• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA dalam menyelesaikan soal logaritma ditinjau dari kemampuan matematika.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA dalam menyelesaikan soal logaritma ditinjau dari kemampuan matematika."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL LAPISAN PEMAHAMAN DAN FOLDING BACK SISWA SMA DALAM MENYELESAIKAN

SOAL LOGARITMA DITINJAU DARI KEMAMPUAN MATEMATIKA

SKRIPSI

Oleh: SITI AISAH NIM D74213089

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PMIPA

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

PROFIL LAPISAN PEMAHAMAN DAN FOLDING BACK SISWA SMA DALAM MENYELESAIKAN SOAL LOGARITMA

DITINJAU DARI KEMAMPUAN MATEMATIKA

Oleh:

SITI AISAH

ABSTRAK

Pirie-Kieren merepresentasikan pemahaman matematis menjadi delapan lapisan yaitu: primitive knowing, image making, image having, property noticing, formalising, observing, structuring, dan inventising. Keistimewaan dari teori ini adalah adanya folding back yaitu proses kembali ke lapisan yang lebih dalam apabila mengalami permasalahan pada lapisan yang lebih luar. Susiswo mengemukakan empat bentuk folding back yaitu: bekerja pada lapisan lebih dalam, mengumpulkan lapisan lebih dalam, keluar topik, dan menyebabkan diskontinu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran secara terperinci mengenai lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA dalam menyelesaikan soal logaritma ditinjau dari kemampuan matematika.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian terdiri dari 4 siswa, masing-masing 2 siswa yang memiliki kemampuan matematika tinggi dan sedang. Pemilihan subjek dilakukan dengan melihat nilai tugas keseharian siswa serta rekomendasi dari guru matematika. Data penelitian diperoleh dari hasil Tes Pemahaman Matematis (TPM) dan wawancara. Pengujian kredibilitas dan kevalidan data menggunakan triangulasi sumber.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek yang memiliki kemampuan matematika tinggi ketika menyelesaikan soal logaritma dapat mencapai kedelapan lapisan pemahaman Pirie-Kieren dengan cukup baik serta mengalami dua bentuk folding back yaitu bekerja pada lapisan lebih dalam dan mengumpulkan lapisan lebih dalam. Sedangkan subjek yang memiliki kemampuan matematika sedang, ketika menyelesaikan soal logaritma dapat mencapai hingga lapisan ketujuh saja yaitu structuring dan hanya mengalami satu bentuk folding back yaitu bekerja pada lapisan lebih dalam.

(7)

x

DAFTAR ISI

halaman

SAMPUL DALAM ... i

MOTTO ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Batasan Penelitian ... 6

F. Definisi Operasional ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

A. Pemahaman Matematis ... 7

(8)

C. Lapisan Pemahaman dan Folding Back Teori Pirie-

Kieren ... 11

D. Kemampuan Matematika ... 20

E. Logaritma ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

A. Jenis Penelitian ... 27

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

C. Subjek Penelitian ... 27

D. Teknik Pengumpulan Data ... 28

E. Instrumen Penelitian ... 29

F. Keabsahan Data ... 31

G. Teknik Analisis Data ... 31

H. Prosedur Penelitian ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 39

A. Lapisan pemahaman dan Folding Back Siswa Berkemampuan Matematika Tinggi dalam Menyelesaikan Soal Logaritma... 39

B. Lapisan pemahaman dan Folding Back Siswa Berkemampuan Matematika Sedang dalam Menyelesaikan Soal Logaritma... 73

BAB V PEMBAHASAN ... 101

A. Pembahasan Profil Lapisan pemahaman dan Folding- Back Siswa Berkemampuan Matematika Tinggi dan Sedang dalam Menyelesaikan Soal Logaritma di Kelas X – IPA1 SMA Negeri 1 Driyorejo ... 101

B. Diskusi Hasil Penelitian ... 107

BAB VI PENUTUP ... 109

A. Simpulan ... 109

B. Saran ... 110

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Zulkardi menyatakan bahwa “mata pelajaran matematika menekankan pada konsep”. Artinya dalam mempelajari matematika peserta didik harus memahami konsep matematika terlebih dahulu agar dapat menyelesaikan soal-soal dan mampu mengaplikasikan pembelajaran tersebut di dunia nyata dan mampu mengembangkan kemampuan lain yang menjadi tujuan dari pembelajaran matematika. Pemahaman terhadap konsep-konsep matematika merupakan dasar untuk belajar matematika secara bermakna1. Sehingga, pemahaman dalam matematika sangat penting agar siswa mampu menyerap arti atau konsep dari materi yang dipelajari.

Lebih lanjut, Hiebert dan Carpenter menyatakan “One of the most widely accepted ideas within the mathematics education community is the idea that student should understand mathematics”2. Pernyataan Hiebert dan Carpenter dapat diartikan bahwa yang paling penting dalam pembelajaran matematika adalah ide yang seharusnya dipahami siswa. Sependapat dengan Hiebert dan Carpenter, The National Council of Teachers of Mathematics menyatakan bahwa pemahaman matematis merupakan aspek yang penting dalam pembelajaran matematika3. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran matematika, salah satu aspek yang perlu ditekankan adalah pemahaman matematis yang dimiliki siswa.

Pemahaman merupakan topik yang menarik. Berbagai teori telah muncul untuk menjelaskan pertumbuhan pemahaman matematis. Beberapa teori tersebut antara lain Teori Skemp pada tahun 1987, Teori Hiebert dan Carpenter tahun 1992, Teori Pirie dan Kieren tahun 1994, 1

Angga Murizal, Yarman, dan Yerizon, “Pemahaman Konsep Matematis dan Model Pembelajaran Quantum Teaching. Jurnal Pendidikan Matematika FMIPA UP , 1: 1, (2012), 20.

2Juan D. Godino, Doctoral Dissertation: “Mathematical Concepts, Their Meanings, and

Understanding (Spain: University of Granada, 2010), 1.

3

Indah Wahyu Utami – Abdul Haris Rosyidi, M. Pd, “ Profil Lapisan Pemahaman

(10)

2

serta Teori Sierpinska pada tahun 1994 dan masih banyak lagi. Teori-teori tersebut memiliki pendapat yang sama yaitu pemahaman seseorang berada pada pikirannya sendiri. Pemahaman seseorang dapat berubah setiap waktu. Seseorang dapat dikatakan paham diketahui dari hasil analisis fakta yang ada4. Sehingga, pada penelitian ini diasumsikan pemahaman siswa dapat diketahui melalui penjelasan siswa dalam mengerjakan soal dan interaksi yang terjadi antara subjek dan peneliti.

Pirie dan Kieren telah memberikan kerangka teoritis tentang delapan level (lapisan) pemahaman. Bruner dan Piaget dalam sebagian besar karyanya sendiri berkonsentrasi pada pengembangan pengetahuan matematika di usia dini, jarang melampaui masa remaja, namun Dubinsky tertarik melakukan penelitian dengan pendekatan yang sama dan diperluas untuk topik yang lebih tinggi hingga materi pelajaran matematika bagi sekolah menengah atas bahkan perguruan tinggi. Ketika itu Dubinsky melihat kemungkinan, tidak hanya untuk membahas dan menduga, tetapi untuk memberikan bukti yang menunjukkan bahwa konsep-konsep seperti induksi matematika, proposisi dan kalkulus predikat, fungsi sebagai proses dan objek, kebebasan linear, dan seterusnya, dapat dianalisis dalam hal perpanjangan/perluasan dari gagasan yang sama seperti yang dilakukan Piaget5.

Hampir semua teori pemahaman di atas kecuali Teori Pirie – Kieren menganggap bahwa pemahaman merupakan proses yang linear. Pirie – Kieren menganggap pemahaman merupakan proses pertumbuhan yang utuh, dinamis, berlapis tetapi tidak linear dan tidak pernah berakhir. Proses pemahaman ini digambarkan seperti bawang yang memiliki lapisan-lapisan. Lapisan-lapisan tersebut antara lain Primitive knowing, Image having, Image making, Property noticing, Formalising, Observing, Structuring, dan Inventising6. Sesuai dengan anggapan pemahaman merupakan proses yang tidak pernah berakhir, sehingga pemahaman pada inventising sering menjadi primitive knowing materi baru. Lapisan-lapisan pemahaman merupakan salah satu keistimewaan

4 Ibid

5Viktor Sagala, “Profil Lapisan Pemahaman Konsep Turunan Fungsi dan Bentuk Folding

Back Mahasiswa Calon Guru Berkemampuan Tinggi Berdasarkan Gender”. MATHEdunesa Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 4: 1, (Juni, 2016), 41.

6 Susan E. B. Pirie Thomas E. Kieren, "Beyond Metaphor:Formalising in Mathematical

Understanding ithin Constructivist Environments". For the Learning of Mathematics,

(11)

3

dari teori ini. Keistimewaan lain dari teori ini adalah adanya komponen-komponen penyusun tiap lapisan dan adanya folding back yang merupakan kegiatan kembali ke lapisan terdalam apabila mengalami suatu kendala dalam menyelesaikan soal atau permasalahan pada lapisan yang lebih luar.

Lapisan pemahaman Pirie-Kieren sangat berbeda dengan lapisan pemahaman lain yang telah dikemukakan oleh para ahli. Meskipun pemahaman seseorang merupakan proses yang tidak linear, tidak pernah berakhir, dan terus berkembang dari lapisan terdalam (Primitive knowing) menuju ke lapisan terluar (Inventising), akan tetapi ada kalanya seseorang kembali ke lapisan lebih dalam ketika menghadapi masalah7. Dengan kembali ke lapisan lebih dalam maka seseorang dapat lebih memperluas pengetahuan dan pemahamannya terhadap soal atau permasalahan yang dihadapi.

Pirie-Kieren membagi lapisan pemahaman menjadi delapan level pemahaman dimana semakin menuju ke lapisan terluar maka tingkat pemahaman siswa akan suatu hal tersebut semakin tinggi. Ngalim Purwanto mengungkapkan tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari matematika dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal8. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi tingkat pemahaman siswa adalah kemampuan matematika siswa itu sendiri. Kemampuan matematika siswa dapat menentukan tingkat pemahaman siswa terhadap makna dan konsep dari soal atau permasalahan yang dihadapinya.

Kemampuan matematika siswa berbeda-beda, ada yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Blinder menyatakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan matematika tinggi akan memberikan pemikiran kreatif dalam tugas matematika baru dan mnyediakan solusi bermakna dan asli. Siswa yang mempunyai kemampuan matematika tinggi akan lebih mudah mengkonstruksi pengetahuannya dibanding siswa yang mempunyai kemampuan matematika sedang dan rendah9.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pembelajaran matematika, materi logaritma merupakan satu dari materi yang masih dianggap sulit oleh siswa. Indikator yang digunakan dalam ujian nasional terkait logaritma adalah menentukan penyelesaian pertidaksamaan eksponen

7 Viktor Sagala, Op. Cit., hal 46.

8 Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 102. 9Khoirun Nisa’, Tesis: “Beban Kognitif Siswa pada Pembelajaran Matematika dengan

(12)

4

atau logaritma. Berdasarkan laporan hasil ujian nasional oleh BSNP dan Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendikbud. Pada tahun 2014, rata-rata kelulusan untuk indikator tersebut tingkat nasional yaitu masih cukup rendah yaitu 59,0410. Kurangnya tingkat kelulusan siswa dalam mengerjakan soal logaritma dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah perbedaan kemampuan matematika siswa.

Indah dan Haris Rosyidi melakukan penelitian tentang lapisan pemahaman Pirie-Kieren yang keempat yaitu Property noticing pada materi logaritma. Indah dan Haris Rosyidi dalam penelitiannya menemukan bahwa sering kali siswa melakukan kesalahan dalam pengaplikasian sifat-sifat logaritma dikarenakan tidak dapat memanipulasi sifat dasar logaritma untuk menyelesaikan soal tertentu11. Kesalahan tersebut dapat disebabkan karena siswa belum benar-benar memahami konsep-konsep yang ada pada materi logaritma.

Viktor Sagala juga melakukan penelitian terkait lapisan pemahaman dan folding back pada konsep turunan fungsi. Penelitian tersebut dilakukan pada mahasiswa calon guru yang berkemampuan matematika tinggi saja. Dalam penelitiannya, Viktor Sagala mendapatkan hasil bahwa mahasiswa calon guru yang berkemampuan matematika tinggi dapat mencapai hingga lapisan terluar menurut teori lapisan pemahaman Pirie-Kieren12. Hal tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa yang berkemampuan matematika tinggi memiliki tingkat pemahaman yang baik pada konsep turunan fungsi. Penelitian tersebut hanya meneliti mahasiswa berkemampuan matematika tinggi saja, sehingga kita belum mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman matematis siswa dengan kemampuan matematika yang berbeda menurut teori Pirie-kieren.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Profil Lapisan Pemahaman dan Folding Back Siswa SMA dalam Menyelesaikan Soal Logaritma Ditinjau

dari Kemampuan Matematika”.

10 Indah Wahyu Utami Abdul Haris Rosyidi, M. Pd, “ Profil Lapisan Pemahaman

Propertiy Noticing Siswa pada Materi Logaritma Ditinjau dari Perbedaan Jenis Kelamin”, MATHEdunesa Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 1: 5, (2016), 22.

11 Ibid, hal 25 12

(13)

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana profil lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA yang berkemampuan matematika tinggi dalam menyelesaikan soal logaritma?

2. Bagaimana profil lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA yang berkemampuan matematika sedang dalam menyelesaikan soal logaritma?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan profil lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA yang berkemampuan matematika tinggi dalam menyelesaikan soal logaritma.

2. Untuk mendeskripsikan profil lapisan pemahaman dan bentuk folding back siswa SMA yang berkemampuan matematika sedang dalam menyelesaikan soal logaritma.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

khasanah keilmuan, khususnya dalam bidang pendidikan matematika mengenai profil lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA dalam menyelesaikan soal logaritma ditinjau dari kemampuan matematika.

2. Manfaat praktis dari penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada pihak sekolah mengenai profil lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA dalam menyelesaikan soal logaritma ditinjau dari kemampuan matematika sehingga dapat memberikan pengajaran yang lebih baik lagi untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa.

(14)

6

E. Batasan Penelitian

Agar pembahasan masalah dari penelitian ini tidak meluas ruang lingkupnya, penulis membatasi konsep logaritma yang diangkat dalam penelitian ini adalah permasalahan pada sub materi menentukan himpunan penyelesaian dari pertidaksamaan logaritma. Untuk tinjauan penelitiannya dibatasi pada siswa yang berkemampuan matematika tinggi dan sedang saja dikarenakan dikhawatirkan siswa yang berkemampuan matematika rendah tidak dapat menyelesaikan soal yang diberikan sehingga hasil penelitian yang diinginkan tidak dapat tercapai.

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari perbedaan penafsiran, maka perlu dijelaskan beberapa istilah yang didefinisikan sebagai berikut:

1. Profil adalah gambaran alami proses dan hasil tentang sesuatu yang diungkapkan dengan kata-kata atau gambar.

2. Pemahaman merupakan tingkat kemampuan yang mengharapkan siswa mampu memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya.

3. Lapisan pemahaman adalah proses pertumbuhan yang utuh, dinamis, berlapis tetapi tidak linear dalam memahami sesuatu. Lapisan-lapisan pemahaman dalam penelitian ini menggunakan Teori Pirie-Kieren antara lain: Primitive knowing (Pk), Image making (Im), Image having (Ih), Property noticing (Pn), Formalising (F), Observing (O), Structuring(S), dan Inventising (Iv).

4. Folding Back adalah kegiatan kembali ke lapisan lebih dalam ketika seseorang mengalami kendala dalam menyelesaikan soal pada lapisan yang lebih luar untuk memperluas pengetahuannya. 5. Kemampuan Matematika adalah kemampuan individu peserta

(15)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pemahaman Matematis

Pemahaman berasal dari kata dasar “paham”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pemahaman berarti proses atau cara atau tindakan memahami atau memahamkan sesuatu1. Sehingga dari segi bahasa, pemahaman matematis merupakan proses atau cara atau tindakan memahami atau memahamkan konsep matematika.

Krathwohl menjelaskan bahwa memahami adalah menentukan makna dari pembelajaran termasuk lisan, tertulis, gambar dan komunikasi2. Pemahaman dalam revisi taksonomi Bloom merupakan jenjang kognitif C2 yang berada di atas jenjang mengingat. Memahami merupakan kegiatan menerangkan ide atau konsep yang di dalamnya terdapat kegiatan menginterpretasikan, merangkum, mengelompokkan, atau menerangkan suatu topik tertentu3. Hal ini menandakan bahwa pemahaman merupakan jenjang dasar sebelum menerangkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi.

Disisi lain, menurut Brownell dan Sims pemahaman matematis merupakan sebuah konsep yang susah didefinisikan dan dinyatakan4. Definisi secara pasti tentang paham atau pemahaman tidak mudah untuk diformulasikan. Sehingga terdapat berbagai kerangka pemikiran tentang apa itu pemahaman. Brownell dan Sims menyatakan bahwa pemahaman disamakan dengan pembangunan koneksi dalam konteks operasi algoritma dan pemecahan masalah5. Selanjutnya, Haylock mendefinisikan pemahaman sebagai sesuatu untuk membuat koneksi kognitif.6

1Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”

(Jakarta: Balai Pustaka, 2002).

2 Indah Wahyu Utami Abdul Haris Rosyidi, M. Pd, Op. Cit., hal 22.

3 Dr. Kusaeri, M. Pd., “Acuan & Teknik Penilaian Proses & Hasil Belajar dalam Kurikulum 2013” (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014).

4 David E. Meel, Models and Theories of Mathematical Understanding: Comparing Pirie and Kieren’s Model of The Growth of Mathematical Understanding and APOS Theory”,

CBMS Issue in Mathematical Education, 12, (2003), 133.

5 ibid

(16)

8

Pada dasarnya, pemahaman matematis didasarkan pada representasi internal. Namun, dalam pembelajaran dan penilaiannya digunakan representasi eksternal dari sebuah konsep. Representasi eksternal yang dimaksud semisal penulisan simbol, cara mengkomunikasikan, bahasa matematika yang digunakan, gambar dan objek atau benda nyata yang digunakan untuk mengkomunikasikan konsep matematika7.

Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan beberapa tokoh, terdapat sebuah kesamaan yaitu pemahaman merupakan aksi maupun hasil dari sebuah aksi yang mengasosiasikan berbagai representasi dengan konsep. Representasi ini merupakan representasi eksternal dan internal. Lebih lanjut, pemahaman dapat disimpulkan sebagai kemampuan untuk membuat koneksi dari berbagai representasi baik internal maupun eksternal. Sedangkan pemahaman matematis dapat disimpulkan sebagai kemampuan menggunakan atau mengaplikasikan konsep matematika dalam menyelesaikan permasalahan terkait algoritma serta dapat memberikan argumen atas kebenaran langkahnya.

B. Folding Back

Folding back adalah proses kembali ke sebuah lapisan yang lebih dalam dari lapisan tertentu. Folding back terjadi ketika siswa dihadapkan pada sebuah masalah pada lapisan yang lebih luar tetapi tidak dengan cepat dapat memecahkannya sehingga kembali pada sebuah lapisan yang lebih dalam8. Hasil dari folding back idealnya adalah siswa mampu memperluas pemahamannya pada lapisan yang lebih dalam sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah pada lapisan yang lebih luar.

Folding back bertujuan untuk memperluas pemahaman pada lapisan yang lebih dalam sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada lapisan lebih luar9. Folding back

7 Barmby, Harries, Higgins, and Suggate, "How Can We Assess Mathematical

Understanding?". Proceedings of The 31th Conference of The International Group for The Psychology of Mathematics Education, 2, (2007), 2.

8Susiswo, “Folding Back Mahasiswa dalam Menyelesaikan Masalah Limit Berdasarkan

Pengetahuan Konseptual dan Pengetahuan Prosedural”, Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) Universitas Negeri Malang,(Desember, 2014), 6.

(17)

9

tidak selalu kembali pada lapisan primitive knowing, tetapi folding back kembali ke lapisan yang dibutuhkan. Sebagai contoh, folding back ke lapisan image making mungkin dengan melakukan aksi fisik seperti menggambar diagram, memanipulasi atau bermain dengan angka.

Slaten menjelaskan bahwa terdapat effective folding back dan ineffective folding back. Effective folding back ketika seseorang dapat menggunakan perluasan pemahaman yang didapat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Sedangkan ineffective folding back ketika seseorang tidak dapat menggunakan pemahaman yang telah diperoleh. Ineffective folding back tidak mengindikasikan tidak terjadi folding back10. Sehingga, kegiatan folding back mungkin saja dilakukan oleh seseorang tetapi tidak semua orang yang melakukan folding back dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.

Susiswo menjelaskan ada empat kemungkinan bentuk kembalinya subjek ke lapisan pemahaman yang lebih dalam yaitu; “bekerja pada lapisan lebih dalam” dimana saat mengalami permasalahan subjek bekerja pada lapisan lebih dalam tanpa keluar topik, “mengumpulkan lapisan lebih dalam” dimana ketika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal subyek membaca kembali seluruh hasil pengerjaannya dan berusaha memahaminya dengan cara baru, “keluar topik” dimana subyek kembali ke lapisan primitive knowing bekerja pada perluasan topik lain secara efektif tetapi terpisah dengan topik utama, dan “menyebabkan diskontinu” maksudnya yaitu subjek mengalami keterbatasan pemahaman untuk menyelesaikan soal kemudian berusaha mencari cara lain untuk menyelesaikan soal namun hal tersebut tidak dapat membantu menyelesaikan soal dikarenakan tidak relevan dengan tujuan pencapaian soal11. Aksi mundurnya dari lapisan lebih luar ke lapisan lebih dalam, kemudian kemungkinan berbalik maju ke lapisan lebih luar, dapat digambarkan berupa “lintasan folding back”. Berikut tabel indikator empat macam bentuk folding back menurut Susiswo:

10 Kelli M. Slaten, "Effective Folding Back via Student Research of The History of

Mathematics", Proceedings of The 13th Annual Conference on Research in Undergraduate Mathematics Education, (2010), 4.

11Viktor Sagala, “Profil Lapisan Pemahaman Konsep Turunan Fungsi dan Bentuk Folding

(18)

10

Tabel 2.1

Macam-macam Folding back

Bentuk Folding back Indikator

1. Bekerja pada lapisan yang lebih dalam

 Subjek mengalami keterbatasan pemahaman pada lapisan lebih luar kemudian kembali ke lapisan lebih dalam

 Subjek bekerja pada lapisan lebih dalam tanpa keluar topik

 Subjek bekerja menggunakan pengetahuan yang sudah ada. 2. Mengumpulkan lapisan

yang lebih dalam

 Subjek membaca kembali hasil pengerjaannya pada lapisan lebih dalam dengan cara baru untuk mendapatkan pengetahuan sebelumnya untuk tujuan tertentu. 3. Keluar dari topik  Subjek kembali ke lapisan

primitive knowing

 Subjek bekerja pada perluasan topik lain secara efektif tetapi terpisah dengan topik utama. 4. Menyebabkan

diskontinu

 Subjek kembali ke lapisan lebih dalam tetapi tidak berelasi dengan pemahamannya yang ada  Subjek tidak dapat memandang

relevansi atau koneksi antara pemahamnnya yang ada dengan aktivitas baru atau masalah yang sedang dikerjakan.

C. Lapisan Pemahaman dan Folding Back teori Pirie-Kieren

(19)

11

memahami, atau memahamkan12. Dalam hal ini lapisan pemahaman dapat diartikan sebagai tingkatan pemahaman seseorang yang ditunjukkan ketika mengerjakan sesuatu untuk memahami hal tertentu.

Banyak sekali ilmuwan yang meneliti tentang tingkat pemahaman seseorang. Menurut Krathwohl, memahami adalah menentukan makna dari pembelajaran termasuk lisan, tertulis, gambar dan komunikasi. Di dalam proses memahami terdapat proses menafsirkan (interpreting), mencontohkan (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying), merangkum (summarizing), menyimpulkan (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaning)13. NCTM menjelaskan bahwa untuk mengetahui pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap konsep matematika dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam: (1) Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; (2) Mengidentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh; (3) Menggunakan model, diagram dan simbol-simbol untuk merepresentasikan suatu konsep; (4) Mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk lainnya; (5) Mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; (6) Mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang menentukan suatu konsep; (7) Membandingkan dan membedakan konsep-konsep14. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka kita dapat mengartikan lapisan atau tingkat pemahaman seseorang merupakan sejauh mana seseorang berproses dalam menyelesaikan suatu soal atau permasalahan.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Skemp mengutarakan pemahaman terdiri dari (1) pemahaman instrumental dimana siswa mampu menghapal rumus/prinsip, dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana dan mengerjakan pehitungan secara algoritmik; (2) pemahaman relasional, dimana siswa mampu mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar serta menyadari prosesnya15. Sedangkan Dubinsky memperkenalkan teori APOS yang berkaitan dengan lapisan pemahaman yang menguraikan tentang bagaimana kegiatan mental seorang siswa yang berbentuk aksi (actions), proses (process), obyek

12 Diakses dari http://kbbi.web.id/paham, pada tanggal 13 Desember 2016 13 ibid

14 Angga Murizal, Yarman, dan Yerizon, “Pemahaman Konsep Matematis dan Model

Pembelajaran Quantum Teaching. Jurnal Pendidikan Matematika FMIPA UP , 1: 1, (2012), 20-21.

15 Richard R. Skemp, “Relational Understanding and Instrumental Understanding”,

(20)

12

(objects), dan skema (schema) ketika mengkonstruksi konsep matematika. Pirie – Kieren juga telah melakukan berbagai penelitian dengan subjek siswa sekolah menengah atas bahkan mahasiswa16. Pirie – Kieren mempresentasikan pemahaman matematis menjadi delapan lapisan antara lain: primitive knowing, image making, image having, property noticing, formalising, observing, structuring,dan inventising17. Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas, maka dapat kita ketahui bahwa terdapat banyak sekali bentuk-bentuk pemahaman seseorang. Setiap orang dapat diklasifikasikan jenis pemahamannya dilihat dari apa yang ia lakukan dalam berproses mengerjakan suatu soal atau masalah tertentu.

Teori Pirie – Kieren ini lebih dikenal dengan lapisan-lapisan pemahaman matematis. Teori ini bermula pada pendapat bahwa pemahaman sebagai sebuah proses pertumbuhan yang utuh, dinamis, berlapis tetapi tidak linear dan merupakan proses yang berulang-ulang18. Pirie – Kieren berpendapat bahwa pemahaman didefinisikan sebagai berikut19:

“Mathematical understanding can be characterized a leveled but non-linear. It is a recursive phenomenon and recursion is seen to occur when thinking moves between levels of sophistication…. Indeed each level of understanding is contained within succeeding levels. Any particular level is dependent on the forms and processes within and further, is constrained by those without.”

Definisi di atas menunjukkan bahwa menurut Pirie – Kieren, pemahaman matematis dapat digolongkan menjadi beberapa lapisan yang tidak linear. Pemahaman matematis merupakan fenomena rekursif yaitu adanya pengulangan proses untuk mendapatkan sebuah

16David Tall, “Reflections on APOS theory in Elementary and Advanced Mathematical Thinking”. Published in O. Zaslavsky (Ed.), Proceedings of the 23rd Conference of PME, Haifa, Israel, 1, (1999), 3.

17 Indah Wahyu Utami Abdul Haris Rosyidi, M. Pd, “ Profil Lapisan Pemahaman

Propertiy Noticing Siswa pada Materi Logaritma Ditinjau dari Perbedaan Jenis Kelamin”, MATHEdunesa Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 1: 5, (2016), 24.

18 Susan Piere and Lyndon Martin, "The Role of Collecting in the Growth of Mathematical

Understanding", Mathematics Education Research Journal, 12: 2, (2000), 127.

19Signe E. Kastberg, Doctoral Dissertation: “Understanding Mathematical Concepts: The

(21)

13

pemahaman. Pengulangan itu terjadi ketika akan mendapatkan pemahaman baru dibutuhkan pengetahuan yang telah di dapat sebagai modal utama. Sehingga, teori ini menolak konsep bahwa pemahaman merupakan proses yang linear dan naik secara monoton.

Pirie – Kieren merepresentasikan pemahaman matematis menjadi delapan lapisan antara lain: Primitive knowing(Pk), Image making (Im), Image having (Ih), Property noticing (Pn), Formalising (F), Observing (O), Structuring (S), dan Inventising (Iv) kemudian mereka menjelaskan indikator lapisan demi lapisan pemahaman tersebut sebagai berikut20: 1. Primitive knowing (pengetahuan sederhana) merupakan usaha awal

yang dilakukan oleh siswa dalam memahami definisi baru, membawa pengetahuan sebelumnya ke lapisan pemahaman selanjutnya melalui aksi yang melibatkan definisi atau merepresentasikan definisi.

2. Image making (membuat gambaran) merupakan tahapan dimana siswa membuat pemahaman dari pengetahuan sebelumnya dan menggunakannya dalam pengetahuan baru.

3. Image having (memiliki gambaran) merupakan tahapan dimana siswa sudah memiliki gambaran mengenai suatu topik dan membuat gambaran mental mengenai topik itu tanpa harus mengerjakan contoh-contoh.

4. Property noticing(memperhatikan sifat) merupakan tahapan dimana siswa mampu mengkombinasikan aspek-aspek dari sebuah topik untuk membentuk sifat spesifik terhadap topik itu.

5. Formalising (memformalkan) merupakan tahapan dimana siswa membuat abstraksi suatu konsep matematika berdasarkan sifat-sifat yang muncul.

6. Observing (mengamati) merupakan tahapan dimana siswa mengkordinasikan aktivitas formal pada level formalising sehingga mampu menggunakannya pada permasalahan terkait yang dihadapinya, siswa juga mampu mengaitkan pemahaman konsep matematika yang dimilikinya dengan struktur pengetahuan baru . 7. Structuring (penataan) merupakan tahapan dimana siswa mampu

mengaitkan hubungan antara teorema satu dengan teorema lainya dan mampu membuktikannya dengan argumen yang logis.

(22)

14

8. Inventising(penemuan) merupakan tahapan dimana siswa memiliki sebuah pemahaman terstruktur lengkap dan mampu menciptakan pertanyaan-pertanyaan baru yang tumbuh menjadi sebuah konsep yang baru. Pemahaman matematis siswa tidak terbatasi dan melampaui struktur yang ada sehingga mampu menjawab pertanyaan “what if?”21.

Gambar 2.1

Level Pertumbuhan Pemahaman Matematis Model Pirie-Kieren

Meel mengaitkan teori APOS dari Dubinsky dan teori pemahaman Pirie – Kieren seperti berikut ini; Lapisan primitive knowing dan image making berkorespondensi dengan konsepsi aksi, lapisan image having dan property noticing berkorespondensi dengan konsepsi proses, lapisan formalising dan observing berkorespondensi dengan konsepsi objek,dan lapisan structuring dan inventising berkorespondensi dengan konsepsi skema. Lebih jelas keterkaitan teori APOS Dubinsky dengan deskriptor teori pemahaman Pirie-Kieren menurut Fatrima dan Dodi dapat dilihat pada tabel berikut ini22:

21 Ibid, hal 6.
(23)

15

Tabel 2.2

Keterkaitan Teori APOS Dubinsky dan Teori Pemahaman Pirie – Kieren

Teori APOS dari Dubinsky Teori Pemahaman Pirie- Kieren

Lapisan pemaha-man

Deskriptor Lapisan

pemahaman Deskriptor

Aksi (Action)

 Siswa mampu mentransformas i objek sebagai kegiatan eksternal dengan melakukan perhitungan secara bertahap  Siswa hanya

mengetahui bagaimana melakukan operasi jika diberikan perintah yang jelas

 Siswa belum mampu mengintrepretas ikan suatu situasi sebagai sebuah fungsi kecuali memiliki sebuah formula tunggal serta mampu menentukan nilai fungsi Lapisan 1 (Pk)

 Siswa mempunyai pemahaman awal yang berkaitan dengan topik  Siswa dapat

menjelaskan pengetahuan sederhana yang dimiliki Lapisan 2 (Im)

(24)

16

tersebut. melalui

contoh-contoh

Proses (Process)

 Siswa mampu membangun konstruksi mentalnya setelah melakukan aksi secara berulang-ulang dan melakukan refleksi terhadap aksi tersebut Siswa dapat

berpikir tentang aksi yang sama tanpa

memerlukan stimulus dari luar

 Siswa mampu memahami suatu konsep matematika yang melibatkan imajinasi dalam mentransformas ikan objek mental atau fisik sebagai aktivitas internal dan terkontrol  Siswa dapat

melakukan perhitungan

Lapisan 3 (Ih)

 Siswa telah memiliki gambaran abstrak tentang suatu materi tanpa mengerjakan contoh-contoh. Lapisan 4 (Pn)

 Siswa dapat menghubungkan gambaran abstrak yang dimiliki dengan konsep dan sifat-sifat pada suatu materi  Siswa mampu

(25)

17

tanpa

melakukannya secara aktual  Siswa mampu

menjelaskan tahapan pengerjaan dari tahap aksi dengan penjelasan dan kata-kata sehingga siswa memiliki pemahaman secara prosedural. Objek (Object)

 Siswa mampu memahami suatu konsep matematika sebagai suatu penerapan dari aksi dan proses  Siswa mampu

memperlakukan ide atau konsep sebagai objek kognitif yang mencakup kemampuan untuk melakukan aksi dari suatu objek, serta memberikan alasan atau penjelasan tentang sifat-sifatnya. Lapisan 5 (F)

 Siswa mampu mengaplikasikan sifat-sifat yang telah diketahui pada level sebelumnya Lapisan 6 (O)

(26)

18

 Siswa bisa menunjukkan pemahaman konseptual.

Skema (Schema)

 Siswa mampu memecahan masalah dari kumpulan aksi,proses, objek, dan skema lain yang saling berkaitan untuk konsep tertentu dalam pikiran seseorang  Siswa mampu

mengulang kembali empat tahap yang telah ditempuh  Siswa telah

memiliki kemampuan untuk mengkonstruk contoh-contoh suatu konsep matematika sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki konsep tersebut  Siswa mampu

mengaitkan aksi,proses, dan objek untuk menyelesaikan Lapisan 7 (S)

 Siswa mampu menyusun pekerjaan/tugas yang diberikan berdasarkan pengamatan dan proses pemahaman pada level sebelumnya  Siswa telah

mampu menyelesaikan tugas yang diberikan secara terstruktur dan lengkap  Siswa dapat

membuktikan hasil pekerjaannya dengan argumen yang logis Lapisan 8 (Iv)

 Siswa mampu membuat pertanyaan baru dari

permasalahan atau materi yang mereka pelajari.  Siswa dapat

(27)

19

suatu

permasalahan.

terstruktur setelah menyelesaikan tugas sehingga mampu menjawab pertanyaan “what if?”

Selanjutnya menurut Piere – Kieren, meskipun pemahaman konsep seseorang bertumbuh dari lapisan terdalam (primitive knowing) menuju ke lapisan terluar (inventising), akan tetapi adakalanya seseorang kembali ke lapisan lebih dalam ketika menghadapi masalah. Aksi kembali ke lapisan yang lebih dalam ini disebut folding back23.

Hal penting lainnya pada model pertumbuhan pemahaman Pirie – Kieren adalah adanya intervensi. Ketika siswa menemui masalah pada level tertentu sehingga pemahamannya pada level tersebut tidak cukup untuk dapat bergerak ke lapisan yang lebih luar maupun lapisan yang lebih dalam, maka guru perlu melakukan intervensi. Terdapat dua jenis intervensi pada model pertumbuhan pemahaman Pirie dan Kieren, yaitu intervensi invokatif dan intervensi provokatif. Intervensi invokatif terjadi ketika intervensi diberikan saat siswa menemui masalah pada level tertentu sehingga pemahamannya pada level tersebut tidak cukup untuk dapat bergerak ke lapisan yang lebih dalam. Di pihak lain, intervensi provokatif terjadi ketika intervensi diberikan saat siswa menemui masalah pada level tertentu sehingga pemahamannya pada level tersebut tidak cukup untuk dapat bergerak ke lapisan yang lebih luar24.

D. Kemampuan Matematika

23Viktor Sagala, “Profil Lapisan Pemahaman Konsep Turunan Fungsi dan Bentuk Folding

Back Mahasiswa Calon Guru Berkemampuan Tinggi Berdasarkan Gender”. MATHEdunesa Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 4: 1, (Juni, 2016), 47.

(28)

20

Kemampuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti (1) kesanggupan, kecakapan, kekuatan; (2) kekayaan25. Pengertian kemampuan (ability) dalam model three rings dari Renzulli adalah kecerdasan yang biasa diukur dengan tes-tes intelegensi26. Sedangkan menurut Uno, “ kemampuan adalah merujuk pada kinerja seseorang dalam suatu pekerjaan yang bisa dilihat dari pikiran, sikap, dan perilakunya27. Dalam penelitian ini yang dimaksud kemampuan adalah kesanggupan atau kecakapan yang dimiliki seseorang dalam menyelesaikan suatu soal yang bisa dilihat dari pikiran, sikap, dan perilakunya serta dari tes-tes intelegensi yang diberikan kepadanya.

Kemampuan terbagi menjadi dua, yaitu kemampuan intelektual (intelectual ability) dan kemampuan fisik (physical ability). Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas mental (berpikir, menalar, dan memecahkan masalah). Dalam belajar matematika diperlukan kemampuan intelektual. Hal ini dikarenakan ketika siswa belajar matematika berarti siswa melakukan berbagai aktivitas mental yang meliputi berpikir, bernalar, dan memecahkan masalah. Kemampuan intelektual siswa mempengaruhi kemampuan siswa dalam bernalar. Kemampuan fisik adalah kemampuan melakukan tugas yang menuntut stamina, keterampilan, kekuatan, dan karakteristik serupa28.

Syaban menjelaskan bahwa kemampuan matematika (mathematical abilities) adalah pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk dapat melakukan manipulasi matematika meliputi pemahaman konsep dan pengetahuan prosedural. Hal-hal yang termasuk dalam pemahaman konsep adalah kemampuan bernalar (ability to reason), mengidentifikasi dan mengaplikasi prinsip-prinsip (identify and apply principles), kemampuan memanipulasi ide-ide tentang pemahaman konsep dalam berbagai cara (ability to manipulate about the understanding of a concept in a variety of ways). Sedangkan hal-hal

25 Hasan Alwi, dkk, Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,

2002), 707

26 Reni Akbar Huwadi, Akselerasi A-Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak

Berbakat Intelektual, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), 56.

27 Luvia F. P Dr. Janet T. M, M. Pd, “Identifikasi Kemampuan Matematika Siswa dalam Memecahkan Masalah Aljabar di Kelas VIII Berdasarkan Taksonomi SOLO”, diakses dari http//jurnalmahasiswa.unesa.ac.id, pada tanggal 15 Desember 2016

28 Devi Rovina, Tesis: “Kreativitas Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah Luas

Bangun Datar Sisi Lurus Ditinjau dari Kemampuan Matematika”. ( Surabaya: UNESA,

(29)

21

yang termasuk dalam pengetahuan prosedural adalah kemampuan membaca (ability to read), kemampuan untuk membuat grafik dan tabel (ability to produse graph and tables), memilih dan menggunakan prosedur yang benar (select and apply appropriate procedures correctly)29. Kemampuan matematika siswa berbeda-beda, ada yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.

Blinder menyatakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan matematika tinggi akan memberikan pemikiran kreatif dalam tugas matematika baru dan menyediakan solusi bermakna dan asli. Siswa yang mempunyai kemampuan matematika tinggi akan lebih mudah mengkonstruksi pengetahuannya dibanding siswa yang mempunyai kemampuan matematika sedang dan rendah30. Namun, Wallach menunjukkan bahwa mencapai skor tertinggi pada skor akademis belum tentu mencerminkan potensi untuk kinerja kreatif31.

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Retna, Mubarokah dan Suhartatik menyatakan bahwa siswa dengan kemampuan matematika tinggi mampu menyatakan apa yang diketahui dalam soal dengan menggunakan bahasa sendiri, mampu menyatakan apa yang ditanya dalam soal dengan menggunakan bahasa sendiri, membuat rencana penyelesaian dengan lengkap, mampu menyatakan langkah-langkah yang ditempuh dalam soal menggunakan konsep yang pernah dipelajari, dan mampu memperbaiki jawaban. Siswa dengan kemampuan matematika sedang mampu menyatakan apa yang diektahui dalam soal menggunakan bahasa sendiri, mampu menyatakan apa yang ditanya dalam soal menggunakan bahasa sendiri, mampu membuat rencana penyelesaian tetapi tidak lengkap, kurang mampu menyatakan langkah-langkah penyelesaian dengan menggunakan konsep yang pernah dipelajari, dan kurang mampu memperbaiki jawaban. Siswa dengan kemampuan matematika rendah kurang mampu menyatakan apa yang diketahui dalam soal dengan menggunakan bahasa sendiri, kurang mampu menyatakan apa yang ditanya dalam soal mengunakan bahasa sendiri, tidak membuat rencana penyelesaian soal, tidak mampu

29Khoirun Nisa’, Tesis: “Beban Kognitif Siswa pada Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Media Power Point Ditinjau dari Kemampuan Matematika”. (Surabaya: UNESA, 2014), 28.

30 ibid

31 Nurul Ulfiah, “Proses Berpikir Kreatif Siswa Kelas VII-D SMP Negeri 19 Malang

(30)

22

menyatakan langkah-langkah penyelesaian menggunakan konsep yang pernah dipelajari, dan tidak mampu memperbaiki jawaban32. Kemampuan matematika siswa dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa menggunakan segala pengetahuan dan keterampilannya dalam menyelesaikan soal-soal matematika.

E. Logaritma

Logaritma merupakan kebalikan dari perpangkatan. Pada materi logaritma terdapat sub materi pertidaksamaan logaritma. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang lapisan pemahaman dan folding back siswa dalam menyelesaikan soal pertidaksamaan logaritma.

Pada lapisan pemahaman primitive knowing, siswa dikatakan dapat mencapai lapisan pemahaman primitive knowing apabila sudah memiliki pemahaman sederhana tentang soal pertidaksamaan logaritma.Siswa sudah mengetahui apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal.

Lapisan pemahaman yang kedua yaitu image making (membuat gambaran) dapat dicapai siswa ketika siswa sudah mengetahui bahwa langkah-langkah dalam menyelesaikan pertidaksamaan logaritma hampir sama dengan cara penyelesaian pada persamaan logaritma. Hanya saja lebih memperhatikan tanda ketidaksamaanya. Untuk mencari himpunan penyelesaian dari pertidaksamaan logaritma, siswa harus mencari daerah penyelesaian dari syarat pertidaksamaan dan syarat numerus terlebih dahulu.

Perlu diingat bahwa fungsi logaritma hanya berlaku pada bilangan positif, sehingga pada lapisan image having (mempunyai gambaran) siswa sudah dapat membuat gambaran abstrak langkah-langkah penyelesaian soal pertidaksamaan logaritma dengan memperhatikan syarat-syarat berikut:

Jika , maka langkah-langkah penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

(i) syaratnya: dan

(ii) kemudian selesaikan dengan jika dan jika

32 Milda Retna, Lailatul Mubarokah, dan Suhartatik, “Proses Berpikir Siswa Dalam

(31)

23

Selanjutnya pada lapisan pemahaman property noticing, siswa memperhatikan konsep ataupun sifat yang berkaitan dengan logaritma agar dapat memanipulasi soal sehingga mudah untuk dicari himpunan penyelesaiannya.

Perhatikan persamaan berikut ini :

dengan dan

Apabila solusinya ada, maka solusinya adalah suatu bilangan real yang dinotasikan dengan a log c ( dibaca : logaritma dari c dengan bilangan pokok a ) atau dituliskan a log c.

(Pertanyaan : Kapan solusinya ada?, sehingga bentuk a log c akan bermakna manakala. . . .)

Secara umum didefinisikan sebagai berikut :

Definisi 2: dengan dan . Sifat-sifat yang dapat diturunkan berdasarkan definisi diatas adalah: a)

b) a

log c) a

log d) a

log e)

f) a

log a log a log g) a

log a log h) a

log a log a log i) a

log

dengan dan Contoh:

Jika 2 log , nyatakan 27 log dalam bentuk . Berdasarkan sifat i), b), dan g) dapat ditulis

27

log

Jadi, 27 log

(32)

24

diterapkan untuk menyelesaikan soal. Sifat-sifat eksponen dapat dijelaskan oleh definisi berikut:

Definisi 1 : Misalkan m dan n adalah bilangan-bilangan asli dan a adalah bilangan riel positif yang tidak sama dengan 1.

(1)

(2)

(3)

Berdasarkan definisi di atas dapat diturunkan beberapa sifat yang berkaitan dengan perpangkatan seperti berikut ini :

Sifat 1 : Untuk bilangan-bilangan asli m dan n berlaku (1)

(2) (3)

(4)

Selanjutnya pada lapisan pemahaman formalising, siswa dapat memformalkan semua pengetahuan yang dimiliki untuk mencari kebenaran dari himpunan penyelesaian pertidaksamaan logaritma. Misalkan ketika siswa menemui bentuk soal pertidaksamaan logaritma

, Siswa dapat menghitung syarat pertidaksamaan logaritma dengan memperhatika sifat logaritma dan eksponen untuk mengubah fungsi menjadi bentuk logaritma. Siswa menyelesaikan soal pada lembar jawabannya menggunakan pengetahuan awal yang sudah dimiliki.

Pada lapisan observing, siswa mengamati atau mengecek kembali langkah penyelesaian soal pertidaksamaan logaritma yang telah dikerjakan kemudian melakukan perbaikan apabila terdapat kesalahan pada penggunaan konsep atau sifat yang digunakan. Siswa dapat memperbaiki sendiri jawabannya dengan memperhatikan konsep-konsep yang berlaku dalam penyelesaian soal logaritma.

Lebih lanjut pada lapisan structuring, siswa menyusun langkah-langkah penyelesaian soal pertidaksamaan logaritma dari awal hinggga akhir berdasarkan pengamatan dan proses pada level sebelumnya. Siswa dapat menyelesaikan tugas yang diberikan dengan terstruktur dan lengkap sehingga menghasilkan himpunan penyelesaian pertidaksamaan logaritma dengan tepat seperti contoh berikut:

(33)

25

1. 5

log 5 log 2. 2

log 2 log Jawaban:

1. 5

log 5 log

Syarat nilai bilangan pada logaritma atau . . (1)

. . . .(2)

Jadi,dari (1) dan (2) diperoleh penyelesaiannya yaitu 2. 2

log 2 log Syarat nilai bilangan pada logaritma:

maka . . . (1)

, maka . . . (2) Perbandingan nilai pada logaritma

. . . (3)

Jadi, dari (1), (2), dan (3) diperoleh penyelesaiannya Ketika siswa dapat menyusun langkah penyelesaian soal pertidaksamaan logaritma, itu artinya siswa sudah dapat mencapai lapisan pemahaman structuring.

Pada lapisan pemahaman yang terakhir yaitu inventising (penemuan), siswa dapat membuat pertanyaan-pertanyaan baru yang berkaitan dengan soal yang diberikan. Siswa juga dapat menyelesaikan soal-soal lain dan menemukan konsep baru dalam penyelesaian soal berdasarkan pemahamannya saat mengerjakan soal sebelumnya. Misalnya ketika diberikan soal pertidaksamaan logaritma 2 log

2

log , siswa dapat membuat soal baru dengan mengganti bilangan pokok atau bentuk fungsi atau pada soal tersebut.

(34)

26

logaritma pada materi sebelumnya itu disebut folding back bekerja pada lapisan yang lebih dalam.

Terkadang setelah menemukan himpunan penyelesaian dari pertidaksamaan logaritma, siswa mengecek kembali jawabannya dari awal hingga akhir untuk memastikan apakah jawabannya sudah benar atau masih terdapat kesalahan. Kegiatan mengecek kembali dengan cara membaca jawabannya dari awal hingga akhir merupakan bentuk folding back mengumpulkan lapisan yang lebih dalam.

(35)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan dan menganalisis data yang diperoleh. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan profil lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA dalam menyelesaikan soal logaritma ditinjau dari kemampuan matematika. Data yang dideskripsikan adalah data yang didapat dari hasil wawancara dan dokumentasi saat subjek menyelesaikan soal TPM. Penelitian ini menekankan pada makna dan proses serta hasil suatu aktivitas.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

[image:35.420.63.367.133.440.2]

Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 19 sampai 28 April 2017. Proses pengambilan data dilakukan pada siswa kelas X IPA-1 SMA Negeri 1 Driyorejo tahun ajaran 2016/2017. Berikut adalah jadwal pelaksanaan penelitian yang dilakukan di SMA Negei 1 Driyorejo.

Tabel 3.1

Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No. Kegiatan Tanggal

1 Permohonan izin penelitian kepada Kepala

Sekolah dan guru bidang studi matematika 19 April 2017

2 Observasi kelas 26 April 2017

3

Pemberian tes pemahaman matematis dan wawancara kepada subjek berkemampuan matematika tinggi dan sedang yang terpilih

27 April 2017 4 Surat keterangan penelitian 28 April 2017 C. Subjek Penelitian

(36)

28

matematika tinggi dan sedang saja karena dikhawatirkan siswa yang berkemampuan matematika rendah tidak bisa mengerjakan tes pemahaman matematis yang diberikan sehingga hasil penelitian yang diinginkan tidak bisa didapatkan.

Untuk mendapatkan subjek penelitian berdasarkan tingkat kemampuan matematika, peneliti melakukan wawancara bersama guru bidang studi matematika terkait dengan tingkat kemampuan matematika yang setara dan kemampuan mengkomunikasikan ide secara tulisan maupun lisan agar tidak mempengaruhi hasil penelitian ini. Hasil wawancara akan diperkuat dengan nilai tugas dan ulangan siswa.

[image:36.420.70.363.185.411.2]

Berdasarkan hasil wawancara dan nilai tugas dipilih 4 subjek penelitian dengan tingkat kemampuan matematika yang berbeda. Subjek penelitian terdiri dari 2 subjek berkemampuan matematika tinggi dan 2 subjek berkemampuan matematika sedang. Peneliti mengambil masing-masing 2 subjek karena sebagai pembanding antara subjek pertama dan subjek kedua berdasarkan tingkat kemampuan matematika. Keempat subjek yang terpilih kemudian diberikan tes pemahaman matematis dan tes wawancara untuk mengetahui lapisan pemahaman dan folding back siswa dalam menyelesaikan soal logaritma. Siswa yang dipilih menjadi subjek penelitian disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Data Subjek Penelitian

No. Nama Siswa Tingkat Kemampuan

Matematika

Kode Subjek

1 SZU Tinggi

2 GN Tinggi

3 ASB Sedang

4 EIPD Sedang

D. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data tentang profil lapisan pemahaman dan folding back dalam menyelesaikan soal logaritma ditinjau dari kemampuan matematika, teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan:

1. Tes Pemahaman Matematis (TPM)

(37)

29

back dalam menyelesaikan soal logaritma. Tes ini diujikan kepada 4 siswa yang telah dipilih oleh peneliti untuk dikerjakan sesuai dengan apa yang telah dipahami siswa. Waktu pengerjaan TPM tidak dibatasi, tetapi dalam pengerjaannya siswa tidak diperbolehkan melihat buku ataupun berdiskusi dengan temannya.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan kepada siswa yang dijadikan subjek penelitian setelah mengerjakan TPM untuk mengetahui lebih dalam tentang gambaran atau profil lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA dalam menyelesaikan soal logaritma ditinjau dari kemampuan matematika. Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik semi-struktur yaitu gabungan dari teknik wawancara struktur dan bebas sehingga wawancara dilakukan secara serius tetapi santai agar memperoleh informasi semaksimal mungkin.

Adapun langkah-langkah untuk melakukan wawancara adalah (1) Peneliti memberikan pertanyaan kepada subjek berdasarkan lembar pedoman wawancara yang telah dibuat dan di validasi, (2) siswa menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti sesuai dengan apa yang dikerjakan dan dipikirkan saat mengerjakan TPM, (3) peneliti mencatat hal-hal penting untuk data tentang lapisan pemahaman dan folding back siswa dalam menyelesaikan soal logaritma, (4) peneliti merekam proses wawancara menggunakan handphone.

E. Instrumen Penelitian

Terdapat dua jenis instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Soal Tes Pemahaman Matematis

(38)

30

Dosen Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Ampel Surabaya dan seorang Guru Matematika di SMA Negeri 1 Driyorejo.

[image:38.420.82.363.98.498.2]

Pada proses validasi oleh validator pertama, instrumen dinyatakan perlu direvisi. Pada tes pemahaman matematis terdapat bahasa soal yang berlebihan dan kesalahan konsep dalam alternatif penyelesaian sehingga harus diperbaiki. Validator pertama menyatakan bahwa instrumen layak digunakan dengan perbaikan. Sedangkan proses validasi oleh validator kedua, instrumen tes pemahaman matematis perlu direvisi kembali dikarenakan terdapat langkah-langkah pengerjaan soal yang kurang sesuai. Validator kedua mengatakan instrumen layak digunakan dengan perbaikan juga. Setelah beberapa kali direvisi sesuai dengan saran maupun masukan dari validator pertama dan kedua, instrumen dinyatakan layak digunakan. Kemudian sebelum digunakan untuk kegiatan penelitian di SMA Negeri 1 Driyorejo, instrumen di validasi kembali oleh guru mata pelajaran matematika di kelas yang akan digunakan untuk kegiatan penelitian. Proses validasi oleh validator ketiga yaitu guru matematika di kelas X IPA–1, beliau menyatakan bahwa soal yang diberikan terlalu sulit sehingga harus diganti dengan soal yang lebih mudah. Setelah soal direvisi dan dibawa kembali ke validator ketiga, validator ketiga menyatakan soal sudah layak digunakan untuk penelitian. Berikut adalah nama-nama validator dalam penelitian ini:

Tabel 3.3

Daftar Nama Validator Instrumen Penelitian

No Nama Validator Jabatan

1. Imam Rofiki, M. Pd

Dosen Pendidikan Matematika UIN Sunan Ampel Surabaya

2. Muhajir Al-Mubarok, M. Pd

Dosen Pendidikan Matematika UIN Sunan Ampel Surabaya 3. Drs. Ahmad Faizun Daroini Guru Matematika

(39)

31

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan sebagai arahan dalam wawancara. Kalimat pertanyaan wawancara yang diajukan disesuaikan dengan kondisi subjek terpilih, tetapi tetap fokus pada permasalahan intinya. Pedoman wawancara disusun sendiri oleh peneliti untuk mengidentifikasi ide-ide dan langkah-langkah penyelesaian yang ditempuh oleh siswa dalam menyelesaikan tes pemahaman matematis. Penyusunan pedoman wawancara berdasarkan pada deskriptor lapisan pemahaman dan indikator bentuk folding back yang telah disajikan pada tabel di BAB II. Pedoman wawancara terlampir (Lampiran 3).

F. Keabsahan Data

Pengujian kredibilitas dan keabsahan data dilakukan dengan triangulasi sumber, yaitu pengecekan derajat kepercayaan data penelitian berdasarkan beberapa sumber pengumpulan data1. Jika terdapat banyak kesamaan data antara kedua sumber yang memiliki kemampuan matematika yang sama, maka bisa dikatakan data tersebut valid. Jika tidak ditemukan kesamaan antara kedua subjek tersebut, maka tes dilakukan kembali kepada subjek yang berbeda tetapi masih dalam tingkat kemampuan yang sama hingga ditemukan banyak kesamaan antara kedua subjek yang setingkat atau data valid. Selanjutnya, data valid tersebut dianalisis untuk mendeskripsikan profil lapisan pemahaman dan folding back siswa dalam menyelesaikan soal logaritma.

G. Teknik Analisis Data

1. Analisis Data Tes Pemahaman Matematis (TPM)

Analisis data Tes Pemahaman Matematis (TPM) dalam penelitian ini bukan berupa hasil skor yang diperoleh dari pengerjaan siswa karena data yang dianalisis adalah data kualitatif. Akan tetapi, hasil analisisnya berupa gambaran atau deskripsi lapisan pemahaman dan folding back siswa dalam menyelesaikan soal logaritma serta memperhatikan representasi eksternal yang muncul. Analisis tes ini akan diperkuat dengan hasil wawancara semi-struktur.

1
(40)

32

2. Analisis Data Wawancara

Analisis data hasil tugas penyelesaian soal dan wawancara ini secara keseluruhan mengacu pada pendapat Miles & Huberman, yaitu meliputi aktifitas reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verificaton)2. Berikut penjelasan tahapan analisis dalam penelitian ini.

a. Reduksi Data

Reduksi data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan yang mengacu pada proses pemilihan, pemusatan perhatian, dan penyederhanaan data mentah di lapangan tentang lapisam pemahaman dan folding back siswa SMA kelas X dalam menyelesaikan soal matematika. Dengan kata lain, dalam tahap reduksi ini dilakukan pengurangan data yang tidak perlu. Reduksi data dilakukan setelah membaca, mempelajari dan menelaah hasil wawancara. Hasil wawancara dituangkan secara tertulis dengan cara sebagai berikut:

1) Memutar hasil rekaman beberapa kali agar dapat menuliskan dengan tepat jawaban yang diucapkan subjek.

2) Mentranskrip hasil wawancara dengan subjek penelitian dengan pemberian kode yang berbeda tiap subjeknya. Adapun pengkodean dalam tes hasil wawancara penelitian ini adalah sebagai berikut:

, , dan : Pewawancara

T : Subjek berkemampuan matematika tinggi S : Subjek berkemampuan matematika sedang

a.b.c : Kode digit setelah P, T dan S. Digit pertama menyatakan subjek a.b.c ke-a, a = 1,2,3, ... digit kedua menyatakan wawancara ke-b, b = 1,2,3,...dan digit ketiga menyatakan pertanyaan atau jawaban ke-c, c = 1,2,3,... 3) Memeriksa kembali hasil transkrip tersebut dengan

mendengarkan kembali ucapan-ucapan saat wawancara berlangsung, untuk mengurangi kesalahan penulis pada transkrip.

2 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta:

(41)

33

b. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dengan cara menyusun secara naratif sekumpulan informasi yang telah diperoleh dari hasil reduksi data, sehingga dapat memberikan kemungkinan penarikan kesimpulan. Informasi yang dimaksud adalah tentang lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA kelas X dalam menyelesaikan soal logaritma dan data hasil wawancara. Penyajian data dari penelitian ini adalah profil tentang lapisan pemahaman dan folding back siswa SMA dalam menyelesaikan soal logaritma ditinjau dari kemampuan matematika.

c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Penarikan kesimpulan adalah memberikan makna dan penjelasan terhadap hasil penyajian data. Penarikan kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan mendeskripsikan lapisan pemahaman dan folding back siswa berdasarkan deskriptor lapisan pemahaman teori Pirie-Kieren menurut Fatrima dan Dodi dan indikator folding back menurut Susiswo pada tabel BAB II.

Tidak semua siswa mengalami keempat bentuk folding back. Siswa dapat mengalami satu, dua, atau tiga bentuk folding back saja. Contohnya yaitu ketika siswa membaca kembali semua jawabannya untuk mengoreksi ketepatan hasil yang di dapat berarti siswa mengalami folding back bentuk mengumpulkan lapisan lebih dalam. Folding back bentuk bekerja pada lapisan lebih dalam dapat dialami siswa ketika melupakan konsep atau sifat yang berlaku dalam penyelesaian soal kemudian mengingat kembali materi sebelumnya. Siswa mengalami bentuk folding back keluar topik ketika mengerjakan soal dari awal lagi dengan perluasan topik lain yang terpisah dengan topik utama, sedangkan siswa mengalami bentuk folding back menyebabkan diskontinu apabila siswa menyelesaikan soal dari awal lagi tetapi hasil pekerjaannya tidak berelasi dengan pemahaman yang sudah ada.

(42)

34

Tabel 3.4

Kategori Pencapaian Lapisan Pemahaman

No Lapisan

Pemahaman

Kategori

Mampu Kurang

Mampu

Tidak Mampu 1. Primitive

knowing (Pk) Siswa mempunyai pemahaman awal yang berkaitan dengan pertidaksamaa n logaritma dan dapat menjelaskan pengetahuan sederhana yang dimiliki Siswa mempunyai pemahaman awal yang berkaitan dengan pertidaksamaa n logaritma, namun tidak dapat menjelaskan pengetahuan sederhana yang dimiliki Siswa tidak mempunyai pemahaman awal yang berkaitan dengan pertidaksam aan logaritma

2. Image making (Im) Siswa dapat membuat gambaran seluruh tahap-tahap umum penyelesaian soal pertidaksamaa n logaritma dari gambar atau contoh-contoh soal sebelumnya Siswa dapat membuat gambaran sebagian tahap-tahap umum penyelesaian soal pertidaksamaa n logaritma melalui gambar atau contoh-contoh soal sebelumnya Siswa tidak dapat membuat gambaran tahap-tahap umum penyelesaian soal pertidaksam aan logaritma

[image:42.420.71.378.74.529.2]
(43)

35 soal pertidaksamaa n logaritma dengan terperinci tanpa mengerjakan contoh-contoh soal pertidaksamaa n logaritma tanpa mengerjakan contoh-contoh, namun tidak terperinci penyelesaian soal pertidaksam aan logaritma

4. Property noticing (Pn) Siswa dapat menghubungk an gambaran abstrak yang dimiliki dengan konsep dan sifat-sifat pada eksponen dan logaritma dan dapat memperlihatk an bentuk umum dari sifat-sifat tersebut Siswa dapat menghubungk an gambaran abstrak yang dimiliki dengan konsep dan sifat-sifat pada dan logaritma, tetapi tidak dapat memperlihatka n bentuk umum dari sifat-sifat tersebut Siswa tidak dapat menghubung kan gambaran abstrak yang dimiliki dengan konsep dan sifat-sifat pada dan logaritma

5. Formalising (F) Siswa dapat mengaplikasik an sifat-sifat dan logaritma yang telah diketahui pada level sebelumnya dengan tepat Siswa dapat mengaplikasik an sifat-sifat dan logaritma yang telah diketahui pada level sebelumnya, namun kurang tepat Siswa tidak dapat mengaplikas ikan sifat-sifat dan logaritma yang telah diketahui pada level sebelumnya 6. Observing (O) Siswa dapat

memakai hasil pengamatan

Siswa dapat memakai hasil pengamatan

(44)

36 dari penggunaan konsep yang telah dihubungkan pada penyelesaian soal pertidaksamaa n logaritma untuk menyelesaika n permasalahan yang dihadapi dengan tepat dari penggunaan konsep yang telah dihubungkan pada penyelesaian soal pertidaksamaa n logaritma untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, namun tidak tepat hasil pengamatan dari penggunaan konsep yang telah dihubungkan pada penyelesaian soal pertidaksam aan logaritma untuk menyelesaik an permasalaha n yang dihadapi 7. Structuring (S) Siswa dapat

menyusun penyelesaian soal pertidaksamaa n logaritma secara terstruktur dan lengkap, kemudian dapat membuktikan hasil pekerjaannya dengan argumen yang logis Siswa dapat menyusun penyelesaian soal pertidaksamaa n logaritma secara terstruktur dan lengkap, namun tidak dapat membuktikan hasil pekerjaannya dengan argumen yang logis Siswa tidak dapat menyusun penyelesaian soal pertidaksam aan logaritma secara terstruktur dan lengkap

(45)

37

pertanyaan baru dari soal TPM yang diberikan

pertanyaan baru dari dari soal TPM yang diberikan

pertanyaan baru dari dari soal TPM yang diberikan Siswa dapat

menemukan konsep baru berdasarkan pemahaman terstruktur setelah menyelesaika n soal TPM sehingga dapat menjawab pertanyaan “what if?”

Siswa tidak dapat menemukan konsep baru berdasarkan pemahaman terstruktur setelah menyelesaik an soal TPM sehingga tidak dapat menjawab pertanyaan “what if?”

H. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian yang dilaksanakan dalam penelitian ini meliputi empat tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap analisis data, dan tahap penyusunan laporan. Masing-masing tahap akan diuraikan sebagai berikut:

1. Tahap persiapan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi:

a. Melakukan studi pendahuluan, yaitu mengidentifikasi, merumuskan masalah, dan melakukan studi literatur

b. Membuat proposal penelitian

c. Memilih sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian

d. Berkonsultasi dengan dosen pembimbing tentang proposal penelitian

e. Seminar proposal penelitian

(46)

38

g. Berkonsultasi dengan dosen pembimbing dan validator terkait intrumen penelitian yang sudah dibuat

h. Membuat surat izin penelitian

i. Meminta izin kepada kepala sekolah untuk melaksanakan penelitian di SMA Negeri 1 Driyorejo

j. Berkonsultasi dengan guru mata pelajaran matematika di SMA Negeri 1 Driyorejo mengenai kelas dan waktu yang akan digunakan penelitian

2. Tahap pelaksanaan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi:

Gambar

Tabel 2.1
Gambar 2.1
melakukan  operasi jika gambaran penyelesaian
Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan : subjek S 2 kurang memahami soal tetapi dapat menyebutkan konsep-konsep yang digunakan untuk menyelesaikan masalah , dapat menyebutkan topik pada soal yang

Mengetahui bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pemahaman konsep untuk menyelesaikan soal matematika

Ketiga subjek menyimpan informasi dengan cara melakukan pengulangan informasi pada langkah memahami masalah dengan cara membuat model matematika dari informasi yang

Profil koneksi matematis siswa perempuan SMA berkemampuan matematika tinggi dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika dengan menemukan keterkaitan antar

Profil koneksi matematis siswi SMA berkemampuan matematika tinggi dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah matematika dengan (1) menggunakan hubungan antara

Profil koneksi matematis siswi SMA berkemampuan matematika tinggi dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah matematika dengan (1) menggunakan hubungan antara

Ketiga subjek menyimpan informasi dengan cara melakukan pengulangan informasi pada langkah memahami masalah dengan cara membuat model matematika dari informasi yang

Berdasarkan hasil analisis dari tes tertulis yang diperkuat dengan wawancara yang dilakukan pada subjek berkemampuan matematika tinggi laki-laki X didapatkan bahwa