• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENERIMAAN HADIS DA‘IF OLEH ULAMA SEBAGAI HUJJAH MENURUT MAYORITAS AHLI HADIS DAN AL-SUYUTI: STUDI KOMPARATIF.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSEP PENERIMAAN HADIS DA‘IF OLEH ULAMA SEBAGAI HUJJAH MENURUT MAYORITAS AHLI HADIS DAN AL-SUYUTI: STUDI KOMPARATIF."

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PENERIMAAN HADIS D{A‘I<F OLEH ULAMA SEBAGAI HUJJAH MENURUT MAYORITAS

AHLI HADIS DAN AL-SUYU>T}I> (Studi Komparatif)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister Program Studi Ilmu Hadis

Oleh:

Moh Ali NIM: F0821362

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Moh. Ali, “Konsep Penerimaan Hadis D{a‘i>f Oleh Ulama Sebagai Hujjah Menurut

Mayoritas Ahli Hadis dan al-Suyu>t}i>”

Para ahli hadis telah sepakat bahwa agar sebuah hadis menjadi s}ah}i>h, ia harus lolos dari lima kriteria umum yakni sanadnya harus bersambung, seluruh periwayat dalam sanad memiliki integeritas ‘a>dil dan kredibilitas d}a>bit}, hadis tersebut harus terhindar dari unsur shudhu>dh dan ‘illah. Kesepakatan para ahli hadis ini, khususnya oleh para ulama muta’akhkhiri>n dituangkan ke dalam karya-karya mereka di bidang ilmu hadis secara teoritis. Namun demikian, secara implisit mayoritas ahli hadis menerima sebuah hadis d}a‘i>f sebagai hujjah apabila hadis tersebut diterima dan diamalkan secara luas oleh umat tanpa ada upaya selektif apakah hadis d}a‘i>f tersebut bermuatan hukum atau sebatas keutaamaan amal. Fenomena ini mengantarkan sebagian ulama menempatkan hadis dengan kondisi tersebut ke derajat hadis mutawa>tir, sementara al-Suyu>t}i> secara tegas memasukkan hadis dengan kondisi serupa sebagai bagian dari hadis

s}ah}i>h. Hadis dengan kondisi tersebut oleh para ahli hadis muta’akhkhiri>n disebut dengan istilah “Talaqqi> al-‘Ulama>’ bi al-Qabu>l” yang dialihbahasakan oleh penulis dengan istilah “Penerimaan Hadis D{a‘i>f Oleh Ulama Sebagai Hujjah”. Istilah yang telah diindonesiakan ini selanjutnya digunakan oleh penulis sebagai bagian dari redaksi judul penelitian ini.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan komparatif yakni mengeksplorasi pemikiran mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i> untuk mengetahui konsep talaqqi> al-‘ulama>’ bi al-qabu>l dalam menentukan sebuah hadis d}a‘i>f

untuk dapat dijadikan sebagai hujjah. Setelah itu dilakukan upaya komparatif untuk mengetahui persamaan dan perbedaan konsep tersebut antara mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i> kemudian dianalisis untuk diperoleh hasil yang lebih relevan dengan disiplin ilmu hadis. Upaya komparatif ini pula dimaksudkan untuk mengetahui cakupan implikasi konsep antara kedua pihak terhadap diterimanya sebuah hadis d{a‘i>f yang tergolong ke dalam talaqqi> al-‘ulama>’ bi al-qabu>l.

Hasil penelitian menyimpulkan, hadis-hadis d}a‘i>f yang tergolong ke dalam talaqqi> al-‘ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis akan diterima sebagai hujjah meski tidak memenuhi lima kriteria populer kes}ah}i>han hadis. Sebagian di antara mereka menempatkannya ke derajat hadis mutawa>tir. Sementara al-Suyu>t}i> secara tegas

memasukkannya ke dalam bagian hadis s}ah}i>h li ghayrih.

Kata kunci: Mayoritas ahli hadis, ulama, al-Suyu>t}i>, hujjah, d}a‘i>f, s}ah}i>h, talaqqi>

(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Kegunaan Penelitian... 9

F. Tinjauan Pustaka ... 10

G. Metode Penelitian... 14

H. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II : KONSEP TALAQQI< AL-‘ULAMA>’ BI AL-QABU>L MENURUT MAYORITAS AHLI HADIS DAN AL-SUYU<T{I< ... 21

(7)

Mayoritas Ahli Hadis ... 21 B. Beberapa HadisYang Tergolong ke Dalam Talaqqi>

al-‘Ulama>’ bi al-Qabu>l Menurut Mayoritas Ahli Hadis ... 26 C. Biografi Dan Kapasitas al-Suyu>t}i> Sebagai Ulama Hadis ... 57 D. Konsep al-Suyu>t}i> Tentang Talaqqi> al-‘Ulama>’ bi al-Qabu>l ... 67 E. Contoh Hadis D{a‘i>f Yang Tergolong ke Dalam Talaqqi> al-‘Ulama>’

bi al-Qabu>l Menurut al-Suyu>t}i> ... 71

BAB III : KOMPARASI KONSEP TALAQQI<<< AL-ULAMA> BI AL-QABU<L

MENURUT MAYORITAS AHLI HADIS DAN AL-SUYU<T{I< .... 80

A. Persamaan Konsep Talaqqi> al-‘Ulama>’ bi al-Qabu>l Menurut

Mayoritas Ahli Hadis Dan al-Suyu>t}i> ... 80 B. Perbedaan Konsep Talaqqi> al-‘Ulama>’ bi al-Qabu>l Menurut

Mayoritas Ahli Hadis Dan al-Suyu>t}i> ... 83 C. Analisis Komparasi Konsep Talaqqi> al-‘Ulama>’ bi al-Qabu>l Antara

Mayoritas Ahli Hadis Dan al-Suyu>t}i> ... 85

BAB IV : IMPLIKASI KONSEP TALAQQI<<< AL-‘ULAMA>’ BI AL-QABU<L

MENURUT MAYORITAS AHLI HADIS DAN AL-SUYU<T{I< .... 90

A. Implikasi Konsep Talaqqi> al-‘Ulama>’ bi al-Qabu>l

Menurut Mayoritas Ahli Hadis ... 90 B. Implikasi Konsep Talaqqi> al-‘Ulama>’ bi al-Qabu>l

Menurut al-Suyu>t}i> ... 112 BAB V : PENUTUP ... 118

(8)

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Kendati setingkat di bawah al-Qur’an secara struktural sebagai sumber dan pedoman tuntunan agama, hadis merupakan sumber ajaran Islam yang menduduki posisi penting. Lebih dari itu, secara fungsional, hadis merupakan eksplanasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘a>m (umum), mujmal (global) dan

mut}laq. Selain itu, hadis juga dapat dijadikan landasan bagi suatu keputusan hukum yang belum diatur dalam al-Qur’an. Terkait kedudukan hadis terhadap al-Qur’an tersebut, Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an pada surat al-Nahl (16) : 44 berikut di bawah ini :

ََنوُر كَفَ تَ يَْمُه لَعَلَوَْمِهْيَلِإََل زُ نَاَمَِسا لِلََن يَ بُتِلََرْك ذلاََكْيَلِإَاَْلَزنَأَو

َ

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.1

Dalam ayat di atas, terkandung petunjuk bahwa Nabi Saw begitu vital perannya dalam rangka menjelaskan kondisi umum al-Qur’an. Itulah sebabnya para sahabat Nabi Saw memperoleh sekian petunjuk atau keterangan-keterangan praktis perihal kewajiban shalat, zakat dan persoalan-persoalan lainnya – yang

1Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia

(10)

2

hanya disampaikan secara global dan umum dalam al-Qur’an – langsung dari Nabi Saw.2

Dalam sunnah itu pula, umat Islam menemukan berbagai fakta sejarah mengenai bagaimana ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan oleh Allah Swt dan diterjemahkan ke dalam kehidupan nyata oleh Nabi Muhammad saw untuk kemudian diteladani oleh umat Islam.

Permasalahan yang muncul sejak dulu adalah tidak semua hadis yang beredar di kalangan umat Islam dapat digunakan untuk tujuan-tujuan di atas karena hadis-hadis yang beredar tersebut tidak semuanya terjamin otentisitasnya.

Kemunculan ilmu hadis yang bertujuan untuk mengawal kemurnian hadis menjadi sebuah keniscayaan. Untuk itu salah satu pembahasan ilmu hadis yang urgen adalah kriteria kes}ah}i>h}an hadis. Kriteria ini meneliti dan memastikan

sebuah hadis agar terjamin transformasinya, aman dari pemalsuan serta perubahan yang tidak dapat dipertangungjawabkan.

Sehubungan dengan hal tersebut, para ahli hadis generasi mutaqaddimi>n

telah menyusun kriteria-kriteria agar sebuah hadis menjadi s}ah}i>h} sehingga dengannya dapat menjadi hujjah.

Menurut al-Sha>fi‘i> (w. 204 H), agar sebuah hadis dapat dijadikan sebagai hujjah, hadis tersebut harus memenuhi kriteria-kriteria berikut ini:

1. Rangkaian para periwayat harus bersambung sanadnya.

2. Para periwayat harus memiliki integritas dan komitmen agama serta jujur ketika menyampaikan sebuah hadis.

2

(11)

3

3. Para periwayat harus memiliki daya hafal dan intelektualitas tinggi terkait materi hadis yang yang diriwayatkanya. Ia harus mengetahui perubahan makna hadis bila terjadi perubahan lafal.

4. Para periwayat harus terhindar dari perbuatan tadli>s.

5. Apabila hadis yang diriwayatkannya juga diriwayatkan oleh orang lain, maka bunyi hadis itu tidak berbeda.3

Sungguh pun al-Sha>fi‘i> tidak mengajukan rumusan pasti terkait kes}ah}i>h}an

aspek matan hadis, namun kriteria yang dikemukakannya tersebut telah mencakup seluruh aspek yang berkenaan dengan kes}ah}i>h}an hadis. Dikatakan demikian

karena dengan ditekankan pentingnya periwayatan hadis secara redaksional, maka dengan sendirinya masalah matan tidak dapat diabaikan.

Paska al-Sha>fi‘i>, ulama generasi mutaqaddimi>n yang turut mengintrodusir kriteria kes}ah}i>h}an hadis adalah al-Bukha>ri> dan Muslim. Keduanya sepakat

mengajukan empat persyaratan agar sebuah hadis dapat diterima, yakni: 1. Rangkaian sanadnya bersambung.

2. Para periwayatnya harus thiqah.

3. Hadis yang diriwayatkannya harus terhindar dari unsur sha>dh dan ‘illah.

4. Para periwayat terdekat harus sezaman.4

Menurut al-Nawawi> (w. 676 H/1277 M), – generasi ulama mutaakhkhiri>n

– semua persyaratan di atas telah mencakup persyaratan kes}ah}i>h}an sanad dan

3

Lihat secara lebih luas dalam Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fi‘i>, al-Risa>lah, Vol. 1 (Mesir: Maktabah al-H{alibi>, 1358 H), 369.

4

(12)

4

matan hadis. Pernyataan al-Nawawi> tersebut lahir tatkala ia mengomentari pernyataan Muslim tentang persyaratan hadis yang berkualitas s}ah}i>h}. Dengan

demikian, dalam penelitian kes}ah}i>h}an hadis, al-Bukha>ri> dan Muslim amat

memperhatikan kualitas sanad dan matan.5

Di era berikutnya, secara lebih sistematis, kalangan ulama mutaakhkhiri>n

dengan tetap berpijak pada rumusan para ahli hadis generasi mutaqaddimi>n, ikut andil merumuskan kaidah kes}ah}i>h}an hadis..

Ibn al-S{ala>h} (w. 643 H/1245 M), tokoh ulama hadis mutaakhkhiri>n

mengintrodusir definisi hadis s}ah}i>h} sebagai berikut:

ََأَ م

َْلاَا

ََح

َِدَْي

َ صلاَ ُث

َِح

َْيَُح

َََ ف

َُهََو

ََْلا

ََح

َِدَْي

َْلاَ ُث

َُم

َْس

َ لاَُدَ

َِذ

َْي

َََ يَ ت

َِص

َُلَ

َِإ

َْسََ

َُدا

َِبَُ

ََ َْق

َْلاَ ِل

ََع

َ ضلاَ ِلْد

َِبا

َِط

َ

ََع

َِنَ

َْلا

َ ضلاَ ِلْدَع

َِبا

َِط

َِإَ،

ََل

َُمَى

َََْ ت

ََه

َُا

ََوَ؛

ََل

ََيَ

َُك

َْوَُن

َ

ََش

ََوَا ذا

ََل

ًَل لَعُمَ

.

6

“Adapun hadis s}ah}i>h} ialah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh

periwayat yang ‘a>dil dan d}a>bit} sampai akhir sanad. Dan di dalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan (sha>dh) dan cacat (illah).”

Secara ringkas, al-Nawawi> seirama dengan Ibn al-S{ala>h} ketika mengetengahkan definisi hadis s}ah}i>h}, yakni:

َْنِمََنْيِطِبا ضلاَ ِلْوُدُعلاِبَُُدََسََلَص تاَاَم

َ

ٍَة لِعََلَوٍَذْوُذُشَِرْيَغ

.

7

“Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh para periwayat ‘a>dil dan

d}a>bit} serta terhindar dari sha>dh dan ‘illah.”

5

Lihat Muh}y al-Di>n al-Nawawi>, al-Minha>j Sharh}Sah{ }i>h} Muslim, Vol. 1 (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-‘Arabi>, 1392 H), 32.

6

Taqiyy al-Di>n Ibn al-S{ala>h}, Ma‘rifah….., 11-12. 7

(13)

5

Rumusan hadis s}ah}i>h} di atas turut mewarnai pemikiran para ahli atau

ulama hadis era kontemporer. Terkait hal ini, Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b berkata sebagai berikut:

َََُوَ

ََم

َ تاا

ََص

ََلَ

ََسََ

َُدَُ

ََِبَ

ِرََو

ََياَِة

َ

َ ثلا

ََقَِة

َََع

َِنَ

َ ثلا

ََقَِة

ََِم

َْنَ

ََأَ وَ

ِلََِ

َِإََل

َُمَى

َََْ ت

ََه

َُاَ

َِم

َْنَ

ََغَْي

َِرَ

َُش

َُذَْو

ٍَذَ

ََوََل

َِعَ

َ لٍَة

.

8

َ

“Hadis s}ah}i>h} itu bersambung sanadnya diriwayatkan oleh seorang thiqah dari orang thiqah pula sejak awal sanad sampai ujung tanpa ada sha>dh dan ‘illah.”

Mencermati batasan-batasan hadis s}ah}i>h} sebagaimana disampaikan oleh para ahli hadis baik dari kalangan mutaqaddimi>n maupun mutaakhkhiri>n di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi hadis s}ah}i>h} menurut para ahli atau ulama hadis adalah hadis yang mengandung lima unsur atau yang lebih dikenal dengan istilah 9ةسمخلا طورش (shuru>t} al-khamsah) yang berarti “lima kriteria” untuk memperoleh kes}ah}i>h}an hadis. Kelima unsur atau kriteria dimaksud adalah:

1. Sanadnya bersambung

2. Diriwayatkan oleh periwayat yang ‘a>dil

3. Diriwayatkan oleh periwayat yang d}a>bit}

4. Terhindar dari sha>dh

5. Terhindar dari ‘illah

Di tengah-tengah kesepakatan mayoritas ahli atau ulama hadis perihal lima kriteria kes}ah}i>h}an hadis sebagaimana telah dipaparkan di atas, muncul sebuah

tesis yang dikemukakan oleh al-Suyu>t}i> bahwa selain lima kriteria kes}ah}i>h}an hadis

8

Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>th: ‘Ulu>muhu> wa Mus}t}ala>h}uhu (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), 305.

9

(14)

6

itu terdapat sebuah kriteria mandiri yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kes}ah}i>h}an sebuah hadis.

Kriteria dimaksud adalah apabila terdapat sebuah hadis kendati dari jalur sanad tidak memenuhi standar kriteria kes}ah}i>h}an hadis namun hadis tersebut telah

diterima sebagai hujjah secara mufakat oleh mayoritas ahli hadis atau ulama, maka hadis tersebut dengan sendirinya telah berkualitas s}ah}i>h}. Dengan kata lain, menurut al-Suyu>t}i>, kesepakatan atau ijmak para ahli hadis atau ulama hadis untuk menerima sebuah hadis dapat dijadikan sebagai kriteria untuk menentukan kes}ah}i>h}an hadis tersebut kendati apabila ditinjau dari sisi sanad tidak s}ah}i>h}.

Adapun secara terminologis, al-Suyu>t}i> menamakan kriteria dimaksud dengan ungkapan لوبقلابءاملعلا يقلت(talaqqi> al-ulama>’bi al-qabu>l).10

Ungkapan yang dikemukakan oleh al-Suyu>t}i> untuk menyebut kriteria kes}ah}i>h}an sebuah hadis tersebut di atas, penulis mengalihbahasakannya ke dalam

bahasa Indonesia dengan redaksi “penerimaan hadis d{ai>f oleh ulama sebagai hujjah”. Demi efektifitas dan efisiensi uraian dalam penelitian ini, selanjutnya penulis lebih banyak menggunakan redaksi dalam bentuk bahasa aslinya daripada redaksi yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia sebagaimana telah disebut di atas. Akan tetapi, untuk kepentingan praktis agar dapat dipahami oleh masyarakat pengguna bahasa Indonesia, penulis menggunakan bentuk redaksi yang telah dialihbahasakan itu pada judul penelitian.

10

(15)

7

Terkait kata “Ulama” dalam konteks materi talaqqi> al-ulama>’bi al-qabu>l,

penulis terkadang menyebutnya dengan istilah ahli hadis yang berarti para ulama yang ahli di bidang hadis.

Al-Suyu>t}i> ketika mengangkat talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l sebagai salah satu kriteria kes}ah}i>h}an hadis di dalam kitab Tadrib al-Ra> >wi> fi> Sharh} Taqri>b al-Nawa>wi>, ia menyatakan bahwa hal tersebut, secara implisit, direkomendasikan

oleh para ahli hadis sebagai perangkat menjadikan hadis d}ai>f yang telah diterima dan diamalkan secara mufakat oleh para ulama sebagai hujjah meskipun tidak memenuhi shuru>t} al-khamsah yang berarti “lima kriteria” untuk memperoleh kes}ah}i>h}an hadis. Realitasnya, mayoritas ahli hadis secara implisit merekomendasikan kondisi hadis tersebut untuk diterima sebagai hujjah. Sementara al-Suyu>t}i> menjadikan aspek talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l sebagai bagian dari upaya untuk menentukan sebuah hadis menjadi s}ah}i>h}.

Secara konseptual-redaksional, seluruh ahli hadis era mutaqaddimi>n tidak menyebutkan istilah yang merujuk kepada talaqqi> al-ulama>’bi al-qabu>l sebagai salah satu kriteria kes}ah}i>h}an hadis atau kriteria tertentu yang dapat dipakai untuk

menerima keberadaan hadis d}ai>f sebagai hujjah. Akan tetapi pada pada ranah praksis, mereka mennggunakan hadis d}ai>f sebagai hujjah tatkala hadis tersebut diamalkan secara luas oleh para ulama atau umat Islam dari generasi ke generasi.

Pada gilirannya kemudian, sikap mayoritas ahli hadis era mutaqaddimi>n

ini diadopsi oleh banyak ahli hadis generasi berikutnya yang dikenal dengan era

(16)

8

menempatkan hadis-hadis d}ai>f apabila diterima dan diamalkan oleh para ulama ke derajat hadis mutawa>tir.

Kecenderungan para ahli hadis di dalam menggunakan talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l terhadap hadis-hadis d}ai>f tentu berimplikasi serius pada ibadah yang dilakukan oleh kaum Muslimin. Karenanya, penelitian ini akan berupaya menguraikan konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l sebagai salah satu kriteria untuk menerima hadis d}ai>f sebagai hujjah dari kedua pihak yakni mayoritas ulama hadis dan al-Suyu>t}i>, komparasi konsep kedua pihak serta implikasinya dalam konteks legalitas amalan atau ibadah yang dilakukan oleh kaum Muslimin menurut disiplin ilmu hadis.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, identifikasi berbagai masalah yang diabatasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Keberadaan لوبقلاب ءاملعلا يقلت (talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l) terhadap hadis-hadis d}ai>f diakui oleh para ahli atau ulama hadis sebagai perangkat untuk dijadikan sebagai hujjah meskipun tidak memenuhi shuru>t} al-khamsah yang berarti “lima kriteria” untuk memperoleh kes}ah}i>h}an hadis.

(17)

9

3. Perbedaan konsep tersebut sudah barang tentu akan menimbulkan implikasi yang berbeda di samping persamaannya dalam konteks legalitas ibadah yang dilakukan oleh kaum Muslimin menurut disiplin ilmu hadis.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>?

2. Bagaimana komparasi konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>?

3. Bagaimana implikasi konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>?

D.Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>.

2. Menjelaskan komparasi konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>.

3. Menjelaskan implikasi konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>.

E.Kegunaan Penelitian

(18)

10

dianut oleh mayoritas ahli hadis yang dalam hal ini mereka menganut lima kriteria kes}ah}i>h}an hadis sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Adapun

kriteria yang diinformasikan dan disosialisasikan tersebut adalah konsep

talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabul> untuk menjadikan sebuah hadis d}ai>f dapat diterima sebagai hujjah.

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan pustaka atau lebih tepatnya sebagai wacana bagi segenap insan akademik di bidang ilmu hadis bahwa terdapat sebuah kriteria yakni konsep talaqqi> al-‘ulama>’ bi al-qabu>l untuk menjadikan sebuah hadis d}ai>f dapat diterima sebagai hujjah sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam sebuah penelitian mutlak dibutuhkan. Demikian ini dilakukan untuk menggambarkan hasil sebuah kajian penelitian terdahulu. Selain itu keberadaan tinjauan pustaka bertjuan agar tidak menggugat nilai orisinalitas penelitian yang akan dilakukan.

Sepanjang penelusuran penulis terhadap sekian hasil penelitian ilmiah yang secara spesifik berkaitan dengan konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l

menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>, belumlah ditemukan sebuah penelitian sebagaimana yang tengah penulis akan lakukan. Hanya saja ada beberapa penelitian berkenaan dengan kriteria kes}ah}i>h}an hadis secara umum

(19)

11

1. Tesis berjudul “Otentisitas Hadis Dalam Tradisi Fikih Hanafiyah” yang ditulis oleh M. Shofiyyudin. Penelitian tersebut dipersembahkan oleh penulisnya sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kritik hadis para ulama h}anafiyyah meliputi dua unsur yaitu sanad dan matan. Kritik sanad yang menentukan kes}ah}i>h}an sebuah hadis

meliputi bersambungnya sanad, para periwayat harus berakal, d}a>bit}, ‘a>dil dan beragama Islam. Keunikan ulama h}anafiyyah yang paling mencolok adalah perhatian terhadap akal yang begitu dalam sehingga ini meniscayakan kritik pada makna matan. Sedangkan kritik matannya adalah mencakup hadis yang bersangkutan tidak bertentangan dengan al-Qu’ran, tidak bertentangan dengan hadis mutawa>tir dan hadis mashhu>r, hadis a>h}a>d yang tidak ditinggalkan oleh para sahabat dalam perdebatan mereka. Para ulama h}anafiyyah menerima

rukhs}ah ketika meriwayatkan secara makna pada hadis-hadis tertentu. Akibat pandangan ulama Hanafiyyah tentang matan seperti ini, mereka tidak mempertimbangkan adanya ‘illah dan sha>dh dalam kritik matannya. Selebihnya penelitian ini tidak menyebutkan unsur talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l sebagai salah satu kriteria mandiri untuk menjadikan sebuah hadis d}ai>f

dapat diterima sebagai hujjah.

(20)

12

Program Studi Agama dan Filsafat Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa menurut Ibn Taymiyah, secara ontologis keberadaan al-Qur'an dan hadis memiliki pertalian hubungan yang erat. Al-Qur'an merupakan alat pengukur (instrument) utama terhadap kebenaran makna suatu hadis yang dalam hal ini hadis a>h}a>d di bidang akidah. Di samping al-Qur'an, alat pengukur kebenaran makna hadis

a>h}a>d ialah kriteria-kriteria s}ah}i>h} yang telah dirumuskan oleh para ulama hadis

yakni rangkaian periwayatnya harus bersambung kepada Nabi Saw, periwayatnya harus ‘a>dil, thiqah, d}a>bit}. Adapun alat pengukur lainnya untuk membenarkan makna sebuah hadis adalah kesepakatan para ulama terhadap makna hadis itu sendiri. Akan tetapi penulis tesis ini tidak memberikan ruang pembahasan yang luas terkait alat pengukur yang ketiga ini untuk membenarkan makna sebuah hadis menurut Ibn Taymiyah terutama dalam konteks status hadis yang maknanya disepakati oleh para ulama itu apakah

s}ah}i>h} atau d}ai>f. Kenyataan ini dapat dimaklumi oleh karena tesis ini lebih banyak membahas dua alat pengukur kebenaran makna hadis sebelumnya. 3. Buku berjudul “Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah” karya M. Syuhudi Ismail. Buku ini

merupakan hasil penelitian ilmiah dalam bentuk disertasi. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa kriteria kes}ah}i>h}an hadis yang diciptakan

(21)

13

setelah sebelumnya diteliti secara kritis dan ditinjau dengan pendekatan ilmu sejarah. Kriteria dimaksud menyatakan bahwa suatu sanad hadis barulah dinyatakan berkualitas s}ah}i>h} apabila sanadnya bersambung, seluruh mata rantai periwayat hadis berkualitas thiqah dan sanad hadis itu terhindar dari unsur shudh>dh dan ‘illah. Kriteria tersebut menurut sang penulis, dapat dijadikan sebagai acuan untuk meneliti kualitas sanad hadis. Demikianlah substansi pembahasan disertasi ini. Disertasi ini sedikit pun tidak menyinggung persoalan talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l sebagai salah satu kriteria mandiri untuk menjadikan sebuah hadis d}ai>f dapat diterima sebagai hujjah.

4. Buku berjudul “Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-H{a>kim dalam Menentukan Status Hadis”. Buku tersebut merupakan hasil penelitian ilmiah

dalam bentuk disertasi yang ditulis yang ditulis oleh M. Abdurrahman. Dalam disertasinya, penulis menyajikan pemikitan al-H{a>kim bahwa untuk menentukan kes}ah}i>h}an sebuah hadis harus didasarkan pada syarat yang

diintrodusir oleh al-Bukha>ri> dan Muslim. Selain itu menurut al-H{a>kim sebagaimana diteliti oleh penulis disertasi ini, untuk menentukan kes}ah}i>h}an

(22)

14

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif. Disebut kualitatif karena sumber data yang akan dieksplorasi berupa pernyataan verbal yang tertuang dalam bentuk tulisan.11 Selanjutnya, melakukan upaya untuk mendapatkan data yang komprehensif tentang pemikiran mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i> tentang talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l sebagai satu kriteria mandiri untuk menerima sebuah hadis d}ai>f sebagai hujjah.

Penelitian ini juga termasuk dalam penelitian normatif yang menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan). Oleh karena itu, sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis, baik berupa literatur berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia yang mempunyai keterkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

2. Data dan Sumber Data a. Data

Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi;

1) Konsep talaqqi> al-‘ulama>’bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis. 2) Konsep talaqqi> al-‘ulama>’bi al-qabu>l menurut al-Suyu>t}i>?

3) Persamaan konsep talaqqi> al-‘ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>.

(23)

15

4) Perbedaan konsep talaqqi> al-‘ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>.

b. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber, yakni primer dan sekunder. Sesuai dengan pokok bahasan yang akan dikaji yakni konsep

talaqqi> al-‘ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>,

maka stressing sumber data primer dari penelitian ini adalah pada diskursus para ulama dan pemikiran al-Suyu>t}i> tentang konsep talaqqi>

al-‘ulama>’ bi al-qabu>l yang tertuang di dalam berbagai literatur ilmu hadis,

yaitu:

1) Tadri>b al-Ra>wi> fi Sharh> } Taqri>b al-Nawa>wi>karya al-Suyu>t}i>

2)

Taaqquba>t al-Suyu>t}i>‘Ala> Mawd}ua>t Ibn al-Jawzi> karya al-Suyu>t}i>

3) Musnad al-Sha>fii>karya al-Sha>fi‘i>

4) Al-Risa>lah karya al-Sha>fi‘i>

5) Al-Umm karya al-Sha>fi‘i>

6) S{ah}i>h} al-Bukha>ri>karya al-Bukha>ri>

7) Qawa>‘id al-Tah}di>th min Funu>n Mus}t}alah} al-H{adi>th karya Jama>l

al-Di>n al-Qa>simi>

8) Al-Tamhi>d Lima> fi> al-Muwat}t}a min al-Maa>ni> wa al-Asa>ni>d karya Ibn

‘Abd al-Barr

9) Al-Nukt Ala> Muqaddimah Ibn al-S{ala>h} karya al-Zarkashi>.

(24)

16

Sedangkan yang menjadi sumber sekundernya adalah tulisan-tulisan yang membahas tentang pemikiran mayoritas ulama hadis dan al-Suyu>t}i> terkait konsep talaqqi> al-‘ulama>’ bi al-qabu>l, biografi dan kapasitas al-Suyu>t}i> sebagai ulama hadis sejauh yang dapat penulis jangkau. Data ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan analisis untuk memperoleh kesimpulan. Berikut di bawah ini sumber-sumber sekunder dimaksud, yakni:

1) Muqaddimah Ibn S}ala>h Fi>‘Ulu>m al-H{adi>th, karya Ibn S}ala>h

2) Mana>hij al-Muh}addithi>n fi Taqwiyah al-Ah> }a>di>th al-H{asanah wa al-D{ai>fah karya al-Murtad}a> al-Zayn Ah}mad

3) Mana>hij al-Muhaddithi>n karya Al-Murtad}}a> al-Zai>n Ahmad.

4) Us}u>l al-H{adi>th Ulumuh wa Must}alahuh karya Muhammad ‘Ajjaj al -Khati>b.

5) Tay>si>r Must}alah al-H{adi>th karya Mahmu>d al-Tahha>n.

6) Athar Ilal al-H{adi>th fi> Ikhtila>f al-Fuqaha>’ karya Ma>hir Ya>si>n al-Hayti>

7) Al-Nu>r al-Sa>fir an Akhba>r al-Qorn al-Ashir karya ‘Abd Qa>dir

al-‘Aydaru>s

8) Al-D{aw al-La>mi li Ahl al-Qarn al-Ta>si‘ karya Shams Di>n

al-Sakha>wi> 9) Dan lain-lain

3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

(25)

17

a. Editing. Kegiatan ini berupa pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan, karena kemungkinan data yang masuk atau terkumpul itu tidak logis dan meragukan. Tujuan editing adalah untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan dan bersifat koreksi. Pada kesempatan ini, kekurangan data atau kesalahan data dapat dilengkapi atau diperbaiki baik dengan pengumpulan data ulang atau pun dengan interpolasi (penyisipan). Hal-hal yang perlu diedit pada data yang masuk adalah sebagai berikut.

1) Dipenuhi tidaknya instruksi sampling 2) Dapat dibaca atau tidaknya data yang masuk 3) Kelengkapan pengisian

4) Keserasian.12

b. Coding. Kegiatan ini berupa pemberian atau pembuatan kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka-angka atau huruf-huruf yang memberikan petunjuk, atau identitas pada suatu informasi atau data yang akan dianalisis.13

4. Metode Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan komparasi (comparative approach) atau membandingkan antara kedua kelompok atau tokoh dengan mengangkat konsep talaqqi> al-‘ulama>’ bi al -qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i> sebagai objek materialnya.

12

M. Iqbal Hasan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 82. 13

(26)

18

Dalam menganalis data, penelitian ini mempunyai sifat deskriptif, reflektif dan komparatif.14 Sehubungan dengan hal ini penulis akan menempuh tiga tahap: pertama, berupaya mendeskripsikan konsep talaqqi> al-‘ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i> secara sistematis dan

sejelas mungkin. Kedua, membandingkan kedua konsep antara mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i> kemudian menguraikan signifikansinya dalam studi hadis.

Ketiga, melakukan analisis (content analysis) secara kritis seraya mengevaluasi konsistensi dan implikasi konsep keduanya terhadap kajian ilmu hadis kemudian menarik kesimpulan atas gagasan maupun konsep keduanya dalam kajian ilmu hadis.

H. Sistematika Pembahasan

Kajian dalam tesis ini terdiri dari lima bab yang disusun secara padu-integeral. Demikian ini diharapkan agar dapat memperoleh jawaban atas persoalan yang dicari sekaligus memberi kontribusi keilmuan. Selanjutnya dalam rangka memberikan arah yang tepat serta tidak memperluas obyek penelitian, maka perumusan sistematika pembahasan tersusun sebagai berikut:

Bab pertamaberupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

14

(27)

19

Bab kedua berupa pembahasan tentang konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l. Dalam hal ini penulis akan memaparkan definisi konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l menurut mayoritas ahli hadis serta beberapa hadis d}ai>f yang diterima sebagai hujjah disebabkan penerimaan atau persetujuan mayoritas ulama disertai pengamalannya terhadap hadis tersebut. Berikutnya penulis akan memaparkan biografi dan kapasitas al-Suyu>t}i> sebagai ulama hadis serta definisi konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l sebagai salah satu kriteria kes}ah}i>h}an hadis menurut

al-Suyu>t}i>. Mengakhiri bab ini, penulis akan menyajikan contoh hadis yang tergolong dalam talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabul> sebagai salah satu kriteria kes}ah}i>h}an hadis

menurut al-Suyu>t}i>.

Bab ketiga berisi pembahasan tentang komparasi konsep talaqqi> al-‘ulama>’ bi al-qabu>l sebagai satu kriteria mandiri untuk menerima sebuah hadis

d}ai>f sebagai hujjah menurut mayoritas ahli hadis dan al-Suyu>t}i>. Komparasi dimaksud adalah aspek persamaan dan perbedaan konsep mereka dalam topik yang sama. Setelah uraian komparatif, penulis akan menyajikan analisa melalui perspektif ilmu hadis terhadap pandangan seluruh ahli hadis tentang konsep

talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l. Analisa dimaksud bertujuan untuk menemukan mana yang lebih unggul di antara konsep para ahli hadis terkait topik dimaksud berdasarkan disiplin ilmu yang telah disepakati oleh seluruh ahli atau ulama hadis. Bab keempat berisi implikasi konsep talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l

(28)

20

ahli hadis dan menurut al-Suyu>t}i> terhadap seluruh hadis d}ai>f yang tergolong ke dalam talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l.

(29)

BAB II

KONSEP TALAQQI< AL-‘ULAMA<’BI AL-QABU<L

MENURUT MAYORITAS AHLI HADIS DAN AL-SUYU>T}I><

(Studi Komparatif)

A. Konsep Talaqqi> al-Ulama>’bi al-Qabu>l Menurut Mayoritas Ahli Hadis

Sepanjang penelusuran penulis, secara definitif, mayoritas ahli hadis

mutaqaddimi>n tidak mengajukan batasan pengertian yang secara redaksional menyebut “talaqqi> al-ulama>bi al-qabu>l” sebagai sebuah konsep untuk digunakan sebagai kriteria tersendiri dalam upaya menerima sebuah hadis d}ai>f sebagai hujjah. Sungguh pun demikian mayoritas ahli atau ulama hadis memiliki maksud yang sama terkait konsep dimaksud. Adapun penggunaan istilah yang merujuk pada konsep tersebut secara populer diintrodusir oleh para ulama

mutaakhkhiri>n.1

Dalam rangka mengangkat pengertian talaqqi> al-ulama>bi al-qabu>l sebagai sebuah konsep, berikut di bawah ini penulis akan menyajikan pandangan beberapa ahli hadis generasi mutaakhkhiri>n terkait tema talaqqi> al-ulama>’ bi

al-qabu>l,2 yakni:

1

Menurut al-Dhahabi>, tahun 300 Hijriyah adalah batas untuk memisahkan antara ulama mutaqaddimi>n dan mutaakhiri>n. Maksudnya, ulama-ulama yang hidup sebelum tahun 300 H. tergolong dalam kelompok mutaqaddimi>n, sedangkan ulama-ulama yang hidup setelah tahun 300 H., mereka termasuk dalam kategori mutaakhiri>n. Lihat Muh}ammad Khalaf Sala>mah, Lisa>n al-Muh}addithi>n, Vol.5 (t.t.: t.p., 2007), 14. Juga Ibn H{ajar al-’Asqalani> >, Lisa>n al-Mi>za>n, Vol. 1 (Beirut: Mu’assasah al-A’la>mi> li al-Mat}bu>‘a>t, 1986), 8.)

2

(30)

22

1. Al-Zarkashi> di dalam kitab al-Nukt Ala> Muqaddimah Ibn al-S{ala>h}

menyatakan sebagai berikut:

َ نَأ

ََْلا

َْيِدَح

ََث

َ

َْيِع ضلا

ََف

ََِإ

ََذ

َُْلاَُْت قَلَ تَا

َ مَُة

َ

ََقْلاِب

َُعَ ِلوُب

َِم

ََلَ

ََعَِِب

ََل

َْيِح صلاَى

َِح

َ

ََأَى تَح

َُ نَ

ََ يََِْز

َُلَ

ََمََِْز

ََةَلَ

َِتاَوَ تُمْلا

َِرَ

َ نَأَيِف

ََََُ ي

َُخَسْ

َ

ََعوُطْقَمْلا

.

3

“Sesungguhnya hadis d}ai>f apabila diterima oleh umat maka maka ia dapat diamalkan sebagaimana hadis s}ah}i>h} bahkan ia menempati kedudukan

mutawa>tir sehingga dengan demikian ia dapat mengganti dalil yang qat}i>”. 2. Al-Murtad}a> al-Zayn Ah}mad di dalam kitab Mana>hij al-Muh}addithi>n fi>

Taqwiyah} al-Ah}a>di>th al-H{asanah wa al-D{ai>fah menyatakan sebagai berikut:

ََأَ م

ََ تَا

َْرَِقَ ي

َُةَ

َْلا

ََح

َِدَْي

َِث

َََوََ ت

َْقَِو

َ يَُتَُ

ََِب

ََعََو

َِضا

ََدَ

ََل

ََِِ

ََلََة

َََل

ََه

َِبَ ا

ََْلا

ََس

َِناَْي

َِدَ

َََك

ََ تََلَ ق

َُْلاَي

َ مَِة

ََِلَْل

ََح

َِدَْي

َِث

َ

َِبَْلا

ََقَُ ب

َْوَِل

.

4

“Adapun peningkatan derajat Hadis dan penguatannya oleh faktor-faktor yang tidak berhubungan sanad di antaranya adalah penerimaan umat terhadap hadis.”

3. Ma>hir Ya>si>n al-Hayti> di dalam kitab Athar Ilal H{adi>th fi> Ikhtila>f al-Fuqaha> menyatakan sebagai berikut:

ََأَ م

ََ تَ ا

ََلَ ق

َْلاَ ي

َُعََل

َِم

َِءا

ََِل

ََح

َِدَْي

ٍَث

ََِب

َْلاََق

َُ بَْو

َِل

َََ ف

َُهََو

ََِم

ََن

َ

َُْلا

َُمَْو

َِر

ََ لا

َِت

َْيَ

ََ تَُزَْ

و

َُل

ََِب

ََِ

َْلاَِع

َ لَُة

َََوََت

َْخ

َُرَُج

َ

َْلا

ََح

َِدَْي

َُث

ََِم

َْنَ

ََحَْي

َِزَ

َ رلا

َ دَ

َِإََل

َْلاَى

ََعََم

َِل

ََِب

َُمَْق

ََت

ََض

َُا

ََبَ،

َْلَ

ََذََ

ََب

َََ بَْع

َُض

ََْلا

َُعََل

ََم

َِءا

ََِإََل

ََأَى

َ نَ

ََلََُ

َُح

َْك

ََمَ

َ صلا

َ ح

َِة

ََوَِع

َََْد

ََْلا

ََحََ

َِفَ ي

َِةَ

ََ يَُع

َ دَْو

ََنَ

َ ضلا

َِعَْي

ََف

ََِإ

ََذ

ََ تَا

ََلَ ق

َُاَ

َْلاَُع

ََلََم

َُءاَ

َِبَْلا

ََقَُ ب

َْوَِل

ََِف

َْيَ

ََحَْي

َِزَ

َْلا

َُمََت

َِتاو

َِر.

5 3

Badr al-Di>n al-Zarkashi>, al-Nukat Ala> Muqaddimah Ibn al-Sala{ >h}, Vol. 1 (Riyad: Ad}wa>’ Salaf, 1419 H), 390. Dengan redaksi yang hampir sama, pernyataan ini juga diajukan oleh al-Sakha>wi> dalam Shams al-Di>n al-Sakha>wi>, Fath} al-Mughi>th bi Sharh} Alfiyah al-H{adi>th, Vol. 1 (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1424 H), 350.

4

Al-Murtad}a> al-Zayn Ah}mad, Mana>hij al-Muh}addithi>n fi> Taqwiyah} al-Ah}a>di>th al-H{asanah wa al-D{ai>fah (Riyad: Maktabah al-Rushd, 1415 H), 22.

5

(31)

23

Adapun penerimaan para ulama terhadap sebuah hadis itu merupakan bagian persoalan yang dengannya dapat meniadakan keberadaan ‘llah hadis tersebut. Selanjutnya hadis tersebut terangkat statusnya yang tadinya ditolak kemudian dapat diamalkan oleh karena kesesuaian kandungannya. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa hadis tersebut dihukumi s}ah}i>h}. Bagi kalangan ulama madzhab Hanafi, hadis d}ai>f apabila diterima oleh para ulama, mereka menempatkannya di posisi hadis mutawa>tir.

Mencermati tiga ungkapan tersebut di atas, dapatlah ditarik batasan dari istilah talaqqi> al-ulama>bi al-qabu>l sebagai sebuah konsep, yakni penerimaan atau persetujuan mayoritas ahli hadis atau ulama yang ahli di bidang hadis atau umat disertai pengamalan secara luas terhadap sebuah hadis meski tidak memenuhi lima kriteria s}ah}i>h} agar hadis dimaksud dapat dijadikan sebagai hujjah.

Adapun penyebutan kata ulama dalam hal ini, ia merepresentasikan para ahli hadis baik dari dari generasi mutaqaddimi>n maupun mutaakhkhiri>n.

Sedangkan kata ulama dan umat yang secara redaksional berbeda, penulis menganggap keduanya memiliki pengertian yang sama dalam konteks pembahasan talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l.

(32)

24

pengertian umat pada semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.6

Beranjak dari uraian perihal pengertian umat di atas, penulis menghendaki pengertian umat sama dengan pengetian ulama dalam konteks pembahasan talaqqi>

al-ulama>’ bi al-qabu>l dengan penjelasan bahwa umat dalam hal ini adalah umat Islam di berbagai belahan bumi di mana terdapat komunitas orang-orang Islam. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, seluruh orang Islam sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing saling membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan, atas dasar kepemimpinan yang sama. Adapun pemimpin yang mengarahkan tata cara keberagamaan mereka sepeninggal Nabi Saw tidak lain adalah para ulama sejak zaman Sahabat dilanjutkan zaman ta>bi‘i>n hingga dewasa ini.

Sementara Hamka menganalogikan umat dengan sebuah tubuh, yang bisa saja sehat ataupun sakit. Sehatnya umat jika nilai hidup umat itu sesuai dengan aturan-aturan Allah Swt. Demikian pula sebaliknya, sakitnya umat datang jika nilai hidup yang berlandaskan nila-nilai tuhan telah ditinggalkan. Agar umat tetap sehat maka harus selalu ada doker yang menjaga kesehatannya, adapun dokter dari umat adalah para ahli fikir, filusuf dan para pendidik.7 Tegasnya dokter bagi umat adalah para ulama.

6

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2000), 325-326. 7

(33)

25

Sehubungan dengan keterkaitan umat dengan ulama, Nabi Saw menganalogikan keberadaan ulama sebagai lampu bagi bumi yang merupakan tempat tinggal manusia melaui sabdanya berikut ini:

َْلاَُدْبَعٍَروُصَْمَوُبَأَاَنَرَ بْخَأ

َُنْبَِ للاَُدْبَعَِمِساَقْلاَوُبَأَا ثَ يِزا رلاََنيكثخَِنْبَِ للاَِدْبَعَُنْبَِدِحاَو

َِ للاَُدْبَعََدَمْحَأَوُبَأَا ثَ يِناَجْرُجْلاَ َفُسوُيَُنْبَُد مَحُمٍَرْكَبَوُبَأَيِضاَقْلاَا ثَ يِناَذَوْلَكْلاََرَمُع

َُد مَحُمَا ثَُظِفاَحْلاٍَيِدَعَُنْب

َ

َا ثَ يِلْ ذلاَِنَمْح رلاَِدْبَعَُنْبَُدَمْحَأَا ثَ يِفوُكْلاَِنْيَسُحْلاَُنْب

يلعَِنْبَِدْيَزَْنَعَ يِطِساَوْلاٍَدِلاَخَْنَعٍَدا مَحَيِبَأَُنْبَِنَمْح رلاَُدْبَع

َيِبَأَنْبَيلعَنعَ يبأَنع

َََِِ للاَ ُلوُسَرَ َلاَقَ:َلاَقََُْعَُ للاََيِضَرَ ٍبِلاَط

َ:َم لَسَوَ لآوَ يلعَهاَى ل

َُحيِباَصَمَُءاَمَلُعْلا

َِضْرَلا

َ

ََْلاَُءاَفَلُخَو

َْنَِبََي

َِءا

َََوََ

وََرََث

َِت

َْيَ

ََوََوَ

َرََث

َُةَ

ََْلا

َْنَِبََي

َِءا

.

8

َ

Telah mengabarkan kepada kami Abu> Mans}u>r ‘Abd al-Wa>h}id bin ‘Abd Alla>h bin Khithki>n al-Ra>zi>, telah menceritakan kepada kami Abu> al-Qa>sim

‘Abd Alla>h bin ‘Umar al-Kalwadha>ni>, telah menceritakan kepada kami al-Qa>d}i> Abu Bakr Muh> }ammad bin Yu>suf al-Jurja>ni>, telah menceritakan kepada kami Abu> Ah}mad ‘Abd Alla>h bin ‘Adi> al-H{a>fiz}, telah menceritakan kepada kami Muh}ammad bin al-H{usayn al-Ku>fi>, telah menceritakan kepada kami Ah}mad bin ‘Abd al-Rah}ma>n al-Dhuhli>, telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi> H{amma>d, dari Kha>lid al-Wa>sit}i>, dari Zayd bin ‘Ali, dari ayahnya, dari > ‘Ali> bin Abi> T{a>lib Ra dia berkata: “Berkata Rasulullah Saw: Para ulama adalah lentera-lentera bumi, para wakil para Nabi ahli warisku dan ahli waris para Nabi”

Hemat penulis, hadis di atas memberikan petunjuk bahwa ulama disamakan dengan lampu, karena lampu dapat memancarkan sinar dengan sangat mudah, begitu pula orang ulama yang ada di tengah-tengah manusia, mereka akan memperoleh petunjuk menuju jalan yang hak serta terhindar dari gelapnya kebodohan dan bid’ah. Apabila lampu dalam kaca diletakkan di lubang dinding,

maka lampu itu akan memancarkan sinar ke dalam dan luar rumah, begitu pula dengan lampu ilmu, akan memancarkan sinar di dalam hati dan di luarnya,

8

(34)

26

sehingga sinar itu akan terpancar pada kedua telinga, kedua mata, lisan dan akan tampak macam-macam ketaatan dari masing-masing anggota badan. Pemilik rumah yang ada lampunya akan merasa nyaman dan senang, tapi sebaliknya apabila lampu itu mati dia akan merasa kesepian dan tidak nyaman, begitu pula dengan ulama, selama mereka masih hidup, manusia merasa nyaman dan senang, dan apabila mereka sudah meninggal dunia manusia akan merasa kehilangan, gelisah dan berduka.

Demi efektifitas dan efisiensi pembahasan sehubungan dengan konteks tema penelitian ini, penulis selanjutnya lebih banyak menggunakan istilah

“talaqqi> al-ulama>’ bi al-qabu>l”.

B. Beberapa Hadis yang Tergolong ke dalam Talaqqi> al-‘Ulama>’ bi al-Qabu>l

Menurut Mayoritas Ahli Hadis

Dalam pembahasan sub bab ini, penulis akan menyajikan contoh-contoh hadis d}ai>f yang diterima sebagai hujjah disebabkan penerimaan atau persetujuan mayoritas ahli hadis disertai pengamalannya terhadap hadis tersebut.

1. Hadis tentang tidak ada wasiat bagi ahli waris

Teks hadis yang akan dikaji ini, terdokumentasi di dalam kitab Musnad al-Sha>fii> dengan redaksi sebagai berikut:

ََعَ،َةَْ يَ يُعَُنْباَاَنَرَ بْخَأ

اَى لََِِ للاَ َلوُسَرَ نَأَ،ٍدِاَجُمَْنَعَ، ِلَوْحَْلاََناَمْيَلُسَْن

َِْيَلَعَُه

ٍَثِراَوِلََة يَِِوَ َلَ:َلاَقََم لَسَو

.

9

9

(35)

27

Telah mengabarkan kepada kami Ibn ‘Uyaynah, dari Sulayma>n al-Ah}wal, dari Muja>hid, Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada wasiat untuk ahli waris”.

Menurut al-Sha>fi‘i>, hadis di atas tidak memenuhi persyaratan s}ah}i>h}. Hal ini disebabkan oleh dua faktor yang melatarbelakanginya. Kedua faktor dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan pengakuan dirinya dan para ulama hadis serta para juru fatwa negeri Syam (Suriah), pada sanad hadis tersebut terdapat periwayat yang berstatus majhu>l.

2. Sanad hadis tersebut munqat}i‘.10

Status kemajhu>lan periwayat dalam hadis tersebut, dalam penelusuran penulis mengarah pada periwayat yang bernama Sulayma>n al-Ah}wal. Demikian ini berdasarkan data yang dikemukakan oleh Yah}ya> bin Ma‘i>n. Yah}ya> bin Ma‘i>n melaporkan bahwa biodata Sulayma>n al-Ah}wal tidak jelas. Adakalanya dia memiliki nama Sulayma>n bin Suh}aym yang berarti Sulayma>n al-Ah}wal adalah putra dari Suh}aym yang berasal dari Makkah. Dikatakan pula Sulayma>n al-Ah}wal adalah Kha>lid bin Abi> Nujayh}. Menurut sebuah informasi, Sulayma>n al-Ah}wal adalah putra dari Abi> Muslim dan merupakan penduduk Makkah. Dikatakan pula dia adalah penduduk Syam. Dikatakan pula namanya adalah Yu>nus bin Sulaym dan merupakan penduduk S{an‘a>. Dikatakan pula dia adalah Muh}ammad bin Abi> Isma>‘i>l, penduduk Kufah.11

10

Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fi‘i>, al-Risa>lah, 137. 11

(36)

28

Mencermati uraian perihal ketidakjelasan Sulayma>n al-Ah}wal sebagai periwayat hadis, menurut disiplin ilmu hadis, ia tergolong kedalam periwayat yang berstatus majhu>l al-ayn. Sebagaimana dikutip Nu>r al-Di>n ‘Itr, al-Khat}i>b al-Baghda>di> menyatakan bahwa periwayat yang berstatus majhu>l al-ayn

adalah periwayat yang tidak dikenal sebagai pencari hadis dan para ulama tidak mengenal dirinya. Selanjutnya Nu>r al-Di>n ‘Itr berkata bahwa status periwayat yang demikian menurut pendapat yang paling benar dan dipegangi oleh mayoritas ahli hadis adalah periwayatan hadisnya tidak diterima.12

Berdasarkan pernyataan al-Sha>fi‘i> di atas bahwa hadis tersebut di sisi lain berstatus munqat}i‘ meski al-Sha>fi‘i> tidak menerangkan di mana letaknya. Menurut penulis, keterputusan sanad hadis di atas disebabkan posisi Muja>hid sebagai sanad terakhir langsung menyandarkan hadis tersebut kepada Nabi Saw. Dalam penelusuran penulis, Muja>hid yang merupakan guru dari Sulayma>n al-Ah}wal adalah seorang ta>bii>n. Ia merupakan murid dari beberapa sahabat Nabi Saw. Para sahabat dimaksud adalah Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abba>s, Ja>bir, Abu> Hurayrah, Sa‘i>d al-Khudri> dan Abu> Rayh}a>nah.13

Sehubungan dengan kedua faktor cacatnya sanad pada hadis di atas yang menyebabkan hadis tersebut kemudian menjadi d}ai>f, sebagaimana dikutip oleh Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, al-Dhuhli> berkata sebagai berikut:

12

Nu>r al-Di>n ‘Itr al-H{alabi>, Manhaj al-Naqd fi>‘Ulu>m al-H{adi>th (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1418 H), 90.

13

(37)

29

ََوََل

َََي

َُجَْ

وَُز

َ

َِْلا

َْحَِت

ََج

َُجا

ََِإ

َ ل

ََِب

َْلا

ََح

َِدَْي

َِث

ََْلا

َُمَ ت

َِص

َِل

َََغ

َْيَِر

ََْلا

َُمَْ

ََقَِط

َِع

ََ لا

َِذ

َْي

َََلَْي

ََس

ََِف

َْيَِ

َََر

َُج

ٌَلَ

ََمَْج

َُهَْو

ٌَل

َََو

ََل

ََرَ

َُج

ٌَلَ

ََمَْج

َُرَْو

ٌَح.

14

“Dan tidak boleh berhujjah kecuali dengan hadis bersambung yang bukan

munqat}i‘ (terputus), serta tidak terdapat padanya perawi majhu>l dan perawi

majru>h}”.

Demikian pula putra al-Dhuhli> yakni Yah}ya> sebagaimana dikutip oleh al-Khat}i>b al-Baghda>di>, ia berkata:

ََل

َُ يََْث

ََب

َُت

ََْلا

ََخ

ََ بَُرَ

ََع

َِنَ

َ لا

َِب

َ يَ

ََِ

َ ل

َُهاَى

َََع

ََلَْيَِ

َََو

ََسَ ل

ََمَ

ََحَ ّت

ََ يَى

َْرَِوَْي

َََِ

ِثََقٌَة

َََع

َْنَ

َِثََق

ٍَةَ

َ,

ََحَ ّت

َى

ََ يََ تََ

َِا

َِي

َ

َْلا

ََخ

ََ بَُر

ََِإََل

َ لاَى

َِب

َ يَ

ََِ

َ ل

َُهاَى

َََع

ََلَْيَِ

َََو

ََسَ ل

ََمََ

ِبَ ه

َِذَِ

َ

َ صلا

ََفَِة

َ

ََوَ,

ََل

ََيَ

َُك

َْوَُن

ََِف

َْيَِه

َْمَ

ََرَُج

ٌَلَ

ََمَْج

َُهَْو

ٌَل

َ,

ََوََل

ََرَ

َُج

ٌَلَ

ََمَْج

َُرَْو

ٌَح

َ

ََفَ,

َِإََذ

ََ ثَا

ََب

ََت

ََْلا

ََخ

ََ بَُر

َََع

َِن

َ

َ لا

َِب

َ ي

َ

ََِ

َ ل

َُهاَى

َََع

ََلَْيَِ

َََو

ََسَ ل

ََمَ

َِبَ ه

َِذَِ

َ

َ صلا

ََفَِة

َ

ََوََج

ََب

َََ ق

َُ بَْوَُل

ََََُو

َْلاََع

ََمَُل

ََِب

ََِ

ََوََ تَْ

ر

َُك

ََُم

ََخ

ََلاََف

َِتَِ

.

15

Tidak boleh ditetapkan khabar dari Nabi Saw hingga diriwayatkan oleh perawi thiqah dari periwayat thiqah hingga berakhir pada Nabi Saw dengan sifat ini. Tidak boleh ada dalam sanad khabar itu perawi majhu>l dan periwayat majru>h}. Apabila telah tetap khabar

dari Nabi Saw dengan sifat ini, wajib untuk menerima dan mengamalkannya serta meninggalkan yang bertentangan dengannya.

Tidak ketinggalan pula Ibn Abi> H{a>tim sebagaimana dikutip oleh

al-‘Ala>’i>, berkata:

ََوََس

َِمَْع

َُت

َََأَِب

َْيَ

ََوََأََب

َُزَا

َْرََع

ََةَ

ََ يَُقَْ

و

ََل

ََلَ:

ََيَ

َْحََت

َ ج

ََِب

َْلا

ََمََر

َِسا

َْيَِل

ََوَ،

ََل

ََ تََُق

َْوَُم

ََْلا

َُح

َ ج

َُةَ

َِإ

َ ل

َِبَ

ََْلا

ََس

َِناَْي

َِدَ

َ صلا

ََحَا

َِح

َْلا

َُمَ ت

َِص

ََلَِة

.

16 14

Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, al-Nukat ‘ala> Kita>b Ibn al-S{ala>h}, Vol. 1 (Madinah: ‘Ima>dat al-Bah}th al-’Ilmi> bi al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyyah, 1404 H), 480.

15

Abu> Bakr al-Khat}i>b al-Baghda>di, > al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah (Madinah: Maktabah al-‘Ilmiyah, t.th.), 20.

16

(38)

30

“Aku mendengar ayahku (Abu> H{a>tim al-Ra>zi>) dan Abu> Zur‘ah berkata: “Tidak boleh berhujjah dengan hadis-hadis mursal, dan tidaklah tegak hujjah kecuali dengan hadis dengan sanad yang s}ah}i>h} yang bersambung.

Al-‘Ala>’i> menambahkan bahwa Pendapat ini juga dianut oleh mayoritas ahli hadis Sha>fiiyyah dan pilihan pendapat qa>d}i> Isma>‘i>l, Ibn ‘Abd al-Barr dan selain keduanya sesama ulama hadis Ma>likiyyah, qa>d}i> Abu> Bakr al-Ba>qilla>ni>, dan sebagian besar para imam ahli ushul.17

Apabila ditinjau melalui perpspektif para ahli atau ulama hadis

mutaakhkhiri>n, keterputusan sanad setelah posisi Muja>hid itu dinamai mursal

bukan munqat}i. Adapun latar belakang al-Sha>fi’i> menyebut sanad hadis tersebut sebagai munqat}i, hal ini disebabkan beberapa ahli hadis

mutaqaddimi>n menyamakan definisi antara hadis mursal dan hadis munqat}i‘.18 Al-Sha>fi’i> sendiri sebagai ulama mutaqaddimi>n mendefinisikan hadis yang disandarkan oleh tabii>n kepada Nabi Saw sebagai hadis munqat}i.

Definisi ini memang sudah sesuai dengan kebutuhan zaman saat itu. Namun demikian, istilah mursal sendiri sebenarnya juga muncul dari al-Sha>fi’i>. Dialah yang pertama mencetuskan istilah mursal. Tepatnya, ketika al-Sha>fi’i> menjelaskan hadis munqat}i‘ dengan mursal melalui pernyataanya berikut ini:

لاَِنَعَاًعِطَقْ ُمَاًثْ يِدَحََث دَحَفََنْيِعِبا تلاََنِمَِهاَ ِلْوُسَرََباَحَِْأََدَاَشَْنَمَف

ََرَ بَتْعِاَ، يِب

َُظا فُحْلاَ ِْيِفَُ َكَرَشَ ْنِإَفَ، ِثْيِدَحْلاَ َنِمَ َلَسْرُأَ اَمَ ىَلِإَ َرُظَْ يَ ْنَأَ اَهْ ِمَ ٍ،رْوُمُأِبَ ِْيَلَع

17 Ibid. 18

(39)

31

َِة حَِِىَلَعًَةَل َلِدَِِذََ ْتَناَكَ،َىِوُرَاَمَىًْعَمَ ِلْثِمِبَِهاَ ِلْوُسَرَىَلِإَُْوُدَْسَأَفََنْوُ نْوُمْأَمْلا

َ

َِرْشُيَْمَلَ ٍثْيِدَحَ ِلاَسْرِإِبََدَرَفْ ناَِنِإَوَ.ِِظْفِحَوََُْعََلْبَ قَْنَم

.ُُدِْسُيَْنَمَِْيِفَُ ْك

19

Jika ada Tabi’in yang bertemu dengan sahabat Rasulullah saw., kemudian meriwayatkan suatu hadis munqathi’ dari Nabi saw. maka perlu diperhatikan beberapa hal. Di antaranya, mesti dilihat kemursalan hadis tersebut. Jika didalam memursalkannya itu sang rawi (tabii>n) ditemani oleh rawi-rawi lain (dari tabii>n) yang hafizh dan tepercaya kemudian secara berjamaah mereka menyandarkan langsung pada Nabi saw. dengan makna redaksi yang sama dengan yang diriwayatkan sang rawi maka ini menjadi tanda bahwa orang sebelum sang rawi (Sahabat) memang benar mengucapkan itu dan ini menandakan pula bahwa sang rawi ini terjaga hapalannya. Tapi, jika sang rawi (tabii>n) ini sendirian didalam memursalkan suatu hadis dan tidak ditemani seorang pun rawi lain yang menyandarkan periwayatannya pada Nabi saw

Ditinjau dari kriteria hadis s}ah}i>h} dalam disiplin ilmu hadis menurut perspektif al-Sha>fi’i> yang diikuti oleh para ulama hadis setelahnya, maka kondisi hadis tersebut di atas berada di luar kriteria seperti yang dikehendaki oleh al-Sha>fi’i>. Terkait batasan hadis s}ah}i>h}, al-Sha>fi’i> berkata:

ََلَو

َْوُكَيَْنَأَ:َاَهْ ِمَاًروُمُأََعَمْجَتَى تَحَِة ِاَخْلاَِرَبَخِبَُة جُحْلاَُموُقَ تَ

َِِبَ َث دَحَْنَمََن

ًَةَقِث

َ

َْيِف

َ

َْيِد

َْيِفَ ِقْد صلاِبَاًفوُرْعَمَ،َِِ

َ

َْيِدَح

ًَلِقاَعَ،َِِث

َ

َْيِحُيَاَمِبَاًمِلاَعَ،َِِبَُث دَحُيَاَمِل

َيِناَعَمَُل

َْيِدَحْلا

َْوُكَيَ ْنَأَوَ،َ ِظْف للاَ َنِمَ ِث

َْيِدَحْلاَي دَؤُ يَ ْن مِمَ َن

ََلَوَ،ََُعِمَسَاَمَكَِِفوُرُحِبَ َث

َ

ََِلَ،َىَْعَمْلاَىَلَعَِِبَ ُث دَحُي

َْ يَغَ َوُ َوَىَْعَمْلاَىَلَعَِِبَ َث دَحَاَذِإَُ ن

َْ يِحُيَاَمِبَ ٍمِلاَعَُر

َُُل

َْيِحُيَُ لَعَلَ،َِرْدَيَْمَلَُاَْعَم

َِإَ َللَحْلاَُل

َ ل

َى

َِماَرَحْلا

َ ّدَأَاَذِإَوَ،

َْوُرُحِبَى

َُفاَخُيٌَْجَوََقْبَ يَْمَلَِِف

َْيِف

َْيِدَحْلاَُةَلاَحِإَِ

ََث دَحَْنِإَِِباَتِكِلَاًظِفاَحَ،َِِظْفِحَْنِمََث دَحَْنِإَاًظِفاَحَ،َ ِث

َ

َِِباَتِكَْنِم

َْ يِرَبَ،َْمُهَ ثيِدَحََقَفاَوَ ِثيِدَحْلاَيِفَ ِظْفِحْلاََلَْأَ َكَرَشَاَذِإَ،

َ،َاًس لَدُمََنوُكَيَْنَأَْنِمَاًئ

َاَمِبََم لَسَوَِْيَلَعَُ للاَى لََِ يِب لاَِنَعَ،َُث دَحُيَْوَأَُِْمَْعَمْسَيَْمَلَاَمََيِقَلَْن مَعَُث دَحُي

19
(40)

32

َ دَحُي

َْوُكَيَوَ،ََُفلِخَ ُتاَق ثلاَ ُث

َْيِدَحْلاِبَ َيِهَتَْ يَى تَحََُث دَحَْن مِمََُقْوَ فَْنَمَاَذَكََُن

َ ِث

ًَلوُِْوَم

ََ لِإ

َُ للاَى لََِ يِب لاَى

َ

َ لِإَْوَأَ،ََم لَسَوَِْيَلَع

َْوُدَِْيَلِإَِِبَيِهَتَْ يَْنَمَى

ََُن

.

20

Sebuah khabar (hadis) tidak dapat menjadi hujjah sehingga terkumpul beberapa hal, yaitu; orang yang meriwayatkan adalah orang yang terpercaya (thiqah) dalam agamanya, terkenal kejujuran dalam ucapannya, mengetahui terhadap apa yang diucapkannya, mengetahui redaksi-redaksi yang dapat merubah makna. Ia meriwayatkan hadis sesuai dengan hurufnya sebagaimana yang ia dengar. Tidak meriwayatkan dengan makna, karena ketika ia meriwayatkan dengan makna dan ia tidak tahu terhadap kata-kata yang dapat merubah makna, maka ia tidak akan tahu jika seandainya ia merubah yang halal kepada yang haram. Jika ia mendatangkan hadis itu sesuai dengan huruf-hurufnya, maka kekhawatiran perubahan tersebut akan hilang. Ia juga harus h}a>fiz} (hafal) ketika ia meriwayatkan dari hafalannya. Jika ia meriwayatkan dari kitabnya, mak

Referensi

Dokumen terkait

merupakan jenis fitoplankton yang cukup baik untuk diberikan sebagai pakan alami bagi larva udang windu di samping keunggulan lain dalam menekan perkembangan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Keragaman genetik antar jenis nilam yang dibudidayakan oleh petani di Pasaman Barat berdasarkan marka molekuler RAPD, dan

Variabel stres dalam penelitian ini diukur menggunakan Perceived Stress Scale (PSS) yang dikembangan oleh Cohen dan Williamson (1988) untuk mengukur sejauh mana situasi

Penelitian lain dilakukan oleh Dewi (2018) dengan periode data yang lebih panjang yaitu dari tahun 1980-2016, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam nilai

Kesenjangan pengobatan (treatment gap) pada permasalahan Keswa disebabkan oleh 4 faktor, antara lain (1) faktor pasien yang kurang mengenali simptom gangguan

sama dengan Gunung T’ien-t’ai.” Dalam surat kepada Tuan Ueno, Ia menuliskan, “Ini adalah tempat kediaman yang sangat bagus bagi seorang pelaksana Saddharma Pundarika

Waktu kematian nimfa dan imago sangat bervariasi, karena itu pengamatan dilakukan terhadap estimasi rata-rata hati kematian nimfa dan imago dengan mengamati jumlah

Harapan konsumen yang menggunakan paket data internet tidak hanya fokus terhadap fitur dan harga, akan tetapi pelanggan melihat dari kualitasnya juga, seperti apa