• Tidak ada hasil yang ditemukan

JAS Vol 15 No 1 Aksi Petani dan Gerakan Politik Pedesaan 03-Editorial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "JAS Vol 15 No 1 Aksi Petani dan Gerakan Politik Pedesaan 03-Editorial"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TANTANGAN MASA DEPAN PERTANIAN

INDONESIA

V

LSM, Negara, dan Petani

Keberadaan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau yang juga biasa di-sebut sebagai NGO ( Non-Governmen-tal Organization) dalam kegiatan pembangunan pedesaan, khususnya dalam bidang agraria, bukan meru-pakan sesuatu yang baru. Kebera-daan LSM, baik yang memposisikan diri sebagai suplemen, mitra ataupun substitusi dari state (negara), telah menuai banyak kritik dan pujian dari berbagai pihak. Banyak pihak yang secara a priori mengatakan bahwa ke-beradaan LSM sebenarnya tidak ba-nyak memecahkan persoalan masya-rakat, tetapi justru mengeksploitasi masalah di masyarakat untuk menjadi isu politik.

Negara sebagai pihak yang diserahi amanat mengatur roda pembangunan seringkali juga dianggap gagal

me-nyejahterakan rakyatnya. Dalam kon-teks agraria, kebijakan pembangunan cenderung hanya berpihak kepada kelompok kapitalis internasional de-ngan model pembangunan yang top-down bureaucratic approach, yang kurang memperhatikan capacity building untuk mewujudkan kemandi-rian dalam pembangunan desa dan telah menimbulkan ketergantungan masyarakat desa pada negara. Salah satunya adalah dengan munculnya kebijakan revitalisasi pertanian yang digulirkan oleh kabinet Presiden Susi-lo Bambang Yudhoyono, yang juga memancing reaksi beragam di masya-rakat.

Petani juga sedang menghadapi per-soalan besar, yaitu adanya ketim-pangan dan konflik dalam struktur agraria serta hilangnya kedaulatan untuk menentukan apa yang harus diproduksi, bagaimana cara

(2)

duksinya, kepada siapa produk terse-but harus dijual, dan bagaimana sis-tem penjualannya. Petani juga kehi-langan kedaulatan dalam mengakses semua kebutuhan pangannya. Kecil-nya ruang kedaulatan tersebut me-nyebabkan peluang mereka untuk menentukan strategi ekonomi dan so-sial yang sesuai dengan kepentingan mereka juga semakin lemah dan ter-batas.

Tantangan Masa Depan Pertanian Indonesia

Jika LSM kerap hanya dianggap "men-jual kemiskinan" pada lembaga-lem-baga pelepas dana dari luar negeri, negara dianggap gagal menyejah-terakan rakyatnya, dan petani terbelit dengan berbagai masalah pelik yang membuat mereka kehilangan kedau-latannya, lalu bagaimanakah masa depan pertanian Indonesia? Peliknya permasalahan yang dialami memang seringkali memunculkan suatu ang-gapan bahwa pertanian di Indonesia seakan telah kehilangan masa depan-nya. Pertanian sering kali dianggap sudah tidak lagi mampu menjanjikan keuntungan, terutama bagi para pe-tani sebagai subjek dari kegiatan pertanian tersebut.

Untuk dapat melihat bagaimana masa depan pertanian di Indonesia,

tentu-nya kita perlu melihat bagaimana kinerja masing-masing aktor yang berperan di dalamnya selama ini, yaitu LSM, negara, dan petani. Ada kecenderungan yang menunjukkan bahwa selama ini LSM dan negara, yang dianggap sebagai agen penting bagi perubahan sosial, kurang mem-bekali dirinya dengan pengetahuan yang cukupbaik secara makro atau-pun mikrotentang siapa yang men-jadi beneficiary-nya, yang dalam hal ini adalah masyarakat. Kurangnya pe-mahaman mengenai hal tersebut membuat berbagai kebijakan dan strategi yang digagas oleh LSM dan negara seringkali tidak tepat dalam menyasar tujuannya.

Adanya pengetahuan yang memadai mengenai masyarakat akan membuat kita mampu mendapatkan gambaran yang lebih jernih mengenai peta per-masalahan yang tengah terjadi serta alternatif-alternatif pemecahannya. Kurangnya pemahaman mengenai masyarakat secara menyeluruh, baik secara makro ataupun mikro, serta perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya membuat kita seringkali hanya terjebak pada satu masalah saja dan cenderung mengabaikan masalah yang lainnya. Di kalangan LSM misalnya, ada kecenderungan untuk hanya memfokuskan pada masalah-masalah yang memiliki "nilai

(3)

VII

jual" di kalangan media, sementara masalah-masalah lainnyayang acap kali luput dari perhatian media sebe-narnya juga memiliki derajat kepen-tingan yang sama besarnya. Di ka-langan pemerintah, kurangnya pe-ngetahuan dan pemahaman menge-nai masyarakat, juga seringkali me-nyebabkan berbagai kebijakan dan program yang diluncurkan tidak mengenai sasaran yang diinginkan. Dengan kata lain, adanya penge-tahuan yang cukup mengenai masya-rakat merupakan suatu modal yang sangat berharga, terutama bagi LSM dan negara ketika mereka hendak "mengajak" masyarakat untuk ber-ubah. Pemahaman tersebut pada akhirnya menjadi sangat penting untuk menjawab tantangan masa de-pan pertanian Indonesia.

Hal yang sama juga dipaparkan oleh

Hery Santoso, yang menjabat seba-gai Direktur JAVLEC (Java Learning Centre), yang menyatakan bahwa pandangan romantisme antropolo-gika mengenai masyarakat pinggiran hutan yang bersahaja, bijak, memiliki pengetahuan lokal yang tinggi, tetapi marginal dan kurang memperoleh ke-sempatan, merupakan penyakit yang biasa menjangkiti peneliti sosial. Pe-mahaman yang keliru mengenai "potret" masyarakat yang sesungguh-nya disisesungguh-nyalir menyebabkan berbagai

program pemberdayaan yang diini-siasi oleh banyak pihak (termasuk LSM) seringkali mengalami kega-galan.

Penetrasi kapitalisme telah membuka peluang bagi negosiasi nilai-nilai la-ma, hierarki sosial, bahkan dalam hal-hal tertentu, untuk terlibat aktif dalam proses pengorganisasian aspek-as-pek kehidupan sehari-hari yang paling mendalam. Masyarakat lokal dengan struktur kebutuhan yang stabil pada akhirnya harus bernegosiasi dengan dunia di mana identitas dan selera senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status. Ber-angkat dari sini saja, maka apa yang sering dipersepsikan sebagai penge-tahuan lokal, kearifan lokal, dan sege-nap identitas lokal lainnya bukanlah sesuatu yang sudah selesai, sebagai-mana yang sering diyakini orang sela-ma ini. Pengetahuan, nilai, dan identi-tas lokal hampir selalu mengalami proses renegosiasi dan reproduksi, sebagai konsekuensi dari adanya pro-ses kreatif sekaligus keterlibatan ma-syarakat dalam setiap gerak peru-bahan.

Dinamisnya masyarakat juga ditang-kap oleh Yunita T. Winarto dari De-partemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Penulis memaparkan

(4)

wa praktik SL PHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu) dinilai telah merangsang kemampuan petani untuk berkata 'tidak' dalam hal pe-ngendalian hama dan penyakit de-ngan pestisida, bila kondisi serade-ngan hama dan penyakit tidak berarti. Hal lain yang juga penting adalah muncul-nya kesadaran akan pentingmuncul-nya pe-ngamatan secara teliti, atau dalam bahasa sejumlah petani, pentingnya meneliti. Kedua hal tersebut diper-caya sebagai benih tumbuhnya se-mangat kemandirian. Petani adalah makhluk yang kreatif dan inovatif dalam menyiasati berbagai persoalan yang melilit hidupnya. Di satu sisi, terdapat dinamika petani dalam me-nanggapi gagasan baru yang diperke-nalkan. Adopsi gagasan baru berarti adanya penambahan unsur-unsur ba-ru dalam skema berpikir mereka yang diperkaya oleh umpan balik hasil pe-ngamatan dan pembelajaran mereka dalam mempraktikkan gagasan baru tersebut. Di sisi lain, petani juga tidak begitu saja meninggalkan gagasan lamanya. Gagasan lama dapat muncul dan menguat kembali dalam situasi-situasi tertentu.

Tri Hadiyanto Sasongko dari AKA-TIGA membahas hubungan antara ci-ta-cita pertanian berkelanjutan dan program-program kedaulatan pangan oleh LSM. Pertanian berkelanjutan

di-percaya merupakan salah satu jalan alternatif untuk mencapai kedaulatan pangan dan sebaliknya kedaulatan pangan merupakan kondisi yang di-anggap strategis guna menjamin ke-berlangsungan masa depan nian. Namun demikian, praktik perta-nian berkelanjutan yang diinisiasi oleh LSM cenderung hanya memfo-kuskan kegiatannya pada aspek pro-duksi dan distribusi semata, semen-tara aspek konsumsi (pangan) masih kurang mendapatkan perhatian.

Pangan adalah kebutuhan dasar ma-nusia yang tidak tergantikan. Oleh se-bab itu, sudah sepantasnya bila pa-ngan dan pola konsumsi yang me-nyertainya mendapatkan perhatian, curahan waktu, dan energi yang sama besarnya dengan aspek-aspek lain-nya (produksi dan distribusi). Pada kenyataannya dalam kehidupan seha-ri-hari, ketiga aspek tersebut (pro-duksi, distribusi, dan konsumsi) bu-kan hanya saling terkait erat, tapi ju-ga saling berarsiran sehingju-ga sanju-gat sulit memisahkannya secara tegas.

Masih bicara soal pangan, Yusup Na-piri Maguantara dari AKATIGA me-maparkan bahwa ada pertalian erat antara kondisi fisik alam dan struktur sosial yang melingkupi sebuah komu-niti. Pertalian tersebut perlu diper-hatikan dalam upaya untuk

(5)

IX

hami potensi kerawanan pangan se-kaligus sebagai acuan penanganan-nya. Secara agregat, tidak salah bila surplus pangan di suatu negara di-anggap sebagai indikator mantapnya ketahanan pangan suatu negara. Te-tapi tercapainya ketahanan pangan di tingkat makro bukan berarti tiada masalah ketahanan pangan di tingkat mikro, di tingkat rumah tangga. Penu-lis menunjukkan ironi bahwa bebe-rapa kawasan yang mengalami rawan pangan justru secara statistik memi-liki surplus pangan. Hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak termasuk pemerintah sebagai penentu kebijakan.

Salah satu kebijakan pemerintah yang kini mendapat banyak sorotan adalah revitalisasi pertanian. Revita-lisasi sektor pertanian dan pedesaan merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upayanya mewujudkan pem-bangunan masyarakat Indonesia. Sayangnya, perencanaan kegiatan ini tidak didasari data yang akurat dan bersifat prediktif, sehingga beberapa target yang dicanangkan terasa se-perti bertolak belakang satu sama lain, terutama tentang penguasaan lahan dan jumlah petani yang bekerja di pertanian. Erizal Jamal dari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian,

mencoba melihat peluang perbaikan penguasaan lahan di tingkat petani, melalui konsolidasi lahan yang diawali dengan perbaikan dalam sistem pe-nguasaan lahan yang ada di tingkat petani (land tenure reform). Upaya ini dapat dijadikan dasar inisiasi bagi upaya konsolidasi lanjutan yang me-mungkinkan petani dapat mengu-sahakan lahan dalam luasan tertentu dan dalam satu hamparan. Lebih lan-jut upaya ini diharapkan dapat mem-buka peluang usaha lainnya yang ter-kait dengan usahatani yang dilakukan petani

Masih menyoal kebijakan, Syahyuti

mencoba melakukan kajian ulang terhadap berbagai permasalahan mendasar serta kebijakan yang telah dibuat akhir-akhir ini, dengan meni-tikberatkan upaya memadukan "as-pek landreform" dan "aspek non-land-reform" dalam konsep pembaruan agraria yang lebih operasional. De-ngan segala keterbatasan data dan di-bebani oleh berbagai permasalahan, kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan yang "terpaksa" disu-sun dan tetap dijalankan dikhawa-tirkan akan menghadapi kendala dan kemungkinan terancam untuk tidak dapat dioperasionalkan. Perhatian terhadap "aspek non-landreform" da-lam kebijakan pembaruan agraria semestinya juga diberi perhatian yang

(6)

X

seimbang dengan "aspek landre-form".

Berbeda dengan Erizal Jamal dan Syahyuti yang mengupas masalah kebijakan, Dede Mulyanto dari Ju-rusan Antropologi, Fakultas Ilmu So-sial dan Ilmu Politik, Universitas Pa-djadjaran lebih memfokuskan tulis-annya pada masa depan petani di Indonesia. Ia memaparkan kegiatan mencari penghidupan di kalangan pe-tani berusia tua. Usia penting hubung-annya dengan proses produksi dan kegiatan mencari nafkah. Orang me-ngalami usia tuanya dengan cara be-ragam, bergantung, terutama, pada latar belakang kelas sosial ekonomi. Di kalangan petani miskin dan buruh tani, penuaan sama dengan penying-kiran dari pasar kerja: kian tua bukan hanya kian tuli, tapi juga kian sulit mencari nafkah.

Ruang Metodologi dalam edisi ini menghadirkan Johan Iskandar, seo-rang staf peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Lembaga Penelitian, Universitas Pa-djadjaran yang mendeskripsikan me-todologi memahami dinamika kehi-dupan petani dalam mengelola perta-nian mereka. Dalam tulisannya, pe-nulis menawarkan tiga pendekatan yaitu ekologi manusia, agroekosis-tem, dan sistem usaha tani. Pertama,

pendekatan ekologi manusia dapat di-gunakan untuk mengkaji hubungan antara dinamika populasi dengan lingkungan sistem usaha tani. Kedua,

pendekatan analisis agroekosistem dapat diterapkan untuk menganalisis keragaman disiplin ilmu dan teknik penilaian secara cepat pada sistem usaha tani. Ketiga, pendekatan sis-tem usaha tani dapat digunakan un-tuk menganalisis secara khusus ten-tang penataan usahatani yang dila-kukan petani.

Resensi Buku dalam Jurnal Analisis Sosial kali ini menampilkan ulasan Tri Hadiyanto Sasongko tentang buku karya Khudori yang berjudul: "Lapar: Negeri Salah Urus!" Inti dari buku ini adalah penegasan bahwa kelaparan bukan semata-mata terjadi karena ti-dak ada pangan, karena kelaparan ju-ga dapat terjadi di neju-gara yang ber-limpah pangan. Ini sejajar dengan pernyataan pemenang Nobel Ekono-mi tahun 1998, Amartya Sen, tentang pentingnya akses dan aspek kebe-basan menentukan pangan daripada ketersediaan. Sen menunjukkan bah-wa kelaparan atau kurang gizi terjadi bukan karena tidak ada pangan, lainkan karena orang tidak bisa me-miliki pangan.

Mengapa di satu sisi terjadi kelim-pahan pangan dan di sisi lain muncul

(7)

kelaparan dan kekurangan gizi? Pa-ngan kini telah bertransformasi men-jadi komoditi alias barang yang bisa diperdagangkan, sehingga seseorang atau sekelompok orang dapat meraih keuntungan atasnya. Itulah sebabnya para pengusaha kaya berebut me-nguasai industri ini. Masalah kemu-dian menjadi semakin pelik ketika pa-ngan dan pertanian harus diliberali-sasi dan tunduk pada hukum pasar. Dengan kredo pasar bebas, para pe-nganjur paham neoliberalisme me-maksa negara-negara berkembang untuk meliberalisasi pasar domestik-nya. Lewat tekanan IMF dan Bank Du-nia, melalui proyek hutangnya, pe-maksaan itu semakin sempurna. Ka-rena tidak punya komitmen kuat pada rakyatnya, pemerintah negara ber-kembang seringkali tidak berkutik. Berbagai layanan sosial dicabut, ber-bagai subsidi ditiadakan. Dalam kon-disi itu rakyat dan petani miskin men-jadi sendirian.

Sementara itu, Dede Mulyanto

mengupas bukuyang berjudul:"Yang Berkuasa, Yang Tersisih, Yang Tak Berdaya: Demokrasi yang Bagaimana di Indonesia" karya Ina E. Slamet. Buku ini menggambarkan betapa ke-kuatan-kekuatan kapitalisme global dengan kelaparan kronisnya meram-bahi pedalaman Kalimantan, Sulawe-si, atau Papua sejak jaman kolonial

hingga saat ini. Mereka mengeruk ke-kayaan alam sedalam-dalamnya lalu memuntahkan limbah, kemiskinan, kemerosotan harga diri, dan ketim-pangan struktur sosial ke sekitarnya. Peran Ina E. Slamet sebagai antro-polog amat penting dalam meng-angkat persoalan ketersisihan yang dialami suku-suku pedalaman seperti suku-suku Dayak di pedalaman Kali-mantan atau suku-suku pedalaman Papua. Tetapi pengulas mengingat-kan bahwa keterpinggiran sosial-eko-nomi-politik juga dialami sebagian orang sukubangsa Jawa yang secara politik menguasai 'pusat' kesatuan politik bernama Indonesia. Peming-giran memang bercokol di kota-kota dengan jembel penghuni kolong jem-batan dan penggusuran sebagai lam-bangnya. Hal ini disadari Ina sepe-nuhnya. Tetapi, pengalaman berta-hun-tahun meneliti dan hidup bersa-ma suku-suku pedalabersa-man Papua membuat Ina memusatkan perha-tiannya pada ketersisihan yang menghantui suku pedalaman.

Sebagai penutup, Gunawan Wiradi

mempersoalkan apakah kegiatan ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial itu da-pat "bebas nilai" ataukah tidak. Tuli-san ini sebenarnya merupakan maka-lah dalam suatu seminar yang temaka-lah lama lampau, namun temanya diang-gap masih relevan. Agar tidak

(8)

luang untuk menyimpang, maka tulis-an tersebut dimuat di jurnal ini sesuai aslinya, yaitu dalam bahasa Inggris. Istilah "hands-off policy" digunakan untuk mengacu kepada sikap untuk menolak sama sekali pengaruh nilai atau pengaruh ideologi dalam kegi-atan keilmuan. Sedangkan "hands-in policy" mengacu kepada sikap yang menerima kenyataan bahwa, dalam praktiknya, ilmu-ilmu sosial tidak mungkin secara mutlak "bebas nilai". Perdebatan mengenai perbedaan dua pandangan ini sebenarnya sampai sekarang belum pernah selesai.

Wacana mengenai makna "ideologi" itu sendiri serta perkembangannya bukanlah hal yang sederhana karena menyangkut teoresasi pada tataran

abstraksi tinggi ataupun filosofis. Tulisan ini mungkin terkesan "sem-pit", karena hanya menggunakan se-jumlah literatur terbatas, namun demikian merupakan suatu kontribusi yang sangat berharga, terutama bagi para peneliti pemula yang harus mulai memikirkan implikasi-implikasi dari penelitiannya, bukan saja bagi kepentingan ilmu melainkan juga bagi kenyataan kehidupan sosial. Di akhir tulisannya, Gunawan Wiradi menganjurkan para pemula agar dapat mengembangkan sendiri pemahamannya melalui perluasan bacaan.

[Redaksi]

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL 2006

Referensi

Dokumen terkait

[r]

S etelah peserta lulus evaluasi kualifrkasi m aka dilakukan klarifrkasi teknis dan negosiasi harga dengan ketentuan:a. hasil negosiasi harga m enjadi nilai harga penetapan pem enang

[r]

Nama Paket Pekerjaan :Perencanaan Teknis Rehabilitasi / Pemeliharaan Jalan Kota Wilayah Selatan Tahun Anggaran 2014.. Nilai Total HPS

Nama Paket Pekerjaan :Perencanaan Teknis Rehabilitasi / Pemeliharaan Jalan Kota Wilayah Tengah Tahun Anggaran 2014.. Nilai Total HPS

Metode latihan merupakan cara mengajar untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Metode ini digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan, ketepatan, kesempatan

Nama Paket Pekerjaan :Perencanaan Teknis Rehabilitasi / Pemeliharaan Jalan Lingkungan Wilayah Selatan Tahun Anggaran 2014.. Nilai Total HPS

Mengungkapkan informasi secara tertulis dalam kalimat sederhana sesuai konteks, yang mencerminkan kecakapan menggunakan kata, frasa dengan huruf, ejaan, tanda baca dan struktur