• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Siklus Estrus Akibat Induksi Peningkatan Kadar Prostaglandin F2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perubahan Siklus Estrus Akibat Induksi Peningkatan Kadar Prostaglandin F2"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Perubahan Siklus Estrus Akibat Induksi Peningkatan Kadar Prostaglandin F

2

α

(PGF

2

α

) Pada Fase Luteal Kambing Peranakan Boer

Aries Erlinda Ratna.Wardhani, Agung Pramana Warih Marhendra, Aris Soewondo Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Universitas Brawijaya, Malang

aries.erlinda@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh singleinjection PGF2α pada awal fase diestrus dan pertengahan diestrus terhadap siklus estrus. Perlakuan pada penelitian ini adalah kontrol fase diestrus awal, kontrol fase diestrus tengah, injeksi PGF2α pada diestrus awal dan injeksi PGF2α pada fase diestrus tengah (masing- masing kelompok n=3). 1,5 ml Capriglandin® diinjeksikan secara intramuskular, injeksi dilakukan satu kali. Selanjutnya, perubahan fase diperiksa setiap hari sejak satu hari setelah injeksi. Fase estrus ditentukan berdasarkan pemeriksaan sitologi smear vagina. Data yang didapatkan dianalisa dengan metode Mann- Whitney dengan software microsoft excel dan SPSS 16,0 for Windows. Perlakuan kontrol awal dengan injeksi diestrus awal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada panjang diestrus dan proestrus, onset estrus pada kelompok injeksi dan kontrol berturut- turut 15 hari dan 16 hari. Kelompok kontrol tengah dengan injeksi diestrus tengah menunjukkan perbedaan yang signifikan pada onset estrus dan panjang diestrus tetapi tidak terdapat perbedaan signifikan pada panjang proestrus, onset estrus pada kelompok injeksi dan kontrol secara berurutan 6,7 hari dan 12 hari (P < 0,05). Dapat disimpulkan bahwa single injection PGF2α tidak memberikan pengaruh terhadap siklus estrus apabila diberikan pada fase diestrus awal sedangkan apabila diberikan pada fase diestrus tegah mengakibatkan fase diestrus lebih pendek yaitu 2,3 dibandingkan kambing kontrol diestrus tengah yang memiliki panjang diestrus 8 hari.

Kata Kunci: PGF2α, onset, sinkronisasi estrus, vaginal smear ABSTRACT

The objective of this study to understand the effect of PGF2α injection in early diestrus phase and mid- diestrus to the estrous cycle. Treatment in this study are early diestrus control, mid- diestrus control, administration of PGF2α on early diestrus phase and administration of PGF2α in mid diestrus phase (each group n=3.) 1.5 ml Capriglandin® was injected once intramusculary. Then, phase change observed every day start one day since injection. Estrous phase were determined by observation vaginal smear cytology. Data were analyzed by Mann- Whitney method using Microsoft Excel software and SPSS 16.0 for Windows. There’s no significant difference in diestrus and proestrus length on injected group at early diestrus and control early diestrus group, onset estrous of injected group and control group respectively on day 15 and on day 16. The injected group at mid diestrus and control mid diestrus group have a significant difference at onset estrous and diestrus length but there is no significant difference in proestrus length, onset of estrous in the injection group and control group respectively on day 6.7 and on day 12 day (P < 0.05). It can be concluded that there is no response of single injection of PGF2α when injected at early diestrus, but when injected at mid- diestrus causes a shorter diestrus phase than the control respectively 2,3 and 8 days.

Keywords : PGF2α, onset of estrous, estrous synchronization, vaginal smears PENDAHULUAN

Siklus reproduksi berlangsung dengan sintesis

lutenaizing hormon (LH) dan folicular

stimulating hormon (FSH) oleh hipofisa anterior. Sintesis dan sekresi FSH dan LH dirangsang oleh Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH) yang disekresi oleh hipotalamus. Hormon ini mulai bekerja saat hewan mencapai masa pubertas (kematangan kelamin). Perkembangan awal sel folikel diregulasi oleh FSH yang selanjutnya

merangsang sel granulosa dan sel teka ovarium untuk mensekresi estrogen[1].

Sinkronisasi estrus merupakan salah satu cara mengatur reproduksi pada ternak. Pengaturan siklus estrus pada sekelompok ternak bertujuan mempermudah pemeliharaan, efisiensi tenaga kerja, dan efisiensi reproduksi [2]. Prostaglandin F2α (PGF2α) telah banyak

(2)

Timbulnya berahi akibat pemberian PGF2α

disebabkan karena penurunan konsentrasi progesteron akibat induksi perubahan morfologi jaringan luteal melalui perubahan asetat ke kolesterol. Penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan FSH kemudian LH. Kedua hormon ini

bertanggung jawab dalam proses

folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel- folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi [4,6].

Pada sinkronisasi estrus, terjadi peningkatan kadar prostaglandin yang dapat melisiskan

korpus luteum sehingga menginduksi

perkembangan folikel tersier dan meningkatkan kadar estrogen sehingga memicu estrus secara cepat dibandingkan siklus normal. Usia korpus luteum diketahui berpengaruh terhadap respon prostaglandin, oleh karena itu untuk mempelajari pengaruh tersebut penelitian ini perlu dilakukan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di peternakan kambing milik Bapak Ir Agus Tumulyadi M.P. di Bululawang dan Laboratorium Lapangan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya di Sumber Sekar, Malang pada bulan Februari hingga april dan analisis data dilakukan dilaboratorium anatomi dan histologi hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.

Persiapan awal

Persiapan awal penelitian ini yaitu memilih 12 hewan coba dengan kriteria status tidak bunting, sehat secara klinis, sudah pernah melahirkan, umur 1,5 -3,0 tahun [7]. Hewan coba selanjutnya akan dikelompokkan menjadi kontrol fase diestrus awal, kontrol fase diestrus tengah, injeksi PGF2α pada fase diestrus awal dan injeksi

PGF2α pada fase diestrus tengah (masing-

masing kelompok n=3).

Smear Vagina

Untuk mengetahui fase estrus sebelum

perlakuan pada hewan coba, dilakukan

pemeriksaan fase estrus dengan metode smear

vagina. Smear vagina dilakukan dengan

menggunakan cotton bud yang telah dibasahi dengan alkohol 70%, selanjutnya dimasukkan dalam vagina kambing betina dengan sudut ±45o dan diusapkan selama 2-3 kali putaran. Selanjutnya dibuat preparat apusan pada slide glass. Preparat apusan kemudian ditetesi ethanol

absolut dan didiamkan selama 15 menit. Preparat selanjutnya ditetesi pewarna giemsa 20% kemudian didiamkan selama 10- 15 menit. Selanjutnya preparat dibilas dengan air mengalir dan dikeringanginkan. Preparat yang telah jadi

kemudian diamati morfologi sel epitel

mengunakan mikroskop dengan perbesaran lemah (100x) kemudian dengan perbesaran lebih kuat (400x). Hewan dikelompokkan pada masing- masing kelompok perlakuan sesuai dengan fase yang sedang berlangsung pada masing- masing hewan.

Injeksi PGF2α

Kambing pada perlakuan diestrus awal dan diestrus tengah diinjeksi 1,5 ml capriglandin® secara intramuscular. Injkesi hanya dilakukan satu kali.

Pengamatan Perubahan fase dan Onset Estrus

Pengamatan dilakukan setiap hari mulai 1 hari setelah injeksi hingga fase estrus. Perubahan fase diamati melalui smear vagina. Parameter untuk mengetahui tingkat keberhasilan sinkronisasi diamati dari onset estrus.

Analisa Data

Data dianalisis dengan metode Mann– Whitney menggunakan SPSS 16,0 for windows

dan Microsoft Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan sebelum injeksi pada kelompok diestrus awal dan kontrol diestrus awal menunjukkan adanya sel- sel epitel parabasal, dominasi sel- sel parabasal pada preparat merupakan ciri fase diestrus awal. Sel- sel parabasal ditandai dengan diameter sel yang kecil (kurang dari 30 µm), inti yang besar dan rasio sitoplasma dan inti sel relatif kecil. Sel parabasal berdiameter sekitar 20 µm dan berinti dengan diameter sekitar 9 µm [8].

(3)

Injeksi PGF2α yang dilakukan pada fase

diestrus awal tidak memberikan banyak

perubahan terhadap durasi masing- masing fase pada siklus estrus, durasi fase diestrus kambing yang diinjeksi dengan kambing kontrol tidak terdapat perbedaan signifikan berdasarkan uji

dengan Mann–Whitney. Kelompok yang

diiinjeksi PGF2α memiliki rata- rata panjang fase

diestrus 11,3 hari, sedangkan kelompok kontrol 12,3 hari. Fase proestrus merupakan fase lanjutan dalam siklus estrus setelah fase diestrus berakhir. Injeksi yang dilakukan pada fase diestrus diperkirakan akan mempengaruhi fase proestrus pula. Pada fase proestrus, kedua kelompok memiliki durasi rata- rata fase proestrus yang sama yaitu 2,7 hari. Hal tersebut membuktikan bahwa injeksi PGF2α pada fase diestrus awal

tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fase proestrus.

Onset estrus merupakan waktu yang

dibutuhkan untuk kambing mencapai estrus/ birahi, dihitung sejak dilakukannya injeksi. Penelitian ini dilakukan pada waktu yang bersamaan sehingga onset estrus kelompok kambing kontrol dihitung sejak dilakukannya injeksi pada kelompok kambing yang diinjeksi PGF2α, sedangkan pada perulangan kelompok

kontrol yang tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, onset estrus dihitung sejak kambing berada pada fase yang sama dengan kambing yang diinjeksi dilihat dari proporsi sel yang muncul pada preparat. Rata- rata onset estrus kelompok yang diinjeksi PGF2α adalah 15 hari,

sedangkan pada kelompok kontrol 16 hari. Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa injeksi pada awal fase diestrus awal tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pemendekan siklus estrus (gambar 2).

Gambar 2. Rataan panjang fase dan onset estrus kelompok diestrus awal (injeksi dan kontrol)

Pada pengamatan hari pertama fase diestrus tengah, sel- sel polymorphonuclear sudah tidak terlihat sedangkan sel- sel parabasal sudah mulai

berkembang menuju sel- sel intermediet. Sel- sel intermediet terus berkembang dan akan menjadi sel- sel superfisial. Sel epitel intermediet dicirikan dengan mengecilnya inti sel sehingga rasio inti sel dengan sitoplasma lebih besar. Sel intermediet memiliki ukuran 30- 50 µm dan inti sel sekitar 8 µm [8].

Gambar 3. Sitologi vagina pengamatan hari ke-2 kelompok diestrus tengah. Sel intermediet ( panah biru) dan sel parabasal (panah hitam) perbesaran 100x pada kelompok kontrol (a) dan pada kambing yang diinjeksi PGF2α perbesaran 200x (b)

Ketika sebagian besar sel epitel telah menjadi sel- sel superfisial maka hal ini menandakan bahwa kambing telah masuk fase proestrus yang selanjutnya akan mengalami tanda- tanda estrus yang akan diikuti terjadinya birahi dan ovulasi. Pada preparat, estrus akan ditandai dengan munculnya sel- sel epitel yang terkornifikasi dengan inti sel yang telah terdegradasi. sel superfisial merupakan sel pada tingkat kematangan akhir, diameter sel superfisial sekitar 50 hingga 60 µm, sitoplasma sel superfisial berbentuk polygonal [8].

Kelompok yang diinjeksi pada fase diestrus tengah dan kelompok kontrol fase diestrus tengah merupakan kambing yang berbeda dari kambing yang diinjeksi pada fase diestrus awal dan kontrol diestrus awal. Pada kelompok kambing yang mengalami injeksi PGF2α pada

fase diestrus tengah, mengalami rata- rata diestrus selama 2,3 hari, sedangkan pada

(4)

kelompok kontrol memiliki panjang fase diestrus selama 8 hari. Berdasarkan analisis dengan

metode Mann–Whitney menunjukkan

signifikansi yang lebih rendah dari alfa (0,05) sehingga H0 ditolak, hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kambing yang diinjeksi pada fase diestrus tengah dengan kambing kontrol pada fase diestrus tengah.

Pada fase proestrus, kelompok yang diinjeksi PGF2α memiliki durasi fase proestrus 3,3 hari,

sedangkan kelompok kontrol mengalami

proestrus selama 3 hari dengan kesimpulan

bahwa injeksi PGF2α tidak memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap fase proestrus. Durasi onset estrus berbeda secara signifikan pada kedua kelompok. Kelompok yang diinjeksi PGF2α memiliki rata- rata onset

estrus 6,7 hari, sedangkan kelompok kontrol memiliki onset estrus 12 hari (gambar 4).

Gambar 4. Rataan panjang fase dan onset estrus kelompok diestrus tengah (injeksi dan kontrol)

Waktu injeksi sangat mempengaruhi onset estrus dan panjang fase pada siklus estrus. Hal ini dapat dilihat pada durasi fase diestrus dan onset estrus antara kelompok yang diinjeksi saat diestrus awal dan diestrus tengah. Pada injeksi diestrus awal rata- rata panjang fase diestrus 11,3 hari sedangkan pada kelompok diestrus tengah memiliki rata- rata diestrus 2,3 hari. Dari analisis Mann–Whitney menunjukkan bahwa waktu injeksi berpengaruh secara signifikan terhadap fase diestrus hal ini berhubungan dengan usia korpus luteum. Pada fase proestrus, kelompok injeksi pada awal diestrus memiliki rata- rata fase proestrus selama 2,7 hari, sedangkan kelompok diestrus tengah selama 3,3 hari sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok. Rata – rata onset estrus pada kelompok injeksi saat fase diestrus awal adalah 15 hari, sedangkan pada kelompok injeksi fase diestrus tengah selama 6,7 hari hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu yang signifikan terhadap onset

estrus. Jadi, dapat disimpulkan bahwa fase injeksi diestrus tengah lebih efektif untuk memperpendek onset estrus dibanding fase diestrus awal (gambar 5).

Gambar 5. Rataan panjang fase dan onset estrus perlakuan injeksi diestrus tengah dengan injeksi diestrus awal

Kelompok injeksi pada fase diestrus awal tidak mengalami pemendekan siklus disebabkan karena belum adanya korpus luteum atau korpus luteum yang dimiliki belum fungsional sehingga penyuntikan PGF2α tidak mampu melisiskan

korpus luteum dan perkembangan oosit primer tidak terjadi sehingga tidak muncul tanda- tanda birahi. Pada kambing yang diinjeksi pada fase diestrus tengah, korpus luteum telah fungsional dan mampu diregresi oleh PGF2α sehingga

terbentuklah siklus estrus yang baru dimana terjadinya perkembangan oosit primer menjadi oosit sekunder yang selanjutnya akan mengalami ovulasi yang didahului dengan tingkah laku estrus/ birahi. Pada sapi, diasumsikan bahwa transisi dari korpus luteum sapi dari masa refraktori menuju respon terjadi pada hari ke-5 dari siklus estrus (hari pertama= estrus) karena pada 5 dari 8 sapi yang diberikan pada PGF2α

hari ke-5, regresi luteal awal tampak jelas selama pemeriksaan 24 jam setelah pemberian PGF2α. mnunjukkan bahwa konsentrasi reseptor PGF2α

meningkat hingga 5 kali lipat dari awal fase luteal hingga pertengahan fase luteal dan konsentrasi tertingggi didapatkan pada akhir fase luteal. Sebaliknya, konsentrasi tertinggi reseptor PGE2 berada pada awal fase luteal dan terus

menurun hingga akhir fase luteal. Rendahnya reseptor PGF2α pada awal fase luteal

dimungkinkan menjadi penyebab

(5)

awal fase diestrus tidak mampu menyebabkan luteolisis yang lebih cepat. Rendahnya reseptor

PGF2α kemungkinan berhubungan dengan

tingginya reseptor PGE2 pada awal fase luteal

[10].

Injeksi PGF2α pada pertengahan diestrus

mampu meregresi korpus luteum lebih cepat

dibandingkan siklus normal sehingga

progesteron segera turun dan anterior pituitari mensekresikan FSH sehingga siklus yang baru dimulai. Kemampuan korpus luteum dalam

merespon kehadiran PGF2α dimungkinkan

karena tingginya konsentrasi reseptor PGF2α

pada pertengahan fase, sehingga korpus luteum menyadari kehadiran PGF2α dan memberikan

respon luteolisis. Bagaimanapun juga, hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut karena kemungkinan terdapat mekanisme yang berbeda pada spesies yang berbeda. Berbeda dengan kelinci [10] dan babi [11] yang memiiki konsentrasi reseptor PGF2α yang rendah pada

awal fase luteal, pada sapi konsentrasi afinitas yang tinggi terhadap PGF2α telah ditemukan

sejak awal fase luteal [11, 12].

KESIMPULAN

Single injection PGF2α pada fase diestrus

tengah mampu memperpendek siklus estrus. Perubahan siklus akibat injeksi PGF2α pada

kelompok injeksi fase diestrus tengah memiliki fase diestrus lebih pendek yaitu 2,3 dibandingkan kambing kontrol diestrus tengah yang memiliki panjang diestrus 8 hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Agung Pramana W. M. M.Si., Drs. Aris Soewondo M.Si. dan Dr. Ir. Gatot Ciptadi, DESS yang telah memberikan banyak masukan yang sangat membangun. Tidak lupa juga kepada Bapak Ir. Agus Tumulyadi M.P. selaku pemilik peternakan yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian dipeternakan Bulu Lawang. Bapak Slamet dan Bapak Sumali S.Pt. M.Ag serta Bapak Harmaji yang telah banyak membantu selama penelitian, terima kasih juga kepada Winda Rahayu, Ariani Mahdiyah dan M. Rizar Zakaria.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Syari, T. N. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Brotowali (Tinospora crispa, l.)

terhadap Perkembangan Folikel Ovarium Tikus Putih (Rattus norvegicus, L.). Skripsi. Program Studi Biologi,Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

[2] Dewi, R. R., Wahyuningsih dan D. T. Widayati. 2011. Respon Estrus Pada Kambing Peranakan Ettawa Dengan Body Condition Score 2 Dan 3 Terhadap Kombinasi Implant Controlled Internal Drug Release Jangka Pendek Dengan Injeksi Prostaglandin F2 Alpha. Jurnal

Kedokteran Hewan. SSN : 1978-225X. Vol. 5(1).

[3] Simoes, J., Baril, G., Almeida, J. C., . Azevedo, J., Fontes, P. dan Mascarenhas, R. 2008. Time of ovulation in nulliparous and multiparous goats. Animal. 2(5):761– 768.doi: 10.1017/S175173110800195X. [4] Hafizuddin, Wenny N. S., T. N. Siregar, dan

Hamdan. 2011. Persentase Berahi Dan Kebuntingan Kambing Peranakan Ettawa (PE) Setelah Pemberian Beberapa Hormon Prostaglandin Komersial. Jurnal Kedokteran Hewan. ISSN : 1978-225X. 5 (2).

[5] Sutama, I K. 2011. Inovasi Teknologi

Reproduksi Mendukung Pengembangan

Kambing Perah Lokal. Pengembangan inovasi pertanian 4(3):231-246.

[6] Akhtar, M. S., A. A. Farooq and S. Inayat. 2009. Treatment of First Degree Endometritis by Cloprostenol and Estradiol in Choolistani Cows. The Journal of Animal dan Plant Sciences 19(1):20-21.ISSN: 1018-7081.

[7] Siregar, T. N. 2009. Profil Hormon Estrogen Dan Progesteron Pada Siklus Berahi Kambing Lokal. J. Ked. Hewan. 3(2):240-247.

[8] Casallas, L. H. C. 2012. Classication of Squamous Cell Cervical Cytology. Thesis. Universidad Nacional de Colombia.

[9] Wenzinger, B. dan U. Bleul. 2012. Effect of a Prostaglandin F2α Analogue on the Cyclic

Corpus Luteum during its Refractory Period in Cows. Wenzinger and Bleul BMC Veterinary Research 2012, 8:220.

[10] Boiti, C., D. Zampini, M. Zerani, G. Guelfi dan A. Gobbetti. 2001. Prostaglandin Receptors and Role of G Protein- Activated

Pathways on Corpora Lutea of

(6)

[11] Wiltbank, M.C., T. F. Shiao, D.R. Bergfelt, dan OJ. Ginther. 1995. Prostaglandin F2α

Receptors in the Early Bovine Corpus

Luteum. BIOLOGY OF

REPRODUCTION vol 52 (5): 74-78. [12] Levy, N., S. Kobayashi, Z. Roth,

D.Wolfenson, A. Miyamoto,dan R.

Meidan. 2000. Administration of

Prostaglandin F2α During the Early

Gambar

Gambar 1. Sitologi vagina pada pengamatan hari ke-1 kelompok injeksi diestrus awal ditandai dengan sel epitel parabasal (panah hitam) perbesaran 200x
Gambar 2. Rataan panjang fase dan onset estrus
Gambar 5. Rataan panjang fase dan onset estrus

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena jumlah ion Ni(II) yang diadsorpsi oleh kulit buah kopi Arabika ( Coffea arabica ) maksimum pada pH 6, penelitian lebih lanjut untuk menentukan kapasitas adsorpsi

Izan ere, erroaren ondo-ondoan (eta bere eskumatara) espero di- tugun komunztadura hizkiak printzipioz ergatibokoak dira, ez datibokoak, eta are gehiago,

Selain pemukiman penduduk, di sekitar pantai yang mengalami penggerusan tersebut terdapat akses jalan umum yang letaknya sangat dekat dengan garis pantai.. Hal ini

Oleh karena itu, diperlukan penjelasan tentang alokasi waktu kerja dan peran istri nelayan dengan harapan kegiatan di dalam rumahtangga dan kegiatan sosial

1. Mengenalpasti jenis kefahaman murid tingkatan 6 dalam konsep asas genetik Mendel iaitu kefahaman awal mereka sebelum PBM; jenis penaakulan yang berlaku semasa murid menjawab

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa adanya pengaruh tingkat pendidikan, jaminan sosial dan pelatihan terhadap produktivitas karyawan di swalayan mitra

Pantangan Makanan Penyakit Kutil Kelamin Perlu juga anda ketahui bahwa meskipun penyakit kutil kelamin ini, Umumnya tumbuh di daerah genital tapi juga bisa tumbuh di Anus,

Siswa hendaknya bersikap kritis dalam menerima pelajaran Siswa harus memiliki dorongan dan semangat yang kuat untuk maju, memiliki sifat ingin tahu dan ingin menguasai