• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK MELAYU DAN MADURA BAK PADI DALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONFLIK MELAYU DAN MADURA BAK PADI DALAM"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KONFLIK MELAYU DAN MADURA BAK PADI DALAM SEKAM STUDI KASUS KABUPATEN SAMBAS

I. Pendahuluan

Kalimantan Barat adalah sebuah provensi yang terletak di pulau Kalimantan dan Pontianak sebagai ibu kotanya. Luas wilayah provensi Kalimantan barat adalah 146.807 km2 (7,53% luas Indonesia). Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki provinsi "Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari.

Di balik konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan satu kesatuan bangsa jika dilihat lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu etnis dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa “kami”, dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya, dan etnis luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya. Faktor penyebab konflik tersebut bermacam-macam, antara lain ; konflik terjadi diawali dengan terjadinya konflik individu, faktor ekonomi, perbedaan keyakinan atau agama, serta kesenjangan sosial.

Kalimantan Barat adalah salah satu daerah yang kerap mengalami konflik antar etnis. Konflik-konflik ini telah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Salah satu Konflik yang terjadi di Kalimantan Barat adalah konflik antara Melayu sambas dan Madura pada tahun 1999. Kita sering mendengar konflik ini disebut dengan Konflik sambas. Terdapat banyak versi mengenai awal mula konflik berkepanjangan ini. Salah satunya yaitu versi yang mengatakan bahwa awal peristiwa dilatar belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang warga suku Madura yang ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku melayu yang kemudian dengan adanya serangan suku Madura terhadap suku melayu yang lagi melaksanakan sholat idul fitri yang menyebabkan 3 orang tewas.

(2)

II. Sekilas Masyarakat Melayu dan Budayanya

Suku Melayu yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku bangsa lainnya di Kalimantan barat (terutama pada saat kerajaan-kerajaan besar masih berpengaruh) dan identik beragama Islam. Orang Melayu menempati wilayah dataran rendah, khususnya di Kalbar mereka menempati wilayah disepanjang tepi sungai-sungai besar. Masyarakat etnis Melayu adalah masyarakat asli yang mendiami wilayah Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Sambas. Keberadannya yang merupakan suku asli Kalimantan selain suku dayak yang merupakan suku asli, hal ini yang membuat suku melayu disegani dan memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku lain di Sambas. Di Kalimantan Barat sendiri prosentase jumlah suku bangsa Melayu sebesar 13%. Pada dasarnya, masyarakat etnis Melayu memiliki sifat lembut dan mudah mengalah. Sikap yang di tanamkan oleh orang suku melayu sambas adalah etika dan moral yang sangat kental dengan budaya islam. Orang yang lebih tua harus di hormati, selain itu juga suku melayu sambas juga sangat berhati-hati dalam bertutur kata bahkan hal yang biasanya tidak disukainya saja hanya di pendam didalam hati ketimbang di ungkapkan secara langsung yang takutnya melukai perasaan orang lain ketika di ucapkan. Suku melayu sambas juga sangat ramah dengan masyarakat pendatang, bisa dikatakan masyarakat melayu sambas tergolong kelompok yang plural dan menjaga keharmonisan.

III. Sekilas Masyarakat Madura dan Budayanya

(3)

gamping yang otomatis membuat orang Madura menjadi sosok yang ulet, rajin bekerja, tidak pantang menyerah dan tingkat survivalnya tinggi.

IV. Gambaran Konflik Melayu dan Madura serta Gaya Konfliknya

Menelusuri Akar terjadinya Konflik Etnik melayu dengan Madura Agaknya tidak ada suatu masyarakat dimanapun di dunia ini yang tidak mengalami konflik. Konflik yang dialami oleh warga masyarakat dalam kehidupan sosialnya, perbedaannya hanyalah terletak pada intensitasnya dan cakupan wilayahnya saja. Ada konflik yang berupa persaingan dan pertentangan yang biasa saja, yang melibatkan warga masyarakat dalam jumlah yang relatif kecil, akan tetapi ada juga konflik yang melibatkan masyarakat dalam jumlah yang besar.

Banyak aspek yang memicu konflik antar kelompok masyarakat di Sambas ini terjadi. Kemarahan dan akumulasi dendam sebagai akibat dari kecemburuan sosial, sikap eksklusivitas kaum Madura, serta perasaan kaum Melayu yang merasa termarginalisasi dan merasa tidak ditempatkan sebagai komunitas masyarakat yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah dan lingkungan dimana mereka hidup membuat konflik yang sebelumnya berada di tahapan laten menjadi konflik yang muncul dan mencuat ke permukaan secara massif.

Benturan kebudayaan, dimana masing–masing kelompok berusaha mempertahankan apa yang menjadi kebudayaan dan identitas kelompoknya menjadi konflik tersendiri dalam arena pertarungan antara Melayu dengan Madura. Suku bangsa Melayu yang cenderung lebih suka mengalah dan “lemah lembut” tapi lambat laun juga panas juga karena sikap dan budaya suku Madura yang cenderung keras dan menggunakan kekerasan sebagai sarana pemecahan masalah. Ketidakmampuan suku bangsa Madura untuk beradaptasi dengan lingkungannya menyebabkan mereka semakin eksklusif dan rela melakukan segala hal jika sesuatu yang buruk terjadi dengan kelompoknya. Berbeda dengan suku Melayu yang cenderung berusaha menghindari konflik, suku Madura melanggengkan adat “carok”nya jika terjadi permasalahan. Bahkan dendam semakin memuncak tatkala Madura menyebut suku Melayu dengan sebutan “Melayu Kerupuk” atas rasa takutnya jika menghadapi masalah.

(4)

tersendiri bagi masyarakat Melayu dan mengakumulasi prasangka antar-etnik. Tidak berfungsinya aparat secara optimal malah membuat konflik semakin melebar. Secara umum, konflik yang terjadi di Kalimantan Barat juga disebabkan oleh tindak-tindak kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum, namun digeneralisasikan sebagai hasil perbuatan kelompok etnis tertentu yang menyebabkan amarah bagi kelompok lain. Pola segregasi sosial dan pembentukan stereotype juga menjadi point penting dalam konflik Sambas. Cara hidup kelompok etnis Madura yang menggerombol dan cenderung eksklusif membuat lemahnya kontak sosial etnis Madura dengan masyarakat sekitarnya (Suroyo, 2001). Sifat etnis Madura yang keras dan penggunaan cara-cara kotor dalam beraktivitas membuat tumbuhnya prasangka dan konflik antar etnis di Sambas.

(5)

Akumulasi rasa sakit hati dan dendam akhirnya muncul kepermukaan tatkala terjadi kasus pembunuhan yang melibatkan kedua etnis. Dengan massa yang begitu besar, Melayu menjatuhkan etnis Madura dengan cara-cara yang sadis pula. Sehingga Madura terusir dari bumi Sambas. Kerusuhan besar pun tak terelakkan, dimana terdapat sedikitnya 177 orang tewas, 71 luka berat, 40 luka ringan, 12.185 rumah terbakar, 315 dirusak dan 21.626 warga Madura terusir dari tempat tinggalnya. Hingga pada akhirnya, terjadi kondisi umum pascakonflik, dimana orang Madura ditolak masuk Sambas kembali.

V. Assestment

Dalam melakukan assestment terhadap konflik etnik melayu dan madura pada tahun 1999. penulis menggunakan beberapa alat bantu analisis antara lain: penahapan konflik, pemetaan konflik, analogi bawang bombay, serta pohon konflik.

Keempat alat bantu analisis ini masing-masing akan menjelaskan beberapa pandangan terkait konflik yang terjadi di antara kedua belah pihak, yakni:

- Penahapan Konflik: Mengidentifikasi awal kemunculan konflik, serta tahap-tahapan yang menyebabkan konflik ini semakin besar, dan pada akhirnya tiba pada peristiwa pascakonflik.

- Pemetaan Konflik: Memberikan gambaran terhadap peran aktor lainnya di luar kedua belah pihak, serta dampak yang ditimbulkan oleh hubungan keduanya dengan pihak luar pra dan pasca konflik.

- Analogi Bawang Bombay: Menjelaskan penyebab konflik yang terjadi di antara keduanya, apa yang diinginkan oleh kedua belah pihak dapat dilihat melalui alat bantu ini.

- Pohon Konflik: Mengidentifikasi lebih lanjut dampak yang ditimbulkan akibat konflik kedua belah pihak terhadap berbagai aspek yang diawali dengan masalah inti.

(6)

madura. Lebih detilnya akan dipaparkan fase pra-konflik, konfrontasi, kritis, akibat, dan pasca-konflik sebagai berikut.

a) Prakonflik : Fase ini penulis hanya menggambil penahapan konflik dimulai pada tahun 1998, pada saat itu kondisi masyarakat daerah kabupaten sambas sudah mulai mewaspadai bahwa akan adanya Konflik disebabkan banyak senjata api rakitan serta kabar miring terhadap pembantaian suku Melayu dan Madura itu sendiri, hal ini menyulut emosi suku Melayu. sehingga ia mulai mewaspadai beberapa hal yang merupakan cikal bakal timbulnya konflik itu sendiri.

b) Konflik : Fase ini terjadi pada tahun 1999, dimana konflik itu terjadi di beberapa wilayah kabupaten, banyak isu yang beredar di masyarakat semankin memperkeruh suasana bahkan masyarakat tidak takut untuk melakukan tindakan yang tidak manusiawi, selain itu juga banyaknya isu yang simpang-siur (tidak jelas) yang merupakan bagian dari skenario provokator (interest group), akhirnya menimbulkan tindakan kriminal.

(7)

juta rupiah dan lahan pekarangan (lahan usaha seluas kurang lebih 1 ha/KK). Disamping itu disediakan pula jadup (jaminan hidup) berupa beras 0,4 kg/KK/hari dan lauk pauk Rp. 1500/KK/ hari selama 3 bulan dan peralatan rumah tangga serta bantuan2 lainnya (benih/hewan ternak/pupuk dll)

Berdasarkan alat bantu ‘pemetaan konflik’ dapat kita lihat hubungan antara pihak yang berkonflik dengan pihak lain di sekitarnya namun tetap berhubungan. Dalam pemetaan konflik ini penulis hanya mencantumkan perangkat inti saja dalam konflik melayu dan Madura di kabupaten sambas.

Dari pemetaan di atas, terlihat hubungan kuat ditunjukkan oleh pihak-pihak yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, seperti yang telah dipaparkan pada bagian identifikasi kharakter dan budaya kedua suku. Sebagai contoh: melayu dan Madura yang memiliki budaya yang sangat kontras. Bahkan perbedaan budaya serta latar belakang yang berbeda dari kedua etnis terbawa konflik utama, sehingga mereka mengalami konflik yang berskala besar.

Pada suku lainnya, hampir seluruhnya mempunyai hubungan yang biasa saja dengan keduanya kecuali suku dayak yang turut membantu suku melayu dalam konflik tersebut. Namun terjadi anomali pada suku dayak, dikarenakan rasa benci dan merasa sukunya terintimidasi, maka mereka memiliki hubungan kuat. Hal ini juga berpengaruh pada konflik.

Ada juga pihak yang mendukung etnis melayu dalam konflik ini. Suku dayak mempunyai konflik kecil dengan madura. Hal ini banyak dipengaruhi oleh tindak intimidasi yang kuat dari suku Madura terhadap kedua suku yang berbeda. Posisi suku Madura yang terpojokkan dengan kebudayaannya yang dikenal keras oleh suku lainnya di kabupaten sambas membuat suku Madura di asingkan dari kabupaten sambas bahkan di tolak untuk kembali ke kabupaten sambas.

3) Analogi Bawang Bombay Posisi

Kepentingan

(8)

Bagan di atas merupakan analogi bawang bombay yang digunakan sebagai alat bantu dalam mengurai suatu konflik. Berdasarkan pemaparan atas konflik antara melayu dan Madura di kabupaten sambas tahun 1999 ini, maka dapat diurai posisi mereka terhadap posisi, kepentnnan, dan kebutuhan.

Pihak Berkonflik Bagian

Melayu Madura

Posisi

Mengharapkan menghormati serta menghargai aturan, norma serta budaya masyarakat melayu di kabupaten sambas.

Posisi Madura yang selalu mengtintimidasi melayu yang seharunsya menjunjung tinggi pluralisme dan perdamaian untuk membangun saling kepercayaan terhadap kedua suku.

Kepentingan Menolak keras etnis Madura untuk kembali lagi ke kabupaten sambas dengan alasan traumaistik yang

(9)

dilakukan oleh etnis Madura terhadap etnis melayu di kabupaten sambas

Kebutuhan

Harus di hargai serta bisa hidup rukun dengan suku lainnya yang ada di kabupaten sambas

Ingin kembali ke sambas untuk mendapatkan hak material seperti tanah dll.

Berdasarkan pemaparan di atas maka terlihat bahwa keduanya memiliki kepentingan yang sangat kontras dalam mengatasi konflik. Hal inilah yang tidak dapat menyatukan tujuan mereka, di karenakan kurangnya saling kepercayaan.

Alat bantu ‘pohon konflik’ menunjukkan tiga hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan untuk penyelesaian konflik antara lain: penyebab, masalah inti, dan efek. Adapun identifikasi terhadap sumber masalah yang ada dalam konflik ini terletak pada aspek gagalnya negosiasi para tokoh melayu dan madura sehingga konflik ini terjadi.

Miss-komunikasi ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal seperti intimidasi, sifat premanisme, saling tidak percaya, dan rendahnya itikad untuk saling menghargai.

Poin di atas diidentifikasi berdasarkan evaluasi terhadap hubungan yang selama ini terjadi antara melayu dan madura. Perbedaan budaya serta kurangnya rasa pluralisme, dan lebih memiliki sifat keras kepala, merupakan penyebab terjadinya mispluralisme tersebut.

Dampak yang ditimbulkan dari mis-pluralisme kedua belah pihak tersebut antara lain: hilangnya fungsi control terhadap diri yang merusak hubungan harmonis antara keduanya, rendahnya saling percaya (social trust) menggakibatkan keduanya menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan.

Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik di antara keduanya yakni melakukan konsolidasi terhadap penyebab-penyebab konflik sehingga efek yang ditimbulkan dapat dikurangi sedikit demi sedikit, bahkan dihilangkan.

(10)

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan alat bantu konflik di atas maka penulis dapat memberikan beberapa rekomendasi penyelesaian untuk konflik tersebut.

1) Pemerintah daerah maupun pusat harus bertindak tegas dalam mengatasi konflik etnis yang beskala kecil maupun besar sehingga masyarakat merasa di lindungi oleh negara. 2) Di mulai saat ini seharusnya pemerintah daerah memberikan pendidikan budaya yang

progresif terhadap generasi muda serta menekankan kepada pemuda agar hidup plural, tanamkan pemahaman budaya sejak usia dini.

3) Penyebab konflik yang telah teridentifikasi sebaiknya langsung dibenahi agar konflik dapat segera diakhiri melihat etnis Madura tidak bisa kembali kekabupaten sambas sampai sekarang

4) Kedua belah pihak seharusnya menyadari bahwa mereka mempunyai satu tujuan yakni memajukan dan membangun Kalimantan barat, sehingga ego individu dapat di kesampingkan, dan mendahulukan kepentingan masyarakat bersama.

5) Peran Ormas seharusnya bisa menjadi jembatan penghubung antara pihak yang berkonflik agar konflik ini tidak menjadi warisan, serta Kedua belah pihak harus merefleksikan sikap mereka yang menjadi cikal bakal konflik ini terjadi, apabila keduanya telah melakukan introspeksi diri, maka mereka akan menemukan sikap mereka yang mempengaruhi satu sama lain.

6) Pemerintah seharusnya menanamkan rasa pluralisme sejak dini agar konflik ini tidak terjadi dalam jangka waktu yang panjang bahkan tidak akan pernah terjadi lagi di antara keduanya maupun etnis lainnya yang ada di Kalimantan barat.

REFERENSI :

Aditjondro, Junus George dalam Petebang Edi dan Eri Sutrisno. (2000). Konflik Etnik di Sambas, Institut Studi Arus Informasi, Jakarta.

(11)

http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/25/konflik antar kelompok masyarakat konflik horizontal antara etnis melayu dengan etnis Madura disambas Kalimantan barat.

http://penakalbar.blogspot.com/2008/06/konflik etnis sambas 1999 pelangggaran HAM.

Referensi

Dokumen terkait

Di Sampit tahun 2001 yang lalu terjadi pula konflik antar etnis yang banyak memakan korban, seperti kehilangan keluarga, kehilangan harta benda, yang tidak kalah penting ialah

Meskipun tidak terjadi secara masif dan frekuensi insiden yang kecil, namun kasus-kasus kekerasan terkait isu intoleransi masih dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia..

Berdasarkan pengelompokan isu/pola konflik sosial, rekapitulasi peristiwa konflik sosial yang terjadi di tahun 2015 medio kuartal (Januari s/d April) diantaranya konflik

Konflik dengan kekerasan lebih banyak terjadi di wilayah di mana tidak ada kelompok dominan dari segi suku maupun agama, ataupun yang selisih proporsional antara kedua umat itu

Begitu pula dengan penelitian ini, di wilayah Thailand Selatan terjadi konflik pemerintah dan rakyat, yang peneliti gambarkan dalam penelitiannya, pemerintah di gambarkan

Berdasarkan tabel di atas, penyelesaian konflik sosial toleransi dalam novel Aib dan Nasib berdasarkan perspektif George Simmel terjadi pada beberapa konflik antar tokoh,

Selama proses pasteurisasi atau sterilisasi berlangsung, akan terjadi peru- bahan suhu retort terhadap waktu yang dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu (a) fase pemanasan

5 Menganalisa lebih lanjut tentang konflik horizontal yang terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti konflik Dayak dan Madura dihubungkan dengan teori Simon