• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Agama dan Ilmu docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Agama dan Ilmu docx"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Agama Dan Ilmu

Hubungan antara agama dan ilmu telah menjadi fokus masalah batas pemisah. Pernyataan-pernyataan tentang dunia yang diajukan ilmu dan agama dilandasi metodologi yang berbeda. Agama dilandasi penyataan dan iman, sementara ilmu dilandasi pengalaman berulang yang bisa diamati, naturalisme ontologis, realisme filosofis, skeptisisme rasional, fallibilisme, thesis bahwa ’tidak ada berasal dari yang tidak ada’, dan hukum ekonomi. Sebagian ahli menyatakan keduanya adalah terpisah, seperti dalam thesis konflik John William Draper dan ’magisteria tak berimpit’ Stephen Jay Goulds, sementara ahli lainnya (Thomas Berry, Brian Swimme, Ken Wilber, dll.) mengajukan adanya hubungan timbal-balik.

Perspektif tentang hubungan antara agama dan ilmu

Jenis-jenis interaksi yang mungkin timbul antara ilmu dan agama diklasifikasikan dengan menggunakan tipologi berikut:

1. Konflik bila salah satu bidang mengancam akan mengambil alih topik-topik sah dari bidang lainnya

 Misalnya, thesis konflik John William Draper dan Andrew Dickson White 2. Independensi memperlakukan masing-masing bidang sebagai bidang penyelidikan

yang sama sekali terpisah.

 Misalnya, ‘Magisteria Takberimpit’ (NOMA) Stephen Jay Gould

3. Dialog mengajukan bahwa masing-masing bidang mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada satu dengan lainnya tentang fenomena di mana kepentingan keduanya berimpit.

 Misalnya, studi William G. Pollard dalam Ahli Fisika dan Kristen: Suatu dialog antar-komunitas

4. Integrasi bertujuan untuk menyatukan kedua bidang menjadi wacana tunggal.  Misalnya, ’Titik Omega’ Pierre Teilhard de Chardin dan simpati terhadap

filosofi proses/theologia proses dari Ian Barbour

Konflik

(2)

bahwa ahli-ahli agama, seperti Newton, bisa mencapai lebih banyak lagi kalau saja mereka tidak menerima jawaban agama untuk isu-isu ilmiah yang tak terpecahkan.

BOX 1:DOA DALAM PERSPEKTIF ILMIAH

Isu yang agak berbeda, yang mungkin menimbulkan konflik antara ilmu dan agama, adalah sifat doa. Dahulu kemanjuran doa merupakan isu yang bisa diputuskan dengan percobaan, seperti yang ditunjukkan oleh kisah Perjanjian Lama tentang perseteruan antara Elia dan nabi-nabi Baal. Akan tetapi, sekarang sikap yang lebih canggihlah yang mungkin diadopsi. Kemanjuran doa biasanya tidak diangkat sebagai isu empiris, sebab apapun yang terjadi, itu terjadi atas kehendak Allah, dan apabila doa tidak dijawab itu agaknya karena Allah, dengan cara-Nya yang tak bisa diselami, lebih tahu daripada kita apa yang terbaik. Lebih jauh lagi, semakin besar pengetahuan orang tentang bagaimana segala sesuatunya sesungguhnya terjadi, semakin kecil kecenderungan mereka menganggap segala sesuatu itu dapat dipengaruhi doa. Bahkan dengan segala pengetahuan kita tentang meteorologi, kita tidak bisa yakin cuaca apa yang akan terjadi; namun demikian, perubahan cuaca tidak lagi mengejutkan kita sebagai sesuatu yang misterius. Karena itu, bahkan banyak di antara mereka yang mengaku orang Kristen sampai merasa bahwa ada sesuatu tentang berdoa meminta hujan yang terkait dengan keyakinan pada magis dan takhyul. Sekali lagi, banyak orang beragama tidak begitu condong berdoa demi kesembuhan seseorang dari penyakit bila mereka mempunyai pengetahuan medis modern tentang diagnosis dan prognosisnya. Ada yang akan terus berdoa demi mujizat, tetapi banyak yang tidak akan demikian dengan suatu keyakinan. Karena cuaca dan penyakit semakin berada di dalam ruang lingkup hukum ilmiah, begitupun dengan doa meminta hujan atau demi menghilangnya lesi (luka atau jejas) semakin tampak serupa dengan doa agar matahari tetap berada di langit. Serupa halnya, seiring meningkatnya pengetahuan kita tentang psikologi manusia, keadaan mental manusia juga kehilangan-kemunculan tak terduganya, dan kecenderungan berdoa demi perubahan hati seseorang mungkin sejalan dengan kecenderungan berdoa demi cuaca yang bagus atau demi kesehatan yang baik.

(3)

Akan tetapi, agar doa mempunyai kemanjuran supernatural (yang harus demikian halnya jika klaim agama yang biasa tentang doa benar), maka doa itu mestilah bekerja secara bervariasi sesuai dengan keyakinan ilmiah kita tentang bagaimana segala sesuatu itu terjadi. Sebab agaknya, semua sebab dan akibat alamiah dari perilaku cuaca atau perilaku tubuh atau otak manusia akan sama setelah doa disampaikan dengan sebelum doa disampaikan. Lalu, bagaimana bisa cuara atau tubuh atau otak menjadi berbeda dari seperti apa seharusnya tanpa doa? Pokok masalah keseluruhannya memang sangat tidak bisa dijelaskan. Theolog mungkin memberikan jawaban yang berani untuk kritikan ini dengan bersikukuh bahwa pokok permasalahannya tentu saja sukar dipahami dan dengan mengajukan bahwa penyelidikan meteorologis, fisiologis dan psikologis yang cukup cermat akan mengungkapkan anomali sebab-musabab – yaitu, pelanggaran aktual atas hukum ilmiah. Akan tetapi, ini akan berarti mundur ke konsepsi lama tentang kemanjuran doa sebagai isu yang bisa diuji secara ilmiah, dan theolog mungkin enggan masuk daftar kembali dengan cara ini.

Thesis konflik

Thesis konflik, yang menyatakan bahwa agama dan ilmu saling bertentangan tetap ada sepanjang sejarah, dipopulerkan di abad 19 oleh John William Draper dan Andrew Dickson White. Sebagian besar ahli sejarah sains masa sekarang menolak thesis konflik dalam bentuk awalnya, dan sebagai gantinya mengajukan bahwa thesis awal tersebut telah digantikan oleh penelitian sejarah selanjutnya yang mengindikasikan pemahaman yang lebih bernuansa:

Walaupun gambaran kontroversi populer tetap menggambarkan dugaan pertentangan agama Kristen dengan teori ilmiah baru, studi-studi menunjukkan bahwa agama Kristen sering menumbuh-kembangkan dan mendorong usaha ilmiah, sementara di saat lainnya keduanya eksis secara bersamaan tanpa ketegangan ataupun usaha-usaha penyelarasan. Jika Galileo dan Scopes muncul di benak kita sebagai contoh konflik, mereka adalah pengecualian bukan ketentuan.

- Gary Ferngren, Science & Religion

(4)

penelitian sejarah saat ini. Itu semua membantu memelihara gambaran populer tentang ”perang ilmu dan agama”.

Walaupun H. Floris Cohen menyatakan bahwa sebagian besar ahli menolak artikulasi mentah thesis konflik, seperti thesis Andrew D. White, ia juga menyatakan bahwa versi thesis ini yang lebih ringan tetap melenggang. Hal ini karena ”tetap merupakan fakta sejarah yang tidak bernada kontroversi bahwa, setidaknya, sains baru kurang mendapat sambutan antusias dari banyak ahli agama pada masa itu”. Karena itu, Cohen menganggap paradoks ”bahwa kebangkitan sains modern mula-mula adalah disebabkan setidaknya sebagian perkembangan dalam pemikiran Kristen – khususnya, disebabkan aspek-aspek Protestan tertentu” (suatu thesis yang pertama kali berkembang sebagai apa yang sekarang terkadang disebut thesis Merton). Di tahun-tahun belakangan ini, ahli sejarah Oxford Peter Harrison selanjutnya mengembangkan ide bahwa Reformasi Protestan mempunyai pengaruh yang signifikan dan positip pada perkembangan sains modern. Tinjauan tentang alternatip untuk thesis konflik White/Draper ada disusun Ian G. Barbour.

Independensi

Pandangan modern, yang digambarkan Stephen Jay Gould sebagai ”magisteria yang tidak berimpit” (NOMA), adalah bahwa ilmu dan agama mengkaji aspek-aspek pengalaman manusia yang pada dasarnya terpisah dan karenanya, bila masing-masing berada di dalam domainnya sendiri, keduanya eksis secara bersamaan dengan damai. Pandangan Gould juga bisa dipandang sebagai sikap yang mengabaikan agama. Ini dibandingkan dengan sikap serupa yang mengabaikan ilmu evolusi, yang dipandang dalam tulisan theolog Karl Barth (yang gagal menyebutkan evolusi dalam tulisan utamanya Church Dogmatics [Dogmatika Gereja]), Emil Brunner dan Hans Kung (di mana dalam tulisannya Theology for the Third Milennium [Theologia untuk Milenium Ketiga] (1988) ada bab tentang hubungan antara agama dan ilmu namun tidak pernah menyebutkan evolusi).

Walaupun Gould berbicara tentang independensi dari perspektif sains, W.T. Stace memandang independensi dari perspektif filosofi agama. Stace menganggap bahwa ilmu dan agama, bila masing-masing dipandang dalam domainnya sendiri, keduanya konsisten dan lengkap.

Keduanya menapaki pengalaman

Baik ilmu maupun agama merupakan cara yang berbeda dalam mendekati pengalaman dan perbedaan inilah yang merupakan sumber perdebatan. Ilmu terkait erat dengan matematika – pengalaman yang sangat abstrak, sementara agama lebih terkait erat dengan pengalaman hidup yang umum. Sebagai penafsiran tentang pengalaman, ilmu sifatnya deskriptif dan agama sifatnya preskriptif. Karena ilmu dan matematika berkonsentrasi pada harus seperti apa kiranya dunia dengan cara di mana agama bisa tidak tepat dan bisa menjadikan sifat-sifat dinyatakan secara tidak tepat berasal dari dunia alam seperti yang terjadi di kalangan pengikut Pythagoras pada abad enam SM. Situasi sebaliknya di mana agama berupaya bersifat deskriptif juga bisa menyebabkan pengalokasian sifat-sifat secara tidak tepat pada dunia alam. Contoh yang menonjol adalah keyakinan yang sudah mati sekarang pada model planet Ptolemy yang tetap melenggang sampai perubahan dalam pemikiran ilmu dan agama dimunculkan Galileo dan para pendukung pandangannya.

(5)

Banyak filsuf bahasa (misalnya, Ludwig Wittgenstein) dan eksistensialis agama (misalnya, mereka yang menganut aliran neo-ortodoks) menerima kategorisasi tipe II Ian Barbour dan John Polkinghorne tentang Independensi. Di lain pihak, banyak filsuf ilmiah mempunyai pemikiran lain. Thomas S. Kuhn menegaskan bahwa ilmu terdiri dari paradigma-paradigma yang timbul dari tradisi-tradisi budaya, yang serupa dengan perspektif sekuler tentang agama. Michael Polanyi menegaskan bahwa tiada lain komitmen terhadap universalitaslah yang melindungi terhadap subjektivitas dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan keterlepasan pribadi seperti yang ditemukan dalam banyak konsepsi tentang metode ilmiah. Polanyi selanjutnya menegaskan bahwa semua ilmu pengetahuan sifatnya pribadi dan karena itu ilmuwan haruslah melaksanakan peran yang sangat pribadi jika tidak selalu subjektif sewaktu mengerjakan sains. Polanyi menambahkan bahwa ilmuwan sering hanya mengikuti intuisi ”kecantikan intelektual, simetri dan ’kesepakatan empiris’”. Polanyi menyatakan bahwa ilmu membutuhkan komitmen moral yang serupa dengan komitmen moral yang ditemukan dalam agama. Dua ahli fisika Charles A. Coulson dan Harold K. Schilling sama-sama mengklaim bahwa ”metode ilmu dan agama mempunyai banyak persamaan”. Schilling menegaskan bahwa kedua bidang – ilmu dan agama – mempunyai ”tiga struktur – pengalaman, penafsiran teoritis dan aplikasi praktis”. Coulson menegaskan bahwa ilmu, seperti halnya agama, ”maju dengan imajinasi kreatip” dan bukan dengan ”pengumpulan fakta-fakta semata”, sambil menyatakan bahwa agama hendaknya dan memang ”melibatkan refleksi kritis pada pengalaman bukan tidak serupa dengan yang berlaku pada ilmu”. Bahasa agama dan bahasa ilmiah juga menunjukkan paralel (bandingkan Rhetorika ilmu).

Dialog

Tingkat persesuaian antara ilmu dan agama bisa dilihat dalam keyakinan agama dan ilmu empiris. Keyakinan bahwa Allah menciptakan dunia dan karena itu manusia, bisa menghasilkan pandangan bahwa Dialah yang berkehendak agar manusia mengetahui dunia. Ini dijamin oleh doktrin imago dei. Dengan ucapan Thomas Aquinas, ”Karena manusia disebut segambar dengan Allah dalam sifat yang dimilikinya yang mencakup kepintaran, sifat sedemikianlah yang paling nyata dalam gambaran Allah yang paling dapat ditiru manusia tentang Allah”.

Banyak tokoh sejarah terkenal yang mempengaruhi ilmu Barat menganggap dirinya Kristen seperti Copernicus, Galileo, Kepler dan Boyle.

Fokus pada sifat realitas

(6)

ontologisnya, disebabkan peningkatan keterpaparan pada pengetahuan ilmiah dan klaim-klaim theologis agama lain yang saling bertolak belakang.

Perspektif ilmiah dan theologis kerapkali eksis secara bersamaan dengan damai. Kepercayaan non-Kristen dalam sejarahnya juga dipadukan dengan ide-ide ilmiah, seperti dalam ilmu theologia Mesir kuno yang diterapkan pada tujuan-tujuan monotheistik, tumbuh berkembangnya logika dan matematika di bawah agama Hindhu dan Budha, dan kemajuan ilmiah yang dicapai para ilmuwan Muslim selama kekaisaran Ottoman. Bahkan banyak komunitas Kristen abad 19 menyambuh baik ilmuwan yang mengklaim bahwa ilmu sama sekali tidak terfokus pada penemuan sifat utama dari realitas.

Integrasi

Agama Kristen dan ilmu

Rekonsiliasi agama Kristen dengan ilmu mempunyai setidaknya tiga upaya solusi yang dengan sendirinya terbukti problematik. Ketiga solusi problematik ini adalah literalisme alkitabiah, pengalaman agama dan konsensus kebenaran ilmiah yang berkembang. Masing-masing metode rekonsiliasi ini mempunyai berbagai contoh sejarah dan contoh masa sekarang. Contohnya masing-masing meliputi kreasionisme, agama Kristen liberal dan imperialisme ilmiah. Upaya-upaya sebelumnya atas rekonsiliasi agama Kristen dengan mekanika Newton tampak sangat berbeda dari upaya-upaya rekonsiliasi kemudian dengan ide-ide ilmiah yang lebih baru tentang evolusi atau realtivitas. Banyak penafsiran awal tentang evolusi terpolarisasi dengan sendirinya di seputar pergumulan demi eksistensi. Ide-ide ini dihempang secara signifikan oleh temuan-temuan kemudian tentang pola universal kerjasama biologis. Menurut John Habgood, semua manusia sesungguhnya tahu bahwa alam semesta ini ternyata merupakan campuran dari kebaikan dan kejahatan, keindahan dan penderitaan, dan bahwa penderitaan entah dengan cara bagaimana bisa menjadi bagian dari proses kreasi. Habgood berpendapat bahwa orang-orang Kristen tidak boleh terkejut bahwa penderitaan bisa digunakan Allah secara kreatif, dengan adanya kepercayaan mereka pada lambang Salib. Habgood menyatakan bahwa orang-orang Kristen selama dua milenium percaya kepada kasih Allah karena Ia menyatakan ”diri-Nya sebagai Kasih dalam Yesus Kristus”, bukan karena alam semesta fisik mengacu atau tidak mengacu kepada nilai kasih.

Rekonsiliasi di Britania di awal abad 20

Dalam Reconciling Science and Religion: The Debate in Early-twentieth-century Britain, ahli sejarah biologi Peter J. Bowler mengajukan bahwa berbeda dengan konflik antara ilmu dan agama di AS pada tahun 1920-an (yang paling terkenal Percobaan Scopes), selama periode ini Britania Raya mengalami usaha terpadu rekondiliasi, yang dimenangkan oleh ilmuwan konservatif intelektual, yang didukung oleh theolog liberal tetapi dientang oleh ilmuwan dan sekuleris muda dan orang-orang Kristen konservatif. Upaya-upaya rekonsiliasi ini tercerai-berai pada tahun 1930-an disebabkan meningkatnya ketegangan sosial, gerakan menuju theologia neo-ortodoks dan penerimaan sintesa evolusi modern.

(7)

Agama Budha dan ilmu semakin banyak dibahas sebagai dua bidang yang sepadan. Sebagian ajaran filosofis dan psikologis dalam agama Budha mempunyai persamaan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis Barat modern. Sebagai contoh misalnya, agama Budha mendorong penyelidikan tanpa pandang bulu tentang alam (aktivitas yang disebut sebagai Dhamma-Vicaya dalam Pali Canon) – objek utama studi adalah diri sendiri. Dilandasi hubungan sebab-akibat dan empiricisme adalah prinsip-prinsip filosofis yang sama-sama ada antara agama Budha dan ilmu. Akan tetapi, agama Budha tidak fokus pada materialisme.

Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14, menghabiskan banyak waktu bersama para ilmuwan. Dalam bukunya, ”The Universe in a Single Atom” ia menulis, ”Keyakinan saya dalam menggeluti ilmu terletak pada keyakinan dasar saya bahwa di dalam ilmu, dan juga dalam agama Budha, memahami sifat realitas diupayakan dengan cara penyelidikan kritis” dan ”Jika analisa ilmiah menunjukkan secara konklusif klaim tertentu dalam agama Budha adalah salah”, ia mengatakan, ”maka kita harus menerima temuan-temuan ilmu dan meninggalkan klaim-klaim tersebut”.

Agama Hindu

Pandangan Hindu tentang evolusi mencakup berbagai sudut pandang tentang evolusi, kreationisme dan asal-muasal hidup di dalam tradisi agama Hindu. Kajian tentang kemunculan hidup di alam semesta bervariasi dalam deskripsi, tetapi secara klasik dewa yang disebut Brahma, dari Trimurti tiga dewa juga mencakup Wysnu dan Sywa, digambarkan sebagai melaksanakan tindakan ’penciptaan’, atau lebih spesifik ’pengembangbiakan hidup di alam semesta’ dengan kedua dewa lainnya bertanggungjawab masing-masing atas ’pelestarian’ dan ’penghancuran’ (alam semesta). Dalam hal ini sebagian ajaran Hindu tidak menanggapi mitos penciptaan kitab suci secara harfiah dan kisah penciptaan itu sendiri sering tidak sampai dijelaskan secara rinci, yang dengan demikian membiarkan terbuka kemungkinan penyatuan setidaknya sebagian teori dalam mendukung evolusi. Sebagian umat Hindu mendapati dukungan terhadap, atau gambaran pendahuluan dari ide-ide evolusi dalam kitab suci, yaitu Veda. Pengecualian akan penerimaan ini adalah Lembaga Kesadaran Krishna Internasional (ISKCON), yang mencakup beberapa anggota yang aktif menentang ”teori Darwin” dan sintesa evolusi modern (lihat Kreasionisme Hindu).

Pandangan Baha’i

Prinsip dasar Agama Baha’i adalah keselarasan agama dan ilmu. Kitab suci Baha’i menyatakan dengan tegas bahwa ilmu yang sebenarnya dan agama yang sebenarnya tidak pernah terlibat konflik. Abdu’l-Baha, putera dari pendiri agama ini, menyatakan bahwa agama tanpa ilmu adalah takhyul dan bahwa ilmu tanpa agama adalah materialisme. Ia juga memperingatkan bahwa gama yang benar haruslah memenuhi kesimpulan-kesimpulan ilmu.

Ajaran sekarang ini

Dialog modern antara agama dan ilmu berurat berakar pada buku Ian Barbour tahun 1966 Issues in Science and Religion. Sejak saat itu dialog ini tumbuh menjadi bidang akademik serius, dengan kursi akademik di bidang mata pelajaran, dan dua jurnal akademik khusus, Zygon: Journal of Religion & Science dan Theologia dan Ilmu. Tulisan-tulisan juga ada kalanya ditemukan dalam jurnal ilmu utama seperti American Journal of Physics and Science.

(8)

pada ilmu modern mula-mula

H. Floris Cohen mengajukan pengaruh alkitabiah pada perkembangan mula-mula ilmu modern. Cohen mempresentasikan pernyataan ahli sejarah Belanda R. Hooykaas bahwa pandangan-dunia alkitabiah mempunyai segala penawar yang diperlukan untuk gonjang-ganjing rasionalisme Yunani: menghargai usaha manual, yang menghasilkan eksperimentasi dan tingkat empiricisme yang lebih besar dan Allah yang mahakuasa yang meninggalkan alam ”tanpa dewa” dan terbuka untuk penempaan dan manipulasi. Pernyataan ini memberikan dukungan kepada ide bahwa kebangkitan ilmu modern mula-mula adalah disebabkan kombinasi unik pemikiran Yunani dan pemikiran alkitabiah. Cohen merangkumkan kesimpulan Hooykaas sebagai mengkaitkan kebangkitan ilmu modern dengan kombinasi ”kekuatan pertimbangan abstrak dan kekuatan memikiran konstruksi teridealisasi Yunani” dikombinasikan dengan ”kerendahan hati alkitabiah ke arah penerimaan fakta-fakta alam sebagaimana adanya, dipadukan dengan pandangan tentang manusia sebagai diperlengkapi Allah dengan kuasa untuk menguasai alam”. Cohen juga mencatat bahwa Richard S. Westfall ”mengangkat paradoks sejati” dalam menyatakan: ”Meskipun dengan kesalehan alami virtuosi [ilmuwan Inggris abad 17], sikap skeptis Pencerahan sudah ada dalam bentuk embryo di antara mereka. Yang jelas, kesalehan mereka, tidaklah membabibuta, tetapi mereka tidak dapat menyingkirkannya... Mereka menulis untuk menolak atheisme, tetapi di manakah para atheis? Virtuosi memupuk atheis di dalam pikiran mereka sendiri”.

Ahli sejarah dan profesor agama Eugene M. Klaaren menyatakan bahwa ”keyakinan pada penciptaan ilahi” bersifat sentral pada kemunculan ilmu di Inggris abad tujuh belas. Filsuf Michael Foster mempublikasikan filosofi analitik yang mengkaitkan doktrin penciptaan Kristen dengan epmiricisme. Ahli sejarah William B. Ashworth mengajukan pernyataan menentang gagasan sejarah tentang ketetapan-hati dan ide ilmu Katolik dan Protesten yang berbeda. Ahli sejarah James R. Jacob dan Margaret C. Jacob mengajukan pernyataan mendukung hubungan antara transformasi intelektual Anglican abad tujuh belas dan ilmuwan Inggris berpengaruh (misalnya, Robert Boyle dan Isaac Newton). John Dillenberger dan Christopher B. Kaiser menulis survei theologia, yang juga mengulas interaksi tambahan yang terjadi di abad 18, 19 dan 20.

Ahli sejarah dan theolog Oxford University John Hedley Brooke menulis bahwa ”bila filsuf alam menyebut hukum alam, mereka tidak dengan fasih memilih metafora tersebut. Hukum adalah hasil dari pengundangan oleh dewa kepintaran. Dengan demikian filsuf Rene Descartes (1596-1650) bersikukuh bahwa ia menemukan ”hukum yang ditetapkan Allah untuk alam”. Kemudian Newton menyatakan bahwa pengaturan tata surya mensyaratkan ”kebijaksanaan dan kekuasaan Dia yang mahapandai dan mahakuasa”. Ahli sejarah Ronald L. Numbers menyatakan bahwa thesis ini ”menerima penguatan” dari tulisan ahli matematika dan filsuf Alfred North Whitehead Science and the Modern World (1925). Numbers juga mengajukan, ”Meskipun dengan kelemahan nyata dari klaim bahwa agama Kristen melahirkan ilmu – yang paling nyata, itu mengabaikan atau meminimalkan kontribusi bangsa Yunani kuno dan kaum Muslim abad pertengahan – itu juga, menolak ketaklukannya terhadap kematian yang pantas diterimanya”. Sosiolog Rodney Stark dari Baylor University, sebuah lembaga Southern Babptist, mengajukan sebaliknya bahwa ”theologi Kristen penting untuk kebangkitan ilmu”.

(9)

Di tahun-tahun awal agama Kristen, ilmu paling banter dipandang sebagai buang-buang waktu. Bapa gereja Athanasius, misalnya, menyambut baik fakta bahwa pimpinan jemaat mula-mula adalah ”orang yang sedikit pintar”. Serupa halnya, bapa gereja John Chrysostom mengajari orang-orang untuk ”mengosongkan pikirannya dari pengetahuan sekuler”, dan pada tahun 448 Theodosius II memerintahkan semua buku non-Kristen dibakar.

Di zaman Pertengahan, beberapa pemikir terkemuka dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam, melaksanakan proyek sintesa antara agama, filosofi dan ilmu alam. Sebagai contoh misalnya, filsuf Islam Averroes, filsuf Yahudi Maimonides dan filsuf Kristen Augustine of Hippo, menyatakan bahwa jika ajaran agama didapati bertentangan dengan pengamatan langsung tertentu tentang dunia alam, maka wajib kiranya mengevaluasi ulang penafsiran fakta-fakta ilmiah atau pemahaman tentang kitab suci. Pengetahuan terbaik tentang kosmos dipandang sebagai bagian penting untuk sampai pada pemahaman yang lebih baik tentang Alkitab, tetapi tidak sama dengan otoritas Alkitab.

Pendekatan ini tetap ada hingga dewasa ini; Henry Drummond, misalnya, adalah orang Skotlandia abad 19 yang menulis banyak tulisan, di mana sebagian di antaranya dilandasi pengetahuan ilmiah untuk mengolok-olok dan mengillustrasikan ide-ide Kristen.

Akan tetapi, dari abad 11 metode ilmiah diaplikasikan ilmuwan Muslim maupun ilmuwan Kristen pada bidang seperti optik dan orbit planet, dengan hasil yang mengancam sebagian doktrin Kristen. Agama Kristen menegaskan kepastian agama dengan mengorbankan pengetahuan ilmiah, dengan memberikan sanksi yang lebih eksplisit untuk mengkoreksi secara resmi pandangan tentang alam dan kitab suci. Perkembangan serupa pada agama lainnya. Pendekatan ini, walaupun dimaksudkan untuk menstabilkan doktrin untuk sementara, juga cenderung menjadikan ortodoksi filosofis dan ilmiah kurang terbuka kepada koreksi, karena filosofi yang diterima menjadi ilmu yang terkena sanksi agama. Pengamatan dan teori menjadi berada di bawah dogma. Di Eropa, ilmuwan dan ahli Pencerahan merespon pembatasan sedemikian dengan sikap yang semakin skeptis.

Pandangan agama non-fundamentalis

(10)

Sebagian pendekatan agama mengakui hubungan sejarah antara ilmu modern dan doktrin kuno. Sebagai contoh misalnya, Yohanes Paulus II, pemimpin Gereja Katolik Roma, pada tahun 1981 berbicara tentang hubungan dengan cara ini: ”Alkitab sendiri berbicara kepada kita tentang asal-muasal alam semesta dan segala isinya, bukan untuk memberikan kepada kita risalah ilmiah, melainkan untuk menyatakan hubungan yang tepat dari manusia dengan Allah dan dengan alam semesta. Kitab Suci hanya ingin menyatakan bahwa dunia diciptakan Allah, dan untuk mengajarkan kebenaran ini Kitab Suci menyatakannya dalam bentuk kosmologi yang digunakan pada masa penulis”. Pernyataan ini kiranya juga mencerminkan pandangan dari banyak Kristen non-Katolik. Salah satu contoh pemikiran semacam ini adalah evolusi Theistik.

Pemahaman tentang peranan kitab suci dalam hubungannya dengan ilmu ini ditangkap oleh frasa: ”Maksud Roh Kudus adalah untuk mengajar kita bagaimana pergi ke sorga, bukan bagaimana sorga pergi”. Thomas Jay Oord berkata: ”Alkitab menyatakan kepada kita bagaimana mencari hidup berkelimpahan, bukan rincian tentang bagaimana hidup menjadi berkelimpahan”.

Perspektif komunitas ilmiah

Sikap ilmuwan terhadap agama

Di abad 17, para pendiri Royal Society sebagian besar menerima pandangan agama konvensional dan ortodoks, dan sejumlah di antaranya adalah tokoh Gereja yang menonjol. Walaupun isu-isu theologis yang berpotensi memecah-belah biasanya tidak diikutkan dalam ulasan formal Royal Society mula-mula, namun banyak pengikutnya percaya bahwa aktivitas ilmiah mereka memberikan dukungan bagi keyakinan agama tradisional. Keterlibatan pendeta dalam Royal Society tetap tinggi hingga pertengahan abad sembilan belas, saat ilmu menjadi lebih terprofesionalisasi.

Di antara ilmuwan masa sekarang – ahli fisika dan ahli biologi – sekitar 40% menganut keyakinan agama yang kuat, yang sangat sesuai dengan keyakinan agama dari jajak pendapat serupa tahun 1916. Ilmuwan terkenal yang menganjurkan ketidakpercayaan pada agama meliputi ahli biologi evolusi Richard Dawkins dan ahli fisika pemenang hadiah Nobel Stephen Weinberg. Daftar yang lebih lengkap bisa dilihat dalam Daftar atheis (ilmu dan teknologi). Ilmuwan terkenal yang menganjurkan kepercayaan meliputi ahli fisika pemenang hadiah Nobel Charles Townes dan ahli klimatologi John T. Houghton. Daftar lebih lengkap bisa dilihat dalam Daftar pemikir Kristen dalam ilmu.

Menurut survei tahun 1996 terhadap para ilmuwan Amerika Serikat di bidang biologi, matematika dan fisika/astronomi, kepercayaan kepada allah yang ”berkomunikasi intelektual dan afektif dengan manusia” paling populer di kalangan ahli matematika (sekitar 45%) dan paling kurang populer di kalangan ahli fisika (sekitar 22%). Secara keseluruhan, sekitar 60% ilmuwan Amerika Serikat di bidang ini menyatakan ketidakpercayaan atau agnosticisme mereka terhadap allah pribadi yang menjawab doa dan kekekalan pribadi. Ini dibandingkan dengan 58% pada tahun 1914 dan 67% pada tahun 1933. Di antara ilmuwan terkemuka – yang didefinisikan sebagai anggota National Academy of Sciences – 72,2% menyampaikan ketidakpercayaan dan 20% lainnya agnostic tentang keberadaan pribadi allah yang menjawab doa.

(11)

universitas penelitian elite AS adalah atheis atau agnostik. Bila ditanya apakah mereka percaya kepada Allah, hampir 34% menjawab ”Saya tidak percaya kepada Allah” dan sekitar 30% menjawab ”Saya tidak tahu apakah ada Allah dan tidak ada cara untuk mengetahuinya”. Menurut survei yang sama, ”banyak ilmuwan memandang diri mereka sebagai memiliki spiritualitas yang tidak terkait dengan tradisi agama tertentu”. Dalam analisa selanjutnya, yang dipublikasikan tahun 2007, Ecklund dan Christopher Scheitle menyimpulkan bahwa ”asumsi bahwa menjadi seorang ilmuwan selalu menyebabkan kehilangan agama tidak dapat dipertahankan” dan bahwa ”tampak bahwa mereka dari latar belakang non-agama sangat tidak seimbang yang memilih sendiri profesi ilmiah. Ini mungkin mencerminkan fakta bahwa ada ketegangan antara prinsip-prinsip agama sebagian kelompok dan teori dan metode ilmu tertentu dan ini memberi kontribusi kepada besarnya jumlah ilmuwan non-agama”.

Penjelasan ada ditawarkan Farr Curlin, Dosen Kedokteran University of Chicago dan anggota MacLean Center for Clinical Medical Ethics, bahwa orang-orang agama berpikiran-ilmiah justru memilih belajar kedokteran. Ia membantu penulis sebuah studi yang ”menemukan bahwa 76 persen dokter percaya kepada Allah dan 59 persen percaya pada kehidupan setelah mati” dan ”90 persen dokter di Amerika Serikat mengikuti pelayanan agama setidaknya kadang-kadang, dibandingkan dengan 81 persen dari semua orang dewasa”. Ia beranggapan, ”Tanggungjawab untuk merawat orang yang menderita dan imbalan dalam membantu mereka yang membutuhkan sejalan dengan sebagian besar tradisi agama”.

Sebuah jajak pendapat tahun 2009 oleh Pew Research Center menemukan bahwa 33% ilmuwan Amerika menyatakan mereka percaya kepada Allah. 48% menyatakan mereka mempunyai afiliasi agama, sama dengan jumlah yang menyatakan mereka tidak berafiliasi dengan suatu tradisi agama. Survei mereka juga menemukan ilmuwan yang lebih muda ”lebih besar kemungkinannya secara berarti daripada rekannya yang lebih tua menyatakan mereka percaya kepada Allah”. Di antara bidang survei, ahli kimialah yang paling besar kemungkinannya mengatakan mereka percaya kepada Allah.

Keyakinan agama para profesor AS, banyak di bidang sains, baru-baru ini dikaji dengan menggunakan sampel representatip nasional yang terdiri lebih dari 1400, yang dipublikasikan dalam Sociology of Religion. Peneliti melaporkan bahwa ”Bertolak belakang dengan pandangan bahwa sikap skeptis agama dominan di akademi, kami temukan bahwa sebagian besar profesor, bahkan di institusi penelitian elit, adalah penganut agama”. Keyakinan bervariasi antar-bidang ilmu, dan ”bidang yang paling religius adalah bidang terapan di luar seni liberal tradisional, yang dosennya mungkin lebih menyerupai populasi umum dalam hal sikap dan nilai... Di ekstrim lainnya, psikologi dan teknik mekanika mempunyai proporsi atheis tertinggi [50 dan 44 persen], sementara 60,8 persen ahli biologi adalah atheis atau agnostik”. Peneliti menyimpulkan bahwa di kalangan profesor AS, ”kurang dari seperempat bisa diklasifikasikan sebagai bukan penganut agama total... bahkan di fakultas-fakultas elit, terdapat lebih banyak profesor yang religius daripada yang tidak percaya, yang mengajukan bahwa di akademi – seperti di lembaga amerika pada umumnya – sekurelisasi mendatangkan lebih banyak privatisasi keyakinan agama... daripada penghapusannya”.

(12)

di akademi. Untuk sebagian besar ada sedikit perbedaan antara bidang-bidang yang lebih besar ini [ilmu sosial versus ilmu alam] atau antara bidang-bidang spesifik itu sendiri. Ada ditemukan perbedaan antara ahli kimia dan pakar politik yang lebih besar kemungkinannya religius, menurut indikator tradisional, bila dibandingkan dengan ahli fisika”.

Studi ilmiah tentang agama

Studi ilmiah ada dilakukan tentang keagamaan sebagai fenomena sosial atau psikologis. Ini meliputi studi tentang korelasi antara keagamaan dan inteligensia (sering IQ, tetapi juga faktor lainnya). Sebuah studi baru-baru ini tentang reseptor serotonin dan keagamaan menunjukkan adanya korelasi antara kepadatan rendah reseptor serotonin dan pengalaman agama yang kuat. Juga yang lagi populer adalah studi tentang doa (Lihat Box) dan kedokteran, khususnya apakah ada hubungan sebab-akibat atau korelatif antara permohonan spiritual dan peningkatan kesehatan. Survei yang dilaksanakan Gallup, National Opinion Research Centre dan Pew Organization menyimpulkan bahwa orang yang berkomitmen secara spiritual dua kali lebih mungkin melampirkan ”sangat bahagia” daripada orang yang paling kurang berkomitmen secara spiritual. Analisa atas lebih dari 200 studi sosial bahwa ”kereligiusan yang tinggi memprediksi risiko depresi dan penyalahgunaan obat yang lebih rendah dan usaha bunuh diri yang lebih sedikit, dan lebih banyak laporan tentang kepuasan dengan kehidupan dan rasa sejahtera” dan tinjauan atas 498 studi yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal yang ditinjau sesama rekan menyimpulkan bahwa sebagian besar studi ini menunjukkan korelasi positip antara komitmen agama dan tingkat persepsi sejahtera dan harga diri yang lebih tinggi, dan tingkat hipertensi, depresi dan masalah klinik yang lebih rendah. Survei menunjukkan adanya hubungan kuat antara iman dan altruisme. Studi Keith Ward menunjukkan bahwa agama secara keseluruhan merupakan kontributor positip kepada kesehatan mental. Michael Argyle dan kawan-kawan mengklaim bahwa sedikit atau tidak ada bukti bahwa agama pernah menyebabkan penyakit jiwa.

Studi lainnya menunjukkan bahwa penyakit jiwa tertentu, seperti schizophrenia dan penyakit obsesif-kompulsif, juga terkait dengan tingkat kereligiusan yang tinggi. Selain itu, obat anti-psikotik, yang pada pokoknya bertujuan menghambat reseptor dopamine, biasanya mengurangi perilaku religius dan delusi religius.

Sebagian ahli sejarah, filsuf dan ilmuwan berharap agar teori memetika, sisa-sisa dari teori genetika, akan memungkinkan pemodelan evolusi budaya manusia, termasuk asal-muasal evolusi agama. Buku Daniel Dennett Breaking the Spell (2006) berupaya memulai analisa sedemikian atas agama-gama modern. Ide bahwa proses evolusi terlibat dalam perkembangan budaya dan agama manusia tidak begitu kontroversial di kalangan pakar ilmu alam, akan tetapi pendekatan lainnya yang didasarkan pada ilmu sosial seperti antropologi, psikologi, sosiologi dan ekonomi lebih lazim dalam kegunaan akademik.

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi penting sebuah transistor adalah kemampuannya untuk menggunakan sinyal yang sangat kecil yang masuk dari satu terminal transistor tersebut untuk

Kolaboratif merupakan upaya perbaikan proses dan hasil pembelajaran tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi guru harus berkolaborasi dengan guru lain atau kepala sekolah. PTK

[r]

Sumber: analisis regresi data rutin KIA 2010 & estimasi kematian ibu menurut SDKI 2007. (45%

Salah satu studi kepustakaan yang dilakukan peneliti adalah mengamati laporan penelitian seseorang yang sebelumnya melakukan penelitian di SMA Negeri 1 Margahayu

Semakin tinggi konsentrasi HPMC (0,75%; 1% dan 2%) yang digunakan sebagai thickening agent dalam formulasi sediaan lipstik ekstrak air buah Syzygium cumiini

Iklan Baris Iklan Baris TEMPAT USAHA VW TANAH DIJUAL Serba Serbi. ADA SEWA Alamat Ktr, Call Han- dling, Fully Furnised, Free