradisi, terutama disini adalah remaja yang aktif dalam kelompok teater.
Dilihat dari akar katanya tradisi berasal dari bahasa Latin tradere yang
berarti menyampaikan, meneruskan untuk sesuatu yang terjadi pada masa
lampau. Edward Shils mendefinisikan tradisi sebagai segala sesuatu yang
30 masa lampau ke saat ini. Bentuk-bentuk yang diwariskan tersebut dapat berupa
obyek material, kepercayaan mengenai sesuatu, gambaran mengenai seseorang
atau peristiwa, bisa juga dalam bentuk lembaga ataupun kebudayaan (Shils,
1981:12). Dia menambahkan bahwa proses transmisi tersebut setidaknya telah
berlangsung minimal selama tiga generasi, sehingga hal tersebut bisa dikatakan
sebagai tradisi (Shils, 1981:15).
Dalam konteks seni tradisi terdapat dua dimensi yang diwariskan secara
lintas generasi. Pertama adalah dimensi formal (kebentukan) atau dimensi artistik yakni element kebentukan serta elemet teknik yang diterapkan untuk
mencapai bentuk tersebut (Simatupang, 2013:233). Seperti dalam wayang wong,
gerak-gerak tari yang digunakan beragam jenis, diantaranya gagah dan alus.
Teknik-teknik dasar yang membentuk gerak gagah dan alus serta aspek
kebentukannya inilah yang menjadi dimensi formal dari wayang wong. Kedua
adalah dimensi estetis atau dimensi nilai yakni pemaknaan dan penilaian yang
diberikan orang terhadap bentuk dan teknik tersebut. Pemaknaan ini bisa
dilatarbekangi oleh politik ekonomi sosial ataupun budaya (Simatupang,
2013:223).
Memahami tradisi (kesenian) dalam dua dimensi tersebut diatas, maka
sangat memungkinkan bagi tradisi tersebut untuk mengalami perubahan baik
pengurangan ataupun penambahan sesuai dengan konteks zamannya yang
berkembang. Oleh karena dalam konsep kebudayaan termasuk tradisi
didalamnya bahwa perubahan adalah suatu keniscayaan. Karena menurut
Jocelyn S. Linnekin (1983:241) yang melihat tradisi sebagai model dari kehidupan
masa lalu yang secara sadar digunakan oleh masyarakat untuk mengkonstruksi
identitas mereka. Proses konstruksi identitas ini tentu terkait erat dengan kondisi
dan situasi zaman. Oleh karenanya Linnekin menegaskan bahwa otentisitas dari
warisan tradisi merupakan sesuatu yang dibuat-buat (illusory). Karena
31 bentukan dari unsur-unsur yang berbeda pada masa awalnya. Dia mencontohkan
seperti penggunaan alat musik ukulele dan dan gitar klasik yang sangat
dibutuhkan sebagai iringan dalam setiap pesta sebagaimana ikan salmon yang
menjadi syarat untuk makanan. Ternyata gitar dan ukulele tersebut dibawa oleh
para imigran portugis pada awal abad ke 19 (Emerson dalam Linnekin,
1983:242).
Berbagai pemahaman mengenai tradisi diatas menjadi batasan besar
dalam melihat tradisi dalam konteks penelitian ini. Untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik terhadap tradisi, di sini peneliti mengklasifikasi
konsepsi pelaku teater baik pelatih ataupun anggota kelompok teater remaja
terhadap tradisi. Konsepsi mereka terhadap tradisi tersebut dilatar belakangi
oleh keterlibatan mereka terhadap aktifitas yang mereka anggap tradisi atau
pada sesuatu yang dekat dengan mereka. Berdasarkan dari hasil wawancara
yang dilakukan terhadap para pelaku teater remaja setidaknya ada tiga konsepsi
mengenai tradisi yang mereka utarakan.
Pertama adalah bahwa tradisi adalah upacara yang dimaksudkan untuk
merayakan ataupun memperingati sesuatu. Dalam konteks tertentu mereka
menyebutnya dengan ritual. Contoh yang mereka berikan adalah ritual satu suro,
upacara grebeg, dan upacara mantenan. Mereka berargument bahwa upacara
dan ritual tersebut diwariskan secara turun temurun dan sudah berlangsung
cukup lama. Standar ukur lain yang mereka gunakan untuk menyebut sesuatu
yang dikatakan sebagai tradisi adalah bahwa upacara dan ritual tersebut berasal
dari kraton. Mereka tidak bisa memberikan alasan historis mengenai upacara
pengantin yang berasal dari keraton, namun mereka memberikan alasan secara
rasional. Sebagaimana asumsi yang digunakan oleh masyarakat bahwa pengantin
pria dan wanita ibarat raja dan ratu. Konsepsi ini muncul karena ritual dan
32 pengetahuan mereka, bahkan beberapa dari mereka yang diwawancarai ikut
terlibat dalam kegiatan upacara dan ritual tersebut.
Kedua adalah tradisi sebagai pertunjukan. Mereka yang mengkonsepsikan
seperti ini karena keterlibatan mereka dalam pertunjukan yang berbasis tradisi
tersebut. Fadholi misalnya siswa SMA Negeri 4 Surakarta yang sering terlibat
dalam karnaval budaya dan beberapa melihat pertunjukan ketoprak di Sriwedari.
Begitu juga dengan Didik Sugiyarta yang menjadi pelatih teater dan
menyutradarai beberapa pertunjukan teater remaja juga memahami tradisi sebagai pertunjukan. Karena menurutnya dari pertunjukan inilah berbagai
macam bentuk makna disampaikan kepada penonton dan masyarakat secara
umum. Selain itu menurutnya bahwa pertunjukan mengekspresikan berbagai hal
terkait dengan tradisi dan aktifitas kehidupan masyarakatnya.
Ketiga tradisi sebagai warisan leluhur. Konsepsi yang ketiga ini lebih
kompleks dari kedua konsepsi diatas. Karena menurut mereka yang
mendefinisikan dalam konteks tersebut, tradisi adalah segala sesuatu yang
diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Konsep ini
mempunyai kesamaan dengan definisi yang disampaikan kepada Edward Shils
diatas. Konsep lain yang semakna dengan konsepsi ini adalah bahwa tradisi
merupakan simbol pada zamannya. Pemahaman seperti ini pada dasarnya
dilontarkan oleh pelatih teater yang mempelajari secara akademik
konsep-konsep tradisi, seperti yang disampaikan oleh Yogi Swara Manitis Aji yang
merupakan pelatih kelompok teater Citra Mandiri SMA 2 Surakarta dan SMA
Kristen Kalam Kudus.
Ketiga konsep mengenai tradisi tersebut tidak terlepas dari adanya
realitas, pengalaman dan ekspresi yang merupakan satu kesatuan pembentuk
aktivitas kesenian. Menurut Bruner sebagaimana yang dikutib oleh Lono
Simatupang (2013:9) terdapat penjarakan antara ketiga hal tersebut. Realitas
33 dengan tradisi baik pertunjukan, ritual, dan upacara ataupun yang intangible
seperti adat istiadat, nilai dan norma dalam masyarakat. Namun kesamaan
terhadap realitas yang dialami ini menimbulkan bentuk pengalaman yang
berbeda-beda dari setiap individu. Hal ini dikarenakan alam fikir, emosi, rasa dan
kondisi fisik serta posisinya yang membawa peristiwa yang sama tersebut pada
pengalaman yang unik dan membekas. Dari sinilah ekspresi itu muncul sebagai
artikuasi dari pengalaman (Simatupang, 2013:9). Berangkat dari paparan Bruner
yang dikutib oleh Lono Simatupang di atas. kita dapat memahami munculnya
perbedaan konsep mengenai tradisi dari pelaku teater remaja di Solo. Karena memang pada dasarnya klasifikasi konsep tersebut berdasarnya pada
pengalaman mereka berinteraksi dengan tradisi.
Batasan tradisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah segala sesuatu
yang mengidentifikasikan kebudayaan suatu daerah dalam hal ini adalah Jawa.
Batasan ini sejalan dengan apa yang dikonsepsikan oleh Linnekin mengenai
tradisi. Oleh karenanya tradisi dapat berupa dialog dengan menggunakan bahasa
daerah, asesoris atau ornament yang digunakan, cerita, adat istiadat dan lain
sebagainya. Bentuk-bentuk inilah yang akan dilihat dalam pertunjukan dan
proses berteater kalangan remaja di kelompok-kelompok teater mereka.
D.Teater Remaja di Kota Solo
1. Pertunjukan Teater Remaja
Sebagai kota pertunjukan Kota Solo juga dibanjiri dengan berbagai bentuk
pertunjukan teater yang bisanya bertempat di Teater Arena Taman Budaya Jawa
Tengah (TBJT), Teater Besar atau Teater Kecil Institut Seni Indonesia Surakarta,
atau di sanggar-sanggar teater. Bahkan saat pelaksanaan MTI (Mimbar Teater
Indonesia) pada tanggal 22-27 September 2013 karya Arifin C. Noer dipentaskan
selama sepekan penuh. Menurut Hanindawan, penanggung jawab Teater Arena
TBJT dalam sebulan setidaknya terdapat 4 kali pertunjukan teater. Hal ini belum
34 teater. Adapun untuk pertunjukan teater remaja memang tidak setiap minggu
dipertunjukan, namun setidaknya dalam satu bulan selalu saja ada kelompok
teater remaja yang mementaskan pertunjukan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa teater
remaja yang menjadi fokus penelitian ini adalah kelompok teater remaja yang
terdapat di sekolah-sekolah menengah atas (SMA atau SMK sederajat). Secara
resmi peneliti tidak atau belum menemukan data statistik yang merinci jumlah
teater remaja di kota Solo. Keberadaan kelompok teater remaja yang menjadi kegiatan ekstra kurikuler (Ekskul) tidak harus terdaftar di dinas pendidikan dan
kebudayaan ataupun department terkait lainnya. Namun dari survey yang
dilakukan setidaknya terdapat 15 kelompok teater remaja di Kota Solo yakni,
SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4, SMAN 5, SMAN 6, SMAN 7, SMAN 8, SMAN
9, SMA BATIK, SMA Santo Joesef, SMA K Kalam Kudus dan lain-lain.
Kelompok-kelompok teater remaja ini secara rutin melakukan latihan satu atau dua hari
dalam satu minggu yang didampingi oleh seorang pelatih.
Terkait dengan penggunaan panggung atau tidak, pertunjukan teater
remaja dapat berlangsung di atas panggung atau tanpa panggung. Hal ini
tentunya disesuaikan dengan kebutuhan di dalam naskah. Seperti pada saat
pertunjukan Sajang Ada Orang Lain karya Utuy Tatang Sontani oleh alumni
teater SMA 8. Pertunjukan yang disutradarai oleh Yogi Swara Manitis Aji ini
dilaksanakan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah dengan menggunakan
level untuk membentuk panggung. Begitu juga pada saat pertunjukan Mencari
Taman karya Norca Adi Massardi yang diselenggarakan di Teater Besar ISI
Surakarta yang merupakan pentas gabungan 4 SMA dan 1 SMP. Namun
terkadang pertunjukan dilakukan tidak menggunakan panggung seperti pada
lakon MOMATI (Motor Mabur Tibo) yang digelar di aula SMA 4 Surakarta, setting
yang mereka gunakan juga cukup sederhana yakni, sebuah HIK (nama tempat
35 Penggunaan panggung atau tidak dalam suatu pertunjukan lebih
didasarkan pada interpretasi sutradara terhadap naskah dan juga kebutuhan dari
naskah yang dimainkan. Namun secara umum penggunaan panggung dalam
suatu pertunjukan teater lebih karenakan sebagai batas ruang pertunjukan dan
juga agar dapat dilihat oleh penonton secara jelas. Pak Didik Sugiyarta
berargumen bahwa panggung merupakan ruang untuk berekspresi, panggung
ibarat singgasana bagi seorang pemain, sehingga ada kebanggan ketika seorang
pemain berdiri dipanggung untuk memainkan suatu pertunjukan. Hal ini yang
senada juga disampaikan oleh Yogi Swara Manitis Aji yang menganggap panggung adalah ruang sakral yang harus rawat dan digunakan untuk
tujuan-tujuan yang mulia (pertunjukan).
Hal yang menarik dan menjadi fokus penelitian ini adalah bahwa
pertunjukan-pertunjukan yang mereka tampilkan terkadang menampilkan
bentuk-bentuk tradisi yang berkembang di masyarakat Jawa. Tradisi yang mereka
tampilkan tersebut memang tidak secara utuh, tetapi dihadirkan sebagai
asesoris, seperti wayang kulit, HIK, tokoh-tokoh yang menggunakan pakain batik
atau lurik. Bisa juga dalam bentuk permainan, seperti dolanan cuplak-cuplak
suwong. Dalam bentuk lagu, gundul-gundul pacul, suwe ora jame, anoman
obong, ataupun dialog yang menggunakan bahasa Jawa, biasanya dalam adegan
lawakan. Namun ada juga yang mementaskan satu naskah utuh yang terkait
langsung dengan tradisi sebagaimana yang mereka konsepkan. Seperti Pasar
Gedhe yang bercerita tentang terbakarnya Pasar Ghede dan mengambil setting
di Kota Solo. Selanjutnya adalah naskah S(a)ujarah yang berbahasa Jawa
bercerita tentang Aji Saka.
Tradisi atau tidak nya suatu pertunjukan ataupun bagian-bagain dari
pertunjukan sangat disesuaikan dengan konsepsi mereka mengenai tradisi yang
akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya. Secara keseluruhan pementasan atau