• Tidak ada hasil yang ditemukan

179841546 Contoh Proposal Bahasa Indonesia SMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "179841546 Contoh Proposal Bahasa Indonesia SMP"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus

globalisasi, bahasa Indonesia memiliki peranan yang penting dan strategis dalam proses komunikasi di tengah-tengah pergaulan dan interaksi sosial. Melalui penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, seseorang akan mampu berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis, dengan pihak lain sesuai konteks dan situasinya.

Sebagai institusi pendidikan formal, sekolah memiliki fungsi dan peran strategis dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang terampil berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, para peserta didik diajak untuk berlatih dan belajar berbahasa melalui aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan memiliki keterampilan berbahasa Indonesia secara baik dan benar, kelak mereka diharapkan menjadi generasi yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.

Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya adalah keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas, runtut, dan mudah dipahami. Selain itu, keterampilan berbicara juga akan mampu

melahirkan generasi masa depan yang kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gagasan, pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara runtut dan sistematis. Bahkan, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur pada saat dia sedang berbicara.

▸ Baca selengkapnya: contoh proposal porak smp

(2)

telah gagal dalam membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus. Yang lebih memprihatinkan, ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan

bahwa tidak ada mata pelajaran Bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa Indonesia seperti saat ini, asalkan mereka diajari berbicara, membaca, dan menulis oleh guru (Depdiknas 2004:9).

Sementara itu, hasil observasi empirik di lapangan juga menunjukkan fenomena yang hampir sama. Keterampilan bercerita siswa SMP berada pada tingkat yang rendah; diksi (pilihan kata)-nya payah, kalimatnya tidak efektif, struktur tuturannya rancu, alur tuturannya pun tidak runtut dan kohesif.

Demikian juga keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil observasi, hanya 20% (8 siswa) dari 40 siswa yang dinilai sudah terampil bercerita dalam situasi formal di depan kelas. Indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan siswa dalam bercerita, di antaranya kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata.

Paling tidak, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam bercerita, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk faktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa

ibulah yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Kalau ada tokoh masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, pada umumnya belum memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa secara baik dan benar. Akibatnya, siswa tidak terbiasa untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan situasi tutur.

▸ Baca selengkapnya: contoh proposal porseni smp

(3)

berlangsung monoton dan membosankan. Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang

disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa bercerita sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang bercerita. Akibatnya, keterampilan bercerita hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan afektif. Ini artinya, rendahnya keterampilan bercerita bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.

Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia telah menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang bahasa (talk about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang bahasa (form-focus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata (Nurhadi, 2000).

Jika kondisi pembelajaran semacam itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin keterampilan bercerita di kalangan siswa SMP akan terus berada pada aras yang rendah. Para siswa akan terus-menerus mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata (diksi) yang tepat, menyusun struktur kalimat yang efektif, membangun pola penalaran yang masuk akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatif dan interaktif pada saat bercerita.

(4)

Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi faktor internal yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa klas VII-A

SMP 2 Pegandon, Kendal, Jawa Tengah, dalam bercerita, yaitu kurangnya inovasi dan kreativitas guru dalam menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan bercerita berlangsung monoton dan membosankan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang kondusif; aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Melalui pendekatan pragmatik, siswa diajak untuk bercerita dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensif.

Dalam pendekatan pragmatik, guru berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada siswa melalui pembelajaran terpadu dengan menggunakan proses yang saling berkaitan dalam situasi dan konteks komunikasi alamiah senyatanya.

Prinsip-prinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan pragmatik, yaitu (1) penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran; (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan; (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama; dan (4) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu tindak komunikatif.

Melalui prinsip-prinsip pemakaian bahasa semacam itu, pendekatan

pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita diharapkan mampu membawa siswa ke dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan berbicara mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif, emosional, dan afektif.

(5)

perasaan secara cerdas dan kreatif, serta mampu menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya dalam menghadapi

berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Yang tidak kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.

II. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

2.1 Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita bagi siswa SMP?

2.2 Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat meningkatkan keterampilan bercerita bagi siswa SMP?

III. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah praktis pelaksanaan pembelajaran keterampilan bercerita dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP, yaitu:

3.1 untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita bagi siswa SMP;

(6)

IV. RUANG LINGKUP

Penelitian ini meliputi ruang lingkup sebagai berikut.

4.1 Keterampilan Bercerita dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP. 4.2 Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP.

V. HASIL YANG DIHARAPKAN

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

5.1 para guru bahasa Indonesia dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita, khususnya bagi siswa SMP;

5.2 keterampilan bercerita siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, yang menjadi subjek penelitian ini mengalami peningkatan yang signifikan;

5.3 para guru bahasa Indonesia SMP diharapkan menggunakan pendekatan pragmatik dalam menyajikan aspek keterampilan berbicara, bahkan guru bahasa Indonesia di tingkat satuan pendidikan yang lebih rendah, seperti SD/MI, atau yang lebih tinggi, seperti SMA/SMK/MA, diharapkan juga menggunakan hasil penelitian ini dalam upaya melakukan inovasi pembelajaran Bahasa Indonesia.

VI. KAJIAN TEORI

Untuk mengkaji penggunaan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan

keterampilan bercerita bagi siswa SMP digunakan teori yang berkaitan dengan keterampilan bercerita dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan bercerita bagi siswa SMP.

(7)

agar anak-anak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Itu berarti agar anak-anak mampu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dengan baik menggunakan

media bahasa Indonesia (Samsuri, 1987 dan Sadtono, 1988).

Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti (1) menulis laporan ilmiah atau laporan perjalanan, (2) membuat surat lamaran pekerjaan, (3) berbicara di depan umum atau berdiskusi, (4) berpikir kritis dan kreatif dalam membaca, atau (5) membuat karangan-karangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat pembaca, brosur-brosur, dan sebagainya. Apa pun bahan atau aturan-aturan bahasa yang diberikan kepada anak-anak, dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semacam itu.

Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.

Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.

(8)

Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia semacam itu diharapkan: (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan

kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi

pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Sedangkan, ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek: (1) mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan (4) menulis.

(9)

dikembangkan di SMP. Keterampilan berbicara memiliki posisi dan kedudukan yang setara dengan aspek keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis.

Sementara itu, standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP/MTs kelas VII semester I berdasarkan Standar Isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas Nomor 22/2006 seperti tercantum dalam tabel 6.1 berikut ini.

Tabel 6.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs Kelas VII Semester I mengembangkan dua kompetensi dasar, yaitu: (1) menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif; dan (2) menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana. Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengembangkan kompetensi dasar siswa kelas VII semester I dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.

Fokus penelitian ini relevan dengan kegiatan pembelajaran aspek keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP yang diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk: (1) berkomunikasi secara

(10)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996:144) dijelaskan bahwa berbicara adalah “berkata; bercakap; berbahasa, atau melahirkan

pendapat (dengan perkataan, tulisan, dsb.) atau berunding”. Sementara itu, Tarigan (1983:15) dengan menitikberatkan pada kemampuan pembicara menyatakan bahwa berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, seta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya, berbicara dinyatakan sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.

Hal senada juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara merupakan sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan otot-otot dan jaringan otot-otot manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara juga dipahami sebagai bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis, neurologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat digunakan sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.

Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa berbicara pada hakikatnya merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Dalam konteks demikian, keterampilan berbicara bisa dipahami sebagai keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi

artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan jeda. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, aktivitas berbicara dapat diekspresikan dengan bantuan mimik dan pantomimik pembicara.

(11)

I.2 Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMP

Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa pada anak memerlukan kesempatan menggunakan bahasa. Oleh karena itu, kita membutuhkan lingkungan pendidikan yang memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa untuk menggunakan bahasa di dalam cara-cara yang fungsional (Gay Su Pinnel dan Myna L. Matlin, 1989:2).

Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks akan meningkatkan pembelajaran karena mereka (guru) memberi siswa pelatihan di dalam keterampilan yang terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah inti pengajaran language arts, sementara itu tugas-tugas komunikasi yang kompleks adalah inti kemahirwacanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001).

Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata dapat meningkatkan pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan proses-proses yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication) (Salinger, 2001).

(12)

keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan konteks komunikasi.

Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di sekolah, sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Siswa hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan antara fakta-fakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai.

Dalam konteks demikian, diperlukan upaya serius melalui penggunaan pendekatan yang inovatif dan kreatif agar pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP bisa berlangsung dalam suasana yang kondusif, interaktif, dinamis, terbuka, menarik, dan menyenangkan. Melalui proses pembelajaran semacam itu, siswa diharapkan dapat menumbuhkembangkan kemampuan intelektual, sosial, dan emosional, sehingga mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sesuai dengan konteks dan sitiuasinya.

Hal itu sejalan dengan pernyataan dalam lampiran Peraturan Mendiknas RI Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya yang berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP/MTs. Dalam lampiran tersebut secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan

penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.

(13)

pembelajaran yang diduga mampu menciptakan suasana yang kondusif; interaktif, dinamis, terbuka, inovatif, kreatif, menarik, dan menyenangkan adalah

pendekatan pragmatik.

Pendekatan pragmatik termasuk salah satu pendekatan komunikatif yang mulai digunakan dalam pengajaran bahasa sejak munculnya penolakan terhadap paham behaviorisme melalui metode Drill-nya. Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa dirintis oleh Michael Halliday dan Dell Hymes. Hymes menciptakan istilah communicative competence, yaitu kompetensi berbahasa yang tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks sosial (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia 2004:4).

Proses pemerolehan bahasa mempersyaratkan adanya interaksi yang bermakna dalam bahasa sasaran. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemerolehan bahasa dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Chaika, l982). Faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan bahasa seseorang, sedangkan faktor internal berkaitan dengan keadaan intern di dalam diri pelahar bahasa. Faktor eksternal masih dipilah menjadi dua macam lagi, yaitu lingkungan bahasa makro dan lingkungan bahasa mikro. Lingkungan makro terdiri atas (1) kealamiahan bahasa, (2) peranan anak-anak dalam berkomunikasi, (3) tersedianya sumber yang dapat membetulkan untuk menjelaskan makna, dan (4) ketersediaan model atau contoh yang bisa ditiru. Lingkungan mikro adalah keadaan lingkungan kelas tempat

anak-anak belajar, yaitu bagaimana guru bisa menciptakan kelas agar anak-anak bisa belajar keterampilan berbahasa, bukan hanya tahu tentang bahasa saja.

(14)

bahasa keduanya melalui pelibatan diri dalam tugas atau interaksi yang menuntut adanya kemampuan kreatif berkomunikasi dengan orang lain (Ellis, 1986).

Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam penelitian pengajaran bahasa, yaitu pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu amat penting. Anak-anak dengan tingkat pembangkitan input yang tinggi (high input generating) memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab, menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. Anak-anak yang lambat belajar, berarti ia juga pasif dalam berlatih berbahasa nyata atau pasif dalam berkomunikasi menggunakan bahasa.

Inti dari temuan itu adalah bahwa keaktifan anak-anak di kelas dalam pembelajaran bahasa perlu dilakukan melalui aktivitas berlatih berujar secara nyata. Penelitian-penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis baru tentang pembelajaran bahasa. Secara umum ada korelasi antara perilaku aktif ini dengan perolehan belajar anak. Dengan kata lain, hasil penelitian dalam bidang pengajaran bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang menekankan pada pembangkitan input anak-anak (latihan bercakap-cakap, membaca, atau menulis yang sebenarnya).

Pembelajaran kompetensi komunikatif yang menjadi muara akhir pencapaian pembelajaran bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri: (1) makna itu penting, mengalahkan struktur dan bentuk; (2) konteks itu penting, bukan item bahasa; (3) belajar bahasa itu belajar berkomunikasi; (4) target penguasaan sistem bahasa itu dicapai melalui proses mengatasi hambatan berkomunikasi; (5)

kompetensi komunikatif menjadi tujuan utama, bukan kompetensi kebahasaan; (6) kelancaran dan keberterimaan bahasa menjadi tujuan, bukan sekedar ketepatan bahasa. Siswa didorong untuk selalu berinteraksi dengan siswa lain (Brown, 2001:45).

(15)

itulah yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya; (5) pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu siswa diajak menggunakan

bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata; (6) siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran; (7) pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete); (8) siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi; (9) hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber; (10) pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia 2004:21-22).

Penggunaan pendekatan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga didasari oleh prinsip bahwa guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang

tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis.

Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan.

(16)

peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai “pemicu” kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi

pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari.

Ciri lain yang menandai adanya penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita adalah penggunaan konteks tuturan. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik memperoleh gambaran penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata.

Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana itu meliputi dua macam, yaitu: (1) berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud; dan (2) berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut koteks (co-text), sedangkan konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian disebut konteks (contex) (Rustono 1999:20). Makna sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar apabila diketahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, kapan diucapkan, dan lain-lain (Lubis 1993:57).

Menurut Alwi et al. (1998:421), konteks terdiri dari unsur-unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks, antara lain dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya.

Di dalam peristiwa tutur, ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa itu. Menurut Hymes (1968) (melalui Rustono 1999:21), faktor-faktor

(17)

mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian. Di dalam

novel, konteks tuturan tampak pada dialog antartokoh yang memenuhi ciri-ciri konteks sebagaimana dikemukakan oleh Hymes (1968).

Menurut Rustono (1999:26), situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa mengalkulasi situasi tutur merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil yang memadai. Pertanyaan apakah yang dihadapi itu berupa fenomena pragmatis atau fenomena semantis dapat dijawab dengan kriteria pembeda yang berupa situasi tutur. Komponen-komponen situasi tutur menjadi kriteria penting di dalam menentukan maksud suatu tuturan.

Menurut Leech (1983:13-15), situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Komponen situasi tutur yang pertama adalah penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan tuturan tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam peristiwa tutur. Di dalam

peristiwa komunikasi, peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti. Yang semula berperan sebagai penutur pada tahap berikutnya dapat menjadi mitra tutur, demikian pula sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban.

(18)

latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik, konteks berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra

tuturnya. Konteks berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.

Komponen situasi tutur yang ketiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadi hal yang melatarbelakangi tuturan. Semua tuturan orang normal memiliki tujuan. Hal ini berarti tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Di dalam peristiwa tutur, berbagai tuturan dapat diekspresi untuk mencapai suatu tujuan.

Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur merupakan tindakan juga tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Yang berbeda adalah bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit yang berperan adalah tangan dan menendang yang berperan adalah kaki, pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. Tangan, kaki, dan alat ucap adalah bagian tubuh manusia.

Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Mencubit dan menendang adalah tindakan nonverbal, sedangkan berbicara atau bertutur adalah tindakan verbal, yaitu tindak mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena

tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur antara lain waktu dan tempat pada saat tuturan itu diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan.

(19)

siswa dapat memperoleh manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi sehari-hari.

II. PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Penelitian ini menggunakan jenis Penelitian Tindakan Kelas dengan menggunakan prosedur penelitian seperti pada skema 7.1 berikut ini!

Skema 7.1 Prosedur Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Keterangan:

Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi masalah atau refleksi awal terhadap rendahnya tingkat keterampilan bercerita siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Pegandon, Kecamatan Ngampel, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan refleksi awal ditemukan penyebab rendahnya tingkat keterampilan bercerita siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Pegandon, Kecamatan

Identifikasi Masalah (Refleksi Awal)

Perumusan

Masalah Tujuan Kajian

Teori

Hipotesis Tindakan Perencanaan

Tindakan

Pelaksanaan Tindakan dan Observasi

Analisis Data

Indikator Keberhasilan

Belum Tercapai

Refleksi

Tercapai

Stop/

(20)

Ngampel, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, yaitu penggunaan pendekatan pembelajaran yang tidak mampu membawa siswa ke dalam situasi

penggunaan bahasa secara nyata atau terlepas dari konteks dan situasi tuturan. Akibatnya, proses pembelajaran berlangsung monoton dan membosankan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pembelajaran yang diduga mampu membawa siswa ke dalam situasi penggunaan bahasa secara nyata sehingga siswa memperoleh manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi sehari-hari.

Berdasarkan penggunaan pendekatan pragmatik yang ditawarkan sebagai solusi, dirumuskan masalah yang akan diteliti, yaitu: (1) langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita bagi siswa SMP; dan (2) apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dapat meningkatkan keterampilan bercerita bagi siswa SMP.

Selanjutnya, dirumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu: (1) untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita bagi siswa SMP; dan (2) untuk memaparkan hasil keterampilan bercerita siswa SMP setelah pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia.

Berdasarkan rumusan tujuan, dilakukan kajian teori sehingga pendekatan yang ditawarkan sebagai solusi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya

secara ilmiah. Teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan aspek keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya dalam meningkatkan keterampilan bercerita siswa SMP.

(21)

Tengah. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana dengan melibatkan seorang kolaborator untuk melakukan observasi

terhadap tindakan yang dilakukan.

Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan dan observasi, dilakukan analisis data yang diperoleh dari hasil keterampilan bercerita siswa klas VII-A SMP 2 Pegandon, Kendal, Jawa Tengah. Data tersebut dibandingkan dengan indikator keberhasilan penggunaan pendekatan pragmatik, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal terampil berbicara berdasarkan aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Bersama kolaborator, peneliti melakukan refleksi terhadap hasil analisis data. Jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil yang signifikan, dilakukan refleksi untuk memperbaiki langkah-langkah yang perlu dilakukan pada siklus berikutnya.

Langkah selanjutnya adalah menyusun replanning (rencana tindakan) untuk siklus II berdasarkan hasil refleksi yang dilakukan bersama kolaborator. Pada siklus II, peneliti melakukan tindakan sesuai dengan replanning yang telah disusun dengan melibatkan kolaborator untuk mengamati efektivitas pelaksanaan tindakan. Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap data keterampilan bercerita siswa klas VII-A SMP 2 Pegandon, Kendal, Jawa Tengah dibandingkan dengan indikator keberhasilan untuk direfleksi bersama kolaborator. Jika hasilnya belum signifikan, dilakukan replanning untuk siklus III. Jika penggunaan pendekatan pragmatik sudah menunjukkan hasil yang signifikan dengan indikator

keberhasilan, tidak perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya. Ini artinya, penggunaan pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan bercerita siswa SMP seperti yang telah dirumuskan dalam hipotesis tindakan.

II.1Lokasi dan Subjek Penelitian

(22)

II.2Pemecahan Masalah

Seperti telah peneliti kemukakan bahwa masalah yang diteliti dalam

penelitian ini adalah rendahnya tingkat keterampilan bercerita, khususnya keterampilan siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal, Jawa Tengah, dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif.

Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan refleksi awal, siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal yang dinilai sudah mampu menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif baru sekitar 20% (8 siswa) dari 40 siswa. Data ini masih jauh dari standar ketuntasan belajar minimal secara nasional, yaitu 75%.

Materi pembelajaran berseumber dari standar isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas No. 22/2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs seperti pada tabel 7.1 berikut ini.

Tabel 7.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Menceritakan Pengalaman yang Paling Mengesankan dengan Menggunakan Pilihan Kata dan Kalimat Efektif

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Berbicara

2. Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan bercerita dan menyampaikan pengumuman

2.1 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.

Masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif akan dipecahkan dengan menggunakan pendekatan pragmatik melalui enam langkah, antara lain sebagai berikut.

7.2.1 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin diceritakan.

(23)

7.2.3 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur dan mitra tutur.

7.2.4 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.

7.2.5 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan hal-hal yang telah dicatat sebelumnya. Bentuk tindakan verbal berupa tindak tutur yang dihasilkan oleh alat ucap, berupa kata-kata dan kalimat.

7.2.6 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas tindakan verbal yang telah dilakukan. Tindakan nonverbal berupa tindak tutur yang dihasilkan melalui kontak mata, mimik, gerak tangan, atau gerak anggota badan yang lain.

Secara garis besar, alur penggunaan pendekatan pragmatik yang digunakan untuk memecahkan masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif dapat dilihat pada bagan 7.2 berikut ini.

Bagan 7.2 Alur Penggunaan Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Keterampilan Menceritakan Pengalaman yang Paling Mengesankan bagi Siswa Kelas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal

Siswa

Objek Peng-alaman

Pengalaman Mengesankan Identitas Penutur dan Mitra Tutur

Konteks Tuturan

Tujuan Tuturan

Tindak Tutur Verbal

(24)

Melalui alur penggunaan pendekatan pragmatik tersebut, siswa diharapkan dapat menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pilihan

kata yang tepat dan kalimat yang efektif sesuai konteks dan situasi tutur. Artinya, pilihan kata dan struktur kalimat yang digunakan dalam bercerita sangat ditentukan oleh konteks dan situasi tutur yang telah ditentukan oleh siswa. Pendekatan ini memberikan keleluasaan kepada siswa untuk memilih dan menentukan pengalaman yang hendak diceritakan, sedangkan guru hanya memberikan rambu-rambu sebagai pedoman bagi siswa dalam bercerita.

II.3Rencana Tindakan

Rencana tindakan yang akan dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan pilihan kata dan kalimat yang efektif, antara lain sebagai berikut.

II.3.1 Guru menyusun silabus berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan berbicara mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP Kelas VII semester I seperti yang tercantum dalam Standar Isi (lampiran Permendiknas No. 22/2006). Dalam silabus dicantumkan nama sekolah, identitas mata pelajaran (nama mata pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek, dan standar kompetensi), kompetensi dasar, materi pokok, kegiatan belajar, indikator, penilaian (teknik, bentuk, dan contoh instrumen), alokasi waktu, dan sumber/media belajar.

(25)

II.3.3 Guru melaksanakan tindakan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun. Pada tahap ini, peneliti

melibatkan kolaborator untuk mengamati pelaksanaan tindakan.

II.3.4 Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam menceritakan pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.

II.3.5 Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai belum memberikan hasil yang signifikan, kolaborator memberikan masukan dan bersama-sama dengan peneliti melakukan langkah-langkah perbaikan untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya.

II.3.6 Peneliti melakukan replanning untuk merencanakan tindakan yang akan dilakukan pada siklus berikutnya berdasarkan hasil refleksi bersama kolaborator.

II.3.7 Peneliti melaksananakan tindakan pada siklus II sesuai dengan rencana tindakan yang telah disusun.

II.3.8 Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam menceritakan pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.

II.3.9 Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes siklus I untuk

(26)

II.4Tahap Pelaksanaan

Tahap-tahap yang dilakukan pada tahap pelaksanaan tindakan terinci sebagai berikut.

II.4.1 Tahap Persiapan Tindakan

Pada tahap persiapan tindakan, peneliti yang sekaligus sebagai guru menyiapkan silabus, RPP, instrumen, sumber belajar, dan media belajar yang digunakan untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tindakan.

II.4.2 Pelaksanaan Tindakan

Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti melaksanakan tindakan sesuai rencana yang tersusun dalam RPP. Secara garis besar, tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus sesuai dengan yang tersusun dalam RPP antara lain sebagai berikut.

II.4.2.1Tindakan Awal

II.4.2.1.1 Apersepsi: peneliti mengaitkan materi pembelajaran tentang dengan pengalaman siswa.

II.4.2.1.2 Motivasi: peneliti memberikan motivasi kepada siswa agar gemar menceritakan pengalaman yang mengesankan kepada orang lain.

II.4.2.2Tindakan Inti

II.4.2.2.1 Siswa menyimak contoh cerita pengalaman yang mengesankan yang disampaikan oleh peneliti.

II.4.2.2.2 Siswa melakukan tanya jawab dengan guru dan teman sekelas untuk menentukan langkah-langkah menceritakan pengalaman mengesankan berdasarkan contoh cerita yang disimak.

II.4.2.2.3 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin diceritakan.

(27)

II.4.2.2.5 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur dan mitra tutur.

II.4.2.2.6 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.

II.4.2.2.7 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan hal-hal yang telah dicatat sebelumnya.

II.4.2.2.8 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas tindakan verbal yang telah dilakukan.

II.4.2.3Tindakan Akhir

II.4.2.3.1 Siswa bersama peneliti menyimpulkan cara menceritakan pengalaman mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif. II.4.2.3.2 Siswa bersama peneliti melakukan refleksi untuk mengetahui kesan

siswa ketika menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pendekatan prgmatik.

II.4.3 Pelaksanaan Pengamatan

Ketika peneliti melaksanakan tindakan, anggota peneliti sebagai kolaborator melakukan pengamatan terhadap situasi yang terjadi selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Hal-hal yang perlu diamati dan dicatat oleh kolaborator dalam lembar observasi, di antaranya: (1) respon siswa, (2) perubahan yang terjadi selama proses pembelajaran; (3) keterampilan guru dalam

menggunakan pendekatan pragmatik, baik dalam tindakan awal, tindakan inti, maupun tindakan akhir; dan (4) kesesuaian antara rencana dan implementasi tindakan.

II.4.4 Analisis dan Refleksi

(28)

penalaran, dan kemampuan menjalin kontak mata. Berdasarkan hasil analisis data akan diketahui unsur-unsur mana saja yang masih menjadi hambatan siswa dalam

menceritakan pengalamannya yang mengesankan.

Hasil analisis data tersebut juga sangat penting dan berharga sebagai bahan untuk melakukan refleksi bersama kolaborator. Pada saat melakukan refleksi, kolaborator memberikan masukan kepada peneliti berdasarkan hasil pengamatan yang telah dicatat untuk melakukan langkah-langkah perbaikan pada siklus berikutnya.

Penelitian tidak perlu dilakukan lagi pada siklus berikutnya jika hasil analisis data menunjukkan pengingkatan yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan penelitian yang telah ditetapkan, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas VII-A SMP 2 Pegandon-Kendal terampil berbicara berdasarkan aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata.

II.5Cara Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang valid, data dikumpulkan melalui cara/teknik berikut ini.

II.5.1 Tes

Teknik tes digunakan untuk mengetahui tingkat keterampilan siswa dalam menceritakan pengalaman yang mengesankan kepada orang lain. Aspek-aspek

yang dinilai, yaitu kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata.

II.5.2 Nontes

Teknik nontes yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut.

(29)

II.5.2.2Wawancara: teknik ini digunakan oleh peneliti dan kolaborator untuk mengetahui respon siswa secara langsung dalam bercerita dengan

menggunakan pendekatan pragmatik. Wawancara terutama dilakukan kepada siswa yang menonjol karena kelebihan atau kekurangannya. Pelaksanaan wawancara dilakukan di luar kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pedoman wawancara.

II.5.2.3Jurnal: teknik ini digunakan oleh peneliti setiap kali selesai mengimplementasikan tindakan. Jurnal tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi diri bagi peneliti untuk mengungkap aspek: (1) respon siswa terhadap penggunaan pendekatan pragmatik; (2) situasi pembelajaran; dan (3) kekurangpuasan peneliti terhadap pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan. Selain peneliti, siswa juga membuat jurnal setiap kali mengikuti kegiatan pembelajaran yang digunakan untuk mengungkapkan: (1) respon siswa (baik yang positif maupun negatif) terhadap penggunaan pendekatan pragmatik; (2) metode pembelajaran yang disukai siswa; dan (3) kemampuan peneliti dalam menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

II.6Teknik Analisis Data

Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik tabulasi data secara kuantitatif berdasarkan hasil tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus. Hasil tindakan pada setiap siklus dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui

persentase peningkatan keterampilan siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon dalam menceritakan pengalaman yang mengesankan.

(30)

III. JADWAL KEGIATAN PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama tiga bulan, yaitu tanggal 12 September s.d. 10

Desember 2006, dengan jadwal seperti berikut ini.

No. Kegiatan Waktu Ket.

1. Tahap Persiapan:

1.1 Penyusunan silabus dan RPP 1.2 Penyusunan instrumen 1.3 Koordinasi dengan anggota

2 minggu

2. Tahap Pengumpulan Data

2.1 Pelaksanaan tindakan siklus I 1 minggu

2.2 Analisis dan Refleksi 1 minggu

2.3 Pelaksanaan tindakan siklus II 1 minggu

2.4 Analisis dan Refleksi 1 minggu

2.5 Pelaksanaan tindakan siklus III 1 minggu

2.6 Analisis dan Refleksi 1 minggu

3. Tahap Pengolahan dan Analisis Data

3.1 Tabulasi Data 1 minggu

3.2 Pengolahan dan Analisis Data 1 minggu

4. Tahap Penulisan Laporan 2 minggu

Jumlah Minggu 12 minggu

Keterangan:

Laporan hasil penelitian diserahkan pada tanggal 11 Desember 2006.

IV. KOMPONEN BIAYA

(31)

A.

1. Penyusunan Proposal : Rp 750.000 2. Penyusunan Instrumen : Rp 400.000 3. Pengumpulan Data : Rp 600.000 4. Pengolahan Data : Rp 600.000 5. Analisis Data : Rp 500.000 6. Penulisan Laporan : Rp 1.500.000

Jumlah: Rp 4.350.000

B. Bahan

1. Pembelian ATK : Rp 2.000.000

Jumlah: Rp 2.000.000

C. Lain-lain

1. Konsumsi : Rp 800.000 2. Foto copy : Rp 900.000 3. Sewa Tape Recorder : Rp 350.000 4. Penggandaan : Rp 1.500.000 5. Pengiriman Laporan : Rp 100.000

Jumlah: Rp 3.650.000

D. Rekapitulasi Biaya

A. Honor/Upah : Rp 4.350.000

B. Bahan : Rp 2.000.000

C. Lain-lain : Rp 3.650.000

Jumlah: Rp 10.000.000 (Terbilang sepuluh juta rupiah)

(32)

V. DAFTAR PUSTAKA

Abernathy, Rob dan Mark Reardon. 2004. 25 Kiat Menjadi Pembicara Hebat. Bandung: Kaifa.

Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi: Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Gunarwan, Asim. 1994. “Pragmatik: Pandangan Mata Burung” dalam Soenjono Dardjowidjojo (ed.) Mengiring Rekan Sejati: Festschrift buat Pak Ton. Jakarta: Unika Atmajaya.

---. 1992. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Makalah pada Pelba VII, Jakarta 26-27 Oktober 1992.

Ibrahim, Abdul Syukur. 1992. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.

Kridalaksana, Harimurti (Ed.). 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

---. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey N. 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka. Jakarta: UI Press.

Lubis, Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Mulgrave, Dorothy. 1954. Speech: A Handbook of Voice Training Diction and Public Speaking. New York: Barnes & Noble Inc.

Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud.

Nurhadi. 2000. Penerapan Tata Bahasa Pedagogis Bahasa Indonesia dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Disertasi Tidak Diterbitkan. Malang: PPS Universiats Negeri Malang.

(33)

Purwo, Bambang Kaswanti (ed.). 1984. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta:Kanisius.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: C.V. IKIP Semarang Press.

Salinger, Terry. 2001. Literate Environment. School Improvement in Maryland. (online).

(http://www.mdk12.org/practices/good_instruction/projectbetter/elangarts/ ela-62-63.html)

Searle, John R. 1969. Speech Act: an Essay in The Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press.

Sudaryanto. 1993. Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa Indonesia SD Kurikulum 1994. Makalah disajikan dalam seminar Nasional Pengajaran Bahasa Indonesia III, di Jember, 2-4 Desember 1993.

Suyono. 1990. Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajarannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.

Tarigan, Henry Guntur. 1983. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

VI. LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 : Curriculum Vitae Ketua Peneliti

Lampiran 2 : Foto kopi petikan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 823.4/04288 tentang kenaikan pangkat jabatan fungsional PNS sebagai Guru Pembina (IV-a)

(34)

Lampiran 1

CURRICULUM VITAE KETUA PENELITI

1. Nama lengkap : Drs. Sawali, M.Pd. 2. Tempat, tanggal lahir : Grobogan, 19 Juni 1964

3. Alamat : Perum BTN RT 03/RW X Blok C-21

Kelurahan Langenharjo, Kec. Kendal, Kabupaten Kendal, 51314

HP 08122895206

4. Unit Kerja : SMP 2 Pegandon

Jalan Raya Desa Rejosari Kec. Ngampel, Kabupaten Kendal

e. Program Pascasarjana (S2) Universitas Negeri Semarang Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia (lulus tahun 2005)

2. Pengalaman Mengajar :

a. Guru Bahasa Indonesia di SMA Islam Karangrayung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, selama 5 tahun (1990-1995)

b. Guru Bahasa Indonesia di SMP 2 Pegandon-Kendal, Jawa Tengah (Tahun 1995 s.d. sekarang) (Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Tahun 2005)

Gambar

Tabel 7.2 Standar  Kompetensi  dan  Kompetensi  Dasar  Menceritakan Pengalaman yang Paling Mengesankan dengan Menggunakan Pilihan Kata dan Kalimat Efektif

Referensi

Dokumen terkait

Batuan yang ada berupa litologi yang menyusun Formasi Balikpapan (Tmbp),Formasi Pulau Balang (Tmpb), dan Formasi Kampung Baru(Tpkb).Bidang diskontinuitas atau struktur geologi

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin banyak penambahan jewawut semakin besar rasio pengembangan, semakin rendah pengembangan axial, semakin tinggi

Salah sahr alat yang dapat digpnakan oleh gsru bimbingan dan konseling unhrk memahami individu adalah inventori. Inventori yang did&isikan Aiken

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Keteraturan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Modayag Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.. Jurnal

9 KEPALA DINAS KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL SEKRETARIAT SUBBAGIAN UMUM SUBBAGIAN PROGRAM SUBBAGIAN DATA DAN TEKNOLOGI INFORMASI UPT D BIDANG ANGGARAN BELANJA BIDANG

KSLL adalah suatu sistem kombinasi yang lahir sebagai sistem baru dengan bentuk yang sederhana yaitu mengubah suatu ketebalan tertentu dari lapisan tanah teratas menjadi suatu

Dari hasil pengujian kuat tekan pada pada benda uji umur 28 hari diperoleh hasil bahwa terjadi peningkatan kekuatan pada penambahan serat kaleng dan fly ash

217/KPTS/M/2002 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan.