PENANGANAN PERMASALAHAN PERBANKAN PASCA BENCANA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI WILAYAH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN
KABUPATEN NIAS PROPINSI SUMATERA UTARA
Oleh : Arief R. Permana, S.H.M.H.1
PENDAHULUAN
Tiga tahun lebih telah berlalu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004 telah terjadi
bencana alam gempa bumi dan
gelombang tsunami yang melanda
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias Propinsi Sumatera Utara, serta beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Srilangka, India. Bencana alam yang dahsyat tersebut telah menelan ratusan ribu
korban, menghancurkan berbagai
bangunan pabrik/kantor/pemukiman
penduduk, serta merubah struktur
geografis, dan pertanahan, sehingga menimbulkan dampak terhadap berbagai
sektor, antara lain ekonomi,
keuangan/perbankan, pertanahan, dan kependudukan.
Dalam rangka pemulihan korban bencana gempa bumi dan tsunami di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam dan Pulau
Nias – Propinsi Sumatera Utara,
Pemerintah melalui BAPPENAS telah
mencanangkan program Rencana
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara (R3MAS), yang
1
Analis Hukum Senior, Direktorat Hukum Bank
Indonesia
antara lain bertugas menyusun blue print yang terdiri dari master plan dan buku rinci. Blue print R3MAS yang telah
diselesaikan BAPPENAS selanjutnya
dijadikan acuan oleh Badan Pelaksana (BAPEL) dalam melaksanakan tugasnya. BAPPENAS selaku koordinator telah membentuk 10 Pokja, antara lain : Pokja Tata Ruang dan Pertanahan; Pokja
Pendanaan; Pokja Ekonomi dan
Ketenagakerjaan; Pokja Pembangunan Prasarana dan Sarana; Pokja Hukum; Pokja sistem Kelembagaan. Keanggotaan dari tiap-tiap Pokja melibatkan berbagai instansi/lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan.
Dalam rangka Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan
Sumatera Utara (Pulau Nias), Pemerintah telah mengeluarkan PERPPU No.2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, dan Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2005 tentang Rencana
Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi
instansi/departemen termasuk Bank Indonesia yang terlibat dalam Pokja mengusulkan kepada BAPPENAS untuk dapat dikeluarkan suatu PERPPU guna
mengatur permasalahan-permasalahan
yang dihadapi di masing-masing sektor seperti perbankan dan pertanahan.
PERMASALAHAN PERBANKAN
Berdasarkan data umum perbankan pada akhir tahun 2004 di propinsi NAD dan Kabupaten Nias, terdapat 12 bank umum, dengan jumlah kantor bank sebanyak 41, dengan jumlah dana pihak
ketiga mencapai Rp7.547.931 juta,
sementara jumlah BPR mencapai 20, dengan jumlah dana pihak ketiga sebanyak Rp38.357 juta.
Dengan terjadinya bencana gempa bumi
dan gelombang tsunami telah
mengakibatkan dampak kerusakan pada beberapa gedung kantor bank, termasuk dokumen, yang menimbulkan hambatan pada kegiatan operasional perbankan. Secara umum dampak bencana yang timbul berkaitan dengan perbankan antara lain:
1. banyak nasabah bank yang meninggal
dunia atau hilang, yang
mengakibatkan kesulitan
mengidentifikasi ahli waris atau wali yang berhak dari nasabah yang meninggal,
2. banyak nasabah bank yang
kehilangan dokumen kepemilikan
simpanan di bank, dan kehilangan bukti identitas diri,
3. banyak nasabah debitur yang
usahanya, dan asetnya yang
diagunkan hancur,
4. terdapat beberapa bank yang gedung
kantornya mengalami kerusakan.
Dampak bencana tersebut telah
menimbulkan kesulitan bagi bank
khususnya dalam melayani penarikan dana nasabah yang tanpa didukung dokumen kepemilikan atau identitas yang lengkap, karena di satu sisi bank harus menjaga prinsip kehati-hatian, sementara
di sisi lain penarik dana sangat
memerlukan dananya yang tersimpan di bank. Disamping itu ada juga tuntutan masyarakat, yang meminta agar bank menyerahkan simpanan nasabah yang diindikasikan pemiliknya maupun ahli warisnya tidak ada lagi diusulkan agar diserahkan kepada Baitul Mal untuk
dikelola. Demikian juga dengan
banyaknya usaha debitur yang terkena bencana yang berdampak terhadap kesulitan pengembalian kredit, banyak
debitur atau ahli waris debitur
mengusulkan agar kreditnya
dihapusbukukan.
UPAYA PENANGANAN
PERMASALAHAN PERBANKAN
Pada awal pasca bencana Bank Indonesia telah berupaya melakukan pemulihan infrastruktur perbankan dengan fokus pada kelancaran sistem pembayaran di daerah yang terkena bencana, antara lain dengan menjamin kelancaran dan jumlah
mendukung pertumbuhan perekonomian di daerah bencana. Di samping itu melakukan pembahasan intensif dengan pihak perbankan, serta berkoordinasi dengan beberapa instansi terkait, seperti
Kepolisian RI, Kejaksaan Agung,
Mahkamah Agung, Kementerian
Koordinator Kesejahteraan Rakyat,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Hukum dan HAM, dan Sekretariat
Kabinet. Berdasarkan hasil
pembahasan/koordinasi dengan
mempertimbangkan unsur kemanusian, namun tetap memperhatikan prinsip
kehati-hatian, Bank Indonesia telah
menghimbau agar bank-bank tetap dapat melakukan pelayanan kepada nasabah yang bermaksud melakukan penarikan
simpanan dengan pembatasan
maksimum nominal penarikan, walaupun nasabah yang bersangkutan tidak lagi memiliki identitas dan atau dokumen bukti simpanan.
Strategi Pemulihan Sistem Perbankan sebagaimana tertuang dalam blue print yang disusun oleh BAPPENAS, meliputi 4 strategi utama yaitu:
1. Pemulihan Infrastruktur Perbankan
Pemulihan infrastruktur perbankan difokuskan pada kelancaran sistem pembayaran di daerah yang terkena bencana. Beberapa langkah yang telah dilakukan pada masa darurat antara lain adalah dengan membatasi kegiatan operasional perbankan dari
kantor sementara ke kantor permanen tidak lebih dari satu tahun (kecuali daerah tertentu yang mengalami
kerusakan sangat parah); serta
menjamin kelancaran dan jumlah cash
supply yang cukup dalam rangka
mendukung pertumbuhan
perekonomian di daerah bencana.
2. Pemulihan Identifikasi Depositor
Dalam melakukan pelayanan kepada nasabah, bank wajib memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian untuk meminimalkan risiko yang dihadapi bank, melalui berbagai upaya untuk memastikan identitas nasabah, antara lain :
1. meminta nasabah untuk mengisi
formulir identifikasi nasabah
(pernyataan diri sebagai nasabah),
2. melakukan wawancara terhadap
nasabah,
3. membuat surat pernyataan yang
membebaskan bank dari segala tuntutan/gugatan hukum apabila suatu saat ada nasabah lain yang
mengaku nasabah pemilik
rekening
4. melengkapi data nasabah dengan
foto serta sidik jari.
Dalam rangka meminimalkan risiko yang dihadapi, bank juga dapat
menetapkan pembatasan nilai
! Dalam hal penarikan dana yang diajukan oleh ahli waris atau wali, bank hanya dapat meyakini bahwa yang bersangkutan merupakan ahli waris atau wali yang berhak sesuai dengan keterangan/penetapan dari Mahkamah Syariah/Pengadilan Negeri, namun tidak dapat meyakini bahwa selain pihak yang ditetapkan tersebut masih ada ahli waris atau wali lain yang berhak juga.
Berkaitan dengan kebijakan
perbankan tersebut, diperlukan suatu
payung hukum dalam keadaan
darurat, mengingat mekanisme
pencairan dana yang dilakukan bank sesuai dengan kesepakatan tersebut
masih berpotensi menghadapi
permasalahan hukum di kemudian hari.
3. Penyelesaian Kredit Perbankan
Adanya bencana tsunami berpotensi meningkatkan kredit macet karena kegagalan debitur dalam melakukan
pembayaran kembali utangnya.
Adapun upaya yang telah dilakukan guna meringankan beban debitur
adalah melakukan restrukturisasi
kredit dengan dikeluarkannya PBI No.7/5/PBI/2005 tentang perlakuan khusus terhadap kredit bank umum pasca bencana nasional di propinsi NAD dan kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara. Adapun pokok dari PBI ini adalah perlakuan khusus terhadap kredit bank umum berupa
kelonggaran dalam penilaian kualitas
kredit atau penyediaan dana,
keringanan persyaratan restrukturisasi
kredit sehingga kredit yang
direstrukturisasi langsung
dikategorikan Lancar, serta
kemungkinan pemberian kredit atau penyediaan dana lain baru bagi
debitur yang terkena dampak
bencana, perlakuan khusus tersebut
dimaksudkan dalam rangka
memberikan kesempatan bagi
nasabah debitur untuk melakukan perbaikan usaha guna mendukung pemulihan perekonomian.
Ketentuan sebagaimana dimaksud tersebut hanya berlaku untuk Kredit yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) disalurkan kepada nasabah debitur
dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan atau Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara; dan
2) telah atau diperkirakan akan
mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga Kredit yang disebabkan dampak dari bencana nasional di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan atau
Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara.
terhadap BPR Pasca Bencana Alam guna meringankan beban BPR/BPRS di
Propinsi NAD, khususnya yang
menyangkut perkreditan.
4. Pemulihan Fungsi Intermediasi Fokus penting di dalam pemulihan fungsi intermediasi adalah pemulihan dari bank pada sisi supply dan debitur pada sisi demand. Melalui proses pada kedua sisi tersebut diharapkan fungsi intermediasi dapat pulih.
Dari sisi perbankan langkah-langkah yang dilakukan untuk memulihkan fungsi intermediasi antara lain adalah
melakukan restrukturisasi kredit
seperti yang telah disebutkan di atas
serta kajian tentang penghapus
tagihan kredit macet dengan
mengindahkan ketentuan yang
berlaku di bidang piutang.
Pada sisi demand, langkah-langkah
yang tengah dikaji antara lain adalah keringanan persyaratan di dalam pengajuan kredit, memperpanjang
grace period pemberian kredit, serta
mekanisme penyalurannya agar
kekeliruan dalam penentuan target
group dapat dikurangi.
Di samping langkah kebijakan yang dilakukan oleh perbankan untuk memulihkan fungsi perbankan pada khususnya dan sektor ekonomi pada
umumnya, BAPPENAS selaku
koordinator dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi Provinsi NAD dan
Pulau Nias Propinsi Sumatera Utara, berdasarkan masukan dari instansi
terkait, a.l. Badan Pertanahan
Nasional (BPN), Departemen Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, Bank
Indonesia, Kejaksaan Agung,
Departemen Dalam Negeri, Kepolisian RI, Dirjen Pajak, serta perwakilan NAD bermaksud untuk menyusun payung hukum dalam bentuk Peraturan
Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu).
Setelah melalui pembahasan yang cukup panjang, akhirnya pada tanggal
6 September 2007 dikeluarkan
Perppu No. 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum
Dalam Rangka Pelaksanaan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Perppu tersebut diperlukan untuk menangani secara khusus dan mendesak berbagai masalah yang
timbul terutama di bidang
pertanahan, perbankan, keperdataan, dan administrasi kependudukan. Hal ini mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini tidak cukup untuk dijadikan dasar oleh
Pemerintah dalam melakukan
tindakan pemerintahan serta upaya
menanggulangi berbagai langkah
" normal pada daerah yang terkena bencana.
Mengingat Perppu sifatnya
sementara, sesuai UU No.10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perppu harus diajukan kepada DPR RI untuk ditetapkan menjadi UU, dalam hal ini
DPR hanya dapat mengambil
keputusan “menyetujui” atau
“menolak” terhadap RUU tentang
Penetapan Perppu menjadi UU.
Setelah mempertimbangkan
penjelasan Pemerintah, dan
perwakilan NAD serta Kabupaten Nias, DPR RI dalam Sidang Paripurna tanggal 4 Desember 2007 telah menyetujui RUU tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum
Dalam Rangka Pelaksanaan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara menjadi UU, yaitu UU No.48 Tahun 2007.
Pada prinsipnya materi PERPPU/UU
tersebut yang terkait dengan
perbankan antara lain meliputi :
1. Pengaturan bahwa bank dapat
mengeluarkan bukti kepemilikan atas simpanan yang hilang atau musnah akibat bencana gempa
bumi dan tsunami sesuai
pencatatan yang ada pada bank
berdasarkan permintaan dari
nasabah atau ahli waris/wali
nasabah; serta pengaturan
penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah atau ahli waris/wali nasabah yang tidak didukung dengan dokumen yang lengkap;
2. Pengaturan mengenai simpanan
dana nasabah di bank yang tidak diketahui lagi keberadaan pemilik maupun ahli waris/wali nasabah. Dalam hal ini bank menyerahkan
simpanan nasabah tersebut
kepada Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan setelah memperoleh
penetapan dari Pengadilan.
Pengajuan penetapan kepada
Mahkamah Syariah,2
Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri dilakukan setelah bank melakukan
langkah-langkah antara lain
melakukan penelitian/ inventarisasi data simpanan nasabah, dan
melakukan pengumuman
mengenai nasabah dan alamatnya.
Dengan penyerahan simpanan
tersebut tidak berarti hak tagih atas simpanan nasabah menjadi hapus, nasabah penyimpan atau ahli waris/wali yang kemudian muncul tetap dapat mengajukan tagihan kepada Baitul Mal atau BHP. Dalam hal ini Bank perlu dibebaskan dari tuntutan hukum
2Mahkamah Syar’iyah merupakan perubahan dari
Pengadilan Agama berdasarkan Keputusan Presiden RI No.11 Tahun 2003 tentang
atas penyerahan simpanan tersebut sepanjang telah sesuai
dengan langkah-langkah yang
ditetapkan.
3. Pengumuman nama dan alamat
nasabah penyimpan oleh bank sebanyak 3 kali dalam kurun waktu 2 tahun dalam rangka penyerahan kepada Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan
dikecualikan dari ketentuan
perundang-undangan (UU
Perbankan) yang mengatur
mengenai kerahasian bank; hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada nasabah atau ahli warisnya untuk mengajukan klaim atas simpanan tersebut.
4. Keputusan mengenai hak
tanggungan dan utang terhadap tanah yang telah dinyatakan
musnah diserahkan kepada
kebijakan masing-masing bank pemberi kredit. Merupakan hal yang wajar, bahwa persoalan kredit bermasalah akibat bencana
diserahkan kepada kebijakan
masing-masing bank untuk
menyelesaikannya, karena bank
yang bersangkutan yang
mengetahui ketidakmampuan
debiturnya dan kebijakan tersebut
perlu memperhatikan
kemampuan/kondisi bank yang bersangkutan. Di samping itu sesuai prinsip hukum perjanjian,
pemberian kredit merupakan
perjanjian pokok, sedangkan
penyerahan agunan hanya
merupakan perjanjian ikutan
terhadap perjanjian pemberian
kredit tersebut. Penyerahan
permasalahan hapus tagih atas kredit kepada kebijakan masing-masing bank semakin relevan, mengingat khusus untuk bank-bank BUMN dan BUMD terdapat peraturan yang harus dipatuhi, yaitu Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah dan Peraturan
Menteri Keuangan RI Nomor 31/PMK.07/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan
Negara/Daerah dan Piutang
Negara/Daerah.
5. Pemberian wewenang kepada
Bank Indonesia untuk mengatur
lebih lanjut permasalahan
perbankan pasca bencana. Materi
yang perlu diatur berkaitan
dengan permasalahan yang
menyangkut perbankan antara lain prosedur yang harus dilakukan bank dalam rangka penyerahan simpanan dana nasabah yang tidak diketahui lagi keberadaan pemilik maupun ahli waris/wali nasabah kepada Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan, dengan
# sebagaimana diatur di dalam PERPPU dimaksud, demikian pula
perlu penegasan bahwa
penyelesaian kredit dari debitur yang menjadi korban diserahkan kepada kebijakan masing-masing bank.
6. Legalisasi tindakan-tindakan yang
telah dilakukan bank dalam
rangka pelayanan penarikan dana
sebelum diberlakukan PERPPU
dalam Aturan peralihan. Dengan
adanya pengaturan tersebut,
langkah kebijakan (dengan tetap
memperhatikan prinsip
kehati-hatian) yang dilakukan perbankan pada awal setelah bencana yaitu
melakukan pelayanan kepada
nasabah yang bermaksud
melakukan pencairan simpanan,
walaupun nasabah yang
bersangkutan tidak lagi memiliki identitas dan atau dokumen bukti
simpanan, tindakan yang
dilakukan bank-bank tersebut
menjadi terlindungi.
7. Sementara itu berkaitan dengan
adanya pengaturan mengenai
penerbitan tanda bukti hak
pengganti atas tanah, dalam hal tanda bukti haknya rusak, hilang,
atau musnah, dan adanya
penegasan bahwa tanda bukti hak atas tanah yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi, maka bank-bank yang menguasai agunan berupa bukti hak atas tanah perlu
kiranya berkoordinasi dengan BPN setempat, antara lain dengan menginformasikan tanda bukti hak atas tanah yang diagunkan ke
bank. Hal tersebut untuk
menghindari hapusnya hak
tanggungan yang dikuasai bank.
PENUTUP
Langkah kebijakan yang dilakukan
perbankan pada awal pasca bencana, khususnya dalam pelayanan terhadap nasabah yang tanpa didukung dokumen kepemilikan maupun identitas diri telah membantu untuk tetap terlaksananya
fungsi intermediary. Demikian pula
kebijakan Bank Indonesia dengan
mengeluarkan beberapa PBI mengenai Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Pascabencana Nasional di Provinsi NAD dan Kabupaten Nias telah membantu kondisi perkreditan bank.
Dengan telah diberlakukannnya UU No.48 Tahun 2007 tentang Penetapan Perppu No.2 Rahun 2007 menjadi UU diharapkan dapat menjadi landasan
dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan yang mendesak di bidang pertanahan, perbankan, perwalian, dan keperdataan di wilayah Provinsi NAD dan Kabupaten Nias. Beberapa permasalahan baik yang menyangkut kekurangjelasan
atau kelemahan pengaturan dalam
$ Dalam rangka pelaksanaan penyerahan
simpanan nasabah yang diduga
nasabahnya menjadi korban bencana, dan tidak ada ahli waris/wali, perlu koordinasi yang baik antara bank-bank, Mahkamah Syariah / Pengadilan Negeri,
dan Baitul Mal. Bank-bank perlu
melakukan inventarisasi atas simpanan nasabah yang diperkirakan pemiliknya menjadi korban bencana dan tidak ada
ahli warisnya. Mahkamah Syariah
maupun Pengadilan Negeri perlu
kesiapan dalam melayani permintaan
penetapan pengadilan dari bank-bank. Baitul Mal perlu melakukan inventarisasi
para ahli waris yang diperkirakan
mempunyai harta kekayaan berupa