• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PENDIDIKAN Senin 25 November 20

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PENDIDIKAN Senin 25 November 20"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

" MAKALAH PENDIDIKAN "

Senin, 25 November 2013

HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

Oleh : Syaifullah Yusuf dan Heru Wijanarko

A.PENDAHULUAN

Pendidikan dalam masyarakat modern dewasa ini, seperti di Indonesia telah menjadi wacana publik. Mulai berkembangnya pengkajian tentang kebijakan pendidikan ke ranah publik dapat kita cermati mengenai pelaksanaan amandemen-amandemen keempat Undang Undang Dasar yang mengatakan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diperuntukkan bagi pengembangan pendidikan nasional.[1]

Terlepas dari itu semua, pada zaman modern ini setidaknya telah membuka wawasan bagi seluruh masyarakat Indonesia, baik masyarakat modern atau masyarakat tradisional terkait pentingnya pendidikan berikut upaya-upaya/cara untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan adalah salah satu kunci untuk membuka wawasan masyarakat. Selain dari pendidikan, politik yang ada dalam masyarakat besar maupun kecil perlu kiranya dibedah selebar-lebarnya agar masyarakat paham akan pentingnya pendidikan yang ada di Indonesia dan memanfaatkan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat harus paham betul pentingnya politik pendidikan karena muara politik pendidikan menuju kepada kebijakan pendidikan, bukan semata-mata politisasi pendidikan. Hal ini perlu dipertegas karena bagi masyarakat kecil atau tradisional beranggapan bahwa politik adalah kotor dan lain sebagainya. Sehingga masih menjadi perdebatan apakah dalam dunia pendidikan ada yang menggunakan politik atau tidak.

(2)

Amnur, 2000: 3) disebutkan : politik itu berasal dari bahasa latin Politicus

atau bahasa Yunani Politicos yang artinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan warga negara atau warga kota.[2] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian politik sebagimana yang ditulis: (1) Pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, yaitu mengenai sistem pemerintahan dan sebagainya; (2) segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan, siasat dan sebagainya, tentang pemerintahan ataupun terhadap negara lain; (3) Kebijakan, cara bertindak di dalam menghadapi suatu masalah tertentu. Secara singkat dikatakan bahwa politik adalah suatu cara atau metode mempengaruhi orang atau pihak lain untuk mencapai tujuan kelompok.[3]

Setelah mengetahui arti politik, maka setiap individu harus mengetahui perbedaan antara politik pendidikan dan pendidikan politik. Keduanya hampir sama namun sangatlah berbeda. Menurut Amnur (2007: 5) bahwa politik pendidikan (polpen) adalah metode mempengaruhi pihak lain untuk mencapai tujuan pendidikan. Politik pendidikan juga berorientasi pada bagaimana pendidikan dapat dicapai dengan baik. Berbeda dengan pendidikan politik (penpol), yakni usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik bagi perannya di dunia politik. Dan pendidikan politik ini juga menjadikan manusia melek akan politik.[4] Sementara Ki Supriyoko memberikan penjelasan tentang politik pendidikan Nasional sebagai suatu pendekatan, metoda atau strategi untuk mempengaruhi pihak-pihak yang berkait langsung dan tidak langsung dengan pengambilan kebijakan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.[5]

Dari uraian terkait pendidikan politik seperti tertulis di atas, penulis dapat menarik intisari tentang pendidikan politik setidaknya memenuhi beberapa unsur sebagai berikut :

1. Adanya suatu pendekatan, metoda ataupun strategi yang digunakan untuk

mempengaruhi pengambilan kebijakan; 2. Adanya pihak yang dipengaruhi; dan

(3)
(4)

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian pada bagian pendahuluan tentang politik dan pendidikan sebagai sistem sosial politik, maka penulis merumuskan masalah yaitu : 1. Bagaimana format hubungan antara politik dan pendidikan dalam sistem

sosial politik ?

2. Bagaimana perkembangan politik pendidikan di kalangan masyarakat

Indonesia ?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui format hubungan antara politik dan pendidikan dalam

sistem sosial politik;

2. Untuk mengetahui perkembangan politik pendidikan di kalangan

(5)

D. PEMBAHASAN

a. Format Hubungan antara Politik dan Pendidikan

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Meskipun pendidikan dan politik berposisi sebagai dua elemen penting dalam sistem sosial politik, namun sering dikaji sebagai bagian-bagian yang terpisah. Tentu saja hal demikian tidak tepat karena pendidikan dan politik bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat sehingga membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di suatu negara. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan.

Menurut M. Sirozi (2010: 1) gambaran jelas tentang keterkaitan antara pendidikan dan politik dapat kita telusuri di dunia Islam, dimana sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan sebagai upaya untuk memperkuat posisi sosial politik kelompok dan pengikutnya. Lebih lanjut M. Sirozi mengutip sebuah analisis dari Abdurrasyid (1994) tentang pendidikan pada masa Islam klasik dengan hasil kesimpulan dalam sejarah perkembangan Islam, Institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan waktu itu, menurut Rasyid, tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keuangan dan kurikulum (1994: 3). Dia menulis sebagai berikut.

(6)

dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan pada uluran tangan para penguasa secara eonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994: 6).

Di antara lembaga pendidikan Islam yang menjadi corong pesan-pesan politik, menurut Rasyid (1994: 6), adalah madrasah Nizhamiyah di Baghdad.

[6] Dia menyimpulkan dari analisis terhadap kasus madrasah Nizhamiyah sebagai berikut.

Kedudukan politik di dalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa otoritas politik, syari’at Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam... Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syari’at. Umat tidak akan mengerti syari’at tanpa adanya pendidikan. Bila politik (kekuasaan) mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Rasyid, 1994: 15).

Kutipan di atas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan di dalam Islam tampak sedemikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat dipahami, karena tujuan pemerintahan Islam, Menurut Abdul Ghafar Aziz (1993: 95) di dalam M. Sirozi (2010: 3), adalah “menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakan syari’at. Syari’at tidak akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam”.[7]

(7)

terhadap para ulama dan pejabat penting.[8] Kepada mereka ditanyakan apakah Al-Qur’an itu Qadim atau Hadis (Dikutip dalam Rayid, 1994: 16). Melalui inquisisi para ulama, pilar penopang lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung dipaksa menerima paham Mu’tazilah, ideologi resmi penguasa.

Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang militan dalam memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang berhasil membangun masyarakat yang sadar hukum. Seiring dengan perluasan peta politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi perkembangan lembaga (intsitusi) pendidikan dalam jumlah maupun varietasnya. Di dalam sejarah Islam tercatat bahwa pusat pendidikan yang pertama kali muncul adalah rumah Arqam Ibn Abi Arqam, yakni ketika Nabi berada di Mekkah[9] (Rasyid, 1994: 24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut sudah lebih variatif dengan lahirnya Kuttab[10]

dan dijadikan rumah-rumah pembesar kerajaan sebagai tempat belajar.

Menurut Rasyid (1994: 33) di dalam M. Sirozi (2010: 5-6) menyimpulkan bahwa para penguasa Islam senantiasa terlibat langsung dalam persoalan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama yang totaliter jam’i, mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim mulai dari makan dan minum, tatacara berumahtangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat semuanya diatur oleh syari’at. Untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dalam dunia pendidikan.

Kedua, karena motivasi politik, sebab politik dan Agama sulit untuk dipisahkan dalam Islam. Para penguasa Muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Inilah yang dilakukan oleh dinasti Buwaih, Fatimiyah dan Khalifah Al-Makmun. Dengan kekuasaan mereka menanamkan ideologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan.

(8)

membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara ideologi dan institusi negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Berikut ini adalah kesan mendalam Allan Bloom (1987: 380) tentang Republic:

For me (Republic is) the book on education, because it really explains to me what I experience as a man and a teacher, and I have almost always used it to point out what we should not hope for, as a teaching of moderation and resignation.

Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di atas kelompok-kelompok elit yang secara terus menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktiftas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Walaupun sangat umum dan singkat, analisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan di kalangan ilmuwan generasi berikutnya.

(9)

privilese pendidikan lebih mampu melakukan kosolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan publik. Privilese atau diskriminasi pendidikan bisa terjadi karena alasan-alasan budaya atau agama.

Diskriminasi seperti ini sangat nyata dalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.[12] M. Sirozi mencatat beberapa karakteristik kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda: kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan pendidikan tersebut berdampak kepada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu (1) menimbulkan konfik keagamaan antara kelompok Muslim dan kelompok non-Muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan Muda Indonesia dari kalangan menengah ke atas dan angkatan Muda Indonesia dari keluarga biasa; (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi (Sirozi, 1998: 17-29). Pada masa awal kemerdekaan, kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis.

1. Pendidikan Dan Sikap Kelompok

Dalam banyak kasus, hubungan kekuasaan antarberbagai kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respons mereka terhadap pendidikan Barat. Ketika bangsa Indonesia baru merdeka, partai-partai politik dan lembaga-lembaga kenegaraan banyak dikuasai oleh tokoh-tokoh sekuler berpendidikan Barat yang tergabung dalam organisasi-organisasi Nasionalis, seperti Boedi Oetomo dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

(10)

pemerintah memenuhi tuntutan mereka, sementara yang lainnya memaksakan penyeragaman sistem pendidikan dengan harapan dapat mengeliminasi bahaya laten perpecahan sosial. Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memberi peluang kepada beberapa kelompok etnis dan keagamaan untuk mengembangkan pendidikan tersendiri sehingga lahirlah sekolah Arab, Sekolah Cina, Sekolah Kristen, Sekolah Islam, Sekolah Budha, dan Sekolah Hindu.

Menurut Abernethy dan Coombe (1965: 290) di dalam M. Sirozi (2010: 10) menyatakan bahwa “Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan tunggal dalam masyarakat pluralis umumnya tergantung pada dua hal, yakni sistem tersebut memberi kesempatan yang sama (equality of oppurtunity) pada semua kelompok masyarakat, dan generasi muda mengalami bahwa belajar bersama dapat mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka.”

Lebih lanjut M. Sirozi (2010: 10) menyatakan bahwa di negara-negara berkembang, banyak pemimpin yang berasal dari sekolah yang sama. Meskipun mereka berbeda dalam hal daerah, agama dan suku. Akbar Tanjung yang berasal dari Sibolga, misalnya ternyata berasal dari SMP yang sama dengan Megawati yang dibesarkan di Jakarta, yaitu SMP Cikini. Hal ini tidak mungkin terjadi jika tidak ada Equality of Oppurtunity dalam sistem pendidikan nasional. Kesempatan yang sama telah memungkinkan anak-anak negeri yang memiliki latarbelakang sosial budaya berbeda-beda untuk belajar bersama dan mencairkan perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi di antara mereka.

2. Pendidikan Dan Dunia Kerja

(11)

pekerjaan yang mereka nilai lebih pantas buat mereka, meskipun harus bertransmigrasi jauh meninggalkan kampung halaman dan basis sosio-kultural mereka.

Namun, tingkat pendidikan dan keterampilan yang tidak memadai seringkali membuat mereka gagal dan perburuan mereka ke wilayah perkotaan sering berakhir dengan kekecewaan. Untuk mempertahankan ambisi dan atau menghindari rasa malu pulang kampung dengan kegagalan, banyak dari mereka yang memaksakan diri tinggal di kota meskipun dengan mengarungi hidup dengan kondisi seadanya. Hal ini tampak jelas pada kehidupan para buruh yang tinggal di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (JaBoTaBek). Banyak di antara mereka yang hidup dengan upah rendah dan tinggal di rumah sewaan yang sederhana. Akibatnya, semakin hari semakin banyak warga perkotaan yang menyandang predikat pengangguran. Kelompok “pengangguran” ini sering kali menjadi “dinamit politik” yang dengan mudah dapat dipicu oleh kelompok-kelompok politik tertentu untuk mendapatkan keuntungan politik. Para buruh sering kali menjadi elemen utama dalam berbagai unjuk rasa politik.

Masalah pengangguran menjadi ujian penting bagi pemerintah di negara-negara berkembang. Mereka dituntut untuk mengimbangi keberhasilan pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja. Di satu pihak, ekspansi pendidikan turut serta melahirkan instabilitas karena pendidikan melahirkan tuntutan yang seringkali tidak dapat dijawab oleh sistem politik. Di pihak lain, tersedianya pendidikan yang cukup di berbagai jenjang adalah persyaratan yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik. Hanya dengan sumber daya manusia yang terlatih dan kesempatan kerja yang memadai pemerintah dan birokrasinya dapat memenuhi tuntutan publik, dan hanya publik yang terdidik yang dapat diminta turut serta bertanggungjawab dalam pembangunan bangsa (nation-building).

(12)

Misalnya flsafat pendidikan di suatu negara seringkali merupakan refeksi prinsip ideologis yang diadopsi oleh negara tersebut. Di Indonesia, misalnya, Filsafat Pendidikan Nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai-nilai yang terdapat pada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada dataran kebijakan, sangat sulit memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada pemerintah tersebut. Abernethy dan Coombe (1965: 287) menulis sebagai berikut.

A goverment’s education policy refects, and sometimes betrays, its view of society or political creed. The formulation of policy, being a function of goverment, is essentially part of the political process, as are the demands made on goverment by the public for its revision (Kebijakan pendidikan suatu pemerintahan merefeksikan dan terkadang merusak pandangannya terhadap masyarakat atau keyakinan politik. Sebagai fungsi pemerintahan, formulasi kebijakan secara esensial, merupakan bagian dari proses politik, sebagai tuntutan-tuntutan publik terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan).

Pada gilirannya, implementasi dari suatu kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan pendidikan berdampak langsung pada akses, minat dan kepentingan pendidikan para

stakeholder pendidikan, terutama orangtua dan peserta didik serta masyarakat pada umumnya. Abernethy dan Coombe (1965: 287) mencatat empat aspek kehidupan masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas sosial, ide-ide dan sikap. Mereka menulis

And the implementation of education policy has political consequences by afecting, among other things, types and levels of employment, sosial mobility and the ideas and the attitudes of the population (Dan implementasi kebijakan pendidikan memiliki berbagai konsekuensi politik dengan memengaruhi antara lain jenis dan jenjang pekerjaan, mobilitas sosial, dan ide-ide dan sikap-sikap masyarakat).

(13)

dinamika tersebut cenderung lebih tinggi karena perubahan-perubahan di negara-negara tersebut terjadi lebih intens. Intensitas perubahan tersebut sangat nyata dalam proses yang menghantarkan negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Abernethy dan Coombe (1965: 287) mengamati hal-hal berikut ini.

In general, the political signifcance of education in contemporary societies increases with the degree of change a society in undergoing. The massive changes which developing countries have already experienced and those, whether induced of not, which are in process, render all the more conspicuous the reciprocal relationship between politics and education in these areas (Secara umum, signifkansi politik pendidikan dalam masyarakat kontemporer meningkat dengan derajat perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Perubahan-perubahan besar yang telah dialami oleh negara-negara berkembang dan perubahan-perubahan baik yang disengaja atau tidak disengaja, yang sedang berproses, semuanya memperlihatkan hubungan timbalbalik antara politik dan pendidikan).

Kutipan di atas paling tidak menggambarkan tiga hal. Pertama, eratnya hubungan antara dunia pendidikan dan dunia politik. Kedua, besarnya contribution of Western education to the eclipse of Western colonialism is now fairly well understood, at least schematically (Bukti impresif tentang hubungan (antara pendidikan dan politik) dapat dilihat pada perjalanan negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Kontribusi pendidikan barat terhadap keterpurukan kolonialisme barat saat ini cukup dimengerti, paling tidak secara sistematik).

Para penghancur kolonialisme adalah para pemimpin yang dididik oleh sekolah-sekolah kolonial. Abernethy dan Coombe (1965: 287) menambahkan penjelasan sebagai berikut.

(14)

ke generasi para pemimpin nasionalis adalah mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah kolonial dan universitas-universitas metropolitan. Nilai-nilai, kosakata dan metode-metode organisasi yang mereka contoh dari tradisi politik di Barat mereka terapkan dan sukses dalam jangka waktu lama untuk menyerang penguasa kolonial).

Besarnya peran sistem persekolahan dalam meruntuhkan kolonialisme terlihat jelas dalam pengalaman bangsa Indonesia. Pada satu sisi, kebijakaan politik pemerintah kolonial, politik etis, misalnya, telah memperluas akses pendidikan bagi kaum pribumi, khususnya para aktivis nasionalis. Pada sisi lain, bekal pendidikan yang diperoleh telah memperluas wawasan sosial politik mereka dan pada saat yang sama memperkuat sentimen kebangsaan mereka. Wawasan dan sentimen kebangsaan itulah yang kemudian memacu aktivitas politik mereka dan menumbuhkan semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial pada waktu itu.

Pemerintah kolonial pada waktu itu tentu saja berharap bahwa bekal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan loyalitas tokoh-tokoh pribumi. Namun, kenyataan berkata lain, tokoh-tokoh tersebut berkembang menjadi fgur utama dalam pergerakan nasionalis yang menggugat kolonialisme. Inilah yang terjadi pada sosok Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo dan tokoh-tokoh nasionalis lainnya. Terlepas dari berbagai implikasi sosial politik yang menyertainya, pengalaman pendidikan dan kiprah politik tokoh-tokoh nasionalis tersebut mempertegas eratnya hubungan antara pendidikan dan politik.

3. Format Hubungan

(15)

pendidikan dan politik di negara-negara berkembang berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Dalam masyarakat yang lebih primitif yang berdasarkan pada basis kesukuan (Tribal-based societies) misalnya, lazim bagi orang tua dari satu suku memainkan dua peran, sebagai pemimpin politik dan sebagai pendidik. Mereka membuat keputusan-keputusan penting dan memastikan bahwa keputusan-keputusan-keputusan-keputusan ini diimplementasikan dan diterapkan. Mereka juga mempersiapkan generasi muda untuk memasuki kehidupan dewasa dengan mengajarkan mereka teknik-teknik berburu dan mencari ikan, metode-metode berperang dan sebagainya. Selain itu, mereka juga menanamkan pada generasi muda mereka kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi serta mempersiapkan mereka untuk berperan secara politis.

Dalam masyarakat yang lebih maju dan berorientasi teknologi, serta mengadopsi nilai-nilai dan lembaga-lembaga Barat, pola hubungan antara pendidikan dan politik berubah dari pola tradisional kepada pola modern. Di banyak negara berkembang, dimana pengaruh modernisasi sangat kuat, pola hubungan pendidikan dan politik umumnya sama dengan hubungan pendidikan dan politik di negara-negara Barat. Ada satu perbedaan bahwa di negara-negara berkembang yang lebih maju, pendidikan formal memainkan peran yang sangat penting dan nyata dalam mencapai perubahan politik, dan dalam proses rekrutmen dan pelatihan pemimpin dan elite politik baru. Di sebagian negara maju, pendidikan berada dalam arus utama kehidupan politik nasional dan menjadi isu penting dalam wacana politik. Di negara-negara lain, persoalan kebijakan pendidikan kurang mendapat perhatian dan bukan merupakan topik yang hangat sebagai wacana publik.

(16)

karena dikontrol oleh pemerintah dan memengaruhi kredibilitas pemerintah. Karena besarnya nuansa politik dari kebijakan-kebijakan pendidikan, maka berbagai faktor politis yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan turut memengaruhi bagaimana kontrol terhadap pendidikan dan bagaimana kebijakan-kebijakan pendidikan dibuat. Sebagai wilayah tanggungjawab pemerintah, pendidikan sering “dipaksa” menyesuaikan diri dengan pola-pola administratif umum dan norma-norma yang berlaku. Akibatnya, pendidikan publik dibiayai dan dikontrol oleh pemerintah sama halnya pemerintah membiayai dan mengontrol bidang-bidang lainnya, seperti pertanian, kesehatan, atau pelayanan sosial.

(17)

menggunakan seragam tertentu, melaksanakan upacara-upacara tertentu dan sebagainya.

Sekolah-sekolah non pemerintah yang sangat tergantung pada izin dan subsidi pemerintah tidak punya banyak pilihan selain mengikuti persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah, walaupun dengan begitu tidak sedikit dari sekolah-sekolah tersebut harus “kehilangan identitas” atau terpaksa “lari” dari visi, misi, dan tujuan awal pendiriannya. Di banyak negara, terutama di negara-negara berkembang, sangat sedikit sekolah non pemerintah yang dapat meloloskan diri dari “jerat” politik pendidikan penguasa. Di Indonesia, acungan jempol pantas diberikan kepada Pimpinan Pondok Modern Gontor karena ketegaran mereka untuk tidak mau mengikuti berbagai persyaratan yang dituntut oleh otoritas pendidikan di negeri ini. Hasil dari ketegaran tersebut sangat jelas; sementara banyak sekolah-sekolah dan pondok pesantren non pemerintah “kehilangan identitas” dan terjebak ke dalam uniformitas pendidikan yang diterapkan oleh otoritas pendidikan di tanah air. Selain itu, Pondok Modern Gontor adalah salah satu dari sedikit institusi pendidikan di tanah air yang mendapat pengakuan international. Banyak lulusan Pondok Modern Gontor yang diterima di Al-Azhar, Mesir, dengan kewajiban mengikuti program matrikulasi yang sangat minim.

(18)

sekolah dasar yang kecil dalam banyak hal kurang penting dibandingkan dengan sistem politik di Departemen Pendidikan. Namun, pada hakikatnya aktivitas politik pada dua lembaga pendidikan tersebut sama saja jenisnya. Sebuah keputusan yang dibuat dalam rapat guru-guru sekolah untuk mengimplementasikan sebuah program pengajaran baru sama politisnya dengan sebuah keputusan yang dibuat oleh Departemen Pendidikan dalam rangka mengalokasikan sejumlah dana bantuan untuk sekolah-sekolah tertentu.

Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling memengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya, setiap aktiftas politik ada kaitannya dengan aspek-aspek kependidikan.

4. Ide Non-Political School

(19)

praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh partai-partai politik pada akhir abad ke-19. Namun, karena minimnya kajian tentang persoalan ini, penjelasan tentang dasar-dasar pemisahan antara pendidikan dan politik di berbagai negara masih sulit ditemukan.

Apapun latar belakang dan tujuan kemunculannya, kecenderungan pemisahan dan pengintegrasian pendidikan dan politik merupakan persoalan penting yang perlu dicermati, baik oleh ilmuwan pendidikan maupun ilmuwan politik. Pemahaman terhadap karakteristik hubungan antara pendidikan dan politik adalah suatu prasyarat yang diperlukan untuk dapat memahami politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian akademik dan beberapa mitos yang mengitarinya. Hingga tahun 1980-an, menurut catatan Harman (1974:3), dibanyak negara masih ada keyakinan yang meluas bahwa pendidikan dan politik adalah aktivitas yang terpisah dan tidak memiliki kaitan apa-apa. Para pemilik keyakinan ini bersikukuh bahwa pendidikan memang seharusnya terpisah dari politik. Keyakinan seperti ini telah mengaburkan pengertian the politics of education atau politik pendidikan dan tujuan, fokus, serta wilayah kajian politik pendidikan sebagai sebuah kaijan bidang akademik. Di Amerika, Harma (1974: 3) memberi contoh, keyakinan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang terpisah dan tidak memiliki hubungan apapun juga sangat kuat. Selama bertahun-tahun sekolah-sekolah publik (public schools) di negara tersebut di tempatkan dalam sebuah atmospher anti-political dan non-political.

(20)

Menurut Bailey (1962) dan Rosenthal (1969), berkembangnya ide pemisahan antara pendidikan dan politik di Amerika dilatarbelakangi oleh keinginan para praktisi pendidikan untuk mempertahankan otonomi profesional yang lebih besar bagi mereka, serta untuk melindungi kontinuitas program-program kependidikan mereka dari kepentingan para politikus dan pengaruh proses politik, seperti pemilihan umum.

Para pendukung non-polotical school yang kebanyakan terdiri dari para pelaksana dan praktisi pendidikan dengan sengaja menciptakan seperangkat mitos yang menggambarkan pendidikan sebagai suatu fungsi pemerintahan yang unik, yang harus dikeluarkan dari politik (taken out of poiitics) dan dijaga oleh para pendidik sebagai satu-satunya yang dapat mengamankan kepentingan publik. Roesco Martin, seorang ilmuwan politik lain yang sejalan dengan pandangan Eliot memandang bahwa infltrasi dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang berbahaya. Menurut Martin (1962: 59-60) “pendidikan publik ... harus dipisahkan (dari politik) dan mendapat perlakuan khusus. Adalah berbahaya bagi sekolah publik apabila dikaitkan dengan sektor publik lainnya, bahwa sekolah tidak ada urusan apa-apa dengan politik pada umumnya, bahwa sekolah adalah contoh utama dan kampiun demokrasi”. Selama bertahun-tahun doktrin yang dilakukan oleh Martin tersebut diterima secara luas oleh publik Amerika tanpa sikap kritis.

Di Australia, keyakinan bahwa pendidikan dan politik merupakan hal terpisah memang tidak meluas seperti di Amerika, tetapi cukup mengganggu. Simaklah pengalaman Harman (1980b: 1) berikut ini:

(21)

Perdebatan-perdebatan tentang pendidikan di kalangan politisi, pendidik, atau fgur Australia sering membuat kesimpulan yang tak beralasan seperti ungkapan “education is outside politics” (pendidikan berada di luar politik) atau “education should be taken out of politics altogether” (pendidikan harus sepenuhnya keluar dari politik). Ungkapan-ungkapan tersebut, lanjut Harman (1974: 4), muncul secara alamiah dari mulut sejumlah orang dan kebenarannya jarang dipertanyakan. Selain menghambat pemahaman professional tentang relasi pendidikan dan politik, kata Harman (1974:1), pandangan bahwa politik dan pendidikan merupakan dua hal terpisah juga menghambat penelitian tentang fungsi-fungsi dan aspek-aspek politik pendidikan. Selain itu, tambahnya lagi, pandangan tersebut juga menimbulkan kebingungan tentang istilah-istilah seperti politik pendidikan

(politics of education) dan politik dalam pendidikan (politics in education). Bagi Harman (1980b: 1), pandangan tersebut adalah pendangan tradisional sentimen komunitas yang menatapikan kenyataan behwa sejak awal pendidikan publik di Australia telah terjerembab ke dalam kehidupan politik.

Harman (1974: 4) di dalam M. Sirozi (2010: 24) mengidentifkasi empat faktor utama yang memungkinkan munculnya keyakinan, pandangan dan sikap non-political di Australia. Pertama, keyakinan tersebut mungkin bagian dari hasil konfik yang tajam antara gereja dan sekolah pada abad ke-19.

(22)

penyalahgunaan kekuasaan dan kurang baiknya gambaran tentang partai politik. Pandangan ini secara alami dan logis tidak menghendaki politik mengganggu sebuah aktiftas yang berkenaan dengan pembinaan generasi muda.

Namun demikian, menurut Harman (1974: 5) di dalam M. Sirozi (2010: 25), pandangan bahwa pendidikan dan politik merupakan dua hal yang sama sekali terpisah, tidak mengandung kebenaran, baik di negara-negara industri seperti di Amerika dan Australia maupun di negara-negara berkembang. Ia percaya bahwa di belahan dunia manapun, “politik dan pendidikan saling terkait dan saling memengaruhi” (1974:5). “Keduanya”, lanjut Harman (1974: 5), adalah “dua aktivitas yang mendasar atau fundamental dalam semua masyarakat manusia”. Berusaha menemukan jenis masyarakat, apakah modern, demokratik, totaliter, sedang berkembang, atau primitif, dimana pendidikan dan politik tidak terkait dan tidak berinteraksi, tambah Harman (1974: 5), sama sekali adalah suatu usaha sia-sia.

Pendidikan menyangkut proses transmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta perkembangan keterampilan dan pelatihan untuk tenaga kerja dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh dan otoritas, serta berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumberdaya. Karena keduanya syarat dengan proses pengalokasian dan pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat, maka tidaklah sulit untuk memahami bahwa pendidikan dan politik adalah dua aktivitas yang akan terus terkait dan saling berinteraksi. Lembaga-lembaga atau agency yang menyelenggarakan aktivitas-aktivitas pada dua sektor kehidupan masyarakat ini akan saling memengaruhi, apapun karakteristik dan budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Hal ini terjadi dalam setiap masyarakat, apapun tingkat perkembangannya, sistem politiknya dan ideologinya.

5. Hambatan Ke Depan

(23)

teriakan bahwa pendidikan berada di luar politik sudah tidak terdengar lagi. Perubahan ini terjadi karena terutama kareana terus meningkatnya politisasi terhadap pendidikan. Saat ini kebijakan pendidikan telah menjadi tema perdebatan publik dan kompetisi antar partai politik. Dalam kampanye pemilu legislatif dan pemilu presiden, misalnya, pendidikan menjadi salah satu isu sentral dalam materi kampanye atau dalam rumusan visi dan misi para kandidat. Berbagai isu tentang pendekatan pendidikan sering dipertarungkan di arena publik. Di mana-mana guru-guru telah tampil sebagai kelompok militan yang dengan gigih memperjuangkan hak-hak mereka. Di Indonesia misalnya, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang selama masa orde baru menjadi “anak manis” penguasa, sekarang cukup kritis terhadap berbagai kebijakan pendidikan di negeri ini, terutama kebijakan yang ada kaitannya dengan nasib dan profesi guru. Di Kampar, aksi politik guru-guru berhasil memaksa mundur Bupati, hanya karena yang bersangkutan melecehkan kedudukan guru. Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2005, guru-guru di berbagai daerah, baik guru tetap maupun guru bantu beramai-ramai turun ke jalan menuntut hak-hak mereka, suatu pandangan yang tidak pernah terlihat pada masa Orde Baru.

Perubahan pemahaman tentang hubungan politik dan pendidikan juga dipicu oleh hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para peminat kajian politik pendidikan. Hasil-hasil tersebut telah turut meyakinkan para profesional pendidikan bahwa berbagai proses dan institusi pendidikan bersifat politik. Saat ini kita menyaksikan pengakuan yang luas di kalangan guru, administratur pendidikan, dan di kalangan masyarakat luas, bahwa tekanan-tekanan dan kekuatan politik sangat berpengaruh terhadap institusi dan kebijakan pendidikan. Harman (1980: 3) melukiskan situasi tersebut dalam kalimat pendek: “education is certainly not outside politics”

(24)

Namun, realitas yang kita lihat dan kita hadapi dimana-mana secara jelas memperlihatkan bahwa pendidikan dan politik senantiasa berkelindan; saling memengaruhi, saling mengisi dan saling mewarnai.

Untuk dapat memahami berbagai persoalan pendidikan yang ada di tengah masyarakat tidak hanya diperlukan dasar pengalaman dan pengetahuan pendidikan, tetapi juga diperlukan pengetahuan tentang aspek-aspek dan konteks politik dari persoalan-persoalan kependidikan tersebut.

b. Perkembangan Politik Pendidikan di Kalangan Masyarakat Indonesia

Di Indonesia kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Publikasi yang menggunakan tema pedidikan dan politik belum tampak ke permukaan. Kalaupun ada, fokus bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek substantif hubungan politik dan pendidikan. Namun, masih di seputar aspek-aspek ideologis politik pendidikan. Namun demikian, keyakinan akan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan politik tampaknya sudah mulai tumbuh.

(25)

Maret 2001, The Jakarta Post kembali memuat rangkuman hasil seminar tersebut dengan judul Politics, education inseparable.

Buchori di dalam M. Sirozi (2010: 29) menambahkan dalam presentasinya bahwa “politics is the way to manage the broad environment, and not merelly a struggle for power. Therefore it is the duty of school to help students diferentiate between good politics and bad politics” (Politik adalah cara untuk mengelola lingkungan yang luas, bukan hanya perebutan kekuasaan. Maka, adalah tugas sekolah untuk membantu para pelajar untuk dapat membedakan antara politik baik dan politik tidak baik). Berbicara dalam konteks Indonesia, Buchori percaya bahwa “poor education is one source of the country’s crisis” (pendidikan yang tidak bermutu adalah salahsatu sumber krisis negeri ini). Dia menjelaskan lebih jauh bahwa “the crisis now facing the nation (Indonesia) stems from an accumulation of inappropriate or wrong political decisions generated in the past” (krisis yang saat ini sedang melanda bangsa ini (Indonesia) bersumber dari akumulasi keputusan-keputusan politik yang tidak tepat yang terjadi pada masa lalu). Dia menambahkan; “pada masa lalu kita mempunyai generasi pemimpin politik yang membawa bangsa ini pada kemerdekaan. Akan tetapi, akhirnya kita melihat suatu generasi yang membuat keputusan-keputusan politik yang menyesatkan.”

(26)

berpolitik secara bijak. Persoalannya adalah bagaimana menangani para politisi yang buta politik”. Sejalan dengan Buchori, Direktur Eksekutif Asia Foundation, Ramage, yang menjadi salah seorang pembicara dalam seminar tersebut mengatakan “Putting politics in the classroom was common”

(Memasukkan politik ke dalam ruang kelas adalah hal biasa). Ia menambahkan bahwa sistem pendidikan yang memandang politik sebagai sesuatu yang kotor membuat banyak orang tidak mau menjadi politisi. Jika hal ini terus berlanjut, kata Ramage, Indonesia akan dipimpin oleh para pengamat politik.

Menurut M. Sirozi (2010: 30-31) dari beberapa pemikiran yang berkembang dalam seminar tersebut dapat ditarik beberapa pemahaman.

Pertama, adanya kesadaran tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, Adanya kesadaran akan perang penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, Adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, Diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik.

Kelima, Pentingnya pendidikan kewargaan (civic education). Ungkapan-ungkapan Muchtar Buchori khususnya menggambarkan suatu keyakinan terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik. Ia juga yakin bahwa hubungan tersebut tidak mungkin diputus begitu saja karena membawa pengaruh substantif terhadap keduanya. Dalam proses pendidikan, Buchori tampaknya sangat yakin bahwa, pendidikan dan politik perlu diintegrasikan untuk dapat melahirkan para pemimpin politik yang berkualitas.

(27)

Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan pusat-pusat studi pendidikan lainnya, seperti Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ada di beberapa perguruan tinggi umum dan Fakultas Tarbiyah yang ada pada Universitas Islam Negeri Jakarta (UINJ), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), baik negeri maupun swasta yang tersebar di seluruh Indonesia. Disiplin ilmu politik dan ilmu pendidikan masih cenderung di lihat sebagai dua bidang kajian yang tidak memiliki hubungan apa-apa. Sejauh ini penulis mencatat bahwa mata kuliah politik pendidikan hanya terdapat pada kurikulum program studi pendidikan di Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan program serupa di IAIN Raden Fatah Palembang. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, program studi pendidikan demokrasi sedang dipersiapkan.

Lebih lanjut M. Sirozi (2010) menyatakan tidak dapat dikatakan bahwa kesadaran akan keterkaitan antara pendidikan dan politik tidak ada sama sekali. Beberapa seminar dan kongres kependidikan nasional maupun Internasional yang pernah dihadiri oleh beliau di beberapa kota besar di Indonesia memperlihatkan perhatian yang besar dari para peserta dan pembicara terhadap hubungan antara pendidikan dan politik. Diskusi tentang berbagai isu fundamental tentang pendidikan seringkali mengungkapkan aspek-aspek dan hambatan-hambatan yang bersifat politik dalam perkembangan sistem pendidikan di negeri ini. Misalnya, kecilnya alokasi dana untuk pendidikan dan rendahnya mutu pendidikan di negeri ini seringkali diyakini sebagai impliksi dari rendahnya komitmen politik (political will) pemerintah.

(28)

oleh Professor Dr. Sutjipto; Kebijakan Pemerintah Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah oleh Dr. Dr. Fazli Djalal; Tanggungjawab LSM Dalam Meningkatkan Mutu Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah oleh Ir. Eri Sudewo; Pengawasan Pendidikan di Era Otonomi Daerah oleh Professor. Dr. Mulyani A. Nurhadi, M.Ed.; Masalah dan Kebijakan Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah oleh Professor. Dr. Azyumardi Azra, M.A.; Strategi Pemerintah Daerah Dalam Memacu Kualitas Sekolah Melalui Manajemen Pendidikan (Satu Contoh Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Kebumen) Oleh Dra. Rustriningsih, M.Si.; Dampak Otonomi Daerah Terhadap Manajemen Pendidikan di Provinsi Sulawesi Tengah oleh Professor Dr. Djamaluddin Kantao, M.Pd.; Partisipasi Masyarakat, Potret Tahun Kedua di Era Otonomi Pendidikan oleh Dr. Basuki Wibawa; Kesiapan Masyarakat dalam Mendukung Implementasi School Based Management oleh Professor Santoso S. Hamidjoyo; dan Implikasi Managemen Pendidikan Nasional Dalam Konteks Otonomi Daerah oleh Professor. Dr. Winarno Surakhmad, M.Ed.

Beberapa buku yang membahas aspek-aspek politik pendidikan juga mulai bermunculan dari para penulis dalam negeri. Misalnya, ada buku

Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti yang ditulis oleh Kartini Kartono (1997) yang diterbitkan oleh PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Selain itu, telah bermunculan buku-buku tentang pendidikan kewargaan yang secara langsung maupun tidak langsung juga membahas isu-isu di seputar politik pendidikan. Salahsatu yang terbaru adalah buku Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan): Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani yang ditulis oleh Dede Rosyada (2000) dan diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(29)

kalangan ilmuwan pendidikan mupun di kalangan ilmuwan politik. Pada saatnya nanti kajian politik pendidikan diharapkan terus diminati dan berkembang di pusat-pusat studi kependidikan di negeri ini sehingga wacana kependidikan di tanah air tidak hanya terbatas pada isu-isu metode dan materi pembelajaran tetapi juga menyentuh konteks sosio-politis dari isu-isu tersebut.

Dalam dua dekade terakhir, memasuki abad ke-21 dan pemberlakuan otonomi daerah, lingkungan politik pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan penting. Perubahan tersebut ditandai oleh paling tidak tiga kecenderungan utama. Pertama, terjadinya perubahan peranan pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan pendidikan yang sebelumnya didominasi oleh pemerintah pusat, saat ini sudah mulai didistribusikan ke daerah. Kedua, semakin terfragmentasinya pendidikan, baik secara politik maupun dalam bentuk program. Ketiga, muncul kembalinya kepentingan-kepentingan nonpendidikan, terutama dari dunia bisnis, dalam wilayah pendidikan. Berbeda dengan tahun 1970-an ketika politik pendidikan adalah wilayah kepentingan kelompok kepentingan kependidikan berbasis luas

(broad-based education interest groups), seperti Departemen Pendidikan, Kepala Sekolah, Administrator dan Guru, mulai tahun 1980-an dunia pendidikan didominasi oleh tokoh-tokoh bisnis dan pegawai publik yang terpilih.

(30)
(31)

E. KESIMPULAN

Dari hasil penyusunan makalah tentang “Hubungan Politik dan pendidikan”sebagaimana telah penulis uraikan di atas , maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Hubungan Politik dan Pendidikan Dalam Sistem Sosial Politik

Di banyak negara berkembang, dimana pengaruh modernisasi sangat kuat, pola hubungan pendidikan dan politik umumnya sama dengan hubungan pendidikan dan politik di negara-negara Barat. Ada satu perbedaan bahwa di negara-negara berkembang yang lebih maju, pendidikan formal memainkan peran yang sangat penting dan nyata dalam mencapai perubahan politik dalam proses rekrutmen dan pelatihan pemimpin dan elite politik baru. Di sebagian negara maju, pendidikan berada dalam arus utama kehidupan politik nasional dan menjadi isu penting dalam wacana politik. Hal demikian terjadi karena pendidikan merupakan wilayah tanggungjawab pemerintah yang besar. Pendidikan publik bersifat politis karena dikontrol oleh pemerintah dan memengaruhi kredibilitas pemerintah. Dengan makna lain melalui pendidikan suatu kredibilitas maupun kejayaan dibangun atau bahkan sebaliknya, melalui pendidikan sistem pemerintahan dapat direstrukturisasi ulang. Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua dataran, baik pada dataran flosofs maupun pada dataran kebijakan. Misalnya flsafat pendidikan di suatu negara seringkali merupakan refeksi prinsip ideologis yang diadopsi oleh negara tersebut. Di Indonesia, misalnya, Filsafat Pendidikan Nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai-nilai yang terdapat pada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada dataran kebijakan, sangat sulit memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada pemerintah tersebut.

b. Perkembangan politik pendidikan di kalangan masyarakat Indonesia

Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, wacana hubungan antara politik dan pendidikan maupun pokok-pokok pikiran tentang politik dan pendidikan mulai berkembang, baik melalui seminar maupun karya-karya tulis. Namun demikian, harus diakui hingga saat ini kajian politik pendidikan masih merupakan barang langka di negeri ini. Bahkan, kajian politik pendidikan masih jarang terdengar di pusat-pusat studi kependidikan. Disiplin ilmu politik dan ilmu pendidikan masih cenderung di lihat sebagai dua bidang kajian yang tidak memiliki hubungan apa-apa.

(32)

kepentingan-kepentingan nonpendidikan, terutama dari dunia bisnis, dalam wilayah pendidikan. Berbeda dengan tahun 1970-an ketika politik pendidikan adalah wilayah kepentingan kelompok kepentingan kependidikan berbasis luas

(broad-based education interest groups), seperti Departemen Pendidikan, Kepala Sekolah, Administrator dan Guru, mulai tahun 1980-an dunia pendidikan didominasi oleh tokoh-tokoh bisnis dan pegawai publik yang terpilih.

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Amnur Ali Muhdi. 2007. Konfgurasi Politik Pendidikan Nasional. Pustaka Fahima. Yogyakarta.

Sirozi Muhammad. 2010. Politik Pendidikan. PT Raja Grafndo Persada. Jakarta.

Tilaar, H.A.R. & Riant Nugroho. 2012. Kebijakan Pendidikan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai Pustaka. Jakarta.

[1] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2012) Hlm. 2.

[2] Amnur, Konfgurasi Politik Pendidikan Nasional.( Yogyakarta: Pustaka

Fahima, 2007). Hlm.3.

[3] Ibid. Hlm.4. [4] Ibid. Hlm.5.

[5] Lihat kata pengantar Ki Supriyoko dalam buku “Konfgurasi Politik Pendidikan Nasional”, Hlm. xii.

[6] Madrasah Nizhamiyah didirikan oleh penguasa Bani Saljuk, Nizham

(34)

[7] Pada periode Mekkah, rumah Arqam Ibn Abi Arqam berfungsi sebagai

lembaga pendidikan pertama dalam bentuk yang sederhana, dimana nabi mengajar sahabat-sahabatnya. Pada periode Madinah, aktivitas pendidikan berpusat dimasjid-masjid. Pada periode tersebut Khalifah Umar Ibn Khattab memerintahkan Abu Musa Al-Asy’ari agar setiap suku mendirikan masjid untuk memperluas jaringan pendidikan Islam. Khalifah-khalifah Bani Umayyah, baik yang di Damaskus maupun di Spanyol berperan penting dalam membangun cakrawala pendidikan Islam (Sjalabi, 1973: 94).

[8] Bila ditinjau dari sisi aqidah, inquisisi adalah usaha pemurnian

pandangan masyarakat. Bagi golongan Mu’tazilah menganggap bahwa Al-Qur’an itu Qadim adalah kafr karena dengan demikian itu seseorang telah menjadikan yang Qadim ada dua. Kekufuran harus dihapus dari pandangan orang Islam. Pejabat negara dan para ulama yang mengatakan bahwa Al-Qur’an Qadim harus disingkirkan, karena mereka adalah termasuk orang kafr (Rasyid, 1994: 18).

[9] Pada periode Mekkah pusat-pusat pendidikan difokuskan di

masjid-masjid. Masjid yang pertamakali didirikan adalah masjid Quba. Di masjid ini diadakan lingkaran-lingkaran belajar (Halaqah) sebagaimana di masjid Nabi di Mirbad Madinah. Untuk menunjang proses pendidikan dan pengajaran di masjid ini, lalu dibangunlah al-Sufah (semacam beranda). Di Al-Sufah ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada sahabat dan melatih beberapa orang diantara mereka untuk menjadi guru yang mempu mengajar beberapa pelajaran yang berlainan. Diantara para sahabat yang dilatih di Al-Sufah

tersebut ialah Abu Abdullah Ibnu Rowahah, Ubadah Ibnu Shamit, dan Abu Ubaidah Ibnu Jarrah” (Rasyid, 1994: 25).

[10] Kuttab, menurut Al-Thibawi, merupakan fenomena yang berkembang

pada awal abad ke-8 M di penghujung pemerintahan Bani Umayah. Kuttab ini berfungsi sebagai pusat pendidikan anak-anak kecil, didirikan untuk menghindari mereka dari mengotori masjid (Dalam Rasyid, 1994: 26).

[11] Menurut Plato, “Para flsuf memiliki otoritas tertinggi, para pengawas

berpendidikan menengah bertindak sebagai kekuatan militer dan polisi, dan mereka yang memasok kebutuhan ekonomi negara menempatkan status terendah diantara semuanya. Pendidikan harus disesuaikan secara cermat dengan reproduksi sistem; kelas yang lebih rendah dididik untuk patuh dan diyakinkan dengan mitos-mitos politik bahwa status mereka itu terbentuk oleh sebab-sebab alamiah; para penyair seharusnya hanya menggambarkan tingkahlaku terpuji, pengetahuan tentang bentuk-bentuk masyarakat alternatif ditekan dengan hati-hati, kecuali dalam kalangan sangat terbatas dari elit penguasa” (Kuper & Kuper, 2000: 767).

[12] Diskusi lebih lanjut mengenai kebijakan pendidikan pemerintah kolonial

Belanda serta dampaknya terhadap perkembangan sistem pendidikan Nasional di Indonesia, lihat Muhammad Sirozi 1998. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam Dalam Penyusunan UU No.2, Khususnya Bab 2. Jakarta, INIS.

Diposkan oleh Mualimin Rasen di 06.18

(35)

Reaksi:

Tidak ada komentar: Poskan Komentar Link ke posting ini Buat sebuah Link

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Kumpulan Makalah Pendidikan

 ▼ 2013 (5)

o ▼ November (5)

 POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA REFORMASI  POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM: ASPEK PEND...  HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

 FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN  HAKIKAT BELAJAR

Mengenai Saya

Mualimin Rasen Lihat profil lengkapku

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dokumentasi MTs Swasta Amal Shaleh tentang keterlibatan guru dalam pembinaan kepribadian siswa dapat dipahami bahwa Guru memiliki peran yang strategis

Ini adalah berita tentang keadaan orang-orang yang celaka, yaitu apabila diberi kepada salah seorang diantara mereka buku catatan amalnya dari sebelah kiri, maka pada saat itu

Setelah dilakukanya uji Blackbox dan pengujian ke pengguna secara langsung maka penulis mendapatkan kesimpulan bahwa aplkasi ini dapat membantu belajar tentang tabel

4 Brosur dari BMT NU Sejahtera Mangkang Kota Semarang di Ambil Pada tanggal 18 November 2015.. Nisbah bagi hasil antara shohibul mal dengan mudhorib = 60:40 a) Jangka waktu 1

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pengetahuan siswa SMP AR-Rahman Medan termasuk dalam kategori baik yaitu sebanyak 60 orang (85,7%) tetapi

sebesar 0,05190 dengan probabilitas 0,033 yang berarti Group Cohesiveness yang tinggi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap hubungan partisipasi penganggaran

Selama ini para pembudidaya ikan sering mengganti pakan alami hidup untuk larva ikan seperti Daphnia atau Artemia dengan memberikan kuning telur matang dan susu bubuk pada

Keyakinan, kemudian timbul keyakinan pada diri individu terhadap produk tersebut sehingga menimbulkan keputusan (proses akhir) untuk memperolehnya dengan tindakan