• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiskinan dan Pembangunan ekonomi kemiskinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kemiskinan dan Pembangunan ekonomi kemiskinan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM STUDI

PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

“Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia”

Mata Kuliah : Ekonomi Pembangunan

Dosen : Dr.Ir. Faidil Tanjung, M.Si

Oleh: Jeffri Argon, SE

BP: 1221202020

PASCASARJANA

(2)

Daftar Isi

Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia...3

1. Pendahuluan...4

1. Kategori Kemiskinan...5

3. Kemiskinan dan Bencana Alam...7

3. Jurang Kemiskinan dan Ketimpangan...8

4. Pengentasan kemiskinan demi Pemerataan Kemakmuran...9

(3)

Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia

“Sesuatu kaum tidak akan berubah nasibnya hingga kaum itu sendiri merubahnya” (Qur’an Surat Ar’Rad: 11)

“Tak ada masyarakat yang benar-benar merasa makmur dan bahagia, kalau sebagian besar penduduknya hidup miskin dan sengsara (Adam Smith, 1776)”

“Kemiskinan adalah bentuk terburuk dari kejahatan (Gandhi)”

“Kapabilitas untuk berfungsi adalah yang paling menentukan status miskin atau tidaknya seseorang, pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan akhir, selanjutnya harus memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan dan kebebasan yang kita jalani (Amartya Sen)”

1. Pendahuluan

(4)

periode 2011-2012 angka indeks Gini Indonesia mencapai 0.41, indeks Gini yang menembus angka 0.4 ini baru kali ini terjadi dalam sejarah perekonomian Indonesia.

Memang indeks Gini ini sering dipertanyakan sebagai indikator pemerataan pendapatan, di beberapa negara yang mirip karakteristiknya baik dari segi sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya, namun perhitungan pada waktu yang bersamaan dalam indeks Gini nya bisa jauh berbeda.

Lalu mengenai kritik bahwa indeks Gini Indonesia yang beberapa tahun terakhir ini meningkat, menurut para ekonom pada umumnya sebuah negara yang baru mengalami akselerasi pertumbuhan seperti Indonesia, memang lazim menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang melebar di tahap awal, yang ditandai oleh naiknya indeks Gini. Baiklah tulisan ini bukanlah ditujukan untuk memperdebatkan soal indeks Gini ini, namun seperti kita lihat di adalam kehidupan sehari-hari, ditengah-tengah makmurnya beberapa penduduk Indonesia bisa dilihat

kemiskinan – terlepas dari ini kemiskinan absolut, relatif, kultural atau struktural - juga merajalela, pengemis, anak jalanan, pak ogah, dan pekerja sektor informal lainnya di perkotaan, dan terdapat hubungan nyata bahwa kemiskinan di desa mendorong urbanisasi.

Harus diakui dari tahun ke tahun, orde ke orde pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu diiiringi dengan banyaknya penduduk miskin dan kesenjangan, menurut data dari BPS (2010, dalam buku Nugroho-Dahuri, “Pembangunan Wilayah”), sejak tahun 1976 penduduk miskin Indonesia berjumlah 52,2 juta, setelah itu dalam 20 tahun jumlahnya menurun yaitu 22,5 juta, namun tahun 1996 itu di awal krisis moneter yang melanda Indonesia angka itu tereduksi menjadi 34, 01 juta, lalu hingga tahun 2010 angka itu menjadi 31,02 juta, bukanlah prestasi yang membanggakan apalagi diiringi dengan indeks Gini yang tinggi antara 0.31 – 0.41 (1999-2012) , serta indeks Jurang Kemiskinan (P1) sebesar 2,50 (2009) ( Nugroho-Dahuri).

Pertumbuhan ekonomi tinggi tapi tanpa adanya pemerataan ibarat kita punya supercar (mobil supercepat), namun tidak mampu beli bahan bakar minyak yang memadai. karena sejatinya, bahan bakar ekonomi indonesia kita lebih banyak tenaga kerja manusia dibanding non-manusia, jika banyak tenaga kerja yang tidak sejahtera maka, lama-lama kelamaan kinerjanya mandek.

(5)

kolusi dan nepotisme juga diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan dan pemerataan kemakmuran.

Sesuai dengan tujuan tulisan ini, yaitu mengulas kemiskinan dan kesenjangan kemakmuran di Indonesia, mari kita mulai dengan membahas kategori kemiskinan

2. Kategori Kemiskinan

Kemiskinan dapat dipahami sebagai suatu kondisi yang bersifat absolut bila kondisi seseorang atau suatu rumah tangga diperbandingkan dengan suatu standar tertentu, - apakah itu standar pendapatan, pendikikan, kesehatan dan lain-lain - tanpa memperhitungkan kondisi masyarakat secara umum. Pada kemiskinan relatif orang yang sudah memiliki tingkat pendapatan dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti tidak miskin, ada ahli yang berpendapat bahwa walaupun sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh lebih rendah di bandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin, ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak di tentukan oleh keadaan sekitarnya, daripada lingkungan orang yang bersangkutan (Miller,1971).

Kemiskinan juga bersifat relatif bila kondisi seseorang atau suatu rumah tangga diperbandingkan dengan taraf hidup masyarakat sekitarnya.Jika menggunakan standar relatif, standar kemiskinan akan dihitung berdasarkan tingkat kemakmuran masyarakat secara umum. Tentunya standar ini akan berubah antar-waktu dan antar-tempat. Kemiskinan relatif ini sangat relevan khususnya apabila Pemerintah dihadapkan pada keterbatasan sumber daya dan program penanggulangan kemiskinan hanya difokuskan pada segmen termiskin tertentu, misalnya pada 10% atau 20% termiskin dari populasi. Pada saat inilah pendekatan kemiskinan relatif lebih tepat untuk digunakan. Berbeda tujuan dengan kemiskinan absolut yang digunakan untuk evaluasi naik-turunnya tingkat kemiskinan,pendekatan kemiskinan relatif ditujukan sebagai dasar perhitungan atau pertimbangan dalam mendesain program yang ditargetkan untuk membantu masyarakat miskin. Pada taraf yang lebih luas tujuan segmentasi kemiskinan dalam pendekatan relatif adalah untuk menyediakan informasi yang lebih akurat mengenai kondisi distribusi kemiskinan saat ini agar dapat digunakan oleh program penargetan kemiskinan dalam menyusun strategi dan jumlah target yang sesuai antara anggaran dan kebutuhan tiap tingkatan masyarakat atau dapat juga dimanfaatkan untuk menyusun strategi pembangunan pada setiap level pemerintahan, dari pusat hingga daerah.

(6)

1. Alami: yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kekurangan dan ketidakberdayaan sumberdaya alam maupun manusia, sehingga sistem produksi tidak optimal tidak bisa mengangkat perekonomian ke tingkat lebih tinggi. Contohnya petani yang tinggal di lahan kering, akses yang jauh, tidak terjangkau.

2. Struktural: yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh secara langsung atau tidak langsung oleh berbagai kebijakan, strategi, peraturan-peraturan dalam pembangunan. Kemiskinan ini umumnya ditandai ketimpangan-ketimpangan antara lain: kepemilikan sumber daya, kesempatan berusaha.

3. Kultural: yaitu kemiskinan yang lebih banyak disebabkan oleh sikap dalam masyarakat mencerminkan gaya hidup yang menjebak dirinya dalam kemiskinan, hanya mengharapkan uluran tangan oarang lain, self achievement dan need of achievement yang rendah, gaya hidup yang boros. Sehingga kalau menurut piramida Maslow, tingkat kehidupan orang tersebut hanya bertahan pada pemenuhan kebutuhan dasar saja (Level 1 Piramida).

Juga seperti dikutip oleh Ir. H. Alala (1985) “sesuatu kaum tidak akan berubah nasibnya hingga kaum itu sendiri merubahnya” (Qur’an Surat Ar’Rad: 11) , sehingga kalau tidak mau mengubah nasib hanya menggantungkan pada uluran tangan orang. Ada satu bahasan pengalaman menarik yang diceritakan oleh seorang dosen Universitas Andalas Padang kepada penulis mengenai kemiskinan kultural ini, yaitu ketika salah seorang Bupati di suatu daerah bercerita kepada sang dosen, begini beliau berkata “Saya senang pak, jumlah sumbangan raskin di daerah saya mengalami peningkatan setiap tahunnya”. Bisa ditarik kesimpulan bahwa sang Bupati senang karena dengan bertambahnya raskin, masyarakatnya menganggapnya sebagai penolong dan dermawan yang bisa menyalurkan bantuan yang banyak. Demikianlah kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita.

Sebelum kita melanjutkan ke masalah ketimpangan kemakmuran, ada baiknya juga kita membahas tentang hal khusus yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh bencana alam.

3. Kemiskinan dan Bencana Alam

(7)

nafkah dengan bertani dan menjadi nelayan, sumber nafkah mereka juga amat rentan terhadap bencana alam. Mereka juga hanya memiliki sumber daya terbatas untuk menanggung bencana alam sehingga bencana apapun yang menimpa, akan membuat mereka mesti kehilangan harta benda yang seadanya. Pada masa-masa sulit mereka mungkin terpaksa menjual misalnya, tanah mereka, sepeda, atau peralatan pertanian, yang akan membuat mereka makin kesulitan untuk mempertahankan sumber penghidupan mereka.

“Masyarakat miskin karenanya adalah yang akan paling menderita oleh bencana alam, berbagai dampak ini juga akan menambah berbagai kesengsaraan yang sudah mereka alami. Beban kesengsaraan itu antara lain: Yang miskin makin miskin bagi rakyat yang hidupnya sudah sengsara, berbagai tambahan beban dari bencana alam akan makin menyengsarakan dan makin menuntut biaya. Kebanyakan petani padi, misalnya, saat ini menggunakan varietas hibrid yang menuntut ketersediaan air yang cukup. Ketika hujan tidak turun pada waktunya, sebagian mereka sudah harus berhutang untuk membeli bahan bakar untuk memompa air tanah. Dengan begitu meski sawah mereka akhirnya dapat menghasilkan panen, sebagian besar hasil panen itu akan digunakan untuk membayar hutang”(UNDP- Sisi Lain Perubahan Iklim, 2007)

Sudah selayaknya rakyat miskin itu dilindungi dari berbagai bencana alam tersebut, juga seharusnya masyarakat perlu dimotivasi agar bisa bersikap waspada dan tanggap terhadap bencana, sehingga dampak yang diakibatkan bencana bisa diminimalisir.

4. Jurang Kemiskinan dan Ketimpangan

Jurang kemiskinan atau poverty gap merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Ukuran ini memperlihatkan jurang (gap) antara pendapatan rata-rata yang diterima penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Semakin kecil angka ini menunjukkan secara rata-rata pendapatan penduduk miskin sudah semakin mendekati garis kemiskinan. Semakin tinggi angka ini maka semakin besar kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk.

(8)

jarang memiliki industri, pengadaan listrik tidak memadai, tidak memiliki jalan raya dan kereta api yang cukup, pelayanan pemerintah yang belum memadai dan sarana komunikasi yang buruk”. Kecuali komunikasi yang sudah baik..semua ciri-ciri yang disebutkan Hoffman ada di negara kita umumnya

Kalau bicara pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang mencapai 7 %, itu tidak inklusif, artinya tidak melibatkan banyak orang karena ekonomi dikuasai oleh segelintir orang kaya di Indonesia dengan teori trickle down effect yang tidak terbukti kebenarannya. Salah satu langkah yang perlu didukung bersama adalah kenaikan UMR seperti DKI dan Jatim, sehingga keuntungan konglomerat (pengusaha) berkurang, taraf hidup pekerja meningkat, sehingga daya beli barang-barang kebutuhan primer akan meningkat akibatnya adanya tuntutan pelayanan publik yang lebih baik, seperti transportasi umum yang nyaman. Kita ingat bahwa bahwa MPC masyarakat miskin adalah 1 yang artinya mereka akan tingkatkan konsumsi secara otomatis ketika pendapatan meningkat. Ini tentu baik bagi perekonomian, dibandingkan peningkatan konsumsi barang-barang tersier yang notabene banyak yg impor seperti mobil mewah dan sebagainya, jadi sudah seharusnya kita fokus dalam pengentasan kemiskinan.

5. Pengentasan kemiskinan demi Pemerataan Kemakmuran

Strategi pengentasan kemiskinan, upaya penanggulangan kemiskinan menurut Undang Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas ditempuh melalui dua strategi utama. Pertama, melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara. Kedua, membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan kronis dengan memberdayakan dan mencegah terjadinya kemiskinan baru. Strategi tersebut selanjutnya dituangkan dalam tiga program yang langsung diarahkan pada penduduk miskin yaitu:

1) Penyediaan Kebutuhan Pokok;

2) Pengembangan Sistem Jaminan Sosial; dan

3) Pengembangan Budaya Usaha Masyarakat Miskin.

(9)

memanfaatkan sumber daya alam di sekelilingnya, bekerja di luar daerah, dan berhemat melalui mengurangi atau mengganti jenis makanan dan mengatur keuangan.

Strategi pengentasan kemiskinan haruslah memperhatikan aspek dari kebutuhan manusia, yang bisa diindikasikan secara Indeks kebutuhan hidup secara fisik atau PQLI (Physical Quality of Life), indeks ini mengukur kualitas manusia dari segi “Pendapatan per Kapita”, kemudian “Akses untuk Pendidikan” serta “Tingkat Harapan Hidup” (Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga), atau yang disebutkan dalam United Nation Development Programme Report sebagai HDI/IPM. Jika pemenuhan kebutuhan dasar di manusia tidak dapat terpenuhi maka kejadiannya masyarakat miskin akan mempunyai strategi sendiri untuk mengatasi kemiskinannya dengan cara: berhutang pada berbagai sumber pinjaman informal, bekerja serabutan, istri dan anak turut bekerja, memanfaatkan sumber daya alam di sekelilingnya, bekerja di luar daerah, dan berhemat melalui mengurangi atau mengganti jenis makanan dan mengatur keuangan, semakin lama jurang kemiskinan akan semakin dalam.

Dalam penerapan strategi ”Pendapatan per Kapita”, maka akses untuk usaha, serta pemberian pinjaman modal secara formal perlu dilakukan, selain pemberian bantuan langsung secara tunai, namun hanya untuk inisiasi strategi awal. Kita ibaratkan jika bantuan tunai adalah ikan supaya si miskin tidak kelaparan dan bangkit dari keterpurukan, akses usaha dan modal itu adalah pancing supaya si miskin bisa berusaha secara berkesinambungan.

(10)

seseorang, pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan akhir, selanjutnya harus memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan dan kebebasan yang kita jalani”.

Dengan diberdayakannya masyarakat miskin tersebut, nantinya mereka bisa merubah nasib mereka menjadi lebih baik, pemerintah bersama rakyat harus bisa mengatasi masalah kemiskinan tersebut, merubah sekali lagi nasib bangsa harus dilakukan oleh bangsa itu sendiri.

Dalam pengentasan rakyat miskin di perdesaan, pemerintah sebagai “orang luar” (orang kota) untuk membuat kebijakan, sudah seharusnya menurut Robert Chambers (2000)

melakukan turba (turun ke bawah), atau wisata ke perdesaan sehingga orang luar itu mengerti secara menyeluruh tentang permasalahan di desa. Dan dalam buku KH. Abdullah Zaky Al Kaaf (2002), juga disebutkan para pembuat kebijakan hendaknya jangan terlalu terbawa arus industrialisasi dan kapitalisme dalam pembangunan, karena kapitalisme berupa penumpukan harta hanya untuk kaum kaya yang tersentralisasi di perkotaan, bisa semakin menyengsarakan rakyat miskin, “kaum fuqara was masakin” serta proletar. Jadi seimbangkan juga perhatian terhadap pembangunan rakyat miskin terutama di perdesaan. Hidup tidaklah boleh berlebihan harus seimbang sambung KH. Abdullah, bersikaplah kona’ah dan adil bagi sesama.

(11)

Daftar Pustaka

1. Todaro “Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga”, 2009

2. Iwan Nugroho – Rokhmin Dahuri, “Pembangunan Wilayah – Perspektif Ekonomi Sosial dan Lingkungan, 2010

3. Robert Chambers, “Pembangunan Desa – Mulai Dari Belakang”, 2000 4. Sjafrizal, “Ekonomi Regional – Teori dan Aplikasi”, 2008

5. Fakih, “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”, 2008

6. Sadono S, ‘Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah Dan Dasar Kebijakan, 2007 7. Arief Budiman, “Teori Pembangunan Dunia Ketiga”, Gramedia

8. So- Soewarsono, “Perubahan Sosial dan Pembangunan”, 1990

9. KH. Abdullah Zaky Al Kaaf, “Ekonomi dalam Perspektif Islam”, 2002

10. Sjofjan Asnawi, “Perkembangan Pemikiran Pembangunan Wilayah Perdesaan”, 1999 11. M.L. Jinghan, “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”, 2010

12. Sajogyo-Pudjiwati S, “ Sosiologi Pedesaan, Jilid I”, 2011

13. PPSK BI – LPSE FE UNPAD, “Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia”, 2010

14. Lincolin Arsyad “Pengantar Ekonomi Pembangunan Daerah”, 1999 15. Ritzer, “Sosiologi Modern”, 2003

16. H. Alala, “Strategi dan Pendekatan Pembangunan Pedesaan Terpadu”, 1985 17. Nuhfil Hanani AR, dkk “Strategi Pembangunan Pertanian”, 2004

18. Sunarsip, Artikel Koran Tempo, “CATATAN AKHIR TAHUN: Anomali di Balik Pertumbuhan Ekonomi Tinggi”, 26 Des 2012

19. Human Development Report – UNDP http://hdr.undp.org/en/reports/global/hdr2011/

20.IPM Propinsi Gorontalo

-24. UNDP – Sisi Lain Tentang Perubahan Iklim, 2007

(12)

27.http://www.ginandjar.com/public/09PemberdayaanMasyarakat.pdf

Referensi

Dokumen terkait

Pendapat Ghozali (2013: 98), pengujian statistik T menyatakan sejauh mana pengaruhnya sebuah variabel bebas secara parsial dalam menjelaskan varians dari

Sehubungan dengan itu, Persekutuan Pengakap Malaysia Negeri Kedah mengorak langkah bagi mengumpul ahli-ahli pengakap dari seluruh negeri ini berhimpun dalam satu

Bidan yang merupakan sebuah profesi yang mengabdikan seluruh raganya untuk negara jelas perlu mempelajari arti dari pancasila mengabdikan seluruh raganya untuk

Hasil belajar siswa khususnya untuk mata pelajaran matematika dengan penerapan Strategi Learning Start With A Question dengan Question Student Have di kelas VIII

Berdasarkan implikasi ini, peneliti menguraikan bahwa tidak terlibatnya siswa yang memiliki kecerdasan verbal rendah secara penuh dalam pembelajaran semata- mata bukan

Dari hasil penelitian ini ditunjukkan bahwa, korelasi dari distribusi frekuensi kala ulang Log (Tr) dengan data curah hujan harian maksimum tahunan memberikan hasil yang jauh

Pendekatan structural fungsional mengkaji sistem sosial dalam masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian yang saling berhubungan , fungsional

Pembahasan dalam makalah ini akan membongkar ideologi apa yang tersembunyi di balik pesan iklan produk bumbu masak, deterjen pakaian, dan sabun pencuci peralatan makan